Anda di halaman 1dari 17

CAUTI (Catheter Assosiated-Urinary tract Infection)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kateter urine merupakan sebuah alat berbentuk pipa yang
dimasukkan ke dalam uretra menuju kandung kemih dengan tujuan untuk
mengeluarkan

urine.

Proses

atau

tindakan

mengeluarkan

urine

menggunakan kateter disebut kateterisasi urine. Kateterisasi urine


dilakukan apabila urine tidak dapat dikeluarkan secara alami dan harus
dialirkan keluar secara artifisial. Tindakan kateterisasi urine dapat menjadi
tindakan yang menyelamatkan jiwa. Sebaliknya, keberadaan kateter di
dalam saluran kemih merupakan benda asing dan menghasilkan suatu
reaksi dalam mukosa uretra dengan pengeluaran sekret uretra. Sekret
uretra dapat menyumbat duktus periuretralis dan mengiritasi mukosa
kandung kemih. Kondisi mukosa yang iritasi tersebut akan menjadi jalur
artifisial untuk masuknya bakteri dari uretra ke dalam kandung kemih
(Smeltzer & Bare, 2008).
Normalnya kandung
pertahanan

sterilitas

kemih

terhadap

akan

bakteri

melakukan

yang

masuk.

mekanisme
Mekanisme

pertahanan kandung kemih melalui aliran urine, kepatenan sambungan


uretrovesikal, barier fisik uretra, berbagai enzim anti bakteri dan antibody,
serta karakteristik anti bakteri urine. Mekanisme ini menyebabkan
kandung kemih dapat bersih dari bakteri selama 2 hari pemasangan
kateter urine (Price & Wilson, 2006). Kondisi menurunnya sebagian besar
daya tahan alami pada saluran kemih inferior akibat pemasangan kateter
dapat mengganggu mekanisme normal tersebut. Akibatnya terjadi
perlengketan bakteri pada mukosa kandung kemih (Smeltzer & Bare,
2008).
Smith (2003) melaporkan pemasangan kateter dilakukan lebih dari
lima ribu pasien setiap tahunnya, dimana sebanyak 4% penggunaan
kateter dilakukan pada perawatan rumah dan sebanyak 25% pada
perawatan akut. Sebanyak 15-25% pasien di rumah sakit menggunakan
kateter menetap untuk mengukur haluaran urin dan untuk membantu
pengosongan kandung kemih. Namun demikian pada pemasangan

kateter ini juga terdapat komplikasi yang sering timbul antara lain : a)
adanya iritasi pada saluran kandung kencing akibat terlalu lama memakai
kateter atau karena masuk kuman mikroorganisme e coli, b) Adanya
perdarahan akibat adanya iritasi atau penekanan, gesekan dari selang
kateter, c) Adanya infeksi saluran kemih (ISK) akibat dari terlalu lama
pemasangan kateter, kurang perawatan kateter, kurangnya kebersihan
pada

daerah

pemasangan

kateter

selama

pemasangan

kateter

(European Association of Urology Nurses, 2012).


Penyakit infeksi saluran kemih merupakan penyakit infeksi yang
banyak ditemukan di tempat pelayanan kesehatan. Angka kunjungan
rawat jalan pasien infeksi saluran kemih di rumah sakit Amerika Serikat
mencapai lebih dari 8 juta pertahun dan menghabiskan biaya USD 500
milyar tiap tahunnya (Hooton, et al., 2010). Pasien rawat inap yang
mengalami infeksi saluran kemih pada beberapa rumah sakit di Amerika
Serikat dan Eropa menempati urutan pertama (42%), disusul infeksi luka
operasi (24%) dan infeksi saluran napas (11%) (Soewondo, 2007).
Kejadian infeksi saluran kemih meningkat seiring dengan penuaan dan
ketidakmampuan dalam perawatan diri. Mayoritas kasus infeksi saluran
kemih ini didominasi oleh perempuan (Hooton et al, 2010).
Di Indonesia, kejadian infeksi saluran kemih pada penderita yang
dirawat di rumah sakit banyak diakibatkan oleh infeksi yang didapat di
rumah sakit. Dari sejumlah kejadian infeksi yang didapat di rumah sakit,
terdapat 35-45% mengalami infeksi saluran kemih. Pada pasien yang
terpasang kateter urine indwelling ditemukan bakteriuria sebesar 3-10%
perhari (Soewondo, 2007). Hasil penelitian Fitriani (2007) di RSUD
Pandan Arang bahwa pasien yang menggunakan kateter urine pada hari
ke-7 mengalami bakteriuria sebanyak 60,42%. Insidens bakteriuria paling
banyak disebabkan oleh kuman E. Coli (31,03%), dan klebsiela (51,72%)
(Fitriani, 2007).
Target strategi pada pencegahan terjadinya infeksi akibat
kateterisasi mencakup pembatasan penggunaan kateter urine indwelling
dan durasi pemakaian, penggunaan teknik aseptik pada pemasangan
keteter dan perawatan selama kateter urine terpasang (Shuman &
Chenoweth, 2010). Beberapa hal tentang perawatan kateter urine
indwelling

untuk

mengurangi

terjadinya

bakteriuria

telah

direkomendasikan oleh American Association of Critical Care Nurses

(AACN). Rekomendasi AACN tersebut adalah mengetahui indikasi kateter


urine indwelling, menggunakan teknik aseptik dengan peralatan steril
untuk memasukkan alat, melakukan perawatan meatus uretra dengan
rutin menggunakan sabun dan air, dan perawatan dengan sistem tertutup
(Hooton et al, 2010). Dengan demikian pelaksanaan perawatan kateter
urine indwelling dimulai sejak dilakukan insersi hingga kateter urine
indwelling dilepas.
Jika didapatkan clinically feasible pemberian antibiotik dapat
ditunda sampai dengan hasil kultur urin diperoleh. Terapi empirik dimulai
pada penderita dengan gejala klinis yang berat. Pilihan antibiotik pada
terapi empirik perlu memperhatikan faktor individu, toleransi terhadap
antibiotik, presentasi gejala klinis, penggunaan antibiotik sebelumnya,
hasil kultur urin sebelumnya, serta mengetahui pola kuman dan uji
kepekaan didaerah penderita berada (Nicolle LE, 2005).
Berdasarkan fenomena tersebut maka penulis menyarankan
prosedur pemasangan, perawatan, dan pelepasan kateter urin sesuai
dengan evidence based nursing yang telah terbukti efektivitas dan
efisiensi penggunaannya dalam menurunkan angka kejadian infeksi
saluran kemih akibat kateterisasi urin yang tidak tepat.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana kondisi pemasangan, perawatan, dan pelepasan kateter
-

sampai saat ini?


Bagaimana permasalahan kejadian dan upaya penanganan CAUTI?
Bagaimana solusi yang ditawarkan berdasarkan evidence based jurnal?

1.3 Tujuan
- Mengetahui kondisi pemasangan, perawatan, dan pelepasan kateter
-

sampai saat ini


Memahami permasalahan kejadian dan upaya penanganan CAUTI
Merekomendasikan solusi yang ditawarkan berdasarkan evidence based
jurnal

1.4 Manfaat
- Bagi pasien
Pasien diharapkan dapat terhindar dari bahaya infeksi atau sepsis yang
diakibatkan karena katerisasi urin yang kurang tepat. Selain itu pasien
dapat merasakan kepuasan dan kenyamanan terhadap katerisasi dengan
perawatan yang baik, sehingga mencapai kesembuhan optimal sesuai
-

dengan indikasi pemasangan kateter.


Bagi klinik

Dunia klinik mendapatkan pengetahuan dan skill yang baru tentang


prosedur preventif dalam mencegah terjadinya ISK yang berhubungan
dengan kateterisasi urin. Aplikasi kateterisasi urin yang baik sesuai
dengan program yang ada di RS dalam mengendalikan infeksi sehingga
mengoptimalkan kinerja perawat sesuai dengan panduan prosedur yang
-

jelas terhadap penanganan ISK


Bagi mahasiswa kesehatan
Mahasiswa kesehatan sebagai agen perubahan diharapkan menjadi
promotor dalam aplikasi ilmu keperawatan yang baru untuk memperbaiki
kinerja perawat sehingga mengoptimalkan efisiensi beban kerja perawat
dan pembiayaan perawatan yang harus dikeluarkan pasien akibat ISK

yang terjadi secara nosokomial.


Bagi institusi pendidikan
Institusi pendidikan mendapatkan pengetahuan baru dari praktek
lapangan di klinik yang sesuai dengan pembahasan teori sehingga bisa
digunakan sebagai bahan materi dalam memberikan pendidikan kepada
mahasiswa keperawatan yang akan menjadi generasi penerus di dunia
keperawatan untuk menjadi lebih baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kateter Urin
2.1.1 Definisi
Kateter adalah sebuah alat berbentuk pipa yang dimasukkan ke dalam
kandung kemih dengan tujuan untuk mengeluarkan urine. Kateterisasi urine
adalah tindakan memasukkan alat berupa selang karet atau plastik melalui uretra
ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan urine (Hooton et al, 2010).

Menurut Hooton et al (2010), jenis-jenis pemasangan kateter urine terdiri


dari kateter indwelling, kateter intermitten, dan kateter suprapubik. Kateter
indwelling biasa juga disebut retensi kateter/folley kateter indwelling yang dibuat
sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kandung kemih. Kateter
indwelling adalah alat medis yang biasanya disertai dengan penampungan urine
yang berkelanjutan pada pasien yang mengalami dysfungsi bladder. Kateter jenis
ini lebih banyak digunakan pada perawatan pasien akut dibanding jenis lainnya
(Newman, 2010).
Kateter intermitten digunakan untuk jangka waktu yang pendek (5-10
menit) dan klien dapat diajarkan untuk memasang dan melepas sendiri. Kateter
suprapubik kadang-kadang digunakan untuk pemakaian secara permanent. Cara
memasukan kateter dengan jenis ini dengan membuat sayatan kecil diatas
suprapubik.
2.1.2 Tujuan
Penggunaan kateter urine indwelling dengan tujuan untuk menentukan
perubahan jumlah urine sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air
kecil, memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine, menghasilkan
drainase pasca operatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, dan
memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat (Hooton et
al, 2010; Makic et al, 2011)
2.1.3 Indikasi dan kontraindikasi
Kateterisasi

dapat

menjadi

tindakan

yang

menyelamatkan

jiwa,

khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan
urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk
menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien
buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin,
untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina
atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin
setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2005).
Menurut Charlene, dkk (2001), ada 8 indikasi penggunaan kateter yaitu:
untuk menyembuhkan retensi urin, mengurangi tekanan pada kandung kemih,
memudahkan pengobatan dengan operasi, mempercepat pemulihan jaringan
setelah operasi, memasukkan obat kedalam kandung kemih, mengukur output
urin secara tepat, mengukur output residual, memvisualisasikan struktur anatomi

secara radiografis. Kateterisasi kandung kemih mencakup pemasangan selang


karet

atau

plastik

melalui

uretra

ke

dalam

kandung

kemih.

Kateter

memungkinkan aliran kontinu pada pasien yang tidak mampu mengontrol


perkemihan atau pada mereka yang mengalami obstruksi aliran perkemihan
(Perry, dkk, 2010). Kozier (2010) menyebutkan kontra indikasi pemasangan
kateter yaitu: adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe
dan pendarahan pada uretra.
2.1.4 CAUTI (Definisi, Penyebab, dll)
Kateterisasi merupakan tindakan memasukkan selang plastik atau karet
melalui uretra ke dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2005). Pemasangan
kateter semakin lama akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada
traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi
mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman
(mikroba patogen) ke dalam kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2005). Kemudian
mikroba patogen tersebut akan berkembang biak maka akan mengakibatkan
kerusakan

serta

gangguan

fungsi

organ

semakin

luas

yang

akhirnya

memunculkan manifestasi klinis yang signifikan untuk diagnosis infeksi saluran


kemih (Darmadi, 2008).
Infeksi saluran kemih menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di
rumah sakit. 80% dari infeksi saluran kemih disebabkan oleh kateter uretra.
Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter (catheter-associated urinary
tract infections/CAUTIs) terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam kandung
kemih dengan jalan berenang melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara
dinding.kateter dengan mukosa uretra, sebab lain adalah bentuk uretra yang sulit
dicapai oleh antiseptik. Sehingga pasien yang mengalami infeksi saluran kemih
akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan yang lebih lama dari
yang seharusnya sehingga biaya perawatan akan menjadi bertambah dan
masalah ini juga dapat memperburuk kondisi kesehatan klien, bahkan dapat
mengancam keselamatan jiwanya (Darmadi, 2008).
Tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya
infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter adalah dengan
melakukan higiene perineum, perawatan kateter, pemantauan drainase urin dan
memberikan informasi kesehatan kepada pasien tentang hal-hal yang dapat

mendukung kelancaran drainase urin yang sekaligus akan mencegah terjadinya


infeksi pada saluran kemih (Smeltzer & Bare, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk (2011) tentang Faktor- Faktor
Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien
Rawat Inap Usia 20 Tahun Ke Atas Dengan Kateter Menetap di RSUD Tugurejo
Semarang diperoleh hasil terdapat pengaruh antara lama penggunaan kateter
dengan kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada pasien yang menggunakan
kateter menetap (p value = 0,0001), dengan RP 81,00 artinya pasien dengan
lama penggunaan kateter >3 hari memiliki peluang untuk mengalami ISK sebesar
81 kali dibandingkan dengan pasien yang menggunakan kateter >3 hari, ada
pengaruh antara perawatan kateter dengan kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK)
pada pasien yang menggunakan kateter menetap (p value =0,009), dengan nilai
RP 19,00 yang berarti bahwa pasien dengan pemasangan kateter yang
kateternya tidak dirawat secara rutin setiap hari mempunyai peluang 19 kali
untuk

mengalami

kejadian

ISK

dibandingkan

dengan

pasien

dengan

pemasangan yang kateternya dirawat secara rutin.


2.2 Kondisi Pemasangan, Perawatan, dan Pelepasan Kateter Sampai Saat
Ini (Sop Yang Sudah Ada)
2.2.1 Pemasangan kateter
2.2.2 Perawatan kateter
PENGERTIAN

SOP PERAWATAN KATETER


Melakukan tindakan perawatan pada
daerah genetal pria yang
terpasang kateter

TUJUAN

1. Mencegah infeksi
2. Memberikan rasa nyaman

ALAT DAN BAHAN

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bak instrument steril berisi lidi kapas


Sarung tangan steril
Desinfektan
Air hangat, waslap, handuk
Perlak dan pengalas
Bengkok

PROSEDUR PELAKSANAAN

A.
1.
2.
3.

Tahap PraInteraksi
Mengecek program terapi
Mencuci tangan
Menyiapkan alat

B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam pada pasien dan
sapa nama
pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur
pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapan
pasien
C. Tahap Kerja
1. Memasang sampiran/menjaga
privacy
2. Menyiapkan pasien dengan posisi
dorcal recumbent
dan melepaskan pakaian bawah pasien
3. Memasang perlak, pengalas
4. Memakai sarung tangan
5. Membersihkan genetalia dengan air
hangat
6. Memastikan posisi kateter terpasang
dengan benar
(menarik dengan hati-hati, kateter tetap
tertahan
7. Memberikan desinfektan dengan lidi
kapas pada
ujung penis
8. Melepas pengalas dan sarung
tangan
9. Merapikan pasien
D. Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi tindakan yang baru
dilakukan
2. Merapikan pasien dan lingkungan
3. Berpamitan dengan klien
4. Membereskan dan kembalikan alat
5. Mencuci tangan
6. Mencatat kegiatan dalam lembar
catatan
keperawatan

2.2.3 Pelepasan kateter


2.3 Permasalahan Kejadian dan Upaya

Penanganan CAUTI

(Detail

Epidemiologi, Teori Pendukung Pencegahan dan Penanganan)


Terapi oral diberikan pada penderita ISK simtomatik yang sering
kambuh, sedangkan terapi parenteral diberikan untuk penderita yang

tidak tolerable terhadap terapi oral, penderita dengan gannguan absorbs


gastro-intestinal, penderita dengan hemodinamik yang tidak stabil atau
penderita yang sudah diketahui kuman penyebab infeksi. Terapi
dianjurkan selama 7 hari untuk penderita ISK bawah simtomatik dan 7-10
hari untuk penderita ISK atas simtomatik atau penderita dalam keadaan
sepsis (Nicolle LE, 2005).
Penelitian Parry et al (2013) di Stamford Hospital menunjukkan
terjadi penurunan infeksi yang berhubungan dengan penggunaan kateter
urin indwelling secara signifikan sebesar 3,3% per bulan selama periode
36 bulan dilaksanakannya program yaitu nurse-directed catheter removal
protocol. Protokol tersebut berisi daftar (paper checklist) kriteria-kriteria
pelepasan kateter yang bertujuan untuk menurunkan penggunaan kateter
urin dan angka kejadian CAUTI.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pemasangan Kateter
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu efek samping dari
pemasangan keteter dan menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di
rumah sakit. Sekitar 80% dari infeksi saluran kemih disebabkan oleh kateter
uretra. Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter terjadi karena
kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang
melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding.
Berdasarkan rekomendasi Oman, 2011, beberapa hal yang harus
diperhatikan agar infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter tidak
terjadi antara lain :
1. Membersihkan area genitalia pasien dengan pembersih aseptik sebelum
memasang kateter. Proses ini penting untuk mencegah bakteri atau
kuman masuk saat proses pemasangan kateter.
2. Sarung tangan non-steril digunakan untuk membersihkan area genital
dan sarung tangan steril digunakan saat insersi kateter. Prinsip steril
dalam pemasangan kateter ini bertujuan untuk meminimalkan terkadinya
infeksi akibat pemasangan kateter.
3. Saat kateter telah terpasang, pastikan fiksasi kuat untuk menghindari
iritasi, inflamasi dan infeksi saluran kemih. Dengan melakukan fiksasi
yang benar, maka risiko terjadinya iritasi pada pasien hingga infeksi juga
dapat diminimalkan. Selain itu, pasien juga akan merasa nyaman.
Prinsip pemasangan kateter beberapa rungan di RSSA sebagian besar
tidak berpatokan sesuai dengan SOP yang sudah dibuat. Prinsip steril dan
non steril dalam pemasangan kateter sering kali terabaikan dan fiksasi
kateter hanya menggunakan plester saja sehingga fiksasinya pun kurang
kuat. Selain itu pemberian label tanggal pada selang kateter sering
dilupakan. Padahal itu sangat penting untuk menentukan durasi penggunaan
kateter dan menentukan penggantian kateter jika terlalu lama. Durasi yang
baik untuk pemasangan kateter dalam pencegahan CAUTI adalah 1 minggu.

3.2 Perawatan Kateter


Berdasarkan rekomendasi Oman, 2011, beberapa hal yang harus
diperhatikan agar infeksi saluran kemih tidak terjadi akibat pemasangan
kateter yaitu dengan perawatan rutin tiap hari. Perawat sebagai care giver
hendaknya melakukan perawatan pada pasien yang terpasang kateter guna
mengurangi terjadinya risiko infeksi saluran kemih yang umum terjadi pada
pasien yang memakai kateter. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam
perawatan kateter antara lain :
1. Pembersihan area genital dilakukan tiap hari atau sesuai dengan
kebutuhan, misalnya setelah pasien BAB dan pembersihan area tersebut
bisa menggunakan alat mandi biasa
2. Fiksasi dengan menggunakan Statlock
3. Posisi urobag harus berada di bawah saluran kemih
4. Foley bag harus di kosongkan setiap 8 jam, atau ketika sudah penuh 2/3
atau pasien akan dikirim ke ruangan lain
5. Jika kateter terpasang lebih dari 2 bulan, sediakan waktu untuk
mengingatkan

tenaga

kesehatan yang

bertugas

agar

senantiasa

mengevaluasi kateter yang terpasang.


6. Setiap ada prosedur pemasangan kateter pada pasien, pastikan terlebih
dahulu indikasi dari pemasangan kateter pada pasien. Pemasangan
kateter tidak berlaku pada pasien dengan keterbatasan mobilitas, nyeri
yang tidak terkontrol, permintaan pasien atau demi kenyamanan perawat
atau pasien atau pencegahan rusaknya integritas kulit.
7. KIE kepada keluarga untuk selalu memperhatikan posisi kateter,
karakteristik urin yang keluar, dan keluhan yang dirasakan klien. Apabila
tampak kelainan sesuai dengan edukasi yang diberikan diharapkan
segera melapor ke tenaga kesehatan di ruang perawatan terkait agar
meminimalisir terjadinya CAUTI.
Fiksasi yang adekuat dapat meminimalkan terjadinya pergerakan pada
uretra yang dapat menimbulkan iritasi dan terjadinya proses infeksi. Fiksasi
yang adekuat juga diperlukan untuk memastikan ketepatan posisi kateter
guna menurunkan erosi uretra, spasme bladder, dan trauma (Darouiche et
al., 2005; National Healthcare Safety/NHS, 2013). Aplikasi Statlock saat ini

telah banyak digunakan pada fiksasi kateter urin (Oman, 2011). Sebuah
prospective, randomized clinical trial menunjukkan penggunaan statlock
untuk fiksasi kateter vena sentral secara signifikan menurunkan insidensi
infeksi pembuluh darah akibat pemasangan kateter (catheter-related
bloodstream infection) (Darouiche et al., 2005). Penelitian Darouiche et al
(2005) tentang aplikasi Statlock pada kateter urin dalam menurunkan
kejadian CAUTI menunjukkan bahwa aplikasi Statlock dapat menurunkan
angka gejala UTI sebesar 45% pada pasien dengan pemasangan kateter
urin. Pada fiksasi balon kateter, National Healthcare Safety (2013)
merekomendasikan cuff balon kateter sebesar hanya 10 ml untuk mencegah
iritasi pada bladder dan menurunkan residu urin serta ketidaknyamanan.

STATLOCK Foley Catheter Stabilization Device

Statlock memiliki fungsi diantaranya:


-

Meminimalkan kejadian pergeseran kateter

Secara kuat memfiksasi kateter pada tempatnya

Memudahkan pergerakan pasien

Bebas Latex dan steril (Darouiche et al., 2005)

Saat ini di RSSA tidak tersedia aplikasi Statlock, dengan demikian diperlukan
suatu modifikasi. Modifikasi Statlock dapat dilakukan dengan menggunakan

plester yang perlu diganti secara regular sehingga perekatan tetap terjaga.
Perlu diamati pula reaksi alergi pasien terhadap plester.
3.3 Pelepasan Kateter
Selain pemasangan dan perawatan kateter, terdapat juga protokol
pelepasan kateter atau hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelepasan
kateter, diantaranya (Oman, 2011) :
1. Sebelum dilakukan pelepasan kateter dilakukan bladder training untuk
melatih reflek simpatis terhadap pengeluaran urin pasien secara normal.
KIE dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien dan keluarga
diharapkan dapat memulihkan kondisi klien seperti semula.
2. Ketika kateter dilepas, jika pasien tidak BAK dalam 4-6 jam, gunakan
bladder scanner untuk menentukan volume urin dalam kandung kemih.
Pasang kembali kateter jika volume urin dalam kandung kemih lebih dari
500 ml dan kontraindikasi pelepasan kateter urin hingga fungsi BAK
pasien kembali normal.
3. Ketika kateter dilepas, tawarkan pasien untuk menggunakan pispot jika
pasien tidak dapat berjalan ke kamar mandi.
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi
kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi
optimal neurogenik (Potter & Perry, 2005). Terdapat tiga macam metode bladder
training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot
dasar panggul), Delay urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom
trips (jadwal berkemih) (Suhariyanto (2008). Bladder training dapat dilakukan
dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang
terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin
ke urin bag (Hariyati, 2000).
Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini
dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya
dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan
kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih
terisi urin dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem
memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya (Smeltzer, 2001).
Karon (2005) menyatakan tujuan dilakukan bladder training yaitu membantu
mendapat pola berkemih yang rutin, mengembangkan tonus otot kandung kemih,

memperpanjang interval waktu berkemih, dan meningkatkan kapasitas kandung


kemih. Indikasi : Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
retensi urin, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama
sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu. Bladder training juga bisa
dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang lama, dan pasien yang
mengalami inkontinensia urin (Suharyanto, 2008).
Bladder scaning adalah suatu metode invasif untuk mengkaji volume
kandung kemih dengan menggunakan ultrasonografi. Sebelum berkembangnya
bladder scaner, terdapat beberapa teknik untuk mengkaji volume bladder yaitu
perkusi bladder, kateterisasi, dan radiologi. Bladder scanning dapat mengetahui
post void residual (PVR) secara akurat. Namun demikian, kateterisasi urin masih
merupakan gold standart untuk menentukan post void residual (PVR) secara
akurat jika bladder scanner tidak tersedia (Queensland Health, 2011).
Pada prosedur pelepasan kateter berdasarkan suatu program yaitu nursedirected catheter removal protocol dapat menurunkan penggunaan kateter urin
dan angka kejadian CAUTI (Parry et al., 2013).

Nurse-Directed Catheter Removal Protocol

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
kateterisasi,

maka

fenomena
penulis

tingginya

menyarankan

CAUTI

akibat

prosedur

prosedur

pemasangan,

perawatan, dan pelepasan kateter urin sesuai dengan evidence based


nursing yang telah terbukti efektivitas dan efisiensi penggunaannya dalam
menurunkan angka kejadian infeksi saluran kemih. Ketiga rangkaian
prosedur tersebut sangat perlu diperhatikan dan diaplikasikan dengan
benar agar klien pun merasa nyaman, meningkatkan integritas perawat
untuk memberikan pelayanan terbaik kepada klien dan mencegah CAUTI.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan kateterisasi yang baik perlu adanya perbaikan
dan saran yang membangun demi kelancaran rekomendasi solusi ini. Saransaran tersebut antara lain:
- Perlu adanya peran serta yang lebih aktif dari berbagai pihak untuk
mendukung pelaksanaan kateterisasi dengan prosedur yang tepat.
- Dalam pelaksanaannya harus ada pemantauan lebih lanjut agar
rekomendasi solusi ini dapat berkelanjutan dalam jangka waktu yang
panjang dan bisa bermanfaat bagi semua pihak terutama dalam
menurunkan angka kejadian CAUTI akibat kateterisasi urin yang tidak
tepat.

Anda mungkin juga menyukai