BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kateter urine merupakan sebuah alat berbentuk pipa yang
dimasukkan ke dalam uretra menuju kandung kemih dengan tujuan untuk
mengeluarkan
urine.
Proses
atau
tindakan
mengeluarkan
urine
sterilitas
kemih
terhadap
akan
bakteri
melakukan
yang
masuk.
mekanisme
Mekanisme
kateter ini juga terdapat komplikasi yang sering timbul antara lain : a)
adanya iritasi pada saluran kandung kencing akibat terlalu lama memakai
kateter atau karena masuk kuman mikroorganisme e coli, b) Adanya
perdarahan akibat adanya iritasi atau penekanan, gesekan dari selang
kateter, c) Adanya infeksi saluran kemih (ISK) akibat dari terlalu lama
pemasangan kateter, kurang perawatan kateter, kurangnya kebersihan
pada
daerah
pemasangan
kateter
selama
pemasangan
kateter
untuk
mengurangi
terjadinya
bakteriuria
telah
1.3 Tujuan
- Mengetahui kondisi pemasangan, perawatan, dan pelepasan kateter
-
1.4 Manfaat
- Bagi pasien
Pasien diharapkan dapat terhindar dari bahaya infeksi atau sepsis yang
diakibatkan karena katerisasi urin yang kurang tepat. Selain itu pasien
dapat merasakan kepuasan dan kenyamanan terhadap katerisasi dengan
perawatan yang baik, sehingga mencapai kesembuhan optimal sesuai
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kateter Urin
2.1.1 Definisi
Kateter adalah sebuah alat berbentuk pipa yang dimasukkan ke dalam
kandung kemih dengan tujuan untuk mengeluarkan urine. Kateterisasi urine
adalah tindakan memasukkan alat berupa selang karet atau plastik melalui uretra
ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan urine (Hooton et al, 2010).
dapat
menjadi
tindakan
yang
menyelamatkan
jiwa,
khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan
urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk
menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien
buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin,
untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina
atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin
setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2005).
Menurut Charlene, dkk (2001), ada 8 indikasi penggunaan kateter yaitu:
untuk menyembuhkan retensi urin, mengurangi tekanan pada kandung kemih,
memudahkan pengobatan dengan operasi, mempercepat pemulihan jaringan
setelah operasi, memasukkan obat kedalam kandung kemih, mengukur output
urin secara tepat, mengukur output residual, memvisualisasikan struktur anatomi
atau
plastik
melalui
uretra
ke
dalam
kandung
kemih.
Kateter
serta
gangguan
fungsi
organ
semakin
luas
yang
akhirnya
mengalami
kejadian
ISK
dibandingkan
dengan
pasien
dengan
TUJUAN
1. Mencegah infeksi
2. Memberikan rasa nyaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PROSEDUR PELAKSANAAN
A.
1.
2.
3.
Tahap PraInteraksi
Mengecek program terapi
Mencuci tangan
Menyiapkan alat
B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam pada pasien dan
sapa nama
pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur
pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapan
pasien
C. Tahap Kerja
1. Memasang sampiran/menjaga
privacy
2. Menyiapkan pasien dengan posisi
dorcal recumbent
dan melepaskan pakaian bawah pasien
3. Memasang perlak, pengalas
4. Memakai sarung tangan
5. Membersihkan genetalia dengan air
hangat
6. Memastikan posisi kateter terpasang
dengan benar
(menarik dengan hati-hati, kateter tetap
tertahan
7. Memberikan desinfektan dengan lidi
kapas pada
ujung penis
8. Melepas pengalas dan sarung
tangan
9. Merapikan pasien
D. Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi tindakan yang baru
dilakukan
2. Merapikan pasien dan lingkungan
3. Berpamitan dengan klien
4. Membereskan dan kembalikan alat
5. Mencuci tangan
6. Mencatat kegiatan dalam lembar
catatan
keperawatan
Penanganan CAUTI
(Detail
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pemasangan Kateter
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu efek samping dari
pemasangan keteter dan menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di
rumah sakit. Sekitar 80% dari infeksi saluran kemih disebabkan oleh kateter
uretra. Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter terjadi karena
kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang
melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding.
Berdasarkan rekomendasi Oman, 2011, beberapa hal yang harus
diperhatikan agar infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter tidak
terjadi antara lain :
1. Membersihkan area genitalia pasien dengan pembersih aseptik sebelum
memasang kateter. Proses ini penting untuk mencegah bakteri atau
kuman masuk saat proses pemasangan kateter.
2. Sarung tangan non-steril digunakan untuk membersihkan area genital
dan sarung tangan steril digunakan saat insersi kateter. Prinsip steril
dalam pemasangan kateter ini bertujuan untuk meminimalkan terkadinya
infeksi akibat pemasangan kateter.
3. Saat kateter telah terpasang, pastikan fiksasi kuat untuk menghindari
iritasi, inflamasi dan infeksi saluran kemih. Dengan melakukan fiksasi
yang benar, maka risiko terjadinya iritasi pada pasien hingga infeksi juga
dapat diminimalkan. Selain itu, pasien juga akan merasa nyaman.
Prinsip pemasangan kateter beberapa rungan di RSSA sebagian besar
tidak berpatokan sesuai dengan SOP yang sudah dibuat. Prinsip steril dan
non steril dalam pemasangan kateter sering kali terabaikan dan fiksasi
kateter hanya menggunakan plester saja sehingga fiksasinya pun kurang
kuat. Selain itu pemberian label tanggal pada selang kateter sering
dilupakan. Padahal itu sangat penting untuk menentukan durasi penggunaan
kateter dan menentukan penggantian kateter jika terlalu lama. Durasi yang
baik untuk pemasangan kateter dalam pencegahan CAUTI adalah 1 minggu.
tenaga
kesehatan yang
bertugas
agar
senantiasa
telah banyak digunakan pada fiksasi kateter urin (Oman, 2011). Sebuah
prospective, randomized clinical trial menunjukkan penggunaan statlock
untuk fiksasi kateter vena sentral secara signifikan menurunkan insidensi
infeksi pembuluh darah akibat pemasangan kateter (catheter-related
bloodstream infection) (Darouiche et al., 2005). Penelitian Darouiche et al
(2005) tentang aplikasi Statlock pada kateter urin dalam menurunkan
kejadian CAUTI menunjukkan bahwa aplikasi Statlock dapat menurunkan
angka gejala UTI sebesar 45% pada pasien dengan pemasangan kateter
urin. Pada fiksasi balon kateter, National Healthcare Safety (2013)
merekomendasikan cuff balon kateter sebesar hanya 10 ml untuk mencegah
iritasi pada bladder dan menurunkan residu urin serta ketidaknyamanan.
Saat ini di RSSA tidak tersedia aplikasi Statlock, dengan demikian diperlukan
suatu modifikasi. Modifikasi Statlock dapat dilakukan dengan menggunakan
plester yang perlu diganti secara regular sehingga perekatan tetap terjaga.
Perlu diamati pula reaksi alergi pasien terhadap plester.
3.3 Pelepasan Kateter
Selain pemasangan dan perawatan kateter, terdapat juga protokol
pelepasan kateter atau hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelepasan
kateter, diantaranya (Oman, 2011) :
1. Sebelum dilakukan pelepasan kateter dilakukan bladder training untuk
melatih reflek simpatis terhadap pengeluaran urin pasien secara normal.
KIE dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien dan keluarga
diharapkan dapat memulihkan kondisi klien seperti semula.
2. Ketika kateter dilepas, jika pasien tidak BAK dalam 4-6 jam, gunakan
bladder scanner untuk menentukan volume urin dalam kandung kemih.
Pasang kembali kateter jika volume urin dalam kandung kemih lebih dari
500 ml dan kontraindikasi pelepasan kateter urin hingga fungsi BAK
pasien kembali normal.
3. Ketika kateter dilepas, tawarkan pasien untuk menggunakan pispot jika
pasien tidak dapat berjalan ke kamar mandi.
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi
kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi
optimal neurogenik (Potter & Perry, 2005). Terdapat tiga macam metode bladder
training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot
dasar panggul), Delay urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom
trips (jadwal berkemih) (Suhariyanto (2008). Bladder training dapat dilakukan
dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang
terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin
ke urin bag (Hariyati, 2000).
Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini
dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya
dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan
kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih
terisi urin dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem
memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya (Smeltzer, 2001).
Karon (2005) menyatakan tujuan dilakukan bladder training yaitu membantu
mendapat pola berkemih yang rutin, mengembangkan tonus otot kandung kemih,
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
kateterisasi,
maka
fenomena
penulis
tingginya
menyarankan
CAUTI
akibat
prosedur
prosedur
pemasangan,