Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

PENELITIAN MENGENAI KOMPLIKASI-KOMPLIKASI DARI MALARIA VIVAX DIBANDINGKAN DENGAN MALARIA PALCIFARUM DI MUMBAI
Charulata S Limaye*, Vikram A Londhey*, ST Nabar Abstrak Pendahuluan: Malaria berat yang diakibatkan oleh infeksi malaria vivax telah sering diteliti akhir-akhir ini. Kegagalan organ pada malaria vivax disebabkan oleh mekanisme inflamasi seperti sekuestrasi. Pada penelitian kali ini kita telah membandingkan beberapa komplikasi pada malaria vivax dengan komplikasi pada malaria palcifarum ataupun malaria campuran. Tujuan penelitian: 1) Mengetahui dan mempelajari berbagai komplikasi pada pasien malaria vivax usia dewasa. 2) Membandingkan angka kejadian berbagai komplikasi dari malaria vivax, palcifarum, dan campuran. Metodologi penelitian: Merupakan penelitian observasi retrospektif yang dilaksanakan pada rumah sakit ketiga di Mumbai selama lebih dari 3 bulan periode. Seluruh pasien rawat inap dewasa dengan positif malaria berdasarkan apusan darah tepi atau pun dengan pemeriksaan antigen (LDH) dimasukkan ke dalam penelitian. Profil demografi, komplikasi, susunan ruangan, sampai keluar rumah sakit bahkan angka kematian pun dilaporkan. Data-datanya dianalisis menggunakan uji statistic yang sesuai. Results: 680 kasus malaria dimasukkan ke dalam penelitian ini. 338 kasus terinfeksi oleh Plasmodium Vivax, 206 kasus dengan P. falciparum, 136 kasus dengan Infeksi campuran keduanya. Angka kejadian penyakit berat ditemukan pada 162 kasus (23.82%) malaria yang mana dari 50 kasusnya (31%) merupakan infeksi P.vivax, 64 kasusnya (39%) merupakan infeksi P.Falciparum dan 48 kasusnya (30%) memiliki infeksi campuran. Berbagai komplikasi yeng terlihat pada Malaria vivax antara lain seperti: trombositopenia (68%), leukopenia (19%), ARDS (3%), hiperbilirubin (5%), gagal ginjal akut (3.5%), anemia (3%), perdarahan mukosa (8%), malaria serebral (3.5%), hipotensi (5%), asidosis metabolik (4%) dan kematian (1.77%).

Kesimpulan: 31% kasus dari keseluruhan kasus malaria merupakan monoinfeksi dari Plasmodium Vivax. Komplikasi seperti Thrombocytopenia, leukopenia, acute respiratory distress syndrome, hypotension, mucosal bleeding ditemukan sama seperti pada infeksi malaria Palcifarum dan Malaria campuran. Acute renal failure, cerebral malaria, high bilirubin, anaemia, metabolic acidosis and death juga ditemukan pada Malaria Vivax tetapi dengan angka kejadian lebih rendah bila dibandingkan dengan Malaria Palcifarum dan Malaria Campuran.

Pendahuluan
Malaria vivax dulunya dianggap sebagai keadaan yang tidak berbahaya. Malaria ini dikenal sering terjadi relaps kembali; tetapi beberapa jenis komplikasi yang terjadi pada malaria palcifarum tidak ditemukan pada monoinfeksi malaria vivax . Walau bagaimanapun dalam beberapa tahun belakangan telah terjadi perubahan trend gejala klinis dari malaria vivax yang disebut sebagai penyakit berat atau pun penyakit komplikasi; bahkan terkadang dapat menimbulkan kematian. Insidensi malaria di Mumbai meningkat dikarenakan oleh bermacam faktor seperti populasi yang berlebihan, kurangnya kebersihan, banyaknya konstruksi, macetnya air, pekerja migrasi, resistensi insektisida, serta resistensi obat anti malaria. Kasus-kasus malaria terlihat hamper sepanjang tahun akan tetapi mengalami perlonjakan selama periode July-Oktober. Pada observasi kami angka kematian yang disebabkan oleh malaria vivax meningkat sejak dua tahun belakangan dimana pada malaria palcifarum cenderung tetap. Pada penelitian kali ini kami membandingkan berbagai komplikasi dari malaria vivax dengan malaria palcifarum serta dengan malaria ko-infeksi vivax dan palcifarum (biasa dikenal sebagai malaria campuran).

Metodologi Peneltian
Merupakan penelitian observasi retrospektif yang dilaksanakan pada rumah sakit ketiga di Mumbai selama lebih dari 3 bulan periode. Seluruh pasien rawat inap dewasa dengan demam akut dan dengan positif malaria berdasarkan apusan darah tepi atau pun dengan pemeriksaan antigen (LDH) dimasukkan ke dalam penelitian. Profil demografi, komplikasi, susunan ruangan, sampai keluar rumah sakit bahkan angka kematian pun dilaporkan. Data-datanya dianalisis menggunakan uji statistic yang sesuai. Seluruh pasien menerima pengobatan berdasarkan rekomendasi dari WHO untuk kemoterapi malaria. Malaria vivax dengan komplikasi diobati sama seperti malaria palcifarum menggunakan Artemisin based combination therapy (ACT). Pada analisis statistiknya data parametrik diuji menggunakan unpaired t-test sedangkan data nonparametrik diuji menggunakan chi-square test dengan Yates correction.

Hasil Penelitian
Dari total 668 kasus malaria yang diuji 338 kasusnya merupakan infeksi P.vivax yang mana 202 dari kasusnya positif dengan apusan tepi, 44 positif dengan tes antigen, dan 92 positif dengan kedua pemeriksaan. Infeksi P.falciparum ditemukan dalam 206 kasus yang mana 94 dari kasusnya positif dengan apusan tepi, 56 positif dengan tes antigen, dan 56 positif dengan kedua pemeriksaan. Infeksi campuran (kombinasi vivax dan palcifarum) 136 kasus ditemukan ada 124 kasus positif kedua jenis plasmodium pada apusan tepi, serta 12 kasus dengan p.vivax positif pada apusan tepi, dan p.palcifarum positif dengan tes antigen. Rerata usia pasien malaria vivax sekitar 29 tahun, malaria palcifarum usia 30,5 tahun, dan malaria campuran 31,5 tahun dengan tidak ada perbedaan bermakna diantara ketiganya. Perbedaan jumlah kejadian ketiga jenis malaria dapat dilihat pada gambar satu. Penyakit berat ditemukan pada 162 kasus (23,38%), termasuk 50 kasus vivax (14,79%), 64 kasus palcifarum (31,70%), dan 48 kasus malaria campuran (35,30%). Definisi malaria berat seperti yang diklasifikasikan oleh WHO 2000. 1 Tiga puluh satu persen kasus malaria berat memiliki monoinfeksi vivax, 39% merupakan monoinfeksi falsiparum, dan 30% merupakan infeksi campuran. Indeks parasit telah tersedia dalam 20 kasus malaria berat serta rerata indeks parasitic nya 1,2%. Frekuensi relative komplikasi berat pada malaria vivax, falciparum, dan campuran ditunjukkan pada gambar 2. Thrombocitopenia (hitung platelet <100,000/cm) diteliti pada 68% kasus vivax dan 73% kasus masing-masing pada infeksi falciparum dan campuran. Perbedaanya tidak bermakna secara signifikan. (p=0.9) Seluruh pasien telah mengalami kenaikan platelet setelah menjalani pengobatan dengan anti-malaria. Median data berupa 3.5 hari setelah memulai pengobatan yang dibutuhkan untuk menormalkan kembali jumlah platelet. Perdarahan mukosa dan petekie diteliti pada 8.87% kasus malaria vivax dengan tanpa perbedaan yang signifikan dengan kasus pada malaria falciparum dan campuran. Kejadian hemoragik (perdarahan) mayor yang mengancam jiwa tidak ditemukan pada malaria vivax.

Total hitung leukosit rendah (<4000/cmm) pada 66 kasus (19.53%) vivax, 38 kasus (18.45%) falciparum dan 26 kasus (19.12%) pada malaria campuran. Hitung leukosit kembali membaik setelah terapi anti-malaria. Anemia berat (Hb<5gm/dL) secara signifikan (p=0.03) lebih banyak terjadi pada

falciparum 26 kasus (12.62%) dan malaria campuran 16 kasus (11.76%). Dibandingkan infeksi oleh p.vivax 10 kasus (2.96%). Kebutuhan untuk transfusi PRC lebih banyak pada falciparum 24 kasus (11.65%) dan malaria campuran 16 kasus (11.76%) dibandingkan malaria vivax 8 kasus (2.37%). Gagal ginjal akut (kreatinin>3mg/dl) secara signifikan (p=0,001) lebih banyak terjadi pada malaria palcifarum 40 (19.42%) dan malaria campuran 18 (13.23%) daripada malaria vivax 12 (3.55%). Empat pasien dari malaria vivax membutuhkan hemodialisa yang mana 26 pasien dari palcifarum dan 14 pasien dari malaria campuran yang membutuhkan hemodialisa. ARDS (PaO2/FiO2<200, infiltrate paru difuse, normal tekanan atrium kiri) terlihat pada 10 (3%), 16 (7,7%), 12 (8,8%) kasus malaria vivax, palcifarum, dan campuran secara berurutan. Respon yang berbeda memainkan peran yang signifikan dalam patofisiologi dari beratnya malaria vivax.. Perbedaan antara ketiga grup tidaklah berbeda secara signifikan (p=0,34). Malaria serebral (koma/kejang multipel) sedikit muncul pada malaria vivax 12 kasus (3,55%) dibandingkan falciparum 28 kasus (13,19%) serta pada malaria campuran ada 22 kasus (16,18%). (p=0.01) Hipotensi (sistolik<70mmHg) cenderung sebanding dan sama pada ketiga grup (5,32% vivax, 4,85% falciparum, 5,88% campuran). Metabolik asidosis terjadi lebih sering pada falciparum dan campuran dibandingkan dengan malaria vivax. Angka kejadian tingginya kadar bilirubin (>3mg/dl) secara signifikan (p<0,01) lebih tinggi pada falciparum 46 kasus (22,33%) serta pada malaria campuran 54 kasus (39,7%) dibandingkan dengan vivax hanya 18 kasus (5,32%). Nilai rata-rata konsentrasi bilirubin pasien dengan hiperbilirubinemia pada pasien malaria vivax adalah 7.021.49 mg/dL, pada falciparum 18.892.90 mg/dL, pada campuran 13.732.70 mg/dL. Angka kematian secara signifikan (p=0,03) lebih rendah pada malaria vivax (6 kasus,1,77%) dari pada falciparum (20 kasus, 9,71%) serta dengan malaria campuran (14 kasus,10,29%). ARDS merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pada malaria vivax. Ke enam pasien seluruhnya meninggal karena ARDS. Empat kasus diantaranya juga memiliki gagal

ginjal dan dua diantaranya memerlukan hemodialisis. Dua kasus ini pula memiliki keterkaitan dengan gangguan serebral. Kami menganalisis dari 40 kasus kematian malaria. Lima diantaranya simptomatik untuk < 3 hari sebelum dibawa ke pusat kesehatan, 18 kasus simptomatik untuk 3-6 hari dan 17 kasus simptomatik untuk > 6 hari sebelum datang ke pusat kesehatan kami. Banyak yang sudah menerima pengobatan anti malaria sebelumnya akan tetapi informasi lengkapnya tidak tersedia.

Pembahasan
Malaria vivax selalu digambarkan sebagai penyakit yang tidak berbahaya. Meskipun demikian, pada beberapa tahun terakhir banyak kasus dari malaria vivax yang berat terlihat serta beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk menemukan berbagai komplikasi dari malaria vivax dan mebandingkannya dengan komplikasikomplikasi dari malaria palcifarum dan malaria campuran. Penyebab yang jelas mengenai perubahan yang terjadi pada profil klinis dari malaria vivax belumlah jelas. Bisa termasuk karena alterasi genetic dari parasit atau perubahan vector (nyamuk) dan kebiasaan menggigitnya serta resistensi terhadap klorokuin dan pengunaan ACT yang meningkat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjawab pertanyaan ini. Telah diasumsikan sebelumnya bahwa penyakit berat dengan infeksi vivax sebenarnya disebabkan oleh adanya infeksi gabungan antara P.vivax dan P.falciparum. Schizon dari P.vivax terdeteksi dalam pembuluh vena dimana schizon P.palcifarum tidak terdeteksi tetapi ada didalam kapiler-kapiler organ interna. Walau bagaimana pun pengaplikasian dari pemeriksaanpemeriksaan yang belakangan berkembang seperti teknik pemeriksaan antigen dan asam nukleat malaria telah menemukan bukti bahwa mono-infeksi vivax dapat menyebabkan malaria berat dan kematian2. Tes antigen spot malaria menggunakan LDH parasit yang mana tersebar luas dan tes PCR yang biasanya digunakan untuk kepentingan akademis dapat membedakan mono-infeksi vivax dengan infeksi palcifarum. Pada tahun 2009 Kochar et al melaporkan seri dari 11 kasus malaria vivax berat dari Bikaner. Mereka menggunakan tes antigen dan PCR untuk mengeksklusi infesi P.palcifarum.

Mekanisme dari keterlibatan organ pada malaria vivax masihlah menjadi perdebatan. Respon-respon inflamasi seperti sekuestrasi pada sel darah merah yang dihinggapi parasit pada mikrosirkulasi dipikirkan menjadi mekanisme yang mungkin4. Andrade et al5 juga menemukan hubungan linier yang kuat antara peningkatan level dari C-reactive protein, TNF-alpha, IFNgamma, INF-gamma/IL-10 dengan tingkat keparahan penyakit dari malaria vivax. Price et al6 melaporkan bahwa konsentrasi plasma dari TNF-alpha lebih besar pada vivax dengan pembandingnya yaitu palcifarum dalam tingkat parasitemia yang sama. Pada seluruh kasus dengan malaria vivax dengan ARDS yang telah dilaporkan sampai saat ini, gejalanya muncul setelah memulai pengobatan anti-malaria, meningkatkan kemungkinan dari respon inflamasi paru untuk membunuh parasit malaria6. Sehingga respon imun dan inflamasi memegang

peranan penting dalam patofisiologi malaria berat. Pada penelitian oleh Andrade et al,Brazil, pasien-pasien dengan malaria berat cenderung lebih muda, pernah tinggal di daerah endemis dalam jangka waktu yang lebih singkat, dan pernah memiliki periode malaria yang lebih singkat sebelumnya5. Dalam penelitian ini, angka insidensi dari ARDS/ALI, trombositopenia, leukopenia, perdarahan mukosa, hipotensi sama tingginya dengan angka kejadian pada malaria palcifarum dan campuran. (tidak ada perbedaan yang bermakna pada angka insidensi) Komplikasikomplikasi lainnya terlihat pada malaria vivax lebih sedikit frekuensinya dibandingkan dengan malaria palcifarum dan campuran antara lain, malaria serebral, gagal ginjal akut, hiperbilirubinemia, anemia, dan asidosis metabolik. Komplikasi pada malaria vivax diteliti oleh Sharma et al dalam studinya di Delhi7 adalah trombositopenia, disfungsi hepar, gagal ginjal, ARDS, dan hemolisis. Tjitra et al8 juga menemukan anemia, ARDS, malaria serebral, sebagai komlikasi mayor malaria vivax yang ditemukan di Papua, Indonesia. Malaria berat serta distress pernapasan juga dilaporkan sebagai komplikasi dari malaria vivax oleh Genton et al9 dan Picot et al10. Angka insidensi dari penyakit berat antar pasien rawat inap pada penelitian ini mirip dengan yang ditemukan oleh Tjitra et al8. Banyak kasus dari trombositopenia berat yang disebabkan oleh malaria vivax telah dilaporkan di literatur11-15. Akan tetapi pada penelitian ini perdarahan yang mengancam jiwa tidak ditemukan di tiap pasien. Jumlah platelet yang meningkat dengan pengobatan anti-malaria juga dilaporkan oleh Jadhay et al16. Imunitas menyebabkan lisis merupakan mekanisme utama dari trombositopenia di malaria17.

Angka kejadian leukopenia pada penelitian ini mirip seperti kasus yang dilaporkan barubaru ini18,19. Hitung leukosit pada malaria cenderung rendah sampai normal sesuai dengan perginya leukosit dari sirkulasi perifer menuju limpa serta organ marginal lainnya dibandingkan terjadinya deplesi yang sebenarnya atau pun cenderung stasis. Hal ini merupakan temuan perubahan yang terjadi, seperti trombositopenia dan terjadi penormalan setelah terapi antimalaria. Anemia cenderung sedikit angka terjadinya pada malaria vivax dibanding malaria falciparum dan campuran. Insidensi anemia pada pasien di penelitian ini (3%) dianggap lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Tjitra8 di wilayah Asia Tenggara (19%). Anemia berat terjadi pada malaria vivax dikarenakan perdarahan yang rekuren dari eritrosit yang tidak terinfeksi dengan terjadinya peningkatan fragilitas eritrositnya4. Banyak kasus dari sindroma distress napas atau kerusakan paru akut pada malaria vivax telah dilaporkan di India dan dari luar negeri20-25. Dalam kasus-kasus ini gejala-gejalanya berkembang setelah penggunaan dari pengobatan anti-malaria. Onset yang lambat dari ARDS dapat diingat oleh para klinisi sebagai pengancam jiwa dan intervensi tepat waktu dapat menyelamatkan jiwa pasien. Kerusakan paru dihubungkan dengan peningkatan inflamasi dalam membrane kapiler permeable alveolus6. Penelitian oleh Anstey et al mendemonstrasikan peran tambahan daripada sekuestrasi dari P.vivax yang menginfeksi eritrosit pada mikrovaskuler paru26. Mereka juga menggambarkan disfungsi kapiler alveolar yang progresif setelah pengobatan malaria vivax menuju pada inflamasi yang lebih berat muncul untuk melawan parasit pada kasus malaria vivax dibandingakan pada kasus malaria palcifarum. Gagal ginjal akut yang disebabkan oleh malaria vivax telah dilaporkan lebih dulu di berbagai literatur27-28. Nekrosis tubuler akut menuju pada iskemia ginjal adalah mekanisme yang dominan31. Dua dari 6 pasien dari gagal ginjal akut pada vivax membutuhkan hemodialisis dan keduanya meninggal. Ada beberapa laporan kasus mengenai malaria serebral yang disebabkan oleh infeksi P.vivax pada literature29-31. Pada penelitian ini terdapat 12 kasus yang berpengaruh pada serebral disebabkan oleh malaria vivax. Terdiri dari 3 kejang multipel, 5 penurunan kesadaran, dan 4 kasus koma dalam. 2 kasus diantaranya sangatlah buruk, tetapi karena diikuti dengan keadaan ARDS dan gagal ginjal sebagai penyulit.

Jaundis pada malaria merupakan multifaktorial. Hemolisis menyebabkan elevasi yang sedang dari tingkat bilirubin indirek dan kembali ke normal setelah pengobatan. Disfungsi hepar dikarenakan oleh sekuestrasi mikrovaskular dari sel darah merah yang terinfeksi parasit menyebabkan peningkatan signifikan konsentrasi bilirubin serum, elevasi sedang dari AST dan ALT serta peningkatan waktu protrombin. Hal ini terjadi pada malaria falciparum berat32,33,34. Kocher et al menandai bahwa jaundis karena hepatitis malaria membaik 1-2 minggu setelah pengobatan dimana hepatitis akut akibat virus membutuhkan waktu 3-4 minggu35. Kematian malaria vivax lebih sedikit dibandingkan malaria falciparum dan malaria campuran. Enam kematian ditandai dari malaria vivax selama periode penelitian. Malaria berat diterapi dengan ACT dan primakuin bersamaan dengan terapi supportif. Resistensi terhadap anti-malaria karena parasitemia yang lebih lama atau pun perlambatan penuruna panas tidaklah diobservasi. Sebagai kesimpulannya, pasien dengan malaria vivax seharusnya dimonitor komplikasi yang muncul agar dengan deteksi dan penanganan yang lebih cepat pada centercenter kesehatan lebih tinggi dapat menyelamatkan jiwa pasien. Kematian yang terjadi diakibatkan malaria vivax diikuti dengan keadaan ARDS, dimana onsetnya setelah memulai pengobatan anti-malaria. Penelitian kami di rumah sakit angka kejadiannya mungkin bisa jadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka kejadian di komunitas. Malaria vivax yang berat merupakan permasalahan klinis yang baru dan sangatlah dibutuhkan, penelitian-penelitian lanjutan dari daerah yang berbeda di India.

Daftar Pustaka
1. World Health Organisation. Severe falciparum malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene 2000:94(Suppl.1):1-90. 2. Picot S. Is P. vivax still a paradigm for uncomplicated malaria? Med Mal Infect 2006;36:406-13. 3. Kochar DK, Das A, Kochar SK. Severe P. vivax malaria: A report on serial cases from Bikaner in Northwestern India. Am J Trop Med Hyg 2009;80:194-8. 4. Anstey NM, Russel B, Yeo TW, Price RN. The pathophysiology of vivax malaria. Trends Parasitol 2009;25:220-7. 5. Andrade B, Reis-Filho A, Souza-Neto SM. Severe plasmodium vivax malaria exhibits marked inflammatory imbalance. Malaria Journal 2010;9:13 doi:10.1186//1475-2875-913. 6. Price RN, Tjitra E, Guerra CA. Vivax malaria: neglected and not benign. Am J Trop Med Hyg 2007;77(6suppl):79-87. 7. Sharma A, Khanduri U. How benign is benign tertian malaria? J Vector Borne Dis 2009;46:141-4. 8. Tjitra E, Anstey NM, Sugiarto P. Multidrug resistant plasmodium vivax associated with severe and fatal malaria: A prospective study in Papua, Indonesia. PLoS Med 2008;5:e128. 9. Genton B, DAcremont V, Rare L. Plasmodium vivax and mixed infections are associated with severe malaria in children. A prospective cohort study from Papua New Guinea. PLoS Med 2008;5:e127. 10. Picot S, Bienvenu AL. Plasmodium vivax infection: not so benign. Med Sci (Paris) 2009;25:622-6. 11. Rodriguez-Morales AJ, Sanchez E, Vargas M. Occurence of thrombocytopenia in Plasmodium vivax malaria. Clin Infect Dis 2005;41:130-1. 12. Kumar A, Shashirekha. Thrombocytopenia- an indicator of acute vivax malaria. Ind J Patho Microbiol 2006;49:505-8. 13. Anju Aggarwal, Suman Rath, Shashiraj. Plasmodium vivax malaria presenting with severe thrombocytopenia (case report). J Trop Pediatr 2005;51:120-1.

14. Kakar A, Bhoi S, Prakash V, Kakar S. Profound thrombocytopenia in plasmodium vivax malaria. Diagn Microbiol Infect Dis 1999;3593:243-4. 15. Lipin Prasad, Sujathan, Ajith K. Isolated plasmodium vivax malaria associated thrombocytopenia (case report). Clin Biochem 2001;34:341-4.18 JAPI october 2012 VOL. 60 16. Jadhav UM, Patkar VS, Kadam NN. Thrombocytopenia in malaria: correlation with type and severity of malaria. J Assoc Physicians India 2004;52:615-8. 17. Looaresuwan S, Davis JG, Allen DL et al. Thrombocytopenia in malaria. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1992;23:44-50. 18. McKenzie FE, Prudhomme WA, Magill AJ et al. White blood cell counts and malaria. J Infect Dis 2005;192:323-30. 19. Jadhav UM, Singhvi R, Shah R. Prognostic implications of white cell differential count and white cell morphology in malaria. J Postgrad Med 2003;49:218-21. 20. C hancahal Gera, Jasbir Dhanoa. Vivax induced ARDS: Report of two cases. J Assoc Physicians India 2010;58:44-5. 21. Tan LK, Yakoub S, Scott S, Bhagani S, Jacob M. Acute lung injury and other serious complications of Plasmodium vivax malaria. Lancet Infect Dis 2008;8:449-54. 22. Sarkar S, Saha K, Das CS. Three cases of ARDS: An emerging complication of Plasmodium vivax malaria (Case report). Lung India 2010;27:154-7. 23. Agarwal R, Nath A, Gupta D. Noninvasive ventilation in Plasmodium vivax related acute lung injury or ARDS. Intern Med 2007;46:2007-11. 24. Kumar S, Melzer M, Dodds P, Watson J, Ord RP. Vivax malaria complicated by shock and ARDS (Case report). Scand J Infect Dis 2007;39:255-6. 25. Price L, Planche T, Rayner C, Krishna S. Acute respiratory distress syndrome in Plasmodium vivax malaria: Case report and review of literature. Trans R Soc Trop Med Hyg 2007;101:655-9. 26. Anstey NM, Handojo T, Pain M, Kenangalem E, Tjitra E, Price RN et al. Lung injury in vivax malaria: pathophysiological evidence for pulmonary vascular sequestration and post treatment alveolar capillary inflammation. J Infect Dis 2007;195:589-96. 27. Prakash J, Singh AK, Kumar NS, Saxena RK. Acute renal failure in Plasmodium vivax malaria. J Assoc Physicians India 2003;51:265-7.

28. Syed Munib, Syed Shernaz Jamal. Outcome of haemodialysis in acute renal failure due to malaria: A single centre study. JPMI 2006;20:135-8. 29. Mishra VN, Singh D. Cerebral malaria caused by Plasmodium vivax. J Assoc Physicians India 1989;37:411. 30. B eg MA, Khan R, Baig SM et al. Cerebral involvement in benign tertian malaria. Am J Trop Med Hyg 2002;67:230-2. 31. Sarkar S, Bhattacharya P. Cerebral malaria caused by Plasmodium vivax in adult subjects (Case report). IJCCM 2008;12:204-5. 32. T angpukdee N, Thanachartwet V, Krudsood S et al. Minor liver profile dysfunctions in P. vivax, P. malariae, P. ovale patients and normalisation after treatment. Korean J Parasitol 2006;44:295-302. 33. Kochar DK, Agarwal P, Kochar SK et al. Hepatocyte dysfunction and hepatic encephalopathy in Plasmodium falciparum malaria. QJM 2003;96:505-12. 34. Premaratna R, Gunatilake AK, Desilva NR et al. Severe hepatocyte dysfunction associated with falciparum malaria. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2001;32:70-2. 35. Kochar DK, Kaswan K, Kochar SK et al. A comparative study of regression of jaundice in patients of malaria and acute viral hepatitis. J Vector Borne Dis 2006;43:123-9.

Anda mungkin juga menyukai