Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertusis merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang
setiap orang yang rentan terkena pertusis seperti anak yang belum diimunisasi
pertusis atau orang dewasa dengan kekebalan tubuh yang menurun. Pertusis disebut
juga dengan whooping cough, tussis quinta, violent cough atau batuk seratus hari.
Disebut juga dengan whooping cough (batuk rejan) oleh karena penyakit ini
ditandai dengan adanya sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik
dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk
menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas. Penyakit
pertusis pertama kali dikenal di Paris, Prancis pada tahun 1578, namun kuman
penyebabnya baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan Gengou. Pertusis
disebabkan oleh Bordetella pertussis yang hanya menyerang manusia. Bakteri
tersebut ditularkan melalui sekresi udara pernafasan (droplet).(1,2)
Pertusis masih merupakan salah satu penyebab terbesar kesakitan dan kematian
pada anak, terutama pada negara berkembang. Pada era sebelum penggunaan
antibiotik dan imunisasi, insiden dan angka kematian pertusis sangat tinggi yang
terjadi pada anak kurang dari 5 tahun. Setelah penggunaan antibiotika dan
imunisasi, terjadi penurunan yang sangat signifikan dari kasus dan mortalitas
dupertusis. Imunisasi pertusis (dikombinasikan dengan imunisasi dipteri dan
tetanus) pertama kali digunakan oleh World Health Organization dalam Expanded
Programme on Immunization (EPI) pada tahun 1974. Menurut data pada tahun
2008, didunia diperkirakan sebanyak 82% kelahiran sudah mendapatkan imunisasi
dipteri, pertusis dan tetanus (DPT).(4)
Angka kejadian pertusis di dunia diperkirakan mencapai 50 juta kasus dan
300.000 kematian setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, pertusis merupakan
penyakit endemis dengan periode epidemi setiap 3-5 tahun dan menjadi wabah.
Pada tahun 2005, dilaporkan terjadi 25.000 kasus pertusis, sedangkan pada tahun
2009 dilaporkan terjadi 17.000 kasus pertusis dan banyak kasus yang tidak
dilaporkan di Amerika Serikat. Pada akhir tahun, sebanyak 9.477 kasus pertusis di

1
California, Amerika Serikat pada tahun 2005. Berdasarkan Centers for Disease and
Prevention (CDC), 50% bayi dibawah 1 tahun yang mengalami pertusis akan
dibawa ke rumah sakit. Dari data tersebut, 50% kasus akan berkembang menjadi
penumonia dan 1% anak meninggal karena terjadi komplikasi akibat infeksi yang
lain. Di negara berkembang, pertusis masih menjadi sumber beban tertinggi,
terutama di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Di seluruh dunia, pertusis asih
termasuk kedalam 10 penyebab kematian tertinggi pada bayi kurang dari 1
tahun.(1,4)
Tingginya angka kejadian dan morbiditas serta mortalitas dari penyakit
pertusis tersebut membuat penulis ingin membahas mengenai penyakit pertusis dan
kemudian membandingkan dengan kasus yang ditemuka di RSUD Sanjiwani
Gianyar.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama (Inisial) : MRH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 27 Februari 2016
Umur Saat Diperiksa : 2 bulan 19 hari
Alamat : Bitra, Gianyar
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
MRS : 16 Mei 2016
Ruang Rawat : Ruang Abimanyu
Nomor CM : 56 61 02

3.2 Data Subjektif (Heteroanamnesis)


a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: Batuk
Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani pada tanggal 16 mei 2016 dengan
keluhan batuk. Keluhan batuk dirasakan sejak kurang lebih 2 minggu yang
lalu. Batuk dikatakan kering tanpa disertai darah yang berlangsung sepanjang
hari dengan lama setiap batuk dikatakan kurang lebih selama 5 menit. Batuk
tidak membaik dengan perubahan posisi apapun. Batuk dikatakan awalnya
muncul tidak terlalu sering dan tidak terlalu keras tetapi sejak seminggu
terakhir batuk dikatakan semakin memberat dan semakin sering. Selain itu,
ibu pasien juga mengatakan saat batuknya memberat wajah pasien yang
awalnya merah menjadi biru.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu kedua mata memerah sejak 3
hari yang lalu yang semakin merah seiring dengan memberatnya batuk
pasien. Pasien juga dikatakan demam sejak 7 hari yang lalu yang tidak terlalu
tinggi dan hilang timbul. Namun saat ini pasien tidak mengalami demam.
Pasien juga tampak lelah, nafsu makan menurun, berat badan dikatakan tidak
terjadi penurunan, berak dan kencing dikatakan normal. Keluhan seperti

3
berkeringat malam, pilek, sesak, benjolan pada leher dan riwayat menelan
benda asing disangkal keluarga pasien.
Pasien dikatakan sudah pernah berobat ke bidan dan hanya diberikan obat
penurun panas. Kemudian pasien dirujuk ke Sp.A yang kemudian dirujuk ke
RSUD Sanjiwani untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat
penyakit kronis dan alergi makanan serta obat-obatan disangkal oleh keluarga
pasien.

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu, bapak dan kakak pasien dikatakan mempunyai keluhan batuk. Keluhan
batuk dirasakan setelah pasien mengalami batuk. Riwayat penyakit kronis
seperti TB, DM, Hipertensi, Asma dan penyakit ginjal disangkal keluarga
pasien.

d. Riwayat Pribadi/Lingkungan/Sosial
Pasien merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara. Lingkungan rumah pasien
dikatakan cukup bersih dan tidak ada orang disekitar lingkungan yang
mengalami batuk lama.

e. Riwayat Persalinan
Lahir normal, UK cukup bulan, ditolong oleh dokter di RSUD Sanjiwani,
BBL 3450 gr, PB 50 cm, LK/Lila dikatakan lupa. Segera menangis setelah
lahir.

f. Riwayat Imunisasi
Pasien dikatakan sudah mendapatkan imunisasi HB0, BCG, dan Polio 1.
Akan tetapi untuk imunisasi DPT pasien belum mendapatkan.

g. Riwayat Tumbuh Kembang


- Menegakkan kepala : 2 bulan
- Membalik badan :-
- Duduk :-
- Merangkak :-

4
- Berdiri :-
- Berjalan :-
- Bicara :-

h. Status Nutrisi
- ASI : 0 – sekarang
- Susu formula :-
- Bubur susu :-
- Nasi tim saring :-
- Nasi tim :-
- Makanan Dewasa :-

i. Status Antropometri
- Berat Badan : 5,7 kg
- Panjang Badan : 59 cm
- Berat Badan Ideal (WHO): 6 kg
- Status Gizi berdasarkan WHO :
BB/TB : Z Score (-1)  Normal
BB/U : Z Score (-1)  Normal
PB/U : Z Score (-1)  Normal
- Status Gizi menurut Water Low : 95% (Gizi Baik)

3.3 Data Objektif (Pemeriksaan Fisik)


a. Status Present
Kesan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : -
Nadi : 118 kali/menit, Reguler, Isi cukup
Respirasi Rate : 36 kali/menit
Temp. Axilla : 37,3oC

b. Status Generalis
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva merah (-/-), Ikterik (-/-), Reflek pupil (+/+) Isokor
THT :

5
o Telinga : Sekret (-)
o Hidung : Napas cuping hidung (-), Sekret (-)
o Tenggorokan : Mukosa mulut sianosis (-), hiperemis (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Bentuk simetris (+), Retraksi (-)
o Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ikutus kordis teraba di ICS V MCL sinistra
Perkusi :
Batas atas : ICS 2 sternal line sinistra
Batas kanan : ICS 4 parasternal line dektra
Batas kiri : ICS 5 midclavicula line sinistra
Auskultasi: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
o Pulmo :
Inspeksi : Simetris (+) saat statis dan dinamis
Palpasi : Gerakan dada simetris (+), Vokal fremutis (N/N)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi: Bronkovesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen:
Inspeksi : Distensi (-), Ascites (-)
Auskultasi: BU (+) normal
Palpasi : Hepar-lien tidak teraba, Turgor kulit kembali cepat
Perkusi : Timpani (+)
Ektremitas: Hangat (+/+), Cappilary Refill Time < 3 detik

6
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Lengkap (16 Mei 2016)
Parameter Satuan Nilai Normal Hasil Remark
WBC 103µL 4.00 – 10.00 19,6 H
LYM % 20.0 – 40.0 67,0 H
MID % 3.0 – 9.0 8,7 N
GRAN % 50.0 – 70.0 24,3 L
HGB g/dL 11.0 – 16.0 9,9 L
HCT % 37.0 – 54.0 27,2 L
MCV fL 82.0 – 95.0 75,2 L
MCH Pg 27.0 – 31.0 27,3 N
MCHC g/dL 32.0 – 36.0 36,4 H
PLT 103µL 150 – 450 478 H

b. Foto Thorax AP (16 Mei 2016)

Keterangan:
Pada foto thoraks AP didapatkan:
- Mediastinum tidak melebar
- Trakea tidak tampak deviasi
- Cor: ukuran dan bentuk dalam batas noraml, apeks jantung berada
di kanan dan tidak terdapat elongasi serta dilatasi aorta

7
- Pulmo: corakan bronkovaskuler dalam batas normal, tidak tampak
kelainan
- Kedua sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam
- Tulang – tulang tampak intak
- Kesan: Cor dan Pulmo tidak tampak kelainan

3.5 Diagnosis
Pertusis

3.6 Penatalaksanaan
- MRS
- O2 1-2 lpm (k/p)
- Cairan maintenance 570 ml/hari ~ IVFD D5 ¼ NS 24 tpm (mikro)
- Eritromisin 10 mg/kgBB/x ~ 57 mg/x @ 6 jam (IV)
- Metil Prednisolone 0,5 mg/kgBB/x ~2,85 mg/x @ 6 jam (IV)
- Paracetamol fl 10 mg/kgBB/x ~ 57 mg/x ~ 5,7 ml/x, bila Tax ≥ 38 C dapat
diulang tiap 4 jam (k/p)
- Ambroxol syr 0,5 mg/kgBB/x ~ 2,85 mg/x @ 8 jam
- Planning : Apusan nasofaring
- Observasi : Keluhan, Vital Sign, Tanda Distress Pernapasan

3.7 Catatan Perkembangan Pasien

Tgl Subjektif Objektif Assasment Planning


17 Mei Batuk (+), Demam Status Present: Pertusis - O2 1 lpm
2016 (-), Sesak (-), ASI HR: 110 x/mnt - IVFD D5 ¼ NS
(06.00 (+), BAB (+), BAK RR: 36 x/mnt 20 tpm (mikro)
0
wita) (+) Tax: 36,8 C - Paracetamol fl 6
Status Generalis: ml/x, bila Tax>
Mata: merah -/-, an -/-, ikt -/- 38 ulang @4 jam
THT: NCH (-), sekret (-), - Eritromisin syr
hiperemis (+) 10 mg/kgBB/x ~
Thorax: simetris (+), retraksi 60 mg @ 6 jam
(-) - Metilprednisolon
 Cor: S1S2 tunggal, e 0,5 mg/kgBB/x
reguler, murmur (-) ~ 3 mg/x @ 6
jam IV

8
 Po: bronchovesikuler - Mx: tanda vital
+/+, Rh -/-, Wh -/- karena berisiko
Abd : Dist (-), BU (+) N upneu
Ekst : Hangat +/+, CRT < 3
dtk
18 Mei Batuk (+), Demam Status Present: Pertusis - O2 1 lpm (k/p)
2016 (-), Sesak (-), ASI HR: 108 x/mnt - IVFD D5 ¼ NS
(06.00 (+), BAB (+), BAK RR: 34 x/mnt 20 tpm (mikro)
0
wita) (+) Tax: 36,9 C - Paracetamol fl 6
Status Generalis: ml/x, bila Tax>
Mata: merah -/-, an -/-, ikt -/- 38 ulang @4 jam
THT: NCH (-), sekret (-), - Eritromisin syr
hiperemis (+) 10 mg/kgBB/x ~
Thorax: simetris (+), retraksi 60 mg @ 6 jam
(-) - Metilprednisolon
 Cor: S1S2 tunggal, e 0,5 mg/kgBB/x
reguler, murmur (-) ~ 3 mg/x @ 6
 Po: bronchovesikuler jam IV
+/+, Rh -/-, Wh -/- - Mx: tanda
Abd : Dist (-), BU (+) N distress napas
Ekst : Hangat +/+, CRT < 3
dtk
19 Mei Batuk (+), Demam Status Present: Pertusis - O2 1 lpm
2016 (-), Sesak (-), ASI HR: 112 x/mnt - IVFD D5 ¼ NS
(06.00 (+), BAB (+), BAK RR: 32 x/mnt 20 tpm (mikro)
wita) (+) Tax: 36,5 0C - Paracetamol fl 6
Status Generalis: ml/x, bila Tax>
Mata: merah -/-, an -/-, ikt -/- 38 ulang @4 jam
THT: NCH (-), sekret (-), - Eritromisin syr
hiperemis (+) 10 mg/kgBB/x ~
Thorax: simetris (+), retraksi 60 mg @ 6 jam
(-) - Metilprednisolon
 Cor: S1S2 tunggal, e 0,5 mg/kgBB/x
reguler, murmur (-) ~ 3 mg/x @ 6
 Po: bronchovesikuler jam IV
+/+, Rh -/-, Wh -/- - Mx: Distress
Abd : Dist (-), BU (+) N pernapasan

9
Ekst : Hangat +/+, CRT < 3
dtk
20 Mei Batuk (+), Demam Status Present: Pertusis - O2 1 lpm
2016 (-), Sesak (-), ASI HR: 112 x/mnt - IVFD D5 ¼ NS
(06.00 (+), BAB (+), BAK RR: 32 x/mnt 20 tpm (mikro)
0
wita) (+) Tax: 35,9 C - Paracetamol fl 6
Status Generalis: ml/x, bila Tax>
Mata: merah -/-, an -/-, ikt -/- 38 ulang @4 jam
THT: NCH (-), sekret (-), - Eritromisin syr
hiperemis (+) 10 mg/kgBB/x ~
Thorax: simetris (+), retraksi 60 mg @ 6 jam
(-) - Metilprednisolon
 Cor: S1S2 tunggal, e 0,5 mg/kgBB/x
reguler, murmur (-) ~ 3 mg/x @ 6
 Po: bronchovesikuler jam IV  sampai
+/+, Rh -/-, Wh -/- hari ke 7
Abd : Dist (-), BU (+) N - Mx: tanda vital
Ekst : Hangat +/+, CRT < 3 karena berisiko
dtk upneu

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan Temuan Pada Anamnesa


Pasien laki-laki dengan inisial MRH (2 bulan 19 hari) datang ke IGD RSUD
Sanjiwani dengan keluhan utama berupa batuk yang dirasakan sejak kurang lebih 2
minggu dari dilakukannya pemeriksaan. Batuk dikatakan kering tanpa disertai
dengan darah yang berlangsung sepanjang hari dengan lama setiap batuk dikatakan
kurang lebih selama 5 menit. Batuk tidak membaik dengan perubahan posisi
apapun. Batuk awalnya muncul tidak terlalu sering dan tidak terlalu keras tetapi
sejak seminggu terakhir batuk dikatakan semakin memberat dan semakin sering.
Selain itu, ibu pasien juga mengatakan saat batuknya memberat wajah pasien yang
awalnya merah menjadi biru.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu kedua mata memerah sejak 3 hari
yang lalu yang semakin merah seiring dengan memberatnya batuk pasien. Pasien
juga dikatakan demam sejak 7 hari yang lalu yang tidak terlalu tinggi dan hilang
timbul. Namun saat ini pasien tidak mengalami demam. Pasien juga tampak lelah,
nafsu makan menurun, berat badan dikatakan tidak terjadi penurunan, berak dan
kencing dikatakan normal. Keluhan seperti berkeringat malam, pilek, sesak,
benjolan pada leher dan riwayat menelan benda asing disangkal keluarga pasien.
Pasien juga dikatakan belum mendapatkan imunisasi DPT. Dari hasil anamnesis
tersebut, kondisi pasien sesuai dengan keluhan pasien dengan pertusis.
Berdasarkan teori, pertusis merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut
yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum
mendapatkan imunisasi pertusis atau orang dewasa dengan kekebalan yang
menurun. Disebut juga dengan whooping cough (batuk rejan) oleh karena penyakit
ini ditandai dengan adanya sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik
dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk
menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas.(2)
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Bakteri Bordetella
pertusis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 µm
dan diameter 0,2-0,3 µm, tidak bergerak, tidak berspora dan subur hidup antara

11
suhu 300C – 370C. Bakteri Bordetella pertusis ditularkan ke orang lain melalui
sekresi udara pernafasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran
pernafasan. Mekanisme terjadinya infeksi oleh Bordetella pertusis melalui 4
tahapan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan penjamu,
kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Proses melekatnya bakteri
pada silia dipengaruhi oleh Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis
promoting factor (LPF) atau pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd. Setelah
terjadinya perlekatan, B. Pertusis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke
seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses tersebut tidak bersifat
invansif, oleh karena itu pada pertusis tidak akan terjadi bakteremia. Selama
pertumbuhan B. Pertusis akan menghasilkan toxin dan toxin yang terpenting yaitu
pertussis toxin (PT). Toxin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Sub unit
B yang berikatan dengan sel target, dan kemudian menghasilkan sub unit A yang
aktif pada daerah aktivasi enzim membran sel. PT atau LPF berfungsi untuk
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi dengan menghambat
jalur signal sistem imun pada daerah infeksi. Dampak lain dari PT yaitu merangsang
sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin, sehingga akan terjadi
hipeinsulinemia dan akhirnya terjadi hipoglikemia.(1,2)
Toxin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid
peri bronkial dan meningkatkan jumlah mukous pada permukaan silia sehingga
fungsi silia sebagai pembersih terganggu dan pada akhirnya akan mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh S. pneumoniae, H. Influenzae dan Staphylococcus
aureus). Penumpukan mukous tersebut akan menimbulkan plug yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Adanya hipoksemia dan sianosis
disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulya
apnea saat terserang batuk.(2)
Masa inkubasi pertusis antara 6 sampai 20 hari dengan rata-rata selama 7 hari
sedangkan perjalanan penyakit pertusis berlangsung antara 6 sampai 8 minggu atau
lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu stadium
kataralis (prodormal, preparoksismal), stadium paroksismal (paroksismal,
spasmodik) dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis yang muncul tergantung
pada penyebab spesifik, umur dan status imunisasi.(1,2)

12
Stadium kataralis berlangsung selama 1 sampai 2 minggu dan termasuk gejala
non spesifik. Demam tidak terlalu tinggi, pilek dengan lendir cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi dan batuk ringan seperti gejala pada infeksi saluran
nafas bagian atas merupakan manifestasi klinis pada stadium ini sehingga diagnosis
pertusis sulit diketahui karena hampir sama dengan common cold. Pada stadium ini,
organisme penyebab dengan mudah ditularkan melalui droplet dan anak sangat
infeksius. Setelah stadium kataralis selsai, maka pasien akan mengalami stadium
paroksismal.(1,2,3)
Stadium paroksismal berlangsung selam 2 sampai 4 minggu yang ditandai
dengan frekuensi dan derajat batuk yang bertambah, khasnya terdapat pengulangan
5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif
yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang dihisap
melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua atau pada bayi yang lebih
muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama
serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
salivasi dan terjadi distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah
(terutama pada konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai plug pada saluran nafas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal
merupakan gejala yang khas sehingga seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah
anak menderita pertusis walaupun tidak disertai dengan bunyi whoop. Anak akan
menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk sering kambuh diakibatkan adanya
stress emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik.(1,2,3)
Stadium konvalesen ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan
puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya
masih terjadi untuk beberapa waktu dan akan menghilang setelah 2 sampai 3
minggu. Namun, batuk paroksismal dapat berulang kembali jika terdapat infeksi
saluran nafas atas kembali.(2)

3.2 Pembahasan Temuan Pada Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, didapatkan bahwa pasien
tampak lemas, nadi 118 kali/menit, RR 36 kali/menit, suhu 37,3 oC. Pada
pemeriksaan status generalis, tampak konjungtiva tidak kemerahan, tenggorokan
hiperemis, tidak terdapat pembesaran KGB pada leher, jantung dan paru tidak

13
tampak kelainan, perut tidak tampak kelainan dan keempat ekstremitas hangat. Dari
hasil pemeriksaan fisik tersebut, kondisi pasien sesuai dengan tanda pasien dengan
pertusis.
Berdasarkan teori, tanda penyakit pertusis yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik tergantung dari stadium pertusis yang sedang dialami pasien. Pada stadium
kataralis akan ditemukan peningkatan suhu yang tidak terlalu tinggi, sekret serta
tanda peradangan pada saluran nafas atas, injeksi pada konjungtiva dan ditemukan
sekret pada mata. Pada stadium paroksismal didapatkan juga tanda seperti pada
stadium kataralis, namun disertai dengan suara yang melengking pada akhir batuk
(whoop), muka yang semakin memerah bahkan sampai sianosis, mata menonjol,
lidah menjulur, distensi vena leher serta petekia pada wajah (terutama pada
konjungtiva bulbi). Selain itu, dapat ditemukan juga pasien akan menjadi apatis dan
terjadi penurunan berat badan. Pada pasien dengan pertusis yang mengalami
komplikasi berupa pneumonia dapat ditemukan adanya napas cuping hidung,
rhonki basah, fokal fremitus menurun dan peningkatan suhu tubuh. Pada stadium
konvalesen, kondisi pasien sudah membaik sehingga tanda pertusis sudah mulai
menghilang.(1,2,3)

3.3 Pembahasan Temuan Pada Pemeriksaan Penunjang


Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap
dan foto thorak pada tanggal 16 mei 2016. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan
bahwa terjadi peningkatan leukosit (leukositosis) 19,6 dengan lymp% sebesar 67,0
(H), dan grand% sebesar 24,3 (L). HGB: 9,9 (L), HCT: 27,2 (L), MCV: 75,2 (L),
MCH: 27,3 (N) dan PLT: 478 (H). Pada pemeriksaan foto thoraks AP didapatkan
kesan jantung dan paru dalam batas normal.
Berdasarkan teori, pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan pertusis
didapatkan adanya peningkatan leukosit (leukositosis) antara 20.000 sampai 50.000
dengan lifositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Gold standard diagnosis pertusis yaitu ditemukannya Bordetella
pertusis pada pemeriksaan sekret nasofaring. Tes serologi terhadap antibodi toksin
pertusis berguna pada stadium lanjut dari pertusis dan menentukan adanya infeksi
pada individu. Pemeriksaan dengan tekhnik ELISA juga dapat dilakukan untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA

14
dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi. Sedangkan IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan
spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi
pertusis. Pemeriksaan lain seperti foto thoraks dapat memperlihatkan adanya
komplikasi dari pertusis seperti pneumonia, infiltar perihiler, atelektasis atau
empiema.(1,2)

3.4 Pembahasan Diagnosis Dan Penatalaksanaan Kasus


Pada kasus, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis dengan pertusis. Kemudian dilakukan
penatalaksanaan berupa pemberian O2 1-2 lpm (k/p), cairan maintenance 570
ml/hari ~ IVFD D5 ¼ NS 24 tpm (mikro), eritromisin 10 mg/kgBB/x ~ 57 mg/x @
6 jam (IV), metil prednisolone 0,5 mg/kgBB/x ~ 2,85 mg/x @6 jam (IV),
Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x ~ 5,7 ml/x (k/p), ambroxol syr 0,5 mg/kgBB/x ~
2,85 mg/x @8 jam.
Berdasarkan teori, menurut The American Academy of Pediatrics (AAP)
penggunaan eritromisin dalam pengobatan pertusis direkomendasikan selama 14
hari, walaupun keefektifan eritromisin hanya sampai 7 hari. Eritromisin dapat
menyebabkan efek samping terhadap saluran gastrointestinal (misalnya mual,
emesis dan diare) dan meningkatkan risiko terjadinya stensosi pylori pada bayi
kurang dari 2 bulan. Penggunaan marcrolide generasi baru (misalnya azithromycin
dan clarithromycin) mempunyai efek yang sama dalam mengeradikasi bakteri
seperti eritromisin, namun mempunyai risiko efek samping yang lebih rendah. Jika
terjadi alergi terhadap antibiotika golongan macrolide dapat digunakan
Trimethoprim/sulfamethoxazole (Bactrim, Septra) karena memiliki efek yang
sama. Dosis antibiotika dapat dilihat pada tabel dibawah.
Penggunaan antibiotika tersebut diindikasikan pada stadium kataralis untuk
mengeradikasi bakteri yang berada pada nasofaring sehingga dapat memperpendek
masa penularan bakteri. Terapi lain yang diberikan pada pasien pertusis yaitu terapi
suportif. Terapi suportif yang diberikan pada pasien bertujuan untuk menghindari
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen
diberikan pada pasien dengan distress pernafasan. Penggunaan betamasol dan
salbutamol diduga bekerja untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk

15
paroksismal, dan mengurangi lamanya whoop. Efektifitas terapi suportif (seperti
penggunaan antihistamin, steroid, beta agonis dan imunoglobulin) belum jelas,
akan tetapi berpotensi untuk memberikan efek samping yang serius.(1,2,3)

Tabel terapi antibiotika pada pertusis(1)

16
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa antara kasus dengan
pasien laki-laki dengan inisilal MRH (2 bulan 19 hari) yang datang dengan keluhan
utama berupa batuk sejak kurang lebih 2 minggu dan didiagnosis dengan pertusis
serta sudah dilakukan penanganan berupa pemberian antibiotika dan terapi suportif
sesuai dengan teori pertusis.

17

Anda mungkin juga menyukai