Anda di halaman 1dari 43

“Governance di Sektor Rumah Sakit”

Oleh:

Dr. Herlina Wani Siwu (212021110057)


Dr. Christina Maria Suhartono (212021110031)
Dr. Christian Jan Jafet Berhandus (212021110079)

PASCASARJANA
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3

1.1 Latar Belakang 3

BAB II PEMBAHASAN 6

2.1 Corporate Governance 6


2.1.1 Latar Belakang Munculnya Good Corporate Governance 7

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Tata Kelola yang Baik 9


2.2.1 Prinsip Hukum Tata Kelola Rumah Sakit Yang Baik (Good Hospital
Governance) 13
2.2.2 Penerapan Prinsip Hukum Tata Kelola Rumah Sakit Yang Baik Dalam
Undang-Undang Rumah Sakit 16

2.3 Governance di Sektor Kesehatan 17

2.4 Good Corporate Governance di Rumah Sakit 18

2.5 Good Clinical Governance 26

BAB III PENUTUP 41

3.1 Kesimpulan 41

DAFTAR PUSTAKA 42
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Good corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua
stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang
saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya. Kedua, kewajiban
perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan
terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. (Manossoh, 2016)
Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja
perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas
manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Penerapan
Good Corporate Governance juga membuat pengelolaan perusahaan menjadi lebih fokus dan
lebih jelas dalam pembagian tugas, tanggung jawab, dan pengawasannya. Ada lima prinsip
utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance yaitu tranparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran/kesetaraan. (Manossoh, 2016)
Good corporate governance merupakan suatu sistem, di mana yang mengoperasikannya
adalah manusia, adapun kesuksesan penerapannya sangat bergantung pada integritas dan
komitmen. Good corporate governance merupakan prinsip yang universal, sehingga dapat
ditemukan pada kultur budaya di manapun. Beberapa kajian tentang penerapan good corporate
governance di Indonesia memberikan indikasi bahwa memang diperlukan dorongan hukum
untuk dapat merealisasikan perubahan kultur ke arah yang lebih baik. Namun tentu saja hal ini
bukan satu-satunya jawaban dari semua persoalan. (Chandra, 2016)
Menurut KNKG (2006), Good Corporate Governance diperlukan untuk mendorong
terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu
negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Sementara itu setiap perusahaan juga harus
memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran
perusahaan. Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas,responsibilitas, independensi serta
kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability)
perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). (Chandra, 2016)
Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010 tentang rumah sakit, yang dimaksud rumah
sakit adalah “Institusi yang memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau
kepada masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat”. (Mahadewi & Asri
Dwija Putri, 2019)
Berdasarkan UU tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi sebagai berikut:
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka
peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan. (Mahadewi & Asri Dwija Putri, 2019)
Manajemen rumah sakit memerlukan tata kelola terhadap sistem manajemen dan
pelayanan. Rumah sakit dikatakan berhasil jika dapat memberikan layanan yang berkualitas
dalam suatu lingkungan yang menarik. Rumah sakit tersebut harus mampu bersaing
mendapatkan pasar pasien baru dan mendapatkan kontrak pelayanan kesehatan berjenjang
melalui tarif yang bersaing. Rumah sakit juga harus berpartisipasi dalam jaringan dan sistem
pelayanan terintegrasi sehingga dapat memposisikan rumah sakit tersebut dalam suatu pasar
yang menginginkan penyedia jasa yang dapat menawarkan paket pelayanan yang terintegrasi
secara vertikal. (Abdat, 2019)
Pelayanan kesehatan harus mengutamakan keselamatan pasien dan mutu atau kualitas
pelayanan. Tersedianya alur yang benar pada rumah sakit sehingga pasien mendapatkan
pelayanan dan pengobatan yang baik dengan waktu, biaya, tenaga yang efisien dan efektif
melalui pemanfataan sumber daya yang ada di rumah sakit. Alur yang tidak benar berefek pada
pelayanan yang berliku dan sulit sehingga pasien menjadi lama perawatannya dan mengeluarkan
biaya yang banyak. (Abdat, 2019)
Fakta menunjukkan bahwa sektor rumah sakit bergerak dengan pengaruh mekanisme
pasar. Dalam suatu kehidupan dengan mekanisme pasar, selalu ada tata aturan agar tidak terjadi
penyimpangan akibat pengaruh negatif mekanisme pasar. Sebagai gambaran, walaupun ada
perdagangan bebas di sebuah negara tidak berarti kekuatan pasar menentukan segalanya. Di
Amerika Serikat ada UU anti monopoli dan anti kartel agar masyarakat tidak dirugikan dari
praktik negatif perdagangan. Oleh karena itu rumah sakit dan seluruh profesional di dalamnya
sebagai pelaku usaha dalam sistem kesehatan perlu mempunyai tata aturan yang baik.
(Trisnantoro, 2005)
Ada tiga hal penting untuk diperhatikan: Sistem tata aturan dalam sektor kesehatan;
Sistem tata aturan dalam lembaga rumah sakit; dan Sistem tata aturan kelompok profesional
khususnya dokter di rumah sakit. Sistem pengendalian dalam sektor kesehatan mengacu pada
konsep good governance. Sistem tata aturan lembaga rumah sakit mengacu pada good corporate
governance sedangkan untuk para dokter adalah good clinical governance. (Trisnantoro, 2005)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Corporate Governance


Corporate governance timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan kepada
pihak penyandang dana (principal/investor) bahwa dana yang ditanamkan digunakan secara tepat
dan efisien. Selain itu dengan corporate governance, perusahaan memberikan kepastian bahwa
manajemen (agent) bertindak yang terbaik demi kepentingan perusahaan. Secara umum,
corporate governance dapat memberikan perlindungan terhadap kepentingan semua pihak yang
berkaitan dengan perusahaan. (Manossoh, 2016)
Istilah Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee
tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager, dkk). Dalam
terjemahan bebas, good corporate governance adalah tata kelola perusahaan dengan baik. Akan
tetapi, sebagai suatu konsep, good corporate governance ternyata tak memiliki definisi tunggal.
Ball dalam Evans, dkk., mengartikan corporate governance sebagai seperangkat kesepakatan
atau aturan institusi yang secara efektif mengatur pengambilan keputusan. Lebih jauh Shleifer
dan Vishny mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme yang
dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan atau pemilik modal perusahaan
memperoleh pengembalian atau return dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer, atau dengan
kata lain bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan pengendalian terhadap manajer.
(Manossoh, 2016)
Selanjutnya, menurut Komite Cadburry, good corporate governance adalah prinsip yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders
pada khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Sedangkan OECD (organisation for
economic co- operation and development) dan FCGI (Forum for corporate governance di
Indonesia) mendefinisikan good corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang
menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan
serta pemangku kepentingan lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Atau
dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. (Manossoh, 2016)
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa good corporate governance
merupakan suatu sistem, proses, struktur, dan mekanisme yang mengatur pola hubungan
harmonis antara perusahaan dan pemangku kepentingannya untuk mencapai kinerja perusahaan
semaksimal mungkin dengan cara-cara yang tidak merugikan pemangku kepentingannya. Good
corporate governance merupakan upaya yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan untuk menjalankan usahanya secara baik sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing. (Manossoh, 2016)

2.1.1 Latar Belakang Munculnya Good Corporate Governance


Secara umum, munculnya good corporate governance dilatarbelakangi oleh dua alasan
utama, yakni alasan akademis dan alasan praktis. Dari latar belakang akademis, kebutuhan akan
good corporate governance ini timbul dari teori-teori yang dikemukakan oleh berbagai pakar.
Sedangkan, ditinjau dari perspektif praktis, kebutuhan akan good corporate governance muncul
tatkala perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat, diantaranya Enron dan Worldcom dan
auditor besar Arthur Andersen, berguguran akibat tata kelola manajemen yang buruk.
(Manossoh, 2016)
Dari latar belakang akademis, terdapat dua teori utama yang terkait dengan good
corporate governance, yaitu stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory melihat
manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan
publik maupun stakeholder berdasarkan asumsi bahwa manusia pada hakekatnya dapat
dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran
terhadap pihak lain. Sedangkan agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan
sebagai ‘agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi
kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap
pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model. Bertentangan dengan
stewardship theory, agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk
bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders
pada khususnya. (Manossoh, 2016)
Selanjutnya dari sisi praktis, urgensi akan good corporate adalah akibat skandal finansial
yang melibatkan perusahaan raksasa dunia. Kebangkrutan Enron Inc. merupakan salah satu
contoh nyata pengelolaan perusahaan yang bobrok. Enron adalah perusahaan raksasa energi yang
pada tahun 2000 mencatat omset bisnis sebesar sekitar US$ 100 miliar, nilai yang kurang lebih
sama dengan total pendapatan kotor negeri sebesar Indonesia pada tahun yang sama. Akan tetapi,
pada kenyataannya perusahaan tersebut telah memanipulasi laporan keuangan mereka selama 4
tahun berturut-turut untuk mendapatkan performance yang sehat. Manajemen Enron rupanya
melakukan pembohongan publik. Dengan bersekongkol bersama akuntan publiknya, Arthur
Andersen, Enron berhasil mengecoh publik dengan membuat laporan yang direkayasa. Akibat
dari kasus ini, Enron dinyatakan pailit dan bangkrut dengan kerugian ratusan triliun. Skandal
finansial yang terjadi pada perusahaan besar seperti Enron, mendorong munculnya good
corporate governance. Dengan adanya good corporate governance diharapkan tidak akan timbul
lagi kasus-kasus serupa yang merugikan investor. (Manossoh, 2016)
Dari perspektif yang lain, penerapan good corporate governance (GCG) dapat didorong
dari dua sisi, yaitu etika dan peraturan. Dorongan dari etika (ethical driven) datang dari
kesadaran individu-individu pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang mengutamakan
kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholders, dan menghindari cara- cara
menciptakan keuntungan sesaat. Di sisi lain, dorongan dari peraturan (regulatory driven)
“memaksa” perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Manossoh, 2016)
Good Corporate Governance di Indonesia sendiri mulai dikenal pada akhir tahun 1990an,
saat krisis ekonomi melanda. Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu
alasan terjadinya krisis ekonomi politik Indonesia yang efeknya masih terasa hingga saat ini.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN mulai memperkenalkan konsep
Good Corporate Governance ini di lingkungan BUMN, Melalui Surat Keputusan Menteri
BUMN No. Kep-117/M- MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek Good
Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara, menekankan kewajiban bagi BUMN
untuk menerapkan Good Corporate Governance secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-
prinsip Good Corporate Governance sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang- undangan dan nilai-
nilai etika. Kemudian pada tahun 2006 Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
mengeluarkan dan menyempurnakan Pedoman Good Corporate Governance. (Manossoh, 2016)
2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Tata Kelola yang Baik
Pada dasarnya, esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan
melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen
terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang
berlaku. Oleh karena itu, tujuan good corporate governance adalah untuk menciptakaan nilai
tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal yang
meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor,
kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak–pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).
Secara khusus, beberapa tujuan good corporate governance adalah: (Manossoh, 2016)
1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang
memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan
stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan
organisasi kedepan
2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat
dipertanggungjawabkan
3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para shareholders dan stakeholders.
Tujuan utama penerapan prinsip GCG adalah mencapai optimalisasi kinerja para
karyawan yang intinya akan meningkatkan kinerja organisasi, maka kepentingan manajemen dan
karyawan haruslah mendapat perlakuan yang seimbang dan wajar sesuai dengan kedudukan
masing-masing. Implementasi GCG dapat menciptakan nilai (value creation) bagi masyarakat
(publik), pemasok, distributor, pemerintah, dan investor, sehingga akan berdampak langsung
bagi kelangsungan hidup perusahaan. (Nur, 2017)
Dalam mewujudkan good corporate governance, diperlukan adanya dua aspek
keseimbangan, yaitu keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dilakukan
dengan cara menyajikan informasi yang berguna dalam evaluasi kinerja, informasi tentang
sumber daya yang dimiliki perusahaan, semua transaksi dan kejadian internal, dan informasi
untuk keputusan manajemen internal. Sedangkan keseimbangan eksternal dilakukan dengan cara
menyajikan informasi bisnis kepada para pemegang saham, kreditur, bank, dan organisasi
lainnya yang berkepentingan. (Manossoh, 2016)
Untuk mewujudkan dua aspek keseimbangan tersebut, terdapat beberapa prinsip dasar
praktik good corporate governance. Berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia, yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006), ada 5
asas good corporate governance. Kelima asas tersebut adalah transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan, seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 1. (Manossoh, 2016)

Gambar 1. Prinsip Good Corporate Governance

a. Transparansi (Transparency)
Prinsip dasar dalam asas transparansi adalah bahwa perusahaan harus menyediakan
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan dalam menjalankan bisnisnya. Lebih lanjut lagi, perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam pedoman pelaksanaannya, asas transparansi berarti bahwa Perusahaan harus
menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
Kemudian ditegaskan bahwa Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak
terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan
dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan
perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal,
sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat
mempengaruhi kondisi perusahaan.
Menurut Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep 117-M-MBU/2002, transparansi
yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya:
keterbukaan dalam hal penentuan upah/gaji karyawan, keterbukaan mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karyawan agar tidak sepihak, keterbukaan mengenai laporan
keuangan perusahaan dan keadaan keuangan perusahaan. (Lamadjido, Darmawansyah, &
Noor, 2013)
b. Akuntabilitas (Accountability)
Dalam asas akuntabilitas, prinsip dasar penerapan good corporate governance mengandung
makna bahwa Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain.
Berdasarkan prinsip dasar ini, perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung
jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras
dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan.
Perusahaan juga harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan
mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam
pelaksanaan GCG. Kemudian, perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian
internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. Juga, perusahaan harus memiliki
ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha
perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan
dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of
conduct) yang telah disepakati.
Menurut UNDP (dalam LAN dan BPKP) dalam Tangkilisan, mengatakan “Accountability
atau Akuntabilitas” ,dimana para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga
stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat,
apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi. (Lamadjido,
Darmawansyah, & Noor, 2013)
c. Responsibilitas (Responsibility)
Prinsip dasar dalam asas responsibilitas adalah bahwa Perusahaan harus mematuhi peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Dalam pelaksanaanya, organ
perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). Juga,
perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat
perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
d. Independensi (Independency)
Prinsip dasar untuk melancarkan pelaksanaan asas independensi, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pelaksanaan asas ini adalah bahwa
masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak
manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan
(conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan
dapat dilakukan secara obyektif. Kemudian, masing- masing organ perusahaan harus
melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-
undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan
yang lain.
e. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Prinsip dasar berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan bahwa dalam melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Dalam
pelaksanaan prinsip ini, Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi
dalam lingkup kedudukan masing-masing. Juga, perusahaan harus memberikan perlakuan
yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi
yang diberikan kepada perusahaan.
Fairness merujuk adanya perlakuan yang setara (equal) terhadap semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya.
Penegakan prinsip fairness ini terutama ditujukan terhadap pimpinan dan stakeholder
lainnya. Fairness juga perlu diperluas pada pola hubungan kepada stakeholders lainnya,
misalnya pola hubungan antar karyawan. Keseimbangan hak pimpinan dan bawahan harus
diperhatikan, sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan. Demikian pula halnya dengan
hak-hak dari pengguna layanan dalam hal ini pasien harus ditetapkan secara jelas dengan
melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak yang terkait. (Lamadjido, Darmawansyah, &
Noor, 2013)

2.2.1 Prinsip Hukum Tata Kelola Rumah Sakit Yang Baik (Good Hospital Governance)
Praktek tata kelola rumah sakit yang baik adalah beroperasinya rumah sakit sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar tata kelola rumah sakit. Menurut Meeta Ruparel dalam tulisannya
“Hospital Good Governance” menyebutkan ada 5 (lima) elemen kunci dari tata kelola yang baik
di rumah sakit yaitu: 1) Accountability; 2) Fairness dan Ethic; 3) Safety; 4) Transparancy, dan

(5) Independence. Selanjutnya menurut George C. Glover Jr. tata kelola rumah sakit meliputi:
Size issues; Representational issues - ex officio appointments; Accountability issues - patients,
community, staff, government, universities, researchers, members; Delegation/abdication issues;
Budget issues; Strategic planning issues; Roles of hospital boards; Strategic planning; Hiring,
firing, evaluation and compensation of the CEO; Risk management; Fiscal responsibility; Board
and Management succession; evaluation; Advocacy; Quality/standards. Pendapat George C.
Glover Jr tersebut di atas lebih menitik beratkan pada strategi masalah perencanaan rumah sakit
dan berperannya badan-badan yang terdapat di rumah sakit. (Sitohang, 2014)
Bullivant, Burgess, dan Corbett-Nolan Godfrey mengemukakan 7 prinsip dalam lembaga
publik, meliputi; Selflessness, Integrity, Objectivity, Accountability, Openess, Honesty and
Leadership. (Sitohang, 2014)
● Selflessness berarti bahwa pemegang jabatan publik harus mengambil keputusan semata-
mata demi kepentingan umum. Mereka tidak harus melakukannya untuk mendapatkan
keuntungan finansial atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau kerabatnya.
● Integrity artinya bahwa pemegang jabatan publik tidak seharusnya menempatkan
kepentingan mereka sendiri atau kepentingan lainnya yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan tugas publik mereka.
● Objectivity yaitu apabila pejabat publik dalam menjalankan bisnis publik, termasuk
membuat janji yang bersifat publik atau merekomendasikan seseorang untuk
mendapatkan sesuatu, maka pejabat tersebut harus membuat pilihan berdasarkan prestasi.
● Accountability artinya Pemegang jabatan publiklah yang bertanggung jawab atas
keputusan dan tindakan kepada publik dan harus menyerahkan diri untuk pengawasan
apapun yang sesuai untuk kantor mereka.
● Openess berarti bahwa pemegang jabatan publik harus seterbuka mungkin tentang semua
keputusan dan tindakan yang mereka ambil. Mereka harus memberikan alasan atas
keputusan mereka dan membatasi informasi hanya jika kepentingan umum yang lebih
luas jelas menuntut.
● Honesty yaitu pemegang jabatan publik memiliki kewajiban untuk menyebutkan
kepentingan pribadi yang berkaitan dengan tugas-tugas publik mereka dan untuk
mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan setiap konflik yang timbul dengan cara
yang melindungi kepentingan publik.
● Leadership bermakna pemegang jabatan publik harus mempromosikan dan mendukung
prinsip kepemimpinan dan keteladanan.
William D Savedoff mengemukakan beberapa ukuran untuk memahami tata kelola di
bidang pelayanan kesehatan seperti: 1) Kinerja tata kelola (governance performance); 2) faktor-
faktor penentu tata kelola (governance determinants); dan 3) Konteks tata kelola (governance
context). WHO (World Health Organization) pada tahun 2008, memberikan 5 (lima) daftar
ukuran kinerja tata kelola yang baik untuk pelayanan kesehatan masyarakat secara langsung
yaitu: 1) Hadir tidaknya pelayan kesehatan pada pekerjaannya; 2) Ketersediaan dana pemerintah
untuk menyediakan fasiltas kesehatan sampai ke tingkat kabupaten; 3) Ketersediaan obat yang
pokok di fasilitas kesehatan; 4) Ada tidaknya pembayaran yang berbentuk informal dalam sistem
pelayanan kesehatan publik; dan 5) Ada tidaknya beredar obat palsu di penjualan farmasi.
Kelima indikator tersebut digunakan untuk mengukur adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan pelayanan kesehatan masyarakat dan yang akan berdampak pada pelaksanaan
pelayanan kepada masyarakat. (Sitohang, 2014)
Menurut Syed Amin Tabish prinsip-prinsip pokok tata kelola dalam pengembangan dan
penerapan model pemerintahan di rumah sakit meliputi: Knowledge of what governance is,
Achievement of goals, Executive Management Team relationships, Unity in direction, Unity of
command, Accountability, ownership needs, Self-improvement and understanding governance

costs. Walaupun pada akhirnya Syed Amin Tabish berkesimpulan bahwa pengembangan prinsip
tata kelola dalam rumah sakit adalah merupakan pengembangan dari prinsip akuntabilitas dan
transparansi. (Sitohang, 2014)
Hasil penelitian yang memperbandingkan tata kelola rumah sakit yang baik antara New
Zealand dengan Czech yang dilakukan oleh Elizabeth Ditzel, Pavel Strach dan Petr Pirozek

menerapkan prinsip tata kelola yang baik dari DW Taylor dalam tata kelola rumah sakit di New
Zealand dan Czech. Ada 9 prinsip tata kelola yang baik menurut DW Taylor yang dapat
diterapkan dalam tata kelola rumah sakit, yaitu: (Sitohang, 2014)
1) Know what governance is, artinya rumah sakit harus memiliki pernyataan resmi
mengenai misi dan sasaran kinerja yang jelas, kode etik dan prosedur yang diperlukan
dalam pelaksanaan tata kelola;
2) Achievement of strategic ends (goals), maksudnya bahwa struktur tata kelola dan dan
struktur organisasi rumah sakit harus sedemikian rupa sehingga layanan dan kinerja dapat
berjalan dengan efektif, dalam artian bahwa rumah sakit tidak dibebani dengan
pendanaan sehingga pencapaian tujuan dapat terlaksana. Meskipun harus menjaga
stabilitas keuangan rumah sakit, tujuan strategis utama mereka adalah untuk
meningkatkan, mempromosikan dan melindungi kesehatan seluruh masyarakat sampai ke
daerah;
3) The Board-CEO relationship, artinya didalam rumah sakit harus terjaga hubungan baik
antara pemilik dengan administrator dan tenaga medis;
4) Unity of direction (kesatuan arah);
5) Unity of command (kesatuan perintah);
6) Unity of accountability and responsibility (kesatuan akuntabilitas dan tanggung jawab)
ketiga prinsip ini (keempat, kelima dan keenam) berasal dari prinsip manajemen klasik
yang saling terkait. Secara kolektif, prinsip-prinsip ini berkaitan dengan prinsip skala
desain organisasi yang berarti bahwa rantai komando harus mengalir dalam garis lurus
dari atas ke bawah organisasi, yaitu dari CEO board bawah melalui berbagai tingkat staf
di rumah sakit, dan bahwa orang-orang dalam posisi kekuasaan dalam organisasi harus
bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bertanggung jawab langsung kepada atasan
mereka. Selanjutnya, tiga prinsip yang berikutnya adalah
7) Ownership needs, ini mengacu pada kebutuhan kepemilikan, yang menunjukkan bahwa
pertanggung jawaban utama rumah sakit adalah pemilikinya, yang dalam rumah sakit
umum adalah pemerintah;
8) Self-improvement and quality management yang mencakup gagasan terus menerus
perbaikan diri dan manajemen mutu. Prinsip ini didukung oleh pemahaman bahwa rumah
sakit dan sistem kesehatan tidak hanya menyangkut tentang ekonomi tetapi juga entitas
sosial;
9) Understanding the cost of governance berkaitan dengan pemahaman biaya tata kelola dan
membahas masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan biaya yang timbul.

2.2.2 Penerapan Prinsip Hukum Tata Kelola Rumah Sakit Yang Baik Dalam Undang-
Undang Rumah Sakit
Pasal 33 ayat (1) UU No. 44/2009 ditentukan bahwa setiap rumah sakit harus memiliki
organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Kemudian dalam penjelasan ayat (1) ditentukan :
Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi Rumah Sakit
dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tata
kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance). Selanjutnya Pasal 36 UU No. 44/2009
ditentukan bahwa Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata
kelola klinis yang baik. Dalam penjelasan ditentukan bahwa tata kelola rumah sakit yang baik
adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen Rumah Sakit yang berdasarkan prinsip-prinsip
tranparansi, akuntabilitas, independensi dan responsibilitas, kesetaraan dan kewajaran, dan tata
kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan
klinik, audit klinis, data klinis, resiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan
keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah
sakit. (Sitohang, 2014)
Dua pasal tersebut dihubungkan dengan pembagian rumah sakit berdasarkan
kepemilikannya yaitu rumah sakit pemerintah (publik) dan rumah sakit swasta (privat), maka tata
kelola kedua rumah sakit tersebut harus tunduk pada tata kelola rumah sakit yang baik. Dalam
rangka melakukan pelayanan medis ini, rumah sakit harus memperhatikan prinsip-prinsip atau
asas-asas yang diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 pada Bab II Pasal 2 ditentukan: “Rumah
sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial”. (Sitohang, 2014)
Sehubungan dengan hubungan pelayanan medis ini, Komalasari sebagaimana dikutip oleh

Syahrul Machmud, menyebutkan beberapa prinsip yang harus dipedomani dan dijadikan dasar
oleh para dokter dalam melakukan perjanjian atau transaksi terapeutik dengan pasien. Prinsip-
prinsip atau Asas-asas hukum yang dimaksud, yaitu : Prinsip Legalitas, Prinsip Keseimbangan,
Prinsip Tepat Waktu, Prinsip Iktikad Baik, Prinsip Kehati- hatian dan Prinsip Keterbukaan.
Berbeda dengan prinsip yang dikemukakan oleh Syahrul Machmud di atas, menurut naskah
akademik Undang-Undang Rumah Sakit menentukan beberapa prinsip yang harus diperhatikan
oleh tenaga kesehatan ketika hendak melakukan tindakan-tindakan medis di rumah sakit, yaitu:
1) Prinsip Tepat Waktu; 2) Prinsip Legalitas; 3) Prinsip Proposionalitas; 4) Prinsip
Keseimbangan; 5) Prinsip Kejujuran; 6) Prinsip Kebebasan Memilh Tindakan; 7) Prinsip Fungsi
Sosial. (Sitohang, 2014)

2.3 Governance di Sektor Kesehatan


Sheffield Teaching Hospitals NHS Foundation Trust menyatakan bahwa tujuan tata
kelola yang baik adalah memiliki struktur dan proses yang memimpin, mengarahkan, dan
mengendalikan kualitas layanan. Tata kelola yang baik akan mencakup proses mengidentifikasi
dan meminimalkan risiko. Ini juga akan memastikan bahwa standar yang diperlukan tercapai.
Ketika terjadi kinerja di bawah standar, sesuatu harus dilakukan untuk memperbaikinya dan
mengangkatnya ke standar minimum yang dipersyaratkan. Tata kelola pelayanan kesehatan
dimulai dengan proses rekrutmen personel yang kompeten. (Widjaja, 2020)
Healthcare Governance and Transparency Association (HGTA), dalam publikasinya
Principles & Guidelines for Governance in Hospital, mengatakan bahwa ada dua jenis tata
kelola dalam tata kelola layanan kesehatan. Mereka adalah tata kelola perusahaan dan tata kelola
klinis. Tata kelola perusahaan mengacu pada prosedur dan proses yang dengannya organisasi
diarahkan atau dikendalikan. Meskipun secara umum, sektor kesehatan mungkin berbeda dalam
banyak aspek dari bidang industri lainnya; rumah sakit sebagai suatu organisasi harus memiliki
tata kelola yang baik. Memasukkan tata kelola perusahaan dalam industri perawatan kesehatan,
seperti rumah sakit, mungkin bermanfaat bagi rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit harus
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa melakukan diskriminasi, karena
perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kelas sosial, atau pandangan politik. (Widjaja, 2020)
Konsep Good governance dalam sistem kesehatan mempunyai komponen penting di
kehidupan sehari-hari yaitu: (1) pemerintah; (2) masyarakat; dan (3) kelompok pelaku usaha.
Hubungan antara ketiga komponen ini perlu dirinci agar terjadi tata aturan yang baik dalam
sistem. Identifikasi peran dan hubungan antar lembaga merupakan hal penting namun mungkin
sulit dilakukan. Ada beberapa kasus yang menunjukkan kesulitan ini. (Trisnantoro, 2005)

2.4 Good Corporate Governance di Rumah Sakit


Rumah sakit merupakan sarana penyedia layanan kesehatan untuk masyarakat. Undang-
Undang Republik Indonesia no. 44 tahun 2009 (DEPKES RI, 2009) dalam kebijakannya
disebutkan bahwa rumah sakit sebagai institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi- tingginya. KEMENKES No. 129 tahun 2008 juga menambahkan bahwa peran Rumah
sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan
dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. (Nur, 2017)
Tuntutan masyarakat akan peningkatan dalam memberikan pelayanan menunjukkan
bahwa rumah sakit sebagai organisasi sektor publik dalam pengelolaannya belum sesuai dengan
harapan masyarakat di daerah, masyarakat belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang
optimal dari rumah sakit, dimana transparansi dan akuntabilitas publik dirasa masih kurang.
Prasetyono (Manasikana, 2015) menyebutkan bahwa belum optimalnya pelayanan publik dari
rumah sakit dimungkinkan karena belum diimplementasikan sepenuhnya konsep good corporate
governance. (Nur, 2017)
Konsep good corporate governance (GCG) pada rumah sakit disebut sebagai good
hospital governace (GHG) atau dalam bahasa indonesia disebut sebagai sistem tata kelola rumah
sakit yang baik. Konsep good hospital governace (GHG) sama dengan konsep tata kelola
perusahaan pada umumnya, namun disesuaikan aplikasinya pada jenis bisnisnya yaitu layanan
kesehatan. Undang-Undang RI nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit pada pasal 33 ayat 1
menyebutkan bahwa “setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan
akuntabel”. Organisasi rumah sakit didirikan dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi rumah
sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata
kelola klinis yang baik (good clinical governance). Hal ini menunjukkan urgensi dari penerapan
sistem tata kelola rumah sakit di setiap rumah sakit guna melayani kebutuhan akan kesehatan
masyarakat yang sangat penting. (Nur, 2017)
KEMENKES RI (2010) dalam kebijakannya disebutkan bahwa di era pasar bebas dan
liberalisasi, profesionalisme merupakan suatu instrumen yang unggul untuk memenangkan
kompetisi, untuk itu SDM pada rumah sakit harus lebih kompeten dan memiliki daya saing yang
tinggi secara regional maupun global. Tujuan reformasi birokrasi yang memang digalakkan
adalah dalam rangka mewujudkan Good Government yang bermuara pada perbaikan pelayanan,
sedangkan sasaran reformasi birokrasi ditinjau dari dimensi sumber daya manusia adalah
terwujudnya birokrasi yang profesional, netral dan sejahtera yang mampu menempatkan dirinya
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
(Nur, 2017)
Upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit ini bukanlah hal yang mudah,
penyebab yang kerap kali muncul dari buruknya kualitas pelayanan, antara lain karena
keterbatasan kemampuan sumber daya pada rumah sakit, baik sumber daya keuangan teknologi,
maupun sumber daya manusianyayang dilihat dari segi kuantitas dan kualitas, sehingga kendala
ini telah menyebabkan pelayanan yang diberikan dirasakan kurang memadai, kurang
komunikatif dan pada akhirnya menimbulkan penilaian kurang memuaskan pada pelayanan yang
diberikan. (Nur, 2017)
Salah satu cara yang ditempuh manajemen rumah sakit untuk meningkatkan hasil kerja
dan memperoleh keuntungan organisasi secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan adalah melalui manajemen organisasi yang efektif dan efisien. Manajemen organisasi
yang efektif dan efisien menunjukkan tata kelola yang baik dalam organisasi, hal ini berkaitan
dengan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) yang menjadi pedoman pelaksanaan
tata kelola organisasi. Good corporate governance memegang peranan penting, sebagai sarana
untuk mengukur kinerja suatu organisasi yang baik. (Nur, 2017)
Surya (2010) menambahkan bahwa prinsip-prinsip Good corporate governance (GCG)
memegang peranan penting terkait kebutuhan manajemen organisasi yang efektif dan efisien,
sebagai sarana untuk mengukur kinerja suatu organisasi yang baik. Penerapan good corporate
governance dimaksudkan agar terciptanya keterbukaan informasi, adanya pertanggungjawaban
pimpinan, perlakuan adil bagi setiap karyawan dalam menjalankan kewajiban dan menerima
hak-haknya sebagai karyawan maupun adanya keterlibatan dari seluruh karyawan dalam
mengembangan organisasi rumah sakit menjadi lebih baik lagi. (Nur, 2017)
Struktur tata kelola dan struktur organisasi rumah sakit harus sedemikian rupa sehingga
layanan dan kinerja dapat berjalan secara efektif. Manajemen rumah sakit lebih memfokuskan
pada aspek transparansi dan kemandirian. Proses layanan yang diterima oleh pasien harus sesuai
dengan ekspektasi pasien yang didukung oleh sistem manajemen yang diadakan di rumah sakit.
Tata kelola rumah sakit dapat ditinjau berdasarkan lima aspek; Itu adalah transparansi,
akuntabilitas, tanggung jawab, independensi dan keadilan. (Rusydi, Palutturi, Noor, &
Pasinringi, 2020)
Transparansi dalam manajemen rumah sakit dapat dibagi menjadi dua, yaitu, dan
transparansi lebih tentang bagaimana rumah sakit menyediakan layanan kepada masyarakat
berdasarkan keterbukaan dalam proses layanan dan akses mudah ke informasi layanan. Selain
itu, transparansi juga dapat ditinjau berdasarkan aspek manajemen internal rumah sakit, seperti
keterbukaan dalam proses mempekerjakan karyawan rumah sakit, menyiapkan deskripsi
pekerjaan atau dalam proses pelaporan keuangan rumah sakit. (Rusydi, Palutturi, Noor, &
Pasinringi, 2020)
Independensi di rumah sakit tidak dapat dilakukan secara menyeluruh, terutama di rumah
sakit pemerintah. Intervensi pemerintah di rumah sakit adalah atas dasar bahwa rumah sakit tidak
dapat melakukan kemandirian secara keseluruhan, baik dalam hal pemberian layanan maupun
dalam sistem manajemen yang diadakan di rumah sakit. Peran pemerintah juga terbukti oleh
peraturan terkait tata kelola rumah sakit, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit. (Rusydi, Palutturi, Noor, & Pasinringi, 2020)
Good corporate governance merupakan konsep untuk meningkatkan transparasi dan
akuntabilitas yang saat ini dianjurkan dipergunakan pada lembaga usaha. Diharapkan dengan
penggunaan corporate governance akan ada sistem manajemen yang meningkatkan efisensi.
Pengertian efisiensi ini yaitu bagaimana cara meningkatkan hasil semaksimal mungkin.
(Trisnantoro, 2005)
Secara umum, sistem corporate governance bertujuan untuk memberikan pedoman
strategis dan mengoperasionalkan sebuah dewan yang melakukan monitoring terharap pekerjaan
manajer. Konsep corporate governance berasal dari sektor perusahaan dalam mencari
keuntungan. Perlu dicatat bahwa tujuan perusahaan memperoleh keuntungan adalah
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan berusaha mempunyai kemampuan yang
cukup dalam mencapai tujuan sesuai dengan lingkungannya. Laba akan dibagi ke pemilik modal
atau pemegang saham. Namun, lembaga nonprofit pun dapat menggunakan model corporate
governance untuk meningkatkan efisiensinya. Rumah sakit nonprofit yang mengambil bentuk
lembaga usaha perlu mempertimbangkan konsep corporate governance. (Trisnantoro, 2005)
Usaha memahami corporate governance dapat dimulai dari hakikat sebuah lembaga
usaha. Katz dan Rosen menyatakan bahwa paling sedikit ada tiga komponen dalam lembaga
usaha yaitu, (1) pekerja atau orang yang dibayar atas gaji tetap dan mempunyai peraturan kerja;
(2) manajer yang bertanggung jawab menetapkan keputusan, memonitor para pekerja; dan (3)
pemilik yang mempunyai modal dan menanggung risiko keuangan usaha. Dalam model standar
perusahaan terdapat pemisahan antara pemilik dengan para manajer pelaksana. Pemisahan antara
pemilik dengan para manajer merupakan salah satu ciri lembaga usaha modern. Pemisahan
antara pemilik dengan para manajer ini menghasilkan struktur organisasi yang merupakan
standar sebuah perusahaan. Standar tersebut yaitu adanya badan yang disebut sebagai Board of
Directors. (Trisnantoro, 2005)
Board of Directors berperan sebagai tonggak utama dalam mekanisme pengendalian
internal. Dalam sistem yang mengacu pada corporate governance, terdapat peraturan yang
menerangkan tentang peran manajer dan Board of Directors. Tanggung jawab Board of Directors
secara umum dalam perusahaan adalah melakukan monitoring terhadap manajer atas mandat dari
pemegang saham perusahaan. Secara rinci fungsi kuncinya antara sebagai berikut: (Trisnantoro,
2005)
1. Melakukan review dan mengarahkan strategi lembaga usaha, rencana besar, kebijakan
risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan indikator kinerja, monitoring
pelaksanaan dan kinerja lembaga usaha serta mengawasi pengeluaran modal.
2. Memilih dan memberikan konpensasi, memonitor dan apabila perlu mengganti direktur
dan mengawasi perencanaan penggantian.
3. Mengkaji pembayaran eksekutif dan dewan direktur.
4. Memonitor dan mengelola berbagai konflik yang potensial dalam manajemen.
Sistem corporate governance pada rumah sakit for profit tujuannya yaitu meningkatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, sistem corporate governance pada rumah sakit
nonprofit bertujuan menjamin agar tujuan rumah sakit dapat tercapai seefisien mungkin. Board
of Directors pada rumah sakit nonprofit sering disebut sebagai Board of Trustees. (Trisnantoro,
2005)
Pada awalnya kehadiran Board of Directors atau Board of Trustees di rumah sakit lebih
berfungsi sebagai stempel atau cap yang mengesahkan keputusan-keputusan direksi. Akan tetapi,
di Amerika Serikat dilaporkan bahwa fungsi board pada rumah sakit menjadi lebih menentukan
dalam keputusan-keputusan manajemen. Fungsi awal lain yaitu menggalang dana-dana
kemanusiaan atau mendapatkan dukungan politis. Oleh karena itu, sebagian anggota board
berasal dari kalangan politisi, pengusaha, pemimpin-pemimpin informal di masyarakat atau
dermawan. Perkembangan rumah sakit di Indonesia menunjukkan hal ini. Fungsi board yang
sering disebut sebagai Dewan Pembina dari yayasan pemilik atau secara sederhana disebut
sebagai anggota yayasan. Menurut Kovner secara umum pekerjaan Board of Directors di rumah
sakit adalah menetapkan dan menjaga misi rumah sakit; bertindak sebagai wali untuk menjaga
aset dan investasi dari pemilik saham para rumah sakit for profit atau kepentingan pemilik pada
rumah sakit nonprofit; memilih, menasihati, dan memeriksa pimpinan rumah sakit; menyerahkan
tanggung jawab urusan medik kepada dokter dan usaha pengembangan mutu pelayanan serta
memberikan arahan untuk rumah sakit dan menjamin pertumbuhan dan perkembangannya.
(Trisnantoro, 2005)
Contoh sistem yang menggunakan corporate governance pada rumah sakit for profit
adalah adanya struktur Board of Directors di University Health System Ltd. yang dimiliki oleh
Tulane University (20% saham) dan Columbia, sebuah perusahaan for profit yang bergerak
dalam jaringan rumah sakit (80% saham) (Bulger dkk.,). Anggota board sebanyak 10 orang
terdiri atas 5 orang dari Tulane University dan 5 orang dari Columbia. Pimpinan board berasal
dari Tulane University. Semua keputusan besar harus disetujui oleh tiga anggota dari Tulane
University dan tiga anggota dari Columbia. Keputusan yang membutuhkan suara mayoritas dari
board berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian direktur rumah sakit, pengembangan
usaha atau penghapusan pelayanan rumah sakit, modifikasi penunjang akademik, dan pembelian
rumah sakit pendidikan dalam radius 75 mil. Contoh corporate governance rumah sakit non
profit dapat dilihat pada rumah sakit pendidikan North Carolina. Rumah sakit pendidikan ini
merupakan gabungan antara Wake Forest University dengan North Carolina Baptist Hospital
yang mempunyai jaringan pelayanan kesehatan. Kedua lembaga tersebut bersifat nonprofit.
Masing-masing lembaga terdapat Board of Trustees. (Trisnantoro, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh Alexander dkk. mengenai struktur, komposisi, dan seleksi
board di Amerika Serikat menarik untuk disimak. Penelitian tersebut menggambarkan perbedaan
beberapa aspek board selama 10 tahun (antara tahun 1989 hingga tahun 1997) pada rumah sakit
swasta nonprofit, rumah sakit pemerintah, dan rumah sakit for profit. Penelitian tersebut sangat
besar dengan melibatkan 3.100 rumah sakit pada tahun 1989 kemudian tahun 1997 sebanyak
2.100 rumah sakit. Jumlah anggota board merupakan hal penting dalam penelitian tersebut.
Jumlah anggota mempengaruhi lama waktu pengambilan keputusan. Berbagai keluhan manajer
dan konsultan manajemen rumah sakit yakni bahwa jumlah anggota board terlalu banyak
sehingga mengakibatkan keputusan menjadi lama. Manajer dan para konsultan berpendapat
bahwa jumlah anggota board yang sedikit lebih baik karena akan mempercepat proses
pengambilan keputusan. Akan tetapi, jika board terlalu sedikit akan tidak baik karena dapat
mengakibatkan terbentuknya blok-blok dengan mudah. Rata-rata jumlah board pada tahun 1989
sebanyak 13,5 orang sedang pada tahun 1997 adalah 13,6 orang. Jumlah board paling banyak
pada rumah sakit yang tidak mencari untung (18.8 dan 16.6 orang rata-rata pada tahun 1989 dan
1997). Semakin besar jumlah Tempat Tidur (TT) rumah sakit, maka semakin banyak anggota
board. (Trisnantoro, 2005)
Salah satu fungsi board yang sangat strategis adalah menilai kinerja Direksi. Ternyata
tidak semua board rumah sakit mempunyai fungsi ini. Akan tetapi, dapat diketahui bahwa tahun
1997 terjadi peningkatan yang cukup besar dalam persentase rumah sakit yang melakukan
pengawasan terhadap direksi. Board of Director rumah sakit pemerintah merupakan kelompok
paling rendah dalam fungsi pengawasan direksi. Dengan beban dan tanggung jawab yang
semakin meningkat, seharusnya board akan dibayar untuk pekerjaannya. Akan tetapi, penelitian
Alexander menunjukkan hasil yang menunjukkan penurunan persentase rumah sakit yang
memberikan insentif untuk anggota board dari tahun 1989 hingga tahun 1997. Kelompok rumah
sakit for profit ternyata justru mengalami penurunan, sementara kelompok rumah sakit
pemerintah tetap. Seperti yang telah diduga, kelompok rumah sakit swasta nonprofit mempunyai
persentase kecil jumlah anggota Board yang di bayar. Hal ini berkaitan dengan himbauan dari
Kantor Informasi Dana Kemanusiaan Nasional untuk tidak memberikan kompensasi bagi
anggota board pada lembaga- lembaga nonprofit. (Trisnantoro, 2005)
Kesimpulan penelitian Alexander dkk. (2001) menyatakan bahwa peran board pada
rumah sakit adalah sebagai penjamin kelanggengan (continuity) perkembangan rumah sakit.
Board tidak berfungsi sebagai pemimpin perubahan dan perkembangan. Selama sepuluh tahun
perkembangan board, tidak mencerminkan adanya perubahan yang radikal. Akan tetapi, board
mengalami peningkatan kekuatan dalam menetapkan keputusan yang terkait dengan kinerja
rumah sakit. (Trisnantoro, 2005)
Peran Board of Directors dalam penyusunan rencana strategis menurut Wolper sangat
penting. Board of Directors berperan aktif dalam menyusun rencana strategis khususnya dalam
penyusunan misi dan visi rumah sakit. Pertemuan-pertemuan awal dalam penyusunan rencana
strategis perlu dihadiri oleh Board of Directors. Dokumen rencana strategis juga harus mendapat
persetujuan dari Board of Directors untuk disahkan. (Trisnantoro, 2005)
Menurut American Hospital Association dan Ernst Young, terdapat beberapa kriteria
penting untuk menjadi anggota board yaitu mempunyai nilai-nilai yang sama dengan rumah
sakit, mempunyai kepemimpinan di masyarakat, secara keuangan tidak kekurangan, memahami
perencanaan strategis dan mempunyai visi, mempunyai waktu, dan secara politis merupakan
orang berpengaruh. (Trisnantoro, 2005)
Dengan melihat situasi dan kondisi sektor rumah sakit di Indonesia, pada intinya
keuntungan corporate governance di rumah sakit digunakan untuk hal-hal, (1) untuk perbaikan
sistem pengawasan internal dan (2) peningkatan efisiensi untuk meningkatkan daya saing.
Kerugian struktur corporate governance antara lain, bertambahnya biaya operasional, keputusan
dapat menjadi lebih lama, dan menambah jalur birokrasi. (Trisnantoro, 2005)
Jawaban untuk rumah sakit swasta for profit adalah sudah selayaknya harus memiliki
Dewan dalam kerangka struktur corporate governance. Pemilik saham rumah sakit swasta for
profit pada umumnya mempunyai pengalaman dalam perusahaan di luar sektor kesehatan yang
terbiasa dengan konsep corporate governance. Sedangkan rumah sakit nonprofit jawaban
pertanyaan tersebut terletak pada pemilik rumah sakit dan penafsiran UU Nomor 16 tahun 2001.
Pemilik RS nonprofit pada umumnya adalah lembaga pemerintah, keagamaan, dan sosial. Pasal
3 dalam UU Nomor 16 tahun 2001 menyebutkan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan
usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha
dan/ atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Di samping itu, disebutkan pula bahwa yayasan
tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus, dan pengawas.
(Trisnantoro, 2005)
Secara keseluruhan rumah sakit nonprofit di Indonesia cenderung lebih kompleks
perilakunya dengan sistem aturan yang kurang jelas di banding rumah sakit for profit. Dalam hal
ini sistem corporate governance pada rumah sakit nonprofit mungkin akan lebih sulit dibentuk
apabila dibandingkan dengan rumah sakit for profit. Sebagai gambaran, sebagian lembaga usaha
swasta nonprofit yang bergerak di rumah sakit ternyata tidak mempunyai pemisahan antara
pemilik dengan pengelola. Beberapa kasus muncul seperti: (Trisnantoro, 2005)
● Terjadi perangkapan jabatan pada yayasan dengan direksi atau pelaku kegiatan di rumah
sakit sehingga menimbulkan conflict of interest;
● Para manajer yang tidak memahami pentingnya sistem kontrol sehingga cenderung
memutuskan sendiri walaupun untuk keputusan yang sangat besar dan strategis;
● Anggota yayasan yang mengawasi rumah sakit ternyata tidak mempunyai pemahaman
mengenai rumah sakit. Hal ini terkait dengan kriteria pemilihan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila muncul konflik antara yayasan dengan
direksi atau antar anggota yayasan atau antara anggota yayasan dengan pemilik yayasan. Konflik
antara anggota yayasan atau anggota keluarga (terutama untuk generasi-generasi setelah
pendirinya meninggal). Konflik tersebut terjadi pula di lembaga-lembaga keagamaan. Struktur
corporate governance mempunyai keuntungan dapat mencegah berbagai konflik. Akan tetapi,
perlu ditekankan bahwa struktur corporate governance merupakan sistem formal yang mungkin
tidak cocok dengan kultur kekeluargaan yang sekarang ini mungkin dianut oleh yayasan
keagamaan atau sosial. Struktur formal ini mungkin justru akan membuat lebih banyak konflik.
Oleh karena itu, penggunaan struktur corporate governance pada rumah sakit swasta nonprofit
benar-benar harus dipertimbangkan dengan seksama. (Trisnantoro, 2005)
Dalam konteks keterkaitan UU Nomor 16 tahun 2001, tentang yayasan dan konsep
corporate governance terdapat kemungkinan diterapkan untuk RS swasta nonprofit.
Kemungkinan pertama adalah rumah sakit nonprofit berubah menjadi perusahaan terbatas.
Dalam hal ini maka struktur corporate governance dengan mudah dapat dipergunakan. Akan
tetapi, perubahan menjadi rumah sakit for profit dapat bertentangan dengan misi rumah sakit
yang berdasar nilai keagamaan dan sosial. (Trisnantoro, 2005)
Alternatif kedua adalah yayasan bersifat nonprofit memiliki saham dalam rumah sakit
berbentuk perusahaan mencari keuntungan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan kerja
sama dengan perusahaan yang mencari keuntungan. Akan tetapi, keadaan ini juga menyangkut
masalah misi yayasan. (Trisnantoro, 2005)
Alternatif ketiga adalah rumah sakit nonprofit tetap berbentuk yayasan tetapi
menggunakan konsep corporate governance. Alternatif ini mungkin yang akan menjadi pilihan
berbagai yayasan sosial dan keagamaan yang mempunyai rumah sakit. Alternatif ini merupakan
tantangan menarik bagi para pemilik, konsultan, dan peneliti manajemen rumah sakit untuk
mengembangkan konsep corporate governance pada rumah sakit yayasan nonprofit.
(Trisnantoro, 2005)
Rumah sakit pemerintah mempunyai sejarah yang dekat dengan sifat birokratis. Sebagai
gambaran, direksi rumah sakit pemerintah mempunyai tingkat eselon tertentu dalam sistem
pegawai negeri. Rumah sakit pemerintah daerah dengan pemerintah sebagai pemilik terdiri dari
eksekutif dan legislatif (DPRD) sebagai wakil rakyat, dapat mempunyai posisi dalam dewan
penyantun. Peran dan komposisi anggota Dewan Penyantun pada rumah sakit daerah masih
belum jelas. (Trisnantoro, 2005)
Dapat dinyatakan bahwa hubungan antara pemilik dan para pengelola merupakan bagian
dari sistem birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, jabatan manajemen di rumah sakit-rumah
sakit pemerintah masih menggunakan model birokrasi dengan sistem eselon. Semakin tinggi
jabatan struktural di rumah sakit, membutuhkan eselon yang lebih tinggi pula. Dapat disebutkan
bahwa pada rumah sakit pemerintah memang terjadi pemisahan yang jelas antara pemilik dengan
manajer. Akan tetapi, hubungan ini tidak menggunakan konsep corporate governance. Hubungan
yang terjadi lebih mengandalkan pada hubungan atasan-bawahan. (Trisnantoro, 2005)

2.5 Good Clinical Governance


Perkembangan perumahsakitan di Indonesia berkembang dengan pesat. Persaingan
datang dari dalam negeri dan luar negeri. Dahulu fokus sentral pelayanan kesehatan adalah pada
dokter dan orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan itu, kini paradigma tersebut harus
diubah pada patient centered yakni pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien. Artinya
segala aktivitas harus dikoordinasikan untuk memuaskan pelanggan/pasien. (Abdat, 2019)
Rumah Sakit merupakan organisasi yang kompleks, yang memanfaatkan kombinasi yang
saling mengikat antara sumber daya manusia yang profesional dengan sumber daya lainnya,
manajemen, keuangan, dan peralatan yang canggih dan modern dalam menuju satu sasaran yaitu
pelayanan dan perawatan pasien secara kontinu. Rumah sakit di dalamnya terdapat sistem dan

subsistem serta mikrosistem. Pada era globalisasi, kualitas rumah sakit dikatakan bermutu
apabila mampu menyelenggarakan pelayanan berikut ; (Abdat, 2019)
1) Aman : mencegah kejadian yang tidak diharapkan sejak pasien datang hingga pulang.
2) Fokus pada pasien : menyelenggarakan pelayanan dengan penuh empati, tanggung jawab,
responsif dan proaktif, memenuhi etika klinik (indikasi medis, menghormati otonomi
pasien, memperhatikan kualitas hidup pasien, serta manfaat dari perawatan/tindakan yang
dilakukan)
3) Ketepatan waktu : mengurangi waktu tunggu, baik bagi yang akan menerima pelayanan
maupun yang akan memberikan layanan.
4) Efektif : menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan pengetahuan – ketrampilan yang
dimiliki (kompetensi – profesional)
5) Efisien : tidak memanfaatkan sumber daya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
6) Adil : tidak membedakan status ekonomi, sosial, gender, ras, agama, geografi, etnis.
Manajemen rumah sakit memerlukan tata kelola terhadap sistem manajemen dan
pelayanan. Saat ini telah dikembangkan sistem untuk me- ningkatkan mutu pelayanan klinis di
rumah sakit (RS) yang disebut dengan tata kelola klinis (clinical governance). Sistem ini pertama
kali dikembangkan di Inggris pada dekade 90-an. Tata kelola klinis timbul karena berbagai
kenyataan buruk dalam sistem pela- yanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Di
samping itu, tata kelola klinis muncul karena “putus-asanya” Pemerintah dan manajer sarana
pela- yanan kesehatan dalam mengimplementasi pendekatan total quality management (TQM)
atau continuous quality improvement (CQI) untuk pelayanan kesehatan dengan alasan tidak
dapat diterima secara luas karena para staf klinik menilai TQM dan CQI tersebut terlalu “berbau”
manajemen tanpa identifikasi peran yang jelas untuk para klinisi dalam meningkatkan mutu
tersebut. Donalson and Gray mendefinisikan Clinical Governance (tata kelola) sebagai kerangka
kerja dimana organisasi pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas peningkatan mutu
pelayanan secara berkesinambungan dan menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan

menciptakan lingkungan yang kondusif. Clinical Governance merupakan kerangka kerja rumah
sakit yang dapat diakuntabilitas terhadap kualitas pelayanan pasien, terdapat sistem yang
disetujui bersama disertai proses monitoring dan peningkatan pelayanan. Prinsip ini berlangsung
untuk melindungi investor dan meminimalkan resiko perusahaan dari penipuan/kecurangan,
malpraktek, dan korupsi. (Abdat, 2019) (Hartati, Djasri, & Utarini, 2014)
Tata kelola klinis adalah suatu sistem yang menjamin organisasi pemberi pelayanan
kesehatan bertanggung jawab untuk terus-menerus melakukan perbaikan mutu pelayanannya dan
menjamin memberikan pelayanan dengan standar yang tinggi dengan menciptakan lingkungan

dimana pelayanan prima akan berkembang. Departemen Kesehatan Australia Barat


mendefinisikannya sebagai pendekatan sistematis dan terintegrasi untuk menjamin dan menilai
tanggung jawab dan tanggung gugat klinis melalui peningkatan mutu dan keselamatan yang
membawa hasil outcome klinis yang optimal. (Hartati, Djasri, & Utarini, 2014)
Clinical Governance memiliki prioritas strategis sesuai dengan 7 domain Standards for

Better Health. Ketujuh domain tersebut adalah keselamatan (safety), efektivitas klinik dan biaya
(clinical and cost effectiveness), managerial dan kepemimpinan (governance), berfokuskan
pasien (patient focus), pelayanan yang terjangkau dan responsive (accessible and responsive
care), lingkungan perawatan (care environment and amenities), dan kesehatan masyarakat
(public health). Setiap domain tersebut dilengkapi dengan strategi utama dan kebijakan untuk
mencapai tujuan domain dan aktivitas yang perlu dilaksanakan, cara pemantauan aktivitas
disertai komite yang memantau aktivitas tersebut dan pengambilan tindakan untuk pemenuhan
standar. (Abdat, 2019)
Gambar 2. Bagan Siklus Tata Kelola Klinik
Prinsip dasar dalam clinical governance adalah mengembangkan sistem untuk
meningkatkan mutu klinik (rumah sakit) sebagaimana tujuan dari clinical governance adalah
untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Peningkatan mutu dengan cara memadukan
pendekatan manajemen, organisasi, dan klinik secara Bersama. Clinical governance bertugas
memastikan bahwa tersedia sistem untuk memonitor kualitas praktik klinik yang berfungsi
dengan baik, selalu dievaluasi dan hasil evaluasinya digunakan untuk melakukan perbaikan.
Sumber daya utama dalam aplikasi clinical governance adalah para personel dalam sistem baik
para staf, tenaga medis dan non medis, termasuk pemilik. Diperlukan suatu strategi untuk
merubah kebiasaan & kultur guna meningkatkan kualitas dalam pelayanan. (Abdat, 2019)
Strategi-strategi Clinical governance diterapkan dalam the seven pillars, yaitu:
1. Patient and public involment
2. Clinical risk management
3. Clinical audit
4. Clinical effectiveness
5. Staffing and staff management
6. Education, training and continous professional development
7. Use of information to support clinical governance and healthcare delivery
Pengembangan organisasi (Organizational development) merupakan suatu kegiatan untuk
mengembangkan prinsip dan pelaksanaan perubahan manajemen serta peningkatan efektifitas
organisasi. Pengembangan organisasi ini meliputi perubahan budaya, pengembangan
kemampuan teknis, pengembangan struktur organisasi. Pada sektor pelayanan kesehatan,
organizational development merupakan langkah utama dalam pelaksanaan strategi clinical
governance, agar terciptanya akuntabilitas diperlukan teamwork, leadership, information
support, system approach dan investment in staff. (Abdat, 2019)
Risiko dalam pelayanan Rumah Sakit bukan hanya mengenai pasien sebagai konsumen
langsung, namun juga berdampak pada petugas kesehatan dan pengunjung lainnya. Setiap orang
yang menggunakan jasa kesehatan mengharapkan pelayan yang aman dan efektif. Kesalahan
yang terjadi dalam pelayanan tidak bisa dihilangkan dengan sempurna, namun meminimalkan
risiko bisa dilakukan. Disadari bahwa penanganan risiko dalam pelayanan kesehatan belum
maksimal. Padahal satu dari berbagai resiko yang signifikan adalah kerugian pasien dan
membiarkan hal itu terjadi tanpa melakukan perbaikan dalam sistem manajemen. Pada industri
pelayanan yang beresiko tinggi, mereka melakukan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya,
namun hal ini masih jarang dilakukan di bidang kesehatan. Kinerja pelayanan kesehatan dinilai
dari indikator produktifitas dan finansial. Hal ini menjelaskan mengapa keamanan tidak terdaftar
sebagai hal utama dalam rencana strategis. Fokus utama hanya terletak pada finansial, kebutuhan
etika untuk meningkatkan pelayanan sering diemban oleh klinisi sebagai individu. (Abdat, 2019)
Manajemen risiko merupakan rangkaian dalam struktur manajemen dari suatu pelayanan
kesehatan. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa risiko pelayanan kesehatan bukan
hanya merugikan konsumen namun juga akan berdampak dalam pelayanan kesehatan dan tingkat
kepercayaan konsumen. Melakukan prioritas terhadap resiko yang terjadi menjadi sangat
penting. Tahap ini erat kaitannya dengan tingginya angka kejadian dan dan akibat atas kerugian
yang terjadi. Penanganan yang baik akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan secara
langsung akan ada jaminan risiko terhadap tindakan medis. (Abdat, 2019)
Clinical Governance (CG) adalah suatu cara atau sistem penjaminan dan peningkatan

mutu pelayanan klinik yang efisien. Secara konsep komponen utama CG terdiri dari :
Akuntabilitas yang jelas bagi mutu pelayanan, adanya kegiatan peningkatan mutu yang
berkesinambungan, kebijakan manajemen resiko, identifikasi prosedur profesi beserta
perbaikannya. Bila implementasi CG dilakukan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh :
(Abdat, 2019)
1. Komplain Pasien makin kecil (Fewer patient complaints)
2. Berkurangnya variasi prosedur klinis yang tidak sesuai (Less unjustified variation in
clinical practice)
3. Berkurangnya penggunaan penunjang diagnostic yang inefektif (Less use of ineffective
investigations and treatments)
4. Pemberdayaan sarana yang ada menjadi lebih baik (Better use of resources)
5. Meningkatnya kepuasan pasien (Increased patient satisfaction)
6. Terdokumentasinya prosedur klinis dengan lebih baik (Documented changes in clinical
practices)
7. Perkembangan spesifik pada perawatan pasien (Specific improvements in patient care)
8. Lebih dekatnya teamwork antara manajer dan dokter (Closer working between clinicians
and managers)
9. Budaya perusahaan kearah lebih baik (Positive changes in organizational culture)
10. Perbaikan manajemen perubahan di manajemen klinis (Better at managing changes in
clinical practice)
11. Manajemen lebih mengetahui tentang kualitas dari pelayanan
Namun keuntungan itu tidak didapatkan secara serta merta karena keempat komponen
utama CG tersebut harus terorganisasi dengan baik dan berkesinambungan melalui sistem yang
jelas. Dengan demikian memang faktor sistem-lah yang selama ini banyak berpengaruh pada
kerugian, sedangkan kesalahan akibat faktor manusia hanya sekitar 10-20%. (Abdat, 2019)
Sebuah strategi pengelolaan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dan akuntabilitas
akan meningkatkan mutu, yang secara langsung meningkatkan kepercayaan pasien terhadap

pelayanan kesehatan. Clinical governance bertugas memastikan bahwa telah terdapat sistem
untuk memonitor kualitas pelayanan yang berfungsi dengan baik, selalu dievaluasi dan hasil
evaluasinya digunakan untuk melakukan perbaikan. Clinical governance akan memberikan
pengaruh positif tidak hanya bagi pasien tapi juga terhadap manajemen rumah sakit secara
keseluruhan sehingga mampu eksis dan berkompetisi dalam persaingan global. (Abdat, 2019)
Salah satu faktor kunci dalam pengembangan pelayanan rumah sakit adalah bagaimana
meningkatkan mutu pelayanan klinik. Rumah sakit adalah lembaga yang memberikan pelayanan
klinik sehingga mutu klinik merupakan indikator penting bagi baik buruknya rumah sakit. Baik
dan buruknya proses pelayanan klinik dipengaruhi oleh penampilan kerja dokter spesialis pada
rumah sakit. Sebagaimana sistem governance di manajemen rumah sakit, saat ini dikembangkan
sistem governance di klinik. Pengembangan ini dipelopori oleh Inggris pada dekade 90-an
dengan menggunakan istilah clinical governance. (Trisnantoro, 2005)
Prinsip dasar dalam pengembangan pengelolaan clinical governance adalah bagaimana
mengembangkan sistem untuk meningkatkan mutu klinik. Peningkatan mutu tersebut dilakukan
dengan cara memadukan pendekatan manajemen, organisasi, dan klinik secara bersama. Clinical
governance bertugas memastikan bahwa telah terdapat sistem untuk memonitor kualitas praktik
klinis yang berfungsi dengan baik; praktik klinis selalu dievaluasi dan hasil evaluasinya
digunakan untuk melakukan perbaikan; dan praktik klinis sudah sesuai dengan standar, seperti
yang dikeluarkan oleh badan regulasi profesi nasional. (Trisnantoro, 2005)
Secara rinci, sistem yang diterapkan dalam clinical governance meliputi berbagai
kegiatan seperti audit klinis, manajemen efektif bagi kolega klinis yang berkinerja buruk,
manajemen risiko, praktik klinis berbasis pada bukti (evidence based), pelaksanaan bukti
efektivitas klinik, pengembangan keterampilan kepemimpinan bagi klinisi, pendidikan
berkelanjutan bagi semua staf klinis, sampai audit feedback dari konsumen. (Trisnantoro, 2005)
Kerangka kerja clinical governance tersusun atas empat hal yaitu evidence based
medicine, informasi yang baik, penilaian kerja klinik, dan hubungan antara klinisi dengan
manajemen. Berbagai implikasi besar muncul dengan kerangka kerja ini. Pertama, rumah sakit
melakukan pelaksanaan praktik klinik berbasis pada bukti (evidence based practice).
Pelaksanaan evidence based merupakan hal yang berat. Kedua, dilakukan perbaikan infrastruktur
informasi klinis. Ketiga, dilakukan pengembangan mekanisme untuk menilai kinerja klinik yang
terpadu dengan kinerja manajemen. Keempat, perlu dilakukan pengembangan pengetahuan dan
keterampilan kepemimpinan di antara staf klinis. Dalam hal ini harus terdapat klinisi yang
menjadi pemimpin (leader) dari para klinisi. (Trisnantoro, 2005)
Clinical governance harus dibangun di atas sistem yang baik dan efektif serta harus
diintegrasikan sepenuhnya ke dalam sistem governance rumah sakit. Akan tetapi, disadari bahwa
untuk membangun kepercayaan dan menciptakan kelompok klinisi yang mempunyai motivasi
tinggi dalam kualitas perawatan klinisnya diperlukan perubahan sikap dan kultur yang mendasar
terutama pada lingkungan klinisi. Di Indonesia perubahan kultural ini sangat diperlukan di
kalangan klinisi. (Trisnantoro, 2005)
Kelompok di rumah sakit yang paling relevan untuk mengelola clinical governance
adalah Komite Medik. Menurut Karnadihardja, Komite Medik adalah suatu organisasi
nonstruktural di rumah sakit yang bertujuan menjamin terselenggaranya pelayanan medik yang
baik, profesional, yang selalu mengacu kepada kepentingan pasien, serta memperhatikan Kode
Etik Kedokteran dan Kode Etik Rumah Sakit serta norma-norma yang berlaku pada masyarakat
Indonesia. Komite Medik sebagai organisasi intern nonstruktural tidak mempunyai garis
komando dengan Direksi RS dan Dewan Pembina tetapi berupa garis koordinasi. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan yang bersifat mengikat dikeluarkan oleh Direksi sebagai hasil keputusan
rapat bersama antara Direksi, Komite Medik, dan perwakilan Dewan Pembina. (Trisnantoro,
2005)
Dalam hal ini belum dilakukan penelitian mendalam mengenai efektivitas komite medik.
Akan tetapi, berdasarkan pengamatan pada berbagai rumah sakit Komite Medik mengalami
kesulitan dalam menjalankan perannya. Jika dilihat pada peraturan Komite Medik dapat dilihat
bahwa Komite Medik tersusun atas beberapa bagian seperti, Badan Pengurus Harian (BPH),
panitia-panitia, dan Anggota. Panitia-panitia di dalam komite medik antara lain Panitia Rekam
medik, Panitia Utilisasi, Panitia Audit Medik, merangkap Peer Review, Panitia Kredensial,
Panitia Terapi dan Farmasi, Panitia Infeksi Nosokomial, Panitia Jaringan, Panitia Etik Rumah
Sakit, dan lain sebagainya. (Trisnantoro, 2005)
Badan Pengurus Harian Komite Medik (Executive Committee of The Medical Staff)
terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota. Menurut Karnadihardja, BPH Komite
Medik mewakili staf medik dalam hubungan yang dinamis sehari-hari dengan Direksi dan
Dewan Pembina. Salah satu organ utama untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan secara
formal dilakukan melalui rapat bersama yang diselenggarakan secara rutin antara Komite Medik,
Direksi, dan Badan Pembina (Joint Conference Committee). (Trisnantoro, 2005)
Berdasarkan struktur dan peranannya, Komite Medik merupakan unit penting dalam
rumah sakit. Di Amerika Serikat kedudukan Chief of Medical Staff sangat kuat, sejajar dengan
Chief Executive Officer (CEO) rumah sakit dan bertanggung jawab pada Governing Board.
Komite Medik di Indonesia cenderung diberlakukan bukan seperti instalasi yang berhak
merencanakan anggaran. Di beberapa rumah sakit Komite Medik bahkan tidak mendapatkan
anggaran. Kesulitan yang ditemui dapat dianalisis dari jumlah dan komposisi tempat bekerja para
spesialis. Sebagian besar spesialis adalah pegawai negeri yang bekerja di rumah sakit swasta.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah mungkin dengan pola bekerja spesialis yang bekerja
sambilan menjalankan fungsi clinical governance di Komite Medik pada rumah sakit
pemerintah? Seperti diketahui para spesialis mempunyai pekerjaan lain di rumah sakit swasta
karena pendapatan gaji dari pemerintah relative rendah. Pada prinsipnya isu mengenai
manajemen spesialis akan menjadi semakin penting di masa mendatang. (Trisnantoro, 2005)
Gambar 3 menunjukkan ada fungsi regulasi internal dalam hal mutu medik yang
dilakukan oleh sistem clinical governance (Lugon dkk., 2001). Dalam sistem clinical governance
ada infrastruktur yang bertugas menangani clinical risk management, health and safety, Claims
dan complaints, serta clinical audit. Disamping itu, ada infrastruktur untuk menangani
pengelolaan sistem informasi klinik. Sistem informasi klinik ini sangat strategis untuk
memberikan data mengenai kinerja pelayanan klinik, termasuk para dokternya. Dalam Gambar 3
terlihat bahwa Clinical Governance merupakan bagian dari Corporate Governance. Hal ini
penting dalam kaitannya dengan wewenang untuk menerima, reappoint (memperpanjang) atau
mengakhiri hubungan kerja dengan dokter. (Trisnantoro, 2005)

Gambar 3. Clinical Governance di Rumah Sakit


Salah satu aspek strategis di masa mendatang adalah bagaimana rumah sakit dapat
mengelola para spesialis sejak dari rekruitmen sampai ke terminasi kerja. Pada saat ini di
berbagai belahan dunia pola bekerja para dokter spesialis dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Pola Bekerja Para Dokter

Situasi di Indonesia saat ini secara de facto lebih menyerupai model Amerika Serikat
dibandingkan dengan Inggris. Sebagian besar spesialis di rumah sakit swasta bukan berstatus
sebagai pegawai tetap. Saat ini ada wacana menarik di rumah sakit pemerintah. Konsep dokter
mitra mulai dipertimbangkan untuk diterapkan. Dengan adanya desentralisasi dan kebijakan
otonomi rumah sakit pemerintah, kemungkinan dilakukan pengaturan jam bekerja sehingga
konsep full-timer dan part-timer dapat diberlakukan di rumah sakit pemerintah. Sebagai
konsekuensi situasi ini, maka harus ada proses kredensial yang baik, proses pemantauan kinerja
dokter yang berada dalam kontrak, dan bagaimana proses reappointment dapat dilakukan.
(Trisnantoro, 2005)
Masalah kredensial, reappointment, dan terminasi merupakan hal sensitif dan di
Indonesia saat ini masih merupakan hal baru. Model ini dinilai oleh sebagian dokter sebagai
bagian dari sistem yang “memperdagangkan” dokter sebagai suatu professional yang mulia. Ada
bagian dari kultur profesi dokter yang cenderung enggan menerima suatu sistem hubungan kerja
yang jelas antara rumah sakit dengan dokter, khususnya di rumah sakit pemerintah. Beberapa
rumah sakit enggan menggunakan kata-kata kontrak kerja, tetapi lebih menggunakan kata-kata
melakukan kerja sama. Akan tetapi, dalam kehidupan modern model kontrak, reappointment,
dan terminasi merupakan konsekuensi dari situasi yang berciri globalisasi. Cepat atau lambat,
model hubungan kontraktual antara dokter dengan rumah sakit menjadi semakin dipergunakan.
(Trisnantoro, 2005)
Sebagai catatan khusus, di berbagai negara maju sistem kesehatan saat ini sering di tolok
ukurkan dengan sistem di sektor yang mempunyai sistem pengendalian termasuk terhadap mutu
sumber daya manusia yang baik. Sektor yang banyak diacu adalah penerbangan. Dalam dunia
penerbangan, masalah safety dan mutu pelayanan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-
hari dan akhirnya menjadi budaya yang menonjol. Bagi sumber daya manusia yang cenderung
tidak memperhatikan masalah safety dan mutu, aturan di penerbangan akan mampu
mengeluarkannya dari sistem. (Trisnantoro, 2005)
Oleh karena itu, sistem manajemen rumah sakit perlu mengantisipasi perkembangan
hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit dengan cara menguatkan tata aturan di rumah
sakit. Diharapkan rumah sakit menerapkan prinsip- prinsip good corporate governance dalam
mengelola spesialis. Secara khusus rumah sakit diharapkan untuk menerapkan prinsip-prinsip
clinical governance. Dalam hal ini ada berbagai kegiatan yang terkait dengan clinical governance
sebagai berikut: (Trisnantoro, 2005)
● Proses credentialing untuk menerima seseorang menjadi staf dokter di sebuah rumah
sakit.
● Fungsi regulasi internal untuk mutu pelayanan dokter spesialis yakni diperlukan
pemantauan, pelaporan, dan sebagainya.
● Wewenang untuk menggunakan informasi appraisal kinerja dokter untuk keputusan
perpanjangan (reappointment) atau pemutusan kerja sama. Proses reappointment ini dapat
dilakukan secara serius atau hanya formalitas saja.
Apabila reappointment dilakukan secara serius, ada dua alasan pertimbangan untuk
mengangkat kembali dokter di rumah sakit. Pertama adalah proses reappointment berdasarkan
indikator klinik, dan kedua adalah berdasarkan perilaku dokternya sendiri. Waktu untuk
reappointment ini menurut Joint Commission adalah tidak lebih dari interval 2 tahun. Dalam
kegiatan reappointment ada berbagai hal penting yang perlu diperhatikan, termasuk penulisan
dalam bentuk by laws. Dalam hubungan antara dokter dengan rumah sakit by laws untuk para
staf dokter yang bersifat self governing (clinical governance) harus tetap disahkan oleh
governing board rumah sakit. Keputusan untuk pemutusan hubungan kerja berdasarkan prosedur
reappointment perlu ditetapkan. Di Amerika Serikat keputusan tidak berada di Staf Medik atau
Direksi tapi ada di Board of Trustees (non-profit) atau Board of Directors (For-profit).
(Trisnantoro, 2005)
Gambar 4 Proses Reappointment Dokter

Kinerja dokter dimonitor dalam sistem ini sebagai dasar untuk proses reappointment.
Sebagaimana disebutkan di atas, kinerja dokter dapat diukur dari aspek klinik dan perilaku
sebagai staf. Dalam proses reappointment fungsi Board dalam corporate governance merupakan
hal penting. Makna Corporate Governance adalah suatu struktur yang bertujuan agar lembaga
usaha berperilaku secara efisien. Dalam pengertian efisiensi ini adalah bagaimana cara untuk
meningkatkan hasil semaksimal mungkin. Secara umum sistem corporate governance bertujuan
untuk memberikan pedoman strategis dan mengoperasi onalkan sebuah dewan yang melakukan
monitoring terhadap pekerjaan manajer. (Trisnantoro, 2005)
Di rumah sakit, American Hospital Association menyatakan bahwa Board of Trustees
mempunyai wewenang untuk mengatur profesi medik. Fungsi Board yang terkait dengan profesi
medik: (Trisnantoro, 2005)
1. Appoints, reappoints, and approves privileges for all medical staff members.
2. Ensures that the Hospital medical staff is organized to support the objectives of the
Hospital.
3. Reviews and takes final action of appeals involving termination of medical staff
appointments.
4. Approves medical staff bylaws and proposed revisions.
5. Approves appointment of chairmen of medical staff department and medical staff
officers.
Dengan tata aturan yang jelas ini, maka manajemen spesialis akan lebih mudah dilakukan
sehingga konsentrasi dapat diberikan pada pengembangan pelayanan medik dan pelayanan
lainnya. Patut dicatat apabila tata aturan ini tidak diterapkan ada kemungkinan para pengelola
rumah sakit dan dokter spesialis akan lelah mengurusi hal-hal yang tidak perlu. Tata aturan
diharapkan dapat menghindari ketidak obyektifan penilaian, termasuk hal-hal yang terkait
dengan masalah keuangan. (Trisnantoro, 2005)
Model Good Corporate Governance di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat. Hal
ini terpengaruh oleh sistem hukum yang dipakai di Indonesia yang berasal dari model hukum
continental (Eropa daratan). Dalam Kode Good Corporate Governance, perusahaan di Indonesia
menggunakan model Dewan Komisaris yang tidak seaktif model Board of Directors di Amerika
Serikat. Secara lebih khusus, rumah sakit di Indonesia masih dalam tahap mencari bentuk untuk
good corporate governance. Saat ini sedang direncanakan penelitian mengenai bentuk corporate
governance di rumah sakit Indonesia. (Trisnantoro, 2005)
Demikian pula yang terjadi dalam aplikasi clinical governance di rumah sakit Indonesia.
Di manakah fungsi clinical governance seperti yang ada di Gambar 4.1 dilakukan di rumah
sakit? Apakah kegiatan clinical governance dilakukan oleh Komite Medik? Ataukah Direktur
Medik? Ataukah Satuan Pengawas Intern? Dalam pengamatan sementara, kenyataan yang terjadi
saat ini adalah tidak operasionalnya Komite Medik di berbagai rumah sakit. Komite Medik
cenderung bekerja dengan sifat sebagai pemadam kebakaran. Jika ada masalah baru akan
menangani. Di samping itu, Komite Medik cenderung tidak operasional, tidak mempunyai sistem
dan sumber daya cukup untuk mengelola risiko klinik, keamanan dan kesehatan staf medik,
penanganan keluhan, audit klinik, dan tidak mempunyai infrastruktur informasi klinik. Dengan
demikian, ada kendala berat dalam melakukan kegiatan operasional. Di sisi lain fungsi Direktur
Pelayanan Medik dirasa terlalu berat karena bercampur baur antara fungsi direktur operasional
untuk instalasi-instalasi medik dan mengelola para dokter. Dua fungsi ini sebenarnya sulit
dirangkap dalam satu jabatan. (Trisnantoro, 2005)
Keadaan manajemen spesialis di rumah sakit Indonesia saat ini masih dalam tahap awal
pengembangan. Isu mengenai clinical governance baru saja dimulai di Indonesia tahun 2001
ketika rombongan eksekutif Departemen Kesehatan dan berbagai direktur rumah sakit difasilitasi
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM untuk mengunjungi Inggris. Persatuan Dokter
Manajemen Medik Indonesia (PDMMI) baru berumur muda untuk melakukan pengembangan.
(Trisnantoro, 2005)
Ada dua faktor yang mempengaruhi skenario di masa mendatang yaitu faktor yang pasti
dan faktor yang tidak pasti. Beberapa faktor yang pasti antara lain: Demand terhadap pelayanan
rumah sakit semakin meningkat; Masyarakat semakin menuntut adanya transparasi dan efisiensi
pelayanan rumah sakit. RS Singapura, Australia, AS, Eropa (pemain lama) dan di Malaysia,
Thailand (pemain baru) sudah terbukti mampu memenuhi harapan ini; Peraturan hukum semakin
mendorong dipergunakannya good corporate governance. Faktor yang tidak pasti adalah
kemauan pemerintah, swasta, masyarakat dan para profesional untuk menggunakan konsep
governance di sektor kesehatan. (Trisnantoro, 2005)
Berdasarkan faktor-faktor tersebut ada tiga Skenario Utama penggunaan konsep
governance di rumah sakit. Skenario pertama adalah Status Quo dimana tidak terjadi perubahan
sama sekali. Skenario kedua adalah keadaan yang pesimistik dimana rumah sakit di Indonesia
menjadi semakin mendekati organisasi para seniman dimana governance merupakan hal yang
sulit diterapkan. Skenario ketiga adalah keadaan dimana rumah sakit di Indonesia menjadi
semakin mendekati rumah sakit-rumah sakit di negara maju dimana governance merupakan
dasar dari kebijakan kesehatan, sistem manajemen dan kegiatan operasional. (Trisnantoro, 2005)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rumah sakit diharuskan untuk meningkatkan kinerja dan daya saing dengan tidak
mengurangi misi sosial mereka. Ada enam tujuan yang harus dicapai dalam meningkatkan sistem
layanan kesehatan saat ini, yaitu keselamatan, efektivitas, berpusat pada pasien, ketepatan waktu,
efisiensi, dan kesetaraan. Manajemen organisasi yang efektif dan efisien menunjukkan tata
kelola yang baik dalam organisasi. Good Corporate Governance memainkan peran penting,
sebagai sarana untuk mengukur kinerja organisasi yang baik.
Praktik tata kelola rumah sakit yang baik adalah pengoperasian rumah sakit sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar rumah sakit. Konsep ini mirip dengan konsep sistem tata kelola
perusahaan secara umum, tetapi diadaptasi dengan penerapannya untuk bisnis layanan kesehatan.
Permintaan intens yang dibuat oleh masyarakat kepada pemerintah untuk menerapkan Good
Corporate Governance sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan pendidikan publik.
Selama beberapa dekade terakhir, tata kelola organisasi publik telah menjadi perhatian pada
sistem pemerintahan di dunia. Konsep tata kelola yang baik juga disentuh dalam hukum rumah
sakit di Indonesia, tetapi dalam praktiknya sampai sekarang belum ada peraturan derivatif untuk
menerapkan tata kelola rumah sakit yang baik, sehingga interpretasi konsep ini menjadi beragam
di setiap industri rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Manossoh, H. (2016). Good Corporate Governance untuk Meningkatkan Kualitas Laporan


Keuangan. Bandung: PT. Norlive Kharisma Indonesia.
Chandra, C. (2016). IMplementasi Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance pada Rumah
Sakit. AGORA, 394-398.
Sitohang, E. (2014, Januari-April). Prinsip Hukum Dalam Tata Kelola Rumah Sakit. Yuridika,
29, 83-99.
Mahadewi, I., & Asri Dwija Putri, I. (2019). Pengaruh Penerapan Prinsip-Prinsip Good
Governance Terhadap Kinerka Pada Rumah Sakit di Kota Denpasar. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana, 568-593.
Lamadjido, R. A., Darmawansyah, & Noor, N. B. (2013). Penerapan Prinsip Good Coorporate
Governance Terhadap Kepuasan Pasien di RSU Anutapura Palu. Jurnal AKK, 1-9.
Abdat, M. (2019). Strategi Clinical Governance Dalam Perbaikan Mutu Pelayanan Rumah Sakit
(Clinical Governance Strategy in Improving of Hospital Care Quality). Journal of Syiah
Kuala Dentistry Society, 1-5.
Hartati, K., Djasri, H., & Utarini, A. (2014). Implementasi Tata Kelola Klinis Oleh Komite
Medik di Rumah Sakit Umum Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 51-59.
Rusydi, A. R., Palutturi, S., Noor, N. B., & Pasinringi, S. A. (2020). Implementation of Good
Hospital Corporate Governance (GCG) in Makassar, Indonesia. INternational Journal if
Innovation, Creativity and Change, 555-564.
Widjaja, G. (2020). Good Hospital Governance in Indonesia And The Role Of Pharmacists.
European Journal of Molecular & Clinical Medicine, 1450-1455.
Nur, Y. (2017). Analisis Pengaruh Implementasi Good Corporate Governance (GCG) Pada
Remunerasi Terhadap Kinerja Karyawan RS UNS Surakarta. Surakarta: Program Studi
Magister Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Trisnantoro, L. (2005). Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit Antara Misi Sosial dan
Tekanan Pasar. Yogyakarta: Andi Publisher.

Anda mungkin juga menyukai