Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit diabetes pertama kali dideskripsikan pada masa Mesir Kuno lebih
dari 3500 tahun yang lalu. Saat itu penyakit ini digambarkan sebagai sangat
banyak buang air kecil. Sekitar 2000 tahun yang lalu, terdapat laporan dari Turki
yang menyebutkan penyakit ini sebagai kehausan yang sangat serta kencing yang
banyak. Pada tahun 1900, Stobolev di Rusia dan Opie di USA, pada waktu yang
hampir bersamaan menyebutkan bahwa diabetes mellitus terjadi akibat dari
destruksi pulau-pulau Langerhans kelenjar pancreas. 1
Diabetes mellitus merupakan ganguan metabolik/endokrin yang paling
umum

pada

masa

kanak-kanak

dengan

konsekuensi

penting

terhadap

perkembangan fisik dan emosi. Pengaruhnya terhadap kualitas hidup, serta


morbiditas dan mortalitas, terutama diakibatkan komplikasi yang melibatkan
pembuluh darah kecil dan besar, menimbulkan retinopati, nefropati, neuropati,
penyakit jantung iskemik, serta obstruksi pembuluh darah besar. 2
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500
anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak (pada anak usia 18
tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal
pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-laki dan perempuan sama. 3
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data
registri nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi PP IDAI,
terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi

580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi
apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa
terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM
tipe 1 yang dilaporkan 4

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Diabetes
Mellitus Tipe 1 pada anak.

1.3 Manfaat Penulisan


Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Prof. DR. R. D. Kandow Manado

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di antaranya adalah
gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau
gangguan kedua-duanya. 3
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karen kerusakan sel pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun
idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM
tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan
sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, akantosis
nigrikans, hipertensi atau hiperandrogenisme ovarium. 5

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500
anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak (pada anak usia 18
tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal
pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-laki dan perempuan sama. 3
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark
serta Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000
penduduk. Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di
Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia Timur kurang dari 2/100.000
penduduk/tahun. 3

Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data
registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi PP
IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan DM pada tahun 2008
menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih
tinggi apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal
tanpa terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien
DM tipe 1 yang dilaporkan. 4

2.3 Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1). 4
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009)
I.

DM Tipe-1 (destruksi sel- )


a. Immune mediated
b. Idiopatik

II.

DM Tipe-2

III.

DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
b. Defek genetic pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankratitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik fibrosis;
Haemokhromatosus; Fibrokalkulus pankreatopati; dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin

Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma; Feokromositoma;


Hipertiroidisme; Somatostatinoma; Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid; Hormon
tiroid; Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid; Dilantin; interferon; dan lain-lain.
IV.

Diabetes Mellitus Kehamilan

2.4 Patogenesis
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke
tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan
mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga bahwa antigen B8 dan B15 HLA
kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita
diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru fokus telah
bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih
menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah
terlibat dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang
polimorfisme (RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase
chain reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah
meningkatkan pemahaman kami tentang kompleks HLA dan keterlibatan alel
HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan menunjukkan bahwa
kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM tipe 1

berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan
lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan
DQ telah membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis
DM tipe 1 terkait DQ alel. Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe
yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1.
Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa
haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda dengan yang secara negatif
berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain pertama rantai bHLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada
posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada
posisi 57, tapi beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang
terpenting adalah ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam
aspartat pada posisi 57, di Jepang pasien DM tipe 1 sangat berhubungan dengan
DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain harus terlibat untuk
menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa kelompok. Hubungan
yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai konsekuensi
dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan
rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan
bahwa fungsi presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan
DM tipe 1.6
Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena
autoimun Nepons telah menyarankan model dimana alel HLA kelas II
mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang
dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu, bervariasi afinitasnya untuk

peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta; b). hanya dimer
kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan
autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika
produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen
tidak rentan yang ada dalam individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini
produk-produk dari alel HLA tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena
mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun
terhadap sel beta pankreas.6
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam
glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet
(ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan
endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di
dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan
semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD
enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen.
Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1, makanya
antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes,
walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi
yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi juga bereaksi
dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang
laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai

penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA.


Kontribusi dari autoantigens disebutkan di atas untuk induksi dan atau
kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari
autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan diagnostik dan
untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.6
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah
dianalisis dalam model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe
DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang
diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk memahami proses yang
menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan yang diambil
dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,
maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T
CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di
semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari
tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes,
menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+ cukup
untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan
yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di
pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak
adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel
imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya
hanya satu subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit.
Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari
hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+

saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan)


menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon
autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2.
Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma
ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun
model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan
mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1
menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan
bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.6
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan
bahwa Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-), dua sitokin
terutama diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta
pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin.
Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas
sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator kuat untuk makrofag
dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini ada bukti yang menunjukkan bahwa
aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes DM tipe 1,
dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa nitrat oksida dapat
menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya
kelas baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi
nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat
kesesuaian untuk DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar
identik. Kesesuaiannya kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I

telah memberikan kontribusi ke sebuah penelusuran faktor lingkungan yang


terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan
meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella
congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan
bahwa urutan asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope
virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi
dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh analisis respon
imun terhadap protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1
memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T
untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang ada di
permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari
kontrol.6
Saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas,
maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses:
(1) peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan
gliserol),
(2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan
(3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.6

10

Gambar 1. Konsekuensi biokemikal dari Defisiensi Insulin

2.5 Kriteria Diagnosis


Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan
gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu
kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala, maka
diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang
berbeda. 9
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah :
1.

Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau

2.

Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau

3.

Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan


pemeriksaan penujang, yaitu C-peptide 0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah
satu penanda banyaknya sel -pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain
adalah adanya autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid
decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau

11

tyrosine posphatase) autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA). Adanya


autoantibody mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya
autoantibody ini relatif mahal. 9
2.6 Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical
Practice Consencus Guidelines tahun 2009. 9
-

Periode pra-diabetes

Periode manifestasi klinis

Periode honey moon

Periode ketergantungan insulin yang menetap

Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Predisposisi genetik tertentu
memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang
ditandai dengan mulai berkurangnya sel -pankreas yang berfungsi. Kadar Cpetide mulai menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila
dilakukan pemeriksaan laboratorium. 9
Periode Manifestasi Klinis
Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah
terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Karena sekresi insulin sangat
kurang, maka kadar gu;a darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang
melebihi 180mg/dL akan menyebabkan dieresis osmotik. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuri,
dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam sel,

12

penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus.
Pada periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake
ke dalam sel.

Periode Honey Moon


Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode
ini sisa-sisa sel -pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin
dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan
berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya
berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu
adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang
menetap. 9
Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada periode
ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur
hidupnya. 9
2.7 Pitfall dalam diagnosis
Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya
tidak terlalu khas dan mirip dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga
tidak menyadari kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1
yang ditemui ataupun belum pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak.
Beberapa gejala yang sering menjadi pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak
di antaranya adalah :
1. Sering Kencing : Kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kencing
atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah

13

adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah enuresis


lagi.
2. Berat badan turun atau tidak mau naik lagi : Kemungkinan diagnosis adalah
asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini
disebbkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering
pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberculosis pada anak.
3. Sesak nafas : Kemungkinan diagnosanya dalah bronkopneumonia. Apabila
disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal gejala
sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull (nafas
cepat dan dalam)

yang sangat berbeda dengan tipe

nafas pada

bronkopneumonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis.


4. Nyeri perut : Seringkali dikira sebagai peritonitis atau appendicitis. Pada
penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.
5. Tidak sadar : Keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan padakemungkinan
diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera
kepala. 1
2.8 Penatalaksanaan DM Tipe 1
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan
berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam
tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. 9
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :
1. Insulin
2. Diet

14

3. Aktivitis / exercise
4. Edukasi
5. Monitoring kontrol glikemik
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita
DM tipe 1. Dalam pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin, dosis
insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis
yang diperlukan.
a. Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat,
kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran
(campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis
insulin ini tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 Unit/KgBB
pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur disesuaikan
dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun pada
penderitanya.
c. Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional,
serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix split regimen dapat berupa
pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan regimen
intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus
dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal
maupun dosis bolus.

15

d. Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal
absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral paha. Daerah
bokong tidak dianjurkan karena paling buruk absorpsinya.
e. Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari beberapa
hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia pubertas
(terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/KgBB/hari), kondisi stress
maupun saat sakit. 10

Tabel 2. Jenis-jenis insulin


Jenis insulin

Awitan

Puncak

Lama kerja

kerja
Meal Time
Insulin

5-15 menit

1 jam

4 jam

Insulin Lispro

30-60 menit

2-4 jam

5-8 jam

Insulin

1-2 jam

4-12 jam

8-24 jam

NPH dan Lente

2 jam

6-20 jam

18-36 jam

2-4 jam

4 jam

24-30 jam

(Rapid acting)
Regular (Short
acting)
Background

(Intermediate
acting)
Ultra Lente (Long
acting)
Insulin Glargine
(Peakless Long
acting)

16

2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk
mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari
5055% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1
asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang
diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori

perhari

sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Pemberian diet ini juga


memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus, pasien harus
mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis pemberian insulin.
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat
juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun x 100) =
....... Kalori/hari
Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat,
10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :

3. Aktivitas / exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga
akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan

17

apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu
menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap
insulin. Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak
DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan
olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk
olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.
Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan adanya
ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah 90
mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat untuk
mencegah hipoglikemia.
4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita
maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi

tentang penyakitnya,

patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin
(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping
penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c yang
diinginkan.
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah
baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup
pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari.
Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek samping pemberian

18

insulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu


dipantau. 9
Tabel 3. Target kontrol metabolik pada anak dengan DM Tipe 1
3

2.9 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5,
berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1
diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur
penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif
untuk

identifikasi

penderita

resiko

tinggi

untuk

nefropati

diabetik.

Mikroalbuminuria mendahului makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1


selama > 5 tahun, dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif,
maka dianjurkan lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi
pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai terjadinya nefropati diabetik. 4

19

2.9.1 Prognosis
Prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik, oleh karena itu
anak dengan dugaan DM tipe 1 harus segera dirawat inap dengan tatalaksana yang
benar maka angka kematian akibat KAD dapat ditekan.

20

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penderita terbanyak diabetes mellitus tipe 1 adalah usia anak dan remaja.
Perlu kewaspadaan pada tenaga medis mengenai penyakit ini maupun komplikasi
yang mungkin terjadi yang seringkali salah diagnosis. Keterlambatan dalam
diagnosis akan berakibat fatal bagi keselamatan jiwa penderita DM tipe 1.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children
and adolescents, basic training manual for healthcare professionals in
developing countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.
2. Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for womens health,
volume 14, 2010; 327-338.
3. Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children.
Dalam: Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc,
h 3-18.
4. Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman
B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto
2010, h 124-161.
5. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes
2009: 10.
6. Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes.
McGill University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171
7. Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes
Mellitus. Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al
Ain, United Arab Emirates; 2006
8. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel
pada Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI)
Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. February 13, 2007.

22

9. Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N


(2010).
10. Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with
newly diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA
status, and autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic
control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218226
11. Depkes (2008) Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Penyakit
Diabetes Melitus Cetakan ke 2
12. National Diabetes Fact Sheet 2011 diakses dari www.cdc.gov pada April
2011
13. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus (2007)
14. Perkeni (2006) Konsensus Pengelolaan dan Penceghan Diabetes Melitus
Tipe 1 di Indonesia
15. Tandra, Hans. 2007. Segala sesuatu yang harus Anda ketahui tentang
Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
16. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 2006. Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Kelompok 11 - Governance RS
    Kelompok 11 - Governance RS
    Dokumen43 halaman
    Kelompok 11 - Governance RS
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • TB-HIV Kolaborasi
    TB-HIV Kolaborasi
    Dokumen16 halaman
    TB-HIV Kolaborasi
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • EKLAMPSIA
    EKLAMPSIA
    Dokumen37 halaman
    EKLAMPSIA
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan
    Asuhan Keperawatan
    Dokumen25 halaman
    Asuhan Keperawatan
    Christian Berhandus
    100% (1)
  • Puji Pujian
    Puji Pujian
    Dokumen4 halaman
    Puji Pujian
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • APD Dan K3
    APD Dan K3
    Dokumen2 halaman
    APD Dan K3
    Muhammad Busyairi
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen18 halaman
    Refer at
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Yel Yel
    Yel Yel
    Dokumen2 halaman
    Yel Yel
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Gizi Yuu
    Gizi Yuu
    Dokumen6 halaman
    Gizi Yuu
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Refarat Dm-Tipe 1
    Refarat Dm-Tipe 1
    Dokumen23 halaman
    Refarat Dm-Tipe 1
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan Anemia Difesiensi Besi
    Penatalaksanaan Anemia Difesiensi Besi
    Dokumen2 halaman
    Penatalaksanaan Anemia Difesiensi Besi
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Gizi Kerja
    Gizi Kerja
    Dokumen113 halaman
    Gizi Kerja
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • GIZI
    GIZI
    Dokumen11 halaman
    GIZI
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Gizi Kerja
    Gizi Kerja
    Dokumen113 halaman
    Gizi Kerja
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi Cairan Tubuh 2
    Fisiologi Cairan Tubuh 2
    Dokumen80 halaman
    Fisiologi Cairan Tubuh 2
    Dhea Dezhita
    Belum ada peringkat
  • GIZI
    GIZI
    Dokumen11 halaman
    GIZI
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Malaria Dan Pencegahannya
    Malaria Dan Pencegahannya
    Dokumen5 halaman
    Malaria Dan Pencegahannya
    Nizar Saeful M
    Belum ada peringkat
  • Manifestasi Klinis
    Manifestasi Klinis
    Dokumen1 halaman
    Manifestasi Klinis
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • Etik
    Etik
    Dokumen1 halaman
    Etik
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat
  • KATETER
    KATETER
    Dokumen25 halaman
    KATETER
    Christian Berhandus
    Belum ada peringkat