Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

TATA KELOLA ETIS DAN AKUNTABILITAS

Good Governance
Sebagaimana kita tahu bahwa banyak sekali perusahaan-perusahaan yang
sudah berkembang pesat tetapi tidak dapat mempertahankan
keberadaan/operasinya. Hal tersebut diakibatkan oleh banyak faktor, antara lain
faktor ekonomi dan industri, serta yang lebih penting lagi oleh system tata kelola
perusahanan itu sendiri. Terminologi good governance dalarn bahasa dan
pemahaman masyarakat termasuk di sebagian elite politik, sering rancu.
Setidaknya ada tiga terminologi yang sering rancu yaitu good governance (tata
pemerintahan yang baik), good goverment (pemerintahan yang baik), dan clean
governance (pemerintahan yang bersih). Pengertian good governance menurut
Bank Dunia adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid
dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien. Karakteristik pelaksanaan good governance antara lain:
1. Partisipasi, yaitu keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang
dapat menyalurkan aspirasinya. Rule of law yaitu kerangka hukum yang adil dan
dilaksanakan tanpa pandang bulu.
2. Transparansi, umumnya dibangun atas dasar kebebasan memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung
dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
3. Responsif, yaitu lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam
melayani stakeholder.
4. Consensus orientation, yaitu berorientasi pada kepentingan masyarakat
yang lebih luas.
5. Equity, yaitu setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
6. Efficiency dan effectiveness, yaitu pengelolaan sumber daya publik
dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) .
7. Accountability, adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap
aktivitas yang dilakukan.
8. Strategic vision, yaitu penyelenggaraan pemerintah dan masyarakat harus
memiliki visi jauh kedepan.

1
Good Corporate Governance
Latar belakang munculnya good corporate governance atau dikenal
dengan nama tata kelola perusahaan yang baik (selanjutnya disebut “GCG”)
muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG
namun dilatarbelakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa
perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan
(korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relatif tidak jelas menjadi
institusi ekonomi dunia yang amat dominan.
Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam
pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh
tersebut. Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh
perusahan-perusahaan besar yang mana mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi
dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal
tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan
besar dan ternama dunia, disamping juga menyebabkan krisis global di beberapa
belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah
Amerika mengeluarkan Sarbanes Oxley Act tahun 2002 yang berisikan penataan
kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan
terhadap investor.
Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran
dan penciptaan GCG di berbagai negara. Konsep GCG belakangan ini makin
mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas
mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi
yang mencakup (a) hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan
perlindungannya, (b) peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders) lainnya, (c) pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat
waktu, (d) transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan, (e)
tanggung jawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri,
kepada para pemegang saham dan pihak lain yang berkrpentingan

2
Good Corporate Governance (GCG)
Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali dikenalkan
oleh Cadbury Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan istilah
dimaksud dalam laporannya yang dikenal dengan Cadbury Report. Berikut
disajikan beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber,
diantaranya:
1. Menurut Cadbury Committee of United Kingdom
“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers,
creditors, the goverment, employees, and other internal and external stakeholders
in respect to their right and responsibilities, or the system by which companies
are directed and controlled”.
2. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury
Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan,
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
3. Menurut Sukrisno Agoes
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan
peran dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku
kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu
proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan
penilaian kinerjanya.
4. Menurut Organization for Econimocs Cooperation and Development
(OECD)
“The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board
objectives of the company, the means of attaining thoseobjectives and monitoring
performance”. (Suatu struktur yang terdiriatas para pemegang saham, direktur,
manager, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang
akan digunakandalam mencapai tujuan dan memantau kinerja).
5. Menurut Wahyudi Prakarsa
Mekanisme adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen
perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok
kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan

3
dalam bentuk berbagai aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka
kerja (framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara-
cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas kinerja yang
dihasilkan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pada intinya konsep GCG
mengandung pengertian yang berintikan 4 poin, yaitu:
1. Wadah Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)
2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-
prinsip, serta nilai-nilai yang meladasi praktik bisnis yang sehat
3. Tujuan:
Meningkatkan kinerja organisasi.
Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan.
Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan
dalam pengelolaan organisasi.
Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.
4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran,
wewenang, dan tanggung jawab:
Dalam arti sempit: antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris
dan direksi.
Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan.

Prinsip-prinsip dasar yang melandasi konsep Good Corporate Governance


merupakan gabungan prinsip-prinsip dasar dalam membangun suatu tatanan etika
kerja dan kerjasama agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan
harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang
penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha. Prinsip-prinsip dasar tersebut
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Vision
Pengembangan suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada
adanya visi dan strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari
seluruh anggota dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan
pengembangan supaya semua pihak akan merasa memiliki dan tanggung jawab
dalam kemajuan organisasi atau usahanya.
b. Participation

4
Dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan
suatu organisasi atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak
terkait dan relevan melalui sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak
berasosiasi dan penyampaian pendapat.
c. Equality
Suatu badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan memberi dan
menyediakan peluang yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi
peningkatan kesejahteraan melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
d. Professional
Dalam bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged ina
learned vocation” (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan).
Dalam konteks ini professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas
kompetensi dan juga moral sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah,
cepat dan akurat.
e. Supervision
Meningkatkan usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usahaatau
organisasi sehingga tujuan bersama dapat dicapai secara optimal,efektif dan
efisien, serta untuk meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang
mungkin timbul.
f. Effective & Efficient
Effective berarti “do the things right”, lebih berorientasi pada hasil,
sedangkan efficient berarti “do the right things”, lebih berorientasi pada proses.
Apapun yang direncanakan dan dijalankan oleh suatu organisasi atau badan usaha
harus bersifat efektif dan efisien.
g. Transparent
Dalam konteks good governance, transparency lebih diartikan
membangun kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah atau
pengelola dengan masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi
yang mudah diakses, lengkap dan up to date.
h. Accountability/Accountable
Dalam konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam
meningkatkan tanggung jawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan
dalam menjawab kepentingan publik atau anggota.
i. Fairness

5
Dalam konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai
aturan hukum harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk
siapapun dan oleh pihak manapun.
j. Honest
Policy, strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau
badan usaha harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidakjujuran pada
akhirnya akan selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang
telah dan sedang dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan
long term partnership.
k. Responsibility dan Social Responsibility
Institusi dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus
dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu
organisasi, badan usaha dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai
tanggung jawab masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus
memberi pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di dalam suatu tatanan
atau komunitas dapat terjadi saling mempercayai, membantu, membangun dan
mengingat kanagar terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis.

Sedangkan lebih sempit lagi, menurut OECD, prinsip dasar GCG yang
dikembangkan adalah (a) perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan
(fairness), (b) transparansi, (c) akuntabilitas, dan (d) responsibilitas.

Ekspektasi Baru – Kerangka Baru


 Stakeholder mengetahui bahwa mereka bisa memiliki pengaruh yang
signifikan pada pasar konsumsi perusahaan, pasar modal, dan pada
dukungan yang ditawarkan perusahaan oleh kelompok stakeholder lain
seperti pekerja dan kreditur.
 Reputasi korporasi bisa secara signifikan dipengaruhi oleh emosi
stakeholder.
 Komisaris dan eksekutif melihat boikot, menurunkan pendapatan dan laba,
juga menemukan bahwa dukungan stakeholder penting untuk pencapaian
optimal atas tujuan jangka menengah dan panjang perusahaan.
 Beberapa komisaris dan eksekutif menginginkan dukungan dan dengan
bantuan dari akademisi dan lainnya, pedoman baru dan rerangka

6
akuntabilitas dibangun, menyempurnakan dengan peralatan dan teknik
baru.

Akuntabilitas untuk Shareholder atau Stakeholder?


 Kapasitas pertumbuhan dari stakeholder nonpemegang saham untuk
mempengaruhi pencapaian tujuan korporasi dan peningkatan sensitivitas
mereka membuatnya atraktif untuk korporasi untuk mendorong dukungan
stakeholder.
 Skandal Enron, Arthur Andersen, dan Worlcom memperlihatkan bahwa
aktivitas korporasi membuat pola untuk menghadiahi eksekutif, komisaris
dan beberapa pemegang saham saat ini tidak secara penting pada
kepentingan akan masa depan atau pemegang saham saat ini yang
diharapkan untuk kesuksesan jangka panjang seperti investor penerima
pensiun, pekerja dan pemberi pinjaman.
 Eksekutif, komisaris, dan investor yang terfokus pada jangka pendek
membahayakan kredibilitas seluruh tata kelola korporasi dan proses
akuntabilitas.
 Berdasarkan pada kenyataan adanya tekanan stakeholder dan keinginan
untuk mendorong dukungan stakeholder, perusahaan menyadari bahwa
mereka bertanggungjawab pada stakeholder dan menatakelola diri mereka
untuk meminimalisasi risiko dan memaksimalisasi kesempatan tak
terpisahkan dengan rerangka akuntabilitas stakeholder.

Pengembangan Program Etika


Code of Conduct Perusahaan
Kebutuhan tata kelola etis tidak hanya baik bagi bisnis perusahaan.
Perubahan-perubahan terkini pada regulasi pemerintahan merubah ekspektasi
secara signifikan. Dalam era meningkatkan pengawasan, dimana perilaku tidak
etis dapat mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan,
sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan serta
akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan shareholders, direktur, dan eksekutif.
Direktur harus cermat dalam mengatur risiko bisnis dan etika
perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan
dengan efektif dalam perusahaan. Hal ini membutuhkan pengembangan code of
conduct, dan cara yang paling fundamental dalam menciptakan pemahaman

7
mengenai perilaku yang tepat, memperkuat perilaku tersebut, dan meyakinkan
bahwa nilai yang mendasarinya dilekatkan pada strategi dan operasi perusahaan.
Konflik kepentingan dalam perusahaan, kekerasan seksual, dan topik–topik serupa
perlu diatasi segera dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar
budaya perusahaan sejalan dengan ekspektasi saat ini.

Pendedikasian Kembali Peran Akuntan Profesional


Peristiwa Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mengubah fokus
akuntan profesional terhadap perannya sebagai orang yang dipercaya oleh publik.
Reputasi dan eksistensi profesi akuntan di masa depan telah menurun di mata
publik, sehingga perbaikan serta kesuksesannya kembali tergantung pada
perubahan yang akan dilakukan. Profesi akuntan harus mengembangkan
pertimbangan, nilai, dan sifat karakter yang mencakup kepentingan publik,
dimana pertimbangan tersebut inheren dengan munculnya akuntabilitas
berorientasi stakeholder dan kerangka tata kelola (governance framework).
Standar code of conduct yang baru muncul untuk menuntun profesi
akuntan serta memastikan bahwa self-interest, bias, dan kesalahpahaman tidak
menutupi independensinya. Globalisasi mulai mempengaruhi perkembangan
aturan dan harmonisasi standar akuntan profesional, dan hal ini akan terus
berkelanjutan. Sama seperti mekanisme tata kelola untuk korporasi yang
menghasilkan batasan dan yurisdiksi domestik, stakeholder di seluruh dunia akan
lebih mengutamakan dalam menentukan standar kinerja bagi profesi akuntan.
Pekerjaan mereka akan melayani pasar modal dan korporasi global, dan
kesuksesannya membutuhkan respek dari karyawan dan partner yang lebih banyak
dibandingkan dahulu. Dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, akan
menarik apabila akuntan profesional dapat menggunakan kesempatan yang
menunjukkan perannya yang lebih luas. Mereka secara khusus harus
menempatkan diri untuk membantu perkembangan mekanisme ke depan yang
menyediakan dan memastikan panduan etika yang lebih baik bagi organisasi.

Ekspektasi Publik pada Semua Profesional


Seorang profesional bekerja dengan sesuatu yang bernilai, akibat
kepercayaan dan kompetensinya mereka bekerja serta bertanggungjawab. Jika
sebuah profesi kehilangan kredibilitas di mata publik, maka konsekuensinya
cukup parah. Dalam analisis terakhir menyebutkan bahwa sebuah profesi

8
merupakan kombinasi dari keistimewaan, tugas, dan hak yang semuanya
terbingkai dalam sekumpulan nilai profesional yang umum, nilai yang
menentukan bagaimana keputusan dibuat dan tindakan diambil.

Ekspektasi Publik pada Akuntan Profesional


Akuntan profesional diharapkan mempunyai keahlian khusus berhubungan
dengan akuntansi dan pemahaman yang lebih baik dari orang awam mengenai hal-
hal terkait seperti kontrol manajemen, perpajakan, atau sistem informasi. Sebagai
tambahan, mereka juga diharapkan untuk menganut nilai dan tugas profesional
umum serta menganut standar spesifik yang dikeluarkan oleh badan profesional
dimana mereka bernaung.

Yang Dominan antara Nilai Etis dan Teknik Audit atau Akuntansi
Nilai etis harus dipertimbangkan agar sejajar dengan kemampuan teknik.
Namun demikian, yang dominan mungkin ditujukan pada nilai etis, ketika seorang
profesional menemukan masalah yang melebihi kemampuan yang dimilikinya
saat itu, nilai etislah yang akan mendorongnya untuk mengenali dan
mengungkapkan fakta tersebut. Tanpa nilai etis, kepercayaan yang diperlukan
dalam hubungan fidusial tidak dapat dipertahankan, dan hak-hak yang dimiliki
oleh profesi akuntansi akan dibatasi, sehingga mengurangi efektivitas yang dapat
diberikan oleh profesi independen pada masyarakat.

Prioritas Kewajiban, Loyalitas, dan Kepercayaan pada Fidusial


Salah satu peran utama dari akuntan profesional adalah menawarkan jasa
fidusial untuk masyarakat, maka kinerja dari jasa-jasa tersebut seringkali
melibatkan pilihan yang dapat memihak kepentingan salah satu pihak dari orang
yang membayar fee, pemilik perusahaan/pemegang saham saat ini, pemegang
saham potensial di masa depan, dan stakeholder lainnya termasuk pekerja,
pemerintah dan kreditur. Oleh karena itu, sebagai auditor, loyalitas pada publik
tidak boleh lebih kecil dari loyalitas pada pemegang saham/pemilik perusahaan
saat ini, dan tidak boleh mengutamakan manajemen perusahaan.

Aturan Independensi SEC Baru


Komite khusus tidak mengantisipasi ketidakmampuan anggotanya dalam
mengelola konflik bawaan dari situasi berkepentingan yang muncul saat audit dan

9
jasa lainnya ditawarkan pada klien yang sama. Pembatasan diperkenalkan oleh
SOX dan dibentuk oleh SEC yang membatasi auditor dari perusahaan yang
terdaftar di SEC untuk mengaudit pekerjaanya sendiri, atau bertindak sebagai
pembela untuk klien.

Nilai Tambah Kritis oleh Akuntan Profesional


Kredibilitas adalah nilai tambah dari akuntan profesional dalam jasa
assurance yang lebih baru. Kredibilitas untuk klien/pekerja dan pada masyarakat
luas, bergantung pada reputasi dari seluruh profesi. Reputasi berasal dari nilai
profesional yang dianut dan ekspektasi yang dibentuk dari pihak-pihak yang
dilayani. Secara khusus, nilai tambah kritis oleh akuntan profesional berada pada
ekspektasi bahwa apapun jasa yang ditawarkan akan didasarkan pada integritas
dan objektivitas, dan nilai-nilai ini sebagai tambahan untuk menjamin standar
minimum kompetensi, kredibilitas atau keyakinan pada laporan atau aktivitas.

Standar yang Diharapkan untuk Perilaku


Publik, khususnya klien mengharapkan bahwa akuntan profesional akan
melakukan jasa fidusial dengan kompetensi, integritas, dan objektivitas. Integritas,
kejujuran dan objektivitas sangat penting dalam pelaksanaan yang tepat dari tugas
fidusial.

10

Anda mungkin juga menyukai