Anda di halaman 1dari 7

SERLI LABADJO

A 111 14 022
Legenda Danau
Poso

Alkisah di masa lampau hiduplah seorang laki laki bersama istrinya tercinta di sebuah desa. Mereka
hidup rukun dan bahagia. Laki laki itu bernama Ue Bailolo. Sehari hari Ue Bailolo bekerja sebagai
petani. Hasil pertanian mereka cukup untuk memberikan penghidupan yang sederhana.

Ue Bailolo dan istrinya tergolong tidak muda lagi. Sekian tahun pernikahan yang dilalui bersama
istrinya belum juga memberikan buah hati untuk Ue Bailolo. Meski demikian Ue Bailolo dan istrinya
tidak putus asa. Mereka terus saja memohon kepada Yang Kuasa agar dikaruniai seorang anak.
Keinginan itu makin menjadi manakala mereka memikirkan siapa gerangan yang akan membantu
mereka bertani jika usia mereka semakin tua nanti.

Pada suatu malam Ue Bailolo bermimpi. Dalam mimpinya Ue Bailolo yang sedang berdiri di depan
rumahnya didatangi seorang lelaki muda berparas tampan yang mengendarai seekor kerbau liar
berwarna putih. Lelaki itu menghentikan kerbaunya dan turun di depan Ue Bailolo. Ia segera
memperkenalkan diri. Nama saya Manurung, ujarnya sambil tersenyum. Apa maksudmu berkunjung
kemari ? tanya Ue Bailolo. Aku tidak bermaksud buruk padamu, jawab Manurung dengan suara
ramah. Aku hanya datang untuk memperkenalkan diri. Suatu hari nanti aku akan kembali kesini,
tambahnya sambil naik ke punggung kerbau. Tak lama kemudian Manurung dan kerbaunya pergi
meninggalkan Ue Bailolo.

Keesokan harinya ketika bangun pagi, Ue Bailolo masih teringat akan mimpinya yang aneh. Ia tidak
menceritakan perihal mimpinya itu pada istrinya. Ia menyimpannya seorang diri.

Pagi itu Ue Bailolo pergi hutan untuk mencari bambu. Ia berkeinginan membuat tempat duduk untuk
bersantai di beranda depan rumahnya. Ketika Ue Bailolo tengah memotong sebatang pohon bambu
yang berukuran cukup besar di pinggir hutan, ia mendengar sebuah suara yang berasal dari semak
semak. Tolong jangan potong terlalu rendah Pak, kau bisa melukai lenganku, terdengar sebuah
suara perempuan muda bernada khawatir.

Ue Bailolo terkejut mendengar suara itu. Ia berhenti memotong dan menunggu pemilik suara
menampakkan diri. Setelah menunggu beberapa saat, tak seorangpun muncul. Ue Bailolo mulai
ketakutan. Dengan badan gemetar menahan rasa takut, Ue Bailolo segera berlari pulang. Sesampai
di rumah, Ue Bailolo menceritakan apa yang baru dialaminya kepada istrinya.

Istri Ue Bailolo menganjurkan suaminya agar menyajikan sesajen di semak semak tempat
terdengarnya suara tadi. Ue Bailolo setuju. Segera ia menyiapkan seekor ayam putih dan berbagai

jenis kembang untuk sesajen. Mereka percaya sesajen itu akan menghindarkan mereka dari bala
yang sekiranya akan menimpa mereka.

Keesokan harinya Ue Bailolo mulai memotong dan meraut bambu yang ditebangnya kemarin.
Dengan tekun ia menganyam bambu itu hingga menjadi sebuah tempat duduk sederhana yang
diletakkannya di beranda depan. Karena Ue Bailolo menganggap arwah perempuan muda yang
suaranya ia dengar kemarin masih berdiam di bambu itu, Ue Bailolo dan istrinya menyiapkan beras
putih yang direndam air dalam sebuah mangkok dan meletakkannya diatas tempat duduk itu. Mereka
menutup tempat duduk itu dengan sehelai kain putih.

Tiga hari kemudian, Ue Bailolo dan istrinya mencium wewangian yang berasal dari beranda depan.
Alangkah terkejutnya Ue Bailolo dan istrinya takkala mereka membuka pintu rumah, tampaklah
seorang perempuan muda cantik jelita sedang berdiri tersenyum memandang mereka. Tempat duduk
bambu dan sesajen diatasnya hilang entah kemana. Perempuan muda itu mengangguk sopan seraya
berkata, Saya datang dari surga untuk menetap di rumahmu Ue Bailolo. Tuhan menyuruh saya
menunggu calon suami saya disini.

Ue Bailolo dan istrinya hanya diam terpaku. Mereka masih merasa terkejut atas kehadiran
perempuan muda itu. Beberapa saat kemudian Ue Bailolo berkata, Kami sama sekali tak keberatan
kau tinggal disini. Kami harap kau tidak kecewa dengan kondisi rumah kami yang sangat sederhana.
Ue Bailolo masih heran mengapa Tuhan mengirim perempuan di hadapannya itu untuk tinggal di
rumahnya.

Perempuan muda itu senang sekali Ue Bailolo dan istrinya menerima kedatangannya dengan baik.
Semoga Tuhan memberkahimu dan istrimu, Ue Bailolo, kata perempuan yang kemudian diketahui
bernama Lalung.

Hari demi hari berlalu. Ue Bailolo dan istrinya merasa hidup mereka lebih semarak sejak kehadiran
Lalung. Mereka menganggap Lalung sebagai anaknya. Lalungpun merasakan hal yang sama. Ia
menganggap Ue Bailolo dan istrinya sebagai orang tuanya dan sangat menghormati mereka.

Pada suatu hari Lalung mengutarakan keinginannya untuk menyantap daging merpati putih.
Walaupun agak heran atas permintaan Lalung, Ue Bailolo berusaha memenuhi permintaan anak
angkatnya itu. Berangkatlah Ue Bailolo ke hutan membawa peralatan memanah. Setelah seharian
berjalan, Ue Bailolo tak melihat seekorpun burung merpati di hutan itu. Ue Bailolo akhirnya tertidur
dibawah sebuah pohon karena kelelahan.

Tengah malam Ue Bailolo bermimpi bertemu lagi dengan Manurung, pemuda tampan yang datang ke
dalam mimpinya beberapa bulan lalu. Manurung berkata Tuhan akan menolongnya. Benar saja,
Keesokan harinya Ue Bailolo berhasil memanah seekor merpati putih yang melintas ketika ia sedang
beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.

Ketika Ue Bailolo pergi berburu merpati putih ke dalam hutan, Manurung yang ditemuinya dalam
mimpi benar benar datang ke rumahnya. Nama saya Manurung, katanya kepada istri Ue Bailolo
yang menyambut kedatangannya. Istri Ue Bailolo segera menyuruh pemuda itu turun dari kerbaunya.
Tidak sekarang, katanya menolak permohonan istri Ue Bailolo sambil tersenyum ramah.

Pemuda tampan itu menanam pohon bunga matahari yang memiliki satu kuncup bunga di halaman
rumah Ue Bailolo. Jika yang memetik bunga matahari ini seorang laki laki, aku akan menjadikannya
seorang sahabat. Jika ia seorang wanita, akan kujadikan istriku, ujarnya di depan istri Ue Bailolo
yang memandangnya dengan heran. Walaupun tak mengerti apa maksud pemuda itu, istri Ue Bailolo
tersenyum ketika pemuda itu pamit kepadanya. Istri Ue Bailolo memandang Manurung dengan
kerbaunya sampai hilang dari pandangan.

Lalung sangat gembira ketika Ue Bailolo pulang membawa merpati putih. Istri Ue Bailolo segera
memasak merpati itu . Kesibukannya membuat istri Ue Bailolo lupa menceritakan perihal kedatangan
Manurung tadi pagi. Siang itu, Ue Bailolo, istrinya, dan Lalung menyantap daging merpati putih yang
lezat itu dengan lahap.

Pada suatu pagi, Ue Bailolo yang sedang memberi makan ternaknya baru menyadari ada pohon
bunga matahari tumbuh di halamannya. Ketika ia menanyakan perihal itu kepada istrinya, istri Ue
Bailolo teringat akan Manurung. Iapun menceritakan kedatangan Manurung ke rumah mereka ketika
Ue Bailolo sedang berburu tempo hari.

Ue Bailolo tersenyum mendengar cerita istrinya. Ia teringat akan mimpinya dan yakin bahwa pemuda
tampan yang datang ke rumahnya adalah pemuda yang ditemuinya dalam mimpi. Entah mengapa,
Ue Bailolo merasa semua ini pertanda baik untuknya.
Beberapa hari kemudian, Manurung datang kembali ke rumah Ue Bailolo. Selamat pagi Ue Bailolo,
sapanya ringan. Saya datang untuk menanyakan bunga matahari kepunyaan saya. Saya lihat bunga
itu tak ada di pohonnya. Siapakah yang memetik bunga itu ?, tanyanya lagi.
Ue Bailolo yang merasa telah mengenal Manurung segera menjawab, Maaf Manurung, anak kami
Lalung telah memetik bunga itu, suara Ue Bailolo terdengar menyesal. Manurung tidak marah
mendengar jawaban Ue Bailolo. Ia bahkan memohon untuk dipertemukan dengan Lalung.

Manurung yang melihat Lalung sedang duduk di teras sangat terpesona melihat kecantikan wajah
perempuan itu. Lalungpun demikian. Ia terlihat kagum ketika Manurung menyapanya. Sambil
memegang tangkai bunga matahari yang baru dipetiknya, Lalung berdiri menyambut kedatangan
Manurung. Sejak pertemuan itu, Manurung dan Lalung sama sama jatuh cinta dan seakan tak ingin
terpisahkan.

Setelah merajut kasih beberapa waktu, akhirnya Manurung memutuskan untuk segera menikahi
Lalung. Pesta meriahpun digelar. Para penduduk membantu Ue Bailolo dan istrinya
menyelenggarakan pesta meriah itu. Sejak menikah, pasangan Manurung dan lalung menetap di
rumah Ue Bailolo. Mereka menganggap Ue Bailolo dan istrinya sebagai orang tua mereka.
Sejak kehadiran Manurung di rumah mereka, kehidupan Ue Bailolo terus membaik. Hasil panennya
melimpah ruah. Karena kekayaannya yang terus bertambah, lama lama Ue Bailolo menjadi orang
paling kaya di kampungnya.

Menantu angkat Ue Bailolo, Manurung, menarik simpati banyak orang di kampungnya. Walaupun
usianya terbilang muda, Manurung merupakan seorang yang cakap dan bijaksana. Tak heran jika

kemudian para penduduk desa mengangkatnya sebagai raja. Para penduduk menilai Manurung
adalah sosok yang selama ini mereka dambakan untuk menjadi pemimpin mereka.

Sejak dirinya diangkat menjadi raja, Manurung biasa berkeliling kampung untuk melihat kondisi
rakyatnya. Pada suatu hari, ia mendatangi sebuah daerah yang kerap mengalami kekeringan di
musim kemarau. Akibatnya ladang dan sawah mereka mengering. Kelaparan mengancam dan
penyakitpun merajalela.

Manurung segera memerintahkan penduduk untuk menggali sumur di setiap rumah. Sungguh aneh,
dari sekian banyak sumur yang telah digali, tak satupun yang mengeluarkan air. Akhirnya Manurung
berjalan menuruni lembah yang berada tak jauh dari situ. Ia berlutut dan berdoa memohon
pertolongan Yang Kuasa. Atas petunjukNya, Manurung menancapkan tombak saktinya ke tanah.
Serta merta air menyembur keluar dari dalam tanah bekas hujaman tongkatnya.

Air terus menyembur keluar tiada henti meski Manurung telah mendaki lembah itu dan
memandangnya dari atas. Lama lama air menutupi seluruh lembah dan membentuk sebuah danau.
Melihat kejadian itu, seluruh rakyat benar benar yakin kalau Manurung adalah pemimpin yang diutus
Tuhan untuk membawa kesejahteraan bagi mereka. Sejak kehadiran danau itu, penduduk sekitar
tidak pernah lagi mengalami kekeringan. Danau itulah yang sekarang ini dikenal sebagai Danau Poso
yang terletak di Sulawesi Tengah.

Chyntia Nelamaria Hebingadil


A 111 14 007

Legenda Batu Menangis


Legenda Batu Menangis (Cerita Rakyat Kalimantan )
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan
seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk.
Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap
kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya
yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu
amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan
melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang
melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil
membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak
seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu
terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya
memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu,
sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu,
Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
Bukan, katanya dengan angkuh. Ia adalah pembantuku !
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi
seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?
Bukan, bukan, jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. Ia adalah budakk!
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal
ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat
menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat
menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya

memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah
dia.
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi
batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak
gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. IbuIbuampunilah
anakmu.. Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi,
semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun
menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata,
seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan
ibunya itu disebut Batu Menangis .
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah
itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah
melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari
Tuhan Yang Maha Kuasa
Versi lain
Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda setengah jam telah memiliki pertanda dari alam. Putri
lahir ditengah cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul saat cuaca
membaik.
Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan berakhlak
lembut, penyabar, dan pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan mencemaskan.
Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang dan Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren dengan
harapan anaknya bisa berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi tanpa bisa
dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren.
Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi putri suluangnya, keteledoran Putri membuat gudang
dimana ia biasa bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah yang
berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik permanen.
Takut bakal dihukum akibat perbuatannya, Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke
perangkat Julig, seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah.
Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan untuk pembangunan sebuah resort di pinggir pantai
yang dikelola Darwin seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni hutan tepi
pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh Julig dan Darwin.

Saat Awang dan Sari dibuat bingung mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak biaya,
Putri malah hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan pekerjaan sebagai
pendamping anak tunggal mereka Elok.
Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri yang
telah mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan Sugari sudah
tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana jin.
Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga
dengan Awang dan Sari serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan
karena mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun.
Lagi-lagi suasana tentram hanya berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah
terbiasa bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah terancam
bangkrut.
Sikapnya terhadap keluarga juga sangat buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu seperti
pembantu, Putri juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang berusaha membela
Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, hingga menemui
ajalnya.
Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi keluarga yang semakin morat-marit, apa yang harusnya
terjadi tidak bisa dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat kelakuan Putri.
Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada suami-istri jin Ranggada dan Sugari.
Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi
sebuah patung batu yang terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon, air
itu adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat

Anda mungkin juga menyukai