Umar Zein
Khalid Huda Sagala
Josia Ginting
Fakultas Kedokteran
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain
memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
1,2
paratyphi A.
EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare
menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa
rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
dikutip dari 8
dewasa terjadi setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
9
dewasa per tahun. Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 1
didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 %
pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter
jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella
dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive
11
E.coli ( EIEC).
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare akut yang
disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV
positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare
1,3,12
infeksi.
1,3,9,10
PATOFISIOLOGI
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan
Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi
sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan
abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda
dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta
mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair
dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada
sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat
cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok osmotik,
sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat
diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare.
Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi
yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau
pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar.
Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive
enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus menjadi lebih
cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme
yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan
inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif
mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada
sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin.
Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan
mukosa usus.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 2
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer fimbria atau pili dengan
reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga
sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang melibatkan gen
EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur
sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada jenis kuman
enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di dalam sel terjadi
multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler
menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya
mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi
toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik
seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya
Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentrie yang bersifat
sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC)
serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang secara biologis sangat
aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B.
Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler
sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan
HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama dengan CT serta heat Stabile
toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein
membran mikrovili, membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor neural 5-HT pada saraf
sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori
VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks neural ENS. Penelitian
menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron
sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT,
neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja
pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 3
DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan yang sistematik dan cermat.
Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat
pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
1,3,13
penunjang.
gambar 1.
Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada
Dikutip dari 1
NO
YES
Resolution
Assess
-Duration ( > 1 day)
-Severity (dehydration, fever, blood,
wt.loss)
Explore
History of :
OBTAIN
STOOL
Fever,
tenesmus
Travel
FOR
WBC
Consider :
C.difficile cytotoxin
Consider :
Empiric
Antimicrobial
Therapy
e-USU Repository
2004
Universitas
Sumatera Utara 4
Culture for :
Shigella, Salmonella,
C.jejuni
Blo
od
Otb
rea
k
(or
Fe
cal
La
cto
ferr
in)
Manifestasi
8,14,15
Klinis
Diare
akut
karena
infeksi
dapat
disertai
keadaan muntahmuntah dan/atau
demam,
tenesmus,
hematochezia,
nyeri perut atau
kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan renjatan
hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena
kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering,
tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang mengakibatkan penurunan
pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat
dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar
pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda
denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka
pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare
akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria. Bila
keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti
pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam
sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang
menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses adanya leukosit.
Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon
baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera
mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis
3
patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein
bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon.
Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 93 % dan
spesifisitas 61 100 % terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang
dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare inflammasi berdasarkan
klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare
1
berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus diperiksa kimia
darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah
5,8,10,14
lengkap
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu
6
1,3,15,16
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 organisma per gram
makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C perfringens . Pulasan cairan fekal
menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan menyebabkan diare yang
menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak
dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan
cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang
terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare berat,
diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah. Demam ringan dapat
terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera digantikan yang sesuai.
Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan penggantian yang tepat harus
diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif. Kebanyakan kasus
dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan cairan intravena.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 6
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga
kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan
pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya <
1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.
Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme patogen yang
melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala ringan yang terdiri
dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB
lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul
pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel
darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self
limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang ditemui,
kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan
pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit yang
parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan
selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare
EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.
2. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella
menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin
dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB
berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa
darah, kemudian feses berdarah setelah 3 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang
dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis
dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan, gejala
neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris
dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses dapat
digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari keparahan
penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk mempersingkat
berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon
dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 7
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika Serikat.
Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit dengan
gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult
blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur darah positip
pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat. Penggunaan
antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan
jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi,
tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprimsulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari
selama 5 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat
diberi oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid. Demam tiphoid
dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi
sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan
terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial, menyebabkan
hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif
dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama
terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur dengan
denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan
timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan
usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya
ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90% pasien pada minggu
pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu penyakit. Kolesistitis
jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah
sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi resistensi,
penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan
flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan
harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14
hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral
(ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus, sering ditemukan pada
pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 8
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai sindroma
disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada
90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul
adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat ditemukan
adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun pemakaian
antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang
nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali
sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan
elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya gastroenteritis. V
parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi kerang
mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat
kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik
tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau diare lama,
direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai dengan antigen
somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan
enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon
dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat diikuti dengan
artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah dan demam jarang
terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari
kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi
adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau
bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada
sepsis.
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi akibat makanan
yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan makanan atau air
terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat
dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control
(CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS.
EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel,
hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12 kali perhari).
Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang
biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi
abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3
pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa menunjukkan
hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik
9
(hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x 10 /L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah
diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare. Faktor resiko
HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 9
diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS
akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30%
akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih
jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya dilakukan pada
laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler. Antibiotik
tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa
studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti
diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih
diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas menghasilkan
beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah. Penyakit sembuh
sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi yang
berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar,
atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Kebanyakan kasus
berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik,
Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh
sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim
sulfametoksazole.
PENATALAKSANAAN
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan
elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada
semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan
17
hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g
2,4
Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air.
Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti
dapat dibuat dengan menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium..
3
Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer
harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera
mungkin.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 10
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan.
dikutip dari 8
1,
Na = Kadar Natrium plasma normal; BW = Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat
1
badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na = Kadar natrium plasma sekarang ; BW = volume air
2
badan sekarang
B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus
diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 11
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti
demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan,
persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi
1,5,9,16
tidak dianjurkan.
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas dasar
argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut
maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi
elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia),
Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 12
dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat
mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan
9
PENCEGAHAN
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat dicegah
dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan setelah keluar dari
toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah
pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian
khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan
untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 13
keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus
dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus
diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air rebusan,
saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang tidak diolah tidak
dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut
harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC
terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel
terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas dan
ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk V. colera, dan
demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk
digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin
tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin
parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek
samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua
hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.
KESIMPULAN
Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju.
Sebagian besar bersifat self limiting sehingga hanya perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Bila ada tanda dan gejala diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi
antimikrobial secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai dengan
hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan cukup aman bila diberikan
sesuai dengan aturan. Prognosis diare akut infeksi bakteri baik, dengan morbiditas dan mortalitas
yang minimal. Dengan higiene dan sanitasi yang baik merupakan pencegahan untuk penularan diare
infeksi bakteri.
KEPUSTAKAAN
1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al
editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical
Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management of
Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors.
nd
Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2 edition. New York: Lange Medical
Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia. Available
from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management of acute
diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004; 53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial Pathogens
Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med Hyg 2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA,
dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 14
Edisi ketiga. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996.
451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea). Dalam :
Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini
Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga University
Press, 2002. 34 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine
2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med 2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I, Bawazier LA,
Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding Simposium Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2001.
Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et
al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella & Salmonella
Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current Diagnosis and
Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 584 - 66.
th
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy Handbook. 5
ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M, Marpaung B,
Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap Gastroenterologi-Hepatologi Update
2003. Medan: Divisi Gastroentero-hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003.
67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 15