Anda di halaman 1dari 25

Halaman Pengesahan

EPISTAKSIS

Disusun Oleh :
Zulhida Yuni
20090310203

Telah Dipresentasikan dan Disetujui pada


Februari 2014

Dokter Pembimbing,
dr. Yunie Wulandarrie, Sp. THT-KL.M.Kes

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji Syukur, Alhamdulillah penulis telah dapat menyelesaikan salah satu tugas
penulisan ilmiah berupa referat dengan judul EPISTAKSIS . Penulisan refrat ini
dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik bagian
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher di Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Salatiga.
Dalam kesempatan ini izinkanlah penulis menghanturkan ucapan terima kasih
kepada :
1. Allah SWT,
2. dr. Yunie Wulandarrie, Sp.THT-KL.M.Kes sebagai dosen kepaniteraan klinik Fakultas
Kedokteran Muhammadiyah Yogyakarta di RSUD Kota Salatiga yang telah
membimbing penulis selama menjalani kepaniteraan klinik dan bimbingan referat
ini.
3. Ibu dan Bapak yang telah mendidik dan membesarkan kami
4. Semua karyawan RSUD Kota Salatiga yang telah memberikan bantuan kepada
penulis
5. Teman teman koass Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
terutama yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis

Penulis berharap semoga referat ini dapat menjadi sesuatu yang berguna dan
bermanfaat bagi pembaca.

Salatiga, Februari 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
2.1 Anatomi...............................................................................................
2.2 Vaskularisasi Hidung....................................................................................
2.3 Innervasi Hidung............................................................................................
2.4 Fisiologi Hidung.............................................................................................
2.5 Epistaksis...................................................................................................
2.5.1 Definisi...............................................................
2.5.2 Etiologi
2.5.3 Patofisiologi
2.5.4 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan
2.5.5 Penatalaksanaan
2.5.6 Komplikasi dan Pencegahan
2.5.7 Prognosis
BAB III. DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan.
Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya
pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh
darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banayak
cabang cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri
sphenopalatina.
Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran : epistaksis atau Inggris : epistaxis atau
mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung.
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, merupakan suatu tanda atau keluhan bukan
penyakit. Perdarahan dari hidung yang dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan
dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan
dikoreksi untuk mengobatai epistaksis secara efektif. Epistaksis berat, walaupun jarang
dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila
tidak segera ditolong. Di Amerika, epistaksis dilaporkan terjadi pada 60% populasinya.
Namun jarang sekali menyebabkan kematian. Distribusinya bermacam macam dengan
insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun. Kasus ini
terbanyak terjadi pada laki laki dibanding wanita.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri
Etmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina
dan arteri ethmoid posterior. Kasus kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah
anterior septum nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior
lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal packing
dan endoscopic cauterization. Epistaksis biasanya terjadi tiba tiba. Perdarahan mungkin
banyak, bisa juga sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa
perlu memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.
Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada
pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan
tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat diatasi kartilago ala nasi.
Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan tindakan lain yang perlu dan dapat
dilakukan. Sangat penting penatalaksanaan yang tepat pada kasus epistaksis agar tidak
terjadi komplikasi atau bahkan kematian. Karena itu akan dibahas mengenai epistaksis pada
makalah ini.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, processus frontalis os maksila, dan
processus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior, tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dipisahkan oleh septum nasi
di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Septum dilapisis oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, media, superior, dan
superma yang biasanya rudimenter. Di antara konka konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, media
dan superior. Di meatus nasi bermuara sinus sinus paranasalis. Dan yang di inferior
bermuara duktus nasolakrimalis. Dinding inferior rongga hidung dibentuk oleh os maksila
dan palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis.

Gambar 1 : Dinding Nasi Lateral


2.2

Vaskularisasi Hidung
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis ; arteri karotis eksterna dan

karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui :
1) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.
2) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum
nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabngkan arteri ethmoid
anterior dan posterior yang memperdarahi septum dan dinding lateral superior.

Gambar 2 : Pleksus Kiesselbach


2.3

Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus (N I). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sphenopalatina.
Ganglion sphenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profunda. Ganglion sphenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.4

Fisiologi Hidung

Fungsi hidung adalah :


1. Jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
berbentuk lengkungan.
Pada ekspirasi, udara masuk melalui knka dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
akan melalui nares anterior dan sebagian lain ke belakang bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
2. Alat pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembapan udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembapan udara
dilakukan dengan adanya mucous blanket. Pada musim panas, udara hampir jenuh
oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan
terjadi sebaliknya. Mengatur sushu dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37C.
3. Penyaring udara
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia dan mucous blanket. Debu dan
bakteri akan melekat pada mucous blanket dan partikel besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Mucous blanket akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan
silia. Terdapat enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yaitu
lysoenzyme.
4. Indra penciuman
Hidung juga bekerja sebagai indra penciuman dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagias atas septum. Partikel

bau mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan mucous blanket atau bila
menarik nafas kuat.
5. Untuk resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).
6. Membantu proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir,
dan palatum molle. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum molle akan turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna,

kardiovaskuler,

dan

pernafasan.

Misalnya

iritasi

mukosa

hidung

menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu


menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.5

Epistaksis

2.5.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala atau manifestasi dari
suatu kelainan yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat
merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.
2.5.2 Etiologi
Perdarahan hidung diawalai oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. 80% perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area
Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
sering kali timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya, kadang kadang jelas

disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung
atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfer, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu
lintas. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian
anterior pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan
krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa
septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebabkan trauma
pada mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang
terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan
yang banyak.
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis,
lupus, sifilis atau lepra.

Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi


akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.

c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermitten, kadang kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada
tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh
darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan.

Gambar 3 : Epistaksis pada Neoplasma

d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/ Oslers disease).
Juga sering terjadi pada Von Willendbrand Disease. Telengiectasis Hemorragic
Hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.

Gambar 4 : Oslers Disease

Jika ada cedera jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah.
Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat
rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan
darah yang normal :
Tahap 1

: Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan

Tahap 2

: Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke

daerah yang luka


Tahap 3

: Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah

yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan
zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal
membentuk sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi
trombosit.
Tahap 4

: Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat

terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah
diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von Willebrand)
bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.

e) Sebab sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum


Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan
sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan
jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.

f) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa disebabkan oleh zat
zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa
sehingga pembuluh darah gampang pecah.
2) Sistemik
a) Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam macam anemia serta hemofilia.
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis
hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat
hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering
terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah
yang disebabkana oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah
kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah
pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanana darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa

mengompensasi dengan

vasodilatasi, menyebabkan rupture dari

pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya : membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vit K. Pada sirosis hepatis fungsi
sintesis protein protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan
darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga
epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi

peningkatan

gula

darah

yang

menyebabkan

kerusakan

mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat


menyebabkan sel endothelial pada pembuluh darah mengambil glukosa
lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi
lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus.
c) Infeksi sistemik akut
Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid
d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh
termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan
akhirnya terjadinya epistaksis.
2.5.3 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang kadang sukar
ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior
dan posterior.
1) Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau dari
arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena

keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan
terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
2) Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sphenopalatina.
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhasil sendiri. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sphenopalatina.

Gambar 5 : Epistaksis Anterior dan Posterior

2.5.4 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan


Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan,
frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu

ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala
gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga mengenai kondisi kesehatan
pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi,
arteriosklerosis, koagulopati,riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi
kecil, riwayat penggunaan obat obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin,
heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum minuman keras.
Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan hemoptysis atau
hematemesis untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang
sudah membeku, sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mncari tempat dan faktor faktor penyebab perdarahan. Setelah dibersihkan, dimasukkan
kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan
rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat
berhenti untuk sementara. Sesudah 10 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan
dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan
perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior,
vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi , dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar 6 : Rinoskopi Anterior

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT- Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT- scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

Gambar 7 : Tampilan Endoskopi Epistaksis Posterior

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes tes yang tepat pada saat protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan
2.5.5 Penatalaksanaan
Aliran darah akan berhenti setelah darah berhasil dibekukan dalam proses
pembekuan darah. Sebuah opini medis mengatakan bahwa ketika perdarahan terjadi, lebih
baik jika posisi kepala dimiringkan ke depan (posisi duduk) untuk mengalirkan darah dan
mencegahnya masuk ke kerongkongan dan lambung.
Pertolongan pertama jika terjadi mimisan adalah dengan memencet hidung bagian
depan selama tiga menit. Selama pemencetan sebaiknya bernafas melalui mulut.
Perdarahan ringan biasanya akan berhenti dengan cara ini. Lakukan hal yang sama jika
terjadi perdarahan berulang, jika tidak berhenti sebaiknya kunjungi dokter untuk bantuan.
Untuk perdarahan hidung yang kronis yang disebabkan keringnya mukosa hidung, biasanya
dicegah dengan menyemprotkan salin pada hidung hingga tiga kali sehari.
Jika disebabkan tekanan, dapat digunakan kompres es untuk mengecilkan pembuluh
darah (vasokonstriksi). Jika masih tidak berhasil, dapat digunakan tampon hidung. Tampon
hidung dapat menghentikan perdarahan dan media ini dipasang 1 3 hari.
Tujuan pengobatan epistaksis adalah :
Menghentikan perdarahan
Mencegah komplikasi

Mencegah berulangnya epistaksis

Hal hal yang penting adalah :


Riwayat perdarahan sebelumnya
Lokasi perdarahan
Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
Lamanya perdarahan dan frekuensinya
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Hipertensi
Diabetes mellitus
Sirosis hepatis
Gangguan koagulasi
Trauma hidung yang belum lama
Obat obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut


atau tidak.
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaan syok
2. Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami perdarah epistaksis ringan, perdarahan
dapat dihentikan dengan cara duduk denga kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit
b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang
telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan
alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

Gambar 8 : Tampon Anterior

c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan


jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20% - 30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu.
3. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
yang dicampur betadin atau zat antibiotik. Dapat juga dipakai tampon rol yang
dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan
berlapis lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang
dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan
selama 1 -2 hari.
4. Perdaraha posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon
Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3
buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya.
Tampon harus menutup koanan (nares posterior)

Gambar 9 : Tampon Posterior

Untuk memasang tampon Bellocq :


Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di
orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada
satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari
telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah
nasofaring
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon
anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di
tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui
mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi.
Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah
2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
5. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon.
Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Teknik sama
dengan pemasangan tampon Bellocq.

6. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat obat hemostatik. Akan
tetapi ada yang berpendapat obat obat ini sedikit sekali manfaatnya.
7. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah
sakit.
2.5.6 Komplikasi dan Pencegahannya
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunannya tekanan darah
secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini
pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitus, otitis media, septikemia
atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotikm pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2 3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan
masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secra
retrograd melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi
palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan
pada pipi. Kateter balon atau tampob balon tidak boleh dipompa terlalu keras dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
2.5.7 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh
dan prognosisnya buruk

BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapat berlangsung ringan sampai
berat yang dapat berakibat fatal. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu
dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus
Kiesselbach atau dari arteri etmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior dapat
berasal dari arteri sphenopalatina dan etmoida posterior.
Perdarah ini dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan.
Pada kasus yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit dengan orang yang
berkompetensi pada bidang ini.
Penentuan asal perdarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena berkaitan
dengan cara penatalaksanaanya. Untuk menghentikan perdrahan ini dapat dilakukan
tampon anterior, kauterisasi dan tampon posterior.
Komplikasi pada pemasangan tampon anterior adalah sinusitis, air mata berdarah
dan septikemia. Sedangkan komplikasi pada pemasangan tampon posterior adalah otitis
media, haemotympanum, laserasi palatum mole dan sudut bibir. Apabila terjadi perdarahan
aktif pada saat perdarahan pada saat pemasangan tampon posterior maka dilakukan ligasi
arteri

DAFTAR PUSTAKA

1.

Cory JK, Timothy C. Management of Epistaksis. 2005. In :


http://www.aafp.org/afp/20050115/contents.html

2.

Iskandar N, Supardi EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi Keenam. Jakarta FK UI. 2007.

3.

Iskandar M : Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In : Cermin Dunia Kedokteran No. 132,


2001.

4.

Scholosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19
[cited 2012 Dec 7] Available from : http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784

Anda mungkin juga menyukai