Anda di halaman 1dari 39

R.L.

Stine
Topeng Hantu
(Goosebumps # 11)
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1
"MAU jadi apa kau Halloween nanti?" tanya Sabrina Mason.
Diaduk-aduknya makaroni kuning di baki makan siangnya dengan garpu, tapi tidak d
imakannya.
Carly Beth Caldwell menarik napas dan menggeleng. Lampu di langit-langit ruang m
akan siang membuat rambut cokelat lurusnya berkilau. "Entahlah. Mungkin jadi tuk
ang sihir."
Sabrina ternganga. "Kau? Tukang sihir?"
"Yah, kenapa tidak?" tanya Carly Beth sambil menatap temannya di seberang meja.
"Kukira kau takut tukang sihir," jawab Sabrina. Disuapkannya makaroni segarpu pe
nuh dan mulai mengunyah. "Makaroni ini dari karet," katanya kesal, dikunyahnya k
uat-kuat. "Ingatkan aku untuk membawa makan siang sendiri."
"Aku tidak takut tukang sihir!" kata Carly Beth, matanya yang hitam berkilat-kil
at marah. "Kau kira aku penakut, kan?"
Sabrina tertawa. "Ya."
Disentakkannya kepalanya untuk memindahkan ekor kuda rambutnya ke punggung. "Hei
, jangan makan makaroninya. Betul, Carly Beth. Rasanya tidak enak."
Diulurkannya tangannya untuk mencegah Carly Beth mengangkat garpu.
"Tapi aku lapar sekali!" kata Carly Beth.
Ruang makan semakin padat dan ribut. Di meja sebelah, sekelompok anak laki-laki
kelas lima sedang main lempar-lemparan kotak susu yang masih setengah terisi. Ca
rly Beth melihat Chuck Greene membulat-bulatkan tumpukan buah warna merah dan me
njejalkan benda lengket itu ke dalam mulutnya.
"Hiii!" Ditunjukkannya wajah jijik pada Chuck.
Lalu ia berbalik menatap Sabrina. "Aku bukan penakut, Sabrina. Cuma karena semua
orang suka menakut-nakuti aku dan "
"Carly Beth, minggu lalu bagaimana? Ingat? Di rumahku?" Sabrina merobek bungkus
keripik jagung dan menawarkannya pada temannya di seberang meja.
"Maksudmu masalah hantu itu?" tanya Carly Beth sambil mengerutkan kening. "Itu s
ih benar-benar konyol."
"Tapi kau percaya," kata Sabrina dengan mulut penuh keripik. "Kau benar-benar pe
rcaya lotengku ada hantunya. Mestinya kau lihat wajahmu ketika loteng berderak-d
erak, dan kita mendengar suara langkah kaki di atas sana."
"Jahat sekali," kata Carly Beth sambil membelalakkan matanya.
"Lalu ketika kau dengar suara langkah kaki menuruni tangga, wajahmu jadi putih s
emua dan kau menjerit," kata Sabrina mengingat-ingat. "Itu kan cuma Chuck dan St
eve."
"Kau tahu aku memang takut hantu," kata Carly Beth, wajahnya merah padam.
"Dan takut ular, kumbang, suara-suara keras, kamar gelap, dan - tukang sihir!" k
ata Sabrina.
"Aku tidak mengerti kenapa kau suka sekali menakut-nakuti aku," kata Carly Beth
cemberut. Disingkirkannya baki makan siangnya. "Aku tidak tahu kenapa semua oran
g suka sekali menakut-nakuti aku. Kau juga, padahal kau teman akrabku."
"Maafkan aku," kata Sabrina tulus. Diulurkannya tangannya ke seberang meja dan d
iremasnya pergelangan tangan Carly Beth. "Kau gampang ditakut-takuti, sih. Susah
rasanya menahan diri untuk tidak mengganggumu. Ini. Mau keripik lagi?"

Didorongnya bungkus keripik ke arah Carly Beth.


"Suatu hari nanti akan kutakut-takuti kau," ancam Carly Beth.
Temannya tertawa. "Tidak mungkin!"
Carly Beth terus cemberut. Umurnya sudah sebelas tahun. Tapi badannya kecil seka
li. Dan dengan wajah bulat dan hidung pesek (yang dibencinya dan diharapkannya a
kan jadi mancung), ia jadi kelihatan jauh lebih muda.
Sabrina sebaliknya, tinggi, hitam, dan berpenampilan canggih. Rambutnya yang hit
am lurus diikat jadi ekor kuda di belakang, dan matanya yang berwarna gelap besa
r sekali.
Semua orang yang melihat mereka berdua mengira Sabrina berusia dua belas atau ti
ga belas tahun. Tapi sebetulnya justru Carly Beth yang lebih tua sebulan dari te
mannya.
"Mungkin aku tidak akan jadi tukang sihir," kata Carly Beth serius sambil bertop
ang dagu. "Mungkin aku akan jadi monster menjijikkan, yang bola matanya tergantu
ng-gantung dan cairan hijau kental mengalir di wajahku dan "
Suara barang pecah membuat Carly Beth menjerit.
Beberapa detik kemudian ia baru sadar itu cuma suara baki makanan jatuh ke lanta
i. Ia berbalik dan melihat Gabe Moser, yang memerah wajahnya, berlutut dan mulai
membersihkan makanannya dari lantai. Ruang makan ribut dengan suara sorak-sorai
dan tepuk tangan.
Carly Beth terduduk di kursi, ia merasa malu karena tadi menjerit.
Napasnya baru saja kembali normal ketika ada tangan kuat mencengkeram bahunya da
ri belakang.
Teriakan melengking Carly Beth bergema ke seluruh ruangan.

Chapter 2
IA mendengar suara orang tertawa. Di meja lain, ada yang berteriak, "Bagus, Stev
e!"
Carly Beth secepat kilat menoleh dan melihat temannya, Steve Boswell, berdiri di
belakangnya, wajahnya tersenyum jahil. "Kena kau," katanya sambil melepaskan ce
ngkeramannya di bahu Carly Beth.
Steve menarik kursi di sebelah Carly Beth dan bersandar di situ.
Teman akrabnya, Chuck Greene, mengempaskan tas ke atas meja dan duduk di sebelah
Sabrina.
Steve dan Chuck mirip sekali, orang bisa mengira mereka bersaudara. Dua-duanya t
inggi dan kurus, dengan rambut cokelat lurus, yang biasanya ditutup topi bisbol.
Mata mereka sama-sama cokelat tua dan konyol senyumnya. Keduanya mengenakan jin
s pudar dan kaus lengan panjang berwarna gelap.
Dan mereka berdua suka sekali menakut-nakuti Carly Beth. Mereka senang membuatny
a terlonjak kaget, membuatnya terlompat dan menjerit. Berjam-jam mereka memiki
rkan cara baru untuk menakut-nakutinya.
Carly Beth selalu bertekad tidak akan pernah tidak akan pernah tertipu gurauan kony
ol mereka lagi. Tapi sampai saat ini mereka selalu menang.
Carly Beth selalu mengancam akan membalas mereka. Tapi selama mereka berteman, i
a belum berhasil mendapatkan ide yang cukup baik.
Chuck mengambil sisa-sisa keripik Sabrina. Dengan main-main Sabrina menepuk tang
annya. "Ambil punyamu sendiri."
Steve mengangsurkan bungkusan kertas alumunium kumal ke depan hidung Carly Beth.
"Mau sandwich? Aku tidak mau makan yang ini."
Carly Beth mengendus-endus curiga. "Sandwich apa? Aku lapar sekali!"
"Ini sandwich isi daging kalkun. Nih," kata Steve, diserahkannya pada Carly Beth
. "Terlalu kering. Ibuku lupa mengoleskan mayonaise. Kau mau?"
"Yeah, tentu. Terima kasih!" teriak Carly Beth. Diambilnya sandwich itu dari tan

gan Steve dan dibukanya bungkus alumuniumnya. Lalu digigitnya dengan lahap.
Ketika mulai mengunyah, dilihatnya Steve dan Chuck menatapnya sambil tersenyum l
ebar.
Ada yang terasa aneh. Agak lengket dan asam. Carly Beth berhenti mengunyah.
Steve dan Chuck tertawa sekarang. Sabrina kelihatan bingung.
Carly Beth menggeram jijik dan diludahkannya sandwich yang sudah dikunyahnya tad
i ke serbet. Lalu dibukanya roti sandwich itu - dan melihat ada ulat cokelat bes
ar tergeletak di atas daging kalkun.
"Ohh!" Sambil mengerang ditutupinya wajahnya dengan kedua tangannya.
Pecah tawa di ruangan itu. Tawa kejam.
"Aku makan ulat. A-aku bisa sakit perut!" erang Carly Beth. Ia melompat berdiri
dan menatap Steve marah. "Tega sekali kau," katanya. "Ini tidak lucu. Ini ini "
"Itu bukan betul-betul ulat, kok," kata Chuck. Steve masih tertawa sehingga tida
k bisa bicara.
"Hah?" Carly Beth memandangi ulat itu dan perutnya terasa mual.
"Bukan betul-betul ulat. Dari karet. Ambil saja," desak Chuck.
Carly Beth ragu-ragu.
Anak-anak di seluruh ruangan yang besar itu berbisik-bisik dan menudingnya. Dan
tertawa-tawa.
"Ayo. Bukan ulat sungguhan kok. Ambillah," kata Chuck sambil meringis.
Carly Beth mengulurkan tangan dan dengan segan diambilnya ulat itu dari sandwich
dengan dua jari. Ulat itu terasa hangat dan lengket.
"Kena lagi!" kata Chuck sambil tertawa.
Astaga! Ulat betulan!
Sambil berteriak ketakutan Carly Beth melemparkan ulat itu pada Chuck, yang tert
awa terbahak-bahak. Lalu ia melompat pergi, menjatuhkan kursi. Ketika kursi itu
jatuh ke lantai dengan suara ribut, Carly Beth menutup mulutnya dan lari sambil
muntah dari ruang makan.
Masih terasa! pikirnya.
Aku masih bisa merasakan ulat itu di mulutku! Akan kubalas mereka, pikir Carly B
eth pahit sambil berlari-lari.
Akan kubalas mereka. Pasti.
Ketika didorongnya pintu dan bergegas pergi ke kamar mandi anak perempuan, suara
tawa kejam itu masih terdengar sampai ke aula.

Chapter 3
SETELAH sekolah usai, Carly Beth bergegas jalan di aula tanpa bicara dengan siap
a-siapa lagi. Didengarnya anak-anak tertawa dan berbisik. Ia tahu mereka menerta
wakannya.
Semua anak-anak di sekolah sudah tahu tadi siang Carly Beth Caldwell makan ulat.
Carly Beth, si penakut. Carly Beth, yang takut pada bayangannya sendiri. Carly B
eth, yang gampang sekali ditipu.
Chuck dan Steve memasukkan ulat sungguhan, ulat cokelat yang gemuk, ke dalam san
dwich. Dan Carly Beth memakannya.
Dasar brengsek!
Carly Beth berlari-lari sepanjang jalan menuju rumah, sejauh tiga blok. Semakin
lama ia semakin marah.
Tega sekali mereka melakukannya padaku! Mereka kan teman-temanku. Mengapa mereka
menganggap lucu sekali kalau berhasil menakut-nakuti aku?
Ia menyerbu masuk ke dalam rumah, dengan napas terengah-engah. "Ada orang di rum
ah?" teriaknya, ia berdiri di ruang tengah dan bersandar di pegangan tangga untu
k menenangkan napas.

Ibunya bergegas keluar dari dapur. "Carly Beth! Hai! Ada apa?"
"Aku berlari-lari dari sekolah," kata Carly Beth sambil melepaskan jaket birunya
.
"Kenapa?" tanya Mrs. Caldwell.
"Sedang ingin saja," kata Carly Beth murung.
Mom mengambil jaket Carly Beth dan menggantungkannya di dalam lemari depan. Lalu
diusapnya rambut Carly Beth yang cokelat dan halus. "Dari mana kau dapat rambut
lurus begini?" gumamnya.
Mom memang selalu bilang begitu. Carly Beth tahu ia tidak mirip dengan ibunya. I
bunya tinggi, gemuk, rambutnya berwarna tembaga dan keriting, dan matanya hijaukelabu bercahaya. Mom sangat enerjik, jarang bisa berdiri diam, dan bicaranya ju
ga cepat sekali.
Hari ini Mom mengenakan baju hangat kelabu bernoda cat dan celana ketat lycra hi
tam. "Kenapa muram begitu?" tanya Mrs. Caldwell. "Mau cerita?"
Carly Beth menggeleng. "Tidak usah deh." Ia tidak mau menceritakan pada ibunya b
ahwa ia tadi jadi bahan tertawaan di Sekolah Menengah Walnut Avenue.
"Kemarilah. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," kata Mrs. Caldwell sambil men
arik Carly Beth ke ruang duduk.
"Aku - aku sedang malas, Mom," kata Carly Beth, ia menjauh. "Aku - "
"Ayolah!" desak ibunya, dan ditariknya Carly Beth ke seberang ruang tengah. Carl
y Beth selalu tidak bisa menang berdebat dengan ibunya. Mom seperti angin ribut,
menyapu semua yang merintangi jalannya.
"Lihat!" seru Mrs. Caldwell sambil tersenyum dan menunjuk ke gantungan mantel.
Carly Beth mengikuti arah pandangan ibunya - dan berteriak terkejut. "Itu - itu
kepala!"
"Bukan cuma sekadar kepala," kata Mrs. Caldwell, wajahnya berseri-seri. "Ayo. Li
hat dari dekat."
Carly Beth maju beberapa langkah mendekati gantungan mantel, mata yang berada di
kepala itu membalas tatapannya.
Beberapa saat kemudian ia baru mengenali rambut yang cokelat lurus itu, mata cok
elat, hidung pesek, pipi bulat. "Ini aku!" teriaknya sambil mendekat.
"Ya. Sebesar aslinya!" kata Mrs. Caldwell. "Aku baru pulang dari kursus seni di
museum. Baru hari ini aku selesai membuatnya. Bagaimana?"
Carly Beth mengambil kepala itu dan diamatinya. "Persis sekali dengan aku, Mom.
Betul. Apa bahannya?"
"Semen Paris," jawab ibunya, diambilnya kepala itu dari Carly Beth dan diangkatn
ya sehingga Carly Beth jadi berhadap-hadapan dengan kepala itu. "Kau harus hatihati memegangnya. Kepala ini rapuh. Tengahnya kosong, lihat?"
Carly Beth menatap kepala itu, dipandangnya matanya sendiri. "Seram - seram juga
," gumamnya.
"Maksudmu karena hasil karyaku bagus sekali?" desak ibunya.
"Seram saja rasanya," kata Carly Beth. Dipaksanya dirinya untuk mengalihkan pand
angan dari tiruan dirinya itu, dan dilihatnya Mom sudah tidak tersenyum.
Mrs. Caldwell kelihatan tersinggung. "Kau tidak suka, ya?"
"Suka kok. Benar-benar bagus, Mom," jawab Carly Beth cepat-cepat. "Tapi, maksudk
u, untuk apa Mom repot-repot membuatnya?"
"Karena aku sayang padamu," jawab Mrs. Caldwell singkat. "Karena apa lagi? Carly
Beth, reaksimu aneh sekali. Aku benar-benar setengah mati membuat kepala itu. K
ukira-"
"Maafkan aku, Mom. Aku suka kok. Betul, aku suka," kata Carly Beth. "Tadi aku cu
ma terkejut, itu saja. Kepala itu hebat. Mirip sekali dengan aku. Aku - aku seda
ng kesal saja."
Carly Beth menatap patung itu lama-lama. Matanya yang cokelat - mata cokelatnya
sendiri - membalas tatapannya. Rambutnya yang cokelat berkilau terkena sinar mat
ahari siang dari jendela.
Kepala itu tersenyum padaku! pikir Carly Beth, mulutnya ternganga. Aku melihatny
a! Aku baru saja melihatnya tersenyum!
Tidak. Pasti karena permainan cahaya. Itu kan cuma patung kepala dari semen, kat
anya dalam hati.
Jangan ketakutan sendiri, Carly Beth. Belum cukupkah kau mempermalukan dirimu se

ndiri hari ini?


"Terima kasih, Mom," katanya kaku sambil mengalihkan pandangan. Ia tersenyum ter
paksa. "Lebih baik ada dua kepala, kan?"
"Betul," kata Mrs. Caldwell senang. "Kebetulan, Carly Beth, kostum bebekmu sudah
jadi. Kutaruh di tempat tidurmu."
"Hah? Kostum bebek?"
"Kau melihat ada kostum bebek di pusat perbelanjaan, ingat?" Dengan hati-hati Mr
s. Caldwell meletakkan patung kepala itu ke tempat mantel. "Kostum yang berbulubulu itu. Kau bilang pasti lucu jadi bebek pada Halloween ini. Jadi kubuatkan ka
u kostum bebek."
"Oh. Betul," kata Carly Beth, kepalanya pusing. Benarkah aku ingin jadi bebek ko
nyol pada Halloween ini? pikirnya. "Aku akan naik dan melihatnya, Mom. Terima ka
sih."
Carly Beth benar-benar lupa pada kostum bebek.
Aku tidak mau tampil manis pada Halloween ini, pikirnya sambil menaiki tangga ke
kamarnya. Aku ingin tampil menakutkan.
Ia pernah melihat beberapa topeng yang sangat menakutkan di etalase toko peralat
an pesta baru yang terletak beberapa blok dari sekolah. Ia tahu salah satu pasti
tepat.
Tapi sekarang ia harus berjalan-jalan memakai bulu, semua orang pasti akan berkw
ak-kwak padanya dan meledeknya habis-habisan.
Tidak adil. Kenapa ibunya selalu mendengar semua perkataannya?
Meskipun Carly Beth memuji kostum bebek yang ada di suatu toko, tidak berarti ia
ingin jadi bebek konyol pada Halloween nanti!
Carly Beth berdiri ragu di depan kamarnya. Entah kenapa pintu kamarnya tertutup.
Ia tidak pernah menutup pintu kamar. Didengarnya dengan cermat. Rasanya ia mend
engar suara orang bernapas di dalam kamar. Seseorang atau sesuatu.
Suara napas itu makin keras.
Carly Beth menempelkan kupingnya ke pintu. Ada apa di dalam kamarnya?
Cuma ada satu cara untuk mengetahuinya.
Carly Beth mendorong pintu sampai terbuka - dan berteriak terkejut.

Chapter 4
"KWEEEEEEK!"
Sambil berteriak mengerikan, seekor bebek berbulu putih yang besar sekali, matan
ya melotot liar, melompat ke arah Carly Beth.
Ketika Carly Beth mundur karena kaget, bebek itu memukulnya dan membantingnya ke
lantai ruang tengah.
"KWEEEEEK! KWEEEEEK!"
Kostum itu jadi hidup!
Itulah yang mula-mula dikira Carly Beth.
Lalu ia segera sadar apa yang sebenarnya terjadi.
"Noah - pergi kau!" perintahnya sambil berusaha menyingkirkan bebek besar itu da
ri atas dadanya. Hidungnya terkena bulu-bulu putih.
"Hei - geli!" Carly Beth bersin. "Noah - ayolah!"
"KWEEEEEK!"
"Noah, aku serius!" katanya pada adik laki-lakinya yang berusia delapan tahun. "
Buat apa kau pakai kostumku? Mestinya itu kostumku, kan."
"Aku cuma mencobanya," kata Noah, matanya yang biru menatap Carly Beth dari bali
k topeng bebek warna putih-kuning. "Kau ketakutan, ya?"
"Sama sekali tidak," kata Carly Beth berbohong. "Sekarang bangunlah! Kau berat!"
Adiknya tidak mau bergerak.

"Kenapa kau selalu menginginkan barang-barang milikku?" tanya Carly Beth marah.
"Tidak," jawab adiknya.
"Dan kenapa kau selalu menganggap menakut-nakuti aku itu lucu?" tanyanya.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau kau jadi takut setiap kali aku bilang buu,
" jawab adiknya kesal.
"Bangun! Bangun!"
Adiknya berkwak-kwak beberapa kali lagi sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Lalu
ia berdiri. "Boleh kupakai kostum ini? Kostum hebat."
Carly Beth mengerutkan kening dan menggeleng. "Badanku jadi penuh bulu begini. K
au berganti bulu!"
"Berganti bulu? Apa artinya?" desak Noah. Dibukanya topengnya. Rambutnya yang pi
rang basah karena keringat dan bergumpal di kepalanya.
"Artinya kau akan jadi bebek gundul!" kata Carly Beth.
"Aku tidak peduli. Kostum ini untukku, ya?" tanya Noah, diamatinya topeng bebek
itu. "Pas untukku. Betul!"
"Entahlah," kata Carly Beth. "Mungkin saja." Telepon di kamarnya berbunyi. "Perg
ilah, oke? Pergilah terbang ke utara atau ke mana saja," katanya, dan bergegas m
engangkat telepon.
Ketika berlari ke meja, dilihatnya tempat tidurnya penuh dengan bulu-bulu putih.
Sebelum Halloween tiba, kostum itu sudah keburu hancur! pikirnya.
Diangkatnya gagang telepon. "Halo? Oh, hai, Sabrina. Yeah. Aku baik-baik saja."
Sabrina menelepon untuk mengingatkan Carly Beth bahwa Festival Karya Ilmiah di s
ekolah diadakan besok. Mereka harus menyelesaikan proyek mereka, model sistem pe
redaran planet yang dibuat dari bola pingpong.
"Datanglah setelah makan malam," kata Carly Beth. "Sudah hampir selesai kok. Tin
ggal dicat saja. Ibuku akan membantu kitamembawanya ke sekolah besok."
Mereka mengobrol sebentar. Lalu Carly Beth membuka rahasia hatinya, "Aku tadi ma
rah sekali, Sabrina. Waktu makan siang hari ini. Kenapa Steve dan Chuck mengangg
ap melakukan hal-hal seperti itu padaku lucu sekali?"
Sabrina diam sejenak. "Kurasa karena kau gampang sekali ditakut-takuti, Carly Be
th."
"Gampang ditakut-takuti?"
"Kau sedikit-sedikit menjerit," kata Sabrina. "Orang lain juga ketakutan. Tapi m
ereka tidak terlalu ribut seperti kau. Kau kan tahu Steve dan Chuck. Mereka tida
k benar-benar bermaksud jahat kok. Mereka cuma menganggapnya lucu."
"Yah, menurutku sama sekali tidak lucu," jawab Carly Beth kesal. "Dan aku tidak
mau gampang ditakut-takuti lagi. Aku serius. Aku takkan menjerit atau ketakutan
lagi."
***
Semua karya ilmiah sudah dipajang di panggung auditorium, siap untuk dinilai jur
i. Mrs. Armbruster, kepala sekolah, dan Mr. Smythe, guru ilmu pengetahuan alam,
berjalan memeriksa semua karya ilmiah sambil menulis sesuatu di catatan mereka.
Sistem peredaran planet, yang dibuat Carly Beth dan Sabrina, berhasil sampai ke
sekolah dengan selamat. Planet Pluto agak peot, yang tidak berhasil diluruskan m
eskipun mereka sudah berusaha setengah mati. Dan Bumi terlepas terus dari kawatn
ya dan melambung di lantai. Tapi kedua gadis itu sepakat bahwa hasil karya merek
a kelihatan cukup bagus.
Mungkin tidak terlalu mengesankan seperti karya Martin Goodman. Martin membuat k
omputer dari bahan-bahan sisa. Tapi Martin sih memang jenius. Dan menurut pikira
n Carly Beth, para juri tidak mengharap anak-anak lain jadi jenius juga.
Carly Beth memandang ke sekeliling panggung yang ramai dan ribut, dilihatnya ada
karya-karya menarik lainnya. Mary Sue Chong membuat semacam lengan robot listri
k yang bisa mengangkat gelas atau melambai-lambai. Dan Brian Baldwin punya beber
apa gelas kaca berisi bahan cokelat kotor yang katanya adalah bahan beracun.
Ada yang menganalisa zat kimia yang terkandung di dalam air minum kota mereka. D
an ada yang membuat gunung berapi yang akan meletus saat kedua juri mendekat.
"Proyek kita biasa-biasa saja," bisik Sabrina gelisah pada Carly Beth, matanya m
enatap kedua juri yang terkagum-kagum melihat komputer buatan Martin Goodman sen
diri. "Maksudku, punya kita cuma bola-bola pingpong dicat dan dipasang pada kawa

t."
"Aku suka proyek kita," kata Carly Beth. "Kita bekerja keras membuatnya, Sabrina
."
"Aku tahu," jawab Sabrina berkeluh kesah. "Tapi tetap cuma biasa-biasa saja."
Gunung berapi itu meletus, mengeluarkan cairan merah. Para juri tampak terkesan.
Beberapa anak bersorak.
"O-oh. Mereka datang," bisik Carly Beth, dimasukkannya tangannya ke dalam saku j
ins. Mrs. Armbruster dan Mr. Smythe, dengan wajah tersenyum tanpa henti, mendeka
t.
Mereka berhenti untuk mengamati display lampu dan kristal.
Tiba-tiba Carly Beth mendengar teriakan ribut dari panggung di belakangnya. "Tar
antulaku! Hei tarantulaku kabur!"
Ia tahu itu suara Steve.
"Mana tarantulaku?" teriak Steve.
Beberapa anak berteriak terkejut. Yang lain tertawa.
Aku tidak akan mempan ditakut-takuti, pikir Carly Beth sambil menelan ludah.
Carly Beth tahu ia paling takut pada tarantula. Tapi sekali ini ia bertekad tida
k akan menunjukkan perasaan takutnya.
"Tarantulaku kabur!" teriak Steve, suaranya mengalahkan suara ribut anak-anak.
Aku tidak akan mau ditakut-takuti. Aku tidak akan mau ditakut-takuti, kata Carly
Beth berulang-ulang dalam hati.
Tapi ia lalu merasakan ada sesuatu menggigit betisnya dan membenamkan capitnya y
ang berbulu ke dalam kulitnya. Teriakan Carly Beth terdengar sampai ke seluruh a
uditorium.

Chapter 5
CARLY BETH menjerit dan menjatuhkan sistem peredaran planetnya. Ia menendang-nen
dang, berusaha menyingkirkan tarantula. Planet-planet dari bola pingpong berlomp
atan di lantai.
Ia menjerit lagi. "Ambil laba-labanya! Ambil!"
"Carly Beth - stop!" kata Sabrina. "Tidak ada apa-apa! Tidak ada apa-apa!"
Lama baru Carly Beth sadar semua orang tertawa. Dengan jantung berdebar-debar, i
a berbalik dan melihat Steve berlutut di belakangnya. Digerakkannya jari-jarinya
seperti sedang mencubit.
"Kena lagi," katanya sambil menyeringai.
"Tidaaak!" teriak Carly Beth.
Ia baru sadar ternyata tidak ada tarantula. Steve-lah yang mencubit kakinya. Car
ly Beth mengangkat kepala dan melihat anak-anak di atas panggung tertawa semua.
Mrs. Armbruster dan Mr. Smythe juga tertawa.
Sambil berteriak marah, Carly Beth menendang bagian samping Steve. Tapi ia menge
lak. Tendangannya meleset.
"Bantu aku memunguti planet-planetnya," didengarnya Sabrina bicara.
Tapi Sabrina kelihatan jauh, jauh sekali.
Carly Beth cuma bisa mendengar debaran jantungnya dan suara tawa anak-anak di se
kelilingnya. Steve sudah berdiri. Ia dan Chuck berdiri berdekatan, menyeringai p
ada Carly Beth, saling bertepuk tangan tinggi-tinggi.
"Carly Beth - bantu aku," kata Sabrina.
Tapi Carly Beth berbalik, lompat turun dari panggung, dan berlari di sela-sela k
ursi auditorium.
Aku akan membalas Steve dan Chuck, tekadnya. Sepatunya berdetak-detak keras di a
tas lantai semen. Aku akan menakut-nakuti mereka, BENAR-BENAR membuat mereka ket
akutan!

Tapi bagaimana caranya?

Chapter 6
"OKE. Pukul berapa kita ketemu?" tanya Carly Beth, diletakkannya gagang telepon
di antara dagu dan bahunya.
Di seberang sana, Sabrina berpikir-pikir sebentar. "Bagaimana kalau pukul seteng
ah delapan?"
Sekarang sedang Halloween. Mereka sedang merencanakan bertemu di rumah Sabrina,
lalu pergi minta permen ke semua tetangga di sekitar situ.
"Semakin cepat semakin baik. Kita bisa dapat permen lebih banyak," kata Sabrina.
"Steve sudah meneleponmu?"
"Ya. Sudah," jawab Carly Beth suram.
"Ia minta maaf?"
"Yeah, ia minta maaf," gumam Carly Beth sambil membelalakkan mata. "Memangnya ke
napa. Maksudku, ia sudah membuat aku malu di depan anak-anak satu sekolah. Buat
apa ia minta maaf?"
"Kurasa ia merasa tidak enak," jawab Sabrina.
"Semoga saja ia merasa tidak enak!" teriak Carly Beth. "Jahat sekali dia!"
"Memang keterlaluan," kata Sabrina setuju. Tapi ia lalu menambahkan, "tapi kau h
arus mengakui memang agak lucu juga kelakuannya."
"Aku tidak mau mengakui apa pun!" bentak Carly Beth.
"Hujan sudah berhenti?" tanya Sabrina, mengalihkan pembicaraan.
Carly Beth menyibakkan tirai dan memandang ke luar jendela kamar tidurnya. Langi
t malam kelihatan kelabu. Awan-awan hitam melayang rendah. Tapi hujan sudah berh
enti. Jalanan tampak mengilat basah diterangi cahaya lampu jalanan.
"Sudah tidak hujan. Aku harus pergi sampai ketemu pukul setengah delapan nanti,"
kata Carly Beth terburu-buru.
"Hei, tunggu. Apa kostummu?" desak Sabrina.
"Kejutan," kata Carly Beth, ditaruhnya gagang telepon.
Kejutan untuk diriku sendiri juga, pikir Carly Beth, ia melirik sebal pada kostu
m bebek berbulu yang tergulung di kursi pojok.
Carly Beth merencanakan akan pergi ke toko peralatan pesta baru itu sepulang dar
i sekolah dan mengambil topeng paling jelek, paling menjijikkan, paling menakutk
an yang mereka miliki. Tapi Mom tadi menjemputnya dari sekolah dan menyuruhnya t
inggal di rumah dan menjaga Noah selama dua jam.
Mrs. Caldwell baru pulang pukul lima lewat lima belas.
Sekarang sudah hampir pukul enam kurang lima belas. Pasti toko perlengkapan pest
a itu sudah tutup, pikir Carly Beth. Dipandangnya kostum bebek sambil mengerutka
n kening.
"Kwek kwek," katanya suram.
Ia berjalan ke cermin dan menyisir rambutnya. Mungkin sebaiknya dicoba saja ke s
ana dulu, pikirnya. Mungkin toko itu buka sampai malam saat Halloween.
Dibukanya laci paling atas lemari pakaiannya dan dikeluarkannya dompet. Uangnya
cukup tidak untuk membeli topeng yang bagus dan menakutkan?
Tiga puluh dolar. Tabungan seumur hidupnya.
Dikumpulkannya uangnya dan dijejalkannya ke dalam dompet lagi. Lalu sambil memas
ukkan dompet ke saku jins, disambarnya mantel dan ia bergegas turun dan keluar d
ari pintu depan.
Udara malam terasa dingin dan lembap. Carly Beth susah payah mengancingkan mante
lnya sambil berlari ke toko peralatan pesta. Di rumah sebelah ada lampu labu men
yala di jendela depan. Di rumah di sudut ada kerangka dari kertas tergantung di
teras depan.

Angin berembus di sela-sela pepohonan gundul. Dahan-dahan di atas kepalanya berg


oyang dan berderak-derak seperti lengan-lengan kurus.
Malam yang amat mengerikan, pikir Carly Beth.
Ia berlari lebih cepat. Ada mobil berlalu pelan, memancarkan cahaya putih terang
yang melayang-layang seperti hantu ke seberang jalan.
Sambil memandang sekilas ke seberang jalan, Carly Beth melihat rumah tua Carpent
er membungkuk di halamannya yang gelap dan penuh semak-semak. Semua orang bilang
rumah tua bobrok itu dihantui oleh orang-orang yang terbunuh di dalamnya ratusa
n tahun yang lalu.
Carly Beth pernah mendengar lolongan mengerikan dari rumah tua itu. Ketika ia se
umur Noah, Steve dan Chuck dan beberapa anak lain memberanikan diri pergi ke rum
ah itu dan mengetuk pintunya.
Carly Beth malah kabur pulang. Ia tidak pernah tahu apakah anak-anak lain berani
masuk ke dalam rumah.
Sekarang Carly Beth merasa sangat ketakutan ketika bergegas melewati rumah tua i
tu. Ia sangat mengenal lingkungan ini. Seumur hidup ia tinggal di situ. Tapi mal
am ini kelihatan lain di matanya.
Apakah karena kilauan basah setelah hujan tadi?
Tidak. Karena perasaan berat yang terasa di udara. Kegelapan yang lebih pekat. C
ahaya jingga mengerikan dari labu-labu menyeringai di jendela. Teriakan pelan ha
ntu dan monster yang menunggu untuk melayang-layang bebas di malam kemenangan me
reka. Halloween.
Sambil memaksa semua pikiran mengerikan itu menyingkir dari ingatannya, Carly Be
th membelok di sudut. Tampak toko kecil perlengkapan pesta. Etalasenya terang, m
enampakkan dua deret topeng Halloween, yang menatap ke luar jendela.
Apa tokonya masih buka?
Sambil menyilangkan jari, Carly Beth menunggu truk lewat, lalu cepat-cepat berla
ri menyeberang jalan. Ia berhenti sebentar untuk mengamati topeng-topeng di etal
ase. Ada topeng gorila, topeng monster, topeng makhluk luar angkasa berambut bir
u.
Lumayan bagus, pikirnya. Cukup jelek tampangnya. Tapi mungkin di dalam ada yang
lebih menakutkan.
Lampu di dalam toko masih menyala. Ia mengintip dari balik kaca etalase. Lalu di
cobanya memutar kenop pintu.
Tidak bergerak.
Dicobanya lagi. Dicobanya menarik pintu supaya terbuka. Lalu dicobanya mendorong
.
Tidak. Tidak mungkin.
Ia terlambat. Tokonya sudah tutup.

Chapter 7
CARLY BETH menarik napas lalu mengintip ke balik kaca.
Dinding toko kecil itu penuh topeng. Topeng-topeng itu seperti membalas tatapann
ya.
Mereka menertawakan aku, pikirnya sedih. Menertawakan aku karena terlambat. Kare
na toko ini sudah tutup, dan aku harus memakai topeng bebek konyol pada Hallowee
n nanti.
Tiba-tiba ada bayangan gelap mendekati kaca, menutupi pandangan Carly Beth.
Carly Beth tersentak, lalu mundur selangkah.
Sesaat kemudian ia baru sadar bayangan itu ternyata seorang pria. Pria berpakaia
n hitam, menatapnya, wajahnya tampak terkejut.
"Anda Anda sudah tutup?" teriak Carly Beth dari balik kaca.
Pria itu membuat gerakan untuk memberitahu ia tidak bisa mendengar Carly Beth. D

imasukkannya anak kunci dan dibukanya pintu sedikit.


"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya pendek. Rambutnya hitam mengilat, dibelah teng
ah, dan kelihatan licin. Kumisnya hitam kecil seperti pensil.
"Anda masih buka?" tanya Carly Beth takut-takut. "Saya perlu topeng Halloween."
"Sudah malam sekali," jawab pria itu, ia tidak menjawab pertanyaan Carly Beth. D
ibukanya pintu sedikit lagi. "Kami biasanya tutup pukul lima."
"Saya benar-benar ingin membeli topeng," kata Carly Beth semantap mungkin.
Mata pria itu yang hitam dan kecil menatap tajam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi.
"Masuk," katanya pelan.
Ketika Carly Beth melewatinya masuk ke toko, dilihatnya pria itu mengenakan juba
h hitam.
Pasti kostum Halloween, kata Carly Beth dalam hati. Aku yakin ia tidak mengenaka
nnya terus. Dialihkannya perhatiannya ke topeng-topeng di dinding.
"Topeng seperti apa yang kaucari?" tanya pria itu sambil menutup pintu.
Tiba-tiba Carly Beth ketakutan. Mata hitam pria itu menyala seperti batu bara ya
ng terbakar. Ia kelihatan aneh sekali. Dan Carly Beth berada di dalam toko terku
nci ini bersamanya.
"Y-yang menakutkan," ia tergagap.
Pria itu menggosok-gosok dagunya sambil berpikir. Ia menunjuk ke dinding. "Topen
g gorila cukup populer. Bulunya asli. Aku yakin masih punya persediaan satu lagi
."
Carly Beth menatap topeng gorila itu. Ia tidak terlalu ingin jadi gorila. Terlal
u biasa-biasa saja.
Tidak cukup menakutkan.
"Hmmmm... Anda punya yang lebih menakutkan?" tanyanya.
Pria itu menyibakkan jubahnya ke belakang bahu. "Bagaimana kalau topeng kekuning
an yang kupingnya runcing itu?" usulnya sambil menunjuk. "Aku yakin itu topeng s
alah satu tokoh Star Trek. Aku masih punya beberapa."
"Tidak." Carly Beth menggeleng. "Saya perlu topeng yang benar-benar menakutkan."
Pria itu tersenyum aneh. Matanya tidak berkedip menatap mata Carly Beth, seperti
berusaha membaca pikirannya.
"Lihat saja sekelilingmu," katanya sambil menggerakkan tangan. "Semua persediaan
ku yang masih tersisa ada di dinding."
Carly Beth menatap topeng-topeng itu. Dilihatnya ada topeng babi dengan hidung p
anjang dan jelek, darah menetes dari moncongnya. Lumayan, pikirnya. Tapi tidak t
erlalu tepat.
Di sebelahnya ada topeng manusia serigala yang penuh bulu, dengan taring yang ru
ncing dan putih.
Terlalu biasa, pikir Carly Beth.
Matanya melirik topeng hijau Frankenstein, topeng Freddy Krueger yang ada tangan
nya juga - lengkap dengan jari-jari pisau yang panjang - dan topeng E.T..
Tidak terlalu menakutkan, pikir Carly Beth, ia mulai merasa agak putus asa. Aku
perlu sesuatu yang bisa membuat Steve dan Chuck mati ketakutan!
"Nak, aku terpaksa menyuruhmu cepat-cepat memilih." kata pria berjubah itu pelan
.
Ia sudah berjalan ke balik meja kecil di depan dan sedang memutar anak kunci lem
ari kasir. "Kami sudah tutup."
"Maaf," kata Carly Beth. "Aku cuma-"
Telepon berbunyi sebelum ia sempat menjelaskan. Pria itu cepat-cepat mengangkatn
ya dan mulai berbicara pelan, ia memunggungi Carly Beth.
Carly Beth berjalan ke belakang toko, sambil berjalan diamatinya semua topeng. I
a melewati topeng kucing hitam dengan taring kuning panjang yang jelek. Topeng v
ampir dengan darah merah menetes dari bibirnya tergantung di sebelah topeng bota
k Paman Fester yang sedang tersenyum dari The Addams Family.
Bukan, bukan, bukan, pikir Carly Beth sambil mengerutkan kening.
Ia ragu-ragu ketika melihat ada pintu sempit yang terbuka sedikit di belakang to
ko.
Ada ruangan lain?
Adakah topeng-topeng lain di belakang sana?

Ia memandang ke depan toko sekilas. Pria tadi, tertutup mantelnya, masih memungg
ungi Carly Beth sambil berbicara di telepon.
Dengan ragu-ragu didorongnya pintu untuk mengintip ke dalam. Pintunya berderit.
Cahaya jingga pucat menyinari ruangan belakang yang kecil dan gelap itu.
Carly Beth melangkah masuk dan tersentak kaget.

Chapter 8
DUA lusin rongga mata kosong menatap Carly Beth. Ia ternganga ngeri melihat waja
h-wajah rusak dan hancur itu.
Cuma topeng, pikirnya. Dua rak topeng. Tapi topeng-topeng itu begitu jelek, begi
tu aneh - begitu nyata - napasnya jadi tercekik.
Carly Beth mencengkeram kusen pintu, pelan-pelan masuk ke ruang belakang yang ke
cil itu. Dengan diterangi cahaya jingga remang-remang, diamatinya topeng-topeng
jelek itu.
Ada topeng berambut kuning, tipis, dan panjang, yang tergerai di atas dahinya ya
ng hijau dan menonjol. Kepala tikus hitam berbulu tampak dari sela-sela rambut,
mata tikus itu bersinar seperti dua permata hitam.
Di lubang mata topeng di sebelahnya tertancap paku besar. Darah kental dan kelih
atan basah mengalir dari mata itu; turun ke pipi.
Di topeng yang lain tampak seolah-olah kulitnya mengelupas, menampakkan tulang k
elabu di baliknya. Seekor serangga hitam besar, sejenis kumbang aneh, muncul di
sela-sela gigi hancur berwarna hijau-kuning.
Carly Beth merasa ngeri campur gembira. Ia masuk ke ruangan itu. Lantai kayunya
berderak-derak.
Ia maju selangkah lagi mendekati topeng-topeng yang aneh dan menyeringai itu. Me
reka kelihatan begitu nyata, sampai rasanya jadi mengerikan. Wajahnya rinci seka
li. Kulitnya seperti terbuat dari daging, bukan dari karet atau plastik.
Ini baru tepat! pikirnya, jantungnya berdebar-debar. Ini dia yang kucari-cari. B
aru ditumpuk begitu saja sudah kelihatan menakutkan!
Dibayangkannya Steve dan Chuck melihat salah satu dari topeng-topeng ini mendata
ngi mereka malam-malam.
Dibayangkannya dirinya berteriak menyeramkan dan melompat dari balik pohon denga
n mengenakan salah satu topeng.
Dibayangkannya wajah anak-anak itu yang ketakutan.
Dibayangkannya Steve dan Chuck menjerit ngeri dan lari pontang-panting.
Tepat. Tepat!
Betapa lucunya. Kemenangan besar!
Carly Beth menarik napas dalam-dalam dan maju mendekati rak. Matanya terpaku pad
a topeng jelek di rak bawah.
Kepalanya botak dan menonjol. Kulitnya kuning-hijau dan bau. Matanya yang besar
dan terbenam berwarna jingga dan kelihatan seperti bersinar. Hidungnya lebar dan
pesek, masuk ke dalam seperti hidung tengkorak. Bibirnya yang hitam ternganga l
ebar, menampakkan taring binatang yang runcing-runcing.
Sambil menatap topeng seram itu, Carly Beth mengulurkan tangan untuk mengambilny
a. Dengan perasaan segan dipegangnya bagian dahi topeng itu.
Dan ketika ia menyentuhnya, topeng itu berteriak.

Chapter 9
"OOH!"
Carly Beth menjerit dan menarik tangannya.
Topeng itu menyeringai padanya. Matanya yang jingga bersinar terang. Bibirnya se
perti berkerut di a tas taring-taringnya.
Tiba-tiba ia merasa pusing. Apa-apaan ini?
Ketika terhuyung-huyung mundur dari rak, ia sadar teriakan marah itu bukan beras
al dari topeng.
Teriakan itu berasal dari belakangnya.
Carly Beth berbalik dan melihat pemilik toko yang berjubah hitam melotot padanya
dari depan pintu. Matanya yang hitam mengilat. Bibirnya mencibir jahat.
"Oh. Saya kira - " kata Carly Beth sambil memandang topeng tadi sekilas. Ia masi
h merasa bingung. Jantungnya berdebar-debar kencang di dada.
"Aku menyesal kau melihat semua ini," kata pria tu dengan suara yang pelan dan m
engancam. Ia maju mendekati Carly Beth, mantelnya melambai-lambai.
Mau apa dia? pikir Carly Beth sambil tersentak ketakutan.
Kenapa ia menghampiri aku seperti itu? Mau diapakannya aku?
"Aku menyesal," katanya lagi, matanya yang hitam kelam menatap tajam. Ia maju se
langkah lagi.
Carly Beth mundur. Lalu ia berteriak kaget ketika punggungnya mengenai rak pajan
g tadi.
Topeng-topeng mengerikan itu terlonjak dan tergetar, seperti hidup.
"Apa - apa maksud Anda?" akhirnya ia berhasil bicara. "Saya - saya cuma - "
"Aku menyesal kau melihat semua ini karena mereka tidak dijual," kata pria itu p
elan.
Ia melangkah melewati Carly Beth dan menegakkan salah satu topeng di sandarannya
.
Carly Beth menarik napas lega keras-keras. Ia tidak bermaksud menakut-nakuti aku
, pikirnya. Aku yang ketakutan sendiri.
Dilipatnya tangannya di depan mantel dan dipaksanya jantungnya berdetak normal l
agi. Ia menyingkir ke samping ketika pemilik toko merapikan topeng-topengnya, di
pegangnya hati-hati, diusapnya rambut topeng-topeng itu dengan satu tangan, deng
an lembut dibersihkannya dahi mereka yang menonjol dan berlumuran darah.
"Tidak dijual? Kenapa tidak?" desak Carly Beth. Suaranya terdengar kecil dan mel
engking.
"Terlalu menakutkan," jawab pria itu. Ia berbalik dan tersenyum pada Carly Beth.
"Tapi saya ingin yang benar-benar menakutkan," kata Carly Beth. "Saya ingin yang
itu."
Ia menunjuk topeng yang dipegangnya tadi, topeng yang mulutnya terbuka dan ada t
aring-taring tajam mengerikan.
"Terlalu menakutkan," kata pria itu lagi, dikesampingkannya jubahnya.
"Tapi sekarang kan Halloween!" protes Carly Beth.
"Aku punya topeng gorila yang benar-benar menakutkan," kata pria itu sambil memb
eri tanda pada Carly Beth supaya kembali ke ruangan depan. "Sangat menakutkan.
Kelihatan seperti sedang menggeram. Kujual murah karena sekarang sudah malam."
Carly Beth menggeleng, tangannya terlipat di depan dengan sikap membandel. "Tope
ng gorila tidak akan membuat Steve dan Chuck ketakutan," katanya.
Ekspresi wajah pria itu berubah. "Siapa?"
"Teman-teman saya," kata Carly Beth. "Saya harus memiliki topeng yang itu," kata
nya. "Benar-benar menakutkan, saya sampai hampir tidak berani memegangnya. Tepat
."
"Terlalu menakutkan," ulang pria itu, dipandangnya topeng itu. Dibelainya dahiny
a yang hijau. "Saya tidak bisa menanggung akibatnya."
"Kelihatannya hidup sekali!" kata Carly Beth. "Mereka berdua bisa pingsan. Saya
tahu. Lalu mereka tidak akan berusaha menakut-nakuti saya lagi."
"Nona..." kata pemilik toko itu, dipandangnya jam tangannya dengan tidak sabar.
"Aku harus menyuruhmu memilih. Aku orang sabar, tapi..."
"Tolonglah!" Carly Beth memohon. "Tolong jual ke saya! Ini. Lihat." Dirogohnya s

aku jins-nya dan dikeluarkannya uang yang dibawanya tadi.


"Nona, saya..."
"Tiga puluh dolar," kata Carly Beth sambil menjejalkan gumpalan uang ke tangan o
rang itu. "Saya bayar tiga puluh dolar. Cukup, kan?"
"Bukan masalah uang," kata orang itu. "Topeng-topeng ini tidak dijual." Sambil m
enarik napas kesal ia berjalan ke pintu yang menuju ke depan toko.
"Tolonglah! Saya memerlukannya. Saya sangat memerlukannya!" Carly Beth memohon s
ambil mengejar pria itu.
"Topeng-topeng itu terlalu hidup," kata pemilik toko sambil menunjuk rak. "Aku p
eringatkan kau -"
"Tolong, ya? Ya?"
Pria itu memejamkan mata. "Kau akan menyesal."
"Tidak. Tidak. Saya tahu saya tidak akan menyesal!" teriak Carly Beth bersemanga
t, dilihatnya pria itu akan segera menyerah.
Pria itu membuka mata. Ia menggeleng. Carly Beth tahu ia sedang berdebat sendiri
.
Sambil menarik napas, dimasukkannya uang tadi ke dalam saku mantel. Lalu dengan
hati-hati diangkatnya topeng itu dari atas rak, diluruskannya telinganya yang ru
ncing, dan diserahkannya pada Carly Beth.
"Terima kasih!" teriaknya, cepat-cepat disambarnya topeng itu dari tangan pemili
k toko. "Tepat! Tepat!"
Dipegangnya hidung pesek topeng itu. Rasanya lembut dan hangat.
"Terima kasih sekali lagi!" teriaknya sambil bergegas ke depan, dipegangnya tope
ng itu kuat-kuat.
"Perlu dibungkus tas?" teriak pria itu.
Tapi Carly Beth sudah keluar dari toko.
Ia menyeberang jalan dan berlari pulang. Langit gelap. Tidak ada bintang. Jalana
n masih mengilat basah karena hujan tadi siang.
Malam ini akan jadi malam Halloween paling hebat, pikir Carly Beth senang. Karen
a malam ini aku akan membalas dendam.
Ia tidak sabar ingin melompat ke hadapan Steve dan Chuck. Ia ingin tahu apa kost
um mereka. Mereka berdua berencana ingin mengecat wajah dan rambut mereka dengan
warna biru dan jadi Smurf.
Payah. Benar-benar payah.
Carly Beth berhenti di bawah lampu jalanan dan diangkatnya topeng tadi, dipegang
nya di kedua telinganya dengan dua tangan.
Topeng itu menyeringai padanya, dua deret gigi runcing tampak di balik bibirnya
yang tebal dan liat. Lalu dikepitnya di bawah satu tangan dan berlari pulang.
Ia berhenti di ujung jalan masuk dan Dipandangnya rumahnya, jendela depan terang
semua, lampu teras memancarkan cahaya putih ke halaman.
Aku harus mencoba menakut-nakuti seseorang dengan topeng ini, pikirnya bersemang
at. Aku harus melihat seberapa hebatnya.
Ia terbayang wajah adiknya yang sedang meringis.
"Noah. Tentu saja," katanya keras-keras. "Noah harus merasakan akibat perbuatann
ya."
Sambil tersenyum senang, Carly Beth cepat-cepat berlari di jalan masuk. Ia tidak
sabar ingin menjadikan Noah korban pertamanya.

Chapter 10
CARLY BETH mengendap-endap masuk dari pintu depan dan dilemparkannya mantelnya k
e lantai. Rumah itu tiba-tiba terasa sesak dan panas. Aroma manis sari buah apel
panas yang sedang dimasak, menyambutnya.
Mom benar-benar bersemangat menyambut Halloween ini, pikirnya sambil tersenyum.

Sambil berjingkat-jingkat di ruang tengah, topengnya di depan, Carly Beth memasa


ng telinga. Noah, di mana kau?
Di mana kau, kelinci percobaanku?
Noah selalu menyombongkan diri ia jauh lebih berani daripada Carly Beth. Ia sela
lu menaruh kumbang di punggung Carly Beth dan ular karet di tempat tidurnya - ap
a saja yang bisa membuat kakaknya menjerit.
Carly Beth mendengar suara langkah kaki di atas.
Noah pasti sedang di kamar, pikirnya. Mungkin sedang memakai kostum Halloween.
Di saat-saat terakhir Noah memutuskan ingin jadi kecoak. Mrs. Caldwell terpaksa
pontang-panting mengobrak-abrik rumah, mencari bahan untuk membuat antena runcin
g dan batok punggungnya.
Yah, kumbang kecil itu akan terkejut, pikir Carly Beth jahat.
Diperhatikannya topengnya. Topeng ini pasti bisa membuat kecoak lari terbirit-bi
rit ke kamar mandi!
Ia berhenti di ujung bawah tangga. Terdengar suara ingar-bingar musik dari kamar
Noah. Lagu heavy-metal lama.
Sambil mencengkeram leher topeng erat-erat, diangkatnya topeng itu ke atas kepal
anya, lalu dipakainya.
Ternyata bagian dalamnya cukup hangat. Topeng itu lebih pas dari yang dikira Car
ly Beth. Baunya aneh, agak masam, seperti koran-koran lembap yang bertahun-tahun
disimpan di garasi atau loteng.
Ditariknya terus di kepalanya sampai ia bisa melihat dari lubang mata topeng. La
lu diusapnya kepala yang menonjol dan gundul di atas kepalanya dan ditariknya ba
gian leher topeng.
Mestinya aku tadi bercermin dulu, sesalnya. Aku tidak tahu kelihatan bagus atau
tidak.
Topeng itu terasa sangat pas. Suara napasnya bergema ribut di dalam hidung topen
g yang datar. Dipaksanya dirinya tidak memedulikan bau masam yang tercium di hid
ungnya.
Dipegangnya pegangan tangga erat-erat ketika naik ke atas.
Susah melihat anak tangga dari balik lobang mata. Ia terpaksa naik pelan-pelan,
satu-satu.
Musik heavy-metal itu berhenti ketika ia sampai di atas. Ia mengendap-endap di r
uang tengah dan berhenti di depan kamar Noah.
Carly Beth merapatkan kepalanya ke pintu dan mengintip kamar Noah yang terang be
nderang.
Noah berdiri di depan cermin, sedang merapikan antena kecoak di atas kepalanya.
"Noah aku datang menjemputmu!" panggil Carly Beth.
Ia terkejut ketika mendengar suaranya jadi parau dan dalam. Sama sekali tidak se
perti suara aslinya!
"Hah?" Noah terkejut dan berbalik.
"Noah - kutangkap kau!" Carly Beth melengking, suaranya dalam, serak, jahat.
"Tidak!" teriak adiknya memrotes. Meskipun wajahnya tertutup riasan kecoak, Carl
y Beth tahu adiknya jadi pucat.
Carly Beth melompat masuk ke kamar, tangannya terkembang seperti siap menerkam.
"Tidak - tolonglah!" teriaknya, wajahnya ketakutan. "Siapa kau? Bagaimana - baga
imana kau bisa masuk?"
Ia tidak mengenali aku! pikir Carly Beth girang. Dan ia setengah mati ketakutan!
Apa karena wajah mengerikan ini? Suaranya yang parau dan dalam? Atau dua-duanya?
Carly Beth tidak peduli. Topeng ini sukses besar!
"Kutangkap kau!" jerit Carly Beth, ia terkejut sendiri mendengar betapa mengerik
annya suaranya dari balik topeng.
"Tidak! Kumohon!" kata Noah memohon-mohon. "Mom! Mom!"
Noah mundur ke tempat tidur, seluruh tubuhnya gemetar, antenanya bergetar ketaku
tan. "Mom! Toloooong!"
Carly Beth meledak tertawa. Suara tawanya terdengar menggemuruh. "Ini aku, tolol
!" teriaknya. "Penakut sekali kau!"
"Hah?" Noah yang masih meringkuk di tempat tidur melotot menatapnya.

"Kau tidak mengenali jins-ku? Baju hangatku? Ini aku, goblok!" teriak Carly Beth
dengan suara parau.
"Tapi wajahmu - topeng itu!" Noah tergagap. "Aku - aku benar-benar ketakutan. Ma
ksudku - "
Ia ternganga menatap Carly Beth, diamatinya topeng itu. "Kedengarannya seperti b
ukan suaramu, Carly Beth," gumamnya. "Kukira-"
Carly Beth menarik bagian bawah topeng, mencoba melepaskannya. Rasanya panas dan
lengket. Ia terengah-engah ribut.
Dicobanya menarik topeng itu dengan dua tangan. Topeng itu tidak bergerak.
Dipegangnya telinganya yang runcing dan mencoba menariknya. Ditariknya. Sekuat t
enaga.
Dicobanya menarik topeng dari atas kepala. Tidak bergerak.
"Hei - topengnya tidak mau lepas!" teriaknya. "Topengnya - tidak mau lepas!

Chapter 11
"APA-APAAN ini?" teriak Carly Beth, ditarik-tariknya topeng dengan dua tangannya
.
"Hentikan!" teriak Noah. Suaranya kedengaran marah, tapi matanya tampak ketakuta
n. "Berhentilah bercanda, Carly Beth. Kau membuat aku takut!"
"Aku tidak bercanda," kata Carly Beth dengan suaranya yang parau. "Aku benar-ben
ar tidak - bisa - melepaskannya!"
"Lepaskan! Tidak lucu kau!" teriak adiknya.
Dengan susah payah Carly Beth berhasil menyelipkan jarinya ke bawah leher topeng
. Lalu ditariknya dari kulitnya dan dilepaskannya dari kepala.
"Wuh!"
Udara terasa sejuk sekali dan wangi. Dikibas-kibaskannya rambutnya. Lalu dilempa
rkannya topeng itu pada Noah. "Topeng hebat, ya?" Ia tersenyum.
Noah membiarkan topeng itu jatuh di tempat tidur. Lalu ragu-ragu diambilnya dan
diamatinya.
"Dapat dari mana kau?" tanyanya, dipegangnya gigi-gigi topeng yang runcing.
"Di toko perlengkapan pesta yang baru," kata Carly Beth sambil mengusap keringat
dari dahinya. "Rasanya panas sekali di dalamnya."
"Boleh kucoba?" tanya Noah, dimasukkannya tangannya ke lubang mata.
"Jangan sekarang. Aku sudah terlambat," kata Carly Beth ketus. Ia tertawa. "Kau
tadi benar-benar kelihatan takut."
Noah melemparkan topeng itu pada kakaknya lagi, dahinya berkerut. "Aku cuma berp
ura-pura," katanya. "Aku tahu itu tadi kau."
"Masak!" jawab Carly Beth, dibelalakkannya matanya. "Itu sebabnya kau menjerit s
eperti orang gila, ya?"
"Aku tidak menjerit," bantah Noah. "Aku cuma pura-pura. Supaya kau senang."
"Yeah. Betul," gumam Carly Beth. Ia berbalik dan berjalan ke pintu, diputar-puta
rnya topeng di tangan.
"Bagaimana caramu mengubah suara begitu?" teriak Noah.
Carly Beth berhenti di pintu dan berbalik menatap adiknya. Wajahnya yang terseny
um berubah bingung.
"Suaramu yang dalam yang paling menakutkan," kata Noah sambil menatap topeng di
tangan Carly Beth. "Bagaimana caramu melakukannya?"
"Entahlah," jawab Carly Beth serius. "Aku betul-betul tidak tahu."
Ketika sampai di kamar, ia tersenyum lagi. Topengnya sukses.
Sukses besar.
Noah mungkin saja tidak mau mengaku, tapi ketika Carly Beth menyerbunya sambil m
enggeram-geram dari balik topeng mengerikan ini, ia nyaris terlonjak ke luar dar
i batok kecoaknya.
Hati-hati, Chuck dan Steve! pikirnya girang. Kalian yang berikut!
Ia duduk di tempat tidur dan melirik jam radio di meja samping tempat tidur. Mas
ih ada waktu sebelum menemui teman-temannya di depan rumah Sabrina.
Cukup waktu untuk memikirkan cara terbaik untuk membuat mereka ketakutan setenga

h mati.
Aku tidak ingin sekadar mengejutkan mereka, pikir Carly Beth sambil mengusap-usa
p gigi topeng yang runcing. Itu sih, terlalu biasa-biasa saja. Aku ingin melakuk
an sesuatu yang akan mereka ingat selalu. Sesuatu yang tidak bisa mereka lupakan
.
Dielusnya telinga runcing topeng. Tiba-tiba ia mendapat akal.

Chapter 12
CARLY BETH mengeluarkan sapu tua dari dalam lemari. Dibersihkannya debu tebal da
n diamatinya tangkai kayu sapu yang panjang.
Tepat, pikirnya.
Diperiksanya lagi untuk meyakinkan bahwa ibunya masih berada di dapur. Ia yakin
ibunya tidak akan setuju dengan apa yang akan dilakukan Carly Beth. Mrs. Caldwel
l masih mengira Carly Beth akan mengenakan kostum bebek.
Sambil mengendap-endap masuk ke ruang tengah, Carly Beth melangkah ke rak di ata
s perapian dan menurunkan patung semen kepala yang dibuat ibunya.
Memang benar-benar mirip aku, pikir Carly Beth, dipegangnya patung itu setinggi
pinggang dan diamatinya dengan cermat. Kelihatan hidup sekali. Mom sangat berbak
at.
Hati-hati diletakkannya kepala itu di tangkai sapu. Tidak jatuh.
Dibawanya ke depan cermin ruang tengah.
Aku kelihatan seperti sedang membawa kepalaku yang tertancap di tongkat, pikir C
arly Beth, mengagumi apa yang dilihatnya di cermin. Matanya bersinar-sinar giran
g.
Hebat! Disandarkannya kepala dan tangkai sapu ke dinding dan dipasangnya topeng.
Sekali lagi tercium bau masam. Panas di dalam topeng itu seperti membungkusnya.
Topeng itu merapat di kulitnya ketika dikenakan.
Ketika dipandangnya cermin, ia nyaris ketakutan sendiri.
Topeng ini kelihatan seperti wajah asli, pikirnya, tidak bisa mengalihkan pandan
gan. Mataku kelihatan seperti bagian dari topeng saja. Tidak kelihatan kalau aku
sebenarnya memandang dari lubang mata.
Digerak-gerakkannya bibir yang mengerikan itu beberapa kali.
Gerakannya seperti bibir asli, pikirnya.
Sama sekali tidak kelihatan seperti topeng. Kelihatannya seperti wajah yang kasa
r dan hancur.
Dengan kedua tangannya, diratakannya dahi yang menonjol, diusapnya di atas rambu
t.
Hebat! katanya dalam hati berulang-ulang, semakin lama semakin bersemangat. Heba
t!
Topeng ini tepat sekali! pikirnya. Aneh rasanya pria di toko perlengkapan pesta
itu tidak mau menjualnya. Topeng ini topeng paling menakutkan, paling mirip, pal
ing jelek yang pernah dilihatnya.
Malam ini aku akan jadi teror di Maple Avenue! pikir Carly Beth sambil mengagumi
bayangannya di cermin. Anak-anak akan bermimpi buruk tentang aku selama berming
gu-minggu!
Terutama Steve dan Chuck, katanya sendiri.
"Moom!" gumamnya, senang mendengar suara paraunya sudah terdengar lagi. "Aku sia
p."
Diambilnya tangkai sapu, hati-hati dijaganya keseimbangan patung kepala di atasn
ya, dan berjalan ke pintu.
Suara Mom menghentikan langkahnya. "Carly Beth - tunggu sebentar," panggil Mrs.
Caldwell dari dapur. "Aku ingin lihat bagaimana penampilanmu mengenakan kostum b
ebek!"

"O-oh," geram Carly Beth keras. "Mom tidak akan suka melihat aku begini."

Chapter 13
CARLY BETH berdiri kaku di pintu. Didengarnya suara langkah kaki Mom makin mende
kat di ruang tengah.
"Biar kulihat dulu, Sayang," teriak Mrs. Caldwell. "Kostumnya pas?"
Mungkin mestinya kuceritakan perubahan rencanaku pada Mom, pikir Carly Beth deng
an perasaan bersalah.
Mestinya aku bilang, tapi aku tidak mau menyakiti perasaan Mom. Sekarang Mom pas
ti akan terkejut. Dan ia akan marah sekali kalau melihat aku mengambil patung bu
atannya.
Ia akan menyuruh aku mengembalikannya ke rak. Ia akan mengacaukan segalanya.
"Aku agak terburu-buru, Mom," teriak Carly Beth, suaranya dalam dan parau di bal
ik topeng. "Sampai nanti saja, oke?" Dibukanya pintu depan.
"Tunggu sebentar, aku ingin melihat kostum buatanku yang kaupakai," teriak ibuny
a. Ia berbelok di sudut dan kelihatan sedikit.
Mati aku, pikir Carly Beth sambil menggeram. Aku tertangkap basah.
Telepon berbunyi. Suaranya bergema keras di dalam topeng Carly Beth.
Ibunya berhenti dan berbalik ke dapur. "Oh, sialan. Sebaiknya kuangkat. Mungkin
ayahmu menelepon dari Chicago." Ia kembali ke dapur. "Nanti saja kulihat, Carly
Beth. Hati-hati, oke?"
Carly Beth menarik napas lega. Hampir saja, pikirnya.
Sambil menjaga keseimbangan tiruan kepala di tangkai sapu, ia bergegas ke luar.
Ditutupnya pintu dan berlari di halaman depan.
Malam sudah terang dan dingin. Bulan bersinar pucat, tampak di atas pepohonan gu
ndul. Daun-daun kering beterbangan di kakinya ketika ia berjalan menuju trotoar.
Rencananya ia akan bertemu Steve dan Chuck di depan rumah Sabrina. Carly Beth su
dah tidak sabar.
Ketika ia berlari, kepalanya terlonjak-lonjak di tangkai sapu.
Rumah di sudut sudah dihias untuk menyambut Halloween. Lampu-lampu jingga berder
et di atas teras. Dua ukiran labu besar yang tersenyum terdapat di sisi pintu. K
erangka dari karton diletakkan di ujung jalan muka.
Aku suka sekali Halloween! pikir Carly Beth senang.
Ia menyeberang jalan ke blok Sabrina.
Pada malam Halloween yang dulu-dulu, ia selalu ketakutan. Teman-temannya selalu
mengganggunya.
Tahun lalu, Steve memasukkan tikus karet yang kelihatan hidup ke dalam kantong h
adiahnya.
Ketika Carly Beth merogoh ke dalam kantong itu, ia merasa ada sesuatu yang lembu
t dan berbulu. Dikeluarkannya tikus itu dan menjerit sekuat tenaga. Saking takut
nya, permennya jadi tumpah semua ke jalan.
Menurut Chuck dan Steve lucu sekali. Sabrina juga menganggap begitu. Mereka sela
lu merusak Halloween-nya. Menurut mereka asyik sekali menakut-nakuti Carly Beth
dan membuatnya menjerit.
Tahun ini bukan aku yang akan menjerit, pikirnya. Tahun ini, aku yang akan membu
at semua orang menjerit.
Rumah Sabrina terletak di ujung blok. Ketika Carly Beth berjalan cepat-cepat ke
sana, dahan-dahan pohon gundul bergetar di atasnya. Bulan menghilang di balik aw
an, dan tanah jadi gelap.
Kepala di ujung gagang sapu terlonjak dan nyaris jauh. Carly Beth memelankan lan
gkahnya. Dipandangnya kepalanya, dipindahkannya pegangannya di gagang sapu.
Mata di patung kepala itu menatap lurus ke depan, seperti menjaga-jaga datangnya
bahaya.
Di kegelapan, kepala itu kelihatan seperti kepala asli. Bayang-bayang yang berge

rak di atasnya ketika Carly Beth berjalan di bawah dahan-dahan gundul membuat ma
ta dan bibirnya seperti bergerak.
Carly Beth berbalik ketika mendengar suara tawa. Di seberang jalan, sekelompok a
nak-anak sedang mendatangi teras yang terang benderang.
Dengan diterangi lampu teras, Carly Beth melihat hantu, Kura-kura Ninja, Freddy
Kreuger, dan putri raja bergaun pesta merah muda dan bermahkota kertas timah. An
ak-anak kecil. Dua ibu mengawasi mereka dari ujung jalan masuk.
Carly Beth mengamati mereka mendapat permen. Lalu diteruskannya perjalanan ke ru
mah Sabrina. Ia naik ke teras depan, diterangi cahaya dari lampu teras. Ia bisa
mendengar suara-suara dari dalam rumah, Sabrina sedang meneriakkan sesuatu pada
ibunya dan suara TV di ruang duduk.
Carly Beth merapikan topeng dengan satu tangan. Diluruskannya mulutnya yang terb
uka dan bergigi tajam. Lalu ia memeriksa apakah kepalanya aman di gagang sapu.
Diulurkannya tangan untuk memencet bel pintu rumah Sabrina - lalu berhenti.
Ada suara-suara di belakangnya.
Ia berbalik dan memicingkan mata menatap kegelapan. Dua anak yang mengenakan kos
tum mendekat sambil main dorong-dorongan di trotoar.
Chuck dan Steve!
Aku datang tepat pada waktunya, pikir Carly Beth senang. Ia melompat turun dari
teras dan merunduk di balik semak-semak.
Oke, teman-teman, pikirnya bersemangat, jantungnya berdebar-debar. Bersiap-siapl
ah menerima kejutan.

Chapter 14
CARLY BETH mengintip dari atas semak-semak.
Kedua anak itu sudah sampai di tengah jalan masuk. Kostum mereka tidak kelihatan
karena terlalu gelap. Salah satu mengenakan mantel panjang dan topi lebar ala I
ndiana Jones.
Carly Beth tidak bisa melihat yang satu lagi.
Ia menarik napas dalam-dalam dan bersiap-siap melompat ke luar. Dipegangnya gaga
ng sapu erat-erat.
Seluruh tubuhku gemetaran, pikirnya. Topeng itu tiba-tiba terasa panas. Seolah-o
lah karena ia terlalu bersemangat, topeng itu jadi panas. Napasnya menderu-deru
di dalam hidung topeng yang datar.
Sambil berjalan pelan, bermain-main saling menghalangi dengan bahu seperti pemai
n sepak bola, anak-anak itu berjalan ke ujung jalan masuk. Salah seorang mengata
kan sesuatu yang tidak bisa didengar Carly Beth. Temannya tertawa keras, cekikik
an melengking.
Sambil mengintip, Carly Beth mengawasi sampai mereka hampir sampai tepat di depa
n semak-semak.
Oke - sekarang! katanya dalam hati.
Sambil mengangkat gagang sapu dengan kepala melotot di atasnya, ia melompat ke l
uar.
Kedua anak itu menjerit, terkejut.
Ia melihat mata hitam mereka terbelalak lebar ketika ternganga melihat topengnya
.
Ia meraung marah. Lolongan yang dalam dan bergemuruh sehingga ia sendiri ketakut
an.
Begitu mendengar suara menakutkan itu, mereka berteriak lagi. Yang seorang malah
jatuh berlutut di jalan masuk. Mereka berdua melotot memandangi kepala yang ber
gerak-gerak di gagang sapu. Kepala itu seperti terbelalak menatap mereka.
Carly Beth melolong lagi. Mula-mula pelan, seperti datang dari jauh, lalu meleng

king tinggi, parau dan dalam, seperti auman binatang marah.


"Tidaaaak!" teriak salah satu anak.
"Siapa kau?" teriak temannya. "Jangan ganggu kami!"
Carly Beth mendengar suara langkah kaki yang menginjak daun-daun kering di jalan
masuk. Ketika mengangkat pandangan, dilihatnya ada wanita bermantel tebal berla
ri-lari menghampiri.
"Hei - mau apa kau?" tanya wanita itu, suaranya melengking marah. "Kau menakut-n
akuti anakanakku, ya?"
"Hah?" Carly Beth menelan ludah. Dipandangnya kedua anak yang ketakutan itu.
"Tunggu!" teriaknya, sadar mereka bukan Chuck dan Steve.
"Mau apa kau?" tanya wanita itu terengah-engah. Ia mendekati kedua anak itu dan
memegang bahu mereka. "Kalian berdua baik-baik saja?"
"Yeah. Kami baik-baik saja, Mom," kata anak yang mengenakan mantel dan topi leba
r.
Anak yang satu lagi memakai riasan putih dan hidung badut merah. "Ia - ia mengag
et-ngageti kami," katanya pada ibunya sambil menghindari tatapan mata Carly Beth
. "Ia agak membuat kami ketakutan."
Wanita itu berbalik marah pada Carly Beth dan menggoyang-goyang jarinya. "Kau ti
dak punya kerjaan lain selain menakut-nakuti anak kecil? Kenapa tidak kau pilih
yang seumur denganmu?"
Biasanya Carly Beth akan minta maaf. Ia akan menerangkan pada wanita itu bahwa i
a keliru, ia bermaksud menakut-nakuti orang lain.
Tapi tersembunyi di balik topeng jelek, masih terdengar rasanya lolongan aneh ya
ng tiba-tiba keluar dari tenggorokannya, ia tidak mau minta maaf.
Ia merasa... marah. Dan ia tidak tahu kenapa.
"Pergi!" teriaknya parau sambil menggerak-gerakkan gagang sapu dengan sikap meng
ancam. Kepala itu - kepalanya - menatap kedua anak yang terkejut itu.
"Apa kau bilang?" tanya ibu mereka, suaranya tegang karena makin marah. "Apa kau
bilang?"
"Kubilang pergi!" bentak Carly Beth dengan suara yang begitu dalam, begitu menak
utkan, sehingga ia sendiri ketakutan.
Wanita itu melipat tangan di depan mantelnya yang tebal. Matanya menyipit menata
p Carly Beth. "Siapa kau ini? Siapa namamu?" desaknya. "Kau tinggal di sini?"
"Mom - ayo kita pergi saja," desak anak yang berdandan seperti badut sambil mena
rik-narik lengan mantel ibunya.
"Yeah. Ayolah," kata saudaranya.
"Pergi. Aku PERINGATKAN kalian!" geram Carly Beth.
Wanita itu tetap bergeming, tangannya terlipat rapat, matanya menyipit menatap C
arly Beth. "Meskipun sekarang Halloween, bukan berarti kau boleh - "
"Mom, kami ingin dapat permen!" kata si badut memohon, ditariknya lengan mantel
ibunya makin kuat. "Ayolah!"
"Kita cuma buang-buang waktu saja di sini!" keluh saudaranya.
Carly Beth terengah-engah, suara napasnya terdengar menderu-deru dari balik tope
ng.
Aku kedengaran seperti binatang, pikirnya, bingung. Apa yang terjadi pada diriku
?
Ia bisa merasakan kemarahannya semakin memuncak. Suara napasnya menderu-deru di
dalam topeng yang ketat. Wajahnya terasa panas seperti terbakar.
Kemarahannya terasa sampai ke dada. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia merasa seperti
akan meledak.
Akan kukoyak-koyak wanita ini! tekad Carly Beth.

Chapter 15

AKAN kukunyah-kunyah dia! Akan kumakan dagingnya sampai ke tulang! Pikiran-piki


ran mengerikan terlintas di kepala Carly Beth.
Ia menegangkan otot, mengambil kuda-kuda, dan bersiap-siap menerkam.
Tapi sebelum ia bergerak, kedua anak itu menarik ibu mereka.
"Ayo pergi, Mom."
"Yeah. Ayo pergi. Dia gila!"
Yeah. Aku gila. Gila, gila. GILA.
Kata itu terus berulang-ulang, menggemuruh di dalam pikiran Carly Beth. Topengny
a terasa makin panas, makin ketat.
Wanita itu memandang dingin pada Carly Beth untuk terakhir kalinya. Lalu ia berb
alik dan membawa kedua anaknya pergi.
Carly Beth menatap mereka sambil terengah-engah. Ia ingin sekali mengejar mereka
- supaya mereka BENAR-BENAR ketakutan!
Tapi teriakan keras membuatnya berhenti dan berbalik.
Sabrina berdiri di teras depan, bersandar di pintu luar, mulutnya ternganga leba
r karena terkejut. "Siapa di sana?" teriaknya sambil memicingkan mata menatap ke
gelapan.
Sabrina mengenakan pakaian seperti Wanita Kucing, dengan baju kucing warna perak
dan kelabu di balik topeng perak. Rambut hitamnya diikat kencang ke belakang. M
atanya menatap Carly Beth.
"Kau tidak mengenaliku?" tanya Carly Beth serak sambil mendekat.
Ia bisa melihat mata Sabrina ketakutan. Sabrina mencengkeram pegangan pintu kuat
-kuat, berdiri antara keluar dan masuk rumah.
"Kau tidak mengenali aku, Sabrina?" Dilambaikannya kepala di gagang sapu, sepert
i memberi petunjuk pada temannya.
Sabrina tersentak dan menutup mulut ketika melihat kepala di gagang sapu itu. "C
arly Beth - kau - kau, ya?" ia tergagap.
Matanya berganti-ganti memandang topeng dan patung kepala.
"Hai, Sabrina," geram Carly Beth. "Ini aku."
Sabrina terus mengamatinya. "Topeng itu!" teriaknya akhirnya. "Benar-benar hebat
! Betul. Hebat sekali. Benar-benar menakutkan."
"Aku suka pakaian kucingmu," kata Carly Beth sambil maju mendekat, ke cahaya lam
pu.
Mata Sabrina beralih ke ujung gagang sapu. "Kepala itu - mirip sekali! Dapat dar
i mana?"
"Itu kepalaku yang sebenarnya!" Carly Beth bercanda.
Sabrina terus menatap patung kepala Carly Beth. "Carly Beth, waktu pertama kali
kulihat, aku - "
"Ibuku yang membuat," kata Carly Beth. "Di kursus seninya."
"Kukira kepala betulan," kata Sabrina. Ia bergidik. "Matanya. Caranya melihatmu.
"
Carly Beth menggoyang gagang sapu, kepalanya jadi mengangguk-angguk.
Sabrina mengamati topeng Carly Beth. "Wah, coba Chuck dan Steve melihat kostummu
."
Aku tidak sabar lagi! pikir Carly Beth.
"Mana mereka?" desaknya sambil memandang ke jalan.
"Steve tadi menelepon," jawab Sabrina. "Katanya mereka akan terlambat. Ia harus
mengantar adiknya ber-Halloween sebelum menemui kita."
Carly Beth menghela napas, kecewa.
"Kita tinggalkan saja mereka," usul Sabrina. "Mereka bisa menyusul nanti."
"Yeah. Oke," jawab Carly Beth.
"Kuambil mantelku dulu, lalu kita pergi," kata Sabrina.
Dipandangnya patung kepala Carly Beth lama-lama untuk terakhir kalinya, lalu dib
antingnya pintu dan menghilang ke dalam untuk mengambil mantel.
***
Angin bertiup ketika kedua gadis itu berjalan ke ujung blok. Daun-daun gugur ber
putar-putar di kaki mereka. Pohon-pohon gundul membungkuk dan bergetar. Di atas
atap-atap rumah yang gelap, bulan yang bersinar pucat timbul-tenggelam di balik
awan.

Sabrina sibuk menceritakan kerepotan kostumnya. Baju kucing yang mula-mula dibel
inya berlubang salah satu kakinya dan terpaksa dikembalikan. Lalu Sabrina tidak
bisa mendapat topeng mata kucing yang sesuai.
Carly Beth diam saja. Ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena Chuck da
n Steve tidak menemui mereka sesuai rencana.
Bagaimana kalau mereka tidak menyusul kami? pikirnya.
Bagaimana kalau kami tidak ketemu?
Tujuan utama malam ini, menurut Carly Beth, adalah bertemu kedua anak laki-laki
itu dan membuat mereka ketakutan setengah mati.
Sabrina tadi memberikan tas belanja padanya untuk tempat permen. Ketika mereka b
erjalan, sebelah tangan Carly Beth memegang tas itu erat-erat dan tangannya yang
sebelah lagi berusaha agar kepalanya tidak jatuh dari gagang sapu.
"Di mana kau beli topengmu? Bukan ibumu yang membuatnya, kan? Kau pergi ke toko
perlengkapan pesta baru itu, ya? Boleh kupegang?"
Sabrina memang cerewet. Tapi malam ini bukan main banyak omongannya.
Carly Beth berhenti dengan patuh supaya temannya bisa menyentuh topengnya.
Sabrina menekan pipi topeng, lalu langsung menarik tangannya lagi.
"Oh! Rasanya seperti kulit!"
Carly Beth tertawa, tawa mengejek yang belum pernah didengarnya.
"Hii! Apa, sih, bahannya?" desak Sabrina. "Bukan kulit - kan? Semacam karet, kan
?"
"Rasanya," gumam Carly Beth.
"Kalau begitu kenapa bisa hangat?" tanya Sabrina. "Tidak enak rasanya memakainya
, ya? Kau pasti bercucuran keringat."
Tiba-tiba Carly Beth merasa marah sekali, diempaskannya tas dan gagang sapunya.
"Diam! Diam! Diam!" bentaknya.
Lalu sambil melolong marah, disambarnya leher Sabrina dengan dua tangan dan dice
kiknya.
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Chapter 16
SABRINA berteriak terkejut dan terhuyung-huyung mundur, melepaskan diri dari cen
gkeraman Carly Beth. "C-Carly Beth!" semburnya.
Kenapa aku ini? pikir Carly Beth bingung, ternganga ngeri memandang temannya. Ke
napa kulakukan itu?
"Uh... kena kau!" teriak Carly Beth. Ia tertawa. "Mestinya kau lihat tampangmu,
Sabrina. Kau kira aku benar-benar mencekikmu, ya?"
Sabrina mengusap-usap lehernya dengan satu tangannya yang terbungkus sarung tang
an perak. Keningnya berkerut ketika menatap temannya. "Itu tadi bercanda? Kau me
mbuat aku setengah mati ketakutan!"
Carly Beth tertawa lagi. "Supaya sesuai peran," katanya enteng sambil menunjuk t
openg. "Kau tahu, kan. Berusaha mendapatkan perasaan yang sesuai. Ha-ha. Aku suk
a menakut-nakuti orang. Kau tahu, kan. Biasanya aku yang gemetar ketakutan."
Dipungutnya tas dan gagang sapu, dirapikannya letak patung kepalanya. Lalu berge
gas-gegas pergi ke jalan masuk terdekat menuju rumah terang benderang yang ada s
panduk HAPPY HALLOWEEN di jendela depannya.
Apa Sabrina percaya tadi itu cuma bercanda? tanya Carly Beth dalam hati ketika m
engangkat tas belanja dan membunyikan bel.
Apa-apaan aku ini?
Kenapa aku tiba-tiba jadi marah sekali?
Kenapa kuserang sahabat akrabku seperti itu?
Sabrina melangkah ke sampingnya ketika pintu depan terbuka.
Dua anak kecil berambut pirang, laki-laki dan perempuan, muncul di pintu. Ibu me
reka berdiri di belakang.

"Trick or Treat!" teriak Carly Beth dan Sabrina serentak.


"Ooh, topeng itu menakutkan!" kata wanita itu pada kedua anaknya sambil tersenyu
m pada Carly Beth.
"Kau jadi apa? Kucing?" tanya anak yang laki-laki pada Sabrina.
Sabrina mengeong. "Aku Wanita Kucing," katanya.
"Aku tidak suka yang satu lagi itu!" teriak anak perempuan itu pada ibunya. "Ter
lalu menakutkan."
"Cuma topeng konyol, kok," kata ibu itu meyakinkan anak perempuannya.
"Terlalu menakutkan. Aku jadi takut!" kata anak itu.
Carly Beth bersandar di kusen pintu, didekatkannya wajahnya yang aneh pada anak
perempuan itu. "Kumakan kau nanti!" geramnya jahat.
Anak kecil itu menjerit dan menghilang ke dalam rumah.
Saudaranya terbelalak menatap Carly Beth. Si ibu cepat-cepat memasukkan permen k
e dalam tas mereka. "Seharusnya kau jangan menakut-nakuti dia," katanya pelan. "
Ia sering bermimpi buruk."
Bukannya minta maaf, Carly Beth malah berbalik menatap anak laki-lakinya. "Kumak
an juga kau nanti!" bentaknya.
"Hei hentikan!" kata ibunya marah.
Carly Beth tertawa menggeram, melompat dari teras, dan berlari ke seberang halam
an.
"Kenapa kaulakukan itu?" tanya Sabrina ketika mereka menyeberang jalan. "Kenapa
kau menakut-nakuti anak-anak kecil seperti itu?"
"Topeng ini yang memaksa aku melakukannya," jawab Carly Beth. Maksudnya bercanda
. Tapi ia cemas juga.
Di beberapa rumah berikutnya, Carly Beth berdiri di kejauhan dan membiarkan Sabr
ina yang maju. Di salah satu rumah, seorang pria setengah baya yang mengenakan b
aju hangat robek pura-pura takut pada topeng Carly Beth. Istrinya menyuruh merek
a masuk supaya bisa menunjukkan kostum-kostum bagus yang mereka kenakan pada ibu
nya yang sudah tua.
Carly Beth menggeram keras, tapi diikutinya Sabrina masuk ke rumah. Wanita tua i
tu bengong melihat mereka dari kursi rodanya.
Carly Beth menggeram, tapi kelihatannya wanita itu tidak terkesan sedikit pun.
Ketika akan pulang, pria yang mengenakan baju hangat robek memberi mereka apel h
ijau.
Carly Beth menunggu sampai mereka sampai trotoar. Ia lalu berbalik, ditekuknya t
angannya ke belakang, dan sekuat tenaga dilemparkannya apel tadi ke rumah pria i
tu.
Terdengar bunyi gedebuk keras ketika apelnya mengenai dinding di dekat pintu dep
an.
"Aku benar-benar sebal kalau Halloween dikasih apel!" kata Carly Beth. "Apalagi
apel hijau!"
"Carly Beth - aku cemas memikirkan kau!" teriak Sabrina, dipandangnya temannya d
engan penuh perhatian. "Kelakuanmu aneh sekali."
Memang. Malam ini aku bukan lagi tikus kecil yang ketakutan dan memelas, pikir C
arly Beth muram.
"Berikan padaku," perintahnya pada Sabrina, dan diambilnya apel Sabrina dari dal
am tas.
"Hei - stop!" protes Sabrina.
Tapi Carly Beth sudah melengkungkan tangannya dan melemparkan apel Sabrina ke ru
mah tadi. Suaranya ribut sekali ketika mengenai talang air alumunium.
Pria yang mengenakan baju hangat robek menjulurkan kepala dari balik pintu. "Hei
- apa-apaan?"
"Lari!" jerit Carly Beth.
Kedua gadis itu kabur, berlari sekuat tenaga ke ujung blok. Mereka tidak berhent
i sampai rumah itu tidak kelihatan lagi.
Sabrina mencengkeram bahu Carly Beth dan terus dipegangnya sambil terengah-engah
. "Gila kau!" katanya. "Kau benar-benar gila!"
"Orang perlu saling mengenal," kata Carly Beth bercanda.
Mereka berdua tertawa.
Carly Beth memandang jalan mencari-cari Steve dan Chuck.

Dilihatnya ada segerombolan anak-anak berkostum berkumpul di pojok. Tapi kedua t


emannya tidak kelihatan.
Di blok ini rumah-rumahnya lebih kecil, lebih rapat, berderet dua-dua.
"Ayo jalan sendiri-sendiri," usul Carly Beth sambil bersandar ke gagang sapu. "S
upaya kita bisa dapat permen lebih banyak."
Sabrina mengerutkan dahi, dipandangnya temannya dengan curiga. "Carly Beth, kau
kan tidak suka permen!" teriaknya.
Tapi Carly Beth sudah berlari ke jalan masuk rumah pertama, patung kepalanya ter
guncang-guncang di atas gagang sapu.
Malam ini milikku, pikir Carly Beth sambil menerima permen dari wanita yang ters
enyum sambil membuka pintu. Malamku!
Ia merasa belum pernah semangat seperti ini. Dan ada perasaan aneh yang tidak bi
sa digambarkannya. Perasaan lapar...
Beberapa menit kemudian, ketika tasnya sudah terasa berat, ia sampai di ujung bl
ok. Ia ragu-ragu di pojok, bingung ingin pergi ke seberang jalan atau pergi ke b
lok berikutnya.
Gelap sekali di sana, pikirnya.
Bulan menghilang lagi di balik awan gelap. Lampu jalanan di pojok mati, mungkin
bola lampunya putus.
Di seberang jalan, empat anak kecil tertawa cekikikan ketika mendekati rumah yan
g ada lampu labu di terasnya.
Carly Beth bersembunyi dalam kegelapan. Didengarnya ada suara-suara, suara anak
laki-laki. Chuck dan Steve?
Bukan. Suara-suara itu tidak dikenalnya. Mereka sedang berdebat akan pergi ber-H
alloween ke mana. Salah seorang ingin pulang dan menelepon temannya.
Bagaimana kalau ditakut-takuti sedikit, anak-anak? pikir Carly Beth sambil terse
nyum lebar. Bagaimana kalau mengalami sesuatu supaya malam Halloween ini tak ter
lupakan?
Ia menunggu, memasang telinga, sampai mereka mendekat. Ia bisa melihat mereka se
karang. Dua mumi, wajah mereka terbalut kain kasa.
Semakin dekat, semakin dekat. Ia menunggu saat yang tepat.
Lalu ia melompat ke luar dari balik bayang-bayang sambil melolong seperti binata
ng marah yang melengking nyaring.
Kedua anak itu tersentak dan terlonjak mundur.
"Hei !" Salah seorang mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat.
Temannya menjatuhkan tas permennya.
Ketika ia memungutnya, Carly Beth bergerak cepat. Dirampasnya tas itu, disentakk
annya, dan lari pergi.
"Kembali!"
"Itu punyaku!"
"Hei "
Suara mereka terdengar nyaring dan melengking, takut dan terkejut. Ketika berlar
i menyeberang jalan, Carly Beth menoleh untuk melihat apakah mereka mengikutinya
.
Tidak. Mereka terlalu ketakutan. Mereka berdiri rapat di pojok jalan, meneriaki
Carly Beth.
Sambil memegang tas permen erat-erat, Carly Beth mendongakkan kepalanya dan tert
awa.
Tawa yang jahat, tawa penuh
kemenangan. Suara tawa yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Dituangkannya permen anak-anak itu ke dalam tasnya, lalu dibuangnya tas mereka k
e tanah.
Ia merasa senang, sangat senang. Sangat kuat. Dan siap untuk lebih bersenang-sen
ang lagi.
Ayo, Steve dan Chuck, pikirnya. Berikutnya giliran kalian!

Chapter 17
BEBERAPA menit kemudian Carly Beth menemukan Chuck dan Steve. Mereka ada di sebe
rang jalan, berdiri di bawah lampu jalan masuk rumah orang, sedang memeriksa isi
tas permen mereka.
Carly Beth merunduk di balik batang besar pohon tua di dekat trotoar. Jantungnya
mulai berdebar-debar ketika mengamati mereka.
Kedua anak itu tidak mau repot-repot memakai kostum.
Chuck mengenakan bandana merah yang diikat di kepala dan topeng hitam di mata. S
teve menghitamkan pipi dan dahinya dan mengenakan topi tenis tua dan jas hujan r
obek.
Ia mau jadi gelandangan? pikir Carly Beth bingung.
Dilihatnya mereka mengaduk-aduk isi tas.
Sudah lama juga mereka keluar, pikirnya. Tas mereka kelihatan lumayan penuh.
Tiba-tiba Steve memandang ke arahnya.
Carly Beth menyentakkan kepalanya ke balik pohon.
Ia tadi kelihatan tidak?
Tidak.
Jangan kaukacaukan sekarang, katanya pada diri sendiri. Kau sudah lama sekali me
nunggu saat seperti ini. Kau sudah menunggu lama sekali untuk membalas mereka se
mua karena sudah menakut-nakuti kau.
Carly Beth mengamati kedua anak itu berjalan ke teras depan rumah berikutnya.
Carly Beth melompat ke luar dari balik pohon dan nyaris tersandung gagang sapu.
Ia berlari ke seberang jalan dan merunduk di balik semak-semak.
Kalau mereka sudah ada di jalan lagi, aku akan melompat ke luar. Akan kuterkam m
ereka. Akan kubuat mereka ketakutan setengah mati, pikirnya.
Semak-semak itu berbau cemara dan manis. Masih basah karena hujan tadi pagi. Ang
in membuat daun-daunnya bergetar. Suara bersiul aneh apa itu?
Sesaat kemudian baru Carly Beth sadar itu suara napasnya sendiri.
Tiba-tiba ia mulai ragu.
Ini tidak akan berhasil, pikirnya sambil merunduk semakin rendah di balik semaksemak yang bergetar.
Aku konyol sekali. Chuck dan Steve tidak akan ketakutan cuma karena topeng konyo
l ini.
Aku akan menyerbu mereka, dan mereka akan menertawakan aku. Seperti biasanya. Me
reka akan tertawa dan berkata, "Oh, hai, Carly Beth. Bagus juga penampilanmu!" A
tau yang semacamnya.
Lalu mereka akan menceritakan pada semua orang di sekolah betapa kukira aku sang
at menakutkan, betapa mereka segera mengenaliku dan betapa konyolnya aku. Semua
orang akan menertawakan.
Mengapa aku bisa mengira ini akan berhasil? Mengapa aku bisa menganggap ini ide
hebat?
Sambil merunduk di balik semak-semak, Carly Beth bisa merasa kemarahannya semaki
n memuncak. Marah pada diri sendiri.
Marah pada kedua anak itu.
Wajahnya terasa panas terbakar di balik topeng. Jantungnya berdebar-debar kencan
g. Suara napasnya yang terengah-engah kedengaran seperti bersiul terkena hidung
datar topeng.
Chuck dan Steve mendekat. Ia bisa mendengar suara sepatu mereka menginjak keriki
l di jalan masuk.
Carly Beth menegangkan otot kakinya dan bersiap-siap menerkam.
Oke, pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam, ini dia!

Chapter 18
SEMUANYA seperti gerakan lambat.
Kedua anak itu berjalan pelan melewati semak-semak. Mereka ribut berbicara. Tapi
bagi Carly Beth, suara mereka kedengaran pelan dan jauh.
Ia berdiri, melangkah ke luar dari semak-semak, dan menjerit sekuat tenaga.
Meskipun remang-remang, ia bisa melihat reaksi mereka dengan jelas.
Mata mereka terbelalak. Mulutnya ternganga. Tangan mereka terangkat ke atas kepa
la.
Steve berteriak. Chuck mencengkeram lengan jas hujan Steve.
Jeritan Carly Beth bergema di halaman depan yang gelap.
Suaranya seperti melayang-layang di udara.
Semua bergerak pelan sekali. Begitu pelan sehingga Carly Beth bisa melihat alis
Chuck bergetar. Ia bisa melihat dagunya gemetar.
Dilihatnya mata Steve bersinar ketakutan ketika mengalihkan pandangan dari topen
g Carly Beth ke kepala yang ada di gagang sapu.
Dilambai-lambaikannya gagang sapu itu dengan sikap mengancam.
Steve merintih ketakutan.
Chuck menatap Carly Beth, matanya yang ketakutan terpaku pada mata Carly Beth. "
Carly Beth - kau, ya?" akhirnya ia bisa bersuara.
Carly Beth menggeram seperti binatang, tapi tidak menjawab.
"Siapa kau?" desak Steve, suaranya bergetar. "Ku - kurasa dia - Carly Beth!" kat
a Chuck. "Kau yang ada di dalamnya, Carly Beth?"
Steve tertawa tegang. "Kau - menakut-nakuti kami!"
"Carly Beth - kau, ya?" desak Chuck lagi.
Carly Beth melambai-lambaikan gagang sapu. Ditunjuknya patung kepalanya.
"Itu kepala Carly Beth," katanya. Suaranya dalam dan parau.
"Hah?" Kedua anak itu menatap ragu.
"Itu kepala Carly Beth," ulangnya pelan-pelan sambil dilambai-lambaikannya perla
han. Mata yang dicat di patung kepala itu kelihatan seperti melotot pada mereka.
"Carly Beth yang malang tidak mau menyerahkan kepalanya malam ini. Tapi tetap s
aja kuambil."
Kedua anak itu menatap patung kepala.
Chuck terus mencengkeram lengan jas hujan Steve.
Steve tertawa tegang lagi. Dipandangnya Carly Beth, wajahnya kelihatan bingung.
"Kau Carly Beth, kan? Bagaimana caramu membuat suara aneh begitu?"
"Itu temanmu Carly Beth," geramnya sambil menunjuk kepala di gagang sapu. "Cuma
itu yang tersisa!"
Chuck susah payah menelan ludah. Matanya terpaku pada patung kepala yang bergoya
ng-goyang.
Steve menatap topeng Carly Beth dengan cermat.
"Serahkan permen kalian," bentak Carly Beth, terkejut sendiri mendengar nada sua
ranya.
"Hah?" teriak Steve.
"Serahkan. Sekarang. Kalau tidak, kutancapkan kepala kalian ke tongkat ini."
Kedua anak itu tertawa cekikikan yang melengking.
"Aku tidak main-main!" raung Carly Beth.
Kata-katanya langsung menghentikan tawa mereka.
"Carly Beth - sudahlah," gumam Chuck ragu, matanya masih menyipit ketakutan.
"Yeah. Betul," kata Steve pelan.
"Serahkan tas kalian," kata Carly Beth dingin. "Kalau tidak, kepala kalian akan
merasakan tongkatku."
Didekatkannya tongkatnya pada mereka dengan sikap mengancam.
Dan ketika didekatkannya, mereka bertiga menatap wajah yang bermata kelam itu. M
ereka mengamati wajahnya yang kaku, wajah yang kelihatan begitu mirip, begitu mi
rip dengan Carly Beth Caldwell.
Tiba-tiba angin bertiup di sekitar mereka, kepala di tongkat itu jadi bergerak-g
erak.

Lalu, mereka bertiga melihat matanya berkedip.


Sekali. Dua kali.
Mata cokelat itu berkedip.
Dan bibirnya membuka, mengeluarkan suara yang kering.
Carly Beth beku ketakutan menatap wajah itu bersama kedua temannya.
Dan mereka bertiga melihat bibirnya bergerak. Terdengar suara berderak yang keri
ng.
Mereka bertiga melihat bibir hitam itu mengerut, lalu terbuka.
Mereka bertiga melihat kepala yang bergerak-gerak itu bicara tanpa suara menguca
pkan, "Tolong aku. Tolong aku."

Chapter 19
SAKING takutnya, Carly Beth melepaskan gagang sapunya. Gagang itu jatuh di sampi
ng Chuck. Kepalanya menggelinding ke bawah semak-semak.
"Kepala kepalanya bicara!" teriak Steve.
Chuck merintih pelan.
Tanpa berkata-kata lagi, kedua anak itu menjatuhkan tasnya dan kabur, sepatu mer
eka berdebuk-debuk di trotoar.
Angin bertiup di sekeliling Carly Beth, seolah-olah menahannya.
Ia merasa seperti ingin mendongak dan melolong. Ia merasa seperti ingin merobekrobek pakaiannya dan terbang mengarungi malam.
Ia merasa seperti ingin memanjat pohon, melompat ke atap, meraung pada langit ya
ng hitam dan tidak berbintang.
Ia lama berdiri kaku, dibiarkannya angin bertiup di sekelilingnya. Anak-anak itu
sudah pergi. Kabur ketakutan.
Ketakutan!
Carly Beth berhasil. Ia telah membuat mereka ketakutan setengah mati.
Ia tahu ia takkan pernah melupakan wajah mereka yang ketakutan tadi, rasa takut
dan tidak percaya yang bersinar di mata mereka.
Dan ia takkan pernah melupakan perasaan penuh kemenangan yang dirasakannya. Pera
saan membalas dendam yang enak sekali.
Sesaat, ia sadar, ia juga takut.
Ia telah membayangkan kepala di gagang sapu hidup betulan, mengedipkan mata, ber
bicara tanpa suara pada mereka.
Sesaat ia merasa takut juga. Ia terkena tipuannya sendiri.
Tapi, tentu saja, kepala itu tidak sungguh-sungguh hidup, katanya meyakinkan dir
i sendiri. Tentu saja bibirnya tidak bergerak, tidak memohon tanpa suara, "Tolon
g aku. Tolong aku."
Pasti cuma bayangan, pikirnya. Bayangan karena ada sinar bulan, yang memancar da
ri balik awan hitam yang berarak-arak.
Mana kepala tadi?
Mana gagang sapu yang dijatuhkannya?
Biarlah. Tidak ada gunanya lagi.
Carly Beth sudah menang.
Dan sekarang ia berlari-lari. Berlari-lari cepat melintasi halaman depan rumah o
rang. Melompati semak-semak dan pagar tanaman. Terbang di atas tanah yang keras
dan gelap.
Ia lari membabi-buta, rumah-rumah berseliweran di sampingnya. Angin berputar-put
ar, dan ia ikut berputar-putar juga, naik di atas trotoar, menembus ilalang ting
gi, terbang bersama angin seperti daun rontok.
Sambil memegang tas permennya yang menggelembung, ia berlari melewati anak-anak
yang terkejut, melewati labu-labu yang menyala, melewati kerangka yang berderak-

derak.
Ia lari sampai kehabisan napas.
Lalu ia berhenti, terengah-engah, dan memejamkan mata, menunggu debaran jantungn
ya mereda, menunggu darahnya berhenti berdenyut-denyut di dahinya.
Dan ada tangan yang mencengkeram kasar bahunya dari belakang.

Chapter 20
CARLY BETH menjerit terkejut dan berbalik.
"Sabrina!" jeritnya terengah-engah.
Sambil meringis, Sabrina melepaskan cengkeramannya.
"Sudah berjam-jam kucari kau," kata Sabrina marah. "Ke mana saja kau?"
"Ku - kurasa aku tersesat," jawab Carly Beth, napasnya masih megap-megap.
"Sebentar kau kelihatan. Sebentar kemudian sudah menghilang," kata Sabrina sambi
l merapikan topengnya.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Carly Beth, berusaha bicara dengan suara normal.
"Baju kucingku robek," keluh Sabrina, keningnya berkerut. Ditariknya bahan lycra
di salah satu kakinya untuk ditunjukkan pada Carly Beth. "Robek tersangkut kota
k surat konyol."
"Kasihan," kata Carly Beth bersimpati.
"Kau berhasil menakut-nakuti orang dengan topeng itu?" desak Sabrina, masih mera
ba-raba kaki baju kucingnya yang robek.
"Yeah. Beberapa anak kecil," jawab Carly Beth enteng.
"Jahat sekali kau," kata Sabrina.
"Itulah sebabnya kupilih topeng ini."
Mereka berdua tertawa.
"Kau dapat banyak permen?" tanya Sabrina. Diambilnya tas Carly Beth dan dilihatn
ya isinya. "Wow! Banyak sekali!"
"Aku berhasil meminta permen di banyak rumah," kata Carly Beth.
"Ayo ke rumahku dan kita lihat barang rampasan kita," usul Sabrina.
"Yeah. Oke." Carly Beth mengikuti temannya menyeberang jalan.
"Kecuali kalau kau mau minta permen lagi," kata Sabrina, ia berhenti di tengah j
alan.
"Tidak. Sudah cukup," kata Carly Beth. Ia tertawa sendiri.
Malam ini aku sudah melakukan semua yang kuinginkan.
Mereka berjalan lagi. Mereka berjalan menentang angin, tapi Carly Beth sama seka
li tidak merasa dingin.
Dua anak perempuan berbaju penuh renda, wajah mereka dirias menor, di kepala mer
eka ada wig pirang dan lucu, lari melewati Carly Beth dan Sabrina. Salah seorang
memelankan larinya ketika melihat topeng Carly Beth. Ia menjerit pelan karena t
erkejut, lalu segera mengejar temannya.
"Kau melihat Steve dan Chuck?" tanya Sabrina. "Aku mencari mereka ke mana-mana."
Ia mengerang. "Semalaman ini cuma itu kerjaanku. Semalaman kerjaanku cuma menca
ri-cari orang. Kau. Steve dan Chuck. Kenapa kita tidak pernah bertemu?"
Carly Beth mengangkat bahu. "Aku melihat mereka," katanya. "Beberapa menit yang
lalu. Di sana tadi."
Ia menggerakkan kepala. "Mereka penakut sekali."
"Hah? Steve dan Chuck?" Wajah Sabrina berubah jadi terkejut.
"Yeah. Begitu melihat topengku mereka langsung kabur," kata Carly Beth sambil te
rtawa. "Mereka menjerit-jerit seperti bayi."
Sabrina ikut tertawa. "Aku tidak percaya!" teriaknya. "Mereka selalu berlagak so
k jagoan. Dan "
"Aku memanggil-manggil mereka, tapi mereka tetap saja lari," kata Carly Beth, me
ringis.
"Aneh!" seru Sabrina.

"Yeah. Aneh," kata Carly Beth setuju.


"Mereka tahu itu sebetulnya kau?" tanya Sabrina.
Carly Beth mengangkat bahu. "Entahlah. Mereka baru memandangku sebentar dan lang
sung kabur seperti kelinci."
"Mereka bilang padaku akan menakut-nakuti kau," kata Sabrina membuka rahasia. "M
ereka akan menyelinap di belakangmu dan membuat suara-suara menakutkan atau apal
ah."
Carly Beth mencibir. "Sulit menyelinap di belakang seseorang saat kau berlari po
ntang-panting!"
Rumah Sabrina sudah kelihatan. Carly Beth memindahkan tas permennya ke tangannya
yang satu lagi.
"Aku dapat barang-barang bagus," kata Sabrina, ia mengintip ke dalam tasnya samb
il berjalan. "Aku harus dapat banyak. Aku harus membaginya dengan sepupuku. Ia s
akit flu dan malam ini tidak bisa pergi minta permen."
"Aku tidak akan membagi punyaku dengan siapa-siapa," kata Carly Beth. "Noah perg
i dengan teman-temannya. Mungkin waktu pulang nanti bawaannya banyak sekali."
"Tahun ini Mrs. Connelly memberi kue dan popcorn lagi," kata Sabrina sambil mena
rik napas. "Aku terpaksa harus membuangnya. Mom tidak akan memperbolehkan aku m
akan makanan yang tidak dibungkus. Ia takut ada setan kubur yang meracuni makana
n-makanan itu. Tahun lalu banyak makanan enak yang terpaksa kubuang."
Sabrina mengetuk pintu depan rumahnya. Beberapa saat kemudian, ibunya membukakan
pintu dan mereka masuk.
''Hebat juga topengmu, Carly Beth," kata ibu Sabrina, diamatinya topeng Carly Be
th. "Bagaimana hasil kerja kalian?"
"Kurasa lumayan," jawab Sabrina.
"Yah, ingat saja "
"Aku tahu. Aku tahu, Mom," potong Sabrina tidak sabar. "Buang semua makanan yang
tidak dibungkus. Buah-buahan juga."
Begitu Mrs. Mason masuk ke dalam, kedua gadis itu membalikkan tas mereka dan men
umpahkan semua permen ke atas karpet ruang duduk.
"Hei, lihat - permen Milky Way besar!" seru Sabrina sambil menariknya dari tumpu
kan permen. "Kesukaanku!"
"Aku benci!" kata Carly Beth, diangkatnya permen keras besar warna biru. "Terakh
ir kali aku mencoba mengisapnya, lidahku jadi luka." Dilemparkannya ke tumpukan
permen Sabrina.
"Terima kasih banyak," kata Sabrina kasar.
Dibukanya topengnya dan dijatuhkannya ke karpet. Wajahnya merah padam. Digeraika
nnya rambutnya yang hitam.
"Nah. Rasanya enakan," kata Sabrina. "Wow. Panas sekali topeng tadi." Dipandangn
ya Carly Beth. "Kau tidak mau melepas topengmu? Pasti kau seperti direbus di dal
amnya!"
"Yeah. Ide bagus." Carly Beth sebetulnya sudah lupa ia mengenakan topeng.
Ia mengangkat kedua tangannya dan menarik kuping topeng.
"Aduh!" Topeng itu tidak bergerak. Ditariknya dari atas kepala. Lalu ia mencoba
meregangkannya dan menariknya dari bagian pipi.
"Aduh!"
"Ada apa?" tanya Sabrina, ia sedang, asyik menumpuk-numpuk permennya.
Carly Beth tidak menjawab. Dicobanya menarik topeng dari leher. Lalu ditariknya
bagian kuping lagi.
"Carly Beth - ada apa?" tanya Sabrina, dialihkannya pandangannya dari tumpukan p
ermen.
"Tolong aku!" kata Carly Beth dengan suara melengking ketakutan. "Kumohon tolong a
ku! Topengnya - topengnya tidak mau lepas!"

Chapter 21
SAMBIL berlutut di karpet, Sabrina memandang Carly Beth sekilas. "Carly Beth, be

rhentilah bercanda."
"Aku tidak bercanda!" kata Carly Beth, suaranya melengking karena panik.
"Kau belum capek menakut-nakuti orang malam ini?" desak Sabrina. Dipungutnya per
men asin di dalam kantong plastik bening. "Aku ingin tahu apa Mom mengizinkan ak
u menyimpannya. Ini kan ada bungkusnya."
"Aku tidak menakut-nakuti kau. Aku serius!" teriak Carly Beth.
Ditariknya kuping topeng, tapi tidak bisa dipegangnya kuat-kuat.
Sabrina melempar kantong permen asinnya dan berdiri. "Kau benar-benar tidak bisa
melepas topeng itu?"
Carly Beth menarik bagian dagu kuat-kuat. "Aduh!" Ia berteriak kesakitan. "To topengnya lengket di kulitku. Tolong aku."
Sabrina tertawa. "Kita akan kelihatan konyol sekali kalau sampai harus memanggil
pemadam kebakaran untuk melepaskan topengmu!"
Carly Beth tidak menganggap hal itu lucu. Dipegangnya bagian atas topeng dengan
dua tangan dan ditariknya sekuat tenaga. Topeng itu tidak bergerak.
Senyum Sabrina menghilang. Didekatinya temannya. "Kau tidak main-main - ya. Tope
ng itu benar-benar tidak mau lepas."
Carly Beth mengangguk. "Ayo, dong," katanya tidak sabar. "Bantu aku menariknya."
Sabrina mencengkeram bagian atas topeng. "Rasanya hangat sekali!" serunya. "Kau
pasti sesak napas di balik topeng."
"Tarik sajalah!" ratap Carly Beth.
Sabrina menariknya.
"Aduh! Jangan sekuat itu!" teriak Carly Beth. "Sakit sekali rasanya!"
Sabrina menarik lagi lebih pelan, tapi topeng itu tidak bergerak. Diturunkannya
tangannya ke pipi dan ditariknya.
"Aduh!" jerit Carly Beth. "Topeng ini benar-benar menempel di wajahku."
"Terbuat dari apa sih benda ini?" tanya Sabrina, ditatapnya topeng itu lekat-lek
at. "Rasanya tidak seperti karet. Rasanya seperti kulit."
"Aku tidak tahu terbuat dari apa, aku tidak peduli," gerutu Carly Beth. "Aku cum
a ingin topeng ini lepas. Mungkin kita bisa memotongnya. Kau tahu, kan. Pakai gu
nting."
"Topengnya jadi rusak, dong?" kata Sabrina.
"Biar!" teriak Carly Beth, ia sibuk menarik-narik topeng. "Aku sama sekali tidak
peduli! Aku cuma mau keluar! Kalau topeng ini tidak bisa dilepaskan, aku bisa j
adi gila. Aku tidak main-main!"
Sabrina menepuk bahu temannya untuk menenangkan. "Oke. Oke. Coba sekali lagi. Ba
ru kita gunting."
Dipicingkannya matanya ketika mengamati topeng.
"Mestinya aku bisa merogoh bagian bawahnya dan menariknya," katanya. "Kalau kuse
lipkan tanganku di leher, aku bisa menarik dan mengangkatnya."
"Ayo. Cepat!" kata Carly Beth.
Tapi Sabrina tidak bergerak. Matanya yang kelam terbelalak, dan mulutnya terngan
ga ketika mengamati topeng. Ia tersentak pelan.
"Sabrina? Ada apa?" desak Carly Beth.
Sabrina tidak menjawab. Ia malah meraba-raba tenggorokan Carly Beth.
Wajahnya tetap terkejut. Ia bergerak ke belakang Carly Beth dan dirabanya tengku
k Carly Beth.
"Ada apa? Ada apa?" desak Carly Beth dengan suara melengking.
Sabrina mengusap rambutnya. Dahinya berkerut karena berkonsentrasi. "
Carly Beth," katanya, "ada sesuatu yang sangat aneh terjadi."
"Apa? Bicara apa kau ini?" desak Carly Beth.
"Topeng ini tidak ada bagian akhirnya."
"Hah?" Tangan Carly Beth cepat-cepat memegangi leher. Dengan panik diraba-rabany
a. "Apa maksudmu?"
"Tidak ada garis batas," kata Sabrina dengan suara gemetar. "Tidak ada garis bat
as antara topeng dan kulitmu. Tidak ada celah untuk menyelipkan tanganku."
"Tapi itu gila!" teriak Carly Beth. Dipegangnya tenggorokannya, didorongnya kuli
tnya, mencari-cari ujung topeng. "Ini gila! Gila!"
Sabrina memegangi wajahnya yang tegang ketakutan.

"Ini gila! Gila!" kata Carly Beth berulang-ulang dengan suara melengking dan ket
akutan.
Tapi sambil meraba-raba lehernya dengan jari-jari gemetaran,
Carly Beth sadar temannya benar. Topeng itu tidak ada ujungnya lagi.
Tidak ada celah antara topeng dan kulit Carly Beth. Topeng itu sudah menjadi waj
ahnya.

Chapter 22
KAKI Carly Beth gemetaran ketika berjalan ke depan cermin di ruang depan. Tangan
nya masih sibuk meraba-raba kerongkongannya ketika melangkah ke depan cermin yan
g besar dan persegi dan mendekatkan wajahnya ke cermin.
"Tidak ada garis batas!" teriaknya. "Tidak ada garis batas topeng."
Sabrina berdiri di belakangnya, wajahnya bingung. "Aku - aku tidak mengerti," gu
mamnya, ditatapnya bayangan Carly Beth di cermin.
Carly Beth tersentak. "Itu bukan mataku!" jeritnya.
"Hah?" Sabrina melangkah ke sampingnya sambil tetap memandang cermin
"Itu bukan mataku!" ratap Carly Beth. "Mataku tidak seperti itu."
"Coba tenang dulu," kata Sabrina pelan. "Matamu "
"Itu bukan mataku! Bukan mataku!" teriak Carly Beth, tidak dipedulikannya temann
ya yang menyuruhnya tenang. "Mana mataku? Mana diriku? Mana diriku, Sabrina? Buk
an aku yang berada di balik topeng ini!"
"Carly Beth - tolong tenang dulu!" desak Sabrina. Tapi suaranya terdengar sepert
i tercekik dan ketakutan.
"Ini bukan aku!" seru Carly Beth, ternganga ngeri menatap bayangannya, tangannya
menekan pipi keriput topeng jelek. "Ini bukan aku!"
Sabrina menyentuh temannya.
Tapi Carly Beth menjauh. Sambil meratap nyaring, teriakan ngeri dan putus asa, i
a berlari di ruang depan. Ditariknya pintu depan, susah payah membuka kunci samb
il menangis tersedu-sedu.
"Carly Beth berhenti! Kembalilah!"
Carly Beth tidak memedulikan teriakan Sabrina dan melompat ke kegelapan di luar.
Pintu kasa terbanting menutup.
Ketika berlari, bisa didengarnya teriakan panik Sabrina dari pintu, "Carly Beth
- mantelmu! Kembalilah! Mantelmu ketinggalan!"
Sepatu Carly Beth berdebum-debum di tanah yang keras. Ia lari ke kegelapan di ba
wah pepohonan, seperti berusaha bersembunyi, seperti berusaha supaya wajahnya ya
ng mengerikan tidak kelihatan.
Ia sampai di trotoar, membelok ke kanan, dan terus berlari.
Ia tidak tahu ia lari ke mana. Ia cuma tahu ia harus lari menjauh dari Sabrina,
menjauh dari cermin itu.
Ia ingin berlari dari dirinya, dari wajahnya, wajah mengerikan yang tadi menatap
nya dari cermin dengan mata aneh yang menakutkan.
Mata orang lain. Mata orang lain yang berada di kepalanya.
Cuma sekarang bukan kepalanya lagi. Tapi kepala monster yang jelek dan hijau yan
g telah menempel di tubuhnya.
Sambil berteriak panik lagi, Carly Beth menyeberang jalan dan terus berlari. Pep
ohonan yang gelap, nampak hitam dengan latar belakang langit malam tanpa bintang
, berayun dan bergetar di atas kepalanya. Rumah-rumah berseliweran, cahaya jingg
a dari jendelanya kelihatan kabur.
Ia berlari dalam kegelapan, napasnya menderu di balik hidung yang jelek dan data
r. Ditundukkannya kepalanya yang hijau licin menentang angin dan berlari sambil
memandang tanah.

Tapi ke mana pun ia memandang, topeng itu selalu kelihatan.


Dilihatnya wajah yang tadi menatapnya, kulit yang berkerut dan buruk, mata jingg
a yang berkilat, deretan gigi binatang yang tajam-tajam.
Wajahku... w-ajahku...
Jeritan-jeritan melengking menyentakkan lamunannya.
Carly Beth mengangkat kepala dan melihat ternyata ia lari ke tengah-tengah rombo
ngan anak-anak yang sedang ber-Halloween.
Ada enam atau tujuh anak, semua menatap ke arahnya sambil menjerit dan menuding.
Dibukanya mulutnya lebar-lebar, menampakkan gigi-gigi tajam, dan menggeram pada
mereka, geraman binatang.
Geraman itu membuat mereka terdiam. Mereka melotot menatapnya, tidak tahu apakah
ia benar-benar mengancam atau cuma bercanda.
"Kau jadi apa?!" teriak anak perempuan berkostum badut penuh renda merah-putih.
Mestinya aku jadi AKU, tapi bukan! pikir Carly Beth suram.
Pertanyaan itu tidak dijawabnya. Sambil menundukkan kepala, membelakangi mereka,
ia berlari lagi.
Bisa didengarnya mereka sekarang tertawa. Ia tahu mereka tertawa lega, lega kare
na ia meninggalkan mereka.
Sambil menangis sedih, ia berbelok di sudut dan berlari terus.
Pergi ke mana aku? Apa yang kulakukan? Apa aku akan lari terus selamanya? Pertan
yaan-pertanyaan itu menyerbu pikirannya. Ia langsung berhenti berlari ketika tok
o perlengkapan pesta itu kelihatan.
Tentu saja, pikirnya. Toko perlengkapan pesta. Pria aneh yang memakai jubah. Ia
akan menolong aku. Ia akan tahu apa yang harus dilakukan. Pria berjubah itu akan
tahu bagaimana cara melepaskan topeng ini.
Dengan penuh harap Carly Beth berlari ke toko itu.
Tapi ketika semakin mendekati toko, harapannya padam seperti etalase toko yang g
elap. Dari balik kaca dilihatnya lampu-lampu toko sudah dimatikan. Toko itu sege
lap malam. Toko itu sudah tutup.

Chapter 23
KETIKA memandang toko yang gelap itu, perasaan putus asa melanda Carly Beth.
Dipegangnya etalase, ditekannya kepalanya ke kaca. Terasa dingin di dahinya yang
panas. Dahi topeng yang panas.
Dipejamkannya matanya.
Apa lagi yang harus kulakukan sekarang? Apa yang akan kulakukan?
"Semua ini cuma mimpi buruk," gumamnya keras-keras. "Mimpi buruk. Sekarang akan
kubuka mataku, dan bangun dari tidur."
Dibukanya matanya. Ia melihat matanya, mata jingganya yang berkilat, terpantul d
i kaca etalase yang gelap.
Ia melihat wajahnya yang aneh sedang menatapnya.
"Tidaaak!" Sambil bergidik sampai menggetarkan seluruh tubuhnya, Carly Beth meng
hantam etalase dengan kepalan tangannya.
Kenapa dulu aku tidak mengenakan kostum bebek buatan ibuku saja? tanyanya marah
pada diri sendiri. Kenapa aku begitu ngotot ingin menjadi makhluk paling menakut
kan pada saat Halloween?
Kenapa aku ngotot sekali ingin menakut-nakuti Chuck dan Steve?
Ia susah payah menelan ludah. Sekarang seumur hidup aku akan membuat orang ketak
utan.
Ketika pikiran suram itu berputar-putar di kepalanya, tiba-tiba Carly Beth sadar
ada gerakan di dalam toko. Dilihatnya ada bayangan gelap melangkah di lantai. D
idengarnya suara langkah kaki.
Pintu itu berderak, lalu terbuka sedikit.

Pemilik toko menjulurkan kepalanya. Matanya memicing ketika mengamati Carly Beth
. "Aku tetap tinggal di toko sampai malam," katanya tenang. "Aku tahu kau akan d
atang lagi."
Carly Beth terkejut melihat orang itu tenang-tenang saja.
"Saya - saya tidak bisa melepaskannya!" teriaknya.
Ditariknya bagian atas kepalanya untuk membuktikan ucapannya pada pemilik toko i
tu.
"Aku tahu," kata pria itu. Ekspresi wajahnya tidak berubah. "Masuklah."
Dibukanya pintu lebar-lebar, lalu melangkah mundur.
Carly Beth ragu-ragu, lalu cepat-cepat masuk ke dalam toko yang gelap itu. Di da
lamnya hangat sekali.
Pemilik toko menyalakan lampu di atas meja depan. Carly Beth melihat ia sudah ti
dak lagi mengenakan jubah. Ia mengenakan celana hitam dan kemeja putih.
"Anda tahu saya akan kembali?" desak Carly Beth dengan suara melengking. Suarany
a yang sudah berubah parau sejak mengenakan topeng terdengar marah dan bingung.
"Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Aku dulu tidak mau menjualnya padamu," jawabnya sambil menatap topeng. Ia mengg
eleng, keningnya berkerut. "Kau ingat, kan? Kau ingat aku dulu tidak mau menjual
nya padamu?"
"Aku ingat," jawab Carly Beth tidak sabar. "Bantu saja saya melepaskannya. Oke?
Bantu saya."
Ia menatap Carly Beth tajam. Ia tidak menjawab.
"Bantu saya melepaskannya," teriak Carly Beth. "Saya ingin Anda melepaskannya!"
Pria itu menarik napas. "Aku tidak bisa," katanya sedih. "Aku tidak bisa melepas
kannya. Maafkan aku."

Chapter 24
"A-APA maksud Anda?" Carly Beth tergagap.
Pemilik toko tidak menjawab. Ia berbalik ke belakang toko dan memberi tanda agar
Carly Beth mengikutinya.
"Jawab pertanyaan saya!" jerit Carly Beth. "Jangan pergi begitu saja! Jawab pert
anyaan saya! Apa maksud Anda topeng ini tidak bisa dilepaskan?"
Diikutinya pria itu ke ruangan belakang, jantungnya berdebar-debar. Pria itu men
yalakan lampu.
Carly Beth berkedip-kedip karena silau. Tampak dua rak panjang berisi topeng-top
eng mengerikan. Dilihatnya ada tempat kosong bekas tempat topengnya dulu.
Semua topeng aneh itu kelihatan seperti menatapnya. Dipaksanya mengalihkan panda
ngan ke tempat lain.
"Lepaskan topeng ini - sekarang!" desaknya sambil menghalangi jalan pemilik tok
o itu.
"Aku tidak bisa melepaskannya," kata pria itu pelan.
"Kenapa tidak?" desak Carly Beth.
Pria itu memelankan suaranya. "Karena itu bukan topeng."
Carly Beth bengong menatapnya. Dibukanya mulutnya, tapi tidak terdengar suara ap
a pun.
"Itu bukan topeng," kata pria itu. "Itu wajah yang sebenarnya."
Tiba-tiba Carly Beth merasa pusing. Lantai terasa miring.
Deretan wajah-wajah buruk itu menatapnya. Semua mata yang menonjol, merah, kunin
g, dan hijau itu seperti terpaku memandanginya.
Carly Beth bersandar ke dinding dan berusaha menenangkan diri.
Pemilik toko berjalan ke rak pajang dan menunjuk kepala-kepala yang buruk dan me
lotot itu.
"Yang Tidak Dicintai," katanya sedih, suaranya berubah jadi bisikan.
"Saya - saya tidak mengerti," kata Carly Beth bersusah-payah.

"Ini semua bukan topeng. Mereka wajah-wajah," katanya menjelaskan. "Wajah yang s
ebenarnya. Aku yang membuat. Aku menciptakannya di laboratoriumku - wajah-wajah
yang sebenarnya."
"Tapi tapi mereka buruk sekali...," kata Carly Beth. "Kenapa ?"
"Awalnya mereka tidak buruk," potong pemilik toko, suaranya pahit, matanya bersi
nar marah. "Mereka indah dan hidup. Tapi terjadi sesuatu. Ketika dikeluarkan dar
i lab, mereka berubah. Percobaanku
kepala-kepalaku yang malang
gagal. Tapi aku harus menjaga agar mereka tetap hidu
p. Harus."
"Saya - saya tidak percaya!" seru Carly Beth terengah-engah sambil memegang bagi
an samping wajahnya, wajah yang hijau dan hancur. "Saya tidak percaya sedikit pu
n."
"Aku mengatakan yang sebenarnya," lanjut pemilik toko sambil mengelus sebelah ku
mis tipisnya, matanya menyala-nyala menatap mata Carly Beth.
"Aku menyimpan mereka di sini. Aku menyebut mereka Yang Tidak Dicintai karena ta
kkan ada yang mau melihat mereka. Kadang-kadang, ada orang masuk ke ruangan bela
kang ini - kau, misalnya - dan salah satu wajahku mendapat rumah baru..."
"Tidaaaak!" Carly Beth berteriak marah, lebih mirip lolongan binatang daripada t
eriakan manusia.
Ditatapnya wajah-wajah berkerut dan benjol-benjol yang ada di rak. Kepala-kepala
yang menonjol, luka-luka yang menganga, gigi-gigi binatang. Monster! Semuanya m
onster!
"Lepaskan topeng ini!" jeritnya, lupa diri. "Lepaskan! Lepaskan!"
Dirobek-robeknya wajahnya, berusaha menariknya, berusaha mengoyak-ngoyaknya. "Le
paskan! Lepaskan!"
Pria itu mengangkat tangan untuk menenangkannya. "Maafkan aku. Wajah itu sekaran
g jadi wajahmu," katanya tanpa ekspresi.
"Tidak!" teriak Carly Beth lagi dengan suara barunya yang parau. "Lepaskan! Lepa
skan SEKARANG!"
Dirobeknya wajahnya. Tapi meskipun marah dan panik, ia tahu tindakannya percuma
saja.
"Wajah itu bisa dilepaskan," kata pemilik toko pelan.
"Hah?" Carly Beth menurunkan tangannya. Dipandangnya pria itu tajam. "Apa Anda b
ilang?"
"Kubilang ada satu cara untuk melepaskan wajah itu."
"Ya?" Carly Beth merasa ada aliran dingin di punggungnya, aliran harapan. "Ya? B
agaimana caranya? Bilang pada saya!" katanya memohon. "Tolong - beritahu saya!"
"Aku tidak bisa melakukannya untukmu," jawabnya, keningnya berkerut. "Tapi bisa
kukatakan bagaimana caranya. Tapi, kalau topeng itu menempel di dirimu atau oran
g lain, ia takkan bisa lepas lagi."
"Bagaimana cara saya melepaskannya? Bilang! Bilang pada saya!" Carly Beth memoho
n-mohon. "Bagaimana cara melepaskannya?"

Chapter 25
LAMPU di atas kepala mereka berkedip. Deretan wajah yang gembung dan rusak itu t
erus memandangi Carly Beth.
Monster, pikir Carly Beth. Ruangan ini penuh monster, yang menunggu jadi hidup.
Papan lantai berderak ketika pemilik toko menjauh dari rak pajang dan mendekati
Carly Beth.
"Bagaimana cara melepaskannya?" tanyanya. "Katakan pada saya. Tunjukkan - sekara
ng!"

"Topeng itu cuma bisa dilepaskan sekali," kata pemilik toko pelan. "Dan cuma bis
a dilepaskan dengan lambang cinta."
Carly Beth memandanginya, menunggu pria itu bicara lagi.
Ruangan itu sepi. Sepi yang menyesakkan.
"Saya - saya tidak mengerti," Carly Beth tergagap. "Anda harus membantu saya. Sa
ya tidak memahami Anda! Katakan sesuatu yangmasuk akal! Bantu saya!"
"Saya tidak bisa bicara lebih banyak," katanya sambil menundukkan kepala, memeja
mkan mata, dan menggosok kelopak matanya dengan perasaan capek.
"Tapi - apa maksudnya lambang cinta yang Anda bilang?" desak Carly Beth. Dicengk
eramnya bagian depan kemeja pria itudengan kedua tangannya. "Apa maksud Anda? Ap
a maksud Anda?"
Pria itu tidak berusaha melepaskan tangan Carly Beth.
"Saya tidak bisa bicara lebih banyak," bisiknya.
"Tidak!" teriak Carly Beth. "Tidak! Anda harus membantu saya! Harus!"
Ia bisa merasakan kemarahannya meledak, ia jadi membabi-buta
tapi tidak bisa men
ghentikannya.
"Saya ingin wajah saya kembali!" jeritnya sambil memukul-mukul dada pria .itu de
ngan kepalan tangannya. "Saya ingin wajah saya kembali! Saya ingin diri saya kem
bali!"
Sekarang ia menjerit sekuat tenaga, tapi ia tidak peduli.
Pemilik toko melangkah mundur sambil memberi tanda agar Carly Beth diam. Lalu, t
iba-tiba, matanya terbelalak ketakutan.
Carly Beth mengikuti arah pandangannya ke rak pajang.
"Ohh!" Ia berteriak ketakutan ketika melihat deretan wajah itu mulai bergerak se
mua.
Mata-mata yang menonjol berkedip. Lidah-lidah bengkak menjilati bibir kering. Lu
ka-luka yang menghitam mulai berdenyut.
Kepala-kepala itu semua bergerak-gerak, berkedip, bernapas.
"Ada - ada apa?" teriak Carly Beth dengan suara berbisik gemetar.
"Kau membangunkan mereka semua!" teriak pemilik toko, wajahnya ketakutan seperti
wajah Carly Beth. "Tapi - tapi -"
"Lari!" jeritnya, didorongnya Carly Beth kuat-kuat ke pintu. "Lari!"

Chapter 26
CARLY BETH ragu-ragu. Ia berbalik dan menatap kepala-kepala yang bergerak-gerak
di rak.
Bibir-bibir tebal dan gelap mulai bergerak, suaranya seperti suara mengisap. Gig
i-gigi bengkok bergerak naik-turun. Hidung-hidung buruk dan aneh berkerut dan ri
but menghirup udara.
Kepala-kepala itu, ada dua deret, berdenyut hidup.
Dan matanya - mata yang penuh pembuluh darah dan menonjol - mata hijau, kuning,
merah terang, bola-bola mata yang tergantung-gantung di kawat
semua memandanginy
a!
"Lari! Kau telah membangunkan mereka!" jerit pemilik toko, suaranya tercekik ket
akutan. "Lari! Pergi dari sini!"
Carly Beth ingin berlari. Tapi kakinya tidak mau menurut.
Lututnya terasa goyah dan lemas. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya seperti lima ratus
kilo beratnya.
"Lari! Lari!" Pemilik toko berteriak panik.
Tapi Carly Beth tidak bisa mengalihkan pandangan dari kepala-kepala yang bergera
k-gerak dan berdenyut-denyut itu.
Ia ternganga melihatnya, kaku ketakutan, kakinya jadi lemas sekali, napasnya sep

erti tercekik di tenggorokan. Dan ketika ia terbelalak, kepala-kepala itu bangun


dan melayang-layang.
"Lari! Cepat! Lari!"
Suara pemilik toko sekarang terdengar jauh.
Kepala-kepala itu mulai mengoceh dengan suara dalam dan menggemuruh, mengalahkan
teriakan panik pemilik toko. Mereka ribut menggumam, cuma bersuara, tidak ada k
ata-kata, seperti paduan suara katak.
Mereka melayang semakin tinggi, sementara Carly Beth melotot ketakutan.
"Lari! Lari!"
Ya.
Carly Beth berbalik. Dipaksanya kakinya bergerak.
Dan ia berlari dengan sekuat tenaga.
Ia berlari melewati ruang depan toko yang remang-remang. Tangannya mencengkeram
kenop pintu, dan ditariknya.
Beberapa saat kemudian, ia sudah berada di trotoar, lari menembus kegelapan. Sep
atunya berdebum-debum keras di aspal. Ia merasa udara dingin menerpa wajahnya ya
ng panas.
Wajah hijaunya yang panas.
Wajah monsternya.
Wajah monster yang tidak bisa dilepaskannya.
Ia menyeberang jalan dan terus berlari.
Suara apa itu? Suara yang dalam dan berdeguk-deguk? Suara gumaman pelan yang sep
erti mengikutinya?
Mengikutinya?
"Oh, tidak!" Carly Beth berteriak ketika menoleh ke belakang - dan melihat kepal
a-kepala mengerikan terbang mengejarnya.
Pawai setan kubur.
Mereka terbang sendiri-sendiri, sederetan panjang kepala yang berdenyut dan bers
uara. Mata mereka berkilau terang, seperti nyala lampu mobil, dan semuanya terpa
ku menatap Carly Beth.
Carly Beth tercekik ketakutan dan tersandung di jalan.
Tangannya terjulur ke depan ketika berusaha menjaga keseimbangan. Kakinya ingin
jatuh, tapi dipaksanya untuk bergerak lagi.
Sambil membungkuk menentang angin, ia berlari, melewati rumah-rumah gelap dan ha
laman-halaman kosong.
Pasti sudah malam, pikirnya. Pasti sudah larut malam.
Terlambat.
Kata itu melintas di pikirannya.
Terlambat bagiku.
Kepala-kepala yang mengerikan dan menyala itu beterbangan mengejarnya. Semakin d
ekat. Semakin dekat. Suara gumaman mereka terdengar semakin keras di telinganya
sampai rasanya suara-suara menakutkan itu seperti mengelilinginya.
Angin menderu, bertiup kencang, seperti sengaja mendorong punggungnya.
Kepala-kepala yang bergumam itu melayang semakin dekat.
Aku berlari menembus mimpi buruk yang gelap, pikirnya.
Aku bisa berlari seumur hidup.
Terlambat. Terlambat bagiku.
Atau jangan-jangan belum terlambat?
Terlintas akal di pikirannya yang panik sambil berlari, tangan terulur ke depan
seolah-olah menggapai keselamatan, pikirannya berusaha keras mencari jalan ke lu
ar.
Lambang cinta.
Didengarnya suara pemilik toko mengalahkan suara-suara buruk di belakangnya.
Lambang cinta.
Itulah yang diperlukannya untuk melepaskan kepala monster yang telah menjadi kep
alanya ini.
Apakah lambang itu juga akan menghentikan kepala-kepala menyala dan berdenyut ya
ng mengejar-ngejarnya? Apakah lambang itu akan mengembalikan wajah Yang Tidak Di
cintai ini ke tempat asalnya?
Sambil terengah-engah, Carly Beth berbelok di tikungan dan terus berlari. Ketika

menoleh ke belakang, dilihatnya pengejar-pengejarnya yang ribut juga berbelok.


Di mana aku? pikirnya, matanya menatap rumah-rumah yang dilewatinya.
Ia terlalu ketakutan sehingga jadi tidak peduli ke mana larinya.
Tapi sekarang Carly Beth mendapat akal, Akal karena panik.
Dan ia harus sampai di sana sebelum sebelum parade kepala mengerikan ini menyusu
lnya.
Ia punya lambang cinta.
Kepalanya. Patung kepala yang dibuat ibunya.
Carly Beth ingat pernah bertanya pada ibunya kenapa membuat patung itu. Dan ibun
ya menjawab, "Karena aku sayang padamu."
Mungkin patung itu bisa menyelamatkannya. Mungkin patung itu bisa mengeluarkanny
a dari mimpi buruk ini.
Tapi di mana dia?
Ia tadi telah melemparkannya. Dijatuhkannya ke balik pagar tanaman. Ia meninggal
kannya di halamah rumah orang, dan...
Dan sekarang ia kembali ke blok itu.
Ia mengenali jalan tadi. Ia mengenali rumah-rumahnya.
Di sinilah ia bertemu Chuck dan Steve. Di sinilah ia membuat mereka lari terbiri
t-birit.
Tapi di mana rumahnya? Di mana pagar tanamannya?
Matanya memandangi rumah-rumah dengan panik.
Dilihatnya di belakangnya kepala-kepala itu menggerombol. Seperti lebah yang men
dengung-dengung, mereka berkumpul, sekarang menyeringai, menyeringai jahat, men
yeringai basah sambil bersiap-siap mengepungnya.
Aku harus menemukan kepala itu! kata Carly Beth pada diri sendiri sambil susah p
ayah bernapas, berusaha menggerakkan kakinya yang sakit.
Aku harus menemukan kepalaku.
Suara-suara mengoceh dan menggemuruh terdengar semakin keras. Kepala-kepala itu
berkerumun semakin dekat.
"Mana? Mana?" jeritnya kuat-kuat.
Lalu dilihatnya pagar tanaman tinggi itu. Di seberang jalan.
Di halaman di seberang jalan.
Kepalanya, kepalanya yang cantik - dibiarkannya jatuh ke balik pagar tanaman itu
.
Bisakah ia sampai ke sana sebelum kepala-kepala buruk itu mengerumuninya?
Ya!
Sambil menarik napas dalam-dalam, tangannya terjulur ke depan, ia membelok dan b
erlari ke seberang jalan.
Dan terjun ke balik pagar tanaman. Jatuh bertumpu tangan dan lututnya. Dadanya n
aik-turun. Napasnya terengah-engah. Kepalanya berdenyut-denyut.
Dicarinya kepalanya.
Sudah tidak ada.

Chapter 27
TIDAK ada.
Kepalanya sudah tidak ada.
Kesempatan terakhirku, pikir Carly Beth sambil membabi-buta mencari, tangannya s
ibuk meraba-raba dasar pagar.
Tidak ada.
Terlambat bagiku.
Masih berlutut, ia berbalik menatap setan-setan pengejarnya.
Kepala-kepala itu, ribut tidak karuan, berdiri di depannya, membentuk dinding.

Carly Beth berdiri.


Dinding kepala yang berdenyut-denyut itu maju sedikit.
Carly Beth berbalik, mencari, jalan ke luar. Dan melihatnya.
Melihat patung kepalanya.
Melihat patung kepalanya memandang dirinya dari sela-sela akar menonjol pohon be
sar di dekat jalan masuk.
Pasti angin yang meniupnya ke sana, pikirnya. Dan ketika kepala-kepala buruk itu
semakin mendekat, ia melompat ke pohon.
Dan menyambar kepalanya dengan dua tangan. Sambil berteriak lega, diputarnya pat
ung kepalanya ke arah kepala-kepala ribut itu dan diangkatnya tinggi-tinggi.
"Pergi! Pergi!" jerit Carly Beth, diangkatnya patung kepalanya supaya terlihat o
leh mereka semua. "Ini lambang cinta! Ini lambang cinta! Pergi!"
Kepala-kepala itu bergerak-gerak serentak. Mata-mata yang menyala menatap patung
kepala.
Mereka bergumam ribut. Senyum basah terbentuk di bibir mereka yang rusak.
"Pergi! Pergi!"
Carly Beth mendengar mereka tertawa. Tertawa pelan dan mengejek.
Lalu mereka bergerak cepat, mengelilinginya, ingin segera menelannya.

Chapter 28
TERLAMBAT bagiku.
Kata itu berulang-ulang di pikiran Carly Beth. Idenya tidak berhasil.
Kepala-kepala itu mengerubunginya, bertetesan air liur, mata-mata yang menonjol
penuh kemenangan. Gumam mereka berubah menjadi raungan.
Carly Beth merasa dirinya tertelan dalam panas mereka yang bau busuk.
Tanpa berpikir-pikir lagi, diturunkannya patung kepala. Dan ditariknya kuat-kuat
di atas kepala mosternya yang mengerikan.
Ia terkejut ketika patung itu menyelubungi kepalanya seperti topeng.
Aku mengenakan wajahku sendiri seperti mengenakan topeng, pikirnya sedih.
Ketika ditariknya patung, suasana jadi gelap. Tidak ada lubang mata. Ia tidak bi
sa melihat ke luar. Ia tidak bisa mendengar.
Apa yang akan dilakukan kepala-kepala jahat itu padaku? pikirnya, sendirian dan
ketakutan.
Apa sekarang aku jadi Yang Tidak Dicintai juga? Apa aku akhirnya akan dipajang d
i rak juga bersama mereka?
Carly Beth menunggu ketika diselubungi kegelapan yang sepi dan pekat.
Terus menunggu.
Dirasakannya darah berdenyut-denyut di dahinya. Ia bisa merasakan detak ketakuta
n di dadanya, rasa sakit tenggorokannya yang kering.
Apa yang akan mereka lakukan?
Apa yang sedang mereka lakukan?
Ia tidak tahan sendirian, diselubungi rasa takut, dikelilingi kesunyian dan kege
lapan. Dientakkannya patung kepalanya.
Kepala-kepala mengerikan itu sudah pergi. Hilang.
Carly Beth menatap lurus ke depan dengan perasaan tidak percaya. Lalu matanya me
natap halaman yang gelap. Dicari-carinya di pepohonan dan semak-semak. Dipicingk
annya matanya menatap celah kosong di antara rumah-rumah.
Tidak ada.
Mereka sudah tidak ada.
Lama Carly Beth duduk di rumput yang dingin dan basah, patung kepala di pangkuan
nya, terengah-engah, menatap halaman-halaman depan yang kosong dan sunyi.
Napasnya segera normal kembali. Ia berdiri.

Angin sudah reda. Bulan pucat muncul dari balik awan gelap yang tadi menutupinya
.
Carly Beth merasa ada yang berkibar-kibar di tenggorokannya.
Dengan perasaan terkejut, dirabanya dan dirasakannya ada ujung topeng.
Ujung topeng?
Ya!
Ada celah antara topeng dan lehernya.
"Hei!" ia berteriak keras. Pelan-pelan diletakkannya patung kepala di kakinya, l
alu dengan dua tangannya dipegangnya ujung topeng dan ditariknya ke atas.
Topeng itu dengan gampang terlepas.
Ia terpesona, diturunkannya dan dipegangnya di hadapannya.
Dilipatnya, lalu dibukanya lagi.
Mata jingga yang tadi menyala seperti api sudah padam. Gigi-gigi tajam seperti g
igi binatang jadi kenyal dan lembek.
"Kau sekarang cuma topeng biasa!" teriaknya keras. "Topeng biasa lagi!"
Sambil tertawa girang, dilemparkannya tinggi-tinggi dan ditangkapnya.
Cuma bisa dilepaskan sekali, kata pemilik toko. Cuma sekali dengan lambang cinta
.
Yah, aku telah melakukannya! kata Carly Beth senang. Aku telah melepaskannya. Da
n jangan takut - aku takkan pernah memakainya lagi!
Takkan pernah!
Tiba-tiba ia merasa capek sekali.
Aku harus pulang, katanya dalam hati. Mungkin sekarang sudah hampir tengah malam
.
Rumah-rumah kebanyakan sudah gelap. Tidak ada lagi mobil melaju di jalan. Anak-a
nak yang ber-Halloween sudah pulang semua.
Carly Beth membungkuk memungut patung kepalanya. Lalu sambil membawa topeng dan
patung kepala, ia cepat-cepat berjalan pulang.
Di tengah jalan masuk ia berhenti.
Dipegangnya dan diraba-rabanya wajahnya dengan satu tangan.
Apa wajahku sudah kembali seperti semula? pikirnya.
Digosoknya pipinya, lalu dipegangnya hidungnya.
Apa ini wajahku? Apa aku kelihatan seperti aku? Ia tidak bisa tahu kalau cuma me
megang.
"Aku harus bercermin!" serunya keras-keras.
Karena ingin sekali melihat apakah wajahnya sudah normal lagi, ia berlari ke pin
tu dan menekan bel.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka, dan tampak Noah.
Didorongnya pintu kasa sampai terbuka.
Lalu dipandangnya wajah Carly Beth dan ia menjerit.
"Lepaskan topeng itu! Lepaskan! Kau jelek sekali!

Chapter 29
"TIDAK!" Carly Beth berteriak ketakutan.
Topeng itu pasti mengubah wajahnya, pikirnya. "Tidak! Oh, tidak!"
Didorongnya adiknya ke samping, dilemparkannya patung kepala dan topeng, dan lar
i ke cermin di ruang tengah.
Wajahnya menatapnya.
Normal-normal saja. Wajahnya yang dulu. Wajahnya yang lama.
Matanya yang cokelat tua. Dahinya yang lebar. Hidungnya yang pesek, yang selalu
dibencinya karena ingin lebih mancung.
Aku takkan mengeluh soal hidungku lagi, pikirnya senang.
Wajahnya kembali normal. Semuanya normal. Sambil menatap dirinya sendiri, dideng
arnya Noah tertawa di pintu.

Ia berbalik marah. "Noah - tega sekali kau!"


Noah semakin tertawa keras. "Cuma bercanda. Aku tidak percaya kau bisa tertipu."
"Bagiku sama sekali bukan bercanda!" teriak Carly Beth marah.
Mom muncul di ujung ruang tengah. "Carly Beth, dari mana saja kau? Mestinya kau
sudah pulang satu jam yang lalu."
"Maaf, Mom," jawab Carly Beth sambil tersenyum.
Aku bahagia sekali, sanggup rasanya tersenyum terus! pikirnya.
"Ceritanya panjang," katanya pada Mom. "Cerita panjang yang agak aneh."
"Tapi kau baik-baik saja, kan?" Mata Mrs. Caldwell menyipit ketika mengamati ana
k perempuannya.
"Yeah. Aku baik-baik saja," kata Carly Beth.
"Ayo ke dapur," perintah Mrs. Caldwell. "Aku membuatkan sari apel panas untukrnu
."
Carly Beth dengan patuh mengikuti ibunya ke dapur. Dapur terasa hangat dan teran
g. Seluruh ruangan berbau manis sari apel.
Seumur hidup belum pernah Carly Beth sesenang sekarang berada di rumah. Dipelukn
ya ibunya, lalu duduk.
"Kenapa kau tidak mengenakan kostum bebekmu?" tanya Mrs. Caldwell sambil menuang
kan secangkir sari apel. "Dari mana saja kau? Kenapa kau tidak bersama Sabrina?
Sudah dua kali Sabrina menelepon, menanyakan keadaanmu."
"Yah...," kata Carly Beth. "Ceritanya agak panjang, Mom."
"Aku tidak pergi ke mana-mana," kata ibunya sambil meletakkan cangkir berisi sar
i apel di hadapan Carly Beth. Ia bersandar di meja sambil bertopang dagu dengan
satu tangan. "Ayo. Ceritakan."
"Yah...," Carly Beth ragu-ragu. "Sekarang semuanya sudah beres, Mom. Beres rapi.
Tapi "
Sebelum ia sempat bicara lagi, Noah menyerbu masuk.
"Hei, Carly Beth...," panggilnya dengan suara dalam dan serak. "Lihat aku! Baga
imana penampilanku kalau memakai topengmu?"
END
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai