Anda di halaman 1dari 10

CLINICAL SCIENCE SESSION

CARPAL TUNNEL SYNDROME

Disusun oleh
Fatya Annisa H

130112120545

Maria Agustina S.W

dalam proses

Aisyah Ummu Fahma

dalam proses

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014

Anatomi Carpal Tunnel


Tangan adalah bagian manual pada upper limb, dipisahkan dengan lengan bawah oleh
pergelangan tangan. Dalam pergelangan tangan, terdapat struktur yang penting, disebut carpal
tunnel atau terowongan karpal. Carpal tunnel dibentuk oleh permukaan anterior tulang karpal
yang cekung dan ditutupi oleh flexor retinaculum. Didalamnya terdapat nervus medianus, tendon
otot-otot fleksor, dan selubung sinovial.

Gambar 1

Anatomi carpal tunnel.

FDS: Flexor Digitorum Superficialis


FDP: Flexor Digitorum Profundus

Batas dan Konten


1. Di bagian anterior, ada flexor retinaculum atau disebut juga transverse carpal
ligament yang membentang darihamate di bagian medial sampai trapezium di
bagian lateral.
2. Di bagian posterior, tunnel ini dibatasi oleh bagian anterior tulang-tulang karpal
yaitu dari medial ke lateral adahamate, capitate, trapezoid, dan trapezium.
3. Di dalam carpal tunnel, terdapat N. medianus dan tendon dari otot fleksor jari
(Flexor Digitorum Superficialis, Flexor Digitorum Profundus, dan Flexor
PollicisLongus).

Persarafan
1. Cabang motorik dari N. Medianus berada di bagian distal dari flexor retinaculum
bertugas menginervasi otot hipotenar dan dua otot lumbrikal lateral.
2. Cabang sensoriknya menginervasi tiga setengah jari lateral dan telapak tangan.

Gambar 2

Distribusi N. medianus.

Carpal Tunnel Syndrome


Definisi
CTS adalah kumpulan dari karakteristik gejala dan tanda yang muncul akibat
terjebaknya nervus medianus pada carpal tunnel. Biasanya, gejala yang muncul adalah baal,
parestesia, dan nyeri pada daerah distribusi N. medianus. Gejala ini dapat disertai oleh perubahan
obyektif pada sensasi dan kekuatan struktur yang diinervasi oleh N. medianus pada tangan.

Epidemiologi
Penelitian berbasis populasi untuk CTS ini masih minim, hampir tidak terdengar di
beberapa negara berkembang seperti Afrika Selatan. Namun, National Health Interview Study
(NHIS) memperkirakan prevalensi CTS yang dilaporkan sendiri di populasi dewasa besarnya
1,55%. Perempuan lebih sering terkena CTS daripada laki-laki dengan rasio perbandingan 3:1.

Puncak rentang usia kejadian CTS adalah 45-60 tahun. Hanya 10% pasien CTS yang usianya
lebih muda dari 31 tahun.

Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan CTS adalah perempuan, riwayat fraktur
pergelangan tangan, rheumatoid arthritis, osteoartritis pada pergelangan tangan dan karpus,
obesitas, diabetes, penggunaan insulin, sulfonilurea,tiroksin, dan metformin.
Menurut Adams, beberapa keadaan yang dapat meningkatkan risiko timbulnya CTS
antara lain:
1. Pekerjaan. Pekerjaan yang membutuhkan gerakan berulang pada pergelangan tangan dapat
meningkatkan risiko CTS. Beberapa pekerjaan yang berkenaan adalah: buruh pabrik, pekerja
konstruksi, operator mesin yang bergetar, supir, dan pengetik.
2. Hobi. Sebuah hobi yang membutuhkan gerakan pergelangan tangan dapat juga meningkatkan
risiko timbulnya CTS, terutama jika dilakukan dalam posisi duduk. Beberapa diantaranya
adalah: menyulam, berkebun, memasak, bermain kartu dan playstation.
3. Umur. CTS lebih berkembang pada orang usia 40-60 tahun.
4. Jenis kelamin. Secara statistika, perempuan lebih sering terkena CTS dibandingkan laki-laki.
5. Kehamilan. Wanita hamil dapat terkena CTS karena adanya retensi cairan.
6. Riwayat kesehatan.Beberapa keadaan dapat mempengaruhi tubuh untuk memicu timbulnya
CTS, seperti diabetes, hipotiroidisme, artritis rematik, obesitas, dan menopause.

Patogenesis
Faktor mekanik dan vaskular memegang peranan penting dalam terjadinya CTS.
Umumnya CTS terjadi akibat penebalan flexor retinaculum yang menyebabkan tekanan terhadap
N. medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan tekanan intrafasikuler
naik. Akibatnya aliran darah vena melambat, terjadi kongesti yang akan mengganggu nutrisi
intrafasikuler lalu anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan
mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan
bagaimana keluhan nyeri yang timbul akan berkurang setelah tangan digerak-gerakkan untuk
memperbaiki aliran darah secara sementara. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi

fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan saraf menjadi atrofi dan
digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi N. medianus terganggu.
Pada CTS akut biasanya terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler
sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik ini
diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan
aliran darah. Tekanan langsung pada saraf perifer dapat pula menimbulkan invaginasi nodus
ranvier dan demyelinisasi lokal sehingga konduksi saraf terganggu.

Patofisiologi
Carpal Tunnel Syndrome diakibatkan oleh kerusakan N. medianus dalam carpal tunnel.
Awalnya, saraf akan mengalami degenerasi myelin kemudian dapat diikuti dengan degenerasi
aksonal. Serabut saraf sensorik biasanya terpengaruh terlebih dahulu, selanjutnya baru serabut
saraf motorik. Serabut saraf otonom juga mungkin dapat terpengaruh.
Penyebab kerusakan ini masih menuai beberapa perdebatan. Namun demikian, hal ini
dikatakan secara umum bahwa terdapat tekanan tinggi yang abnormal dalam carpal tunnel yang
terdapat pada pasien CTS. Tekanan inilah yang mengakibatkan obstruksi aliran vena,
pembentukan edema dan terakhir membuat keadaan iskemia pada saraf.

Gejala Klinik
Menurut Grafton, gejala klinis CTS biasanya muncul secara gradual, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari-jari dan telapak tangan.
2. Nyeri di telapak tangan, pergelangan tangan, atau lengan bawah, khususnya selama
penggunaan.
3. Penurunan kekuatan cengkeraman.
4. Kelemahan dalam ibu jari.
5. Sensasi jari bengkak, dengan ada atau tidak terlihat ada bengkak.
6. Kesulitan membedakan antara panas dan dingin.

Diagnosis
Diagnosis CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala klinik seperti di atas, juga dapat
diperkuat dengan pemeriksaan lain yaitu :
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh kepada penderita dengan perhatian
khusus pada fungsi motorik, sensorik, dan otonom tangan. Pada kasus yang berat, atrofi otot
tenar dapat terjadi. Namun, temuan ini pada pemeriksaan fisik jarang dijumpai. Untuk
menegakkan diagnosis CTS, seringkali dilakukan tes provokasi. Adapun tes provokasi yang
dapat dilakukan antara lain:
1.

Phalen's test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam
waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis. Tes ini memiliki
sensitivitas sebanyak 68% dan spesifisitas 73%.

2.

Tinnel's sign : Tes ini mendukung diagnosis bila timbul parestesia atau nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus ketika dilakukan perkusi pada carpal tunnel dengan posisi tangan
sedikit dorsofleksi. Tes ini memiliki sensitivitas sebanyak 50% dan spesifisitas 77%.

3.

Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan menggunakan
tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit diatas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.

4.

Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jarijarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosis CTS.

5.

Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanyaatrofi otot-otot thenar.

6.

Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam
60 detik timbul gejala-gejalaseperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosis CTS.

7.

Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu
jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, hal ini menyokong
diagnosis.

8.

Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan
rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosis.

9.

Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif
dan menyokong diagnosis.

10. Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,
kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada
akan mendukung diagnosis CTS.
Dari pemeriksaan provokasi diatas, Phalen test dan Tinnel test merupakan tanda patognomonis
untuk CTS.
Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Teknik neurodiagnostik yang sering digunakan adalah Nerve Conduction Studies (NCS)
yang mempunyai peran penting dalam menginvestigasi saraf tepi dan kelainan otot. Pemeriksaan
elektrodiagnostik ini dapat memperlihatkan adanya penurunan kecepatan konduksi saraf melalui
pergelangan tangan, biasanya dilakukan untuk pasien dengan gejala atipikal. Gejala radikular
pada pasien cervical spondylosis mungkin dapat mengacaukan diagnosis yang bertepatan dengan
CTS.
Prinsip dari NCS ini adalah dengan mengukur kecepatan konduksi saraf sensorik dan
motorik dalam N. medianus pada level pergelangan tangan. Komponen sensorik dari N.
medianus dipengaruhi lebih awal daripada komponen motoriknya. Pada pasien CTS, biasanya
ada perlambatan kecepatan konduksi saraf sensorik. Perlambatan ini diukur dengan
menempatkan elektroda dekat dengan dasar jari manis, kemudian N. medianus distimulasi
sekitar 13 cm proksimal dari elektroda, kemudian potensial sensorik akan terekam dan terukur.
Untuk kecepatan konduksi saraf motorik, pengukuran dilakukan dari siku sampai pergelangan
tangan.
Meskipun NCS mempunyai sensitivitas mencapai 85-90% dan spesifisitas 82-85%,
NCS tidak dapat dijadikan gold standard untuk mendiagnosis CTS. Hal ini dikarenakan sekitar
10-15% pasien dengan keluhan klinik CTS ternyata setelah dilakukan NCS menunjukan hasil
yang normal. Kombinasi hasil pemeriksaan elektrodiagnostik dan karakteristik gejala yang
muncul merupakan metode paling akurat untuk menetapkan diagnosis CTS.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada
penyebab lain seperti fraktura atau artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan
adanya

penyakit lain pada vertebra seperti cervical spondylosis. Ultrasonography (USG),

Computed Tomography (CT-scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan pada
kasus yang selektif, terutama pada pasien yang akan dioperasi.14
Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan
tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar
hormon tiroid ataupun darah lengkap.

Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari CTS antara lain :
1. Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan
bertambah bila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya.
2. Thoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot thenar.
Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah.
3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan
daripada CTS karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui
terowongan karpal.
4. De Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon otot abduktor pollicis longus dan
ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah rasa
nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari.
Dari beberapa diagnosis banding di atas, yang paling sering adalah cervical radiculopathy C6
dan C7 serta polineuropati.

Terapi
Terapi Langsung Terhadap CTS
1.

Terapi konservatif
-

Istirahatkan pergelangan tangan.

Obat anti inflamasi non steroid.

Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan.

Injeksi steroid ke dalam carpal tunnel. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan


bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.

Vitamin B6 (piridoksin). Salah satu penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin,


sehingga dianjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan.

2.

Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.

Terapi operatif
Tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-

otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang
persisten. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri
walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral.
Terapi Terhadap Keadaan atau Penyakit yang Mendasari CTS
Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus ditanggulangi, sebab bila
tidak ditanggulangi dapat menimbulkan kekambuhan. Pada keadaan dimana CTS terjadi akibat
gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara
lain:
1. Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif, getaran peralatan tangan
pada saat bekerja.
2. Menggunakan desain peralatan kerja yang ergonomis supaya tangan dalam posisi natural.
3. Bekerja tidak terus menerus, usahakan istirahat sebentar di sela bekerja.

Komplikasi dan Prognosis


Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosis baik. Bila
keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan. Secara
umum prognosis operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang
sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :
1. Kesalahan menegakkan diagnosis, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus medianus
terletak di tempat yang lebih proksimal.

2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.


3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema, perlengketan,
infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
Sekalipun prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi
risiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
Carpal Tunnel Syndrome tidak fatal, tetapi jika dibiarkan tanpa terapi dapat membuat
kerusakan komplit dan irreversible pada N. medianus, dengan konsekuensi kehilangan fungsi
tangan yang parah.

Daftar Pustaka
1. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 6th ed. United States: Lippincott
Williams & Wilkins, Wolters Kluwer Health; 2010.
2. Durrant K. Wrist and Hand [Internet]. 2012 [cited 2013 Mar 18]. Available from:
http://www.studyblue.com/notes/note/n/an-lec-08-wrist--hand/deck/3229011
3. Wheeless CR. Wheeless Textbook of Orthopaedics. Duke Orthopaedics. 2009.
4. Family Health Online. Numb Hands and Tingling Fingers. 2013 [cited 2013 Mar 18]. Available from:
http://www.familyhealthonline.ca/fho/modernliving/ML_CarpalTunnel_FHc08.asp
5. Nigel L Ashworth. Carpal Tunnel Syndrome. Medscape Reference. 2011.
6. Geoghegan J., Clark D., Bainbridge L., Smith C, Hubbard R. Risk factors in carpal tunnel syndrome.
The Journal of Hand Surgery. 2004;31520.
7. Raman SR, Al-Halabi B, Hamdan E, Landry MD. Prevalence and risk factors associated with selfreported carpal tunnel syndrome (CTS) among office workers in Kuwait. BMC research notes
2012;5(1):289.
8. Adams C. Carpal Tunnel Syndrome Risk Factors. 2013.
9. Rambe AS. entrapment neuropathy. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU. 2004;19.
10. Grafton CH. Carpal Tunnel Syndrome. CME Resource. 2009;122.
11. Bahrudin M. Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Universitas Muhammadiyah Malang. 2011;121.
12. MacDermid JC, Wessel J. Clinical Diagnosis of Carpal Tunnel Syndrome: A Systematic Review.
Journal of Hand Therapy: Official Journal of the American Society of Hand Therapists.
2004;17(2):30919.
13. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. 6th ed. New York: Thieme; 2006.
14. Barnardo J. Carpal Tunnel Syndrome. United Kingdom; 2004.
15. Aroori S, Spence R a J. Carpal Tunnel Syndrome. The Ulster Medical Journal. 2008;77(1):617.
16. Warwick D, Naygam S. Apleys System of Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Hodder
Arnold; 2010.
17. Werner R a, Andary M. Electrodiagnostic evaluation of carpal tunnel syndrome. Muscle & nerve.
2011;44(4):597607.
18. Giersiepen K, Spallek M. Carpal Tunnel Syndrome as an Occupational Disease. The Journal of the
American Board of Family Practice. 2011;108(14):23842.

Anda mungkin juga menyukai