Dosen pembimbing :
Habibullah muttaqin,S.Sos.I.,M.a
Disusun oleh :
Wadyansah P N
Npm: 13050686
Semester/Kelas : II/FH06
Fakultas Hukum
Universitas Islam Attahiriyah Jakarta
3. IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD
Etimologi = mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha bersungguhsungguh, bekerja semaksimal munggkin.
Terminologi = usaha yang sungguh-sungguh oleh seseorang ulama yang memiliki
syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian hukum tentang sesuatu
( beberapa ) perkara tertentu yang belum ditetapkan hukumnya secara explisit di
dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Menurut Mahmud Syaltut, Ijtihad atau al-Rayu mencakup 2 pengertian, yaitu :
1. Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum yang tidak ditentukan
secara eksplisit oleh al-Quran dan as-Sunnah.
2. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan
dari suatu ayat atau Hadits.
Dasar melaksanakan Ijtihad adalah al-Quran Surat al-Maidah ayat 48!
48. dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu,
[421] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayatayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya.
[422] Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.
LAPANGAN IJTIHAD
Secara ringkas, lapangan Ijtihad dapat dibagi menjadi 3 perkara, yaitu :
1. Perkara yang sama sekali tidak ada nashnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
2. Perkara yang ada nashnya, tetapi tidak Qathi ( mutlak ) wurud ( sampai / muncul
) dan dhalala ( kesesatan ) nya.
3. Perkara hukum yang baru tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
KEDUDUKANIJTIHAD
Berbeda dengan al-Quran dan as-Sunnah, Ijtihad sebagai sumber hukum Islam
yang ketiga terikat dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Yang ditetapkan oleh Ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolut, sebab
Ijtihad merupakan aktivitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk
pikiran manusia yang relatif, maka keputusan Ijtihad pun relatif.
2. Keputusan yang diterapkan oleh Ijtihad mungkin berlaku bagi seseorang, tetapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat, tetapi tidak berlaku
pada masa / tempat yang lain.
3. Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah.
4. Berijtihad mempertimbangkan faktor motivasi, kemaslahatan umum,
kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa ajaran Islam.
5. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan Ibadah Makhdah.
AQIDAH
Aqidah merupakan kepercayaan, keimanan mengenai keesaan Allah. Syariah (hukum) adalah
jalan menuju sesuatu yang benar. Akhlak adalah budi pekerti, sopan santun, dan perilaku.
Aqidah, Syariah dan Akhlak, ketiganya merupakan 3 pokok ajaran Islam. Ketiganya harus selalu
bersamaan dengan aqidah berjalan di depan. Istilahnya menurut dosen Hukum Islam saya,
Akhlak dan syariah mencantol pada aqidah.
Adapun filosofi lain, aqidah, syariah, dan akhlak bagaikan suatu pohon, di mana aqidah
merupakan akar, syariah merupakan batang dan akhlak adalah dedaunan. Syariah dan akhlak
akan tumbang tanpa adanya aqidah yang mengakarinya.
Aqidah mendasari hukum, hukum tanpa akhlak menjadi kezaliman.
d. Saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek
mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap
benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula
sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari
keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari
keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan
cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.
Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat
bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang
mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap
menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran
iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara
keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima
kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran
yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan.
Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya
berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak
dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada
wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak
mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam
masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan
negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama
tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi.
Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan
iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan
agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak
mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat
terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan
agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan
itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara
individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak
menimbulkan dampak apa-apa.
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola hubungan
seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan
serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi
dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak
mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama
tidak mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan
demikian pula sebaliknya.
Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung
pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami
ajaran agama. Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang
untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak sebaliknya terjadi. Pada wujud
ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati
ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk
mengembangkan iptek.
Adapun alasan mengapa kita harus menguasai IPTEK, terdapat tiga alasan pokok, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yang berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat.
Ini fakta, tidak bisa dipungkiri.
2. Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara
Islam. Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya,
misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai
sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan
penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di
dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di
atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah
kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di
akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? bagaimanakah manusia
melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan
dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga
pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang
telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas
tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di
bumi sebagai khalifatullah.
Di samping peran dan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, ia juga sebagai hamba
Allah. Seorang hamba berarti orang yang taat dan patuh kepada perintah tuannya, Allah SWT.
Esensi dari Abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan
kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan.
Seorang yang bertaqwa (muttaqin) adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada
Allah SWT dan selalu menjaga hubungan dengannya setiap saat sehingga kita dapat menghindari
dari kejahatan dan kemunkaran serta membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah.
Memelihara hubungan dengan Allah dimulai dengan melaksanakan ibadah secara sunguhsungguh dan ikhlas seperti mendirikan shalat dengan khusyuk sehingga dapat memberikan warna
dalam kehidupan kita, melaksanakan puasa dengan ikhlas dapat melahirkan kesabaran dan
pengendalian diri, menunaikan zakat dapat mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan kita dari
ketamakan. Dan hati yang dapat mendatangkan sikap persamaan, menjauhkan dari takabur dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Segala perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya
bukan untuk kepentingan Allah sendiri melainkan merupakan untuk keselamatan manusia.
Ketaqwaan kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah menurut caracara yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk
dan pedoman hidup manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali-imran ayat 138 yang artinya:
inilah (Al-quran) suatu ketenangan bagi manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orangorang yang bertaqwa . (QS. Ali-imran 3:138)
manusia juga harus beribadah kepada Allah dengan menjalankan shalat lima waktu, menunaikan
zakat, berpuasa selama sebulan penuh dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali dalam
seumur hidup, semua itu kita lakukan menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Sebagai hamba Allah sudah sepatutnya kita bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikanNya, bersabar dalam menerima segala cobaan yang diberikan oleh Allah serta memohon ampun
atas segala dosa yang telah dilakukan
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Selain kita harus bertaqwa kepada Allah dan berhubungan baik dengan sesama serta
lingkungannya, manusia juga harus bisa menjaga hati nuraninya dengan baik seperti yang telah
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dengan sifatnya yang sabar, pemaaf, adil, ikhlas,
berani, memegang amanah, mawas diri dll. Selain itu manusia juga harus bisa mengendalikan
hawa nafsunya karena tak banyak diantara umat manusia yang tidak dapat mengendalikan hawa
nafsunya sehingga semasa hidupnya hanya menjadi budak nafsu belaka seperti yang tertulis
dalam Al-quran Surat Yusuf ayat 53 yang artinya:
Dan aku tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), sesungguhnya nafsu itu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali siapa yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya tuhanku maha
pengampum lagi maha penyayang. (QS. Yusuf 12:53)
Maka dari itu umat manusia harus bertaqwa kepada Allah dan diri sendiri agar mampu
mengendalikan hawa nafsu tersebut. Ketaqawaan terhadap diri sendiri dapat ditandai dengan ciriciri, antara lain :
1) Sabar
2) Tawaqal
3) Syukur
4) Berani
Sebagai umat manusia kita harus bersikap sabar dalam menerima apa saja yang datang
kepada dirinya, baik perintah, larangan maupun musibah. Sabar dalam menjalani segala perintah
Allah karena dalam pelaksanaan perintah tersebut terdapat upaya untuk mengendalikan diri agar
perintah itu bisa dilaksanakan dengan baik. Selain bersabar, manusia juga harus selalu berusaha
dalam menjalankan segala sesuatu dan menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawaqal) karena
umat manusia hanya bisa berencana tetapi Allah yang menentukan, serta selalu bersyukur atas
apa yang telah diberikan Allah dan berani dalam menghadapi resiko dari seemua perbuatan yang
telah ditentukan.
danmemberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, oaring miskin,
musafir(yang
memerlukan
pertolongan),
dan
orang-orangyang
meminta-minta,
dan
Orang yang bertaqwa adalah orang yang mampu menjaga lingkungan dengan sebaikbaiknya. Ia dapat mengelola lingkungan sehingga dapat bermanfaat dan juga memeliharanya
agar tidak habis atau musnah. Fenomena kerusakan lingkungan sekarang ini menunjukan bahwa
manusia jauh dari ketaqwaan. Mereka mengeksploitasi alam tanpa mempedulikan apa yang akan
terjadi pada lingkungan itu sendiri dimasa depan sehingga mala petaka membayangi kehidupan
manusia. Contoh dari mala petaka itu adalah hutan yang dibabat habis oleh manusia
mengakibatkan bencana banjir dan erosi tanah sehingga terjadi longsor yang dapat merugikan
manusia.
Bagi orang yang bertaqwa, lingkungan alam adalah nikmat Allah yang harus disyukuri
dengan cara memenfaatkan dan memelihara lingkungan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Disamping itu alam ini juga adalah amanat yang harus dipelihara dan dirawat dengan baik.
Mensyukuri nikmat Allah dengan cara ini akan menambah kualitas nikmat yang diberikan oleh
Allah kepada manusia. Sebaliknya orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat Allah akan diberi
azab yang sangat menyedihkan. Azab Allah dalam kaitan ini adalah bencana alam akibat
eksploitasi alam yang tanpa batas karena kerusakan manusia