Oleh:
PASCASARJANA
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II PEMBAHASAN 6
3.1 Kesimpulan 41
DAFTAR PUSTAKA 42
BAB I
PENDAHULUAN
a. Transparansi (Transparency)
Prinsip dasar dalam asas transparansi adalah bahwa perusahaan harus menyediakan
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan dalam menjalankan bisnisnya. Lebih lanjut lagi, perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam pedoman pelaksanaannya, asas transparansi berarti bahwa Perusahaan harus
menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
Kemudian ditegaskan bahwa Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak
terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan
dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan
perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal,
sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat
mempengaruhi kondisi perusahaan.
Menurut Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep 117-M-MBU/2002, transparansi
yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya:
keterbukaan dalam hal penentuan upah/gaji karyawan, keterbukaan mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karyawan agar tidak sepihak, keterbukaan mengenai laporan
keuangan perusahaan dan keadaan keuangan perusahaan. (Lamadjido, Darmawansyah, &
Noor, 2013)
b. Akuntabilitas (Accountability)
Dalam asas akuntabilitas, prinsip dasar penerapan good corporate governance mengandung
makna bahwa Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain.
Berdasarkan prinsip dasar ini, perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung
jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras
dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan.
Perusahaan juga harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan
mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam
pelaksanaan GCG. Kemudian, perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian
internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. Juga, perusahaan harus memiliki
ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha
perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan
dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of
conduct) yang telah disepakati.
Menurut UNDP (dalam LAN dan BPKP) dalam Tangkilisan, mengatakan “Accountability
atau Akuntabilitas” ,dimana para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga
stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat,
apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi. (Lamadjido,
Darmawansyah, & Noor, 2013)
c. Responsibilitas (Responsibility)
Prinsip dasar dalam asas responsibilitas adalah bahwa Perusahaan harus mematuhi peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Dalam pelaksanaanya, organ
perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). Juga,
perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat
perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
d. Independensi (Independency)
Prinsip dasar untuk melancarkan pelaksanaan asas independensi, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pelaksanaan asas ini adalah bahwa
masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak
manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan
(conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan
dapat dilakukan secara obyektif. Kemudian, masing- masing organ perusahaan harus
melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-
undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan
yang lain.
e. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Prinsip dasar berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan bahwa dalam melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Dalam
pelaksanaan prinsip ini, Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi
dalam lingkup kedudukan masing-masing. Juga, perusahaan harus memberikan perlakuan
yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi
yang diberikan kepada perusahaan.
Fairness merujuk adanya perlakuan yang setara (equal) terhadap semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya.
Penegakan prinsip fairness ini terutama ditujukan terhadap pimpinan dan stakeholder
lainnya. Fairness juga perlu diperluas pada pola hubungan kepada stakeholders lainnya,
misalnya pola hubungan antar karyawan. Keseimbangan hak pimpinan dan bawahan harus
diperhatikan, sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan. Demikian pula halnya dengan
hak-hak dari pengguna layanan dalam hal ini pasien harus ditetapkan secara jelas dengan
melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak yang terkait. (Lamadjido, Darmawansyah, &
Noor, 2013)
2.2.1 Prinsip Hukum Tata Kelola Rumah Sakit Yang Baik (Good Hospital Governance)
Praktek tata kelola rumah sakit yang baik adalah beroperasinya rumah sakit sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar tata kelola rumah sakit. Menurut Meeta Ruparel dalam tulisannya
“Hospital Good Governance” menyebutkan ada 5 (lima) elemen kunci dari tata kelola yang baik
di rumah sakit yaitu: 1) Accountability; 2) Fairness dan Ethic; 3) Safety; 4) Transparancy, dan
(5) Independence. Selanjutnya menurut George C. Glover Jr. tata kelola rumah sakit meliputi:
Size issues; Representational issues - ex officio appointments; Accountability issues - patients,
community, staff, government, universities, researchers, members; Delegation/abdication issues;
Budget issues; Strategic planning issues; Roles of hospital boards; Strategic planning; Hiring,
firing, evaluation and compensation of the CEO; Risk management; Fiscal responsibility; Board
and Management succession; evaluation; Advocacy; Quality/standards. Pendapat George C.
Glover Jr tersebut di atas lebih menitik beratkan pada strategi masalah perencanaan rumah sakit
dan berperannya badan-badan yang terdapat di rumah sakit. (Sitohang, 2014)
Bullivant, Burgess, dan Corbett-Nolan Godfrey mengemukakan 7 prinsip dalam lembaga
publik, meliputi; Selflessness, Integrity, Objectivity, Accountability, Openess, Honesty and
Leadership. (Sitohang, 2014)
● Selflessness berarti bahwa pemegang jabatan publik harus mengambil keputusan semata-
mata demi kepentingan umum. Mereka tidak harus melakukannya untuk mendapatkan
keuntungan finansial atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau kerabatnya.
● Integrity artinya bahwa pemegang jabatan publik tidak seharusnya menempatkan
kepentingan mereka sendiri atau kepentingan lainnya yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan tugas publik mereka.
● Objectivity yaitu apabila pejabat publik dalam menjalankan bisnis publik, termasuk
membuat janji yang bersifat publik atau merekomendasikan seseorang untuk
mendapatkan sesuatu, maka pejabat tersebut harus membuat pilihan berdasarkan prestasi.
● Accountability artinya Pemegang jabatan publiklah yang bertanggung jawab atas
keputusan dan tindakan kepada publik dan harus menyerahkan diri untuk pengawasan
apapun yang sesuai untuk kantor mereka.
● Openess berarti bahwa pemegang jabatan publik harus seterbuka mungkin tentang semua
keputusan dan tindakan yang mereka ambil. Mereka harus memberikan alasan atas
keputusan mereka dan membatasi informasi hanya jika kepentingan umum yang lebih
luas jelas menuntut.
● Honesty yaitu pemegang jabatan publik memiliki kewajiban untuk menyebutkan
kepentingan pribadi yang berkaitan dengan tugas-tugas publik mereka dan untuk
mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan setiap konflik yang timbul dengan cara
yang melindungi kepentingan publik.
● Leadership bermakna pemegang jabatan publik harus mempromosikan dan mendukung
prinsip kepemimpinan dan keteladanan.
William D Savedoff mengemukakan beberapa ukuran untuk memahami tata kelola di
bidang pelayanan kesehatan seperti: 1) Kinerja tata kelola (governance performance); 2) faktor-
faktor penentu tata kelola (governance determinants); dan 3) Konteks tata kelola (governance
context). WHO (World Health Organization) pada tahun 2008, memberikan 5 (lima) daftar
ukuran kinerja tata kelola yang baik untuk pelayanan kesehatan masyarakat secara langsung
yaitu: 1) Hadir tidaknya pelayan kesehatan pada pekerjaannya; 2) Ketersediaan dana pemerintah
untuk menyediakan fasiltas kesehatan sampai ke tingkat kabupaten; 3) Ketersediaan obat yang
pokok di fasilitas kesehatan; 4) Ada tidaknya pembayaran yang berbentuk informal dalam sistem
pelayanan kesehatan publik; dan 5) Ada tidaknya beredar obat palsu di penjualan farmasi.
Kelima indikator tersebut digunakan untuk mengukur adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan pelayanan kesehatan masyarakat dan yang akan berdampak pada pelaksanaan
pelayanan kepada masyarakat. (Sitohang, 2014)
Menurut Syed Amin Tabish prinsip-prinsip pokok tata kelola dalam pengembangan dan
penerapan model pemerintahan di rumah sakit meliputi: Knowledge of what governance is,
Achievement of goals, Executive Management Team relationships, Unity in direction, Unity of
command, Accountability, ownership needs, Self-improvement and understanding governance
costs. Walaupun pada akhirnya Syed Amin Tabish berkesimpulan bahwa pengembangan prinsip
tata kelola dalam rumah sakit adalah merupakan pengembangan dari prinsip akuntabilitas dan
transparansi. (Sitohang, 2014)
Hasil penelitian yang memperbandingkan tata kelola rumah sakit yang baik antara New
Zealand dengan Czech yang dilakukan oleh Elizabeth Ditzel, Pavel Strach dan Petr Pirozek
menerapkan prinsip tata kelola yang baik dari DW Taylor dalam tata kelola rumah sakit di New
Zealand dan Czech. Ada 9 prinsip tata kelola yang baik menurut DW Taylor yang dapat
diterapkan dalam tata kelola rumah sakit, yaitu: (Sitohang, 2014)
1) Know what governance is, artinya rumah sakit harus memiliki pernyataan resmi
mengenai misi dan sasaran kinerja yang jelas, kode etik dan prosedur yang diperlukan
dalam pelaksanaan tata kelola;
2) Achievement of strategic ends (goals), maksudnya bahwa struktur tata kelola dan dan
struktur organisasi rumah sakit harus sedemikian rupa sehingga layanan dan kinerja dapat
berjalan dengan efektif, dalam artian bahwa rumah sakit tidak dibebani dengan
pendanaan sehingga pencapaian tujuan dapat terlaksana. Meskipun harus menjaga
stabilitas keuangan rumah sakit, tujuan strategis utama mereka adalah untuk
meningkatkan, mempromosikan dan melindungi kesehatan seluruh masyarakat sampai ke
daerah;
3) The Board-CEO relationship, artinya didalam rumah sakit harus terjaga hubungan baik
antara pemilik dengan administrator dan tenaga medis;
4) Unity of direction (kesatuan arah);
5) Unity of command (kesatuan perintah);
6) Unity of accountability and responsibility (kesatuan akuntabilitas dan tanggung jawab)
ketiga prinsip ini (keempat, kelima dan keenam) berasal dari prinsip manajemen klasik
yang saling terkait. Secara kolektif, prinsip-prinsip ini berkaitan dengan prinsip skala
desain organisasi yang berarti bahwa rantai komando harus mengalir dalam garis lurus
dari atas ke bawah organisasi, yaitu dari CEO board bawah melalui berbagai tingkat staf
di rumah sakit, dan bahwa orang-orang dalam posisi kekuasaan dalam organisasi harus
bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bertanggung jawab langsung kepada atasan
mereka. Selanjutnya, tiga prinsip yang berikutnya adalah
7) Ownership needs, ini mengacu pada kebutuhan kepemilikan, yang menunjukkan bahwa
pertanggung jawaban utama rumah sakit adalah pemilikinya, yang dalam rumah sakit
umum adalah pemerintah;
8) Self-improvement and quality management yang mencakup gagasan terus menerus
perbaikan diri dan manajemen mutu. Prinsip ini didukung oleh pemahaman bahwa rumah
sakit dan sistem kesehatan tidak hanya menyangkut tentang ekonomi tetapi juga entitas
sosial;
9) Understanding the cost of governance berkaitan dengan pemahaman biaya tata kelola dan
membahas masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan biaya yang timbul.
2.2.2 Penerapan Prinsip Hukum Tata Kelola Rumah Sakit Yang Baik Dalam Undang-
Undang Rumah Sakit
Pasal 33 ayat (1) UU No. 44/2009 ditentukan bahwa setiap rumah sakit harus memiliki
organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Kemudian dalam penjelasan ayat (1) ditentukan :
Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi Rumah Sakit
dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tata
kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance). Selanjutnya Pasal 36 UU No. 44/2009
ditentukan bahwa Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata
kelola klinis yang baik. Dalam penjelasan ditentukan bahwa tata kelola rumah sakit yang baik
adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen Rumah Sakit yang berdasarkan prinsip-prinsip
tranparansi, akuntabilitas, independensi dan responsibilitas, kesetaraan dan kewajaran, dan tata
kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan
klinik, audit klinis, data klinis, resiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan
keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah
sakit. (Sitohang, 2014)
Dua pasal tersebut dihubungkan dengan pembagian rumah sakit berdasarkan
kepemilikannya yaitu rumah sakit pemerintah (publik) dan rumah sakit swasta (privat), maka tata
kelola kedua rumah sakit tersebut harus tunduk pada tata kelola rumah sakit yang baik. Dalam
rangka melakukan pelayanan medis ini, rumah sakit harus memperhatikan prinsip-prinsip atau
asas-asas yang diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 pada Bab II Pasal 2 ditentukan: “Rumah
sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial”. (Sitohang, 2014)
Sehubungan dengan hubungan pelayanan medis ini, Komalasari sebagaimana dikutip oleh
Syahrul Machmud, menyebutkan beberapa prinsip yang harus dipedomani dan dijadikan dasar
oleh para dokter dalam melakukan perjanjian atau transaksi terapeutik dengan pasien. Prinsip-
prinsip atau Asas-asas hukum yang dimaksud, yaitu : Prinsip Legalitas, Prinsip Keseimbangan,
Prinsip Tepat Waktu, Prinsip Iktikad Baik, Prinsip Kehati- hatian dan Prinsip Keterbukaan.
Berbeda dengan prinsip yang dikemukakan oleh Syahrul Machmud di atas, menurut naskah
akademik Undang-Undang Rumah Sakit menentukan beberapa prinsip yang harus diperhatikan
oleh tenaga kesehatan ketika hendak melakukan tindakan-tindakan medis di rumah sakit, yaitu:
1) Prinsip Tepat Waktu; 2) Prinsip Legalitas; 3) Prinsip Proposionalitas; 4) Prinsip
Keseimbangan; 5) Prinsip Kejujuran; 6) Prinsip Kebebasan Memilh Tindakan; 7) Prinsip Fungsi
Sosial. (Sitohang, 2014)
subsistem serta mikrosistem. Pada era globalisasi, kualitas rumah sakit dikatakan bermutu
apabila mampu menyelenggarakan pelayanan berikut ; (Abdat, 2019)
1) Aman : mencegah kejadian yang tidak diharapkan sejak pasien datang hingga pulang.
2) Fokus pada pasien : menyelenggarakan pelayanan dengan penuh empati, tanggung jawab,
responsif dan proaktif, memenuhi etika klinik (indikasi medis, menghormati otonomi
pasien, memperhatikan kualitas hidup pasien, serta manfaat dari perawatan/tindakan yang
dilakukan)
3) Ketepatan waktu : mengurangi waktu tunggu, baik bagi yang akan menerima pelayanan
maupun yang akan memberikan layanan.
4) Efektif : menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan pengetahuan – ketrampilan yang
dimiliki (kompetensi – profesional)
5) Efisien : tidak memanfaatkan sumber daya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
6) Adil : tidak membedakan status ekonomi, sosial, gender, ras, agama, geografi, etnis.
Manajemen rumah sakit memerlukan tata kelola terhadap sistem manajemen dan
pelayanan. Saat ini telah dikembangkan sistem untuk me- ningkatkan mutu pelayanan klinis di
rumah sakit (RS) yang disebut dengan tata kelola klinis (clinical governance). Sistem ini pertama
kali dikembangkan di Inggris pada dekade 90-an. Tata kelola klinis timbul karena berbagai
kenyataan buruk dalam sistem pela- yanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Di
samping itu, tata kelola klinis muncul karena “putus-asanya” Pemerintah dan manajer sarana
pela- yanan kesehatan dalam mengimplementasi pendekatan total quality management (TQM)
atau continuous quality improvement (CQI) untuk pelayanan kesehatan dengan alasan tidak
dapat diterima secara luas karena para staf klinik menilai TQM dan CQI tersebut terlalu “berbau”
manajemen tanpa identifikasi peran yang jelas untuk para klinisi dalam meningkatkan mutu
tersebut. Donalson and Gray mendefinisikan Clinical Governance (tata kelola) sebagai kerangka
kerja dimana organisasi pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas peningkatan mutu
pelayanan secara berkesinambungan dan menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan
menciptakan lingkungan yang kondusif. Clinical Governance merupakan kerangka kerja rumah
sakit yang dapat diakuntabilitas terhadap kualitas pelayanan pasien, terdapat sistem yang
disetujui bersama disertai proses monitoring dan peningkatan pelayanan. Prinsip ini berlangsung
untuk melindungi investor dan meminimalkan resiko perusahaan dari penipuan/kecurangan,
malpraktek, dan korupsi. (Abdat, 2019) (Hartati, Djasri, & Utarini, 2014)
Tata kelola klinis adalah suatu sistem yang menjamin organisasi pemberi pelayanan
kesehatan bertanggung jawab untuk terus-menerus melakukan perbaikan mutu pelayanannya dan
menjamin memberikan pelayanan dengan standar yang tinggi dengan menciptakan lingkungan
Better Health. Ketujuh domain tersebut adalah keselamatan (safety), efektivitas klinik dan biaya
(clinical and cost effectiveness), managerial dan kepemimpinan (governance), berfokuskan
pasien (patient focus), pelayanan yang terjangkau dan responsive (accessible and responsive
care), lingkungan perawatan (care environment and amenities), dan kesehatan masyarakat
(public health). Setiap domain tersebut dilengkapi dengan strategi utama dan kebijakan untuk
mencapai tujuan domain dan aktivitas yang perlu dilaksanakan, cara pemantauan aktivitas
disertai komite yang memantau aktivitas tersebut dan pengambilan tindakan untuk pemenuhan
standar. (Abdat, 2019)
Gambar 2. Bagan Siklus Tata Kelola Klinik
Prinsip dasar dalam clinical governance adalah mengembangkan sistem untuk
meningkatkan mutu klinik (rumah sakit) sebagaimana tujuan dari clinical governance adalah
untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Peningkatan mutu dengan cara memadukan
pendekatan manajemen, organisasi, dan klinik secara Bersama. Clinical governance bertugas
memastikan bahwa tersedia sistem untuk memonitor kualitas praktik klinik yang berfungsi
dengan baik, selalu dievaluasi dan hasil evaluasinya digunakan untuk melakukan perbaikan.
Sumber daya utama dalam aplikasi clinical governance adalah para personel dalam sistem baik
para staf, tenaga medis dan non medis, termasuk pemilik. Diperlukan suatu strategi untuk
merubah kebiasaan & kultur guna meningkatkan kualitas dalam pelayanan. (Abdat, 2019)
Strategi-strategi Clinical governance diterapkan dalam the seven pillars, yaitu:
1. Patient and public involment
2. Clinical risk management
3. Clinical audit
4. Clinical effectiveness
5. Staffing and staff management
6. Education, training and continous professional development
7. Use of information to support clinical governance and healthcare delivery
Pengembangan organisasi (Organizational development) merupakan suatu kegiatan untuk
mengembangkan prinsip dan pelaksanaan perubahan manajemen serta peningkatan efektifitas
organisasi. Pengembangan organisasi ini meliputi perubahan budaya, pengembangan
kemampuan teknis, pengembangan struktur organisasi. Pada sektor pelayanan kesehatan,
organizational development merupakan langkah utama dalam pelaksanaan strategi clinical
governance, agar terciptanya akuntabilitas diperlukan teamwork, leadership, information
support, system approach dan investment in staff. (Abdat, 2019)
Risiko dalam pelayanan Rumah Sakit bukan hanya mengenai pasien sebagai konsumen
langsung, namun juga berdampak pada petugas kesehatan dan pengunjung lainnya. Setiap orang
yang menggunakan jasa kesehatan mengharapkan pelayan yang aman dan efektif. Kesalahan
yang terjadi dalam pelayanan tidak bisa dihilangkan dengan sempurna, namun meminimalkan
risiko bisa dilakukan. Disadari bahwa penanganan risiko dalam pelayanan kesehatan belum
maksimal. Padahal satu dari berbagai resiko yang signifikan adalah kerugian pasien dan
membiarkan hal itu terjadi tanpa melakukan perbaikan dalam sistem manajemen. Pada industri
pelayanan yang beresiko tinggi, mereka melakukan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya,
namun hal ini masih jarang dilakukan di bidang kesehatan. Kinerja pelayanan kesehatan dinilai
dari indikator produktifitas dan finansial. Hal ini menjelaskan mengapa keamanan tidak terdaftar
sebagai hal utama dalam rencana strategis. Fokus utama hanya terletak pada finansial, kebutuhan
etika untuk meningkatkan pelayanan sering diemban oleh klinisi sebagai individu. (Abdat, 2019)
Manajemen risiko merupakan rangkaian dalam struktur manajemen dari suatu pelayanan
kesehatan. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa risiko pelayanan kesehatan bukan
hanya merugikan konsumen namun juga akan berdampak dalam pelayanan kesehatan dan tingkat
kepercayaan konsumen. Melakukan prioritas terhadap resiko yang terjadi menjadi sangat
penting. Tahap ini erat kaitannya dengan tingginya angka kejadian dan dan akibat atas kerugian
yang terjadi. Penanganan yang baik akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan secara
langsung akan ada jaminan risiko terhadap tindakan medis. (Abdat, 2019)
Clinical Governance (CG) adalah suatu cara atau sistem penjaminan dan peningkatan
mutu pelayanan klinik yang efisien. Secara konsep komponen utama CG terdiri dari :
Akuntabilitas yang jelas bagi mutu pelayanan, adanya kegiatan peningkatan mutu yang
berkesinambungan, kebijakan manajemen resiko, identifikasi prosedur profesi beserta
perbaikannya. Bila implementasi CG dilakukan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh :
(Abdat, 2019)
1. Komplain Pasien makin kecil (Fewer patient complaints)
2. Berkurangnya variasi prosedur klinis yang tidak sesuai (Less unjustified variation in
clinical practice)
3. Berkurangnya penggunaan penunjang diagnostic yang inefektif (Less use of ineffective
investigations and treatments)
4. Pemberdayaan sarana yang ada menjadi lebih baik (Better use of resources)
5. Meningkatnya kepuasan pasien (Increased patient satisfaction)
6. Terdokumentasinya prosedur klinis dengan lebih baik (Documented changes in clinical
practices)
7. Perkembangan spesifik pada perawatan pasien (Specific improvements in patient care)
8. Lebih dekatnya teamwork antara manajer dan dokter (Closer working between clinicians
and managers)
9. Budaya perusahaan kearah lebih baik (Positive changes in organizational culture)
10. Perbaikan manajemen perubahan di manajemen klinis (Better at managing changes in
clinical practice)
11. Manajemen lebih mengetahui tentang kualitas dari pelayanan
Namun keuntungan itu tidak didapatkan secara serta merta karena keempat komponen
utama CG tersebut harus terorganisasi dengan baik dan berkesinambungan melalui sistem yang
jelas. Dengan demikian memang faktor sistem-lah yang selama ini banyak berpengaruh pada
kerugian, sedangkan kesalahan akibat faktor manusia hanya sekitar 10-20%. (Abdat, 2019)
Sebuah strategi pengelolaan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dan akuntabilitas
akan meningkatkan mutu, yang secara langsung meningkatkan kepercayaan pasien terhadap
pelayanan kesehatan. Clinical governance bertugas memastikan bahwa telah terdapat sistem
untuk memonitor kualitas pelayanan yang berfungsi dengan baik, selalu dievaluasi dan hasil
evaluasinya digunakan untuk melakukan perbaikan. Clinical governance akan memberikan
pengaruh positif tidak hanya bagi pasien tapi juga terhadap manajemen rumah sakit secara
keseluruhan sehingga mampu eksis dan berkompetisi dalam persaingan global. (Abdat, 2019)
Salah satu faktor kunci dalam pengembangan pelayanan rumah sakit adalah bagaimana
meningkatkan mutu pelayanan klinik. Rumah sakit adalah lembaga yang memberikan pelayanan
klinik sehingga mutu klinik merupakan indikator penting bagi baik buruknya rumah sakit. Baik
dan buruknya proses pelayanan klinik dipengaruhi oleh penampilan kerja dokter spesialis pada
rumah sakit. Sebagaimana sistem governance di manajemen rumah sakit, saat ini dikembangkan
sistem governance di klinik. Pengembangan ini dipelopori oleh Inggris pada dekade 90-an
dengan menggunakan istilah clinical governance. (Trisnantoro, 2005)
Prinsip dasar dalam pengembangan pengelolaan clinical governance adalah bagaimana
mengembangkan sistem untuk meningkatkan mutu klinik. Peningkatan mutu tersebut dilakukan
dengan cara memadukan pendekatan manajemen, organisasi, dan klinik secara bersama. Clinical
governance bertugas memastikan bahwa telah terdapat sistem untuk memonitor kualitas praktik
klinis yang berfungsi dengan baik; praktik klinis selalu dievaluasi dan hasil evaluasinya
digunakan untuk melakukan perbaikan; dan praktik klinis sudah sesuai dengan standar, seperti
yang dikeluarkan oleh badan regulasi profesi nasional. (Trisnantoro, 2005)
Secara rinci, sistem yang diterapkan dalam clinical governance meliputi berbagai
kegiatan seperti audit klinis, manajemen efektif bagi kolega klinis yang berkinerja buruk,
manajemen risiko, praktik klinis berbasis pada bukti (evidence based), pelaksanaan bukti
efektivitas klinik, pengembangan keterampilan kepemimpinan bagi klinisi, pendidikan
berkelanjutan bagi semua staf klinis, sampai audit feedback dari konsumen. (Trisnantoro, 2005)
Kerangka kerja clinical governance tersusun atas empat hal yaitu evidence based
medicine, informasi yang baik, penilaian kerja klinik, dan hubungan antara klinisi dengan
manajemen. Berbagai implikasi besar muncul dengan kerangka kerja ini. Pertama, rumah sakit
melakukan pelaksanaan praktik klinik berbasis pada bukti (evidence based practice).
Pelaksanaan evidence based merupakan hal yang berat. Kedua, dilakukan perbaikan infrastruktur
informasi klinis. Ketiga, dilakukan pengembangan mekanisme untuk menilai kinerja klinik yang
terpadu dengan kinerja manajemen. Keempat, perlu dilakukan pengembangan pengetahuan dan
keterampilan kepemimpinan di antara staf klinis. Dalam hal ini harus terdapat klinisi yang
menjadi pemimpin (leader) dari para klinisi. (Trisnantoro, 2005)
Clinical governance harus dibangun di atas sistem yang baik dan efektif serta harus
diintegrasikan sepenuhnya ke dalam sistem governance rumah sakit. Akan tetapi, disadari bahwa
untuk membangun kepercayaan dan menciptakan kelompok klinisi yang mempunyai motivasi
tinggi dalam kualitas perawatan klinisnya diperlukan perubahan sikap dan kultur yang mendasar
terutama pada lingkungan klinisi. Di Indonesia perubahan kultural ini sangat diperlukan di
kalangan klinisi. (Trisnantoro, 2005)
Kelompok di rumah sakit yang paling relevan untuk mengelola clinical governance
adalah Komite Medik. Menurut Karnadihardja, Komite Medik adalah suatu organisasi
nonstruktural di rumah sakit yang bertujuan menjamin terselenggaranya pelayanan medik yang
baik, profesional, yang selalu mengacu kepada kepentingan pasien, serta memperhatikan Kode
Etik Kedokteran dan Kode Etik Rumah Sakit serta norma-norma yang berlaku pada masyarakat
Indonesia. Komite Medik sebagai organisasi intern nonstruktural tidak mempunyai garis
komando dengan Direksi RS dan Dewan Pembina tetapi berupa garis koordinasi. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan yang bersifat mengikat dikeluarkan oleh Direksi sebagai hasil keputusan
rapat bersama antara Direksi, Komite Medik, dan perwakilan Dewan Pembina. (Trisnantoro,
2005)
Dalam hal ini belum dilakukan penelitian mendalam mengenai efektivitas komite medik.
Akan tetapi, berdasarkan pengamatan pada berbagai rumah sakit Komite Medik mengalami
kesulitan dalam menjalankan perannya. Jika dilihat pada peraturan Komite Medik dapat dilihat
bahwa Komite Medik tersusun atas beberapa bagian seperti, Badan Pengurus Harian (BPH),
panitia-panitia, dan Anggota. Panitia-panitia di dalam komite medik antara lain Panitia Rekam
medik, Panitia Utilisasi, Panitia Audit Medik, merangkap Peer Review, Panitia Kredensial,
Panitia Terapi dan Farmasi, Panitia Infeksi Nosokomial, Panitia Jaringan, Panitia Etik Rumah
Sakit, dan lain sebagainya. (Trisnantoro, 2005)
Badan Pengurus Harian Komite Medik (Executive Committee of The Medical Staff)
terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota. Menurut Karnadihardja, BPH Komite
Medik mewakili staf medik dalam hubungan yang dinamis sehari-hari dengan Direksi dan
Dewan Pembina. Salah satu organ utama untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan secara
formal dilakukan melalui rapat bersama yang diselenggarakan secara rutin antara Komite Medik,
Direksi, dan Badan Pembina (Joint Conference Committee). (Trisnantoro, 2005)
Berdasarkan struktur dan peranannya, Komite Medik merupakan unit penting dalam
rumah sakit. Di Amerika Serikat kedudukan Chief of Medical Staff sangat kuat, sejajar dengan
Chief Executive Officer (CEO) rumah sakit dan bertanggung jawab pada Governing Board.
Komite Medik di Indonesia cenderung diberlakukan bukan seperti instalasi yang berhak
merencanakan anggaran. Di beberapa rumah sakit Komite Medik bahkan tidak mendapatkan
anggaran. Kesulitan yang ditemui dapat dianalisis dari jumlah dan komposisi tempat bekerja para
spesialis. Sebagian besar spesialis adalah pegawai negeri yang bekerja di rumah sakit swasta.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah mungkin dengan pola bekerja spesialis yang bekerja
sambilan menjalankan fungsi clinical governance di Komite Medik pada rumah sakit
pemerintah? Seperti diketahui para spesialis mempunyai pekerjaan lain di rumah sakit swasta
karena pendapatan gaji dari pemerintah relative rendah. Pada prinsipnya isu mengenai
manajemen spesialis akan menjadi semakin penting di masa mendatang. (Trisnantoro, 2005)
Gambar 3 menunjukkan ada fungsi regulasi internal dalam hal mutu medik yang
dilakukan oleh sistem clinical governance (Lugon dkk., 2001). Dalam sistem clinical governance
ada infrastruktur yang bertugas menangani clinical risk management, health and safety, Claims
dan complaints, serta clinical audit. Disamping itu, ada infrastruktur untuk menangani
pengelolaan sistem informasi klinik. Sistem informasi klinik ini sangat strategis untuk
memberikan data mengenai kinerja pelayanan klinik, termasuk para dokternya. Dalam Gambar 3
terlihat bahwa Clinical Governance merupakan bagian dari Corporate Governance. Hal ini
penting dalam kaitannya dengan wewenang untuk menerima, reappoint (memperpanjang) atau
mengakhiri hubungan kerja dengan dokter. (Trisnantoro, 2005)
Situasi di Indonesia saat ini secara de facto lebih menyerupai model Amerika Serikat
dibandingkan dengan Inggris. Sebagian besar spesialis di rumah sakit swasta bukan berstatus
sebagai pegawai tetap. Saat ini ada wacana menarik di rumah sakit pemerintah. Konsep dokter
mitra mulai dipertimbangkan untuk diterapkan. Dengan adanya desentralisasi dan kebijakan
otonomi rumah sakit pemerintah, kemungkinan dilakukan pengaturan jam bekerja sehingga
konsep full-timer dan part-timer dapat diberlakukan di rumah sakit pemerintah. Sebagai
konsekuensi situasi ini, maka harus ada proses kredensial yang baik, proses pemantauan kinerja
dokter yang berada dalam kontrak, dan bagaimana proses reappointment dapat dilakukan.
(Trisnantoro, 2005)
Masalah kredensial, reappointment, dan terminasi merupakan hal sensitif dan di
Indonesia saat ini masih merupakan hal baru. Model ini dinilai oleh sebagian dokter sebagai
bagian dari sistem yang “memperdagangkan” dokter sebagai suatu professional yang mulia. Ada
bagian dari kultur profesi dokter yang cenderung enggan menerima suatu sistem hubungan kerja
yang jelas antara rumah sakit dengan dokter, khususnya di rumah sakit pemerintah. Beberapa
rumah sakit enggan menggunakan kata-kata kontrak kerja, tetapi lebih menggunakan kata-kata
melakukan kerja sama. Akan tetapi, dalam kehidupan modern model kontrak, reappointment,
dan terminasi merupakan konsekuensi dari situasi yang berciri globalisasi. Cepat atau lambat,
model hubungan kontraktual antara dokter dengan rumah sakit menjadi semakin dipergunakan.
(Trisnantoro, 2005)
Sebagai catatan khusus, di berbagai negara maju sistem kesehatan saat ini sering di tolok
ukurkan dengan sistem di sektor yang mempunyai sistem pengendalian termasuk terhadap mutu
sumber daya manusia yang baik. Sektor yang banyak diacu adalah penerbangan. Dalam dunia
penerbangan, masalah safety dan mutu pelayanan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-
hari dan akhirnya menjadi budaya yang menonjol. Bagi sumber daya manusia yang cenderung
tidak memperhatikan masalah safety dan mutu, aturan di penerbangan akan mampu
mengeluarkannya dari sistem. (Trisnantoro, 2005)
Oleh karena itu, sistem manajemen rumah sakit perlu mengantisipasi perkembangan
hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit dengan cara menguatkan tata aturan di rumah
sakit. Diharapkan rumah sakit menerapkan prinsip- prinsip good corporate governance dalam
mengelola spesialis. Secara khusus rumah sakit diharapkan untuk menerapkan prinsip-prinsip
clinical governance. Dalam hal ini ada berbagai kegiatan yang terkait dengan clinical governance
sebagai berikut: (Trisnantoro, 2005)
● Proses credentialing untuk menerima seseorang menjadi staf dokter di sebuah rumah
sakit.
● Fungsi regulasi internal untuk mutu pelayanan dokter spesialis yakni diperlukan
pemantauan, pelaporan, dan sebagainya.
● Wewenang untuk menggunakan informasi appraisal kinerja dokter untuk keputusan
perpanjangan (reappointment) atau pemutusan kerja sama. Proses reappointment ini dapat
dilakukan secara serius atau hanya formalitas saja.
Apabila reappointment dilakukan secara serius, ada dua alasan pertimbangan untuk
mengangkat kembali dokter di rumah sakit. Pertama adalah proses reappointment berdasarkan
indikator klinik, dan kedua adalah berdasarkan perilaku dokternya sendiri. Waktu untuk
reappointment ini menurut Joint Commission adalah tidak lebih dari interval 2 tahun. Dalam
kegiatan reappointment ada berbagai hal penting yang perlu diperhatikan, termasuk penulisan
dalam bentuk by laws. Dalam hubungan antara dokter dengan rumah sakit by laws untuk para
staf dokter yang bersifat self governing (clinical governance) harus tetap disahkan oleh
governing board rumah sakit. Keputusan untuk pemutusan hubungan kerja berdasarkan prosedur
reappointment perlu ditetapkan. Di Amerika Serikat keputusan tidak berada di Staf Medik atau
Direksi tapi ada di Board of Trustees (non-profit) atau Board of Directors (For-profit).
(Trisnantoro, 2005)
Gambar 4 Proses Reappointment Dokter
Kinerja dokter dimonitor dalam sistem ini sebagai dasar untuk proses reappointment.
Sebagaimana disebutkan di atas, kinerja dokter dapat diukur dari aspek klinik dan perilaku
sebagai staf. Dalam proses reappointment fungsi Board dalam corporate governance merupakan
hal penting. Makna Corporate Governance adalah suatu struktur yang bertujuan agar lembaga
usaha berperilaku secara efisien. Dalam pengertian efisiensi ini adalah bagaimana cara untuk
meningkatkan hasil semaksimal mungkin. Secara umum sistem corporate governance bertujuan
untuk memberikan pedoman strategis dan mengoperasi onalkan sebuah dewan yang melakukan
monitoring terhadap pekerjaan manajer. (Trisnantoro, 2005)
Di rumah sakit, American Hospital Association menyatakan bahwa Board of Trustees
mempunyai wewenang untuk mengatur profesi medik. Fungsi Board yang terkait dengan profesi
medik: (Trisnantoro, 2005)
1. Appoints, reappoints, and approves privileges for all medical staff members.
2. Ensures that the Hospital medical staff is organized to support the objectives of the
Hospital.
3. Reviews and takes final action of appeals involving termination of medical staff
appointments.
4. Approves medical staff bylaws and proposed revisions.
5. Approves appointment of chairmen of medical staff department and medical staff
officers.
Dengan tata aturan yang jelas ini, maka manajemen spesialis akan lebih mudah dilakukan
sehingga konsentrasi dapat diberikan pada pengembangan pelayanan medik dan pelayanan
lainnya. Patut dicatat apabila tata aturan ini tidak diterapkan ada kemungkinan para pengelola
rumah sakit dan dokter spesialis akan lelah mengurusi hal-hal yang tidak perlu. Tata aturan
diharapkan dapat menghindari ketidak obyektifan penilaian, termasuk hal-hal yang terkait
dengan masalah keuangan. (Trisnantoro, 2005)
Model Good Corporate Governance di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat. Hal
ini terpengaruh oleh sistem hukum yang dipakai di Indonesia yang berasal dari model hukum
continental (Eropa daratan). Dalam Kode Good Corporate Governance, perusahaan di Indonesia
menggunakan model Dewan Komisaris yang tidak seaktif model Board of Directors di Amerika
Serikat. Secara lebih khusus, rumah sakit di Indonesia masih dalam tahap mencari bentuk untuk
good corporate governance. Saat ini sedang direncanakan penelitian mengenai bentuk corporate
governance di rumah sakit Indonesia. (Trisnantoro, 2005)
Demikian pula yang terjadi dalam aplikasi clinical governance di rumah sakit Indonesia.
Di manakah fungsi clinical governance seperti yang ada di Gambar 4.1 dilakukan di rumah
sakit? Apakah kegiatan clinical governance dilakukan oleh Komite Medik? Ataukah Direktur
Medik? Ataukah Satuan Pengawas Intern? Dalam pengamatan sementara, kenyataan yang terjadi
saat ini adalah tidak operasionalnya Komite Medik di berbagai rumah sakit. Komite Medik
cenderung bekerja dengan sifat sebagai pemadam kebakaran. Jika ada masalah baru akan
menangani. Di samping itu, Komite Medik cenderung tidak operasional, tidak mempunyai sistem
dan sumber daya cukup untuk mengelola risiko klinik, keamanan dan kesehatan staf medik,
penanganan keluhan, audit klinik, dan tidak mempunyai infrastruktur informasi klinik. Dengan
demikian, ada kendala berat dalam melakukan kegiatan operasional. Di sisi lain fungsi Direktur
Pelayanan Medik dirasa terlalu berat karena bercampur baur antara fungsi direktur operasional
untuk instalasi-instalasi medik dan mengelola para dokter. Dua fungsi ini sebenarnya sulit
dirangkap dalam satu jabatan. (Trisnantoro, 2005)
Keadaan manajemen spesialis di rumah sakit Indonesia saat ini masih dalam tahap awal
pengembangan. Isu mengenai clinical governance baru saja dimulai di Indonesia tahun 2001
ketika rombongan eksekutif Departemen Kesehatan dan berbagai direktur rumah sakit difasilitasi
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM untuk mengunjungi Inggris. Persatuan Dokter
Manajemen Medik Indonesia (PDMMI) baru berumur muda untuk melakukan pengembangan.
(Trisnantoro, 2005)
Ada dua faktor yang mempengaruhi skenario di masa mendatang yaitu faktor yang pasti
dan faktor yang tidak pasti. Beberapa faktor yang pasti antara lain: Demand terhadap pelayanan
rumah sakit semakin meningkat; Masyarakat semakin menuntut adanya transparasi dan efisiensi
pelayanan rumah sakit. RS Singapura, Australia, AS, Eropa (pemain lama) dan di Malaysia,
Thailand (pemain baru) sudah terbukti mampu memenuhi harapan ini; Peraturan hukum semakin
mendorong dipergunakannya good corporate governance. Faktor yang tidak pasti adalah
kemauan pemerintah, swasta, masyarakat dan para profesional untuk menggunakan konsep
governance di sektor kesehatan. (Trisnantoro, 2005)
Berdasarkan faktor-faktor tersebut ada tiga Skenario Utama penggunaan konsep
governance di rumah sakit. Skenario pertama adalah Status Quo dimana tidak terjadi perubahan
sama sekali. Skenario kedua adalah keadaan yang pesimistik dimana rumah sakit di Indonesia
menjadi semakin mendekati organisasi para seniman dimana governance merupakan hal yang
sulit diterapkan. Skenario ketiga adalah keadaan dimana rumah sakit di Indonesia menjadi
semakin mendekati rumah sakit-rumah sakit di negara maju dimana governance merupakan
dasar dari kebijakan kesehatan, sistem manajemen dan kegiatan operasional. (Trisnantoro, 2005)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rumah sakit diharuskan untuk meningkatkan kinerja dan daya saing dengan tidak
mengurangi misi sosial mereka. Ada enam tujuan yang harus dicapai dalam meningkatkan sistem
layanan kesehatan saat ini, yaitu keselamatan, efektivitas, berpusat pada pasien, ketepatan waktu,
efisiensi, dan kesetaraan. Manajemen organisasi yang efektif dan efisien menunjukkan tata
kelola yang baik dalam organisasi. Good Corporate Governance memainkan peran penting,
sebagai sarana untuk mengukur kinerja organisasi yang baik.
Praktik tata kelola rumah sakit yang baik adalah pengoperasian rumah sakit sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar rumah sakit. Konsep ini mirip dengan konsep sistem tata kelola
perusahaan secara umum, tetapi diadaptasi dengan penerapannya untuk bisnis layanan kesehatan.
Permintaan intens yang dibuat oleh masyarakat kepada pemerintah untuk menerapkan Good
Corporate Governance sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan pendidikan publik.
Selama beberapa dekade terakhir, tata kelola organisasi publik telah menjadi perhatian pada
sistem pemerintahan di dunia. Konsep tata kelola yang baik juga disentuh dalam hukum rumah
sakit di Indonesia, tetapi dalam praktiknya sampai sekarang belum ada peraturan derivatif untuk
menerapkan tata kelola rumah sakit yang baik, sehingga interpretasi konsep ini menjadi beragam
di setiap industri rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA