KELOMPOK 5
DOSEN PENGAMPU:
Dr. I Gusti Ayu Made Asri Dwija Putri, S.E., M.Si. CMA
2
1. PENGERTIAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Terdapat beberapa definisi Corporate Governance yang diungkapkan
oleh lembaga-lembaga dunia, antara lain:
a. Menurut Cadbury Committee of United Kingdom
Komite Cadbury (Cadbury Committee) merupakan komite bentukan
berupa inisiatif oleh profesi akuntansi dan sponsornya (Pelaporan
Keuangan Dewan, London Stock Exchange dan Bank of England) untuk
membantu meningkatkan standar tata kelola perusahaan dan tingkat
kepercayaan dalam pelaporan dan audit keuangan. Menurut mereka,
Corporate Governance adalah suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan dengan tujuan agar tercapai keseimbangan
antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk
menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada
para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.
Pengaturan kewenangan yang dimaksudkan di sini mencakup direktur,
manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan
perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
b. Menurut Center for European Policy Studies (CEPS)
CEPS adalah lembaga penelitian kebijakan independen di Brussels.
Mereka mengungkapkan bahwa Corporate Governance merupakan
seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta
pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen
perusahaan. Sebagai poin penting, hak adalah berbagai kekuatan yang
dimiliki stakeholders secara individual untuk mempengaruhi manajemen.
Proses berarti mekanisme dari hak-hak tersebut, sementara pengendalian
merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholders menerima
informasi yang diperlukan seputar aneka kegiatan perusahaan.
c. Menurut The Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD)
OECD merupakan organisasi ekonomi internasional antarpemerintah
dengan 36 negara anggota. Mereka mendefinisikan corporate
governance merupakan cara-cara manajemen perusahaan bertanggung
1
jawab pada dewan direksi, pemegang saham (shareholders), dan
pemangku kepentingan lainnya (stakeholders). Para pengambil keputusan
di perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut
dan mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya.
d. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG),
Corporate Governance adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar
karena berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang
melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara.
Penerapan Good Corporate Governance (GCG) mendorong terciptanya
persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dengan
dukungan sumber daya yang dimiliki, yaitu pengetahuan dan pengalaman
para tokoh governance dari berbagai latar belakang pengalaman (pasar
modal, hukum, perbankan, pertambangan, sektor riil) sangat kompeten
untuk menjalankan program pembekalan dan penyelarasan GCG bagi
pemegang saham, Dewan Komisaris dan Direksi. Latar belakang para
tokoh yang beragam, mulai dari praktisi, regulator maupun akademisi,
merupakan nilai tambah yang menjadi keunggulan bagi KNKG dalam
memberikan layanan bagi perusahaan. Melalui program pembekalan yang
terintegrasi dengan program penyelarasan GCG, diharapkan ketiga organ
perusahaan (RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi) dapat menjalankan
fungsi dan tanggung jawab masing-masing tanpa adanya potensi konflik
internal antar organ tersebut. KNKG akan menjadi fasilitator dalam
menyelaraskan dan menyinergikan ketiga organ perusahaan, sehingga
tujuan akhir perusahaan, yaitu pertumbuhan yang berkelanjutan
(sustainable growth) dapat tercapai.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Corporate Governance merupakan
seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan
2
kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan.
3
2. TEORI-TEORI YANG MENDASARI GOOD CORPORATE
GOVERNANCE
1) Stewardship Theory
Teori Stewardship berasumsi bahwa manajer adalah pelayan yang
baik bagi perusahaan. Asumsi filosofis menjadikan alasan teori ini
dibangun. Asumsi filosofis menjelaskan mengenai sifat manusia yang
pada hakikatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh
tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain.
Manajer dapat dipercaya dan bekerja dengan baik untuk mencapai tingkat
laba perusahaan dan tingkat pengembalian yang tinggi bagi pemegang
saham. Peran manajer dalam suatu perusahaan yaitu sebagai pihak yang
melayani perusahaan akan bekerja sama dan sangat erat hubungannya
dengan pemegang saham untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu
implikasi stewardship theory terhadap corporate governance adalah
adanya Undang-Undang Perseroan Terbatas di Indonesia, yaitu pasal 97
dan 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, yang menetapkan kewajiban bagi setiap anggota
direksi dan komisaris untuk menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
2) Agency Theory (Teori Keagenan)
Teori keagenan menekankan pentingnya pemilik perusahaan
(pemegang saham) dalam menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada
tenaga-tenaga profesional yang lebih memahami menjalankan bisnis
sehari-hari. Semakin besar perusahaan maka akan terjadi pemisahan
antara pemilik dan pengendali perusahaan. Pemegang saham bertindak
sebagai pemilik dan manajer merupakan pengendali perusahaan.
Pemisahan peran ini terjadi karena pemegang saham tidak dapat lagi
mengikuti kegiatan perusahaan setiap hari. Banyak pemegang saham
yang bertindak pasif, artinya tidak ikut serta dalam kegiatan operasional
perusahaan. Maka dari itu manajer diharapkan dapat bertindak demi
kepentingan pemegang saham. Namun, dalam kenyataannya manajer
juga memiliki keinginan tersendiri dan bertindak untuk memenuhi
4
keinginan pribadinya. Perbedaan kepentingan ini biasanya disebut
dengan konflik keagenan.
Implikasi teori keagenan terhadap konsep Corporate Governance
adanya pemberian insentif dan melakukan monitoring (pengawasan).
Mekanisme insentif mendorong para manajer bertindak untuk mendorong
manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham berupa
insentif seperti gaji, dan insentif berbasis kinerja, seperti pemberian
saham perusahaan dan kebijakan kompensasi lainnya.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), monitoring yang dilakukan
oleh pihak independen memerlukan biaya pengawasan (monitoring cost)
berupa biaya audit, yang merupakan salah satu dari agency cost.
Fungsinya dari biaya ini adalah untuk mengawasi perilaku agen apakah
agen telah bertindak sesuai kepentingan prinsipal dengan melaporkan
secara akurat semua aktivitas yang telah ditugaskan kepada manajer.
Uraian tersebut diatas memberi makna bahwa auditor merupakan pihak
yang dianggap dapat menjembatani kepentingan pihak pemegang saham
(principal) dengan pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan
perusahaan.
Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat
disebabkan karena pihak agen memiliki informasi keuangan daripada
pihak prinsipal, sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan
kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena
memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).
3) Entity Theory
Teori entitas memandang pemegang saham (baik pemegang saham
biasa dan istimewa) sebagai pemilik (proprietor) dan menjadi pusat
perhatian akuntansi. Teori ini mengasumsikan terjadinya pemisahan
antara kepentingan pribadi pemilik ekuitas (pemegang saham) dengan
entitas bisnisnya (perusahaan). Kreditor dianggap sebagai pihak luar,
sementara pemegang saham tetap menjadi mitra manajemen. Aset
menjadi milik pribadi pemegang saham dan pemegang saham
menanggung segala risiko yang berkaitan dengan utang. Dengan sudut
5
padang ini, aset bersih menjadi perhatian utama bagi pemegang saham
sesuai dengan sifat tersebut, persamaan akuntansi dari teori entitas akan
berbentuk sebagai berikut:
Aset – Kewajiban = Ekuitas
Teori entitas, melahirkan agency theory dan stewardship theory, di
mana kedua teori ini sangat berperan dan paling banyak dirujuk untuk
pembentukan struktur Corporate Governance.
4) Stakeholder Theory
Perusahaan tidak hanya sekedar bertanggung jawab terhadap para
pemilik atau pemegang saham (shareholder) sebagaimana yang terjadi
selama ini, namun bertanggungjawab pula sampai pada ranah sosial
kemasyarakatan (stakeholder), yang selanjutnya disebut tanggung jawab
sosial (social responsibility). Fenomena tersebut terjadi karena adanya
tuntutan dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta
ketimpangan sosial yang terjadi. Untuk itu, tanggung jawab perusahaan
yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic
focused) dalam laporan keuangan, kini harus memperhitungkan faktor-
faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholder, baik internal
maupun eksternal.
Perusahaan yang menciptakan hubungan yang positif dengan seluruh
stakeholder disebut perusahaan yang dapat menciptakan keberlanjutan
(sustainable) kesejahteraan ekonomi. Implikasi teori ini perusahaan
mendirikan unit yang khusus menangani komunikasi dengan stakeholder
yang dikenal dengan departemen komunikasi.
5) Political Theory
Political Model menyatakan bahwa alokasi kekuasaan dalam
perusahaan, privilege, atau alokasi laba di antara pemilik, manajer dan
stakeholder lainnya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan politis
dalam hal ini pemerintah dapat berperang penting dalam menentukan
alokasi tersebut. Alokasi kekuasaan dalam teori corporate governace
harus dilihat dari perspektif budaya pula, sehingga dapat dikatakan tidak
ada satu model corporate governance yang dapat digunakan sekaligus
6
untuk beberapa negara, bahkan oleh beberapa perusahaan dalam satu
negara.
7
3) Prinsip III: Perlakuan yang sama terhadap Pemegang Saham.
Prinsip ke-3 menekankan bahwa perlunya persamaan perlakuan kepada
seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang
saham asing, serta menegaskan pentingnya kepercayaan investor di pasar
modal. Oleh karena itu, industri pasar modal harus dapat melindungi investor
dari perlakuan yang tidak benar yang bisa saja dilakukan oleh manajer, dewan
komisaris, dewan direksi atau pemegang saham utama perusahaan.
4) Prinsip IV: Peranan Stakeholders dalam Corporate Governance.
Prinsip OECD yang ke-4 menjelaskan mengenai Peranan Stakeholders
dalam Corporate Governance (CG). Secara garis besar, prinsip ini
menyatakan bahwa, “Kerangka Corporate Governance harus mengakui hak
stakeholders yang dicakup oleh perundang-undangan atau perjanjian (mutual
agreements) dan mendukung secara aktif kerja sama antara perusahaan dan
stakeholders dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan
pertumbuhan yang berkesinambungan (sustainibilitas) dari kondisi keuangan
perusahaan yang dapat diandalkan”. Pernyataan tersebut mengartikan bahwa
para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti investor, karyawan,
kreditur dan pemasok memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh
perusahaan. Sumber daya yang dimiliki oleh stakeholder tersebut harus
dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan efisiensi dan kompetisi
perusahaan dalam jangka panjang. Alokasi yang efektif dapat dilakukan
dengan cara memelihara dan mengoptimalkan kerja sama para stakeholder
dengan perusahaan. Hal tersebut dapat tercapai dengan penerapan kerangka
Corporate Governance dalam pengelolaan perusahaan yaitu dengan adanya
jaminan dari perusahaan tentang perlindungan kepentingan para pemangku
kepentingan baik melalui perundang-undangan maupun perjanjian.
5) Prinsip V: Keterbukaan dan Transparansi.
Prinsip ini menjelaskan bahwa kerangka kerja corporate governance
harus memastikan bahwa keterbukaan informasi yang tepat waktu dan akurat
dilakukan atas semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan,
termasuk di dalamnya keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola
perusahaan. Dalam rangka perlindungan kepada pemegang saham,
8
perusahaan berkewajiban untuk melakukan keterbukaan (disclosure) atas
informasi atau perkembangan yang material baik secara periodik maupun
secara insidental.
6) Prinsip VI: Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi.
Prinsip yang terakhir berhubungan dengan tanggung jawab dewan
komisaris dan direksi perusahaan. Di dalam prinsip ini menyatakan bahwa
kerangka kerja tata kelola perusahaan harus memastikan pedoman strategis
perusahaan, monitoring yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta
akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.
9
Perusahaan harus mematuhi aturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan guna
terpeliharanya kesinambungan usaha dalam jangka panjang, serta
didapatnya pengakuan sebagai good corporate citizen.
d. Independensi (Independency)
Dalam melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
mampu ditata secara independen sehingga masing-masing bagian
perusahaan tidak saling mendominasi atau dapat diintervensi oleh pihak
lain.
e. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
10
Penerapan GCG akan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal.
1) Faktor Internal
a. Adanya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung
penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di
perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan
mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan yang didasarkan pada
kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapat sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan
untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk memahami setiap
kegiatan manajemen dalam perusahaan sehingga publik dapat
menyimak setiap perkembangan dan dinamika perusahaan dari
waktu ke waktu.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar perusahaan
yang dapat mempengaruhi penerapan GCG dalam perusahaan tersebut,
antara lain:
a. Adanya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin
supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan sektor publik/lembaga pemerintah untuk mewujudkan
GCG yang sebenarnya.
c. Adanya contoh penerapan GCG yang tepat (best practices) atau
acuan (benchmark) yang dapat menjadi standar pelaksanaan GCG
yang efektif dan profesional.
11
Secara umum, terdapat beberapa pihak yang dapat mempengaruhi
penerapan GCG, di antaranya yaitu:
a. Pelaku dan Lingkungan Bisnis
Meliputi seluruh entitas yang berpengaruh terhadap pengelolaan
perusahaan, seperti komunitas bisnis atau kelompok-kelompok yang
signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan, seperti
pekerja, supplier, dan pelanggan. Kelompok-kelompok di atas dapat
mempengaruhi jalannya perusahaan dengan derajat intensitas yang
berbeda-beda.
b. Pemerintah dan Regulator
Pemerintah dan badan regulasi berkepentingan untuk memastikan
bahwa pengelolaan keuangan perusahaan telah mematuhi semua
peraturan agar dapat memperoleh kepercayaan pasar dan investor.
c. Investor
Meliputi pihak yang berkaitan dengan pemegang saham dan pelaku
perdagangan saham, termasuk perusahaan investasi. Investor menuntut
ditegakkannya atau dijaminnya pengelolaan perusahaan sesuai standar
dan prinsip-prinsip etika bisnis.
d. Komunitas Keuangan
Komunitas keuangan meliputi pihak yang berkaitan dengan
persyaratan pengelolaan keuangan perusahaan termasuk persyaratan
pengelolaan perusahaan terbuka, seperti komunitas bursa efek, Bapepam-
LK, US SEC dan Departemen Keuangan RI. Setiap komunitas tersebut
mengeluarkan standar pengelolaan keuangan perusahaan dan menuntut
untuk dipatuhi/dipenuhi oleh perusahaan.
12
DAFTAR PUSTAKA
13