Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG GOOD CORPORATE GOVERNANCE

1.1 Pengertian Good Corporate Governance

Sejarah lahirnya GCG muncul atas reaksi para pemegang saham di Amerika

Serikat pada tahun 1980-an yang terancam kepentingannya (Budiati, 2012). Dimana

pada saat itu di Amerika terjadi gejolak ekonomi yang luar biasa yang

mengakibatkan banyak perusahaan yang melakukan restrukturisasi dengan

menjalankan segala cara untuk merebut kendali atas perusahaan lain. Tindakan ini

menimbulkan protes keras dari masyarakat atau publik. Publik menilai bahwa

manajemen dalam mengelola perusahaan mengabaikan kepentingan-kepentingan

para pemegang saham sebagai pemilik modal perusahaan. Merger dan akuisi pada

saat itu banyak merugikan para pemegang saham akibat kesalahan manajemen dalam

pengambilan keputusan. Untuk menjamin dan mengamankan hak-hak para

pemegang saham, muncul konsep pemberdayaan Komisaris sebagai salah satu

wacana penegakan GCG. Komisaris Independen adalah Anggota Dewan Komisaris

yang tidak memiliki hubungan dengan Direksi, Anggota Dewan Komisaris lainnya

dan Pemegang Saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan

lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau

bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan.


Perkembangan konsep good corporate governace sesungguhnya telah dimulai

jauh sebelum isu Corporate Governance menjadi kosakata paling hangat di kalangan

eksekutif bisnis. Banyak terdapat definisi yang digunakan untuk memberikan

gambaran tentang Corporate Governance, yang diberikan baik oleh perorangan

(individual) maupun institusi (institusional). Governance yang terjemahannya adalah

pengaturan yang dalam konteks Good Corporate Governance (GCG) ada yang

menyebut tata pamong. Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu

proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang Saham,

Pemilik Modal, Komisaris/Dewan Pengawas dan Direksi) untuk meningkatkan

keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang

saham dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholder

lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. Corporate

Governance merupakan isu yang tidak pernah usang untuk terus dikaji pelaku bisnis,

akademisi, pembuat kebijakan, dan lain sebagainya. Pemahaman tentang praktik

Corporate Governance terus berevolusi dari waktu ke waktu. Kajian atas Corporate

Governance mulai disinggung pertama kalinya oleh Berle dan Means pada tahun

1932 ketika membuat sebuah buku yang menganalisis terpisahnya kepemilikan

saham (ownership) dan control. Pemisahan tersebut berimplikasi pada timbulnya

konflik kepentingan antara pemegang saham dengan pihak manajemen dalam

struktur kepemilikan perusahaan yang tersebar (dispered ownership).


Pada akhir tahun 1980-an mulai banyak kesimpulan yang menyebutkan

struktur kepemilikan dalam bentuk dispered ownership akan memberikan dampak

bagi buruknya kinerja manajemen. Untuk pertama kalinya usaha untuk

melembagakan Corporate Governance dilakukan oleh Bank of England dan London

Stock Exchange pada tahun 1992 dengan membentuk Cadburry Committee (Komite

Cadbury), yang bertugas menyusun Corporate Governance code yang menjadi

acuan utama (benchmark) di banyak negara.

Komite Cadbury mendefinisikan Corporate Governance sebagai:

Corporate Governance adalah sistem yang mengarahkan dan


mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan
antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk
menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada
stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik,
direktur, manajer, pemegang saham dan sebagainya.

Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International

Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep GCG (GCG)

sebagai tata carakelola perusahaan yang sehat. Konsep ini diharapkan melindungi

pemegang saham (stockholders) dan kreditor agar dapat memperoleh kembali

investasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB)

menyimpulkan penyebab krisis ekonomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia

adalah mekanisme pengawasan dewan komissaris (board of director) dan komite

audit (audit committee) suatu perusahan tidak berfungsi dengan efektif dalam

melindungi kepentingan pemegang saham dan pengelolaan perusahan yang belum


profesional. Dengan demikian, penerapan konsep GCG di Indonesia diharapkan dapat

meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa

mengabaikan kepentingan stakeholders.

Kemudian Organization for Economic Coorperation and Development

(OECD) mendefinisikan Corporate Governance sebagai:

Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board,


pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan
perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur
perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate
Governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan
manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan
dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga
mendorong perusahaanmenggunakan sumber daya dengan lebih efisien.

Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-117/M-

MBU/2002, Corporate Governance adalah:

Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika.

Kemudian menurut Price Waterhouse Coopers:

Corporate Governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif.

Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-

kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang

menguntungkan, efisien dan efektif dalam mengelola resiko dan bertanggung jawwab

dengan memerhatikan kepentingan stakeholders.


Adapun Center for European Policy Study (CEPS), memformulasikan GCG

adalah seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses dan pengendalian

baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Dengan catatan

bahwa hak di sini adalah hak dari seluruh stakeholder dan bukan hanya terbatas

kepada satu stakeholder saja. Noensi, seorang pakar GCG dari Indo Consult,

medefinisikan GCG adalah menjalankan dan mengembangkan perusahaan dengan

bersih, patuh pada hukum yang berlaku dan peduli terhadap lingkungan yang

dilandasi nilai-nilai sosial budaya yang tinggi.

Corporate Governance sering kali dipergunakan sebagai terma sebagaimana

aslinya dalam bahasa inggris, tanpa menterjemahkannya dalam kosa kata Indonesia.

Berbagai alasannya adalah belum ditemukan padanan kata yang tepat. Menurut

penulis tata kelola merupakan terma yang tepat untuk mengindonesiakan governance.

Dalam terma tata kelola terkandung makna pengendalian (control) dan mengatur

(regulate) sehingga mampu menjelaskan proses yang terjadi didalamnya. Ahmad

Syakhroza memberikan pengertian tata kelola perseroan sebagai suatu kesatuan yang

menyeluruh mencakup aspek budaya, hukum dan kelengkapan institusional lainnya

berupa mekanisme yang didasarkan pada konsep pengendalian korporasi dan sistem

akuntabilitas dari pihak yang memegang kendali. Dalam Wikipedia Encyclopedia,

tata kelola perseroan diartikan “Corporate Governance is the set of processes,

customs, policies, laws and institutions affecting the way a corporation (or company)

is directed, administered or controlled. Corporate Governance also includes the


relationship among the many stakeholders involved and the goals for which the

corporation is governed”.

Gabrielle O’Donovan dalam bukunya “A Board Culture of Corporate

Governance”, mendefinisikan Corporate Governance as an internal system

encompassing policies, processes and people, whih serves the needs of shareholders

and other stakeholders, by directing and controlling management activities with good

business savvy, objectivity, accountability and integrity.

Mas Ahmad Daniri memberi pengertian tatakelola perseroan dalam kaitan

dengan sifat baik (good) dalam konsep Good Corporate Governance (GCG) sebagai

suatu pola hubungan , sistem dan proses yang digunakan oleh organ perseroan

(Direksi, Dewan, Komisaris, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada

pemegang saham serta berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berlandaskan peraturan perundang-

undangan dan norma yang berlaku.

Daniri menyimpulkan bahwa tata kelola perseroan yang baik merupakan :

1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran

Dewan Komisaris, Direksi, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

dengan stakeholders lainnya.

2. Suatu sistem check and balance yang mencakup perimbangan

kewenangan atas pengendalian perseroan yang dapat membatasi

munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan

penyalahgunaan aset dan perseroan.


3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perseroan,

pencapaian, dan pengukuran kinerjanya.

Definisi GCG menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:

KEP-117/M-MBU/2002 adalah suatu proses atau struktur yang digunakan oleh

BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna

mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka waktu panjang dan tetap

memperhatika kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundang-

undangan dan nilai-nilai etika. Sehubungan dengan tidak berlakunya Keputusan

Menteri Negara BUMN tersebut yang selama ini digunakan sebagai dasar penerapan

GCG, yaitu Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002

tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada Badan Usaha Milik

Negara karena digantikan dengan Peraturan Menteri negara Badan Usaha Milik

negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang

baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (tanggal 1

Agustus 2011), maka definisi GCG berubah menjadi prinsip-prinsip yang mendasari

suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan

perundang-undangan dan etika berusaha.

Menurut Muh. Arief Effendi dalam bukunya The Power of God Corporate

Governance, pengertian GCG adalh suatu sistem pengendalian internal perusahaan

yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan

bisnisnya melaui pengaman aset perusahaan dan meningkatkna nilai investasi

pemegang saham dalam jangka panjang.


Selain definisi-definisi diatas, terdapat definisi-definisi lain. Stijn Claessens

menyatakan bahwa, pengertian tentang Corporate Governance dapat dimasukkan

dalam dua kategori. Kategori pertama, lebih condong pada serangkaian pola perilaku

perushaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur pembiayaan, perlakuan

terhadap para pemegang saham dan stakeholders. Kategori kedua lebih melihat pada

kerangka secara normatif, yaitu segala ketentuan hukum baik yang berasal dari sistem

hukum, sistem peradilan, pasar keuangan dan sebagainya yang memengaruhi perilaku

peruaahaan. Kategori pertama akan sangat cocok untuk dijadikan dasar analisis dalam

mengkaji corpotae governance di satu negara, misalnya melihat bagaimana Dewan

direksi memenuhi transparansi dan akuntabilitas dalam pengambiilan keputusan,

bagaimana menentukan kompensasi yang layak bagi executive perusahaan,

bagaimana korelasi antara kebijakan tentang buruh dan kinerja perusahaan.

Sedangkan kategori kedua dijadikan dasar analisis dalam mengkaji Corporate

Governance secara komparatif, misalnya melihat bagaimana berbagai perbedaan

dalam kerangka normatif yang dibangun akan memengaruhi pola perilaku

perusahaan, investor dan lainnya.

GCG secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan

perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.

Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama pentingnya hak pemegang

saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya

dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara


akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan,

kepemilikan dan stakeholder.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan Corporate

Governance adalah sistem, proses dan seperangkat peraturan yang mengatur

hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit,

hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi demi

tercapainya tujuan organisasi. Corporate Governance dimaksudkan untuk mengatur

hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan signifikasi dalam strategi korporasi

dan untuk memastikan kesalahan yang terjadi dapat segera diperbaiki.

1.2 Dasar Hukum Good Corporate Governance

Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, pemerintah makin menyadari perlunya

penerapan good governance di sektor publik mengingat pelaksanaan GCG oleh dunia

usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya good public governance dan

partisipasi masyarakat. Dengan kata lain pemerintah telah menetapkan dasar hukum

mengenai GCG, antara lain:

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas;

c. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-

01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata


Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada

Badan Usaha Milik Negara

d. Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Mlik Negara (BUMN)

Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good

Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara;

e. Surat Edaran Menteri PM-PBUMN No. S-106/M-

PM.PBUMN/2000 tanggal 17 April 2000 perihal Kebijakan

Penerapan Corporate Governance yang baik di semua BUMN.

Hingga saat ini, Good Corporate Governance belum memiliki peraturan

perundang-undangan tersendiri yang mengatur secara khusus mengenai Corporate

Governance. Yang menjadi aturan dasar dari lembaga pembiayaan hingga saat ini

hanyalah dalam bentuk Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, dan Keputusan

Menteri. Sebenarnya peraturan-peraturan ini belum memadai untuk mengikuti

perkembangan dari lembaga pembiayaan itu sendiri.

1.3 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance

Disadari bahwa penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance

merupakah salah satu upaya yang cukup signifikan untuk melepaskan diri dari krisis

ekonomi yang melanda Indonesia. Peran dan tuntutan investor dan kreditor asing

mengenai penerapan prinsip GCG merupakan salah satu faktor dalam pengambilan
keputusan berinventasi suatu perusahaan. Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha

di Indonesia merupakan tuntuan zaman agar perusahaan- perusahaan yang ada jangan

sampai terlindas oleh persaingan global yang semakin keras. Prinsip-prinsip GCG

juga merupakan komponen tata perilaku (code of conduct) yang diyakini oleh banyak

pakar yang merupakan katalisator pemulihan sektor perusahaan di Indonesia,

termasuk juga di sektor badan-badan hukum negara (BUMN), perbankan, maupun di

bisang pasar modal.

Prinsip GCG telah terimplementasikan sejak awal pendirian sebuah

perusahaan. Pemilikan izin, organ-organ perusahaan (direksi atau komisaris)

merupakan bukti telah diaplikasikannya Good Corporate Governance dalam tataran

yang minimal. Hal paling mendasar tadi dimiliki hanya karena sifat alamiah dari

pembentukan usaha atau jalannya roda usaha, dalam hal ini kebutuhan tadi

merupakan hal yang wajib dipenuhi (mandatory). Bila diperbincangkan lebih lanjut

implementasi Good Corporate Governance, kalimat implementasi dalam hal ini

dimaksudkan untuk sesuatu yang sifatnya pilihan (optional) dan bukan sebuah

kewajiban. Suatu hal yang unik terjadi, sesuatu yang sifatnya pilihan tadi menjadi hal

yang seolah-olah wajib, maka diperlukan sebuah perangkat yang dapat mewajibkan

hal tersebut untuk dapat diterapkan.

Tidak perlu adanya pemaksan ataupun perintah lagi sebuah perusahaan untuk

memiliki direksi, komisaris, modal, Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga

dan mungkin nama perusahaan, mengingat bahwa sifat alamiah dari perusahaan

adalah demikian, maka hal-hal yang demikian wajib dimiliki dengan sendirinya.
Namun demikian sehubungan dengan jalannya usaha, adanya pemegang saham

publik, adanya transaksi antar perusahaan, adanya utang piutang (kebutuhan modal

tambahan dari kreditor) dan rangkaian kegiatan usaha lainnya. Bila implementasi

prinsip-prinsip Good Corporate Governance adalah merupakan sebuah pilihan, maka

dalam batasan tertentu pilihan tadi ditransformasikan sebagai sebuah kewajiban.

Inilah mengapa perangkat peraturan perundang-undangan merupakan hal yang

mampu mentransformasikan sebuah pilihan tadi menjadi kewajiban.

Dalam hal yang terjadi persinggungan antara kepentingan perusahaan dengan

kepentingan masyarakat luas, maka penerapan prinsip-prinsip GCG tersebut harus

dibuat menjadi suatu keharusan (mandatory). Keharusan tersebut mengimplikasikan

penjabaran prinsip-prinsip GCG ke dalam peraturan perundang-undangan.

Implemetasi prinsip-prinsip GCG menjadi lebih efektif. Perlindungan terhadap

kepentingan yang lebih luas menjadi salah satu pendorong utama pentingnya regulasi

tersebut.

Di Indonesia, kerangka hukum dan perundang-undangannya telah mengadopsi

prinsip-prinsip GCG ini, baik secara langsung maupun secara tersirat dalam peraturan

perundang-undangan yang ada. Sejauh mana peraturan perundang-undangan di

Indonesia mendukung pelaksanaan GCG, sangatlah penting untuk dikaji kerangka

peraturan perundang-undangan yang ada. Kerangka hukum dan peraturan perundang-

undangan di Indonesia terkait dengan pengimplementasian prinsip-prinsip GCG pada

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta, perbankan dan industri

pasar modal Indonesia.


GCG menjadi acuan suatu korporasi dalam menjalankan operasional hariannya

agar berjalan lancar. Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi

suatu perusahaan atau para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability,

Responsbility, Indepandency, dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi

TARIF yang mana penjabarannya sebagai berikut:

(1) Transparency (keterbukaan informasi)

Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.

Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan

informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholder-

nya. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja

keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang

dilakukan atas infromasi dilakukan secara independen. Keterbukaan

dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan

perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.

(2) Accountability (akuntabilitas)

Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur,

sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini

diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi hak, kewajiban

dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan

komisaris dan dewan direksi.

Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan

perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah diterapkna oleh


pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan

pengawasan dan wajib memberikan nasihat kepada direksi atas pengelolaan

perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham

bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan

perusahaan.

Untuk meyakinkan bahwa tidak adanya penyimpangan fungsi, hak dan

wewenang, maka dibentuk suatu sistem pengendalian internal (SPI) yang

efektif dalam pelaksanaan pengelolaan perusahaan. Disamping itu perusahaan

harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang

konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem

penghargaan dan sanksi (reward and punishment system) untuk mendorong

semua organ perusahaan melaksanakan tugas dan kewajiban dengan penuh

tanggungjawab.

(3) Responsbility (pertanggung jawaban)

Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalaj kepatuhan perusahaan

terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya masalah pajak, hubungan

industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup,

memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan

sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan

perusahaan bagaimana bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan

juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga

kepada stakeholders-lainnya.
(4) Indepadency (kemandirian)

Prinsip ini mensyaratkan agar perusahan dikelola secara profesional

tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak

manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan

kata lain, prinsip ini menuntut bertindak secara mandiri sesuai peran dan

fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan. Tersirat dengan prinsip ini bahwa

pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak

stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan

perusahaan.

(5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran)

Prinsip ini menuntut adanya perlakuan adil dalam memenuhi hak

stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan

fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan

memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan

dalam perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang

praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan

pihak lain.

Untuk mewujudkan prinsip ini, dapat ditempuh dengan cara sebagai

berikut:
a. Dalam pengambilan keputusan, perusahaan melibatkan para

pemangku kepentingan untuk memberikan kesempatan

menyampaikan saran, masukan serta pendapat.

b. Membuat peraturan untuk melindungi kepentingan saham

minoritas dalam perusahaan.

c. Menetapkan secara jelas peran, fungsi dan tanggung jawab semua

organ perusahaan.

d. Menyampaikan informasi penting secara terbuka dan secara wajar.

e. Memberikan perlakuan yang sama dalam penerimaan karyawan,

berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional.

Adapun prinsip-prinsip ini tercipta untuk memaksimalkan nilai Perseroan bagi

pemegang saham dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat

dipercaya, bertanggung jawab dan adil agar perusahan memiliki daya saing yang

kuat, baik secara nasional maupun secara internasional, serta dengan demikian

menciptakan iklim yang mendukung investasi. Mendorong pengelolaan perseroan

secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan

meningkatkan kemandirian Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang

Saham. Mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota

Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral

yang tinggi dan kepatuhan terhadapap peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Dengan diterapkannya prinsip GCG maka akan menambah kepercayaan dan

keyakinan pemegang saham, seluruh stakeholder dan investor terhadap perusahaan

serta melindungi Direksi/Komisaris/dewan Pengawas/Manajer/Karyawan dari

tuntutan hukum dan dari campur tangan pihak-pihak tertentu diluar mekanisme

korporasi, karena segala sesuatunya dilaksanakan sesuai dengan aturan (step by rule).

Anda mungkin juga menyukai