Abstrak: Sebagian besar kasus pneumotoraks ditunjukkan oleh foto polos toraks
posisi posteroanterior (PA) dengan inspirasi penuh. Film yang diambil saat ekspirasi
memiliki peran dalam pengelolaan klinis pasien dengan cadangan pernapasan kecil
seperti pada pasien yang dicurigai pneumotoraks, yang tidak terlihat pada film yang
diambil saat inspirasi. Foto polos toraks PA dapat digunakan untuk diagnosis
pneumotoraks spontan ataupun tidak spontan. Ketika radiografi digital digunakan,
untuk sebagian besar penulis, resolusi spasial 2.5-lp/mm memberikan hasil yang
memuaskan dalam mendeteksi pneumotoraks.
Kata kunci : radiografi , computed tomography , pneumotoraks , Xray dada
posteroanterior.
Pendahuluan
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya gas atau udara pada rongga pleura yang
dapat bersumber dari manapun. Diagnosis dini dan akurat sangat penting dalam
mencegah distress napas dan kematian. Sebagian besar pneumotoraks ditunjukkan
oleh foto polos toraks PA yang diambil pada inspirasi penuh. Diagnosis radiografi
pneumotoraks pada foto polos toraks PA ditegakkan dari adanya garis antara pleura
viseral dan pleura parietal yang dipisahkan oleh wilayah udara radiolusen. Pembuluh
darah pulmonal diikuti dengan garis pleura viseral, tetapi tidak melebihinya. Dalam
review ini, kita membahas metode, manfaat dan resolusi dari foto polos toraks PA
dalam mendiagnosis pneumotoraks.
Metode
Pada foto polos toraks, proyeksi yang paling sering digunakan adalah posteroanterior
(PA), anteroposterior (AP) dan lateral. Pada proyeksi PA, sumber X-ray diposisikan
sehingga sinar-X masuk melalui posterior (belakang) aspek dada dan keluar dari
anterior (depan) aspek dada. Proyeksi ini dilakukan dengan posisi dada subjek
berlawanan dengan pemegang film atau detektor piring. Tabung Xray berada di
1
belakang pasien dan sinar X-ray lewat di dari belakang dan keluar keluar dari bagian
depan dada. Sedangkan pada proyeksi AP, posisi dari sumber X-ray dan detektor
terbalik, sinar-X masuk melalui aspek anterior dan keluar melalui aspek posterior
aspek dada. Foto AP lebih sulit untuk ditafsirkan daripada foto PA, oleh karena itu
umumnya foto dengan posisi ini dilakukan untuk situasi di mana pasien sulit untuk
melakukan foto toraks yang normal seperti seperti ketika pasien tidak dapat bangun
dari tempat tidur. Dalam situasi ini, peralatan X-ray mobile digunakan untuk
mendapatkan foto polos toraks lying down (dikenal sebagai supine film).
Akibatnya, sebagian besar supine film juga dilakukan dengan proyeksi AP. Untuk
tujuan interpretatif, perbedaan utama antara proyeksi AP dan PA adalah bahwa
jantung akan terlihat lebih besar pada proyeksi AP. Pneumotoraks yang minimal akan
pergi ke anterior permukaan pleura dan akan sulit untuk dievaluasi. Proyeksi lateral
dada diperoleh dengan cara yang sama seperti proyeksi PA, kecuali pada proyeksi
lateral, pasien berdiri dengan mengangkat lengan kiri dan sisi kiri dada ditekankan
pada bidang datar. Pada proyeksi lateral, karena kurangnya bayangan komposit, udara
bebas dengan volume yang kecil dapat terdemonstrasikan secara pararel pada dinding
dada, dengan sensitivitas yang sama dengan computed tomography (CT).
Jika ada keraguan diagnostik mengenai adanya pneumotoraks, dapat dilakukan foto
polos toraks ekspirasi atau lateral dekubitus. Alasan untuk meminta foto polos toraks
ekspirasi adalah bahwa volume udara dalam rongga pleura relatif lebih besar dalam
kaitannya dengan volume paru-paru sehingga pemisahan pleura membuat permukaan
viseral terlihat lebih jelas. Foto dekubitus dengan sisi yang sehat di bawah biasanya
diperuntukkan bagi pasien yang tidak dapat menjalani radiografi dalam posisi tegak.
Pada foto lateral dekubitus, karena kurangnya bayangan komposit, udara bebas
dengan volume yang kecil dapat terdemonstrasikan secara pararel pada dinding dada.
Namun, dalam sebuah penelitian yang membandingkan pendeteksian pneumotoraks
pada saat ekspirasi dengan posisi tegak dan lateral dekubitus yang dilakukan dengan
posisi sisi yang diduga sakit diatas, penulis menemukan bahwa ahli radiologi lebih
sering menemukan pneumotoraks pada foto toraks tegak daripada foto toraks
dekubitus saat ekspirasi.
Beberapa penulis telah menyarankan bahwa foto polos toraks pada saat ekspirasi
lebih sensitif daripada foto polos toraks saat inspirasi meskipun didasarkan pada studi
yang tidak terkendali dengan baik. Namun, penelitian lain mempertanyakan
penggunaan rutin dari foto polos toraks ekspirasi karena dampaknya yang
menyebabkan biaya pemeriksaan dan dosis radiasi bertambah dua kali lipat dan
mungkin tidak memberikan informasi yang lebih dari sebuah foto polos toraks
inspirasi saja. Kurang dari 4% kasus pneumotoraks tidak terlihat pada foto polos
toraks inspirasi. Di sisi lain penggunaan foto polos toraks ekspirasi saja akan
menghambat interpretasi dada, menimbulkan opasitas atau kekeruhan yang false
positive. Foto polos toraks ekspirasi mungkin memiliki peran dalam pengelolaan
klinis pasien dengan cadangan pernapasan kecil yang diduga memiliki pneumotoraks
dan tidak terlihat pada foto polos toraks inspirasi.
Diketahui juga bahwa ukuran pneumotoraks merupakan faktor penentu penting untuk
pengobatan. British Thoracic Society menyebutkan, pneumotoraks disebut "kecil "
bila ukurannya kurang dari 2 cm dan " besar " bila ukuran pneumotoraks lebih besar
dari 2 cm . The American College of Chest Physicians mempertimbangkan,
pneumotoraks berukuran kecil adalah pneumotoraks yang jarak apeks ke kupolanya
kurang dari 3 cm dan pneumotoraks berukuran besar memiliki jarak apeks-kupola
lebih atau sama dengan 3 cm. Gold standard untuk menentukan ukuran
pneumotoraks adalah pengukuran volume CT. Metode obyektif yang paling umum
digunakan untuk memperkirakan ukuran pneumotoraks adalah metode Rhea . Metode
ini menggunakan jarak rata-rata interpleural, yang diperoleh dari tiga pengukuran
linear : dengan posisi tegak foto polos toraks PA ditentukan, jarak interpleural pada
apikal maksimum, titik tengah dari setengah bagian atas paru-paru , dan titik tengah
dari setengah bagian bawah paru-paru untuk memperkirakan ukuran pneumotoraks
dalam
persen
menggunakan
nomogram.
Dalam
sebuah
penelitian
yang
cukup akurat untuk pneumotorak berukuran kecil tetapi secara signifikan dapat salah
memperkirakan ukuran pneumotoraks lebih besar.
Foto konvensional telah mengalami transisi menjadi foto digital karena dosis paparan
radiasinya lebih rendah dan keuntungannya pada proses pengolahan foto, pemindahan
dan penyimpanan foto. Gambaran utama dari foto digital adalah pemisahan akuisisi
foto dan tampilannya. Foto digital yang diperoleh dapat diproses untuk mengkoreksi
foto dengan paparan berlebih atau paparan yang kurang, ataupun untuk meningkatkan
informasi diagnostik yang berkaitan sebelum foto ditampilkan. Foto digital dapat
dibagi dalam 2 kategori yaitu computed radiography (CR) dan digital radiography
(DR). CR menggunakan photostimulable storage phosfor yang menyimpan gambar
dan diproses menggunakan stimulating laser beam (rangsangan sinar laser) dan dapat
dengan mudah disesuaikan dengan sistem kaset analog yang digunakan pada layar
film radiografi. DR digunakan untuk menggambarkan sebuah sistem foto x-ray
digital yang membaca sinyal x-ray secepat mungkin setelah paparan dari detektor.
Walaupun sebagian besar pneumotoraks didiagnosis dengan foto polos toraks, CT
scan tetap merupakan pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis pneumotoraks.
CT scan lebih sensitif dibandingkan dengan foto polos toraks untuk mendeteksi
pneumotoraks. Sebesar 25%-40% pneumothorax post biopsy yang ditemukan dengan
CT scan tidak ditemukan pada foto polos toraks. Namun, CT scan umumnya tidak
diperlukan kecuali pada kelainan yang ditemukan pada foto polos toraks yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut atau dicurigai terjadi kesalahan dalam
penempatan selang chest tube. CT scan dengan resolusi tinggi juga bermanfaat ketika
dicurigai terdapat parenchymal lung disease yang mendasari tetapi tidak dapat
teridentifikasi dengan jelas dengan menggunakan rontgen dada. Salah satu indikasi
yang utama untuk dikerjakan CT scan adalah untuk membadakan bulla emfisematosa
dengan pneumotoraks yang sulit dideteksi dengan radiografi standar. Pada pasien
dengan emfisema berat, garis pleura kemungkinan susah untuk dilihat karena
penampakan tulang yang hiperlusen yang mengakibatkan perubahan minimal pada
radiodensitas paru dan pneumotoraks. Secara umum, garis pleura yang berhubungan
4
Gambar 1. Sebuah garis tipis yang disebabkan oleh pleura viseral terlihat terpisah dari lateral dinding
dada (panah). Perhatikan bahwa tidak ada pembuluh paru yang terlihat di luar garis ini dan garisnya
melengkung.
Gambar 2. Pada foto toraks posteroanterior, hemithorax kanan sangat gelap atau Lucent karena paruparu kanan hampir kolaps.
Pada pasien dengan posisi supinasi, bagian tertinggi dari rongga dada anterior atau
anteromedial teretak pada dasar dekat diafragma dan udara bebas pleura meningkat
pada regio ini. Jika pneumotoraks berukuran kecil atau sedang, paru-paru tidak
terpisah dari dinding dada lateral atau pada apeks, oleh sebab itu pneumotoraks tidak
bermakna. Tanda-tanda radiologi pada tension pneumothorax yang besar meliputi
pergeseran mediastinum secara kontralateral, pergeseran inferior diafragma,
hyperlucent hemithorax, dan kolaps paru ipsilateral. Tanda pneumotoraks pada pasien
supinasi meliputi peningkatan radiolusen hemitoraks; peningkatan ketajaman dan
kedalaman batas mediastinal dan diafragma yang berdekatan; terkadang terlihat
seperti lidah, sulkus costophrenic; gambaran anterior sulkus costophrenic;
peningkaan ketajaman batas jantung; gambaran kolaps paru di tepi inferior bagian
atas diafragma; dan penekanan hemidiafragma ipsilateral.
Penggunaan
Foto thoraks PA dapat berguna untuk mendiagnosis pneumotoraks spontan dan tidak
spontan. Pneumotoraks spontan, yang terjadi tanpa suatu peristiwa pencetus yang
jelas, dapat dibagi menjadi primary spontaneous pneumothorax (PSP) dan secondary
spontaneous pneumothorax (SSP). PSP terjadi pada pasien tanpa gejala pra-klinis
penyakit paru, dimana SSP ditemukan dengan penyakit penyerta seperti penyakit paru
obstruksi kronis. Pneumotoraks tidak spontan dapat dibagi menjadi kasus trauma
iatrogenik dan non-iatrogenik. Pneumotoraks non-iatrogenik umumnya disebabkan
oleh trauma, sedangkan pneumotoraks iatrogenik disebabkan oleh intervensi medis.
CT-scan dada tidak secara rutin diindikasikan pada PSP karena tidak ada hubungan
antara adanya blebs subpleura dan kekambuhan pneumotoraks.
Pada pasien dengan trauma tusuk, jumlah kejadian pneumotoraks sekitar 17%, yang
menurun dengan penggunaan radiografi dada tegak lurus. Meskipun radiografi dada
tegak lurus (berdiri) lebih baik pada posisi supinasi (terlentang) untuk mendeteksi
pneumotoraks (sensitifitas masing-masing 92% dan 50%), tidak mungkin
memperoleh gambaran pada pasien dengan trauma tumpul dan tajam karena beberapa
pertimbangan,
seperti
perlindungan
trauma
tulang
servikal, ketidakstabilan
sakit pendidikan perawatan tersier, pasien klinis stabil, yang belum pernah menerima
iradiasi dada hanya memiliki satu kali kesempatan untuk percobaan torakosintesis
tanpa aspirasi udara apapun, dan tidak ada operator memiliki risiko rendah untuk
pneumotoraks (sekitar 1%) dengan konsekuensi minimal sekitar 60% dari radiografi
dada yang diperoleh setelah torakosintesis. Pada penelitian retrospektif dengan pasien
rawat jalan, diidentifikasikan bahwa setelah torakosintesis foto polos toraks harus
dibatasi pada pasien dengan gejala yang terindikasi torakosintesis disebabkan oleh
pneumotoraks.
Transthoracic sonography (TS) telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam
pneumotoraks dan hidropneumotoraks. Dalam sebuah penelitian untuk mendeteksi
pneumotoraks setelah transthoracic sonography dengan dibantu biopsi paru, TS sama
efektifnya dengan foto polos torak PA. Namun, TS tidak dianggap sebagai alat yang
handal untuk memperkirakan ukuran dari pneumotoraks. Meskipun sensitivitas,
spesifisitas, dan keakuratan TS tinggi, namun foto polos toraks PA mungkin masih
berguna untuk menilai ekstensi pneumotoraks dan ketika ada perbedaan antara hasil
TS dan presentasi klinis yang muncul. Dalam kejadian trauma, TS lebih sensitif
dibandingkan foto polos toraks terlentang dan memiliki sensitifitas yang sama dengan
CT pada diagnosis pneumotoraks karena trauma.
Kanulasi vena sentral dilakukan pada berbagai bangsal rumah sakit, pada pasien
kritis, untuk mengelola kemoterapi hemodialisis atau nutrisi parenteral. Komplikasi
muncul pada lebih dari 15% insersi kateter vena sentral (CVC). Insiden
pneumotoraks dilaporkan berkisar antara 1,3%-1,6%. Pasca prosedur foto toraks
digunakan untuk dokumentasi penempatan kateter yang benar dan untuk mendeteksi
komplikasi seperti pneumotoraks. Beberapa penulis telah merekomendasikan bahwa
foto polos toraks diperoleh setelah CVC dipasang. Baru-baru ini, beberapa penelitian
pada populasi dewasa disimpulkan bahwa pasca prosedur radiografi dada setelah
dipandu insersi CVC, tidak diperlukan kecuali jika ada indikasi klinis. Pada
penelitian retrospektif pada anak-anak, penulis menemukan bahwa setelah
fluoroskopi percutaneous yang dipandu insersi CVC adan tidak adanya indikasi
8
klinis, penggunaan pasca prosedur radiografi tidak dapat dibenarkan dan biayanya
tidak efektif.
Foto polos toraks biasanya diminta secara rutin setelah flexible bronchoscopy (FB)
dengan transbronchial biopsy (TBB) untuk menyingkirkan pneumotoraks yang dapat
terjadi pada 1%-6% kasus. Namun, pada sebuah studi retrospektif , 207 prosedur FB
telah ditelaah dan penulisnya menyimpulkan foto polos toraks postbrancoscopic
jarang memberikan informasi yang berguna secara klinis atau mendeteksi komplikasi
yang tidak terduga. Pada studi retrospektif yang lain, penulis menemukan kombinasi
nyeri dada dan dan munculnya kolaps paru pada pre foto polos toraks fluoroskopi
mengindikasikan post-TBB pneumotoraks dan tidak adanya aturan efektif untuk
pneumotoraks. Sebuah studi prospektif brau-baru ini mengatkan temuan dari studi
sebelumnya dan disimpulkan bahwa foto polos toraks rutin setelah FB dengan
fluoroskopi dipandu TBB hanya untuk pasien dengan gejala sugestif pneumotoraks.
Resolusi
Pneumotoraks adalah salah satu kondisi yang paling sulit diketahui menggunakan
radiografi digital dengan resolusi rendah seperti 1,25 pasang garis per milimeter
(lp/mm). Gambar dengan resolusi yang lebih baik (2.5 lp/mm) dan gambar tidak
tajam lebih baik dibandingkan dengan gambar dengan resolusi kasar (1,25 lp/mm)
untuk diagnosis pneumotoraks. Saat ini, untuk sebagian besar penulis, resolusi spasial
2.5 lp/mm menghasilkan gambar yang memuaskan untuk mendeteksi pneumotoraks.
Dalam sebuah penelitian yang dikembangkan untuk membandingkan kinerja observer
dalam menggunakan radiografi konvensional, radiografi digital (dicetak pada film
laser), dan radiografi digital (2.048 2.048 12 bit) ditampilkan pada tampilan
hitam putih resolusi tinggi (2.560 2.048 12 bit), perbedaan yang terdeteksi untuk
mengenali pneumotoraks terlihat pada resolusi 2.048 2.048 12 bit. Dalam sebuah
penelitian
multiobserver,
penurunan
kinerja
observer
dalam
mendeteksi
pneumotoraks terlihat signifikan ketika radiograf dicetak dengan laser atau digunakan
resolusi tinggi dibandingkan dengan radiograf konvensional.
10