Anda di halaman 1dari 17

Hand Out

PARADIGMA BARU PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH


DAN INISIASI MODUS JURNALISME: PERAN CSO DAN MEDIA DALAM
MEWUJUDKAN PARTICIPATORY BUDGET DI INDONESIA
A. Hery Pratono dan Cahyo Suryanto1

".Untuk melibatkan warga secara signifikan dalam keseluruhan proses pembuatan kebijakan
(misalnya siklus anggaran) maka diperlukan upaya untuk memperluas perdebatan politis dalam
parlemen ke masyarakat sipil (zipilgsellschaf) . Bukan hanya aprat negara dan wakil rakyat,
melainkan keseluruhan warga negara berpartisipasi dalam wacana politis untuk pengambilan
keputusan di sektor publik. Melalui radikalisasi hukum klasik, "tempat" kedaulatan rakyat
bergeser dari proses pengambilan keputusan di parlemen ke proses partisipatif dalam ruang
publik. Kedaulatan rakyat bukan "substansi" yang membeku di dalam perkumpulan para wakil
rakyat, melainkan juga terdapat di dalam pelbagai forum warganegara, organisasi nonpemerintah, gerakan sosial, atau singkatnya : dimana pun diskursus tentang kepentingan
bersama warganegara dilancarkan " (Habermas, 2001)

A. PARADIGMA BARU PERENCANAAN

DAN

PENGANGGARAN

1. PERENCANAAN PARTISIPATIF
UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
merupakan momemtum pelembagaan prinsip perencanaan pembangunan yang partisipatif.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif atau biasa disebut sebagai participatory planning2
merupakan suatu proses politik untuk memperoleh kesepakatan bersama (collective agreement)
melalui aktivitas negosiasi antar seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Proses politik ini
dilakukan secara transparan dan aksesibel sehingga masyarakat memperoleh kemudahan setiap
proses pembangunan yang dilakukan serta setiap tahap perkembangannya. Dalam hal ini
perencanaan partisipatif lebih sebagai sebuah alat pengambilan keputusan yang diharapkan
dapat meminimalkan konflik antar stakeholder. Perencanaan partisipatif juga dapat dipandang
sebagai instrumen pembelajaran masyarakat (social learning) secara kolektif melalui interaksi
antar seluruh pelaku pembangunan. Pembelajaran ini pada akhirnya akan meningkatkan
kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya secara
luas.
Perencanaan partisipatif selain sebagai sebuah proses politik juga merupakan sebagai
sebuah proses teknis. Dalam proses ini yang lebih ditekankan adalah peran dan kapasitas
fasilitator untuk mendefinisikan dan mengidentifikasi stakeholder secara tepat. Selain itu proses
ini juga diarahkan untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi dan
rencana tindak kolektif, serta melakukan mediasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya publik. Salah satu hal penting dalam proses teknis ini adalah upaya pembangunan
institusi masyarakat yang cukup legitimat sebagai wadah bagi masyarakat untuk melakukan
proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah
konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.
1

Peneliti dan fasilitator pemberdayaan komunitas di Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan


(Pusdakota) Universitas Surabaya, Rungkut Lor, Surabaya, www.pusdakota.org, email:
office@pusdakota.org atau hery_pra@ubaya.ac.id; cahyo@pusdakota.org
2
John Friedmann. Planning in The Public Domain, From Knowledge to Action, Princeton University Press,
New Jersey. 1987

Kegiatan perencanaan tingkat daerah harus diarahkan berdasarkan isu yang dianggap
relevan bagi pembangunan. Kegiatan ini dimulai dengan perumusan visi dan tujuan umum
pembangunan jangka panjang berdasarkan masukan dari kelompok stakeholders terkait,
sehingga visi dan misi menjadi milik bersama dan acuan untuk semua pelaku pembangunan di
daerah. Untuk beragam partisipasi masyarakat diterapkan alat dan metode yang memberikan
kesempatan luas kepada semua unsur masyarakat/stakeholders untuk menyalurkan persepsi
dan aspirasinya yang selanjutnya dimasukkan ke dalam pembuatan tujuan kebijakan dan
program pembangunan daerah.
Forum-forum stakeholders, seperti LSM, organisasi perempuan, pemuda dan dunia
usaha difasilitasi untuk meningkatkan partisipasi di antara masyarakat setempat dan kelompok
kepentingan sebagai elemen yang mendukung untuk menentukan prioritas pembangunan
daerah. Forum stakeholders berperan sebagai salah satu proses untuk menyuarakan
kepentingan masyarakat terhadap tujuan pembangunan secara spesifik.
Dalam proses perumusan visi pembangunan daerah sebagai dasar untuk perencanaan
jangka menengah penting untuk menampung aspirasi masyarakat melalui berbagai forum
stakeholders yang ada di level daerah. Perencanaan dilihat sebagai proses terstruktur yang
bertahap dan bertingkat. Perencanaan pembangunan daerah oleh lembaga teknis didasarkan
pada analisa potensi dan kebutuhan daerah, integrasi rencana spasial dan rencana
pembangunan dari tingkat propinsi maupun nasional. Aspek tersebut dipadukan dengan alur
perencanaan partisipatif untuk menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Monopoli pemerintah terhadap akses pengambilan kebijakan publik, terutama masalah
alokasi anggaran sudah menjadi isu klasik. Menurut James Buchanan, pemenang nobel ekonomi
1986, pemerintahan identik dengan sekumpulan individu yang lebih mementingkan
kepentingannya sendiri daripada kepentingan publik melalui peraturan dan pajak. Kumpulan
kepentingan ini menimbulkan perilaku pemburu rente. Meskipun ada paksaan bagi pejabat
publik lebih transparan dalam menentukan kebijakan publik, namun sistem informasi di negara
berkembang masih sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan. Berbeda dengan para
penganut pasar bebas lebih mengandalkan mekanisme pasar ketika pemerintah dianggap gagal
mengatasi masalah, penganut demokrasi lebih percaya untuk mengatasi aktivitas pemburu rente
tersebut diperlukan kekompakan warga untuk memperjuangkan haknya.
Kualitas SDM masyarakat selalu menjadi alasan klasik aparat pemerintah daerah untuk
tidak melibatkan masyarakat. Seperti halnya bagi sebagian besar pemerintah daerah di negaranegara berkembang (Heimans, 2002), partisipasi di mata pemerintah daerah di Indonesia
cenderung merupakan ancaman. Setelah 8 tahun kebijakan desentralisasi digulirkan, ada
kecenderungan bahwa mandat yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi akan
dicabut. Seorang kepala Bappeda pada pertengahan bulan Puasa lalu dengan berapi-api pernah
berujar kepada kami,
saya tidak percaya bahwa visi daerah itu bisa dijaring dari aspirasi masyarakat.
Sementara seorang anggota dewan menyatakan bahwa
.. Apa itu LSM? Melibatkan mereka dalam perencanaan daerah hanya membuat kisruh
(kekacauan) saja Paling-paling mereka hanya minta jatah, kan?
Perjuangan untuk melibatkan CSO (Civic Society Organization) dalam proses
perencanaan pembangunan daerah masih sangat panjang. Meskipun UU No 24/2004
menegaskan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan mengoptimalkan
partisipasi masyarakat, namun partisipasi dilakukan sekedarnya. Kenyataannya, pemerintah
daerah yang menganggap dirinya sebagai penguasa masih setengah hati untuk melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan. Masyarakat cukup diberitahu, dan kalau ada
masukan cukup ditampung. Di lain pihak, masih banyak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
yang belum mampu terlibat dalam pengambilan keputusan. Sebuah kajian yang dilakukan oleh
TIFA (2005) menyatakan bahwa tidak lebih dari 10% LSM di Indonesia yang benar-benar
mendapat kepercayaan masyarakat.

Perjuangan untuk mewujudkan CSO-CSO yang mampu meraih kepercayaan masyarakat


menjadi cukup vital, mengingat CSO sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah pada
berbagai tingkat. Pada tingkat lokal, CSO yang biasa tinggal dan bekerja dengan masyarakat,
mampunyai informasi tentang kebutuhan masyarakat dan meyakinkan pemerintah untuk
mengembangkan program-program yang lebih membumi. CSO bisa juga membantu
mengorganisasi pertemuan konsultasi antara anggota komunitas, organisasi akar rumput,
organisasi keagamaan dengan pemerintah. Pada pemerintahan yang lebih tinggi baik propinsi
maupun nasional, CSO bisa berperan melakukan advokasi bagi komunitas miskin, misalnya
dengan memastikan bahwa alokasi APBD atau APBN benar-benar pro rakyat miskin. Di Uganda
yang pembangunannya jauh lebih tertinggal dari Indonesia, CSO bisa benar-benar menjadi
partner pemerintah dalam proses penyusunan anggaran pemerintah, sementara Porto Alegre di
Brazil merupakan model participatory budget yang paling berhasil.
Untuk mewujudkan terciptanya anggaran berbasis partisipasi dalam konteks sosial dan
geografi, berdasarkan pengalaman di beberapa negara berkembang lain, ada beberapa faktor
yang menentukan keberhasilan. (1) Dinamika masyarakat madani. Dalam kasus Porto Alegre
Brazil, pada 1988 jumlah CSO sudah mencapai 600 lembaga, dengan tingginya tingkat
kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam menentukan anggaran publik. Sebelum
dilaksanakan program participatory budget, konsultasi terhadap anggaran dan aktivitas
monitoring sudah menjadi tradisi bagi CSO. (2) Pemerintah Daerah mempunyai niat baik untuk
mewujudkan partisipasi dengan kemampuan kapasitas yang memadai untuk memfasilitasi proses
partisipasi warganya, terutama dalam skala yang lebih besar. Banyak pemerintah daerah yang
berusaha replikasi program anggaran berbasis kinerja, tetapi banyak yang gagal. (3) Lembaga
legislative yang terbuka terhadap proses partisipasi dapat menjadi mitra utama bagi masyarakat
dalam merealisasikan manfaatnya. (4) Keberhasilan implementasi program ini juga tidak bisa
terlepas dari kondisi pembangunan ekonomi.3 Terakhir (5) kemampuan media untuk
membangkitkan dan memfasilitasi peran serta masyarakat pada tingkat partisipasi yang lebih
tinggi, bukan hanya sekedar mendapatkan informasi. Pengalaman di Brazil dan Uganda tidak
bisa terlepas dari peran media masa terhadap pendidikan masyarakat (adult education). Bahkan
gaung keberhasilannya yang mendunia juga tidak terlepas dari informasi yang diberitakan oleh
media.
2. PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
Munculnya paradigma baru dalam sistem perencanaan pembangunan juga diikuti dengan
diterapkannya prinsip dan pendekatan baru yang dinamakan sistem pengelolaan anggaran
berbasis kinerja. Beberapa prinsip itu meliputi:

Shultz (2002) menjelaskan bahwa anggaran berbasis partisipasi ini dimulai


daerah yang cukup makmur, kemudian berkembang ke negara berkembang
lain seperti Argentina dan Mexico, dan saat ini sudah berkembang di negara
miskin seperti Uganda dan Nicaragua.
3

a.

Transparansi dan akuntabilitas anggaran. APBD harus dapat menyajikan


informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh
masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Anggota masyarakat
memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena
menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhankebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut
pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.

b.

Disiplin anggaran. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang


terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan,
sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas
tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan
adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia anggarannya
dalam APBD/perubahan APBD.

c.

Keadilan anggaran. Pemerintah daerah wajib mengalokasikan penggunaan


anggarannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat
tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan karena pendapatan daerah pada
hakekatnya diperoleh melalui peran serta masyarakat.

d.

Efisiensi dan efektifitas anggaran. Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan


berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu pelaksanaan, dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan. Dana yang tersedia harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan dan
kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat.

e.

Disusun dengan pendekatan kinerja. APBD disusun dengan pendekatan kinerja,


yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output/outcome) dari
perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus
sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus
mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.

Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan diatas, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai
berikut :

Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka

menengah.
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang menyeluruh,
meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan
disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan
yang optimal dan lebih efisien. Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat
dikurangi ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk
membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru dalam penganggaran tahunan agar
tetap dimungkinkan, tetapi pada saat yang sama harus pula dihitung implikasi kebijakan baru
tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. Cara ini juga
memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah perlu melakukan perubahan terhadap
kebijakan yang ada, termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar
kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan.

Penerapan penganggaran secara terpadu. Dengan pendekatan ini, semua kegiatan


instansi pemerintah disusun secara terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja
rutin dan anggaran belanja pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan

sebagai bagian upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih
transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi
kinerja. Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat
penting untuk mempertimbangkan secara simultan biaya secara keseluruhan, baik yang
bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.

Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja. Pendekatan ini memperjelas tujuan dan


indikator kinerja sebagai bagian dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan
kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan
sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam
kerangka jangka menengah. Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan
prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan
Kementerian Negara/Lembaga atau SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan
keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau
rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
ISU-ISU KRITIS DALAM PERENCANAAN PARTISIPATIF DAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
Beberapa isu kritis yang harus selalu dicermati terkait dengan implementasi paradigma baru
dalam perencanaan pembangunan dan penerapan prinsip-prinsip penganggaran berbasis
kinerja:

1. Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan daerah seperti Musrenbang, tapi


2.
3.
4.
5.
6.

tidak dilibatkan dalam proses pembahasan dan penyusunan APBD;


Masyarakat tidak dilibatkan dalam penentuan prioritas sektoral, padahal usulan sektoral
mendominasi APBD usulan spasial rata-rata hanya 1 % dari APBD;
Pembahasan dan Penyusunan APBD masih dianggap wilayah ekslusif pemerintah daerah
dan DPRD;
Partisipasi masih diartikan sebagai proses penjaringan aspirasi masyarakat, yakni
pengumpulan informasi dan feedback dari masyarakat. Masyarakat tidak pernah tahu
bagaimana pengambilan keputusan dilakukan atas informasi yang diberikannya;
Partisipasi belum memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam
mengontrol dan mengarahkan proses pengambilan keputusan dalam pembahasan dan
penyusunan APBD;
Masih mengedepannya partisipasi semu dalam perencanaan dan penganggaran
pembangunan, sehingga mengakibatkan:
1. Pemusatan kekuasaan baru pada sekelompok aktor negara di tingkat lokal (local state
actor) tanpa ada mekanisme kontrol publik yang efektif;
2. Tingginya peluang kebijakan alokasi APBD yang menguntungkan kelompok tertentu
(local vested interest);
3. Mis-alokasi APBD dari untuk kepentingan publik menjadi untuk kepentingan privat baik
individu maupun kelompok;
4. Terabaikannya pencapaian standar pelayanan public;
5. Defisit yang tidak menjamin pembangunan yang berkelanjutan (unsustainable deficit);
6. Tidak tercapainya target pembangunan infrastruktur daerah;
7. Terabaikannya program pengentasan kemiskinan sebagai tugas penting pemerintah
daerah.

DETERMINAN ISU-ISU KRITIS


Faktor-faktor utama yang penyebab berkembangnya isu-isu kritis dalam perencanaan
dan penganggaran adalah:

1. Terjadinya asimetri informasi (kesenjangan informasi) antara Pemerintah dengan


Masyarakat. Tingginya asimetri informasi ini disebabkan oleh tingginya biaya transaksi
untuk melakukan pemetaan kebutuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan proses
perencanaan anggaran sangat rentan terhadap bias atau pengaruh dari kelompokkelompok kepentingan yang menyimpang dari harapan masyarakat.
2. Terjadinya asimetri informasi antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Eksekutif
merupakan lembaga yang lebih mapan dibandingkan dengan DPRD dalam upaya
melaksanakan program-program pembangunan. Dengan tingginya informasi yang
dikuasai eksekutif, maka DPRD memiliki kelemahan yang cukup signifikan dalam
melakukan fungsi pengujian (check) dan penyeimbang (balances) terhadap programprogram pembangunan yang diusulkan oleh Pemerintah. Dalam konteks inilah, maka
ada potensi yang sangat besar pada eksekutif atau instansi-instansi dalam tubuh
eksekutif untuk melakukan bias kepentingan terhadap alokasi anggaran.
3. Lemahnya sistem dan mekanisme akuntabilitas di tubuh legislatif. Hal ini
dikarenakan sistem relasi antara DPRD dengan masyarakat sangat jauh. Tidak ada
mekanisme untuk menjaga agar DPRD melaksanakan tugasnya sesuai dengan
keinginan masyarakatnya. Lemahnya sistem akuntabilitas DPRD ini bisa berakibat pada
tingginya inefesiensi di tubuh pemerintahan itu sendiri secara keseluruhan. Misalnya,
karena tidak ada mekanisme akuntabilitas di tubuh DPRD, maka setiap anggota DPRD
akan bebas untuk menyalahgunakan wewenanganya sebagai wakil rakyat untuk
berkolusi dalam banyak hal dengan eksekutif, lembaga yang seharusnya menjadi obyek
pengawasan DPRD.
4. Lemahnya fungsi kontrol masyarakat untuk memastikan bahwa jalannya roda
pemerintahan sesuai dengan harapannya.

C.

PENGANGGARAN PARTISIPATIF (PARTICIPATORY BUDGET)


Terciptanya proses partisipasi tidak lepas dari system hukum, yang biasanya merupakan
faktor eksternal dan bersifat memaksa pemerintah daerah untuk lebih mendengarkan aspirasi
masyarakat. Ada tiga undang-undang yang menjamin terlaksananya desentralisasi, yaitu UU
25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) dan UU No 32/2004
tentang pemerintahan daerah, serta UU No 17/2003 tentang keuangan negara. Dari ketiga
undang-undang tersebut, UU No 25 dan UU No 32 menyebutkan perlunya partisipasi sebagai
upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
UU 25/2004, Bab II tentang asas dan tujuan dengan tegas menyatakan bahwa
Sistem Perencanaan Pembangunan bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi
masyarakat.
Selanjutnya, Bab III pasal 3 tentang ruang lingkup perencanaan pembangunan nasional
menyatakan bahwa RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) merupakan penjabaran dari
RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Daerah dan mengacu pada RKP (Rencana
Kerja Pemerintah), memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan
Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pernerintah
maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam penjelasan UU 25/2004,
Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah orang perseorangan, kelompok orang
termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang berkepentingan dengan

kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya, pelaku, penerima
manfaat maupun penanggung resiko.
Yang dimaksud dengan "partisipasi masyarakat" adalah keikutsertaan masyarakat untuk
mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana
pembangunan.
Dalam penjelasan ini memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang LSM, namun konsep
kelompok orang memungkinkan LSM masuk di dalamnya. Dengan demikian ada ruang polemik
tentang bentuk partisipasi masyarakat dalam Musrenbang. Namun demikian, organisasi masa
akan lebih representatif sebagai perwakilan kepentingan masyarakat.
Pasal 150, UU 32/2004
Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD, merupakan penjabaran
dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik
yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah.
Pasal 151 UU 32/2004 menyatakan bahwa
Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam bentuk rencana
kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
UU No 17/2003 tidak menyebutkan istilah partisipatif. Bahkan pasal 10 menyatakan bahwa
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja
pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD.
UU ini tidak mengatur partisipasi masyarakat dalam menentukan alokasi keuangan pemerintah.
Namun demikian, sambil menunggu terbitnya peraturan pemerintah yang mengatur penyusunan
dokumen perencanaan, SE Mendagri No 050/2020/SJ Agustus 2005 memberikan petunjuk
penyusunan dokumen perencanaan, RPJMD dan RPJP. Dalam surat edaran tersebut, dokumen
RPJMD dan Renstra SKPD perlu melampirkan tabel Matrik Program termasuk alokasi
anggarannya. Dengan demikian, partisipasi publik dalam Musrenbang sangat dimungkinkan
untuk mengkaji sampai pada tahap prioritas program dan alokasi anggaran. Tentu saja harus ada
perjuangan ekstra keras untuk memfasilitasi partisipasi sampai pada tahap ini, karena biasanya
pemerintah daerah cenderung menghindar.
Format Lampiran RPJMD: Matrik Program 5 Tahunan RPJMD

Format Lampiran RPJM: Matrik Program Tahunan RPJM Daerah

No.

Program

Indikasi Kegiatan
Kerangka
Kerangka
Anggaran
Regulasi
3

SKPD

(Rp)
5

Tahun-1
Sumber
Lokasi
Pendanaan Kegiatan
7
8

(Rp)
9

Tahun-2
Sumber
Lokasi
Pendanaan Kegiatan
10
11

(Rp)
12

Pagu Indikatif
Tahun -3
Sumber
Lokasi
(Rp)
Pendanaan Kegiatan
13
14
15

Tahun -4

Format Lampiran Renja SKPD: Matrik Program Tahunan SKPD


No.

Program

Indikasi Kegiatan
Kerangka
Kerangka
Anggaran
Regulasi
3

(Rp)
5

Tahun-1
Sumber
Lokasi
Pendanaan Kegiatan
6
7

(Rp)
8

Tahun-2
Sumber
Lokasi
Pendanaan Kegiatan
9
10

(Rp)
11

Pagu Indikatif
Tahun -3
Sumber
Lokasi
(Rp)
Pendanaan Kegiatan
12
13
14

Tahun -4
Sumber
Lokasi
Pendanaan Kegiatan
15
16

Sumber Lampiran SE Mendagri 050/2020/SJ


Perjuangan mewujudkan partisipasi anggaran sebenarnya dapat dilakukan dari banyak saluran,
karena setiap Musrenbang harus terkait satu sama lainnya. Berdasarkan Surat Edaran
Bersama Kepala Bappenas dan Mendagri, proses Musrenbang bukan aktivitas yang berdiri
sendiri. Proses Musrenbang Kabupaten perlu juga mengacu ke forum Musrenbang Desa.
Kenyataannya, koordinasi masih merupakan barang langka di negeri kita. Dengan demikian,
untuk menyambung saluran-saluran tersebut, masyarakat yang berpartisipasi perlu saling
berkoordinasi. Pers juga perlu terus-menerus mengingatkan hasil risalah dari masing-masing
Musrenbang, karena masyarakat kita mudah lupa.
Teknis Pelaksanaan Musrenbang

Sudah menjadi kewajiban Pers untuk mengingatkan, dan memfasilitasi kesinambungan usulanusulan maupun prioritas kebutuhan masyarakat. Berdasarkan pertimbangan UU No 40/1999

bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi
unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang demokratis,
hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang
diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

SIKLUS ANGGARAN
Dalam siklus anggaran, ada empat tahap yang membutuhkan peran serta masyarakat.
Tahap 1 Penyusunan Anggaran. Tahap ini merupakan tahap penyusunan anggaran.
Penentuan pagu anggaran dimulai dari rencana 5 tahunan berupa RPJMD (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan Renstra SKPD, maupun rencana tahunan
berupa RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) maupun Renja SKPD (Satuan Kerja
Pemerintah Daerah). Pada tahap ini, pemerintah daerah menyiapkan estimasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran. Selanjutnya, masyarakat dilibatkan untuk membuat dan menentukan
program prioritas, maupun prioritas pengeluaran, baik berdasarkan wilayah georgrafis, sektor,
maupun kelompok masyarakat. Ada sejumlah peluang untuk berpartisipasi dalam tahap formulasi
ini.
Masyarakat berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah, menentukan program, hingga
penyusunan prioritas anggaran baik melalui kontrol bersama dalam menentukan besarnya
anggaran dan sumber daya lainnya seperti staff dan perlengkapan. Dengan demikian, proses
pembuatan Ranwal (Rancangan Awal RPJMD) dilakukan oleh masyarakat bersama
pemerintah, sampai penyusunan usulan program dan anggaran. Metode ini dilakukan oleh
sekitar 100 kota di Brazil. Alternatif lainnya, pemerintah mempersiapkan dokumen Ranwal,
setelah itu melakukan konsultasi dengan masyarakat tentang isi anggaran. Pilihan kedua ini
lah yang dilakukan di Indonesia.
Untuk kasus Indonesia, partisipasi masyarakat masih terbatas dalam forum Musrenbang, dan
biasanya tidak sampai membahas tentang alokasi anggaran. Dalam RPJMD, yang harus
tersusun 3 bulan setelah pemilihan kepala daerah, pelibatan masyarakat masih terbatas
pada forum Musrenbang. Biasanya diadakan hanya dalam 1 hari saja, meskipun sebenarnya
bisa dilakukan lebih dari 1 hari dengan berbagai metode. Namun, dengan dalih keterbatasan
waktu dan dana, biasanya Bappeda tidak mau repot-repot melibatkan masyarakat.
Sementara itu, proses penyusunan RPJP masih memungkinkan pelibatan masyarakat lebih
dalam lagi. Baik mulai penggalangan visi, maupun prioritas program. Sayangnya, dengan
manajemen proyek, maka proyek RPJP ini sering kali dibatasi oleh tahun anggaran. Belum
lagi proses RPJP propinsi dan nasional yang masih tersendat. Metode yang digunakan
dalam Musrenbang tidak lebih dari sekedar presentasi program-program pemerintah. Level
partisipasi yang paling rendah. Bahkan partisipasi cenderung digiring ke dalam konteks edit
bahasa. Dengan menayangkan Ranwal melalui proyektor, partisipasi dijebak dalam konteks
yang lebih sempit. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi yang lebih tinggi tentunya
diperlukan fasilitator maupun metode yang mampu mengatasi konflik kepentingan,
mengingat semakin tinggi tingkat partisipasi, semakin tinggi risiko timbulnya konflik
kepentingan. Misalnya Visualisation in Paricipatory Programmes yang diterbitkan oleh Unicef
ataupun Technology of Participation versi USAID. Dalam perkembangannya, metode ini
sudah berkembang cukup pesat sesuai konteks lokal yang dihadapi. Misalnya, metode
partisipasi yang dikembangkan oleh Pusdakota, untuk Perencanaan Kampong Rungkut Lor,
ataupun perencanaan skenario RPJP Kota Surabaya dan Kota Kediri.
Tahap 2 Analisis. Tahap ini dimulai ketika anggaran dipresentasikan di depan dewan. Tahapan
dalam siklus ini memungkinkan kajian anggaran yang mendalam oleh DPRD, yang sering kali
sangat tergantung oleh situasi politik dan lingkungan kelembagaan. Dalam tahap ini, CSO bisa
berperan dalam menganalisis APBD, seperti yang telah dilakukan oleh IDASA di Afrika Selatan.
9

Kajian dilakukan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang tidak tersentuh oleh masyarakat luas
maupun legislatif, serta untuk menekankan implikasi kebijakan terhadap isu-isu kemiskinan. Pada
tahap ini, peran media masa sangat besar untuk menggalang opini masyarakat, maupun
menyalurkan suara advokasinya melalui dewan. Sayangnya, seringkali anggota dewan lebih
suka menghindar karena kuwalahan memenuhi kepentingan masyarakat yang sering kali
bersebrangan dengan kepentingan partainya. Atau memang banyak broker yang mencoba
mencari peruntungan dengan berusaha memeras anggota dewan ataupun pihak eksekutif.
Kunci dasar dalam membuat analisis anggaran ini adalah benchmark atau membandingkan
dengan anggaran lain dalam periode yang sama, dan dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Misalnya alokasi anggaran untuk seragam pegawai ataupun belanja alat tulis kantor sering kali
membengkak. Alokasi anggaran per dinas. Biasanya dinas pendidikan mempunyai porsi terbesar
dalam APBD, hal ini terkait jumlah guru yang banyak
Tahap 3 Pelacakan Alokasi Anggaran. Tahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi apakah
alokasi dana benar-benar efektif, efisien, tepat waktu, dan tepat sasaran setelah dewan
menyetujui APBD. Sebagai negara berkembang yang sistemnya masih dalam tahap penyusunan,
kehadiran bagi pemburu rente, penyaluran dana yang tersendat, maupun keterbatasan
kemampuan pemerintah menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan program-program
pemerintah, terutama yang menyangkut pemecahan masalah kemiskinan. Dalam konteks ini,
CSO dapat melakukan aktivitas, baik bekerja sama dengan pemerintah ataupun bebas tanpa
ikatan dengan pemerintah, untuk melacak aliran dana melalui jalur-jalur birokratis untuk
meyakinkan bahwa dana APBD tersebut benar-benar digunakan sesuai rencana. Peranan media
masa dalam publikasi terhadap tender-tender pengadaan barang dan jasa menjadi sangat
penting, mengingat sistem belum cukup kokoh sehingga peluang untuk memanipulasi tender
sangat besar.
Proses pelacakan alokasi anggaran ini biasanya dilakukan dalam periode satu tahun anggaran,
namun pelacakan perlu lebih intensif dilakukan pada akhir tahun karena banyak proyek
mendadak. Mungkin untuk sekedar menghabiskan anggaran. Beberapa proyek tidak sempat
terlaksana atau memang sengaja tidak dilaksanakan merupakan perilaku pemburu rente yang
harus dicermati, sementara pelaksanaan program dilakukan secara terburu-buru menjelang
laporan pertanggungjawaban membuat kualitas program menjadi asal-asalan. Bahkan ada
alokasi anggaran yang katanya untuk program pemberdayaan pemuda, dialihkan untuk
mendukung kegiatan olah raga, sepak bola misalnya. Beberapa program memang sengaja dibuat
umum dan tidak detail sehingga lebih memungkinkan untuk mengalihkannya untuk kepentingan
tertentu.
Tahap 4 Evaluasi Keberhasilan: Tahap akhir dalam siklus anggaran melibatkan kajian
terhadap indikator keberhasilan. Biasanya indikator keberhasilan yang ada dalam dokumen
perencanaan kurang jelas. Indikator keberhasilan seharusnya sudah terdapat dalam dokumen
perencanaan, baik itu RPJP, RPJMD, RKPD, ataupun Renja SKPD. Bahkan dalam setiap
program atau proyek ada form khusus yang membantu membuat indikator keberhasilan. Namun
demikian, karena ketidakjelasan indikator yang dibuat dalam proses perencanaan, maka evaluasi
keberhasilan pemerintah menjadi sulit dilakukan. Misalnya, pertumbuhan ekonomi, angka
pengangguran, maupun indeks kemiskinan seringkali menjadi angka-angka politis. Dalam
sebuah proses penentuan indikator sasaran, seorang fasilitator dari Bappeda sempat
mengungkapkan
kalau indikator sasaran tidak terpenuhi, memangnya ada risiko yang kita tanggung?
Paling-paling Bupatinya yang tidak terpilih. Kita kan nggak bakalan dipecat!
Elemen partisipasi dalam tahap ini adalah tanggapan masyarakat terhadap kualitas layanan
publik. Salah satu instrumen yang dapat dilakukan oleh CSO untuk mengumpulkan informasi ini
adalah melalui kartu laporan (report cards). Survey terutama dilakukan terhadap kelompok
masyarakat miskin.

10

PEMANGKU KEPENTINGAN UTAMA


Keberhasilan partisipasi sangat ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan tiga pelaku utama:
pemerintah, masyarakat, dan legislatif.

1. Pemerintah
Komitmen Pemimpin Daerah. Berdasarkan pengalaman Brazil dan Uganda, faktor utama yang
menentukan replikasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD adalah tingkat komitment
pemerintah daerah (Heiman, 2002). Komitmen inilah yang mampu merekonstruksi terwujudnya
wilayah publik dalam pengambilan keputusan. Ada tiga kecenderungan tipe pandangan
pemerintah terhadap partisipasi.
Proaktif. Pemerintah yang secara terang-terangan mempunyai komitmen terhadap partisipasi
sangat jarang, apalagi cukup radikal, seperti dalam konteks Porto Alegre. Pemerintah yang
radikal dalam menggalang partisipasi biasanya terkait dengan partai politik berhaluan kiri, seperti
Partai Pekerja (Workers Party) di Brazil. Dalam kasus lain, upaya menggalang partisipasi juga
dimotivasi oleh kepentingan untuk mengalahkan kelompok lain yang mempunyai kekuatan besar,
seperti partai politik yang dominan maupun gerombolan pengusaha.
Netral. Pada umumnya, pemerintah daerah cenderung memilih posisi yang aman-aman saja
ketika undang-undang mengamanatkan partisipasi dalam proses pembangunan, sehingga
partisipasi dilaksanakan untuk sekedar memenuhi syarat. Mereka sebenarnya menolak, tetapi
tidak berani terang-terangan. Dengan memanfaatkan media masa, proses partisipasi digembargemborkan, bahwa mereka sudah melaksanakan amanat undang-undang, namun kenyataannya
tidak pernah sungguh-sungguh mengimplementasikan partisipasi, sampai pada pengambilan
keputusan, apalagi yang menyangkut anggaran. Nggih-nggih ra kepanggih. Semoga saja seiring
dengan waktu, pemerintah daerah kita bisa belajar tentang manfaat partisipasi, seperti
meningkatnya arus informasi maupun meningkatnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat,
seperti yang terjadi dengan Uganda selama beberapa tahun terakhir ini.
Menentang. Beberapa pemerintah dengan tegas menentang partisipasi masyarakat atau
dewan dalam menentukan anggaran. Mereka melihat bahwa meningkatnya transparansi dan
akuntabilitas seperti yang dilakukan dalam participatory budget sebagai ancaman terhadap
kekuasaan mereka. Biasanya pemerintah ini sangat tertutup terhadap proses penyusunan
anggaran, dan membatasi akses masyarakat terhadap informasi tentang anggaran.
2. Civil Society
Sebagai jembatan antara masyarakat dengan institusi pemangku kepentingan yang terlibat
dalam pengambilan kebijakan publik, peran CSO dalam participatory budget cukup penting.
Menurut Kelompok Kerja Pengembangan Partisipasi OECD (1997), sistem pemerintah yang
teknokratis cenderung gagal membangun masyarakat yang demokratis, tanpa tuntutan
masyarakat yang efektif untuk meminta perubahan, yang ditunjukan melalui konstitusi lokal untuk
memberdayakan komunitas masyarakat akar rumput.
Dilema CSO. Meskipun tuntutannya sangat diharapkan untuk membuat suatu perubahan, tetap
saja ada sejumlah dilema dan kendala untuk mewujudkan pengelolaan anggaran publik berbasis
partisipasi.
a.

Sejauh mana sebaiknya CSO berkerja sama dengan pemerintah? Kerja sama CSO
dengan pemerintah seringkali memunculkan anekdot munculnya istilah CSO sebagai
boneka pemerintah, terutama keterlibatannya dalam anggaran publik. IDASA di Afrika
Selatan memilih mewujudkan anggaran publik berbasis partisipasi dengan proses
11

b.

c.

d.

bertahap, dengan bekerja sama dengan pemerintah, tentunya dengan tetap menjaga
haknya untuk tetap kritis (seperti yang diucapkan oleh direktur IDASA, Krafchik).
Biasanya CSO yang kritis akan mendapat jatah proyek dari pemerintah, setelah itu
diam. Mungkin memang tujuannya mendapatkan jatah dari hasil penjarahan APBD.
Namun menghadapi pemerintah yang apatis terhadap partisipasi, menjadi oposisi
merupakan strategi yang lebih jitu dan akan berdampak lebih besar, seperti pengalaman
Shultz di Amerika Latin.
Sejauh Mana CSO mewakili masyarakat? Pada tingkat nasional, partisipasi
membutuhkan seperangkat kemampuan yang tinggi untuk melakukan advokasi
kebijakan publik. Pada tahap ini, keberpihakan CSO terhadap komunitas miskin
dipertanyakan, karena mereka yang maju biasanya mempunyai kemampuan lebih dan
berasal dari kelas menengah. Dengan kemampuan untuk menganalisis anggaran,
misalnya seperti yang dilakukan IDASA di Afrika Selatan, berasal dari kelompok
masyarakat yang mempunyai latar belakan pendidikan cukup elit, bukan sekedar tinggi.
Biasanya mereka mempunyai hubungan yang erat dengan anggola dewan dan media
masa nasional, maupun dengan komunitas lokal.
Mengelola Konflik. Risiko munculnya konflik antar sektor maupun wilayah biasanya
muncul pada tahap penyusunan anggaran. CSO cenderung melakukan advokasi untuk
mendapatkan alokasi dana lebih banyak untuk isu atau sektor mereka. Semakin banyak
CSO yang dilibatkan, semakin banyak konflik kepentingan. Di lain pihak, dana APBD
sangat terbatas. Misalnya, alokasi APBN 2005 untuk untuk program pembangunan jika
dibagi dengan jumlah penduduk, masing-masing penduduk hanya mendapatkan alokasi
sekitar Rp 300 ribu per tahun. Demikian juga dengan APBD Kabupaten atau Kota, jika
dibagi rata masing-masing penduduk hanya mendapatkan jatah tidak lebih dari Rp
30.000 per bulan. Dengan demikian, perlu dilakukan prioritas pembangunan. Tentu saja
membangun kesepakatan untuk memeras alokasi APBD untuk program prioritas
memakan waktu dan energi yang besar. Tim perencana yang memfasilitasi proses ini
pun sering kali tidak bebas dari kepentingan, karena biasanya berasal dari Bappeda,
yang tentunya minta jatah proyek juga. Ketika gagal mengelola konflik, biasanya
partisipasi yang justru ditiadakan.
Kapasitas Kelembagaan. Sudah menjadi suatu syarat bagi pemangku kepentingan
yang terlibat dalam partisipasi, CSO harus mampu menyediakan input yang berharga
dalam penyusunan anggaran, analisis, pelacakan, dan evaluasi kinerja. Dengan
posisinya yang dekat dengan komunitas masyarakat, CSO mempunyai data yang cukup
akurat untuk memperjuangkan alokasi anggaran bagi masyarakat miskin. Meskipun
mempunyai akses langsung di masyarakat, biasanya CSO tidak mempunyai basis data
yang sistematis, sehingga bisa menjelaskan kebutuhan masyarakat luas. Misalnya,
CSO yang khusus mendampingi anak jalanan perlu mempunyai informasi tentang
jumlah anak jalanan, yang mampu menjelaskan fenomena perkembangan masalah
anak, solusi, maupun anggaran yang dibutuhkan. CSO yang berbasis pada petani, perlu
mempunyai informasi perkembangan jumlah petani miskin, termasuk fenomena sosial
ekonominya. Kebutuhan data baik dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif dibutuhkan
untuk menentukan kebutuhan besar anggaran, maupun menentukan prioritas program
pembangunan. Informasi ini akan lebih powerful apabila didukung oleh publikasi media
masa. Bahkan media masa sering kali mempunyai data yang lebih akurat dari pada
CSO. Misalnya, UDN di Uganda mensponsori program radio di beberapa district untuk
membahas kebutuhan anggaran dengan mengundang pejabat pemerintah. Di negara
miskin seperti Zambia, media masa yang lebih dikuasai oleh pemerintah saja bisa
mendukung partisipasi sampai tingkat mengidentifikasi kebutuhan anggaran.

3. Media
Media dapat diartikan sebagai saluran secara terorganisir untuk berkomunikasi antar individu
maupun antar kelompok. Beberapa bentuk media yang banyak dikenal adalah media cetak,
audio, video dan teknologi informasi baru yang. Ada dua perundang-undangan penting yang
mengatur media di Indonesia, yaitu UU Pers No. 40 tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 tahun
2002. UU Pers ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi pers yang menjamin

12

hak wartawan untuk mencari dan menyebarkan informasi. Selanjutnya, UU Penyiaran ini
membahas kepemilikan media dan membagi lembaga penyiaran ke dalam tiga kelompok, yaitu
Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Publik.
Dengan karakter kelembagaan tersebut, tugas berat pers dalam mewujudkan masyarakat yang
demokratis adalah mencerahkan (enlightment) dan memfasilitasi terlaksananya (engagement)
sistem anggaran berbasis partisipasi.
B. MODUS BARU MEDIA: JURNALISME PERENCANAAN-PENGANGGARAN BESERTA ANGLENYA
Isu-isu kritis dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan merupakan peluang strategis
media dalam rangka mengembangkan modus jurnalisme berbasis perencanaan dan
penganggaran. Yakni, jurnalisme yang secara khusus mengumpulkan data, mengembangkan
fakta-fakta berbahaya, memunculkan berita dari area tersembunyi, melakukan penelusuran
dokumen dan penelusuran nara sumber. Pengembangan modus Jurnalisme Perencanaan dan
Penganggaran merupakan salah satu solusi strategis untuk memecahkan masifnya asimetri
komunikasi dalam masyarakat dan meningkatkan fungsi kontrol dalam penyelenggaraan
pemerntahan daerah.
Salah satu alasan pentingnya dikembangkan modus Jurnalisme Perencanaan dan Anggaran,
karena isu tersebut kini sudah menjadi bagian dari pemberitaan media massa yang cukup
penting. Kasus-kasus penyalahgunaan wewengan dan korupsi seringkali berasal dari isu
anggaran.
Secara epistimologis, jurnalisme perencanaan dan penganggaran berada di bawah payung
jurnalisme investigasi. Wartawan adalah juga seorang peneliti kualitatif yang tidak terpatok
pada angka-angka, namun mampu menganalisis motif di balik rencana dan anggaran. Modus
jurnalisme perencanaan dan anggaran memungkinkan wartawan tidak hanya memandang bahwa
rencana pembangunan dan anggaran bukanlah semata-mata norma dan pemenuhan aturan, tapi
juga pertarungan elit politik.
Beberapa angle strategis yang dapat dikembangkan dalam pengembangan modus jurnalisme
perencanaan dan penganggaran adalah:
1. Di tingkat daerah harus terjadi integrasi antara perencanaan dengan penganggaran.
Integrasi dapat terjadi melalui dua hal yaitu: pertama, proses perencanaan dan
penganggaran dibuat dalam satu peraturan daerah, dan kedua adanya integrasi antara
satuan kerja yang mengkoordinir perencanaan dengan satuan kerja yang menggunakan
anggaran. Untuk isu yang pertama, baik UU No. 17/2003 maupun UU No. 25/2004 telah
menggariskan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai mekanisme Musrenbang
(perencanaan) dan mengenai penyusunan RKA-SKPD (penganggaran) diatur lebih lanjut
oleh peraturan daerah. Untuk itu peraturan daerah mengenai tata cara Musrenbang dan
RKA-SKPD diatur dalam satu perda, misalnya peraturan daerah tentang perencanaan
dan penganggaran daerah yang didalamnya mengatur baik mekanisme Musrenbang
maupun mekanisme RKA-SKPD. Sedangkan untuk isu kelembagaan, maka harus
diperpendek proses perencanaan ke proses penganggaran. Karena itu, maka peranperan lembaga ad hoc seperti panggar eksekutif atau peran Bagian Penyusunan
Program sebaiknya dikurangi atau dihilangkan. Proses penganggaran, sebaiknya
langsung dilakukan oleh SKPD sebagai pengguna anggaran. Kalaupun perlu koordinasi
dalam proses tersebut, dapat langsung dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan
Daerah, atau jika perlu daerah dapat melakukan inovasi untuk menggabungkan lembaga
perencana dengan lembaga pengelola anggaran, sehingga bisa dibentuk Badan
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah.
2. Merujuk pada empat paket UU tentang perencanaan dan penganggaran, maka ada dua
wahana yang tersedia bagi partisipasi masyarakat yaitu partisipasi masyarakat dalam
Musrenbang (proses perencanaan) dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan
RKA-SKPD (penganggaran). Karena waktu Musrenbang yang sangat singkat (kurang

13

lebih dua bulan), maka penyiapan dokumen pendukung Musrenbang menjadi sangat
penting. Untuk itu, karena sifatnya yang sudah sangat rinci, maka RKA-SKPD yang telah
disusun SKPD dapat dijadikan rujukan utama penyusunan Rancangan Awal SKPD yang
akan dijadikan bahan menyusun Renja-SKPD. Dengan demikian rencana RKPD yang
dibuat oleh Bappeda menjadi detail memuat kegiatan yang dapat dirujuk baik tempat
(spatial) maupun SKPD yang mengajukan usulan berikut anggaran yang diperlukan.
Dengan dokumen yang rinci tersebut, maka Musrenbang di tingkat desa, kecamatan, dan
kabupaten/kota jadinya hanya merupakan forum verifikasi dan penyesuaian kegiatan
yang telah ada dalam rancangan RKPD dan forum untuk menetapkan delegasi
masyarakat baik yang mewakili wilayah maupun sektor. Delegasi yang telah dipilih
tersebut selanjutnya dapat terlibat dalam proses penyusunan RKA-SKPD. Dengan
demikian maka penyusunan RKA-SKPD melibatkan SKPD (Eksekutif), DPRD (legislatif),
dan delegasi masyarakat. Agar delegasi ini dapat bekerja dengan baik, maka perlu
dipikirkan untuk menghimpun delegasi ini dalam satu wadah kelembagaan misalnya
komite/dewan partisipasi anggaran kota/kabupaten. Komite/dewan ini bersifat ad hoc
yaitu bekerja dalam jangka waktu satu tahun.
3. Untuk menghindari usulan kegiatan yang banyak dan skalanya kecil, maka Dana Alokasi
untuk Desa menjadi penting. Dana ini berupa block grant yang ditransfer dari kabupaten
kepada pemerintahan desa untuk mendanai program-program pembangunan dalam
skala desa. Dengan demikian program-program yang diajukan oleh desa adalah program
berskala kecamatan (lintas desa) dan kabupaten yang menjadi tanggung jawab
pemerintahan kota/kabupaten. Dengan skema seperti ini, maka Musrenbang kecamatan
menjadi sangat penting. Musrenbang kecamatan merupakan elevator untuk
menghubungkan problem di tingkat wilayah ke program SKPD (sektoral). Agar usulan di
tingkat wilayah (desa dan Kecamatan) dapat langsung diterjemahkan ke sektor, maka
daerah sebaiknya membentuk forum-forum SKPD terutama untuk SKPD yang
menjalankan fungsi pelayanan dasar dan fungsi-fungsi prioritas pengembangan
Kota/Kabupaten. Anggota forum adalah delegasi yang mewakili kecamatan dan
stakeholders yang memiliki perhatian dan kompetensi dalam isu-isu sektor yang menjadi
tanggung jawab SKPD.
4. SK Bupati/Walikota mengenai penjabaran dan pelaksanaan APBD menjadi sangat
strategis, terutama sebagai instrumen untuk transparansi anggaran. Karena itu SK
Bupati/Walikota harus ditempatkan sebagai standar prosedur operasi (SPO) bagi
pelaksanaan APBD. SK Bupati/Walikota harus diumumkan kepada publik dan memuat
secara rinci mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan (termasuk mekanisme tender),
jenis dan besaran dana kegiatan, tempat dilaksanakan kegiatan, lembaga yang
melaksanakan, siapa yang bertanggung jawab sebagai pimpinan proyek dari kegiatan
tersebut, dan prosedur pengajuan keluhan dari masyarakat terhadap program atau
lembaga yang melaksanakan prgram.
5. Sebagai konsekwensi dari sistem perencanaan dan penganggaran daerah yang
ditetapkan oleh UU No. 17/2003 dan UU No. 25/2004 maka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan rencana dan anggaran ada di Bappeda dan SKPD. Untuk itu, maka peran
Bagian Pembangunan/Penyusunan Program di Setwilda/Setda harus diambil alih oleh
kedua lembaga tersebut. Ini penting untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan rencana
dan anggaran. Yang penting harus dikembangkan adalah, hendaknya monitoring dan
evaluasi tidak hanya sebatas pengisian dokumen LAKIP (Laporan Akuntabilitas
Kegiatan Instansi Pemerintah), melainkan juga harus dikembangkan metode
monitoring dan evaluasi yang berorientasi pada kinerja yang dinilai oleh pengguna. Untuk
itu pemerintah perlu melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap program-program
yang dilaksanakan. Selanjutnya hasil monitoring dan evaluasi yang menyerap aspirasi
masyarakat dapat dijadikan input bagi proses penyusunan RKPD, Arah Kebijakan,
Proses Musbangdes, forum-forum sektoral, dan Renstra.

14

6. Perencanaan dan penganggaran yang pro-poor telah menjadi perhatian sangat luas
sejak tahun 1990-an. Perhatian terhadap isu ini dipicu terutama oleh adanya perbedaan
peran pemerintah dari sisi normatif dengan kecenderungan perkembangan masyarakat
di berbagai belahan dunia. Secara normatif, apapun dasar ideologinya, tugas pemerintah
sangat jelas yaitu menciptakan kesejahteraan dan menghindari ketimpangan
pendapatan. Tetapi dalam praktek peran negara dalam dua bidang tersebut justru paling
terabaikan. Di banyak negara, berbagai instrumen pembangunan yang dirancang negara
justru menyebabkan pemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang luar biasa.
Beberapa angle yang perlu ditindaklanjuti dalam investigasi meliputi:
1)
Mengidentifikasi siapa orang miskin. Dibutuhkan informasi terbaru mengenai
tingkat, intensitas, dan tipe-tipe ketercerabutan yang me-nyebabkan kemiskinan.
2)

Anggaran pro-poor dapat dicapai dengan memberikan perhatian yang khusus


mengenai prioritas dan kategori spesifik yang dibutuhkan orang miskin.

3)

Anggaran yang pro-poor tidak berarti hanya mengalokasikan anggaran dalam


sektor-sektor sosial/ pelayanan publik yang bersifat dasar. Juga penting untuk
memikirkan bagaimana alokasi anggaran dapat sampai pada target sasaran
(bukan hanya alokasi tetapi juga instrumen kelembagaan).

4)

Agar upaya pengurangan kemiskinan efektif, alokasi anggaran lebih baik bersifat
langsung ketimbang tidak langsung. Ini dapat mengurangi ketimpangan
pendapatan dan membantu pertumbuhan ekonomi.

5)

Proses penganggaran harus partisipatif. Anggaran tidak hanya ditentukan atas


pertimbangan-pertimbangan sedikit orang di pemerintahan atau didunia bisnis,
melainkan diproses melalui mekanisme yang bottom-up.

6)

Desentralisasi dalam sistem anggaran sangat ideal, karena memberikan


kemungkinan bagi warga di tingkat lokal untuk menyuarakan dan mempengaruhi
kebijakan anggaran.

7)

Anggaran yang pro-poor mensyaratkan mekanisme pelaporan yang


memungkinkan pihak-pihak di luar pemerintahan dapat menelusuri belanja
pemerintah.

1. Titik Kritis Mekanisme Pengelolaan Anggaran Daerah yang Perlu Dikritisi oleh Media
a. Proses Penyusunan Anggaran
Ketika proses konsultasi program pembangunan hanya bisa diadakan dalam forum Musrenbang,
itu pun dibatasi dalam waktu satu-dua hari, dan hanya bisa menapung sekitar 300 orang yang
didominasi (80%) oleh pegawai Pemda, Musrenbang nampaknya belum pantas disebut
partisipasi publik. Apalagi mekanismenya hanya mampu untuk mengumpulkan usulan program
sebanyak-banyaknya tanpa mampu menentukan prioritas dan alokasi anggaran. Musrenbang
hanyalah arisan cangkem, tanpa strategi yang jelas. Pers punya potensi kemampuan untuk
membuka selubung partisipasi jadi-jadian ini, dengan melibatkan sebanyak mungkin
masyarakat.
Dengan kemampuannya menjangkau masyarakat luas, baik melalui radio, televisi, koran,
internet, dan media lainnya, partisipasi yang elitis sangat mungkin untuk dibongkar. Melibatkan
media dalam memfasilitasi proses musrenbang akan memungkinkan efektivitas partisipasi. Jadi
proses musrenbang bukan hanya terbatas di ruang pendopo kabupaten atau walikota saja.
Tantangan besar bagi mass media adalah memfasilitasi masyarakat mengusulkan program

15

prioritas dengan alokasi kebutuhan anggaran dengan hasil yang bisa terukur. Tentu saja
tantangan ini tidak mudah mengingat adanya beberapa kendala besar.
o

Akses kelompok marginal. Meskipun radio dan televisi sudah bukan lagi menjadi barah
mewah, masyarakat yang mempunyai akses partisipasi terhadap media masih saja
terbatas pada kelompok menengah. Sebagian besar masyarakat cenderung pasif atau
dibuat pasif.

Tingkat partisipasi. Sebagai fasilitator proses partisipasi, media perlu membawa


masyarakat sampai ke tahap keputusan yang penting, yaitu prioritas program dan alokasi
anggaran. Biasanya partisipasi hanya berputar pada usulan program, tanpa prioritas dan
alokasi anggaran yang jelas. Target yang dihasilkan pun cenderung tidak jelas dan tidak
terukur. Padahal semakin banyak program, semakin kecil alokasi anggaran, sehingga
pelaksanaannya tidak optimal.

b. Proses Analisis
Angin demokrasi telah membuka wacana bahwa diskusi kebijakan publik antara eksekutif dan
dewan bisa diliput oleh media. Namun demikian, pendekatan-pendekatan informal sering kali
lebih lebih dominan dalam mengubah arah kebijakan publik, maupun alokasi sumber daya seperti
APBD. Peran pers untuk membuka tabir hubungan tidak sehat antara pemerintah dan dewan
sangat dibutuhkan untuk membangun proses demokrasi. Tantangan media masa adalah
mengawal program prioritas untuk mendapatkan persetujuan alokasi anggaran yang memadai.
c. Proses Pengawasan
Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, publikasi program-program pemerintah yang
tidak terlaksana, ataupun kurang tepat waktu menjadi sumber berita yang diharapkan dapat
memungkinkan pertanggungjawaban penggunaan dana masyarakat lebih baik lagi. Misalnya,
program sertifikasi guru yang belum dilaksanakan Depdiknas. Ataupun alokasi vocer pendidikan
untuk anggota dewan.
Dengan adanya prioritas untuk sektor pendidikan, alokasi anggaran yang mendadak menjadi
cukup besar membuat aparat pemerintah sering kali kualahan menggunakan dana tersebut.
Memang ada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan, seperti BPKP ataupun Bawas,
namun lembaga-lembaga tersebut sering kali tidak lepas dari masalah kelembagaan, sehingga
keberadaannya seringkali tidak berpihak pada masyarakat. Hubungan personal dengan
pemerintah seringkali membuat kinerja mereka tidak obyektif.
d. Pengukuran Kinerja
Setiap tahun, pengukuran kinerja bisa dilakukan pers dengan mempublikasikan kinerja
pemerintah dengan membandingkan target-target yang sudah ditentukan dalam dokumen
perencanaan, baik dalam tahap satu tahunan maupun 5 tahunan. Beberapa trik yang dilakukan
pemerintah biasanya membuat indikator kinerja tidak bisa terukur. Berikut ini contoh-contoh
indikator yang terukur
-

Kabupaten Pacitan bebas busung lapar sebelum 2008. Surabaya bebas banjir sebelum
2009. Wajib belajar 9 tahun mencapai 100% anak usia sekolah di Bangkalan sebelum
2009.

Upaya untuk selalu mengingatkan hasil kesepakatan indikator sasaran biasanya dilakukan oleh
pers, karena pemerintah cenderung tidak mau melakukan evaluasi diri, sedangkan masyarakat
kita cenderung pelupa. Pada 1980-an lalu, pertemuan pemimpin dunia yang dilakukan di
Bangkok telah menghasilkan kesepakatan bahwa pendidikan untuk semua (education for all)
akan dicapai pada tahun 2000. Kenyataannya, masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat
sekolah, termasuk Indonesia yang dikategorikan sebagai negara berkembang (bukan negara
miskin). Kegagalan tersebut menghasilkan kritik-kritik pedas, entah target tersebut dibuat terlalu
muluk ataupun memang pemerintah tidak punya komitmen untuk mewujudkan target tersebut.
16

Bagi pihak pemerintah yang bertanggung jawab memenuhi hak warga negaranya, biasanya
cenderung mengurangi target untuk tahun-tahun berikutnya, selain menyalahkan kurang
partisipasi masyarakat ataupun keterbatasan dana. Paling tidak, peranan pers untuk
mengingatkan pencapaian target tersebut menjadi agenda refleksi setiap tahun.

17

Anda mungkin juga menyukai