Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT penyususn ucapkan dengan rahmat dan hidayahnya
penyususn dapat menyelesaikan tugas referat tepat pada waktunya.
Referat ini disusun untuk meningkatkan pengetahuan dan memenuhi tugas pada
Kepaniteraan Klinik Ilmu kesehatan Anak di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih. Terima
kasih penyusun ucapkan kepada pihak pihak yang telah membantu tersusunnya referat ini
khususnya :
1. DR. dr. Effek Alamsyah, Sp.A, MPH sebagai pembimbing
2. Orangtua yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
3. Teman teman sejawat yang selalu kompak
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak kekurangan. Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca ini, agar penyusun dapat mengoreksi diri dan dapat
membuat referat yang lebih sempurna di lain kesempatan.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, sekarang maupun masa yang
akan datang.
Wassalamualaikum wr.wb
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi
ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya
pada malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan.
Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis dalam bentuk
batasan operasional yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Pengertian kronik dan berulang mengacu pada kesepakatan UKK Pulmologi pada
KONIKA V di Medan tahun 1981 tentang Batuk Kronik Berulang (BKB) yaitu batuk yang
berlangsung lebih dari 14 hari dan/atau tiga atau lebih episode dalam waktu 3 bulan berturutturut.
Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma meningkat, baik pada
anak-anak maupun dewasa. Di negara-negara maju, peningkatan berkaitan dengan polusi
udara dari industri maupun otomotif, interior rumah, gaya hidup, kebiasaan merokok, pola
makanan, penggunaan susu botol dan paparan alergen dini. Asma mempunyai dampak
negatif pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak
sering tidak masuk sekolah dan total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa
dan 10% pada anak).
Terdapat variasi prevalensi, angka perawatan, dan mortalitas asma, baik regional
maupun lokal, perbedaaan tersebut belum jelas apakah prevalensi memang berbeda atau
karena perbedaan kriteria diagnosis. Untuk mengatasi hal tersebut telah dilaksanakan
penelitian multisenter di beberapa negara menggunakan definisi asma yang sama, dengan
menggunakan kuesioner standart. Salah satu penelitian multisenter yang dilaksanakan yaitu
International Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC)(5).
Telah dilakukan penelitian ISAAC fase I pada tahun 1996, yang dilanjutkan dengan
ISAAC fase III pada tahun 2002. Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara,
meliputi 155 senter, pada anak usia 6 7 tahun dan 13 14 tahun. Penelitian ISAAC
menggunakan kuesioner standar dengan pertanyaan:Have you (your child) had wheezing
or whistling in the chest in the last 12 months? Untuk mengelompokkan dalam diagnosis
asma bila jawabannya Ya. Pada anak usia 13 14 tahun selain diminta mengisi kuesioner
juga diperlihatkan video asma. Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13 14
tahun yang terendah di Indonesia (1,6%) dan yang tertinggi di Inggris, sebesar 36,8%.
WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang asma dan
diperkirakan akan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun. Asma termasuk
kedalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar
dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai provinsi di Indonesia.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2000 menunjukan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan bersama dengan bronchitis kronik dan emfisema. SKRT
2002, asma, bronchitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia
atau sebesar 5,6 % (Triono,2007)
Data Departemen Kesehatan menunjukan pada tahun 2005, prevalensi asma 2,1 %.
Pada tahun 2007, prevalensi meningkat menjadi 5,2 %. Sedangkan hasil survei pada anak
sekolah di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan
Denpasar pada 2008 menunjukan prevalensi asma anak berusia 6-12 tahun sebesar 3,7-16,4
%, Sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8% Berbagai faktor mempengaruhi tinggi
rendahnya prevalens asma di suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi
dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya
serangan asma, berat ringannya serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Asma adalah kelainan inflamasi kronik saluran nafas, yang melibatkan berbagai sel
inflamasi (sel Mast, Eosinofil, Limfosit T, Neutrofil). Pada individu yang sensitif kelainan
inflamasi ini menyebabkan gejala-gejala yang berhubungan dengan obstruksi saluran nafas yang
menyeluruh dengan derajat yang bervariasi, yang sering membaik (reversible) secara spontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi kronik ini juga menyebabkan hipereaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan.
Etiologi
Endogenous Factors
Predisposisi genetik
Atopy
Airway
hyperresponssiveness
Gender
Environmental Factors
Indoor allergens
Outdoor allergens
Occupational sesitizers
Passive smoking
Respiratory infections
Triggers
allergens
upper respiratory tract
infections
excercise
&
hyperventilation
udara dingin
sulfur dioxides &
irritant gasses
obat
(B-blocker,
aspirin)
stress
irritans
(bau
cat,
pengharum ruangan)
Klasifikasi
APE
<60%
prediksi,
variabilitas >30%
60%<APE<80%
prediksi, variaabilitas
> 30%
Faktor Resiko
Genetik
Lingkungan ( alergen , zat iritan seperti asap rokok)
Cuaca (lembab , suhu, tekanan udara)
Emosi
Aktivitas
Etiologi dari asma adalah multifaktorial , tetapi biasanya melibatkan faktor genetik dan
lingkungan
Dari segi faktor genetik, terjadinya asma dapat karena adanya polimorfisme pada gen
gen yang berperan dalam meregulasi IL-4, IL-5, IL -13 , ADAM 33 (berhubungan
dengan asma dan hiperresponsive dari bronkus)
Dari faktor lingkungan , yang dapat menyebabkan asma misalnya karena terpajan zat
zat yang bersifat iritan (asap rokok, parfum ,debu), makanan, cuaca (lembab, suhu,
tekanan udara) , emosi, aktivitas , infeksi saluran pernafasan
Asma atopik (ekstrinsik) adalah tipe asma yang umum dan biasanya serangan didapat
sejak kecil. Dapat ditemukannya riwayat keluarga yang positif dan biasanya serangan
asma diikuti dengan gejala seperti rhinitis, urtikaria, dan eksim. Biasanya serangan akan
timbul jika terpajan antigen dari lingkungan , misalnya debu , pollen, bulu binatang, dan
makanan. Pada pemeriksaan skin test didapatkan reaksi wheal and flare ( edema dan
eritema ).
Berbeda dengan asma atopik, pada asma non atopik (instrinsik) biasanya tidak
didapatkan riwayat keluarga yang positif, dan serangan dapat timbul karena infeksi
saluran pernafasan oleh virus ( paling sering ), inhalasi polusi udara ( sulfur dioksida,
ozon, nitrogen dioksida). Biasanya bronkospasme yang terjadi lebih severe dan terus
menerus / progresif. Dikemukakan bahwa virus dapat menginduksi radang pada mukosa
saluran pernafasan dan merendahkan ambang rangsang reseptor vagal subepitelial
terhadap zat iritan.
Mekanisme terjadinya asma atopik ( IgE Mediated Hypersensitivity ) :
o Terpajan antigen dari lingkungan luar stimulasi induksi sel TH2
mengeluarkan IL-4 & IL-5 sintesis IgE oleh Sel B IgE berikatan dengan
reseptor pada sel mast Kontak selanjutnya dengan antigen yang sama
menyebabkan reaksi silang dengan IgE Sel Mast tadi Terjadi degranulasi dari
sel mast pengeluaran mediator mediator kimia
o Mediator Kimia :
Leukotrien C4, D4, E4 : Bronkokontriksi , Peningkatan permeabilitas
vascular dan sekresi mukus
Histamin : Bronchospasme, Peningkatan permeabilitas vascular
Prostaglandin : Bronkokontriksi dan vasodilatasi
Asetilkolin : dikeluarkan oleh saraf motorik intrapulmonal , menstimulasi
langsung pada reseptor muskarinik dan menyebabkan kontraksi otot polos
Platelet activating factor : agregasi platelet dan dikeluarkannya histamin
dari granula platelet
o Mediator kimia yang dikeluarkan ini dapat membuka mucosal intercellular
junctions, menyebabkan penetrasi dari antigen ke sel mast lain yang terdapat di
mukosa , selain itu juga stimulasi dari reseptor saraf vagal subepitelial dan
menyebabkan refleks bronkokontriksi. Hal ini berlangsung dalam beberapa menit
dan disebut sebagai immediate phase/ acute phase ,yang ditandai dengan adanya
bronkonstriksi, edema, dan sekresi mukus.
o Fase selanjutnya adalah late phase ( 4 8 jam setelah immediate phase ) , dimana
mast cells akan memproduksi sitokin untuk kemotaksis dari sel sel inflamasi
seperti neutrofil , sel MN, dan terutama eosinofil. Sel epitel bronkiolus juga akan
memproduksi suatu kemokin ( e.g : eotaxin ) untuk memanggil eosinofil.
Eosinofil akan mengeluarkan berbagai mediator seperti major basic protein,
eosinophil cationic protein, eosinofil peroxidase yang bersifat toxic terhadap
epitel saluran pernafasan. Eosinofil juga memproduksi leukotrien yang
menyebabkan bronkokontriksi lanjut.
o Ringkasan proses tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Patogenesis :
IL - 5
Aktivasi,
migrasi
,
priliferas
eosinofil
Produksi
neuropeptida
yang
bersifat
toxic
Hiperresponsive
dari
bronkial
Proliferasi
fibroblast
Obstruksi
sal.Nafas
IL-4
merangsang
sintesis
IgE
dari
sel
B
Ikatan
IgE
dengan
Sel
mast
IL -13
IL - 8
Terganggunya
mucociliary
clearance,
proliferasi
fibroblast
,
bronkontriksi
Reaksi
inflamasi
lebih
lanjut
Degranulasi
Sel
Mast
Mediator
kimia
Histamin
Prostaglandin
Bronkokontriksi
dan
permeabilitas
vascular
Bronkokontriksi
dan
Vasodilatasi
Asma Bronkiale
Leukotrien
Patofisiologi :
Bronkokontriksi
Inflamasi
Hipersekresi
mukus
Edema
Infiltrasi
sel
radang
Sumbatan
saluran
nafas
Obstruksi sal.nafas
Ateletaksis
Air trapping
Hiperinflasi paru
Kerja
pernafasan
meningkat
Tekanan
intrapleural
dan
alveoli
meningkat
Hipersekresi mukus
Wheezing
ekspiratoir
CO
turun
Pulsus
paradoxus
Gangguan
ventilasi
-
perfusi
Hypoxemia
Merangsang
respiratory
centre
Hiperventilasi
Tachypnoe,
PCH
(+)
,
retraksi
Dyspnoe
Hipoksia
Cyanosis
Takikardia
Alkalosis
respiratorik
Jika
obstruksi
semakin
berat,
hiperinflasi
menjadi
semakin
parah
kerja
pernafasan
meningkat
kelelahan
otot
pernafasan
Gejala Klinik
Pemeriksaan Penunjang
1. Lung Function Test
Peak expiratory flow rate (PEFR) atau FEV1 berfungsi untuk mendiagnosis asma
dan tingkatannya.
Variabilitas nilai APE sebesar 20% atau lebih antara pagi dan sore merupakan
diagnostik asma
2. Skin prick
Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan ekstrak alergen pada kulit volar
lengan bawah sisi dalam atau punggung yang sudah ditandai dan digores dengan
jarum yang sebelumnya didesinfeksi kapas alkohol 70%.
Hasil reaktif ditunjukkan dengan munculnya benjolan merah dengan diameter
tertentu disertai rasa gatal dalam waktu 15 20 menit
Bermanfaat untuk menentukan alergen inhalan
3. Intracutaneus test
Indikasi : jika skin prick tidak memberikan hasil reaktif yang cukup kuat
Dilakukan bila terdapat dugaan alergi karena obat dengan cara menyuntikkan obat
tersebut di kulit lengan bawah , hasil didapatkan setelah 15 menit , bila positif
timbul bejolan kemerahan disertai rasa gatal
4. Patch test
Dilakukan bila terdapat dugaan reaksi alergi akibat kontak dengan bahan kimia
atau dermatitis
5. Chest X-ray
Menyingkirkan penyakit paru lain yang bergejala seperti asma atau penyakit
penyerta
Berfungsi untuk komplikasi (pneumotoraks) atau untuk memeriksa pulmonary
shadows dengan allergic bronchipulmonary aspergilosis
6. Histamine bronchial provocation test
Untuk mengindikasikan adanya airway yang hiperresponsif, biasanya ditemukan
pada seluruh penyakit asma, terutama pada pasien dengan gejala utama batuk.
Dilakukan bila ada kecurigaan asma tetapi pada pemeriksaan fisik dan faal paru
tidak ditemukan kelainan
7. Blood and sputum test
Pasien dengan asma mungkin memiliki peningkatan eosinofil di darah perifer
(>9,4x109/L)
8. Pemeriksaan IgE Rast ( Imunoserologi )
Pemeriksaan imun sistem humoral
Metode ELISA dengan sampel serum
9. Panel Atopi
Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai
adalah
1.
2.
3.
4.
Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5.
6.
Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Obat Asma
Dikelompokkan menjadi dua golongan :
o Reliever / pelega : untuk mengatasi serangan akut asma
o Controller : untuk mengontrol asma tersebut untuk jangka waktu yang lama
Yang termasuk obat reliever / pelega :
o Short Acting Beta Agonis (SABA) inhalasi (Ventolin Inhaler)
o SABA oral (Salbutamol)
o Anti kolinergik inhalasi (Ipratropium Bromida)
o Kortikosteroid Sistemik (Metil Prednisolon, Prednison)
o Metil Xantin (Teofilin lepas cepat)
Yang termasuk obat controler :
o
o
o
o
o
o
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller) Obat pereda ada yang menyebutnya pelega, atau obat
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika
sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini
tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar
asma yaitu inflamasi respitorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus
dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya
terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asma Episodik
Sering dan Asma Persisten
Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator bagonis hirupan kerja pendek (Short Acting B2-Agonist, SABA) atau golongan santin kerja
cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran memakai hirupan tidak mudah
dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia disemua daerah. Di
samping itu pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler)
memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat
bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat
hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka b-agonis diberikan per oral.
Penggunaan
teofilin
sebagai
bronkodilator
makin
kurang
perannya
dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat
B-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan B-agonis oral tunggal
dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini
dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak seperti terlihat
dalam klasifikasi asmanya tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat
pengendali untuk asma ringan. Jadi secara tegas PNAA tidak menganjurkan pemberian
pemberian obat controller pada Asma Episodik Jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang
belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya
pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan
dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Dalam alur tatalaksana jangka panjang terlihat
bahwa jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak
baik dalam 4-6minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering.
Konig, menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana yang lazim,
yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada Asma Episodik Jarang,
ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang
mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat
kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan
derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma,
misalnya dari Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang,
bahkan sampai asmanya asimtomatik.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan B-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa
menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari
sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah
terindikasi. pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah
kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8
minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemeberian
kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Penelitian terakhir, Tasche dkk,
mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin kurang bermanfaat pada terlaksana asma
jangka panjang. Dengan dasar tersebut PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin
(kromoglikat dan nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis
rendah sebagai anti-inflamasi
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang
biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak
adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah
setara dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk
anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan
dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya
efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali
berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu
penilaian efek terapi dilakuakn setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk
mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid
hirupan dosis rendah tidak respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur
atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua (Lampiran 3) yaitu
menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam
tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah
adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya
berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8
minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan
steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus,
cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis
dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksanaan rintis dan sinusitis secara optimal
dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama
gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala
dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada
anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai
dosis terkecil yang masih optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400
ug/hari. Di atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800
ug/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipotesis-adrenal)
sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat
dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan
mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan
meningkatkan deposisi obat di paru. Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid
hirupan, bila sudah mampu pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang
setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik,
diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid yang baik, diperlukan
terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi
steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting b-2 Agonist) atau
ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene
Receptor (ALTR). Yang dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari
budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600
ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan
LABA, atau TSR, atau ALTR. (Evidence A) yang dimaksud dosis tinggi adalah setara
dengan >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari
12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas
12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya
yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan
steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. (Evidence B) Langkah ini diambil
hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk
steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan
steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup
berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan
enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan
uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan
setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya
untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat
pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai
manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi
bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara
itu penggunaan b-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
menggunanakan
alat
inhalasi.
Dmeikian
juga
kemauan
anak
perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa
(Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benardan berulang kali. Tabel
berikut memperhatikan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usianya.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek
sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang
baik. (Evidence B) Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler)
seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler; memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Bayhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau
menggunakan botol dengan dot yang talah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
2 4 tahun
5 8 tahun
Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
> 8 tahun
Nebuliser
MDI (Metered Dose Inhaler)
Alat hirupan bubuk
Autohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya
deposisi dalam paru akan lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang baik. Obat hirupan
dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi
yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak sekolah.
Sebagian alat bantu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler)
dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau menggunakan
obat dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
dan gurunya, keterlibatan unsur lain juga penting misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang
terkait. Media masa dapat berperan konstruktif dalam menyebarkan informasi tentang asma dan
penanggulangannya kepada masyarakat luas.
PROGNOSIS
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut
berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan
lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan
wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari.
Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau
terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis
alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu
REFERENSI
Behrman,
Kliagman:
Nelson
Ilmu
Kesehatan
Anak.
Edisi
15.
Vol2
Jakarta
2000