Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau viseral

yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai
seluruh peritoneum dan alat-alat sistem gastrointestinal, mesenterium, serta organ genitalia
interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, biasanya merupakan kelanjutan proses
tuberkulosis di tempat lain terutama dari paru, namun seringkali ditemukan pada waktu
diagnosis ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. Peritonitis
didefinisikan sebagai peradangan pada peritoneum yang mungkin disebabkan oleh patogen
atau faktor-faktor non-patogen, infeksi intra-abdominal atau sepsis intra-abdomen. Peritonitis
tuberculosa dijumpai 2% dari seluruh tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis
abdominal. Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder yaitu septikemia
dan syok dengan angka kematian yang masih tinggi. Pada dasarnya pengobatan peritonitis
tuberculosa sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat seperti streptomisin, INH,
etambutol, ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan
terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai sembilan
bulan sampai 18 bulan atau lebih. Peritonitis tuberculosa jika dapat segera ditegakkan
diagnosa dan mendapat pengobatan segera yang efektif, tuntas dan adekuat umumnya akan
sembuh. Namun kepatuhan pengobatan di masyarakat masih sangat rendah sehingga insiden
dan prevalensi tuberkulosis dan peritonitis tuberculosa masih sangat tinggi dan kekhawatiran
ancaman multi-drug resisten semakin meningkat.
1.2

Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas akhir kepaniteraan klinik

stase bedah RSUD Cianjur. Penulisan referat ini juga bertujuan untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman penulis tentang peritonitis tuberkulosa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sejarah Penyakit
Tuberkulosis adalah penyakit kuno yang ada sejak awal abad ke-4 sebelum masehi

dengan tanda-tanda skeletal tuberkulosis (Pott disease) yang sudah ada di Eropa dari masa
Neolithic (8000 SM), di Mesir kuno (1000 SM) dan di masa pra-Columbus. Tuberkulosis
diakui sebagai penyakit menular pada zaman Hippocrates (400 SM), ketika itu disebut
phthisis lupus, scrofula, atau Portts Disease atau penyakit paru-paru (bahasa Yunani :
phthinein, artinya membuang jauh). Mycobacterium tuberculosis berbentuk tubercle bacillus
dan merupakan agen penyebab tuberkulosis. Kelompok organisme lain yang berkaitan yaitu
M. Africanum, M bovis dan M microti dalam suatu kompleks Mycobakterium tuberkulosis.
Robert Koch menemukan dan mengisolasi Mycobacterium tuberculosis pada tahun 1882.
Secara global tuberkulosis meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan penduduk dan
pembangunan perkotaan oleh Revolusi Industri di Eropa (1750), revolusi industri ini
meningkatkan lebih dari 25% angka mortalitas orang dewasa. Pada awal abad 20,
tuberkulosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat.9
Laporan pengobatan bedah peritonitis dimulai pada awal abad Mikulicz 1889, Kronlein
1885, Korte 1892. Kirschner merupakan ahli bedah pertama yang menunjukkan penurunan
angka mortalitas perawatan bedah 80-100% menjadi sekitar 60% pada tahun 1926. Namun,
ada keraguan bahwa drainase rongga peritoneum adalah "physical and physiological
impossible" (Yates 1905). Sejak tahun 1926, kematian akibat peritonitis mengalami
penurunan rata-rata 30-40% dengan perkembangan teknik operasi baru, pengenalan antibiotik
dan pengobatan perawatan intensif.7
2.2

Epidemiologi
Tuberkulosis sering ditemukan di daerah-daerah miskin di dunia dan ditemui dengan

frekuensi yang semakin meningkat di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Sejak
tahun 1985 jumlah kasus tuberkulosis di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
meningkat secara dramatis karena jumlah imigran, pengungsi, dan individu dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) yang meningkat dan adanya hubungan antara peritoneal
tuberculosis dengan alcoholic cirrhosis dan chronic renal failure. Peritonitis tuberculosa
2

adalah tempat keenam yang paling sering untuk tuberculosis extrapulmonary setelah limfatik,
genitourinary, tulang dan sendi, TB milier dan meningitis TB. Sebagian besar kasus
peritonitis tuberculosa merupakan hasil dari reaktivasi penyakit peritoneal laten yang sudah
ada sebelumnya, secara hematogen dari fokus paru primer. Sekitar seperenam dari kasus
berhubungan dengan penyakit paru aktif.9
Peritonitis tuberculosa sering terjadi pada dewasa muda tetapi juga dapat terjadi pada
usia berapapun. Penelitian di US mengatakan bahwa peritonitis tuberculosa banyak terjadi
pada ras kulit hitam dengan prevalensi tinggi pada North American Indians. Alkohol dan
malnutrisi menjadi faktor penyebab utama pada peritonitis tuberculosa. Tuberkulosis pada
laki-laki muda yang berhubungan dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
tidak mencerminkan peningkatan insiden peritonitis tuberculosa.3
Peritonitis tuberculosa lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan
perbandingan 1,5 : 1. Peritonitis tuberculosa dijumpai 2 % dari seluruh tuberkulosis paru dan
59,8% dari tuberculosis abdominal. Insiden peritonitis sekunder sulit untuk dinilai. Infeksi
intra-abdominal ditemukan pada 25% pasien dengan gagal organ multiple di ICU bedah.
Mortalitas peritonitis berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit, yang biasanya dinilai
oleh APACHE II / skor III. Skor APACHE III berkorelasi dengan perkembangan sindrom
disfungsi organ multiple. skor peritonitis khusus yaitu Mannheim Peritonitis Index (MPI).
Setidaknya empat studi prospektif telah mengkonfirmasikan bahwa tidak hanya MPI yang
seefisien APACHE II dalam memprediksi risiko jangka pendek kematian seorang pasien
dengan peritonitis, tetapi juga merupakan salah satu sistem penilaian termudah untuk
menerapkan dan bisa dihitung selama operasi sedangkan skor APACHE II membutuhkan 24
jam dan itu kurang spesifik, namun MPI belum mendapatkan penerimaan luas. Namun, skor
tidak ada yang bisa memprediksi hasil dari peritonitis pada pasien individual.2
2.3

Embriologi
Peritoneum berasal dari bahasa Yunani Latin, Peri-berarti sekitar, dan ton-artinya

peregangan. Dengan demikian, peritoneum berarti peregangan sekitar (stretched around) atau
regangan luas (stretched over). Perkembangan peritoneum dari mesoderm trilaminar embrio.
Sebagai mesoderm differensiasi, salah satu regio yang dikenal sebagai lateral plate mesoderm
membelah untuk membentuk dua lapisan dan dipisahkan oleh coelom intraembryonic. Kedua
lapisan berkembang menjadi lapisan visceral dan lapisan parietal dalam rongga serosa yang
meliputi peritoneum. Sebagai sebuah perkembangan embrio, berbagai organ abdomen
3

tumbuh ke dalam rongga abdomen dari struktur di dinding abdomen. Dalam proses tersebut
organ-organ ini diselimuti oleh lapisan peritoneum. Organ-organ tumbuh mendapatkan
vaskularisasi dari dinding abdomen dan pembuluh darah menjadi tertutup oleh peritoneum,
membentuk sebuah mesenterium.

Sel-sel dari lapisan somatik mesoderm rongga intraembryonic menjadi mesothelial dan
membentuk lapisan parietalis dari membran serosa lapisan luar rongga peritoneal, pleural,
dan perikardial. Dengan cara yang sama, sel-sel dari lapisan mesoderm splanknikus
membentuk lapisan visceral dari membran serosa yang meliputi organ-organ abdomen, paruparu, dan jantung. Lapisan visceral dan lapisan parietalis yang berkesinambungan satu sama
lain sebagai mesenterium dorsal menekan gut tube ke dalam rongga peritoneal. Awalnya
mesenterium dorsal adalah band tebal mesoderm berjalan terus dari batas caudal dari foregut
sampai akhir hindgut. Ventral mesenterium hanya dari foregut caudal ke bagian atas
duodenum dan hasil dari penipisan mesoderm dari septum transversum. Mesenteri adalah
lapisan ganda peritoneum yang menyediakan jalur untuk pembuluh darah, saraf, dan limfatik
ke organ.5
2.4

Anatomi Peritoneum dan Kavum Peritoneal


Peritoneum merupakan ruang yang dibatasi oleh tulang, otot abdomen, diafragma dan

dasar pelvis. Intraperitoneal space terletak di dalam rongga abdomen dan dilapisi oleh
peritoneum.
- Lapisan luar yang disebut peritoneum parietalis melekat pada dinding abdomen.
4

- Lapisan dalam, peritoneum viseral, dibungkus di sekitar organ internal yang terletak di
dalam rongga intraperitoneal.
- Ruang potensial antara dua lapisan adalah rongga peritoneum, melainkan diisi dengan
cairan serosa (sekitar 50 ml) yang memungkinkan dua lapisan bebas bergeser satu sama
lain.
- Mesenterium adalah lapisan ganda peritoneum visceral. Pembuluh darah, saraf, dan
struktur lainnya ada antara lapisan ini.

Peritoneum terdiri dari satu lembar epitel skuamosa sederhana asal mesodermal disebut
mesothelium, terikat di stroma jaringan ikat tipis. Luas permukaan adalah 1,0-1,7 m2 dari
luas total area permukaan tubuh. Pada laki-laki, rongga peritoneal tertutup, sedangkan pada
wanita terbuka untuk eksterior melalui ostia dari saluran tuba. Membran peritoneal dibagi
menjadi komponen parietal dan visceral. Peritoneum parietalis meliputi permukaan dinding
anterior, lateral, dan posterior abdomen serta permukaan inferior diafragma dan pelvis.
Peritoneum visceral meliputi sebagian besar permukaan organ intraperitoneal (misalnya,
abdomen, jejunum, ileum, kolon transversum, liver, dan spleen) dan bagian anterior dari
organ retroperitoneal (yaitu, duodenum, kiri dan kanan kolon, pankreas , ginjal, dan kelenjar
adrenal).
Rongga peritoneum dibagi menjadi interkoneksi kompartemen atau spasi dengan 11
ligamen dan mesenterium. Ligamen peritoneal atau mesenterium meliputi koroner,
5

gastrohepatic,

hepatoduodenal,

falciform,

gastrocolic,

duodenocolic,

gastrosplenic,,

splenorenal, dan phrenicocolic ligamen dan mesocolon transversal dan mesenterium usus
halus. Struktur dinding abdomen dibagi dalam sembilan ruang potensial : kanan dan kiri
subphrenic, subhepatic, supramesenteric dan inframesenteric, kanan dan kiri saluran
paracolic, pelvis dan ruang yang lebih rendah. Ligamen, mesenterium dan peritoneal space
sirkulasi langsung cairan dalam rongga peritoneal sehingga mungkin bermanfaat dalam
memperkirakan rute penyebaran infeksi dan maligna. Sebagai contoh, perforasi duodenum
dari penyakit ulkus peptikum dapat mengakibatkan pergerakan cairan (dan pengembangan
abses) ke ruang subhepatic, saluran paracolic kanan, dan pelvis. Vaskularisasi ke peritoneum
viseral berasal dari pembuluh darah splanknikus, sedangkan peritoneum parietalis
divaskularisasi oleh percabangan interkostalis, subcostal, lumbal dan pembuluh iliaka.1

Struktur di abdomen diklasifikasikan sebagai intraperitoneal, retroperitoneal atau


infraperitoneal berdasarkan pada apakah struktur tersebut ditutupi peritoneum visceral dan
apakah struktur tersebut dilengkapi dengan mesenterika (mensentery, mesokolon).
Intraperitoneal
Stomach, First part of the

Retroperitoneal
The rest of the duodenum,

duodenum [5 cm], jejunum,

ascending colon, descending

ileum, Caecum, appendix,

colon, Rectum (middle 1/3)

Infraperitoneal
Rectum (lower 1/3)

transverse colon, sigmoid


6

colon, Rectum (upper 1/3)


Liver, Spleen, tail of pancreas

In women: Uterus, Fallopian

Pancreas (except tail)


Kidneys, adrenal glands,
proximal ureters, renal vessels
Gonadal blood vessels

Urinary bladder, distal


ureters

tubes, ovaries
Inferior vena cava, Aorta
Peritoneum adalah membran serosa terbesar dalam tubuh dan merupakan struktur yang
paling kompleks. Omentum adalah ekstensi berlapis ganda dari peritoneum yang
menghubungkan abdomen ke organ yang berdekatan. Refleksi peritoneal membentuk omenta
lebih besar dan lebih kecil, dan flow alami cairan peritoneal menentukan rute penyebaran
cairan intraperitoneal dan akibatnya terjadi proses penyakit di dalam rongga perut. Omenta
ini berfungsi sebagai batas untuk proses penyakit dan sebagai medium untuk penyebaran
penyakit. Omenta sering terlibat pada proses infeksi, inflamasi, neoplasma dan trauma.6
2.5

Fisiologi
Peritoneum adalah membran dua arah semipermeabel yang mengontrol jumlah cairan

dalam rongga peritoneal, meningkatkan penyerapan dan membersihkan bakteri dari rongga
peritoneal dan memfasilitasi migrasi sel radang dari microvascular ke dalam rongga
peritoneal. Normalnya, rongga peritoneal mengandung kurang dari 100 ml cairan serosa
steril. Mikrovili pada permukaan apikal dari mesothelium peritoneal meningkatkan luas
permukaan dan meningkatkan penyerapan cepat cairan dari rongga peritoneum ke dalam
limfatik dan sirkulasi portal dan sistemik. Jumlah cairan dalam rongga peritoneal dapat
meningkat pada berbagai penyakit seperti sirosis, sindroma nefrotik, dan carcinomatosis
peritoneal. Sirkulasi cairan dalam rongga peritoneal didorong oleh pergerakan diafragma.
Pori-pori interseluler peritoneum menutupi permukaan inferior dari diafragma (disebut
stomata) berkomunikasi dengan saluran limfatik dalam diafragma. Limfe mengalir dari
saluran limfatik subpleural diafragma melalui limfatik ke kelenjar getah bening regional dan
akhirnya ke duktus toraks. Relaksasi diafragma selama exhalasi membuka stomata dan
tekanan intrathoracic negatif menarik partikel fluida termasuk bakteri ke dalam stomata.
Kontraksi diafragma selama inhalasi mendorong kelenjar getah bening melalui saluran
limfatik mediastinum ke duktus toraks. Hal ini mengatakan bahwa pompa diafragma disebut
drive gerakan cairan peritoneum dalam arah cephal menuju diafragma dan masuk ke
pembuluh limfatik dada. Pola sirkulasi cairan peritoneal terhadap diafragma dan ke dalam
7

saluran limfatik pusat konsisten dengan klinis cepat sepsis pada pasien dengan infeksi intraabdomen umum serta perihepatitis, sindroma Fitz-Hugh-Curtis pada pasien dengan salpingitis
akut.
Peritoneum dan rongga peritoneal merespons infeksi dalam lima cara:
1. Bakteri dengan cepat dibersihkan dari rongga peritoneum melalui stomata diafragma dan
limfatik.
2. Makrofag peritoneal melepaskan mediator pro-inflamasi yang meningkatkan migrasi
leukosit ke dalam rongga peritoneal dari microvascularisasi sekitarnya.
3. Degranulasi sel mast peritoneal melepaskan histamin vasoaktif dan produk lainnya
sehingga menyebabkan vasodilatasi lokal dan ekstravasasi cairan yang mengandung
banyak protein dan imunoglobulin ke dalam ruang peritoneal.
4. Protein dalam cairan peritoneal opsonize bakteri dengan aktivasi komplemen
meningkatkan pelepasan neutrofil dan makrofag yang dimediasioleh fagosit bakteri dan
destruksi.
5. Bakteri menjadi sequester dalam matriks fibrin sehingga meningkatkan pembentukan
abses dan membatasi penyebaran luas infeksi.1
2.6

Definisi
Peritonitis tuberkulosa adalah

peradangan

peritoneum oleh Mycobacterium

tuberculosa, yang akut, jarang terjadi dan kalau muncul merupakan bagian dari bentuk milier
yang mengikuti perforasi intestinal atau

ruptur kaseosa KGB mesenterial, sedangkan

peritonitis tuberkulosis kronis awalnya disertai

ascites yang sanguinus kemerahan dan

pembesaran kelenjar mesenterial yang berlanjut menjadi fibrin dan berkembang menjadi
adhesi dan obliterasi rongga peritoneum, omentum menebal membentuk masa transvers yang
di kenal dengan rolled up Omentum.11
Peritonitis tuberculosa merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Peritonitis tuberculosa sering
mengenai seluruh peritoneum, organ sistem gastrointestinal, mesenterium dan organ genetalia
interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses
tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan pada
waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa
terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu
sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain. Peritonitis tuberculosa perjalanan
penyakitnya berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang
jelas maka diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan. Tidak jarang
8

peritonitis tuberculosa ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati
atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.2
2.7

Etiologi
Mycobacterium adalah kuman berbentuk basil tahan asam (dinding sel), non-motil,

bacil pleomorfik, berkaitan dengan Actinomyces. Umumnya mycobacterium ditemukan di


habitat seperti air atau tanah. Namun, beberapa yang patogen intraselular dalam tubuh hewan
dan manusia. Mycobacterium tuberculosis bersama dengan Mycobacterium bovis, M.
Mafricanum dan M. microti semuanya merupakan penyebab penyakit tuberkulosis. M. bovis
biasanya patogen untuk hewan. M. bovis yang menyebabkan tuberkulosis pada spesies hewan
sebelum menyerang manusia. Namun, setelah domestikasi ternak antara 8000-4000 SM, ada
bukti arkeologi bahwa infeksi manusia dengan M. bovis mungkin melalui konsumsi susu
sapi.
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman bersifat aerob, parasit fakultatif
intraseluler. Kuman ini tumbuh dalam kelompok paralel yang disebut cords. Mycobacterium
tuberkulosis adalah aerob, non-spora, nonmotile, fakultatif, intraseluler, batang melengkung
berukuran 0,2-0,5 pM oleh 2-4 pM. Dinding sel mengandung mycolic, asam-kaya,
glycolipids rantai panjang dan phospholipoglycans (mycocides) yang melindungi
mycobacterium dari serangan sel lisosomal dan juga mempertahankan pewarna fuchsin
merah dasar setelah bilasan asam (acid-fast stain). Manusia merupakan reservoir untuk
Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini menyebar terutama sebagai aerosol udara dari
yang terinfeksi kepada individu noninfected (meskipun transmisi dan GI transdermal telah
dilaporkan). Tetesan ini adalah 1-5 pM dalam diameter, sebuah batuk tunggal dapat
menghasilkan tetesan 3000 infektif, dengan sesedikit 10 basil diperlukan untuk memulai
infeksi.10
2.8

Klasifikasi
Peritonitis didefinisikan sebagai peradangan pada peritoneum yang mungkin

disebabkan oleh patogen atau faktor-faktor non-patogen. Dalam literatur, peritonitis sering
digunakan untuk infeksi intra-abdominal atau sepsis intra-abdomen. Bahkan, tiga istilah yang
paling banyak membingungkan adalah kontaminasi, infeksi dan sepsis. Kontaminasi berarti
kehadiran bakteri dalam jaringan steril normal tanpa ada reaksi host. Infeksi adalah adanya
bakteri pada jaringan steril normal dengan respon host lokal (inflamasi) secara klinis terbukti.
9

Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi lokal. Peritonitis dapat disebabkan oleh
perforasi trauma dari intestinal, dehiscence anastomotic, translokasi kuman, peradangan atau
perforasi viskus berongga, misalnya, appendisitis atau diverticulitis kolon.
Peritonitis dapat diklasifikasikan ke dalam peritonitis primer, sekunder atau tersier.
- Peritonitis bakteri primer mengacu pada invasi bakteri spontan dari rongga peritoneal. Ini
terutama

terjadi

pada

bayi

dan

anak

usia

dini,

pada

pasien

sirosis

dan

immunocompromised hosts. Peritonitis bakteri primer adalah peritonitis tanpa perforasi


organ berongga dan sering disebabkan oleh mikroorganisme baik secara langsung maupun
transisi lewat hematogen ke rongga peritoneal. Proses ini disebabkan oleh jenis tunggal
mikroba seperti E. coli, S. aureus, E. faecalis, Candida albicans, dll. Kelainnan
berhubungan dengan jumlah cairan yang abnormal dalam rongga peritoneal, normalnya
hanya < 50 ml. Contohnya pada pasien asites akibat sirosis hepatis. Manifestasi klinis dari
kelainan ialah nyeri seluruh abdomen tanpa dapat dilokalisir. Bukti pastinya termasuk
adanya sejumlah sel PMN dan hasil pewarnaan gram menunjukkan mikroba tunggal.
Terapi untuk peritonitis mikroba primer terdiri dari antimikroba parenteral selama 14-21
hari dan dyalisis peritoneal kateter, meskipun mungkin hanya terapi antimikroba saja
sudah cukup. Bila gejala membaik, terapi diktakan berhasil.
- Peritonitis bakteri sekunder menjelaskan infeksi peritoneal sekunder untuk lesi
intraabdominal, seperti perforasi dari viskus berongga, nekrosis usus, peritonitis
nonbacterial, atau penetrasi proses infeksi. Peritonitis bakteri sekunder adalah bakteri yang
telah terjadi setelah perforasi organ berongga dimana mikroba endogen tumpah ke rongga
peritoneal membentuk inokulum awal. Meski banyak jumlah mikroba yang membentuk
inokulum awal selama perforasi traktus

gastrointestinal, hanya jumlah terbatas yang

mampu menyebabkan infeksi. Perforasi kolon berhubungan dengan tingkat infeksi yang
lebih tinggi dari tipe perforasi lain dikarenakan ukuran inokulum yang luas terdiri dari
aerob maupun anaerob. Setelah kontaminasi, muncul gejala klinik seperti nyeri abdomen
hebat yang berhubungan dengan distensi, ileus, dan demam serta adanya udara bebas di
intraperitoneal yang berasal dari usus. Selama eksplorasi abdomen, ditemukan
fibrinopurulen peritonitis yang mungkin terlokalisir atau diffuse. Mikroba aerob (E. coli
dan basil gram negatif lain seperti enterobacter, mikroba gram positif termasuk
Enterococcus faecalis dan E. faecium) dan isolasi anaerobic (Bacteroides fragilis serta
spesies lain, Peptidostreptococcus, Peptostreptococcus dan Clostridium sp) ditemukan
sekitar 80-90% specimen, jarang isolasi yang hanya aerob atau anaerob. Berikutnya segera
10

diberikan resusitasi cairan, pasien dengan peritonitis bakteri sekunder harus menjalani
operasi untuk mengurangi sumber cairan peritoneal yang terus menerus. Durasi terapi
optimal terbukti sulit untuk dipastikan pada semua pasien dengan infeksi intraabdominal.
- Peritonitis tersier, sebuah less well-defined entity (wujud yang kurang jelas) ditandai
dengan infeksi persisten atau berulang dengan organisme virulensi intrinsik rendah atau
dengan kecenderungan untuk pasien immunocompromised. Biasanya dilakukan operasi
untuk mengobati peritonitis sekunder dan hampir eksklusif berhubungan dengan respons
inflamasi sistemik. Peritonitis tersier ialah keadaan pasien yang megalami peritonitis
bakteri sekunder yang tidak dapat diberantas atau sudah terbentuk infeksi intra abdominal.
Kebanyakan dari pasien ini dalam keadaan imunosupresif dan membutuhkan reeksplorasi
untuk memastikan bahwa tidak ada sumber infeksi yang terus-menerus. Secara umum,
infeksi samar cairan peritoneal ditemukan dan hasil kultur ditemukan mikroba yang
resisten terhadap antibiotik pada terapi awal peritonitis sekunder. Penatalaksanaannya
ialah langsung melawan patogen yang terisolasi saat reeksplorasi dan reeksplorasi
abdomen secara frekuen untuk debridement. Angka kematian lebih dari 50% meskipun
telah mengunakan antibakteri dan antifungal yang poten dan telah dilakukan reeksplorasi.
Peritonitis adalah peradangan pada rongga peritoneum dan peritoneal yang disebabkan
karena infeksi lokal atau umum. Peritonitis primer hasil dari infeksi bakteri, klamidia, jamur,
atau mycobacterial tanpa adanya perforasi saluran gastrointestinal, sedangkan peritonitis
sekunder terjadi dalam akibat perforasi gastrointestinal. Keadaan yang sering menyebabkan
peritonitis bakteri sekunder termasuk penyakit ulkus peptikum, appendisitis akut,
diverticulitis kolon, dan pelvic inflammatory disease.1
Peritonitis klinis sering diklasifikasikan sebagai penyebaran lokal atau diffuse.
Karakteristik peritonitis lokal adalah lokal infeksi, biasanya berdinding-off atau yang terdiri
dari organ yang berdekatan, sedangkan peritonitis diffus identik dengan peritonitis umum,
yang menyebar ke seluruh rongga.4
Spontaneous bacterial peritonitis
Spontaneous bacterial peritonitis didefinisikan sebagai infeksi bakteri cairan asites
tanpa adanya infeksi intra-abdomen, pembedahan dan dapat diobati. Meskipun paling sering
dikaitkan dengan sirosis, spontaneous bacterial peritonitis juga dapat terjadi pada pasien
dengan sindrom nefrotik dan gagal jantung kongestif. Hal ini sangat jarang untuk pasien
11

dengan cairan asites yang mengandung kadar protein yang tinggi untuk berkembang menjadi
spontaneous bacterial peritonitis seperti pada carcinomatosis peritoneal. Patogen yang paling
umum pada dewasa dengan spontaneous bacterial peritonitis adalah aerobic enteric flora
Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. Pada anak-anak dengan asites nephrogenic atau
hepatogenic, Streptokokus kelompok A, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia yang sering terisolasi. Patogenesis spontaneous bacterial peritonitis masih belum
jelas, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa translokasi bakteri dari saluran pencernaan
berperan penting dalam perkembangan terjadinya infeksi. Disfungsi imun lokal dan sistemik
pada pasien sirosis mencegah opsonization efektif, fagositosis, dan membunuh bakteri
translokasi. Gangguan reseptor Fc gamma pada permukaan makrofag pasien sirosis dapat
mencegah fagositosis efektif. Aktivitas rendah opsonic cairan asites juga mencegah
penyerapan efektif dan membunuh bakteri baik oleh makrofag dan neutrofil.
Diagnosis dari spontaneous bacterial peritonitis awalnya ditegakkan dengan
menunjukkan lebih dari 250 neutrophils/mm3 cairan asites. Manifestasi klinis lainnya yaitu
nyeri abdomen, demam, atau leukositosis pada pasien dengan asites rendah protein.
Antibiotik spektrum luas, seperti sefalosporin generasi ketiga, diberikan segera pada pasien
yang diduga infeksi cairan asites. Broad-spectrum antibiotik mungkin dipersempit setelah
hasil tes sensitivitas antibiotik diketahui. Mengulang tindakan paracentesis dengan analisis
cairan asites tidak diperlukan apabila ada perbaikan cepat dalam respon terapi antibiotik. Jika
manifestasi klinis, analisis cairan asites atau berespon terhadap terapi atipikal, tindakan ulang
paracentesis mungkin dapat membantu dalam mendeteksi peritonitis sekunder. Isolasi bakteri
multiple, khususnya organisme enterik gram negatif dikombinasikan dengan respon yang
buruk terhadap terapi antibiotik, menunjukkan adanya peritonitis sekunder.
Risiko kematian langsung akibat spontaneous bacterial peritonitis rendah, terutama jika
diketahui dan diterapi cepat. Namun, perkembangan komplikasi lain seperti hepatic failure,
termasuk perdarahan gastrointestinal atau sindrom hepatorenal memberikan banyak
kontribusi dalam kematian dari pasien selama dirawat di rumah sakit di mana SBP terdeteksi.
Terjadinya spontaneous bacterial peritonitis merupakan dasar diagnosis penting untuk riwayat
sirosis, dengan 1-2 tahun kelangsungan hidup masing-masing sekitar 30% dan 20%.1
Peritonitis Tuberculosa
Penyakit ini sering muncul sebagai silent symptoms atau tersembunyi, dengan pasien
mengalami gejala selama beberapa minggu. Perut bengkak akibat pembentukan ascites
adalah gejala yang paling umum terjadi pada lebih dari 80% kasus. Demikian pula, sebagian
12

besar pasien mengeluh nyeri perut yang tidak jelas lokasinya. Gejala konstitusional seperti
demam ringan dan berkeringat malam, penurunan berat badan, anoreksia, dan malaise
dilaporkan pada sekitar 60% pasien. Kehadiran gejala kadang bersamaan dengan kondisi
kronis lain seperti uremia, sirosis, dan AIDS sehingga membuat gejala-gejala ini sulit untuk
diukur. Abdominal tenderness ditemukan saat palpasi pada setengah dari pasien dengan
peritonitis tuberculosa. Tuberkulin tes positif ditemukan pada banyak kasus, sedangkan hanya
setengah dari pasien akan memiliki radiograf dada yang tidak normal. Cairan asites kurang
dari 1,1 g/dL dengan konsentrasi protein tinggi. Pemeriksaan mikroskopis dari asites
menunjukkan eritrosit dan peningkatan jumlah leukosit yang sebagian besar limfosit.
Abdominal imaging dengan ultrasound atau CT mungkin disarankan untuk penegakan
diagnosis tetapi tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnostik. USG bisa
menunjukkan keberadaan material echogenic dalam cairan asites, dilihat sebagai strand
mobile halus atau partikel-partikel. CT akan menunjukkan mesenterium menebal dan nodular
dengan limfadenopati mesenterika dan penebalan omentum.
Diagnosis dibuat dengan laparoskopi biopsi peritoneum. Lebih dari 90% kasus,
laparoskopi menunjukkan beberapa nodul keputihan (<5 mm) yang tersebar di peritoneum
viseral dan parietal. Pemeriksaan histologis menunjukkan nodul caseating granuloma.
Multiple adhesi umumnya terjadi antara organ-organ abdomen dan peritoneum parietal.
Tampak rongga peritoneal mirip dengan carcinomatosis peritoneal, sarkoidosis dan Crohn
disease, sehingga biopsi penting dilakukan. Biopsi peritoneal percutaneous memiliki hasil
prediksi lebih rendah dari directed biopsy dan laparotomi dengan biopsi peritoneum
disediakan untuk kasus-kasus di mana laparoskopi nondiagnostic atau tidak dapat dilakukan
secara aman. Pemeriksaan mikroskopis cairan asites untuk mengidentifikasi organisme acidfast bacilli dalam waktu kurang dari 3% dari kasus, dan hasil kultur yang positif dalam waktu
kurang dari 20% kasus. Selain itu, kegunaan diagnostik kultur mycobacterial lebih lanjut
dibatasi oleh waktu yang mungkin diperlukan untuk kultur menghasilkan informasi definitif
(sampai 8 minggu).
Pengobatan peritonitis tuberculosa termasuk obat-obatan antituberculous. Obat
regimens berguna dalam mengobati TB paru juga efektif untuk peritoneal disease dengan
isoniazid dan rifampisin setiap hari selama 9 bulan menjadi regimens efektif yang sering
digunakan.1
2.9

Patogenesis Peritonitis Tuberkulosa

13

Ketika droplet nuklei terhirup akan disimpan dalam terminal airspaces paru-paru.
Organisme ini tumbuh selama 2-12 minggu, sampai mencapai 1000-10,000 dalam jumlah
yang cukup untuk mendapatkan respon imun seluler yang dapat dideteksi oleh reaksi
terhadap tes kulit tuberkulin. Infeksi paparan aerosol menginfeksi paru-paru atau selaput
lendir. Pada individu imunokompeten, ini biasanya menghasilkan laten / infeksi aktif, hanya
sekitar 5% dari orang-orang ini kemudian menunjukkan bukti klinis. Paparan Mycobacterium
tuberculosis dapat terjadi jika wilayah udara bersama dengan seorang individu yang masih
dalam tahap infeksi tuberkulosis. Perubahan dalam sistem kekebalan tubuh host yang
menyebabkan efektivitas kekebalan tubuh menurun dapat memungkinkan mycobacterium
tuberculosis untuk aktif kembali, dengan penyakit tuberkulosis dihasilkan dari kombinasi
efek langsung dari penularan organisme atau dari replikasi dan selanjutnya respon host yang
tidak kebal terhadap antigen tuberkulosis. Mycobacterium sangat antigenik dan mereka
mempromosikan respon kuat kekebalan tubuh nonspesifik. Antigenisitas mycobecterium
karena banyak konstituen dinding sel, termasuk glikoprotein, fosfolipid, dan wax D, yang
mengaktifkan sel-sel Langerhans, limfosit, dan leukosit PMN. Karena kemampuan
Mycobacterium tuberculosis untuk bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit
mononuklear yang menelan bakteri sehingga Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang
kelenjar getah bening lokal dan menyebar extrapulmonal, seperti sumsum tulang, hati, limpa,
ginjal, tulang, dan otak, biasanya melalui rute hematogen.
Ketika seseorang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, infeksi dapat mengambil 1
dari berbagai jalur yang sebagian besar tidak mengarah ke tuberkulosis sebenarnya. Infeksi
dapat dibersihkan oleh sistem kekebalan tubuh host atau ditekan menjadi bentuk yang tidak
aktif yang disebut infeksi laten tuberkulosis dengan host tahan pengendalian pertumbuhan
mycobacterium di fokus jauh sebelum perkembangan penyakit aktif. Pasien dengan keadaan
infeksi laten tidak dapat menyebarkan penyakit.
Meskipun mycobacterium yang disebarkan oleh darah ke seluruh tubuh selama infeksi
awal, penyakit paru primer jarang terjadi kecuali pada host yang immunocompromised. Bayi,
orang tua, atau host lain yang imunosupresi tidak mampu mengontrol pertumbuhan
mycobacterium dan perkembangan penyakit disebarluaskan (primer miliaria). Pasien yang
menjadi immunocompromised setelah infeksi primer juga dapat berkembang menjadi
tuberkulosis aktif.
Paru-paru adalah tempat yang paling umum untuk berkembangnya tuberkulosis, 85%
dari pasien tuberkulosis datang dengan keluhan paru. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat
terjadi sebagai bagian dari infeksi umum primer atau terlambat. Lokasi luar paru juga dapat
14

berfungsi sebagai situs reaktivasi, reaktivasi luar paru dapat hidup berdampingan dengan
pengaktifan kembali paru. Tempat yang paling umum penyakit paru yang mediastinum,
retroperitoneal, dan leher rahim (penyakit kelenjar) kelenjar getah bening, badan vertebra,
adrenal, meninges, dan saluran pencernaan. Bahwa patologi lesi ini mirip dengan yang di
paru-paru. (tempat yang paling umum dari limfadenitis tuberculosa (penyakit kelenjar) adalah
di leher, sepanjang otot sternocleidomastoid. Hal ini biasanya unilateral dan menyebabkan
rasa sakit sedikit atau tidak ada. Lanjutan kasus limfadenitis tuberculosa bisa bernanah dan
membentuk sinus pengeringan.
Akhir organ yang terinfeksi biasanya memiliki tinggi, tegangan oksigen regional
(seperti pada ginjal, tulang, meninges, mata, dan choroids, dan di apeks paru-paru). Penyebab
utama kerusakan jaringan dari infeksi mycobacterium tuberculosis berhubungan dengan
kemampuan organisme untuk menstimulasi reaksi host intens kebal terhadap protein dinding
sel antigenik.
Empat faktor yang berkontribusi terhadap kemungkinan transmisi, sebagai berikut:
-

Jumlah organisme dikeluarkan

Konsentrasi organisme

Lama waktu paparan terkontaminasi udara

Status kekebalan individu terkena7

Patogenesis Peritonitis
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Bila material infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum atau bila terjadi
penyebaran infeksi dapat timbul peritonitis, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik. Intestinal kemudian menjadi atoni dan dilatasi. Kehilangan cairan dan
elektrolit ke intraluminal mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguri.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen (meningkatkan
aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan
jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem
pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di
antara matriks fibrin. Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan
mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri
untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat
banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan
15

penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen- kompartemen yang kita kenal sebagai
abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang
paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah
yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam
rongga abdomen, peritonitis juga terjadi karena virulensi kuman yang tinggi hingga
mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin
buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya pada
peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakteri gram negatif, terutama E. coli.
Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif
tinggi, sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health
evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis
juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).7
Fokus ileocecal atau fokus lainnya pada tuberkulosis intestinal jarang menyebabkan
peritonitis diffus. Penyebab paling umum adalah lanjutan dari tuberkulosis caseosa node
mesenterika, yang biasanya terjadi karena penyebaran hematogen dari fokus utama di paruparu.9
Peritoneum terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis melalui beberapa cara yaitu:
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus peritonitis tuberculosa terjadi bukan sebagai akibat penyebaran
perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang
diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (dorman infection). Lesi
tuberkulosa bisa mengalami supresi dan penyembuhan, namun kuman yang dorman berada
dalam fase laten dan menetap. Infeksi akan kembali berkembang menjadi tuberkulosa pada
saat imunitas tubuh turun dan mycobacterium intrasseluler tadi bermutiplikasi secara cepat.2
2.10 Patologi
Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites dengan gejala paling
menonjol adalah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan
16

tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuningkuningan bentuk milier tampak tersebar di peritoneum atau pada organ-organ tubuh yang
berada di rongga peritoneum. Selain partikel yang kecil-kecil juga dijumpai tuberkel yang
berukuran lebih besar. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti
pembuluh darah, eksudat dapat terbentuk cukup banyak menutupi tuberkel dan peritoneum
sehingga dinding perut menjadi tegang, cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan
terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat
terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk.
Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara intestinal dan
peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang terbentuk fistel. Hal ini
disebabkan karena adanya perlengketan-perlengketan. Fistel terbentuk karena perlengketan
dinding intestinal dan peritoneum parintel kemudian timbul proses nekrosis. Bentuk ini sering
menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
Bentuk campuran
Bentuk campuran disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses
eksudasi bersamaan dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong
perlengketan tersebut. Klasifikasi ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana
pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesif. Pemberian hispatologi
jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri
dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.2
2.11 Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada pasien peritonitis tuberculosa bervariasi dan keluhan muncul secara
perlahan-lahan. Keluhan diantaranya nyeri abdomen, batuk, demam, keringat malam,
anorexia, berat badan menurun dan diare. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan asites,
rhonki paru, efusi pleura, dan fenomena papan catur (chessboard phenomen), hepatomegali,
splenomegali, limfadenopati. Diagnosis dari peritonitis ditandai dengan manifestasi klinis
berupa keluhan nyeri perut, mual, muntah, bising usus berkurang, demam, syok.2.4.7.8.9
2.12 Differential Diagnosis

Appendisitis
17

Pankreatitis

Gastroenteritis

Kolesistitis

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)9

2.13 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin sering dijumpai adanya leukositosis ringan ataupun
leukopenia, trombositosis, laju endap darah meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes
tuberculin hasilnya sering negatif. Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya
memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl, jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya
lebih dari 90% adalah limfosit. Cairan asites dapat berupa cairan yang perulen atau cairan
asites yang bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati
hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20%
hasilnya positif. Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada peritonitis tuberculosa
ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan,
sindroma nefrotik, penyakit pancreas, kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila
ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat hipertensi portal. Perbandingan
glukosa cairan asites dengan darah pada peritonitis tuberculosa <0,96 sedangkan pada asites
dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan PH cairan asites dan peningkatan kadar
laktat dapat dijumpai pada peritonitis tuberculosa dan dijumpai signifikan berbeda dengan
cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan
asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai
pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.2
Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Gambaran
ultrasonografi peritonitis tuberculosa yang sering dijumpai adalah cairan yang bebas atau
terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal
dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan
lumen usus dan penebalan omentum.2
CT Scan
18

Pemeriksaan CT Scan untuk peritonitis tuberculosa tidak mempunyai suatu gambaran


yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan
untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari
tuberculosis peritoneal. Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian untuk
membandingkan peritonitis tuberculosa dengan karsinoma peritoneal dan karsinoma
peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya
peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas
menunjukkan suatu peritonitis tuberculosa sedangkan adanya nodul yang tertanam dan
penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma.2
Laparoskopi
Laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa
peritonitis tuberculosa terutama bila ada cairan asites dan sangat bermanfaat untuk mendapat
diagnosa pasien-pasien muda dengan keluhan nyeri perut yang tidak jelas penyebabnya dan
cara ini dapat mendiagnosa peritonitis tuberculosa 85% sampai 95% dan dengan direct biopsy
dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma
sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA
positif hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma
yang lebih spesifik yaitu granuloma dengan pengkejutan.
Gambaran yang dapat dilihat pada peritonitis tuberculosa:
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi dijumpai tersebar luas pada
dinding peritoneum dan intestinal dapat dijumpai permukaan hepar atau tuberkel organ
lainnya yang bergabung membentuk nodul.
2. Perlengketan bervariasi dari adhesi yang sederhana sampai adhesi yang luas diantara
organ-organ didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang
normal. Permukaan hepar dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk
dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan sangat kasar yang kadangkadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan esites sering dijumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan menjadi
keruh atau cairan yang hemoragis.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara direct atau pada jaringan lain yang
diduga mengalami abnormalitas dengan menggunakan alat biopsy khusus sekaligus cairan
19

dikeluarkan. Walaupun pada umumnya gambaran laparaskopi peritonitis tuberculosa dapat


dikenali dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti
peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu dilakukan dan pengobatan
sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi mendukung diagnosa suatu
peritonitis tuberkulosa.2
Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering dilakukan,
namun saat ini banyak ahli bedah yang menganggap pembedahan hanya dilakukan jika
dengan cara yang sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai indikasi
yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang bernanah.2
2.14 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan peritonitis tuberculosa sama dengan pengobatan tuberculosis
paru, obat-obat seperti streptomisin, INH, etambutol, ripamficin dan pirazinamid memberikan
hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya
pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. Beberapa penulis
berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan
mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi
angka kesakitan dan kematian, namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada
daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mycobacterium tuberculosis.2
Penatalaksanaan tuberkulosis dibagi menjadi 4 kategori. Kategori I untuk pasien baru :
2HRZE/4R3H3. kategori II untuk pasien kambuh dan gagal pengobatan kategori I :
2HRZES/HRZE/5R3H3E3. Kategori III untuk pasien TB anak-anak : 2HRZ/4R3H3.
Kategori IV untuk pasien kronik yang sudah gagal dari kategori II : Isoniazid (INH) seumur
hidup (Tim Field Lab, 2008).9
2.15 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini
-

Septikemia dan syok sepsis

Syok hipovolemik

Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
20

Abses residual intraperitoneal

Portal Pyemia (misal abses hepar)

b. Komplikasi Lanjut
-

Adhesi

Obstruksi intestinal rekuren9

2.16 Prognosis
Peritonitis tuberculosa jika dapat segera ditegakkan diagnosa dan mendapat pengobatan
segera yang efektif dan tuntas umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang
adequate.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah umur, fecal peritonitis,
asidosis metabolik, tekanan darah, kegagalan organ pra-operasi, albumin serum.9

21

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sabiston Textbook of Surgery, 18th Edition. Peritoneum and Peritoneal Cavity.


Saunders, An Imprint of Elsevier. 2007

2.

Sudoyo W, Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV : Peritonitis
Tuberkulosa. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. 2006

3.

Schlossberg, David. Tuberculosis 3th Edition. Springer-Verlag. 1993

4.

Way, LW. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, 7th Edtion
Maruzen, USA. 1998

5.

Embriology Langman. Chapter 10 Body Cavities, Formation of the Intraembryonic


Cavity. Peritoneum (sereous) membrane hal 199

6.

Faiz, Omar. Moffeat, David. Anatomy at a Glance. The Peritoneum. Blackwell Science
Ltd a Blackwell Publishing company. USA. 2002

7.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6950

8.

http://www.scribd.com/doc/31433033/Peritonitis-Tb

9.

http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview

10. http://www.microbiologybytes.com/Mtuberculosis.html

22

Anda mungkin juga menyukai