Keratitis Herpes Simpleks Syavina
Keratitis Herpes Simpleks Syavina
dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat
dibedakan.
Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel
raksasa multi nuclear. Virus ini dapat dibiakkan pada membrane koreo-alantois embrio telur
ayam dan banyak jenis sel jaringan lain. Namun pada kebanyakan kasus, diagnosis dapat
ditegakkan secara klinik berdasarkan ulkus dendritik atau geografik khas dan sensasi kornea
yang sangat menurun, bahkan sampai hilang sama sekali.
A. Temuan klinik herpes simppleks primer pada mata jarang ditemukan, dan bermanifestasi
sebagai blefarokonjungtivitis vesikuler, kadang-kadang mengenai kornea, dan umumnya
terdapat pada anak-anak muda. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri tanpa
menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai
untuk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Serangan keratitis herpes jenis rekuren umum dipicu oleh demam, pajanan berlebihan
terhadapa cahaya ultraviolet, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau sumber
imunosupresi local atau sistemik lainnya. Umumnya unilateral namun lesi bilateral dapat
terjadi pada 4 hingga 6 % kasus dan paling sering pada pasien atopik.
1. Gejala- gejala pertama umumnya iritasi, fotofobia, dan berair mata. Bila kornea bagian
pusat yang terkena, terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena ada anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien tetap dating
berobat. Sering ada riwayat lepuh, demam, atau infeksi herpes lain, namun ulserasi
kornea kadang-kadang merupakan satu-satunya infeksi herpes rekurens.
2. Lesi- lesi yang paling khas adalah ulkus dendritik. Ini terjadi pada epitel kornea, memiliki
pola percabangan linier khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada
ujungnya. Pemulasan fluorescein memudahakan melihat dendrite, namun sayangnya
keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea lain dan harus dimasukkan
dalam diagnosis diferential pada banyak lesi kornea.
Ulserasi geografik adalah sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya
berbentuk lebih lebar. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit
dendritik, menurun. Dokter harus selalu mencari adanya gejala ini.
Lesi epithelial kornea yang lain dapat ditimbulkanHSV adalah keratitis epithelial blotchy,
keratitis epithelial stelata dan keratitis filamentosa namun semua ini umumnya bersifat sementara
dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari.
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu, yang
mbentuknya sesuai dengan defek epithelial asli namun sedikit lebih besar, terlihat di daerah tepat
dibawah lesi epitel. Hantu itu tetap superficial namun sering bertambah nyata karena pemakaian
obat antivirus. Biasanya lesi subepitel ini tidak menetap lebih dari satu tahun.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV.
Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti dan umumnya tanpa
vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan di membran
descemet. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat
pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Pathogenesis pada
keratitis diskiformis umumnya dipandang sebagai sebuah reaksi imunologik terhadap antigen
virus dalam stroma atau endotel, namun penyakit virus aktif tidak dapat dikesampingkan. Seperti
kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan
penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal. Gambaran klinik serupa
terlihat pada keratitis endothelial primer, yang dapat disertai uveitis anterior dengan tekanan
intraokuler yang meninggi dan peradangan vocal pada iris. Ini dianggap replikasi virus dalam
berbagai struktur di kamera anterior.
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal, yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Penipisan dan perforasi kornea dapat
terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika ada penyakit stroma dengan
ulkus epithelial, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada
penyakit epithelial harus lebih teliti benar adanya tanda-tanda herpes, namun unsur bakteri atau
fungi dapat saja ada. Nekrosis stroma dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut yang sekali
lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan
nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.
Lesi perifer kornea dapat pula disebabkan oleh HSV. Lesi-lesi ini umumnya linier dan
menunjukkan kehilangan epitel sebelum stroma kornea dibawahnya mengalami infiltrasi. Uji
sensasi kornea tidak dapat diandalkan pada penyakit herpes perifer. Pasien cenderung jauh
kurang fotofobik daripada pasien denganpasien infiltrate kornea nonherpetik. Ulserasi umumnya
jarang terjadi
B. TERAPI . Terapi keratitis hsv hendaknya bertujuan menghentikan replikasi virus
didalam kornea .
1. Debridement cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement
epithelial karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenic virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat pada kornea namun epitel
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekuren
Keratoplasti lamellar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena
kemungkinan lebih kecil untuk penolakan transplant. Lensa kontak lunak untuk terapi
atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat pada
keratitis herpes simpleks.
KERATITIS VIRUS VARICELLA ZOSTER
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren
(zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster
ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada
keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial
dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang
lamanya bervariasi.
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif banyak
dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan status
kekebalan pasien. Meskipun keratouveitis zoster pada anak umumnya tergolong penyakit jinak,
pada orang dewasa tergolong penyakit dan kadang-kadang berakibat kebutaan. Komplikasi
kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang
dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris.
Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis
VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali
kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV.
Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya
subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi.
Kadang-kadang timbul keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan
sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah
lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu
sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit
VZV mata.
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes
zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah
800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya
kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaucoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi
insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri.
KERATITIS ACANTHAMOEBA
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di dalam air tercemar yang
mengandung bakteri dan materi organic. Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi
yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam
buatan sendiri. Infeksi ini juga ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak setelah terpapar
pada atau tanah tercemar.
Gejala awal ada adalah rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya,
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan
infiltrate perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan perubahan-perubahan hanya
terbatas pada epitel kornea, semakin banyak ditemukan. Keratitis acanthamoeba sering disalah
diagnosiskan sebagai keratitis herpes.
Diagnosi ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas media khusus.
Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik menampakkan bentuk-bentuk
amoeba (kista atau trophozoit). Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering bentuk amoeba
dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak.
Diagnosa differential meliputi keratitis fungi, keratitis herpes, keratitis mikrobarterial dan
infeksi nocardia dari kornea.
Pada tahap awal penyakit, debridement epitel ada faedahnya. Terapi dengan obat
umumnya dimulai dengan isethionate, propamidine topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes
mata neomycin. Bikuanide poliheksamethilene (larutan 0,01-0,02%) dikombinasi dengan obat
lain atau sendiri, kini makin populer. Agen lain yang mungkin berguna adalah paromomycin dan
berbagai imidazole topikal dan oral seperti ketokonazole, mikonazole, itrakonazole.
Acanthamoeba spp mungkin menunjukkan sensitivitas obat yang bervariasi dan dapat menjadi
resisten terhadap obat. Terapi juga dihambat oleh kesanggupan organism membentuk kista di
dalam stroma kornea, sehingga memerlukan kornea yang lama. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang dalam kornea.
Mungkin diperlukan keratoplasty pada penyakit yang telah lanjut untuk menghentikan
berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan.
Begitu organism ini sampai ke sclera, terapi obat dan bedah tidak berguna lagi.