dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadburry Report. Laporan inilah yang menentukan
praktik corporate governance diseluruh dunia. Isu corporate governance semakin berkembang ketika
beberapa peristiwa ekonomi penting terjadi. Krisis keuangan Asia pada tahun 1997, dilanjut dengan
kejatuhan perusahaan besar seperti Enron dan Worldcom tahun 2002, serta adanya isu terbaru
yaitu krisis subprime mortage di Amerika Serikat pada tahun 2008. Peristiwa tersebut menyadarkan
dunia akan pentingnya penerapan good corporate governance. Dampak dari krisis tersebut, banyak
perusahaan berjatuhan karena tidak mampu bertahan.
Shaw (2012) menjelaskan bahwa terdapat dua teori utama yang terkait dengan GCG yaitu
stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis
mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak
dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang
tersirat dalam hubungan fidusia (kepercayaan) yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan
kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak
dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory
yang dikembangkan oleh Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai
“agents” bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi
kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang
saham.
Corporate governance dapat didefiniskan sebagai susunan aturan yang menentukan hubungan
antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan dan stakeholder internal dan
eksternal yang lain sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya (FCGI, 2003). Berikutnya
dikemukakan oleh OECD (2004) good corporate governance merupakan satu set hubungan antara
manajemen perusahaan, dewan, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya.
Selanjutnya menurut Prakarsa (2007:120) Corporate Governance adalah mekanisme administratif
yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang
saham dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain.
Tujuan utama dari good corporate governance adalah untuk menciptakan sistem pengendalian dan
keseimbangan (check and balance) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya dan tetap
mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan (nur ainy, Nurchahyo, A & B, 2013).
Terdapat 5 pilar GCG yang ditetapkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), yang
biasa kita kenal dengan konsep TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, and
Fairness), yaitu :
1. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan
dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
2. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
3. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4. Kemandirian (Independecy), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak Stakeholders yang
timbul berdasarkan perjanjian dan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan menurut Kaen dan Shaw (2012) terdapat empat komponen utama yang diperlukan
dalam konsep GCG yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat
komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten
terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat
aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai
fundamental perusahaan.
2. Pengertian GCG
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tidak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry misalnya
pada tahun 1992-melalui Cadburry report-mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut
Komite Cadburry, Good Corporate Governancce adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan
perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada shareholder khususnya dan stakeholders
pada umumnya.
Beberapa Negara mendifinisikan GCG dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit
perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), mendefinisikan GCG sebagai cara-cara
manajemen perusahaan bertanggung jawab kepada shareholdernya. Para pengambil keputusan di
perusahaan di perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan keputusannya dan keputusan
tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi stakeholders lainnya. Karena itu fokus utama OECD
terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung prinsip-prinsip
GCG transparebcy, responsibility, accountability dan fairness.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut
lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan
sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan
akuntabilitas perusahaan.
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) mendefinisikan CG sebagai proses dan
struktur yang ditetapkan dalam menjalankan perusahaan dengan tujuan utama meningkatkan nilai
Pemegang Saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang
lain.
Monks 2003, GCG secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.
Tata Kelola perusahaan yang baik menurut Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor:
PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate
Governance) pada Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya GCG adalah prinsip-prinsip yang
mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-
undangan dan etika berusaha.
Moeljono, 2005, Sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah (value addes) bagi semua stakeholder. Ada 2 hal yang ditekankan dalam konsep ini, yaitu
pentingnya hak Pemegang Saham untuk memeroleh informasi yang benar (akurat) dan tepat pada
waktunya, serta kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat,
tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kerja perusahaan, kepemilikan dan
stakeholders.
Dari berbagai definisi tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa pendekatan terhadap definisi GCG
lebih ditekankan pada pendekatan hard factors yang mengharuskan adanya infrastruktur serta
kebijakan atau SOP atau peraturan-peraturan yang mendukung penerapan GCG. Disisi lain, TIM CG
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan Good Corporate
Governance dengan sudut pandang yang sedikit berbeda dengan mencakupkan soft factors dalam
menjelaskan pengertian tersebut.Tata Kelola perusahaan yang baik atau GCG didefinisikan sebagai
komitmen, aturan main serta praktek penyelenggaraan bisnis secara sehat dan beretika dengan
menekankan keharusan adanya komitmen dalam pengaplikasiannya. Keberadaan kebijakan dan
kelengkapan infrastruktur GCG menjadi kehilangan makna tanpa didasari komitmen untuk
melaksanakannya.
Disinilah, betapa peran Pemilik Modal/Pemegang Saham, Dewan/Bawas/Dekom dan Direksi (Top
Management) sebagai TOP LEADER menjadi pendorong dalam kesungguhan pembangunan
Perusahaan yang ber-GCG dengan prinsip-prinsip.
1. Partisipasi
2. Responsibilitas
3. Independen
4. Kewajaran (Fairness)
5. Akuntabilitas
6. Transparansi
Atau disingkat PRIFAT. Penomoran prinsip mulai dari partisipasi sampai dengan transparansi bukan
menggambarkan derajat kepentingan dalam penerapan praktik GCG.
2. Stewardship Theory
Tidak seperti teori keagenan, teori stewardship mengasumsikan bahwa manajer adalah pengelola
dengan perilaku yang selaras dengan tujuan principal mereka. Teori ini mendasarkan pada adanya
toleransi yang baik dalam diri seorang manajer. Manajer dipandang setia kepada perusahaan dan
tertarik dalam pencapaian kinerja yang tinggi. Motif dominan, yang mengarahkan para manajer
untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, adalah keinginan mereka untuk melakukan tugas dengan
sangat baik. Secara khusus, manajer dipahami sebagai pihak yang termotivasi oleh kebutuhan untuk
mencapai kepuasan intrinsik melalui keberhasilan dalam melakukan pekerjaan yang menantang,
untuk melaksanakan tanggung jawab dan wewenang dan dengan demikian untuk mendapatkan
pengakuan dari pimpinan dan pihak lainnya terhadap keberhasilannya. Oleh karena itu ada unsur
motivator yang bersifat non keuangan bagi manajer. Teori ini juga berpendapat bahwa sebuah
organisasi membutuhkan struktur yang memungkinkan harmonisasi yang akan dicapai dari hubungan
yang efektif antara manajer dan pemilik.
Dengan kata lain, Stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya
untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.
3. Stakeholders Theory
Stake holder Theory atau Teori Pemangku Kepentingan memposisikan Pemeganag Saham/Pemilik
Modal hanya merupakan salah satu dari sejumlah kelompok stakeholder yang penting. Sama seperti
pelanggan, pemasok, karyawan dan masyarakat lokat. Pemegang saham memiliki saham di dan
dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan perusahaan.
Gibson 2000:247 menguraikan dalam jurnalnya bahwa dengan cara yang sama bahwa bisnis juga
memiliki tugas yang berbeda untuk berbagai kelompok pemangku kepentimgan.
Dalam kasus dimana ada konflik kepentingan antara Pemilik Modal/Pemegang saham dengan
stakeholder lainnya, maka kepentingan para Pemilik Modal/Pemegang Saham, harus dimoderasi atau
dikorbankan untuk memenuhi kewajiban dasar bagi pemangku kepentingan lainnya.
Dalam hukum perusahaan, Pemilik Modal/Pemegang saham diberi status unggulan sebagai pemilik
perusahaan. Mereka mampu memilih semua atau sebagian besar anggota Direksi, memiliki hak untuk
mempekerjakan dan memecat para eksekutif senior dan menyetujui atau menolak kebijakan penting
dan strategi perusahaan.
Karena status yang luar biasa dan kendali yang dimiliki oleh Pemilik Modal/Pemegang Saham
berdasarkan hukum perusahaan, teori pemangku kepentingan cenderung mencurahkan perhatian
yang lebih sedikit untuk membela hak-hak Pemilik Modal/Pemegang Saham.Asumsinya adalah
bahwa Pemilik Modal/Pemegang Saham sudah memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa
kepentingan mereka diperhitungkan oleh perusahaan dan para manajernya. Teori stakeholder yang
telah mempertimbangkan hak-hak Pemilik Modal/Pemegang Saham biasanya mencoba untuk
menunjukkan mengapa hak-hak ini harus dibatasi oleh hak atau kepentingan kelompok stakeholder
lainnya.
Dari ketiga uraian konsep yang mendasari Good Corporate Governance terlihat bahwa kesamaannya
terletak pada pengamatan pola hubungan atau interaksi antara pemilik modal/pemegang
saham/Dewas/Bawas/Dekom dengan Direksi dalam pemenuhan kepentingan masing masing pihak.
Efektivitas interakti tersebut menciptakan sinergitas hubungan yang memengaruhi laju pertumbuhan
nilai perusahaan secara positif dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholdes lainnya.
Menurut The World Business Council for Sustainable Development didalam Rahman (2009:10)
menjabarkan pengertian CSR sebagai suatu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan
tersebut, berikut komunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup.
Dari berbagai pengertian ahli diatas, secara sederhana Corporate Social Responsibility (CSR)
adalah suatu konsep serta tindakan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sebagai rasa
tanggung jawabnya terhadap social serta lingkungan sekitar dimana perusahaan itu beroperasi /
berdiri. Seperti melaksanakan suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar, membangun fasilitas umum, menjaga lingkungan sekitar, memberikan beasiswa kepada
anak yang tidak mampu, dan memberikan bantuan dana untuk kesejahteraan masyarakat banyak
pada umumnya dan masyarakat sekitar perusahaan pada khususnya.
ilustrasi program CSR dengan memberikan bantuan air bersih kepada masyarakat
Program CSR (Corporate Social Responsibility) adalah investasi jangka panjang yang
bermanfaat untuk meminimalisasi risiko sosial, serta berfungsi sebagai sarana meningkatkan
citra perusahaan di mata publik. Salah satu implementasi program CSR adalah dengan
pengembangan atau pemberdayaan masyarakat (Community Development). Oleh karena itu CSR
juga berfungsi sebagai investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan
(sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan
sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre).
Sementara jika dijabarkan lebih lanjut, CSR mempunyai manfaat atau fungsi bagi
perusahaan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Saat ini ada banyak perusahaan besar yang memberikan perhatiannya kepada lingkungan hidup
dan melakukan program CSR (Corporate Sosial Responbility), contohnya seperti perusahaan-
perusahaan dibawah ini:
3. Pertamina
Pertamina berkomitmen dalam program CSR-nya dengan membantu pemerintah Indonesia
dalam memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia melalui pelaksanaan
program-program yang membantu tercapainya target pembangunan, dan membangun hubungan
harmonis serta kondusif dengan semua pihak stakeholder (pemangku kepentingan) untuk
mendukung tercapainya tujuan perusahaan terutama dalam membangun reputasi perusahaan.