Anda di halaman 1dari 16

1

Ketuban Pecah Dini


Pendahuluan
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan dimulai atau terjadinya kontraksi uterus yang teratur. 1,2 Insidensi KPD
berkisar antara 5-15% dari seluruh kehamilan. Faktor-faktor yang diduga sebagai
penyebab terjadinya KPD ini antara lain:

infeksi, apoptosis (kematian sel),

hormonal, stres, distensi uterus berlebihan seperti, kehamilan kembar dan


polihidramnion. 3,4 Setelah terjadinya KPD umumnya akan diikuti oleh persalinan.
Hampir 95% persalinan terjadi dalam 24 jam pertama setelah KPD. Timbulnya
kontraksi uterus (periode laten) pada KPD preterm (PKPD) lebih lama
dibandingkan dengan kehamilan aterm. Komplikasi dari KPD adalah persalinan
prematur, komplikasi perinatal, neonatal, dan kematian janin. 5,6
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan pemberian antibiotik pada
penderita dengan KPD dapat menurunkan infeksi neonatal, memperpanjang
periode laten, mengurangi kejadian endometritis postpartum, korioamnionitis,
sepsis neonatal, pneumonia neonatal, dan hemoragi intraventrikular. 7 Untuk
menurunkan tingkat kematian dan kesakitan bayi kurang bulan pada saat ini
masih sangat tergantung pada perawatan bayi secara intensif dan sumber daya
manusia yang trampil serta peralatan dan sarana perawatan intensif yang
memerlukan biaya besar. Semakin besar bayi serta semakin tua usia kehamilan
maka angka kesakitan dan angka kematian perinatal akan semakin menurun
seiring dengan semakin matangnya berbagai sistem tubuh. 8
Faktor Risiko dan etiologi
Banyak faktor risiko yang berhubungan dengan KPD. Penderita kulit hitam
memiliki risiko KPD lebih tinggi dibandingkan dengan penderita kulit putih. Penderita
lain yang memiliki risiko tinggi yaitu penderita sosioekonomi rendah, perokok,

memiliki riwayat infeksi menular seksual, riwayat persalinan preterm sebelumnya,


perdarahan pervaginam, dan uterus distensi (seperti polihidramnion, kehamilan
kembar).9

Tindakan yang dapat mengakibatkan KPD termasuk cerclage dan

amniosentesis. Tidak terdapat etiologi tunggal pada KPD. Peradangan atau infeksi
koriodesidual dapat menyebabkan KPD. Penurunan kadar kolagen selaput ketuban
telah diduga menjadi faktor predisposisi KPD.10 Ada kemungkinan bahwa berbagai
faktor predisposisi mempengaruhi seorang penderita KPD.
A. Infeksi
Para ahli obstetri telah lama mendebatkan ada atau tidak infeksi intrauterin
merupakan penyebab atau merupakan akibat dari KPD seperti yang terlihat pada
gambar 1. Terdapat bukti tidak langsung bahwa infeksi saluran genital menjadi
pencetus pecahnya selaput ketuban pada hewan percobaan dan manusia. Pada kelinci
hamil, inokulasi Escherichia coli pada serviks menyebabkan 97% kultur cairan amnion
dan jaringan desidua positif E. coli dan setengahnya mengalami persalinan preterm.
Sebaliknya, inokulasi serviks dengan cairan fisiologis, tidak terjadi infeksi atau
persalinan preterm. Identifikasi mikroorganisme patogen pada flora vagina manusia
segera setelah pecah ketuban mendukung konsep bahwa infeksi bakteri menjadi
penyebab utama patogenesis dari KPD.11

Gambar 1 : Lokasi-lokasi yang berpotensi infeksi bakteri dalam Uterus


Sumber: Forgas SJ.4

Data epidemiologi menunjukkan hubungan antara koloni saluran genital oleh


streptokokus

grup

B,

Chlamydia

trachomatis,

Neisseria

gonorrhoeae,

dan

mikroorganisme penyebab vaginosis bakteri (vakteri anaerob, Gardnerella vaginalis,


Mobiluncus sp, dan mikoplasma genital) dengan peningkatan risiko KPD. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa pengobatan wanita infeksi dengan antibiotik menurunkan
angka PKPD.12
Infeksi intrauterin menjadi predisposisi pecahnya selaput ketuban melalui
beberapa mekanisme, semuanya menyebabkan degradasi dari matriks ekstraselular.
Beberapa organisme yang biasanya terdapat dalam flora vagina, termasuk sreptokokus
grup B, Staphylococcus aureus, Trichomonas vaginalis, dan bakteri penyebab
vaginosis bakteri, menghasilkan protease yang dapat menurunkan kadar kolagen dan
melemahkan selaput ketuban. Pada percobaan in vitro, proses proteolisis matriks
selaput ketuban dapat dicegah dengan pemberian antibiotik.13
Respons inflamasi ibu terhadap infeksi bakteri menghasilkan mekanisme
potensial lain terjadinya pecah ketuban. Respons inflamasi cepat oleh neutrofil
polimorfonuklear dan makrofag ke tempat infeksi dan menghasilkan sitokin, matrix
metalloproteinase (MMP), dan prostaglandin. Sitokin, termasuk interleukin-1 dan
tumor necrosis factor (TNF-), dihasilkan oleh monosit, dan sitokin ini merangsang
peningkatan MMP-1 dan MMP-3 pada sel-sel korion.13
Infeksi bakteri dan respon inflamasi ibu juga menyebabkan produksi
prostaglandin oleh selaput ketuban, yang akhirnya meningkatkan risiko KPD
diakibatkan oleh iritabilitas uterin dan penurunan kolagen selaput ketuban. Strain
tertentu bakteri vagina menghasilkan fosfolipase A2, yang menyebabkan pelepasan
prostaglandin prekursor,

asam arakidonat oleh membran fosfolipid dari selaput

ketuban. Selain itu, respons imun terhadap infeksi bakteri termasuk produksi sitokin
oleh aktivitas monosit yang meningkatkan produksi prostaglandin E 2 oleh sel-sel
korion. Stimulasi sitokin terhadap produksi prostaglandin E2 oleh selaput ketuban dan
korion timbul disebabkan oleh siklooksigenase II, suatu enzim yang merubah asam

arakidonat menjadi prostaglandin. Bagaimana tepatnya regulasi sintesis prostaglandin


E2 dalam hubungannya dengan infeksi bakteri dan respons inflamasi tidak sepenuhnya
dimengerti, dan hubungan langsung antara prostaglandin dengan KPD tidaklah
diketahui. Prostaglandin (khususnya prostaglandin E2 dan prostaglandin F2) telah
diketahui sebagai mediator dalam persalinan pada seluruh mamalia, dan prostaglandin
E2 mengurangi sintesis kolagen pada selaput ketuban dan peningkatkan ekspresi MMP1 dan MMP-3 pada fibroblas manusia.14
Komponen lain respons ibu terhadap infeksi adalah produksi glukokortikoid.
Pada kebanyakan jaringan, aktivitas antiinflamasi glukokortikoid diakibatkan
penekanan produksi prostaglandin. Pada beberapa jaringan, termasuk selaput ketuban,
glukokortikoid secara berlawanan menekan stimulasi produksi prostaglandin. Selain
itu, deksametason dapat mengurangi sintesis fibronektin dan kolagen tipe III pada
kultur utama sel epitel selaput ketuban.

Beberapa temuan ini menduga bahwa

glukokortikoid dihasilkan oleh respons terhadap stres infeksi mikroba yang


memudahkan pecahnya selaput ketuban.14
B. Hormon
Progesteron dan estradiol dapat menekan proses remodeling matriks
ektraselular pada jaringan reproduktif. Kedua hormon tersebut menurunkan konsentrasi
MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan inhibitor jaringan metaloproteinase pada
fibroblas serviks kelinci. Progesteron dosis tinggi menurunkan produksi kolagenase
pada serviks babi, meskipun konsentrasi yang lebih rendah progesteron dan estradiol
dapat merangsang produksi kolagen pada babi hamil. Relaksin, suatu hormon protein
yang mengatur remodeling jaringan ikat, dihasilkan secara lokal oleh desidua dan
plasenta dan melawan efek inhibisi dari estradiol dan progesteron dengan
meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam selaput ketuban manusia. Ekspresi
gen relaksin meningkat sebelum proses persalinan aterm pada selaput ketuban janin
manusia. Meskipun demikian, masih belum diketahui dengan pasti bagaimana

hubungan antara estrogen, progesteron, dan relaksin dalam proses reproduksi, termasuk
pecahnya selaput ketuban.14
C. Apoptosis
Apoptosis (kematian sel) merupakan suatu cara untuk membersihkan sel yang
rusak di dalam tubuh mamalia. Perubahan genetik yang melibatkan sel dan jaringan
sering menghasilkan apoptosis yang berlebihan. Apoptosis telah diketahui pada proses
remodeling berbagai jaringan reproduktif, termasuk pada serviks dan uterus. Banyak
faktor sebagai sebab apoptosis seperti rudapaksa, infeksi, defisiensi faktor
pertumbuhan atau hormon, kerusakan DNA, gangguan metabolik atau siklus sel, serta
pengaktifan death receptor seperti yang terlihat pada gambar 2. Apoptosis ditandai
dengan fragmentasi inti DNA dan katabolisme subunit 28S ribosomal RNA yang
dibutuhkan untuk sintesis protein. Pada percobaan tikus (yang mempunyai masa
kehamilan 21 hari), sel epitel selaput ketuban mengalami apoptosis saat mendekati
persalinan. Selaput ketuban dan korion manusia yang diperoleh pada kehamilan aterm
setelah pecah sebelum waktunya mengandung banyak sel-sel apoptosis di daerah yang
berdekatan dengan daerah ruptur dan sedikit sel apoptosis di daerah lain dari selaput
ketuban. Oleh karena itu, pada kasus korioamnionitis, apoptosis sel sepitel selaput
ketuban sering terlihat berdekatan dengan sel granulosit, diduga bahwa respons
imunologi ibu dapat mempercepat kematian sel pada selaput ketuban.15

Gambar 2 : Faktor-faktor Pencetus Apoptosis


Sumber: Kumar V.16

D. Regangan selaput ketuban berlebihan


Overdistensi uterus diakibatkan oleh polihidramnion dan kehamilan ganda
dapat menyebabkan regangan selaput ketuban dan meningkatkan risiko KPD.
Regangan mekanis dari selaput ketuban menyebabkan produksi beberapa zat amnion,
termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8 seperti yang terlihat pada gambar 3
Regangan juga meningkatkan aktivitas MMP-1 dalam selaput.

Prostaglandin E2

meningkatkan iritabilitas uterus, menurunkan sintesis kolagen selaput ketuban, serta


meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3 oleh sel fibroblas. Interleukin-8, yang
diproduksi oleh sel amnion dan korion, merupakan zat kemotaktik bagi neutrofil dan
meningkatkan aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8, yang terdapat dalam
konsentrasi rendah dalam cairan amnion selama trimester kedua tetapi meningkat
cukup tinggi pada akhir kehamilan, diinhibisi oleh progesteron. Jadi, produksi
interleukin-8 dan prostaglandin amnion memperlihatkan perubahan biokimia pada
selaput ketuban yang mungkin dimulai oleh trauma fisik (regangan selaput ketuban),
sesuai dengan hipotesis akibat trauma dan biokimia dari pecah selaput ketuban.15

Gambar 3 : Diagram Berbagai Faktor yang Menyebabkan KPD


Sumber: Medina TM.2

Patogenesis
Pecahnya selaput ketuban sewaktu intrapartum merupakan akibat kelemahan
secara umum akibat kontraksi uterus dan tegangan yang berulang-ulang. Kekuatan
regangan selaput ketuban berkurang pada preparat histologi yang diperoleh setelah in
partu dibandingkan dengan yang diperoleh dari persalinan sesar tanpa in partu.11
Kelemahan umum selaput ketuban lebih sulit ditentukan antara KPD dan selaput
ketuban yang dipecahkan secara buatan selama proses persalinan. Selaput ketuban
yang pecah sebelum waktunya, lebih sering tampak hanya kelemahan fokal saja
daripada kelemahan umum. Daerah di sisi dekat ruptur disebut zona restriksi yang
ditandai oleh daerah pembengkakan dan kerusakan fibrin jaringan kolagen antara
jaringan padat, fibroblas, dan lapisan spongiosa. Oleh karena daerah ini tidak termasuk
seluruh daerah sisi ruptur, daerah ini dapat muncul sebelum selaput ketuban pecah dan
menjadi titik awal pecahnya selaput ketuban.16
Agar kekuatan regangan dapat terpelihara harus melibatkan keseimbangan
antara sintesis dan degradasi dari komponen matriks ekstraselular. Diduga bahwa
perubahan pada selaput ketuban, termasuk penurunan kandungan kolagen, struktur
kolagen yang berubahan dan peningkatan aktivitas kolagenolitik, berhubungan dengan
KPD.13
Komplikasi KPD
Satu dari komplikasi yang sering terjadi pada KPD adalah persalinan preterm.
Periode laten, yaitu waktu dari mulai pecahnya ketuban sampai masuk fase persalinan,
umumnya berbanding terbalik dengan usia kehamilan pada saat timbul KPD. Sebagai
contoh, satu studi pada wanita hamil aterm mengungkapkan bahwa 95% penderita
melahirkan dalam waktu 1 hari setelah KPD, sedangkan suatu studi analisis mengamati
pada penderita dengan PKPD antara usia kehamilan 16-26 minggu ditemukan bahwa
57% penderita melahirkan dalam waktu 1 minggu, dan 22% memiliki periode laten
selama 4 minggu. Jika KPD timbul terlalu dini, janin yang bertahan hidup dapat
berkembang dengan gejala sisa seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,

oligohidramnion,

enterokolitis

nekrotikan,

kelainan

neurologi,

hemoragia

intraventrikular, dan sindrom gawat napas.16


Tabel 1 : Komplikasi Preterm KPD
Komplikasi
Persalinan dalam 1 minggu
Sindrom gawat pernafasan
Penekanan tali pusat
Korioamnionitis
Solusio plasenta
Kematian janin
Sumber: Medina TM.2

Insidensi ( % )
50 - 75
35
32 - 76
13 - 60
4 - 12
1-2

Diagnosis 5,9
Diagnosis KPD memerlukan anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, dan
permeriksaan laboratorium. Penderita sering mengeluhkan keluar cairan tiba-tiba
dengan pancaran terus menerus. Seorang dokter harus menanyakan pada penderita
adakah kontraksi uterus, perdarahan pervaginam, baru saja berhubungan seksual, atau
adakah demam. Penting memastikan kapan taksiran persalinan sebab informasi ini
mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
A. Melihat cairan amnion dalam vagina
Bukti cairan yang keluar dalam vagina, atau aliran dari muara servik saat
penderita batuk, atau ketika fundus ditekan, dapat membantu menentukan adanya KPD.
Harus dilakukan pemeriksaan dengan spekulum untuk menentukan adalah pembukaan
dan pendataran serviks. Ketika dicurigai terjadi KPD, sangat penting untuk
menghindari pemeriksaan digital servik, karena pemeriksaan digital ini telah
dibuktikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. Pemeriksaan digital serviks
juga dapat menyebabkan penurunan rata-rata 9 hari pada periode laten. Pemendekan
periode laten ini menyebabkan peningkatan morbiditas infeksi dan gejala sisa pada
persalinan preterm. Harus disadari bahwa tidak dilakukannya pemeriksaan digital
serviks dapat menyebabkan misdiagnosis persalinan preterm yang sedang berlangsung,

yang membawa dampak serius pada penderita sehingga memerlukan penanganan lanjut
di rumah sakit rujukan. Harus disadari bahwa inspeksi visual secara hati-hati
menggunakan pemeriksaan spekulum merupakan cara yang paling aman untuk
menentukan ada atau tidak pembukaan serviks yang timbul setelah KPD.
B. Uji nitrazin
Metode diagnostik menggunakan kertas nitrazin (lakmus) memiliki sensitivitas
mendekati 90%. pH normal vagina adalah antara 4,5-6,0, sedangkan cairan amnion
lebih bersifat alkali, dengan pH antara 7,1-7,3. Kertas lakmus akan berubah menjadi
biru pada pH di atas 6,0. Meskipun bahan-bahan kontaminasi (seperti darah, semen,
antiseptik alkali) dapat juga menyebabkan kertas lakmus berubah menjadi biru,
menyebabkan hasil positif palsu (16,2%) dan negatif palsu (12,7%). Vaginosis bakteri
pun dapat mengakibatkan hasil yang serupa.
C. Uji pakis
Pemeriksaan swab harus dilakukan untuk mengambil cairan dari forniks
posterior atau dinding vagina. Sewaktu cairan mengering pada kaca objek, kita dapat
melihat adanya gambaran daun pakis (arborisasi) di bawah mikroskop. Terdapatnya
gambaran daun pakis ini mengindikasikan adanya KPD. Penting dicatat bahwa darah
vagina dapat mengaburkan kehadiran gambaran daun pakis, dan bahwa lendir serviks
dapat memberikan hasil positif palsu (4,4%) dan negatif palsu (4,8%) jika orifisium
uteri eksternum terkena swab.
D. Uji penguapan
Pada uji penguapan, sampel cairan endoserviks diambil dan dipanaskan hingga
cairan tersebut menguap. Jika terdapat residu berwarna putih yang tertinggal, berarti
terdapat cairan amnion. Jika residu berwarna coklat, berarti selaput ketuban masih
utuh.
E. Ultrasonografi (USG)

10

Pada kasus yang memiliki riwayat diduga KPD, tetapi pemeriksaan fisis gagal
memastikan diagnosis, pemeriksaan USG dapat membantu. Adakalanya, ditemukan
riwayat dan pemeriksaan fisis yang berlawanan (seperti, terdapat riwayat sangat
dicurigai ketuban pecah dengan uji pakis yang normal tetapi uji lakmus positif).
Meskipun jika pemeriksaan USG tidak diperlukan untuk memastikan diagnosis KPD,
pemeriksaan USG dapat membantu menentukan posisi janin, letak plasenta, perkiraan
berat janin, dan jumlah air ketuban.
F.

Fetal Fibronectin
Fetal fibronectin merupakan glikoprotein dengan berat molekul besar terdapat

dalam jumlah yang banyak dalam cairan amnion. Dapat dideteksi pada endoserviks
atau vagina penderita KPD dengan pemeriksaan ELISA. Uji ini memiliki akurasi tinggi
dan tidak dipengaruhi oleh darah.
Tes fetal fibronektin negatif berarti: 99,5% penderita dengan gejala dan tanda
tidak akan melahirkan dalam waktu 7 hari yang akan datang. Tes fetal fibronektin
positif berarti: >40% penderita dengan gejala dan tanda akan melahirkan dalam waktu
7 hari yang akan datang. Penderita yang diperiksa pada usia kehamilan 24 minggu,
hampir 60 kali kemungkinan akan melahirkan pada usia kehamilan <28 minggu.
G. Uji alfa fetoprotein
Alfa fetoprotein (AFP) terdapat dalam jumlah yang banyak dalam cairan
ketuban tetapi tidak terdapat dalam sekresi vagina atau urine. Uji ini memiliki
spesifisitas 100% dan sensitivitas 98%, jika dibandingkan dengan nitrazin 77%, dan uji
pakis 62%. Tes ini tidak baik digunakan pada kehamilan aterm karena kadar AFP
berkurang dengan bertambahnya usia kehamilan dan akurasinya dapat berkurang oleh
kontaminasi dengan darah ibu.

Penatalaksanaan:5,9
A. Kortikosteroid

11

Kortikosteroid menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal setelah KPD.


Sebuah metaanalisis menemukan bahwa kortikosteroid yang diberikan setelah KPD
dibandingkan dengan tanpa pemberian kortikosteroid, dapat menurunkan risiko
sindrom gawat napas bayi (20% banding 35,4%), hemoragi intraventrikular (7,5%
banding 15,9%), dan enterokolitis nekrotikans (0,8% banding 4,6%) tanpa peningkatan
risiko infeksi maternal dan neonatal.

Karena kortikosteroid efektif menurunkan

morbiditas dan mortalitas neonatal, haruslah dipahami indikasi dan dosis pemberian
kortikosteroid selama kehamilan. Secara luas digunakan dan direkomendasikan adalah
pemberian intramuskular betametason 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari, atau
intramuskular deksametason 6 mg setiap 12 jam selama 2 hari. National Institutes of
Health merekomendasikan pemberian kortikostreroid sebelum kehamilan 30-32
minggu, dengan asumsi viabilitas janin dan tidak terdapat bukti terjadi infeksi
intraamnion. Penggunaan kortikosteroid antara kehamilan 32-34 minggu masih
kontroversial. Pemberian kortikosteroid setelah kehamilan 34 minggu tidak
direkomendasikan kecuali jika dibuktikan terdapat imaturitas paru janin dengan
amniosentesis. Pemberian berulang tidak direkomendasikan sebab beberapa studi
memperlihatkan bahwa pemberian dosis dua atau lebih memberikan hasil penurunan
berat badan lahir bayi, lingkar kepala, dan panjang badan janin.
B. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada penderita KPD dapat menurunkan infeksi neonatal
dan memperpanjang periode laten. Sebuah metaanalisis memperlihatkan bahwa
penderita yang mendapatkan antibiotik setelah KPD, dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan

antibiotik,

mengurangi

kejadian

endometritis

postpartum,

korioamnionitis, sepsis neonatal, pneumonia neonatal, dan hemoragi intraventrikular.


Banyak sediaan antibiotik yang dapat digunakan pada KPD. Studi penggunaan obat
yang dilakukan oleh National Instituteof Child Health and Human Development
menggunakan kombinasi intravena ampisilin 2 g dan eritromisin 250 mg setiap 6 jam
selama 48 jam, diikuti dengan amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam

12

selama 5 hari. Ibu hamil yang diberikan kombinasi ini lebih cenderung bertahan hamil
selama 3 minggu.
C. Tokolitik
Sedikit data yang tersedia guna membantu menentukan perlu tidaknya terapi
tokolitik sebagai indikasi setelah KPD. Seperti telah dijelaskan di atas, kortikosteroid
dan antibiotik memberikan keuntungan jika diberikan pada penderita KPD, tetapi tidak
ada studi yang tersedia menyebutkan kedua terapi ini dikombinasikan dengan tokolitik.
Terapi tokolitik dapat memperpanjang periode laten untuk waktu yang singkat tetapi
tidak memperlihatkan peningkatan luaran janin yang baik. Karena tidak terdapatnya
data, bukan berarti tidak beralasan jika terapi tokolitik waktu singkat setelah KPD
diberikan setelah pemberian antibiotik inisiasi dan kortikosteroid.
Penatalaksanaan berdasarkan usia kehamilan
Kehamilan 34-36 minggu
Jika KPD timbul pada kehamilan 34-36 minggu (KPD preterm/PKPD), tidak
dianjurkan untuk memperpanjang kehamilan. Beberapa studi menunjukkan bahwa
induksi persalinan pada kehamilan >34 minggu jelas memberikan keuntungan. Satu
studi memperlihatkan bahwa manajemen konservatif pada kehamilan 34-36 minggu
memberikan hasil peningkatan risiko korioamnionitis dan penurunan rata-rata pH tali
pusat. Studi yang lain pada 430 wanita dengan PKPD mengungkapkan bahwa tidak
terdapat perbaikan morbiditas neonatal setelah kehamilan 34 minggu. Meskipun
kortikosteroid tidak diindikasikan pada kehamilan >34 minggu, antibiotik profilaksis
yang sesuai untuk streptokokus grup B harus diberikan

dan jika mungkin harus

dipertimbangkan merujuk penderita ke tempat yang memiliki fasilitas perawatan bayi


prematur. PKPD bukan merupakan kontraindikasi untuk persalinan pervaginam.
Kehamilan 32-33 minggu
Pada penderita dengan PKPD pada kehamilan 32-33 minggu ditambah data
maturitas paru janin, dapat dipertimbangkan melakukan induksi persalinan dan
merujuk penderita ke fasilitas yang dapat melakukan amniosentesis dan perawatan bayi

13

prematur. Memperpanjang masa kehamilan yang tidak perlu setelah data maturitas
paru janin dapat meningkatkan kemungkinan amnionitis ibu, kompresi tali pusat,
memperpanjang masa perawatan, dan infeksi neonatal. Harus diperhitungkan risiko
sindroma gawat nafas dengan gejala sisa yang lain pada persalinan prematur dengan
risiko perpanjangan masa kehamilan, seperti sepsis neonatal dan kompresi tali pusat.
Kortikostreroid dan antibiotik harus diberikan pada penderita yang tidak memiliki data
maturitas paru janin dan mempertimbangkan persalinan terjadi 48 jam. Perlu dilakukan
pemeriksaan kesejahteraan janin secara menyeluruh, mengawasi infeksi intraamniotik,
dan melakukan induksi persalinan pada kehamilan 34 minggu seperti yang dijelaskan
di atas. Konsultasi dengan neonatologist dan dokter yang lebih ahli dalam penanganan
PKPD akan lebih menguntungkan.
Kehamilan 24-31 minggu
Persalinan sebelum kehamilan 32 minggu dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas neonatal yang berat. Pada keadaan tidak terdapat infeksi intra-amnion, harus
dicoba untuk memperpanjang masa kehamilan sampai 34 minggu. Penderita dan
anggota keluarga harus diberikan nasehat. Disamping usaha ini, banyak penderita
berakhir dengan persalinan preterm dalam waktu 1 minggu. Kontraindikasi terapi
konservatif meliputi korioamnionitis, solusio plasenta, dan kesejahteraan janin yang
tidak baik. Terapi kortikosteroid dan antibiotik harus diberikan serta dilakukan
pemeriksaan kesejahteraan janin dengan fetal monitoring atau USG. Setelah merujuk
ke fasilitas yang dapat merawat bayi prematur,

penderita harus mendapatkan

monitoring kontraksi dan kesejahteraan janin setiap hari (jika mungkin kontinu).
Kompresi tali pusat sering terjadi pada PKPD sebelum kehamilan 32 minggu (3276%), oleh karena itu diperlukan paling sedikit monitoring keadaan janin dilakukan
setiap hari. Selain itu, harus diamati secara ketat takikardia ibu dan janin.
Memperpanjang periode laten dapat meningkatkan risiko infeksi intraamnion.
Sebuah analisis retrospektif pada 134 wanita dengan PKPD dengan usia kehamilan 2432 minggu yang mendapatkan steroid dan antibiotik menemukan bahwa terdapat

14

kecenderungan yang tidak bermakna ke arah imflamasi intrauterin pada penderita yang
memiliki periode laten lebih dari 1 minggu. Induksi persalinan diperlukan pada
penderita dengan amnionitis. Jika didiagnosis curiga dengan infeksi intraamnion tetapi
tidak terbukti, dapat dilakukan amniosentesis untuk mencari penurunan kadar glukosa
atau dapat dilakukan pengecatan gram positif serta hitung jenis leukosit. Pada penderita
yang mencapai kehamilan 32-33 minggu, dapat dipertimbangkan amniosentesis untuk
mendapatkan data maturitas paru janin, diikuti dengan induksi persalinan setelah
mendapatkan data maturitas paru janin, bukti infeksi intra-amnion, atau kehamilan
mencapai usia 34 minggu.
Sebelum kehamilan 24 minggu
Sebagian besar penderita akan melahirkan dalam waktu 1 minggu jika KPD
timbul pada kehamilan kurang dari 24 minggu, dengan rata-rata periode laten 6 hari.
Bayi yang dilahirkan menderita berbagai gangguan jangka panjang seperti penyakit
paru kronik, perkembangan dan neurologik abnormal, hidrosefalus, serta cerebral
palsy. Potters syndrome terjadi sebagai akibat tekanan deformitas anggota gerak dan
wajah, dan hipoplasia paru. Kejadian sindrom ini berhubungan dengan usia kehamilan
saat terjadinya pecah ketuban dan derajat oligohidramnion. 50% bayi yang dilahirkan
saat pecah ketuban pada kehamilan 19 minggu atau kurang menderita Potters
syndrome, sedangkan 25% pada usia kehamilan 22 minggu, dan 10% setelah 26
minggu. Penderita harus diberitahu mengenai luaran janin yang mungkin terjadi dan
keuntungan dan risiko dari terapi ekspektatif, yang mungkin tidak cukup lama dapat
dilakukan hingga melahirkan bayi yang dapat hidup normal.
Perawatan bayi yang belum viabel ini harus dikonsultasikan kepada
perinatologis dan neonatologis. Pada penderita seperti ini, jika tetap bersikukuh, dapat
dirujuk pada fasilitas perawatan tersier. Perawatan di rumah pada PKPD masih
kontroversial. Sebuah studi acak pada penderita dengan PKPD yang mendapat
perawatan di rumah dibandingkan rumah sakit mendapatkan bahwa hanya 18%
penderita mendapatkan manajemen di rumah yang aman. Tirah baring di rumah (pada

15

kehamilan 24 minggu) dapat dilakukan pada penderita tanpa terdapat bukti infeksi atau
periode aktif bersalin, meskipun demikian tetaplah harus diberikan pendidikan yang
tepat mengenai gejala infeksi dan persalinan preterm. Kemudian, pertimbangkan
kembali rawat di rumah sakit setelah kehamilan 24 minggu untuk dilakukan monitoring
dari dekat kesejahteraan ibu dan janin. Gambar 4 merupakan algoritma manajemen
PKPD.

Gambar 5 : Algoritma Penanganan Preterm KPD


Sumber: Medina.2

DAFTAR PUSTAKA

16

1. Amon E. Premature labor dalam Winn HN, Hobbins JC, editor Clinical maternalfetal medicine. New York: Parthenon Publishing; 2000. h. 93-103.
2. Medina TM, Hill DA. Preterm premature pupture of membranes: Diagnosis and
management. Diunduh 15 February 2006. volume 73 No. 4. Tersedia dari:
www.aafp.org/afp
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL. Hauthh JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Parturition. dalam Williams obstetrics edidsi ke-22; McGraw-Hill; 2005. h.
151-86.
4. Forgas SJ, Romero R, Espinoza J, Erez O, Friel LA, Kusanovic JP, et al. Prelabor
ruptur of the membranes dalam Reece EA, Hobbins JC, editor. Clinical obstetrics
the fetus and mother edisi ke-30 Massachusetts: Blacwell Publishing; 2007. h.
1130- 88.
5. Garite TJ. Premature rupture of the membranes dalam Creasy RK, Resnik R, editor
Maternal-fetal medicine prinsiples and practice edisi ke 5; USA: Saunders; 2004.
h. 723-36.
6. Walkinshaw SA. Preterm labour and delivery of preterm infant. Dalam:
Chamberlain G, Steer P, editor Turnbulls obstetrics edisi ke-3. China: Churchill
Livingstone; 2002. h. 493-514.
7. Robinson JS, Svigos JM, Vigneswaran. Prelabor rupture of the membranes. dalam
High risk pregnancy management options ediisi ke-2. London: WB Saunders; 2000.
h. 1015-24
8. Sherman MP. Maternal chorioamnionitis dalam Article last updated: Dec 20,2006.
tersedia dari : http://www.emedicine.com/ped/topic89.htm
9. Rymer J, Dvis , Rodin A, Chapman M. Preterm Premature Rupture of Membranes
(PPROM) In. Preparation and Revision for the DRCOG 3 rd ed. Churchill
Livingstone. China. 2003. p. 180-81
10. Goh J, Flynn M. Preterm Prelabour Rupture of Membranes In. Examination
Obstetrics and Gynaecology 2nd ed. Elseiver Saunders. Sydney. 2004. p. 167-69
11. World Health Organization. Prelabour Rupture of Membranes In. Integrated
Management of Pregnancy and Childbirth, Managing Complications in Pregnancy
and Childbirth : a guide for midwives and doctors. WHOE. Genewa. 2003. p. 13539
12. Murtha AP, Sinclair T, Hauser ER, Swamy GK, Herbert WN, Heine RP. Maternal
Serum Cytokines in Preterm Premature Rupture of Membranes In. Journal
Obstetrics and Gynecology 109 edition. 2007. p. 121-27
13. Menon R, Lombardi SJ, Stephen MC. Activation of Apoptosis in PROM : Caspase
Indenpendent. tersedia dari : www.aafp.org/afp
14. Bilic G, Sealing and Healing of Fetal Membranes. Dissertation PhD Departement
of Obstetrics, University Hospital of Zurich, Switzerland 2005: p. 7-18.
15. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Cellular Adaptations, Cell Injury, and Cell Death
In. Robbin and Cotran Pathologic Basic of Disease 7 th ed. Elseiver Saunders.
China. 2005 p. 3-46

Anda mungkin juga menyukai