Anda di halaman 1dari 16

TUGAS ETIKA BISNIS

KASUS GOOD CORPORATE GOVERNANCE

PT. BANK LIPPO

Di Susun Oleh :

Rohmat Rizky Thohari (30401800302)

FAKULTAS EKONOMI

JURUSAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2019
A. PENGERTIAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Menurut Komite Cadbury, good corporate governance adalah prinsip


yang meengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam
memberiikan pertanggungjawaban kepada para shareholder khususnya dan
stakeholder pada umumnya. Pengertian good coporate governance di
Indonesia secara harfiah diterjemahkan sebagai ‘pengaturan’, adapun dalam
konteks GCG sering juga disebut ‘tata pamong’ penadbiran – yang terakhir
ini, bagi orang awam masih terdengar janggal ditelinga karena istilah ini
berasal dari bahasa melayu, namun tampaknya secara umum dikalangan
pebisnis istilah GCG diartika sebagai tata kelola perusahaan, meskipun
masih rancu dalam terminology manajemen . masih diperlukan kajian untuk
mencari istilah yang teoat dalam bahasa indonesia yang benar.

Kemudian, GCG ini didefinisika sebagai suatu pola hubungan, system


dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS)guna
memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara
bberkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan norma yang
berlaku.

Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate


Governance merupakan:

1. Suatu struktur yang mengatur pola hubunga harmonis antara peran


dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder
lainnya
2. Suatu sistem pengecekan , perimbangan kewenangan atas
pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua
peluan:pengelolaan salah dan penyalahgunaan asset perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapain, berikut pengukutan kerjanya.
B. KAITAN ANTARA MANEJEMEN PERUSAHAAN DENGAN GOOD
CORPORATE GOVERNACE

Kaitan good corporate governance (GCG) didalam perusahaan yang


dikelola adalah agar dapat menghasilkan kinerja yang baik antara pemegang
saham, dewan komisaris, dan dewan direksi dalam membuat keputusan dan
menjalakannya sesuai dengan nilai moral yang yang telah ditetapkan demi
tercapainya tujuan dari perusahaan tersebut. seperti contoh perusahaan
Makmur Jaya: “semua pihak juga berupaya untuk memperkuat hubungan
kerja satu sama lain. Singkatnya Makmur Jaya menyadari bahwa
pentingngnya hubungan kerja yang harmonis serta kerjasama diantara organ-
organ tata kelola, manajemen dan staff untuk mempertahankan dan
meningkatkan praktik GCG di antam secara berkelanjutan”.

C. AGENCY THORY

Teori agensi berawal dengan adanya penekanan pada kontrak sukarela


yang timbul di antara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang
efisien terhadap konflik kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi
suatu pandangan atas perusahaan sebagai suatu penghubung (nexus) kontrak
(Jensen dan Macklin).Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari
praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari
sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip
utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang
memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang
(agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur
akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini
merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi
yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan
dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi.
Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang
saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara
pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya
kepentingan yang saling bertentangan.

D. ETIKA BISNIS DAN KONSEP GOOD CORPORATE GOVERNACE

1. Code of Corporate and Business Conduct

Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of


Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu
prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut
menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-
praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan
atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam
budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan &
pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi
peraturan yang ada. Pelanggaran atas Kode Etik dapat termasuk
kategori pelanggaran hukum.

2. Nilai Etika Perusahaan

Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-


prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya,
keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan
sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik
tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan &
pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk
tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus
dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain
masalah :
a. Informasi rahasia

Dalam informasi rahasia, seluruh karyawan harus dapat menjaga


informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk
menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak
berhak. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga
hubungan yang baik dengan pemegang saham (stake holder), atas
dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan
menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu
dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan
pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari
karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan
masyarakat pada umumnya.

b. Benturan Kepentingan (Conflict of interest)


Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga
kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of
interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat
timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara
langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam
mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya
diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi
kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang
perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan,
antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat
mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap
karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya
mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera
melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada
pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi.
E. PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para
pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, dan
Fairness . Penjabarannya sebagai berikut :
1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam
mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi
yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.
2. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur,
system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini
diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak,
kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham,
dewan komisaris dan dewan direksi.
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan
terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan
industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan
hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat
dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan
menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya,
perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada
shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
4. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak
stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat
memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara
beragam kepentingan dalam perusahaan.
Adapun prinsip lain mengenai Good Corporate Governance, yaitu :

1. AKUNTABILITAS: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil


keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
masyarakat.
2. PENGAWASAN : Meningkatkan upaya pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
3. DAYA TANGGAP: Meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan
pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4. PROFESIONALISME: Meningkatkan kemampuan dan moral
penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang
mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau.
5. EFISIENSI & EFEKTIVITAS: Menjamin terselenggaranya pelayanan
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia
secara optimal & bertanggung jawab.
6. TRANSPARANSI: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi.
7. KESETARAAN: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8. WAWASAN KE DEPAN: Membangun daerah berdasarkan visi &
strategis yang jelas & mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses
pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut
bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.

9. PARTISIPASI: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak


dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan,
yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung
mapun tidak langsung.
10. PENEGAKAN HUKUM: Mewujudkan penegakan hukum yang adil
bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

F. KASUS GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BANK LIPPO

Cerita kasus Bank Lippo adalah bank menarik dana publik melalui
tabunganmaupun deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu,
selanjutnya digunakan untukmembiayai investasi di perusahaan afiliasi.
Ketika krisis melanda, dan perusahaan-perusahaan berguguran, kredit
macet, bank pun berguguran. Ketika kemudian diperolehberita bahwa
pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji
tuntasterhadap bank-bank, apakah melanggar Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK)terhadap perusahaan afiliasi, maka Bank Lippo cepat
bergerak. Mereka mengambil alih semua agunan dari kredit perusahaan
afiliasi. Dengan demikian, seluruh kredit dianggap lunas, dan hapus dari
pembukuan. Dengan begitu, loloslah pemilik Bank Lippo dari daftar orang
tercela (DOT). KASUS ini mencuat, ketika dalam laporan keuangan
BankLippo per 30 September 2002 kepada publik pada tanggal 28
November 2002,manajemen menyebutkan total aktiva perseroan Rp 24
trilyun dan laba bersih Rp 98milyar. Namun, dalam laporan keuangan
kepada BEJ 27 Desember 2002,

Manajemen menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8


trilyun dengan rugi bersih Rp 1,3trilyun. Perbedaan laba dikatakan karena
adanya kemerosotan nilai agunan yang diambilalih dari Rp 2,393 trilyun
pada laporan publikasi menjadi Rp 1,42 trilyun pada laporan keBEJ.
Akibatnya, dalam keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan
modal(CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen.

Permasalahan yang terjadi di dalam Laporan Keuangan PT Bank Lippo


Tbk, disebabkan adanya tiga buah laporan keuangan yang dinyatakan telah
diaudit, tetapi 7 diantara ketiganya terdapat perbedaan. Dari ketiga laporan
keuangan tersebut ternyata hanya ada satu laporan keuangan PT Bank
Lippo Tbk. per 30 September 2002 yang diaudit dengan Opini Wajar
Tanpa Pengecualian dari Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih dari KAP
Presetio, Sarwoko & Sandjaja, dengan laporan auditor independen No.
REC-0031/02 dengan tanggal ganda (dual dating) tertanggal 20 November
2002 (kecuali untuk catatan 40a tertangal 22 November 2002 dan catatan
40c tertanggal 16 Desember 2002) yang disampaikan kepada Manajemen
PT Bank Lippo Tbk. pada tanggal 6 Januari 2003. Sedangkan, dua laporan
keuangan lainnya ternyata belum diaudit.

Di dalam kedua laporan keuangan yang belum diaudit tersebut ternyata


ada pernyataan dari pihak Manajemen PT Bank Lippo Tbk. bahwa laporan
keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi
yang telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja dengan
pendapat wajar tanpa pengecualian (untuk laporan keuangan PT Bank
Lippo Tbk. yang diiklankan di surat kabar) dan pernyataan dari
Manajemen PT Bank Lippo Tbk. bahwa laporan keuangan yang
disampaikan adalah laporan keuangan “audited” yang tidak disertai
dengan Laporan Auditor Independen yang berisi opini Akuntan Publik
(untuk Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk. yang disampaikan kepada
BEJ).

Peristiwa tersebut, jika dilihat dari sudut pandang GCG terjadi karena
lemahnya penerapan prinsip akuntabilitas di dalam PT Bank Lippo Tbk.,
khususnya dalam hal pembuatan laporan keuangan. Di dalam
permasalahan ini terjadi pelanggaran karena tidak adanya checks and
balances yang baik antara direksi dan komisaris dengan manajemen PT
Bank Lippo Tbk. yang menyampaikan dua laporan keuangan yang tidak
diaudit.

Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk


memastikan bahwa laporan yang dibuat manajemen telah memberikan
gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usaha, rencana
dan komitmen perusahaan jangka panjang. Dapat dilihat disini, peranan
komite audit untuk menciptakan sebuah mekanisme check and balances
yang ideal juga belum dapat terwujud.

Peristiwa tersebut, jika dilihat dari sudut pandang GCG terjadi karena
lemahnya penerapan prinsip akuntabilitas di dalam PT Bank Lippo Tbk.,
khususnya dalam hal pembuatan laporan keuangan.

Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance yang telah diatur dalam


Undang-Undang Pasar Modal selama ini masih sampai pada sanksi
administratif saja, sedangkan mengenai sanksi pidana terhadap
pelanggaran prinsip GCG sudah diatur juga dalam Undang-Undang Pasar
Modal yaitu dalam Pasal 103 - Pasal 110. Namun, dalam penerapan sanksi
pidana tersebut belum diterapkan pada kasus-kasus pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip GCG yang terjadi. Oleh karena itu, penjatuhan sanksi
administratif saja tidak dapat memberikan efek jera bagi para pelaku
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip GCG ini.

Oleh karena itu, hendaknya aturan mengenai penjatuhan sanksi


administratif ini perlu dikaji lebih dalam agar terdapat keseimbangan dan
keadilan untuk setiap pihak agar hokum di Indonesia dapat dilaksanakan
dengan seadil-adilnya sehingga tidak menghambat mekanisme Pasar
Modal di Indonesia.
Pada kasus PT Bank Lippo Tbk diatas, dapat kita analisis mengenai
prinsip-prinsip Good Corporate Governence yang dilanggar sebagai
berikut :

1. Transparansi

Prinsip transparensi yaitu menjaga objektivitas suatu organisasi atau


perusahaan dalam menjalankan suatu bisnis dengan memberikan
informasi-informasi yang jelas, akurat, mudah diakses dan dipahami
serta dapat dipertanggung jawabkan oleh semua pihak-pihak yang
berkepentingan dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Pada kasus
PT Bank Lippo Tbk, Pelanggaran terhadap Prinsip Transparansi
ditunjukkan dengan perbuatan Manajemen PT Bank Lippo Tbk. yang
telah lalai karena mencantumkan kata “audited” di dalam laporan
keuangan yang sebenarnya belum diaudit. Maka, PT Bank Lippo Tbk.
telah melakukan suatu kelalaian dan melanggar salah satu hak dasar
pemegang saham, yaitu hak untuk menerima informasi. Dari prinsip
transparansi tersebut dapat dilihat bahwa kewajiban untuk
menginformasikan laporan keuangan hendaknya dilakukan secara tepat
dan dilakukan secara profesional dengan cara menunjuk auditor yang
independent, qualified, dan competent. Perbuatan Manajemen PT Bank
Lippo Tbk. yang telah lalai karena mencantumkan kata “audited” di
dalam laporan keuangan yang sebenarnya belum diaudit merupakan
sebuah bentuk ketidakhati-hatian yang merupakan tanggung jawab dari
Manajemen PT Bank Lippo Tbk. Dalam hal ini kesalahan direksi juga
dapat dimintai pertanggungjawaban karena telah lalai melakukan
pengawasan terhadap Manajemen PT Bank Lippo Tbk.

2. Akuntabilitas

Prinsip ini diperlukan untuk melihat sejauh mana yang telah


dihasilkan oleh suatu organisasi dan perusahaan. dalam hal ini suatu
kinerja haruslah dapat dikelola dengan tepat dan terukur untuk melihat
seberapa jauh kesinambungan antara proses perencanaa, organisir,
pelaksanaan serta evaluasi yang dilakukan dengan tujuan organisasi
atau perusahaan itu sendiri. Pada kasus PT Bank Lippo Tbk,
pelanggaran terhadap Prinsip Akuntabilitas dapat dilihat dari kesalahan
dewan direksi yang telah lalai melakukan pengawasan terhadap
Manajemen PT Bank Lippo Tbk. dan tidak adanya checks and balances
yang baik antara direksi dan komisaris dengan manajemen PT Bank
Lippo Tbk. yang menyampaikan dua laporan keuangan yang tidak
diaudit. Di dalam permasalahan ini terjadi pelanggaran karena tidak
adanya checks and balances yang baik antara direksi dan komisaris
dengan manajemen PT Bank Lippo Tbk. yang menyampaikan dua
laporan keuangan yang tidak diaudit.

Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk


memastikan bahwa laporan yang dibuat manajemen telah memberikan
gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usaha, rencana
dan komitmen perusahaan jangka panjang. Dapat dilihat disini, peranan
komite audit untuk menciptakan sebuah mekanisme check and balances
yang ideal juga belum dapat terwujud.

Pada kasus PT Bank Lippo Tbk., menunjukkan bahwa perbuatan


Manajemen PT Bank Lippo Tbk. baik yang melibatkan direksi maupun
komisaris secara bersama-sama tergolong perbuatan yang telah
memanipulasi Pasar Modal. kenyataannya manajemen PT Bank Lippo
Tbk. dengan sengaja telah merugikan pihak lain (Bapepam-LK) dengan
mencantumkan kata “diaudit” dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian
pada iklan laporan keuangan per 30 September 2002 pada tanggal 28
November 2002, dan laporan keuangan yang tidak disertai dengan laporan
auditor independen dan telah terdapat penilaian kembali terhadap Agunan
Yang Diambil Alih (AYDA) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) pada laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30
September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada tanggal 27 Desember
2002. Maka, pada kasus ini pihak Manajemen PT Bank Lippo Tbk. yang
telah memanipulasi pasar ini dapat dituntut dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 104 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal yakni diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas
miliar rupiah). Namun pada kenyataannya, aturan-aturan mengenai sanksi
terhadap pelanggaran.

G. KESIMPULAN

Berdasarkan dari yang telah dibahas diatas, maka dapat disimpulkan


bahwa :

1. Permasalahan dasar atas terjadinya kasus good corporate adalah


penyimpangan sumber dana yang dikelola. Hasil laporan yang dana
sumbernya tidak dikelola dengan baik dan digunakan untuk
keuntungan beberapa pihak pasti diaudit. Padahal dengan adanya
good corporate governance semua pihak yang menjalankan dan
mendukung suatu perusahaan haruslah mendapat timbal balik yang
baik, bukan justru kerugian bagi pihak yang menjalankan dan
mendukung, namun justru menguntungkan beberapa pihak tertentu.
2. Dalam good corporate governance tidak adanya kepentingan
segelintir kelompok dalam perusahaan, melainkaan seluruh anggota
perusahaan dan stakeholder sekalipun, temasuk pula pemerintah.
Bukan malah melakukan penipuan dana baik kredit maupun dana
saham dan sebagainya sehingga tidak nampak kecurangan dalam
mengambil keuntungan dari perusahaan. Untuk itu masih sangat
kurangnya perhatian pribadi seseorang dalam perusahaan atas tujuan
dan kepentingan dalam perusahaan di Indonesia ini. Masih banyak
yang tidak mengetahui bahkan tidak memperdulikannya dengan
tindakan-tindakan yang menutupi kecurangan untuk mengambil
keuntungan demi tujuan pribadi,tidak lagi memikirkan kepentingan
dan tujuan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

http://resfitadamayanti22.blogspot.com/2017/10/sepenggal-kasus-good-
corporate_24.html (Diakses pada tanggal 2 November 2019)

https://www.coursehero.com/file/p25k2a9/Beberapa-contoh-kasus-penerapan-
prinsip-prinsip-good-corporate-governance-di/ (Diakses pada tanggal 2 November
2019)

http://agung-belajardanbelajar.blogspot.com/2013/11/kasus-bank-lippo.html
(Diakses pada tanggal 2 November 2019)

https://saepudinonline.wordpress.com/2010/11/27/prinsip-good-corporate-
governance-gcg-dan-10-prinsip-good-governance/ (Diakses pada tanggal 2
November 2019)

http://rezarezadwirm.blogspot.com/2013/11/etika-bisnis-good-corporate-
governance.html (Diakses pada tanggal 2 November 2019)

Anda mungkin juga menyukai