Anda di halaman 1dari 54

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Laporan Kasus

Acute Coronary Syndrome (STEMI Inferior)

Disusun oleh:
Sapta Rahayuning Ratri
NIM: 0808015026

Pembimbing:
dr. Wayan Aryadhana, Sp. JP(K) FIHA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Acute Coronary Syndrome (STEMI Inferior)


Laporan Kasus
Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik
pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh:
Sapta Rahayuning Ratri
NIM: 0808015026

Dipresentasikan pada 12 Desember 2014

Pembimbing

dr. Wayan Aryadhana, Sp. JP(K) FIHA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler, terutama
SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-negara
berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006). World Health Organization (WHO)
(Tunstall H dkk,1994) dan American Heart Association (AHA) pada akhir tahun 1950
menegakkan diagnosis SKA (sindroma koroner akut) berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu
manifestasi klinis nyeri dada, gambaran EKG dan penanda enzim jantung
(Luepker,2003).
Penyakit jantung koroner adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia, dan 3,8
juta pria serta 3,4 juta perempuan meninggal akibat penyakit tersebut setiap tahun.
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab 48% kematian akibat penyakit
kardiovaskular pada tahun 1998 di Amerika Serikat.3,4
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit yang terutama disebabkan oleh
kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner karena arterosklerosis yang
merupakan proses degeneratif. Seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia
maka kejadiannya akan makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting
dikarenakan sering menyebabkan kematian mendadak.1
Pasien dengan penyakit jantung koroner akan bermanifestasi ke dalam dua
kelompok besar yaitu pasien dengan penyakit arteri koroner kronik (Coronary Artery
Disease / CAD) yang umumnya bermanifestasi sebagai angina stabil dan pasien dengan
sindrom koroner akut (Acute Coronary Syndrome / ACS). Kelompok dengan ACS terbagi
menjadi infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial
Infarction / STEMI), angina tidak stabil (Unstable Angina / UA) atau infark miokard akut
tanpa elevasi segmen ST (Non ST Elevation Myocardial Infarction / NSTEMI)3.

1.2 Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta mempelajari dan

mengkritisi kasus bagi penulis dan pembaca mengenai ACS.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 01 Desember 2014 dan anamnesis dilakukan secara
autoanamnesis pada tanggal 02 Desember 2014.
Identitas
Nama

: Tn. BT

Umur

: 55 tahun

Alamat

: Jln. Sultan Alimudin Samarinda

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Suku

: Jawa

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

Keluhan Utama
Nyeri Dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada dirasakan sejak 1 hari SMRS, pada awalnya terasa di daerah ulu hati
sensasi panas dan seperti tertindih beban berat, menjalar sampai ke punggung dan lengan
kiri atas, serta terasa berat pada daerah tengkuk, keluhan ini disertai mual tetapi tidak
disertai muntah, perut terasa kembung dan penuh. Keluhan lain yang dirasakan adalah
sesak napas, semakin dada terasa nyeri maka semakin memberat untuk menarik napas.
Tidak ditemukan keluhan berdebar-debar. Kurang lebih 1 bulan yang lalu pasien
mengeluhkan keluhan nyeri dada tetapi tidak menjalar seperti ditekan benda berat disertai
sesak napas saat berolahraga (bermain bulu tangkis) akan tetapi membaik setelah dibawa

beristirahat, lamanya sekitar 15 menit.

Riwayat Kebiasaan
Merokok sejak usia 25 tahun dan sudah tidak merokok sejak 1 tahun yang lalu.
Rutin berolahraga sebulan minimal 2 kali bermain bulu tangkis dan sehari-hari
pasien terbiasa jalan kaki di pagi hari 30 menit.
Riwayat Pekerjaan dan Lingkungan

Pasien sudah 3 tahun terakhir berhenti bekerja.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat masuk RS (-)

Riwayat tekanan tinggi (+) sejak 1 tahun tetapi tidak minum obat teratur

Riwayat asma disangkal

Riwayat sakit jantung disangkal

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi dalam keluarga (-)

Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa

Tidak ada keluarga dengan riwayat asma

2.2 Pemeriksaan Fisik


Status generalis
Keadaan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis, E4V5M6

BB
TB
IMT

: 51 kg
: 160 cm
: 19,9

Tanda vital

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi

: 98 x/menit reguler

Respiratory rate

: 16 x/menit

Temperatur

: 36,2 0C Aksiler

Kepala/Leher
Mata
Kelopak

: edema (-/-), eksoftalmus (-/-)

Konjungtiva

: anemis (-/-)

Sclera

: ikterik (-/-)

Pupil

: bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), diameter (3mm/3mm)

Telinga
Bentuk

: normal

Lubang telinga : normal


Pendengaran

: normal

Hidung
Penyumbatan

: (-/-)

Perdarahan

: (-/-)

Pernapasan cuping hidung : tidak ada


Mulut
Bibir

: pucat (-), sianosis (-)

Gusi

: berdarah (-)

Mukosa

: hiperemi (-), pucat (-)

Lidah

: makroglosia (-), mikroglosia (-)

Faring

: Hiperemia (-)

Leher
Umum

: simetris

Kelenjar limfe

: membesar (-)

Trachea

: di tengah

Tiroid

: tidak ada pembesaran

V. jugularis

: 5-1 cmH2O

Thoraks
Pulmo:
Inspeksi

: bentuk dan gerakan dada simetris, barrel chest (-), retraksi supraclavicula
(+), retraksi infraclavicula (-), retraksi suprasternal (-), retraksi interkosta
(+), pelebaran sela iga (-)

Palpasi

: gerakan dada simetris, fremitus raba dekstra = sinistra, pelebaran sela iga
(-), nyeri (-)

Perkusi

: Sonor di seluruh lapangan paru


Batas paru hepar ICS VIII

Auskultasi

: Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Cor:
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: batas jantung kanan ICS III parasternal line dekstra


batas jantung kiri ICS V 1 jari medial midclavicular line sinistra

Auskultasi

: S1, S2 tunggal, regular, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: cembung

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani, shifting dulles (-)

Palpasi

: distensi (-), nyeri tekan (-) pada semua kuadran, massa (-), organomegali
(-)

Ekstremitas

Akral hangat, oedema

2.3 Pemeriksaan Penunjang


1.

Hasil Laboratorium

Leukosit
Eritrosit
Hb
Hct
Plt
GDS
SGOT
SGPT
Bil Total
Bil direk
Bil indirek
Prot Tot
Albumin
Globulin
Kolesterol
Trigliserida
HDL
LDL
As. Urat
Ureum
Creatinin
Na
K
Cl
Troponin T

01/12/2014

01/11/2012

(IGD)
9.500
4.090.000
18,8
51,5
178.000
139

(HCU)

36,0
0,9
140
4,2
107
429

2. Foto Thorax PA (01 Desember 2012)

94
38
44
1,3
0,5
0,8
7,2
3,9
3,3
200
103
90
129
6,2
34,4
1,0

Interpretasi:
Posisi PA, asimetris, kualitas kV cukup
Jantung :
-

bentuk normal dan ukuran membesar (CTR 60%)

Paru:
Corakan bronkovesikuler normal
Tidak tampak adanya perselubungan di kedua lapangan paru
ICS : Tidak tampak adanya pelebaran ICS
Sinus costophrenicus: tajam
Soft tissue: kesan dalam batas normal
Tulang : fraktur (-), sklerotik (-), anomali (-)
Trakea : agak terdorong ke arah kanan
Hemidiafragma : hemidiafragma dekstra lebih tinggi daripada sinistra,
3. EKG (01 Desember 2014) ICCU

Inteprestasi:
Irama

: sinus 75x/menit

Regularitas

: reguler

Aksis

: 450

PR Interval

: 0,12 detik

Morfologi
Gelombang p : normal,
Q Patologis

: II, III, aVF

Segmen ST

: elevasi di Lead II, III, aVF

Gelombang T : inverted di Lead I, aVL, V5, dan V6


Kesimpulan

: ACS ( STEMI Inferior)

2.4 Diagnosis
Diagnosis Utama : ACS NSTEMI Inferior
Diagnosis Lain : Hipertensi Grade II

2.5 Penatalaksanaan
Clopidogrel pemberian awal 300 mg, dilanjutkan dengan 75 mg 1x1 tab
Bisoprolol 2,5mg 3x1 tab
ISDN 5 mg 3x1 tab
Aspirin 80mg 3x1 tab
Losartan 50mg 1x1 tab
Inj. Enoxaparin Na 2xo,6 ccsubkutan

2.6 Prognosis
Vitam

Dubia ad bonam

Functionam :
Sanationam

Dubia ad bonam
:

Dubia ad bonam

2.7 Follow Up
Hari/Tanggal
Senin
S
1-12-2014
05.45
IGD
Troponin =
429

Evaluasi
Terapi
: nyeri dada (+) tembus ke P : Clopidogrel 75 mg 1x1
punggung sampai lengan

tab
Bisoprolol 2,5mg 3x1 tab
kiri atas (+) sesak (+)
ISDN 5 mg 3x1 tab
O : CM, TD = 170/110 mmHg, N Aspirin 80mg 3x1 tab
Losartan 50mg 1x1 tab
= 100 x/mnt, RR = 22
Inj. Enoxaparin Na 2xo,6 cc
x/mnt, T= 36,9oC An (-/-),
subkutan
Ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-),
soefl, BU (+) dbn, timpani,
NTE

(+),

akral

Cek KDL

hangat,

edema -/A : ACS STEMI Inferior


Selasa
01-12-2012
HCU

Hipertensi Grade II
: nyeri dada (+) berkurang, P : Clopidogrel 75 mg 1x1
nyeri menjalar (-) sesak

tab
Bisoprolol 2,5mg 3x1 tab
napas (-)
ISDN 5 mg 3x1 tab
O : CM, TD = 110/80 mmHg, N Aspirin 80mg 3x1 tab
Losartan 50mg 1x1 tab
= 86 x/mnt, RR = 20 x/mnt,

T= 35,6oC An (-/-), Ikt (-/-), Inj. Enoxaparin Na 2xo,6 cc


Rh (-/-), Wh (-/-), soefl,
BU (+) dbn, timpani, NTE
(+), akral hangat, edema -/Rabu
02-12-2014
08.00
ICCU

A : ACS STEMI Inferior


S
: nyeri ulu hati (-), sesak P : Clopidogrel 75 mg 1x1
napas

(-),pasien

merasa

tab
Bisoprolol 2,5mg 3x1 tab
keadaan tubuhnya sudah
ISDN 5 mg 3x1 tab
jauh membaik
Aspirin 80mg 3x1 tab
Losartan 50mg 1x1 tab
O : CM, TD = 130/70 mmHg, N
Inj. Enoxaparin Na 2xo,6 cc
= 66 x/mnt, RR = 12 x/mnt, subkutan
T= 36,5oC An (-/-), Ikt (-/-),
Rh (-/-), Wh (-/-), soefl,
BU (+) dbn, timpani, NTE
(-), akral hangat, edema -/A : ACS STEMI Inferior

Besok

Rencana

Rumah Sakit

Keluar

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit Jantung Koroner adalah kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran
darah koroner oleh arteriosklerosis yang merupakan proses degeneratif meskipun di
pengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab penyakit jantung koroner adalah terjadinya
penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat penebalan lapisan tunika
intima dan rupturnya plak yang diikuti oleh pembentukan trombus. Rupturnya plak dapat
disebabkan faktor pencetus antara lain aktifitas fisik, udara dingin, perubahan suhu yang
mendadak,rasa cemas dan emosional, merokok dan ketika makan.1,4
Angina (nyeri dada ) adalah gejala utama Penyakit jantung Koroner (PJK). Angina
biasanya dicetuskan oleh aktivitas dan dapat dikurangi dengan beristirahat. Angina yang
terjadi dengan cepat atau terjadi pada saat istirahat disebut sebagai unstable angina.
Penyakit Jantung Koroner juga dapat mengakibatkan serangan jantung (infark miokard)
dan kematian mendadak. Infark miokard adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran
darah ke otot jantung. Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan
mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan. Infark miokard
ditandai dengan nyeri dada berat yang bertahan setidaknya 20 menit, peningkatan pada
kardiak enzim serum, dan atau elektrokardiogram (EKG) yang abnormal.4,5
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai
elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan
angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC,2005). Walaupun
presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995). Jika
troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika
troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm
dkk,2004; PERKI,2012)

Gambar 1 . Spektrum dan definisi dari SKA. (PERKI,2012)


Secara umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De
Bono,2000). Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan
angioplasti primer (Levine dkk,2011) atau terapi fibrinolitik (Antman dkk,2008).
Sedangkan pada pasien dengan IMA non STE/APTS, strategi awal pada pasien ini adalah
meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi
pengukuran penanda nekrosis miokard (Wright RS dkk,2011).
Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA non STE
(31%) dan APTS (29%) (Budaj dkk,2003).
2.2 Etiologi & Faktor Resiko
Secara umum, etiologi dan faktor resiko untuk timbulnya aterosklerosis merupakan
faktor resiko terjadinya PJK. The American Heart Association telah mengidentifikasi
beberapa faktor risiko. Ada beberapa faktor risiko yang mempercepat aterosklerosis yang
dapat diubah atau dapat dikontrol dan ada yang tidak.6
2.2.1.

Faktor yang tidak dapat dirubah

a.

Usia
Penuaan tampaknya sebagai satu dari dari beberapa faktor yang kompleks disertai

dengan perkembangan aterosklerosis, karena beberapa faktor resiko itu sendiri


berhubungan dengan penuaan, misalnya, tekanan darah yang meningkat, hiperglikemia,
dan hiperlipidemia. Dengan demikian, selain keterlibatan penuan instrinsik aterogenesis
(mungkin melalui pegaruh pada metabolisme dinding arteri), berbagai faktor metabolik
penyerta juga tergantung usia. 6
Plak fibrosa merupakan lesi aterosklerotik meninggi dan pertama muncul selama
adolesen, tetapi biasanya tidak meningkat bermakna dalam jumlah atau ukuran sampai
dasawarsa keempat saat prevalensi berkisar dari 36-80%, yang tergantung atas populasi
yang dipelajari. Konsep bahwa garis-garis lemak berlanjut sesuai umur untuk membentuk
plak fibrosa timbul dari penelitian populasi dan analisis tidak langsung lainnya. Penelitian
lebih belakangan ini tentang mekanisme sel bagi penimbunan lemak menambah
dukungan bermakna pada konsep perkembangan garis-garis lemak ke plak fibrosa.6,7
b.

Jenis Kelamin
Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki

daripada perempuan. Diantara dewasa kulit putih Amerika di bawah usia 45 tahun, pria
sepuluh kali lipat lebih mungkin menderita infark myocardium (IM) akut daripada
wanita. Bahkan pada pria dewasa kulit putih lebih tua kira-kira dua kali sebesar
kemungkinan wanita menderita penyakit ini.

Hal ini mungkin dapat dijelaskan dari

faktor kebiasaan pria, yang lebih banyak merokok daripada wanita, ataupun perbedaan
kadar kolesterol diantaranya.8
Perempuan agaknya relatif kebal pada penyakit ini sampai usia setelah
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pada laki-laki. Efek
perlindungan estrogen dianggap menjelaskan adanya imunitas wanita pada usia sebelum
menopause. Yang nampak logis hanya penurunan kadar estrogen endogen. Pikiran ini
didukung oleh penemuan kolesterol serum total dan kolesterol LDL meningkat pada
menopause dan kadar ini berkurang dengan terapi estrogen eksogen. Tetapi pada kedua
jenis kelamin dalam usia 60 hingga 70-an, frekuensi MI menjadi setara. 8

c.

Genetik (Riwayat Keluarga)


Hasil dari penelitian (Lew 1957; Sholtz dkk. 1975; Gillum dan Paffenberger

1978) menggambarkan umumnya angka PJK cenderung tertinggi pada subjek yang
orangtuanya meninggal karena PJK yang relatif dini dan PJK cenderung terjadi relatif
dini pada orangtuanya telah menderita PJK dini. Bila kedua orangtuanya menderita PJK
pada usia muda, maka anaknya mempunyai risisko lebih tinggi bagi berkembangnya PJK
daripada bila hanya seorang atau tidak ada menderita PJK.9
Faktor genetik berperan dalam memberikan pengaruh langsung pada struktur
dinding sel arteri dan metabolisme atau bertindak secara tidak langsung seperti faktor
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan obesitas. Aterosklerosis prematur seringkali
tampak familial. Pada beberapa keadaan ini.dapat dianggap karena faktor resiko yang
diturunkan seperti hipertensi, diabetes melitus, dan hiperlipidemia. Kadang-kadang,
keluarga dengan penyakit vaskular prematur berlebihan dapat ditemukan dengan tidak
ada faktor risiko yang diketahui yang tampaknya berperanan. Determinan genetik faktor
protektif, seperti HDL, dan faktor resiko non lipid, seperti apolipoprotein B dan
lipoprotein (a), perlu dimengerti; tanpa diragukan determinan penting lainnya tetap
ditemukan. Namun, riwayat keluarga adalah salah satu faktor yang lebih penting untuk
dipertimbangkan dalam penilaian risiko, oleh karena itu membantu dokter meghindari
lupa akan faktor risiko yang dapat diobati dan dalam pemberian tindakan preventif yang
tepat.7,9
Kebanyakan faktor resiko utama bagi PJK mempunyai komponen keluarga yang
besar. Bagi beberpa daripadanya (mis. Hiperlipidemia familial), terdapat bukti kuat
bahwa hubungan keluarga berasal dari genetika. Untuk lainnya (mis. Merokok sigaret)
hubungan keluarga disebutkan penurunan budaya. Tetapi, riwayat keluarga dapat pula
mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti misalnya gaya hidup yang
menimbulkan stres atau obesitas.6
2.2.2.
a.

Faktor yang dapat dirubah

Hipertensi
Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko yang penting terjadinya

aterosklerosis, terutama PJK dan penyakit serebrovaskuler. Risiko meningkat secara

progresif dengan naiknya tekanan darah; pada penelitian Framingham, melebihi 160/ 95
adalah lebih dari lima kali daripada laki-laki normotensif (tekanan 140/90 atau kurang).
Laki-laki dan perempuan hipertensi keduanya terkena, dengan tekanan diastolik mungkin
lebih penting.6
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Istilah tradisional tentang
hipertensi ringan dan sedang gagal menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tingi
pada penyakit kardiovaskular. Sehingga The Joint National Committee on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure membuat suatu klasifikasi baru.10
Kategori

Tekanan Sistole (mmHg)

Tekanan

Diastole

(mmHg)
Normal
< 120
<80
Prehipertensi
120-139
80-89
Hipertensi, Stage 1
140-159
90-99
Hipertensi, Stage 2
160
100
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC11
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk hipertensi
idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti tampaknya sangat
kompleks dengan interkasi dari berbagai variable. Mungkin pula ada predisposisi genetik.
Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan-perubahan berikut : (1) Ekresi
natrium dan air oleh ginjal, (2) Kepekaan baroreseptor (3) Respon vaskular, (4) Sekresi
rennin. Lima persen penyakit hipertensi terjadi sekunder akibat proses penyakit lain
seperti penyakit parenkim ginjal atau aldosteron primer.10
Mekanisme bagaimana hipertensi menimbulkan kelumpuhan berkaitan langsung
dengan pengaruhnya pada jantung dan pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah
sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompa darah dari ventrikel kiri sehingga
beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya, terjadi hipertropi ventrikel untuk
meningkatkan

kekuatan

kontraksi.

Akan

tetapi

kemampuan

ventrikel

untuk

mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui, dan


terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung semakin terancam oleh semakin parahnya
aterosklerosis koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen
miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akibat
hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan

menyebabkan angina atau infark miokard.6


b.

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah faktor resiko utama aterosklerosis. Komponen utama yang

meningkatkan resiko ini adalah kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang berperan
sebagai pengangkut kolesterol ke jaringan perifer. Sebaliknya, kolesterol HDL (High
Density Lipoprotein) memobilisasi kolesterol dari ateroma dan mengangkutnya ke hepar
untuk diekskresikan ke dalam empedu, sehingga peningkatan kadar HDL dapat
menurunkan resiko aterosklerosis. Olahraga dan konsumsi sedang dari etanol dapat
meningkatkan kadar HDL sedangkan obesitas dan rokok dapat menurunkannya. Diet
tinggi kolesterol dan lemak jenuh meningkatkan kadar kolesterol plasma. Obat-obatan
seperti statin menurunkan kolesterol dengan menghambat HMG CoA reduktase, enzim
kunci pada biosintesis kolesterol di hepar.
c.

Obesitas
Umumnya, morbiditas dan mortalitas akibat PJK lebih tinggi pada hubungan

langsung dengan derajat kelebihan berat badan sekitar lebih 30 persen. Selanjutnya, dari
data yang diperoleh pada penelitian Framingham, tampak bahwa obesitas mempercepat
aterosklerosis, karena efekanya lebih nyata sebelum usia 50 tahun. Namun, beberapa
penelitian epidemiologik utama dari penyakit jantung koroner tidak menunjukkan
hubungan bebas antara kondisi ini dan segala sesuatu dari obesitas yang sangat berat.8,10
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. IMT
merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat
populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi
digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi
dalam metr kuadrat (m2). Saat ini IMT merupakan indikator yang paling bermanfaat
untuk menentukan berat badan lebih atau obes. 12

Tabel 2.
Klasifikasi
Berat Badan
Lebih dan
Obesitas pada
orang dewasa
Berdasarkan
IMT menurut WHO

d.

Merokok
Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap perhari, dan bukan

pada lamanya merokok. Seseorang yang merokok lebih dari 1 pak perhari menjadi dua
kali lebih rentan terhadap penyakit aterosklerosis daripada mereka yang tidak merokok.
Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin
oleh sistem saraf otonom.9,10
Dua efek utama merokok telah dituduh sebagai faktor dalam perkembangan PJK ;
(1) efek nikotin, diperantarai lewat susunan saraf simpatis dan (2) desaturasi hemoglobin
oleh karbon monoksida (CO). Efek merokok lainnya yang mencakup peningkatan
perlekatan trombosit, bisa juga terlibat dalam perkembangan PKV.9
Nikotin menyebabkan kenaikan tekanan arteri dan denyut jantung oleh beberapa
mekanisme (1) nikotin merangsang pelepasan epinefrin lokal dari susunan adrenergik an
meningkatkan sekresi katekolamin dari medula adrenalis dan dari jaringan kromafin di
jantung. (2) bekerja pada kemoreseptor di glomus caroticus dan glomera aortica yang
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan arteri. (3) bekerja langsung pada
myocardium untuk menginduksi efek inotropik dan konotropik positif.9
Kadar karboksihemoglobin berhubungan sangat erat dengan perkembangan infark
miokardium, angina pektoris, dan klaudikasio intermitten. Resiko berkembangnya PJK
21,2 lebih besar pada kadar orang dengan kadar COHb 5 persen atau lebih daripada
orang dengan kadar COHb kurang dari 3 perse. Karbon monoksida juga bergabung
dengan mioglobin dan dapat menggangu difusi O2 ke mitokondria otot jantung. 9

e.

Diabetes Melitus
Diabetes memberikan dukungan aterogenesisi yang unik. Meskipun abnormalitas

genetik dasar pada setiap jenis diabetes melitus manusia tetap tidak diketahui, diduga
bahwa diabetes genetik pada manusia memberikan abnormalitas intrinsik seluler primer
pada semua sel, mengakibatkan penurunan jangka waktu hidup setiap sel, yang
selanjutnay mengakibatkan penurunan pergantian sel dalam jaringan. Jika sel endotel dan
otot polos arteri secara intrinsik kurang baik pada diabetes, aterogenesis yang dipercepat
dapat segera disimpulkan berdasarkan salah satu teori patogenesis sekarang. Disfungsi
trombosit pada diabetes juga memegang peranan.6

Gambar 5. Peranan hiperglikemi dalam proses kerusakan pembuluh darah


Endotel yang utuh akan tahan terhadap penempelan trombosit padanya dan akan
menghindarkan timbulnya adhesi dan agregasi trombosit. Disfungsi endotel

adalah

terganggunya keseimbangan antara vasodilator-vasokonstriktor, trombotik-fibrinolitik


mediator, dan retaining-stimulating substance.

Meningkatnya tonus vaskular

bertanggung jawab terhadap meningkatnya permeabilitas pembuluh darah. Hilangnya


fungsi antitrombotik dan fibrinolitik dari endotel dapat menyebabkan thrombosis lokal.
Terganggunya keseimbangan antara prostacyclin (PGI2) dan tromboxan (TXA2)
mempercepat agregasi dari trombosit 12,13
Adanya lesi endotel juga akan mempermudah timbulnya proses kebocoran.
Aktifasi jalur poliol pada endotel akan membentuk sorbitol dan fruktosa yang bersifat

menyerap air sehingga endotel akan membengkak dan akhirnya merusak endotel melalui
proses biokimiawi dengan akibat gangguan faal endotel, antara lain kebocoran dan pula
agregasi trombosit. 14
Selain itu, stres oksidatif akan menyebabkan pelepasan zat Nitric Oxide (NO)
oleh endotel terganggu, padahal fungsi NO ini sangat penting dalam menjaga tonus
vaskular dan integritas endotel melalui interaksi antara platelet dan leukosit dengan
dinding endotel.14
f.

Aktivitas fisik
Penelitian mengenai hubungan prevalensi PJK terhadap aktivitas fisik sehari-hari

(pekerjaan) sulit dilakukan karena melibatkan beberapa variabel. Aktivitas aerobik teratur
menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan memenuhi
target pemerintah untuk berolahraga. Olahraga tertaur berkaitan dengan penurunan
insidensi PJK sebesar 20-40%. Diantara penelitian prospektif, data Framingham
menunjukkan bahwa individu yang sedikit bergerak atau sebagian waktunya hanya duduk
saja adalah individu yang sedikit rentan terhadap kematian tiba-tiba.6,8
g.

Alkohol
Meskipun ada satu dasar teori mengenai efek protektif alkohol dosis rendah

hingga moderat, hal ini masih kontroversial. Alkohol dalam dosis rendah meningkatkan
trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam
sirkulasi, namun tidak semua literatur mendukung konsep ini. Peningkatan dosis alkohol
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular karena aritmia, hipertensi
sistemik, dan kardiomiopati dilatasi. 8
2.3 Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan
oleh adanya factor risiko seperti yang telah dijelaskan di atas. Kerusakan ini
menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule seperti sitokin
(interleukin-1 (IL-1); tumor necrosis factor alfa (TNF alfa), kemokin (monocyte
chemottractant factor 1 (MCP-1; IL-8) dan growth factor (bfgf). Sel inflamasi seperti

monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari endotelkium ke
sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil LDL
teroksidasi yang bersifat lebih atherogenik disbanding LDL. Makrofag ini kemudian
membentuk sel busa.4
LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respon
inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respon dari angiotensin II, yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan
factor koagulasi.4
Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous, plak aterosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi
plak tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi sindrom koroner
akut (SKA). Gejala klinis yang muncul berkaitan dengan derajat stenosis aterosklerosis
pada arteri dan durasi serta luas oklusi trombus pada arteri. Jika oklusi tidak lengkap atau
jika oklusi mengalami lisis spontan, maka terjadi unstable angina.. Mekanisme kronik
stable angina adalah keterbatasan aliran karena plak aterosklerotik yang mengakibatkan
iskemia selama exercise tanpa trombosis akut.4,5

2.4 Diagnosis
a.

Manifestasi klinis
Kebanyakan pasien dengan infark miokard akut mencari pengobatan karena rasa

sakit didada. Namun demikian ,gambaran klinis bisa bervariasi dari pasien yang datang
untuk melakukan pemeriksaan rutin, sampai pada pasien yang merasa nyeri di substernal
yang hebat dan secara cepat berkembang menjadi syok dan eadem pulmonal, dan ada
pula pasien yang baru saja tampak sehat lalu tiba-tiba meninggal.15

Serangan infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina,tetapi
tidak seperti angina yang biasa, maka disini terdapat rasa penekanan yang luar biasa pada
dada atau perasaan akan datangnya kematian. Bila pasien sebelumnya pernah mendapat
serangan angina ,maka ia tabu bahwa sesuatu yang berbeda dari serangan angina
sebelumnya sedang berlangsung. Juga, kebalikan dengan angina yang biasa, infark
miokard akut terjadi sewaktu pasien dalam keadaan istirahat ,sering pada jam-jam awal
dipagi hari. Nitrogliserin tidaklah mengurangkan rasa sakitnya yang bisa kemudian
menghilang berkurang dan bisa pula bertahan berjam-jam malahan berhari-hari. Nausea
dan vomitus merupakan penyerta rasa sakit tsb dan bisa hebat, terlebih-lebih apabila
diberikan martin untuk rasa sakitnya.15
Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik, mencengkeram
atau membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia menyebar kedua lengan,
kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah atas (sehingga ia mirip dengan kolik
cholelithiasis, cholesistitis akut ulkus peptikum akut atau pancreatitis akut).15
Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa rasa sakit. Namun hila pasienpasien ini ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan adanya gangguan
pencernaan atau rasa benjol didada yang samar-samar yang hanya sedikit menimbulkan
rasa tidak enak/senang. Sekali-sekali pasien akan mengalami rasa napas yang pendek
(seperti orang yang kelelahan) dan bukanya tekanan pada substernal. Sekali-sekali bisa
pula terjadi cekukan/singultus akibat irritasi diapragma oleh infark dinding inferior.
pasien biasanya tetap sadar ,tetapi bisa gelisah, cemas atau bingung. Syncope adalah
jarang, ketidak sadaran akibat iskemi serebral, sebab cardiac output yang berkurang bisa
sekali-sekali terjadi. Bila pasien-pasien ditanyai secara cermat, mereka sering
menyatakan bahwa untuk masa yang bervariasi sebelum serangan dari hari 1 hingga 2
minggu) ,rasa sakit anginanya menjadi lebih parah serta tidak bereaksi baik tidak
terhadap pemberian nitrogliserin atau mereka mulai merasa distres/rasa tidak enak
substernal yang tersamar atau gangguan pencernaan (gejala -gejala permulaan
/ancaman /pertanda). Bila serangan-serangan angina menghebat ini bisa merupakan
petunjuk bahwa ada angina yang tidak stabil (unstable angina) dan bahwasanya
dibutuhkan pengobatan yang lebih agresif.15
Untuk menentukan nyeri tipikal atau bukan maka baiknya anamnesis dilengkapi

dengan mencoba menemukannya faktor resiko baik pada pasien atau keluarganya seperti
kebiasaan makan atau kolesterol, diabetes melitus, hipertensi, rokok, penyakit vaskular
lain seperti stroke dan penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangmya latihan dan lainlain.16
b.

Pemeriksaan fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada pasien dengan infark myokard

akut. Bila diperiksa, pasien sering memperlihatkan wajah pucat bagai abu dengan
berkeringat, kulit yang dingin, walaupun bila tanda-tanda klinis dari syok tidak dijumpai.
Nadi biasanya cepat, kecuali bila ada blok/hambatan AV yang komplit atau inkomplit.
Dalam beberapa jam, kondisi klinis pasien mulai membaik, tetapi demam sering
berkembang. Suhu meninggi untuk beberapa hari, sampai 102 derajat Fahrenheid atau
lebih tinggi, dan kemudian perlahan-lahan turun ,kembali normal pada akhir dari minggu
pertama. Auskultasi mungkin menunjukkan gallop S4, menggambarkan myokard
noncompliance karena iskemia; gallop S3 menggambarkan disfungsi sistolik berat atau
murmur sistolik pada apex atau reurgitasi mitral akibat disfungsi muskulus papillari yang
iiskemik. 5,15
c.

Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa protein (biomarker) akan dilepaskan ke darah dalam jumlah yang besar

dari jaringan otot jantung yang mengalami nekrosis. Pemeriksaan laboratorium memiliki
kepentingan diagnostik, tetapi keputusan reperfusi harus segera dilakukan berdasarkan
temuan klinis dan hasil EKG, tanpa menunggu hasil tes laboratorium. Biomarker yang
sering digunakan dalam praktek klinik yaitu troponin dan CKMB. Peningkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai normal menunjukkan nekrosis miokardium. Peningkatan
biomarker ini membedakan pasien UA dengan NSTEMI.17
Creatine Phospokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam, mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK kurang spesifik untuk IMA karena
dapat meningkat juga pada trauma otot skeletal. Isoenzim MB dari CK (CKMB) lebih
bernilai diagnostik daripada total CK karena CKMB tidak ditemukan dalam konsentrasi
yang signifikan pada jaringan di luar jantung sehingga lebih spesifik untuk penanda
kerusakan jantung. Cardiac-spesific troponin T (cTnT) dan Cardiac-spesific troponin I

(cTnI) dapat meningkat 20 kali lebih tinggi setelah IMA. Konsentrasi troponin ini
meningkat setelah 2 jam IMA dan mencapai puncak dalam 10-24 jam. cTnI tetap
bertahan selama 7-10 hari setelah IMA, dan cTnT selama 10-14 hari17
Myoglobin dilepaskan ke dalam darah hanya dalam beberapa jam setelah onset
IMA. Myoglobin dapat dideteksi 1 jam setelah IMA dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Myoglobin kurang spesifik untuk jantung, dan juga diekskresikan dengan cepat melalui
urine sehingga kadarnya kembali normal dalam 24 jam. Lactic Dehydrogenase (LDH)
meningkat setelah 24-48 jam setelah IMA, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal
dalam 8-14 hari. Reaksi non-spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari. Leukositosis dapat mencapai 12.000 15.000/l17
d.

Pemeriksaan Penunjang
Pedoman yang disusun oleh american heart assosiation (AHA) telah cukup

lengkap untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang efektif dan efesien
pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagi dasar penyusunan pedoman-pedoman yang
diusulkan berikut ini.
Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium akibat PJK sebagaipenyebab
nyeri dadad maka diperlukan beberapa pemeriksaan :
Elektrokardiografi
Pada sebagian infark, EKG

dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.

Karakteristik perubahan EKG mengikuti infark myokard, dan perubahan yang paling
awal terjadi bersamaan dengan onset infark myokard. Pemeriksaan EKG harus dilakukan
secepatnya pada siapapun yang dicurigai mengalami infark. Akan tetapi, pemeriksaan
awal EKG tidak selalu menjadi diagnostik dan perubahan EKG bervariasi pada setiap
orang, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan serial EKG setelah pasien dirawat di
Rumah sakit.25
Suatu infark ditandai oleh tiga zona, yaitu :
a. Zona nekrosis
b. Zona perlukaan
c. Zona iskemik26

Zona nekrosis
Zona nekrosis secara EKG ditandai oleh gelombang Q patologis pada elektroda yang
berhadapan dengan daerah nekrosis.26

Zona perlukaan
Zona perlukaan secara EKG ditandai oleh deviasi segmen ST yaitu :
Pada daerah infark ditemukan elevasi segmen ST yang cembung ke atas (convex
upward). Pada daerah yang berlawanan ditemukan depresi segmen ST.26

Zona iskemik
Zona iskemik secara EKG ditandai oleh T terbalik yang berbentuk kepala anak panah
pada elektroda yang menghadap daerah iskemik.26

Secara klinis infark myokard akut dibagi dalam tiga fase :


1. fase hiper akut
2. fase berkembang penuh
3. fase resolusi (old infarction)26
Fase hiper akut

Fae ini hanya terlihat beberapa jam permulaan dari suatu serangan infark, sehingga sering
lolos dari perhatian kita
Ciri-ciri EKG :
1. Elevasi yang curam dari segmen ST
2. Gelombang T yang tinggi dan lebar
3. V.A.T memanjang.26
Fase berkembang penuh
Fase ini terlihat 1-2 hari kemudian
Ciri-ciri EKG :
1. Gelombang Q patologis
2. elevasi segmen ST yang cembung ke atas
3. gelombang T yang terbalik (arrowhead).26
Fase resolusi
Ciri-ciri EKG :
1. Gelombang Q patologis tetap ada
2. segmen ST mungkin sudah kembali isoelektris
3. gelombang T mungkin sudah menjadi normal.26
Tabel 3.1 Tabel hubungan antara lokasi infark, gambaran sandapan EKG, dan arteri yang
mengalami oklusi
Lokasi Iskemia

Sandapan

Sandapan yang

Arteri yang

yang

menunjukkan

mengalami oklusi

menunjukka

gambaran

(culprit)

Septal

n deviasi ST
V1, V2

resiprokal
-

Arteri desendens

Anterior terbatas

V3, V5

anterior kiri
Arteri desendens

anterior kiri
Arteri desendens

II, III, aVF

anterior kiri
Arteri desendens

Anteroseptal
Anterolateral

V1 V4
V4 V6, I,

aVL

anterior kiri, Arteri


sirkumfleksa, atau

Anterior ekstensif

V1 - V6, I,

II, III, aVF

marginal artery
Arteri koronaria

Inferior

aVL
II, III, aVF

I, aVL

sinistra
Arteri koronaria
dekstra, atau arteri

II, III, aVF

sirkumfleksa
arteri sirkumfleksa,

V1 V4

atau marginal artery


Arteri desendens

berhubungan

(pencerminan

posterior (cabang dari

dengan infark

pada daerah

arteri koronaria

inferior atau

anteroseptal)

dekstra atau arteri

I, aVL

sirkumfleksa)
Arteri koronaria

Lateral

I, aVL, V5,

Posterior (biasanya

V6
V7 V9

lateral)
Ventrikel kanan

V1R V6R

(biasanya

(sandapan

berhubungan

kanan)

dekstra

dengan infark
inferior)
Morfologi gelombang EKG pada infark myokard
Foto Thoraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi koroner ataupun katup
jantung. Meskipun pembuluh darah koroner yang mengalami kalsifikasi biasanya
menunjukkan aterosklerosis, obstruksi total lumen dapat terjadi tanpa adanya kalsifikasi.
Kadang, adanya aneurisma ventrikel kiri menyebabkan pembengkakan khas atau
kalsifikasi dalam bayangan jantung namun temua radiografi kadang tidak dapat
diandalkan4

Treadmill test
Tes ini yang paling umum digunakan untuk evaluasi pasien dengan suspek angina.

45

Alat ini berupa ban berjalan serupa dengan alat olahraga umumnya, namun

dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya adalah merekam aktifitas
fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi perubahan gambaran EKG saat aktifitas yang
memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena jantung mempunyai tenaga
serap, sehingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak
normal.

Angiografi Koroner
Angiografi

koroner

saat

ini

merupakan

satu-satunya

metode

yang

menggambarkan anatomi koroner secara kuat, merupakan Golden Standard untuk PJK.
Meskipun merupakan pemeriksaan penunjang ivvasif, merupakan prosedur berisiko
rendah dengan morbiditas sebesar 0,8& dan mortalitas 0,12% pada pasien elektif.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter langsung ke arteri. Bisa melalui
pangkal paha, lipatan lengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah. Kateter
didorong dengan tuntunan alat rontgen langsung ke muara pembuluh koroner. Setelah
tepat di lubangnya, kemudian cairan kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang
dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada
penyumbatan. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat
pada satu pembuluh koroner. Bisa saja sekaligus mengenai beberapa pembuluh koroner.21
Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri koroner
merupakan tindakan yan paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas, dan
keparahan sumbatan dalam arteri koroner. Indikas lain untuk melakukan angiografi arteri
koroner adalah untuk evaluasi angina tipik serta hasil revaskularisasi arteri koroner.
Prosedur kateterisas mengharuskan opasifikasi kedua arteri koroner, didikuti dengan
ventrikulogram kiri, atau penyuntikan bahan kontras ke dalam ventrikel kiri untuk
mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.6
2.4 Penatalaksanaan
Tindakan Umum
Pasien perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit yaitu di unit intensif koroner
(ICCU). Pasien perlu diistirahatkan (bed rest) dengan monitoring EKG berkelanjutan
untuk memantau deviasi segmen ST dan irama jantung, diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada

walaupun sudah mendapat nitrogliserin6. Ambulasi diizinkan jika pasien tidak


menunjukkan rekurensi iskemia, (nyeri dada atau perubahan EKG), dan tidak ada
peningkatan biomarker jantung dalam 12-24 jam. Terapi medikamentosa meliputi terapi
anti iskemia dan anti trombotik yang simultan22

Terapi medikamentosa
Farmakoterapi pada penyakit jantung iskemia didesain untuk menurunkan
frekuensi serangan angina dan mencegah peningkatan mendadak dari tekanan darah dan
denyut jantung pada saat latihan atau aktivitas, sehingga pasien dapat melakukan
aktivitasnya sehari-hari tanpa mendekati ambang batas tekanan darah dan denyut jantung
yang dapat mencetuskan iskemia.
1. Obat anti iskemia
a. Nitrat
Mekanisme kerja utama dari nitrat yaitu venodilatasi sistemik dengan efek
penurunan volume dan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri sehingga menurunkan
tekanan dinding miokardium dan kebutuhan oksigen miokardium. Selain itu nitrat juga
mengakibatkan dilatasi pembuluh darah koroner epikardial, dan meningkatkan aliran
darah dari pembuluh darah kolateral. Nitrat organik ketika dimetabolisme akan
melepasken nitric oxide (NO) yang akan berikatan dengan guanilil siklase pada sel
otot polos vaskular, kemudian meningkatkan kadar GMP sehingga terjadi relaksasi
otot polos vaskular. Nitrat juga memiliki aktivitas antitrombotik dengan aktivasi NOdependent dari guanilil siklase platelet dan mengganggu aliran kalsium intraplatelet
dan aktivasi platelet.23
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada angina. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3
kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin IV (mulai 510g/menit atau untuk ISDN dengan dosis 1-4 mg/jam). Laju infus dapat ditingkatkan
10g/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <
100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral, atau jika

pasien sudah bebas nyeri 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau
penggunaan sildenafil atau obat sekelasnya dalam 24 jam terakhir.22
b. Beta bloker
Beta bloker menurunkan kebutuhan oksigen miokardial dengan mencegah
peningkatan denyut jantung, tekanan arteri, dan kontraktilitas miokardium yang
diakibatkan oleh aktivasi adrenergik. Manfaat terapeutiknya antara lain meredakan
angina dan iskemia, menurunkan mortalitas dan reinfark pada pasien yang telah
mengalami

infark

miokard

akut,

dan

efektif

sebagai

agen

antihipertensi.

Kontraindikasi relatif antara lain asma bronkiale, penyakit paru kronik, gangguan
konduksi AV, bradikardi berat, fenomena Raynaud, dan riwayat depresi mental. Efek
sampingnya antara lain fatigue, menurunkan toleransi latihan, mimpi buruk,
impotensi, ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten, bradikardi, gangguan konduksi
AV, kegagalan ventrikel kiri, eksaserbasi dari asma bronkiale, hipoglikemia berat jika
diberikan bersamaan dengan agen hipoglikemia oral dan insulin. Penyekat beta IV
diikuti dengan pemberian oral hingga target denyut jantung 50-60 kali/menit.22,23
c. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu golongan
dihidropiridin

(nifedipin,

amlodipin,

dll)

dan

non-dihidropiridin

(diltiazem,

verapamil). Keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi koroner, menurunkan


kebutuhan oksigen miokard, kontraktilitas dan tekanan arteri sehingga menurunkan
tekanan darah. Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi yang lebih kuat
dan penghambatan nodus SA dan AV yang lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Agen ini diindikasikan bila terdapat kontraindikasi pemberian beta
bloker, atau toleransi yang buruk dan inefektivitas dari beta bloker.22
Verapamil dan diltiazem dapat mengakibatkan gangguan konduksi jantung dan
bradiaritmia. Agen tersebut juga memiliki aksi inotropik negatif dan memperburuk
disfungsi ventrikel kiri. Verapamil tidak biasa dikombinasikan dengan beta bloker
karena sama-sama memiliki efek terhadap denyut jantung dan kontraktilitas jantung.
Diltiazem dapat dikombinasikan dengan beta bloker pada pasien yang memiliki fungsi
ventrikel normal dan tanpa gangguan konduksi. Amlodipin dan beta bloker memiliki

komplementari efek pada suplai darah koroner dan kebutuhan oksigen koroner.
Pemberian dihidropiridin kerja lambat harus dihindari karena resiko terjadinya infark,
terutama jika diberikan tanpa pemberian beta bloker.22,23
c. Angiotensin Reseptor Bloker
ARB merupakan salah satu obat anti hipertensi yang bekerja dengan cara menurunkan
tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat
angiotensin II berikatan dengan reseptornyas, sehingga secara langsung akan
menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopressin, dan mengurangi produksi
aldosteron. Ketiga efek ini secara bersamaan akan menurunkan tekanan darah.
Contoh obat-obatan golongan ini antara lain valsartan, temisartan, dan losartan. Dimana
losartan diberikan sebanyak satu kali sehari dengan dosis 50-100 mg/hari.
2. Obat Antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis
UA/STEMI dan keduanya dimulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombinactivated fibrin yang bertanggungjawab dalam pembentukan bekuan darah (clot). Oleh
sebab itu terapi antiplatelet dan antikoagulan memegang peranan penting dalam
penatalaksanaannya23.
Anti platelet
a. Aspirin
Peran penting aspirin dalam mencegah agregasi platelet melalui mekanisme
kerjanya sebagai penghambat enzim siklooksigenase 1 (Cox-1). Sehingga aspirin saat
ini menjadi pilihan utama dalam penatalaksanaan UA/NSTEMI. Sindrom resistensi
aspirin muncul belakangan ini. Sindrom ini dideskripsikan sebagai kegagalan relatif
aspirin untuk menghambat agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang
waktu perdarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasienpasien dengan resistensi aspirin mempunyai resiko tinggi rekurensi, sehingga logis
untuk memberikan terapi klopidogrel walaupun aspirin sebaiknya juga tidak
dihentikan24

b. Klopidogrel (Clopidogrel)
Thienopyridine memblokade reseptor adenosine diphospate P2Y 12 pada
permukaan platelet dan dengan demikian mencegah aktivasi platelet. Efek bermanfaat
ditemukan untuk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST
atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI rendah.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, klopidogrel direkomendasikan
sebagai obat lini pertama (first line) pada UA/NSTEMI dan ditambahkan dengan
aspirin, kecuali pada pasien yang memiliki resiko tinggi perdarahan dan pasien yang
memerlukan

CABG

segera.

Klopidogrel

sebaiknya

diberikan

pada

pasien

UA/NSTEMI dengan kriteria sebagai berikut24


1. Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini.
2. Yang bukan merupakan kandidat operasi koroner segera berdasarkan anatomi
koroner atau pasien yang memiliki kontraindikasi operasi koroner.
3. Pasien dengan penundaan kateterisasi hingga > 24-36 jam
Pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi diagnostik dalam 24-36
jam berikutnya, tidak diberikan klopidogrel sampai dengan hasil angiografi
menunjukkan tidak terdapatnya indikasi untuk dilakukan CABG segera. Dosis awal
klopidogrel dapat diberikan di laboratorium kateterisasi sebelum PCI atau dimulai
secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel adalah inhibitor fungsi platelet yang
irreversibel sehingga pemberiannya perlu dihentikan selama 5-7 hari sebelum operasi
elektif seperti CABG. Pemberian kombinasi klopidogrel dan aspirin direkomendasikan
untuk semua pasien UA/NSTEMI yang tidak memiliki resiko besar mengalami
perdarahan24
c. Antagonis Platelet GP IIb/IIIa
Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa antagonis GP IIb/IIIa
mengurangi insidens kematian atau infark miokard pada pasien UA/NSTEMI yang
menjalani PCI dan penggunaannya pada keadaan ini telah diindikasikan secara jelas.
Guideline dari ACC/AHA menetapkan pasien-pasien resiko tinggi terutama pasien
dengan troponin positif yang menjalani angiografi, sebaiknya mendapatkan antagonis
GP Iib/IIIa. Dua agen molekul kecil eptifibatid dan tirofiban, dimulai upstream
misalnya 1 atau 2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani prosedur. Tak ada

satupun antagonis GP IIb/IIIa yang efektif atau diindikasikan secara rutin untuk
penatalaksanaan pasien resiko rendah, pasien-pasien dengan troponin negatif yang
tidak menjalani angiografi dini. Terapi platelet tripel (aspirin, klopidogrel, dan
antagonis GP IIb/IIIa) diindikasikan pada pasien resiko tinggi yang direncanakan
untuk menjalani PCI dan tidak mempunyai resiko perdarahan berlebihan23,24
Terapi Antikoagulan
1. UFH (Unfractionated Heparin)
Heparin berkerja sebagai antikoagulan dengan mengaktifkan antitrombin dan
mempercepat rata-rata penghambatan antitrombin terhadap enzim yang berperan
dalam pembentukan bekuan darah (clotting enzym) yaitu trombin dan faktor Xa.
Antitrombin tersebut merupakan kofaktor plasma obligat dari heparin dan merupakan
anggota dari serin protease inhibitor (serpin). Namun demikian terdapat banyak
kerugian UFH, termasuk di dalamnya ikatan yang non-spesifik dan menyebabkan
inaktivasi platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein
sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin berhubungan dengan heparin-induced
thrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak menentu,
memerlukan monitor yang lebih sering terhadap aPTT, pengaturan dosis, dan
membutuhkan infus intravena kontinu22
2. LMWH (Low Mollecular Weight Heparin) Enoxaparin
LMWH memiliki banyak kelebihan daripada UFH dan kerugian-kerugian pada
penggunaan UFH dapat diatasi. Pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan pada
pemberian LMWH, dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang.
LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga pada faktor Xa
sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti
faktor IIa) seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan trombin (efek anti
faktor Xa). Keuntungan praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat
diprediksi setelah pemberian subkutan. Dalam sejumlah penelitian, LMWH
enoxaparin menunjukkan efek yang superior dibandingkan dengan UFH dalam
menurunkan rekurensi cardiac event, khususnya pada pasien yang mendapatkan terapi

konservatif22
3. Inhibitor faktor Xa (Pentasakarida sintetik-Fondaparinux)
Sebagai analog sintetik dari pentasakarida terikat antitrombin yang ditemukan
pada heparin dan LMWH, fondaparinux hanya berikatan dengan antitrombin dan
terlalu pendek untuk mengikat trombin hingga antitrombin. Akibatnya, fondaparinux
mengkatalisasi inhibisi faktor Xa oleh antitrombin dan tidak meningkatkan rata-rata
inhibisi trombin. Fondaparinux memiliki efikasi awal yang ekuivalen dengan
enoxaparin tetapi memiliki resiko perdarahan yang lebih rendah sehingga memiliki
keuntungan yang paling baik dalam rasio resiko23,24
4. Inhibitor trombin langsung (Bivalirudin)
Bivalirudin merupakan inhibitor trombin divalent. Bagian terminal N dari
bivalirudin berikatan dengan sisi aktif dari trombin sedangkan ujung dari terminal C
berikatan dengan exosite-1, daerah yang berikatan dengan substrat pada trombin22.
Garis Pedoman Penatalaksanaan Pasien dengan ACS/SKA

Figure 2. Reperfusion therapy for patients with STEMI. The bold arrows and boxes are the preferred strategies. Performance of PCI is
dictated by an anatomically appropriate culprit stenosis. *Patients with cardiogenic shock or severe heart failure initially seen at a
nonPCI-capable hospital should be transferred for cardiac catheterization and revascularization as soon as possible, irrespective of
time delay from MI onset (Class I, LOE: B). Angiography and revascularization should not be performed within the first 2 to 3 hours
after administration of fibrinolytic therapy. CABG indicates coronary artery bypass graft; DIDO, door-indoorout, FMC, first medical
contact; LOE, Level of Evidence; MI, myocardial infarction; PCI, percutaneous coronary intervention; and STEMI, ST-elevation
myocardial infarction.

Class I
1. All communities should create and maintain a regionalsystem of STEMI care that
includes assessment and continuous quality improvement of EMS and hospital-based

activities. Performance can be facilitated by participating in programs such as Mission:


Lifeline and the D2B Alliance.71,7678 (Level of Evidence: B)
2. Performance of a 12-lead ECG by EMS personnel at the site of first medical contact
(FMC) is recommended in patients with symptoms consistent with STEMI.7072,79,80
(Level of Evidence: B)
3. Reperfusion therapy should be administered to all eligible patients with STEMI with
symptom onset within the prior 12 hours.81,82 (Level of Evidence: A)
4. Primary PCI is the recommended method of reperfusion when it can be performed in a
timely fashion by experienced operators.8284 (Level of Evidence: A)
5. EMS transport directly to a PCI-capable hospital for primary PCI is the recommended
triage strategy for patients with STEMI, with an ideal FMC-to-device time system goal of
90 minutes or less.*7072 (Level of Evidence: B)
6. Immediate transfer to a PCI-capable hospital for primary PCI is the recommended
triage strategy for patients with STEMI who initially arrive at or are transported to a non
PCI-capable hospital, with an FMC-to-device time system goal of 120 minutes or
less.*8386 (Level of Evidence: B)
7. In the absence of contraindications, fibrinolytic therapy should be administered to
patients with STEMI at nonPCI-capable hospitals when the anticipated FMC-to-device
time at a PCI-capable hospital exceeds 120 minutes because of unavoidable
delays.81,87,88 (Level of Evidence: B)
8. When fibrinolytic therapy is indicated or chosen as the primary reperfusion strategy, it
should be administered within 30 minutes of hospital arrival.*8993 (Level of Evidence:
B)
Class IIa
1. Reperfusion therapy is reasonable for patients with STEMI and symptom onset within
the prior 12 to 24 hours who have clinical and/or ECG evidence of ongoing ischemia.
Primary PCI is the preferred strategy in this population.81,94,95 (Level of Evidence: B)
*The proposed time windows are system goals. For any individual patient, every effort
should be made to provide reperfusion therapy as rapidly as possible.

Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang memiliki fasilitas tindakan
intervensi koroner perkutan (IKP) harus dilakukan tindakan IKP primer dalam 90 menit
saat kontak medis pertama kali diberikan (Klas I, Level of Evidence :A). Pasien IMA

STE yang datang ke rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas tindakan IKP dan tidak
dapat dirujuk ke pusat IKP dan tidak dapat dilakukan tindakan IKP dalam 90 menit saat
kontak medis pertama kali, harus diberikan terapi fibrinolitik dalam 30 menit setelah tiba
di rumah sakit, kecuali didapatkan kontraindikasi terapi fibrinolitik (Klas I, Level of
Evidence:B) (Antman, 2007; Brodie dkk, 2001). Tujuannya adalah untuk meningkatkan
jumlah pasien yang mendapatkan tindakan IKP primer, setidaknya 75% pasien dilakukan
tindakan IKP dalam 90 menit setelah tiba di rumah sakit, berdasarkan penggunaan
strategi evidenced-based untuk mengurangi keterlambatan (Bradley, 2006).
Meskipun ditemukan hubungan antara waktu pemberian terapi dan hasil akhir klinis,
hasil yang terbaik adalah pemberian trombolisis dalam jam pertama saat pasien tiba di
rumah sakit (Milaveta JJ, 1998; David OW, 2004) . Hal ini juga ditunjukkan pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh De Luca, dkk (2004) bahwa keterlambatan 30 menit
dalam pemberian terapi reperfusi akan memberikan 7,5% angka kematian dalam 1 tahun.
Salah satu hal yang penting adalah bahwa waktu untuk pemberian terapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk usia lanjut, jenis kelamin perempuan dan riwayat diabetes
ataupun tindakan revaskularisasi sebelumnya.
Pasien dengan SKA yang tidak mendapatkan terapi reperfusi ternyata menunjukkan
angka risiko kematian yang lebih tinggi. Pada pasien IMA STE ternyata hal ini sangat
mempengaruhi hasil akhir jangka pendek dan jangka panjang (David OW,2004).
Penatalaksanaan jangka panjang
Modifikasi faktor resiko merupakan kunci dari penatalaksanaan jangka panjang.
Dokter perlu menjelaskan kepada pasien pentingnya untuk berhenti merokok, mencapai
berat optimal, latihan harian yang diikuti dengan diet yang tepat, kontrol tekanan darah
berkala, kontrol ketat hiperglikemia (pada pasien diabetes), dan pengaturan lipid,
sebagaimana yang direkomendasikan kepada pasien dengan angina pektoris stabil.
Didapatkan bukti keuntungan dari terapi jangka panjang dengan lima kelas obat-obatan,
sebagai berikut22
1. Beta bloker sebagai terapi anti-iskemia dan membantu menurunkan trigger
dari infark miokard.
2. Statin (dalam dosis tinggi, misalnya atorvastatin 80 mg/hari).
3. ACE-inhibitor untuk stabilisasi plak jangka panjang
4. Dua kelas antiplatelet direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi

aspirin dan klopidogrel selama paling sedikit 9-12 bulan, dengan dilanjutkan
aspirin sesudahnya, dapat mencegah atau menurunkan tingkat keparahan yang
terjadi jika plak mengalami ruptur.

BAB 4
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
Diagnosis: ACS dengan STEMI Inferior

4.1 Anamnesis
Fakta

Teori

Pada pasien di dapat :

Gambaran klinis pada CAD :

Identitas:

1. Nyeri Dada

Seorang laki- laki


Usia 55 tahun

Keluhan :

Nyeri

dada

prekordial.

(menjalar

lengan kiri atas) seperti

ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

tertindih beban berat


Sesak napas
Tengkuk terasa berat
Sebulan
yang
lalu
serupa

nyeri

membaik
beristirahat

berolahraga,

Penjalaran : biasanya ke lengan kiri,


dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat
juga ke lengan kanan.

dada dan sesak napas


saat

Sifat nyeri : rasa sakit,seperti ditekan,


rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti

sampai ke punggung dan

keluhan

Lokasi : substernal, retrosternal, dan

Nyeri membaik atau hilang dengan


istirahat, atau obat nitrat.

setelah

Faktor pencetus : latihan fisik, stres


emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

Gejala yang menyertai : mual, muntah,

sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan


Riwayat kebiasaan:

lemas.

Merokok baru berhenti 1 2. Palpitasi


3. Dispnea

tahun yang lalu

Faktor resiko CAD :


Riwayat Penyakit:
Hipertensi (+) tidak rutin
minum obat
Diabetes (-)

Pria > wanita


Hipertensi
Dislipidemia
Diabetes
Stress
Obesitas
Merokok
Kurangnya aktivitas fisik

Berdasarkan anamnesa pada pasien ini, harus dapat dipikirkan kemungkinan


terjadinya infark miokard pada pasien ini. Hal ini didasarkan pada karakteristik nyeri
dada yang dirasakan oleh pasien. Pasien dengan IMA akan datang ke RS dengan keluhan
utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum,bisa menjalar ke dada
kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan kanan dan pada lengan. Penderita melukiskan
seperti tertekan,terhimpit, diremas-remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di
dada. Walau sifatnya dapat ringan ,tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari
setengah jam.Jarang ada hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat
atau

pemberian

nitrat.

Pada

sejumlah

penderita

dapat

timbul

berbagai

penyulit:aritmia,renjatan kardiogenik,gagal jantung. Rasa nyeri ini harus dibedakan


dengan nyeri yang disebabkan oleh bukan IMA.
Karakteristik Nyeri bukan karena IMA adalah :

Nyeri pleuritik ( nyeri tajam dan diperberat dengan bernapas, batuk, pergerakan
Nyeri yang terasa di abdomen tengah atau bawah
Nyeri terlokalisir yang dapat ditunjukkan dgn 1 jari
Nyeri dgn pergerakan/palpasi pada dinding dada
Episode nyeri yang sangat singkat (beberapa detik)
Nyeri yang menjalar hingga ke ekstremitas bawah.
Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa rasa sakit. Namun hila pasien-pasien

ini ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan adanya gangguan pencernaan

atau rasa benjol didada yang samar-samar yang hanya sedikit menimbulkan rasa tidak
enak/senang. Sekali-sekali pasien akan mengalami rasa napas yang pendek (seperti orang
yang kelelahan) dan bukanya tekanan pada substernal. Sekali-sekali bisa pula terjadi
cekukan/singultus akibat iritasi diapragma oleh infark dinding inferior. pasien biasanya
tetap sadar ,tetapi bisa gelisah, cemas atau bingung. Syncope adalah jarang, ketidak
sadaran akibat iskemi serebral, sebab cardiac output yang berkurang bisa sekali-sekali
terjadi. Bila pasien-pasien ditanyai secara cermat, mereka sering menyatakan bahwa
untuk masa yang bervariasi sebelum serangan dari hari 1 hingga 2 minggu), rasa sakit
anginanya menjadi lebih parah serta tidak bereaksi baik tidak terhadap pemberian
nitrogliserin atau mereka mulai merasa distres/rasa tidak enak substernal yang tersamar
atau gangguan pencernaan (gejala -gejala permulaan /ancaman /pertanda). Bila seranganserangan angina menghebat ini bisa merupakan petunjuk bahwa ada angina yang tidak
stabil (unstable angina) dan bahwasanya dibutuhkan pengobatan yang lebih agresif.

4.2 Pemeriksaan Fisik


Fakta
Keadaan umum

Teori
Tidak ada pemeriksaan fisik yang

Sakit Sedang

spesifik pada pasien dengan infark

Vital sign
TD

: 170/110 mmHg,

Nadi : 100x/menit, reguler,


RR

: 28 x/menit

Suhu : 36,20C aksiler

myokard akut.
1. Pasien sering memperlihatkan
wajah pucat bagai abu dengan
berkeringat, kulit yang dingin,
walaupun bila tanda-tanda klinis
dari syok tidak dijumpai.
2. Nadi biasanya cepat, kecuali bila
ada blok/hambatan AV yang komplit

Kepala / leher
Anemis (-/-)
Ikterik (-/-)
pembesaran KGB (-)
deviasi trakea (-)
peningkatan JVP (-)

atau inkomplit.
3. Dalam beberapa jam, kondisi klinis
pasien mulai membaik, tetapi
demam sering berkembang.
4. Auskultasi mungkin menunjukkan
gallop S4, menggambarkan

myokard noncompliance karena


Pulmo

iskemia; gallop S3 menggambarkan

Inspeksi :

disfungsi sistolik berat atau murmur

bentuk dan gerakan dada simetris,

sistolik pada apex atau reurgitasi

barrel

(-),

retraksi

mitral akibat disfungsi muskulus

supraclavicula

(+),

retraksi

papillari yang iiskemik

infraclavicula

(-),

retraksi

chest

suprasternal (-), retraksi interkosta


(-), pelebaran sela iga (-)
Palpasi :
gerakan dada simetris, fremitus
raba dekstra = sinistra, pelebaran
sela iga (-)
Perkusi :
Sonor di seluruh lapangan paru
dekstra dan sinistra
Batas paru hepar ICS VIII
Auskultasi
wheezing

:
Rhonki
-_
_

- - - -

Cor
Inspeksi :
ictus cordis tidak tampak
Palpasi :
ictus cordis teraba
Perkusi :
batas

jantung

kanan

ICS

III

parasternal line dekstra


batas jantung kiri ICS V 1 jari
medial midclavicular line sinistra

Auskultasi :
S1, S2 tunggal, regular, suara
tambahan (-)
Abdomen
Cembung, bising usus (+) normal, ,
timpani, distensi (-), nyeri tekan ulu
hati (+), organomegali (-)
Ekstremitas
Akral hangat, oedema (-)
Pada pemeriksaan fisik pasien ini, tidak sepenuhnya menunjukkan tanda infark
miokard. Hal ini karena pemeriksaan dilakukan setelah pasien memperoleh pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan infark miokard akut, pasien sering
memperlihatkan wajah pucat bagai abu dengan berkeringat, kulit yang dingin .walaupun
bila tanda-tanda klinis dari syok tidak dijumpai. Nadi biasanya cepat, kecuali bila ada
blok/hambatan AV yang komplit atau inkomplit. Dalam beberapa jam setelah terapi,
kondisi klinis pasien mulai membaik, tetapi demam sering berkembang. Suhu meninggi
untuk beberapa hari, sampai 102 derajat Fahrenheid atau lebih tinggi, dan kemudian
perlahan-lahan turun ,kembali normal pada akhir dari minggu pertama. Selain itu juga
dapat ditemukan tanda fisik dari disfungsi ventrikel yaitu bunyi jantung ketiga (S3) dan
keempat (S4), edema paru, serta bising jantung sistolik apikal sementara akibat disfungsi
katup mitral tetapi pada pasien ini tidak ditemukan.

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Fakta
Darah lengkap

Teori
Darah Lengkap

Leukosit: 9.500

Leukosit normal atau Leukositosis

Eritrosit:5.790.000
Hb : 18,8

Kimia Darah (identifikasi faktor resiko)

Hct : 36,4

DM

Trombosit : 178.000
Kimia darah

Dislipidemia

SGOT : 38

Hiperurisemia

SGPT : 44

Biomarker Jantung

GDS : 139/94

Peningkatan kadar enzim atau isoenzim

Ureum : 36,0/34,4

Creatinin fosfoskinase (CPK/CK),

Creatinin: 0,9/1,0

SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat

Bilirubin total : 1,3

dehidrogenase, dan isoenzim CK-MB

Bilirubin direk:0,5
Bilirubin indirek: 0,8
Protein total: 7,2
Albumin : 3,9
Globulin : 3,3
Kolesterol : 200
Trigliserida : 103
HDL : 90
LDL : 129
Asam urat : 6,2
Troponin T : 429
Elektrolit:
Natrium : 140
Kalium : 4,2
Cloride : 107
Foto Thorax

Kardiomegali, oedem pulmonal

Jantung :
- bentuk normal dan ukuran
membesar (CTR 60%) kesan
kardiomegali
Paru:
Corakan

bronkovesikuler

normal
Tidak

tampak

perselubungan

adanya
di

kedua

lapangan paru
ICS : Tidak tampak adanya
pelebaran ICS
Sinus costophrenicus: tajam
Soft tissue: kesan dalam batas
normal
Tulang : fraktur (-), sklerotik (-),
anomali (-)
Trakea : agak terdorong ke arah
kanan
Hemidiafragma : hemidiafragma
dekstra

lebih

tinggi

daripada

sinistra
EKG
Irama

Fase hiper akut


: sinus 75x/menit

Regularitas : reguler
0

Aksis

: 45

PR Interval : 0,12 detik


Morfologi
Gelombang p : normal,
Q Patologis

: II, III, aVF

Segmen ST

: elevasi di Lead II,

III, dan aVF

Elevasi segmen ST

Gelombang T yang tinggi dan lebar

V.A.T memanjang

Fase berkembang penuh

Gelombang Q patologis

elevasi segmen ST yang cembung ke


atas

yang

terbalik

(arrowhead)

Gelombang T : inverted di Lead I,


aVL, V5-V6

gelombang

Fase resolusi

Gelombang Q patologis tetap ada

segmen ST mungkin sudah kembali


isoelektris

gelombang T mungkin sudah menjadi


normal
Nilai Troponin T meningkat, yang menunjukkan bahwa terjadinya nekrosis

miokardium, yang pada enzim ini cenderung nilainya akan naik 2 jam pascva IMA dan
mencapai puncak sampai 10-24 jam. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan gold
standard yaitu angiografi koroner untuk melihat kelainan atau kah penyumbatan pada
pembuluh darah di jantung.
Dari EKG pasien didapatkan gambaran khas infark myokard berupa elevasi
segmen ST yang cembung ke atas (Lead II,III, dan aVF), gelombang Q patologis (Lead
II,III,avF) dan gelombang T yang mengalami inverted (Lead I, avL, V5 dan V6).
Gambaran EKG ini sesuai dengan gambaran infark myokard pada fase berkembang
penuh. Fase berkembang penuh terjadi 1-2 hari setelah serangan infark. Hal ini tidak
sesuai dengan anamnesa yang didapatkan dimana serangan nyeri dirasakan 1 jam
sebelum MRS. Hal ini terjadi karena informasi yang didapatkan dari pasien tersebut
kurang tepat. EKG yang abnormal pada pasien ini ditemukan segmen ST elevasi di Lead
II, III, dan avF yang sesuai untuk gambaran EKG pada infark inferior . Infark inferior
terjadi karena oklusi arteri coronaria dekstra atau arteri sirkumfleksa.

4.4 Penatalaksanaan
Fakta
Clopidogrel 75 mg 1x1 tab
Bisoprolol 2,5mg 3x1 tab
ISDN 5 mg 3x1 tab
Aspirin 80mg 3x1 tab
Losartan 50mg 1x1 tab
Inj. Enoxaparin Na 2xo,6 cc
subkutan

Teori
Tatalaksana Suportif:
Bed rest
Perawatan intensif di ICCU
Oksigen
Anti-iskemia:
1.Nitrat. Pertama kali diberikan SL atau
spray bukal. Jika nyeri menetap setelah
diberikan

nitrat

sublingual

kali,

direkomendasikan pemberian nitrogliserin


IV (mulai 5-10g/menit atau untuk ISDN
dengan dosis 1-4 mg/jam).
2.Beta Bloker
Bisoprolol
3.Angiotensin Reseptor Blocker
Losartan
Antiplatelet oral

Aspirin ( Dosis awal 162-325 mg formula


non-enterik dilanjutkan 75-160 mg/hari
formula enterik atau non-enterik.
Klopidogrel ( Dosis loading 300 mg
dilanjutkan 75 mg/hari
Antikoagulan
Heparin
Enoxaparin (2 x 0,6 cc subkutan perhari)
Fondaparinux
Bivalirudin

Pada infark miokard pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki


kembali aliran pembuluh koroner sehingga reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard
lebih lanjut serta mencegah kematian mendadak dengan memantau dan mengobati
aritmia maligna. Sasaran pengobatan IMA pertama adalah menghilangkan rasa sakit dan
cemas. Kedua mencegah dan mengobati sedini mungkin komplikasi (30-40%) yang
serius seperti payah jantung, aritmia, thrombo-embolisme, pericarditis, ruptur m.
papillaris, aneurisma ventrikel, infark ventrikel kanan, iskemia berulang dan kematian
mendadak. Berdasarkan pada pembahasan di atas penatalaksanaan pada pasien ini sudah
sesuai dengan teori yang seharusnya

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
diagnosa pada kasus ini sudah sesuai dengan teori. Kekurangan dari pemeriksaan
penunjang yang belum dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium yang mengarah ke
penyakit yang mendasari dan tidak dilakukannya pemeriksaan angiografi dan
pemeriksaan penunjang lainnya untuk menilai keadaan klinis pasien.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan yang yang diperlukan dan
tatalaksana sesuai alur tatalaksana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prabowo, Pramonohadi, Juwono SB. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga
University Press, 2003
2. Donals Lloyld, et al. Heart Disease and Stroke Statistics2009 Update : Report
From the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics
Subcommittee. Circulation. 2009;119:e21-e181
3. Antman, E.M., Selwyn, A.P., Braunwald, E., Loscalzo, J. 2008. Ischemic Heart
Disease. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw
Hill Companies, Inc. USA. Hal. 1514-1527.
4. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. SMF Penyakit Dalam RSUD
Koja Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005
5. American Heart Association. 2013. Guideline STEMI. A Report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association. Dallas :
American Heart Association Inc.
6. Biermann EL. Aterosklerosis dan bentuk Arteriosklerosis lainnya. Dlm:
Isselbacher, Braunwold, eds. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed.
13. Vol.3. Jakarta: EGC, 2000; 1244-1256.
7. Kaplan, Norman M Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. [penyunt.] Petrus
Andrianto. [penerj.] Sukwan H.. Jakarta : 1991
8. Gray H, Dawkins K, Morgan John, Simpson I. Lecture Notes Kardiologi Edisi
Keempat. Jakarta : Erlangga, 2002.
9. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. [penyunt.] Huriawati Hartanto, Pita Wulansari dan Dewi
Asih Mahanani. [penerj.] Brahm U. Pendit, et al. Jakarta : EGC, 2005. Vol. 6
10. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. [penyunt.] Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, dkk
Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006, Vol. Vol 3, 434, hal. 1919-1922.
11. Diabetes, Oxidative Stress and Physical Exercise. Atalay, Mustafa dan
Laaksonen, David E. Kuopio : Department of Physiology, University of Kuopio, 4
March 2002, Journal of Sports Science & Medicine.
12. Oxidative Stress and Its Complications in Diabetes Mellitus. Goycheva, P.,
Gadjeva, V. dan Popov, B. Stara Zagora : Department of Internal Medicine,
Department of Chemistry and Biochemistry - Medical Faculty, Thracian
University, 2006, Trakia Journal of Sciences, Vol. 4, No.1, hal. 1-8. ISSN 1312-

1723
13. PB PAPDI. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. [penyunt.] H.M. Sjaifoellah Noer,
et al. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996. Vol. 1. gizi-bahri
14. Jota, Santa. Diagnosis Penyakit Jantung. Jakarta : Penerbit Widya Medika, 2001
15. Antman, Elliott M & Braunwald, Eugene. 2001. Acute Myocardial Infarction,
Harrison's Principles of Internal Medicine 15th Edition Vol. 1. Hal. 1386-1398 (E.
Braunwald, A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L. Hauser, D. L. Longo, & J. L.
Jameson, Editors.) USA: The McGraw Hill Companies Inc.
16. Goldberger, A.L. 2001. Electrocardiography, Harrison's principles of Internal
Medicine 15th Edition Vol. 1. Hal. 1262-1270 (E. Braunwald, A. S. Fauci, D. L.
Kasper, S. L. Hauser, D. L. Longo, & J. L. Jameson, Editors). USA: The McGraw
Hill Companies Inc.
17. Zimetbaum, Peter J., & Josephson, Mark E. 2003. Use of the Electrocardiogram
in Acute Myocardial Infarction. The New England Journal of Medicine, vol. 348,
hal. 933-940.
18. Pratanu, S., Yamin, & M., Harun, S. 2006. Elektrokardiografi, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Hal. 1465-1470. (Aru W. Sudoyo, Bambang
Setyohadi, Idrus Alwi, M. Simadibrata, Siti setiati, Editor.) Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
19. Davies SW. Clinical presentation and diagnosis of coronary artery disease: stable
angina. Department of Cardiology, Royal Brompton Hospital, London, UK .
British Medical Bulletin (Oxford University Press) , 2001, Vol. 59:17-27
20. Cannon, C.P., Braunwald, E. 2008. Unstable Angina & Non-ST Elevation
Myocardial Infarction. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition.
The McGraw Hill Companies, Inc. USA. Hal. 1527-1531
21. Antman, E.M., Selwyn, A.P., Braunwald, E., Loscalzo, J. 2008. Ischemic Heart
Disease. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw
Hill Companies, Inc. USA. Hal. 1514-1527.
22. Harun, S & Alwi, I. 2006. Tatalaksana Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4 jilid II. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam FKUI. Jakarta. Hal. 1641-1647

Anda mungkin juga menyukai