Anda di halaman 1dari 15

HUTAN TANAMAN RAKYAT (HTR) JALAN DITEMPAT???

Maman Permana
Pengendali Ekosistem Muda pada Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman
Mahasiswa Magister Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
Sekolah Pascasarjana IPB

I.

Pendahuluan

Sebagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 33, hutan


yang merupakan salah satu kekayaan sumberdaya alam di Indonesia
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara tersebut
memberikan
kewenangan
kepada
pemerintah
untuk
menyelenggarakan urusan kehutanan yang dilakukan dengan asas
manfaat dan lestari kerakyatan, keadilan, kebersamaan dan
keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung gugat
(UU 41/1999).
Dalam pelaksanaannya penyelenggaran urusan kehutanan di
Indonesia berkembang semakin kompleks, tantangan untuk
mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
menjaga kelestarian hutan tidak lagi hanya bisa dilakukan secara
teknis kehutanan. Pergeseran permasalahan kehutanan yang dari
semula berorientasi pada permasalahan teknis menuju masalah sosial
(Pusliteksos, 2005).
Lyndayati (2002) dalam Tuti (2011) mengemukakan bahwa kebijakan
pengelolaan hutan di Indonesia dimulai pada masa awal
pembangunan pasca kemerdekaan sampai dengan akhir tahun 1970an dikenal dengan paradigma state based forest management dimana
hutan dilihat sebagai sumber ekonomi negara yang identik dengan
kayu dengan pengelola hutan adalah agen negara (BUMN), perusahan
HPH. Pada periode ini terjadi pengabaian hak-hak masyarakat,
keuntungan sumberdaya hutan hanya dinikmati segelintir pengusaha.
Masyarakat sekitar hutan semakin terpinggirkan, padahal sebagian
besar kehidupan mereka tergantung pada hutan sebagai sumber
kehidupan, sumber pangan, bahan bakar dan sumber penghasilan.
Perubahan paradigma state based forest management muncul setelah
disadari terjadinya kegagalan pengelolaan hutan dalam meningkatkan
taraf hidup masyarakat disekitar hutan. Paradigma baru yang muncul
adalah adanya kesadaran tentang perlunya keterlibatan masyarakat
sekitar hutan dalam ikut mengelola hutan atau yang dikenal dengan
paradigma community forest based management (CFBM). Kebijakan
CFBM sebenarnya telah muncul lama di Indonesia melalui berbagai
nama misalnya seperti tumpangsari, pengelolaan hutan bersama
masyarakat (PHBM) dan Hutan Kemasyarakatan.

Dalam rangka mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengelola


hutan produksi pemerintah pada tahun 2007 melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengeluarkan kebijakan
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat melalui pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR)
yang selanjutnya disebut HTR. Namun dalam perkembangannya sejak
digulirkan pada tahun 2007 sampai dengan sekarang belum
menunjukan hasil yang memuaskan. Meskipun berbagai kerangka
kebijakan telah disiapkan pemerintah mulai dari akses lahan,
kelembagaan dan permodalan namun belum mampu menjadi faktor
pendongkrak keberhasilan pembangunan HTR.

II. Berhasilkah Kebijakan HTR ?


A. Mengenal HTR
Yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pembangunan HTR adalah :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta pemanfaatan hutan;
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo Nomor
P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada
Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman;
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2012 tentang
Rencana Kerja pada IUPHHK-HTR;
4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.6/VIBUHT/2013 tentang Pedoman Tata Cara Verifikasi Permohonan
IUPHHK-HTR;
5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.4/VIBUHT/2012 tentang Pedoman Budidaya Tanaman Hutan Tanaman
Rakyat;
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.2/VIBUHT/2013 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
Pola Kemitraan dan Developer;
7. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.5/VIBUHT/2012 tentang
Tata Cara Seleksi dan Pendampingan
Pembangunan HTR.
Berdasarkan PP 6 Tahun 2007 yang dimaksud Hutan Tanaman Rakyat
adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan.
Kegiatan pembangunan HTR dilakukan melalui pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat yang diberikan
kepada perorangan dan koperasi. Pemberian izin HTR kepada
2

perorangan dan koperasi diatur melalui pembatasan luasan izin,


dimana untuk izin perorangan paling maksimal seluas 15 hektar dan
700 hektar untuk izin berbentuk koperasi. Masa berlaku izin IUPHHKHTR adalah paling lama 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk
jangka waktu 35 tahun.
Izin HTR merupakan izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan
produksi, penetapan lokasi HTR memiliki kriteria tersendiri yaitu
hanya dapat diberikan pada areal Hutan Produksi yang tidak produktif
yang telah ditetapkan Menteri Kehutanan, tidak dibebani izin/hak lain
dan tidak terdapat tanaman hasil reboisasi/rehabilitasi.
Penentuan calon lokasi areal HTR dimulai dengan penetapan
pencadangan areal HTR yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan
berdasarkan atas usulan Bupati dengan pertimbangan teknis dari
Dinas Kabupaten. Berdasarkan pencadangan tersebut selanjutnya
Bupati atas nama Menteri Kehutanan dapat menerbitkan izin HTR
kepada perorangan dan koperasi yang mengajukan permohonan
setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Balai Pemantauan
Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP)1.
Gambar 1. Prosedur Tata Cara Permohonan Izin HTR

Tata cara permohonan izin HTR diatur berdasarkan Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo Nomor P.31/Menhut-II/2013
tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat
dalam Hutan Tanaman adalah sebagai berikut :
1. Pemohon (perorangan melalui KTH atau koperasi) mengajukan
permohonan IUPHHKHTR kepada Bupati melalui Kepala Desa;
2. Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan atas
permohonan IUPHHK HTR dan membuat rekomendasi kepada
1 BPPHP adalah Unit Pelaksana Teknis Direktur Jenderal Bina Usaha
Kehutanan Kemenhut yang berada di daerah, saat ini terdapat 17 wilayah
BPPHP di seluruh Indonesia.

Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Camat dan Kepala


BPPHP;
3. Kepala BPPHP melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan
sketsa/peta areal yang dimohon dengan berkoordinasi dengan
BPKH dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai
pertimbangan teknis
4. Berdasarkan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis
dari Kepala BPPHP, Bupati/Walikota atas nama Menhut menerbitkan
Keputusan IUPHHK-HTR.
Pihak perorangan dan koperasi yang telah mendapatkan izin HTR
dapat melakukan pembangunan HTR melalui pola mandiri, pola
kemitraan atau pola developer. Pola perorangan adalah HTR yang
dibangun oleh pemegang IUPHHK-HT, pola kemitraan adalah HTR yang
dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitra
berdasarkan
kesepakatan
bersama
dengan
difasilitasi
oleh
pemerintah/ pemerintah daerah agar terselenggara kemitraan yang
saling menguntungkan, sedangkan pola developer adalah HTR yang
dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHKHTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang
IUPHHK-HTR.
Biaya pembangunan HTR dapat dibiayai secara swadaya oleh
pemegang izin, maupun melalui lembaga pembiayaan keuangan yang
lain. Pemerintah menyediakan pembiayaan pembangunan HTR
melalui mekanisme fasilitas dana bergulir pinjaman yang dikelola oleh
Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU
Pusat P2H) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.36/Menhut-II/2012 tentang Tata Cara Penyaluran dan
Pengembalian Dana Bergulir untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. BLU Pusat P2H adalah satuan kerja Kementerian Kehutanan
yang menerapkan pengelolaan Badan Layanan Umum untuk
pembiayaan pembangunan Kehutanan. Sumber dana pembangunan
hutan berasal dari Dana Reboisasi dengan alokasi penggunaannya
hanya untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dan salah satunya
adalah pembangunan HTR. Mekanisme penyaluran pinjaman dana
bergulir pinjaman dapat melalui skema pinjaman, skema bagi hasil
dan pola syariah.
Pemegang HTR yang telah memperoleh izin HTR wajib menyusun
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
Rakyat selanjutnya disebut RKUPHHK HTR yaitu rencana kerja untuk
seluruh areal kerja IUPHHK-HTR yang berlaku daur tanaman pokok
yang dominan, antara lain memuat aspek kelestarian hutan,
kelestarian
usaha,
aspek
keseimbangan
lingkungan
dan
pembangunan sosial ekonomi setempat. Selanjutnya berdasarkan
RKUPHHK tersebut pemegang HTR wajib menyusun rencana kerja
tahunan
yang disusun secara gabungan dalam satu kelompok
pemegang IUPHHK-HTR dan/atau Koperasi dengan jangka waktu 1
(satu) tahun yang disusun berdasarkan RKUPHHK-HTR. RKUPHHK-HTR

dan RKTUPHHK-HTR ini menjadi dasar dan acuan pelaksanaan


pembangunan HTR.
Dalam pelaksanaannya pembangunan HTR harus menggunakan
teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tapak, persyaratan
tempat tumbuh suatu jenis pohon, faktor sosial ekonomi dan budaya
masyarakat setempat. Sistem silvikultur yang dapat digunakan adalah
Tebang Habis Permudaan Buatan, Tebang Habis Tanam Jalur dan
tebang rumpang. Jenis tanaman pada HTR berdasarkan P.55/MenhutII/2011 pada prinsipnya terdiri dari tanaman pokok dan (tanaman
hutan) dan tanaman budidaya tahunan, dengan komposisi tanaman
budidaya tahunan maksimal 40% dari areal kerja. Pola tanam yang
dapat dikembangkan adalah pola tanaman monokultur, pola tanam
campuran dan pola tanam agroforestri yang disesuaikan dengan
kondisi tapak setempat.
Dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan HTR sesuai
P.55/Menhut-II/2011
dapat
dilakukan
pendampingan
untuk
memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam rangka
meningkatkan peran serta masyarakat sehingga tercapai kemandirian
usaha dan kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan. Mekanisme
seleksi Tenaga pendamping HTR dan pelaksanaan pendampingan
pembangunan HTR diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina
Usaha Kehutanan Nomor P.05/VI-BUHT/2012. Biaya operasional
pendampingan HTR dibebankan pada anggaran pemerintah selama 3
(tiga) tahun dan selanjutnya dibebankan pada pemerintah
kabupaten/kota.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan HTR sesuai
dengan ketentuan maka setiap 2 tahun IUPHHK-HTR dilakukan
evaluasi oleh BP2HP, dalam hal dimana pelaksanaan pembangunan
HTR tidak sesuai dengan ketentuan, Bupati dapat membatalkan izin
yang telah diterbitkan dan dapat menerbitkan perizinan kepada
pemohon lain. Hal-hal yang menyebabkan dapat dicabutnya izin HTR
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-I/2008
adalah (1) memindahkan izin HTR tanpa persetujuan tertulis pemberi
izin (2) tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling
lambat 1 (satu) tahun sejak izin diberikan, atau (3) tidak menyusun
RKUPHHK-HTR paling lambat 2 tahun setelah izin diberikan.
B. Pencadangan Areal dan Penerbitan Izin HTR
Dalam Roadmap Pembangunan Industri Kehutanan Berbasis Hutan
Tanaman, hutan tanaman diharapkan menjadi penopang utama bahan
baku industri kehutanan nasional dimana diproyesikan hutan tanaman
akan menghasilkan kayu bulat sebesar 362,5 juta m3 pada tahun
2020. Untuk menunjang kebutuhan industri kehutanan tersebut
ditargetkan penambahan luas areal hutan tanaman dalam waktu 20
tahun (2011-2020) seluas 19,5 juta hektar yang berasal dari HTR

seluas 1,7 juta hektar, Hutan Rakyat seluas 7,8 juta hektar dan HTI
seluas 10 juta hektar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal realisasi pencadangan areal HTR
selama 5 tahun (2010-2014) adalah seluas 387.192 hektar dan secara
komulatif sejak program HTR digulirkan pada tahun 2007 realisasi
penetapan pencadangan kawasan hutan produksi untuk HTR oleh
Menteri Kehutanan sampai dengan 2014 adalah seluas 734.397,73
Ha. Angka pencadangan areal HTI ini belum dapat dijadikan dasar
sebagai realisasi terbangunnya areal HTR karena masih harus ada
proses pemberian izin HTR oleh Bupati kepada pemohon HTR baik
perorangan maupun koperasi.
Tabel 1 dibawah ini menunjukan rasio perbandingan penetapan
pencadangan HTR dan realisasi penerbitan izin HTR sejak tahun 2008
2014 berdasarkan per Provinsi. Berdasarkan tabel tersebut realisasi
penerbitan izin HTR, sampai dengan tahun 2014 baru mencapai
194.195,09 juta hektar atau hanya 26,59% dari total luasan areal
yang telah dicadangkan.
Realisasi pencadangan terluas adalah
Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 68.945 hektar (9,39%) dan
terendah adalah Bali seluas 375 hektar (0,05%). Rasio perbandingan
antara pencadangan dan penerbitan izin yang terbesar adalah DIY
yang mencapai 100% dan terkecil adalah Bali sebesar 0%.

Tabel 1. Rasio Perbandingan Pencadangan HTR


Penerbitan Izin HTR
Tahun 2008 s/d 2014
Pencadanga
Penerbitan
No
Provinsi
n (ha)
Izin HTR (ha)
1. Aceh
20.155
3.545,00
2. Sumut
53.035
11.810,61
3. Riau
55.058
2.792,00
4. Sumbar
6.935
2.247,00
5. Sumsel
42.605
2.799,25
6. Bengkulu
23.693
22.177,00
7. Jambi
57.136
4.870,09
8. Lampung
24.835
16.651,00
9. Babel
20.632
1.607,00
10 Kepri
21.530
.
21.530,00
11 Kalbar
42.690
.
826,00
12 Kalteng
19.010
.
2.075,00
13 Kalsel
29.758
.
6.736,73

dan Realisasi

Rasio
%
17,59
22,27
5,07
32,40
6,57
93,60
8,52
67,05
7,79

Ket

100,00
1,93
10,92
22,64

14
.
15
.
16
.
17
.
18
.
19
.
20
.
21
.
22
.
23
.
24
.
25
.
26
.

Kaltim

2.090
93,00

DIY

327,73

Bali

375

327,73
NTB

4.396

NTT

23.917

3.122,55
413,77
Sulsel

100,00
0,00
71,03
1,73

41.365

Sulteng

28.310

Sulbar

32.860

Sultra

68.945

Sulut

48.140

Gorontalo

4,45

7.302,00

17,65

3.199,00

11,30

6.005,40

18,28

10.218,95

14,82

28.104,00

58,38

13.120
707,00

Malut

24.120

Papua

29.350

19.218,00

5,39
79,68

16.892,35
57,55
Total
734.397,33 195.270,4
3
26,59
Sumber : Data Diolah Ditjen BUK, 2014

Berdasarkan Tabel 2 di bawah ini dari luas izin HTR seluas 195.270,43
hektar terdiri dari 103 izin koperasi dengan luas 146.324,43 hektar
dan 7.051 izin perorangan dengan luas 48.946 hektar yang tersebar di
74 kabupaten dan 26 Provinsi.

Tabel 2. Realisasi Penerbitan Izin HTR


Tahun 2008-2014
No

Provinsi

1.
2.

Aceh
Sumut

3.
4.
5.

Riau
Sumbar
Sumsel

6.

Bengkul
u
Jambi

7.
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
14
.
15
.
16
.
17
.
18
.
19
.
20
.
21
.
22
.
23
.
24
.
25
.

Koperasi
Luas
3.301,00
11.810,6
1
5
2.792,00
3
1.590,00
2
738,25

Jml
5
6

10
4

Lampun
g
Babel

Kepri

Kalbar

Kalteng

22.177,0
0
3.757,09
16.651,0
0
21.530,0
0
700,00

Perorangan (KK)
Jml
Luas
20
244,00
88
930
-

657,00
2.061,0
0
-

Jml
25
6
5
91
932
10

234
-

1.113,0
0
-

238
8

698
-

1.607,0
0
-

27

126,00

698
2

1.744,00

33

331,00

Kalsel

13

6.142,73

105

594,00

Kaltim

DIY

327,73

31

Bali

NTB

12

NTT

2.075,00

118

6.736,73

93,00

327,73

413,77

Sulteng

449

Sulbar

242,40

1.10
0
557

Sultra

9.206,95

197

Sulut

Goronta
lo
Malut

2.40
8
174

3.335,0
0
3.199,0
0
5.763,0
0
1.012,0
0
28.104,
00
707,00

19.218,0
0

3.122,55
413,77

464

7.302,00

1.100

3.199,00

558

6.005,40
10.218,9
5
28.104,0
0

200
2.408
174

93,00

3.122,55

3.967,00

1.607,00
21.530,0
0

34

2
15

4.870,09
16.651,0
0

826,00

12

Sulsel

2.799,25
22.177,0
0

28

31
-

Total
Luas
3.545,00
11.810,6
1
2.792,00
2.24700

707,00
19.218,0
0
8

26
.

Papua

16.892,3
5
146.324,
43

10
3

7.05
1

48.946,
00

7.154

16.892,3
5
195.270,
43

Sumber : Ditjen BUK, 2014


Luasan penerbitan izin HTR, sangat kontras jika dibandingkan dengan
luasan izin HTI. Berdasarkan data Ditjen BUK total luas izin HTI sampai
dengan tahun 2014 mencapai 10.582.600 hektar sementara HTR
hanya 195.270,43 hektar atau dengan kata lain total luas izin HTR
hanya 1,85% dari total luas izin HTI.
Tabel 3. Perbandingan Total Luas Izin HTI dan HTR Tahun 2008-2014
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012

HTI (ha)
HTR (ha)
7.154.832
8.794
8.673.016
32.846
8.975.375
113.314
9.633.579
163.106
9.834.744
177.791
10.106.54
2013
0
187.712
10.582.60
2014
0
195.270
Sumber : Data Diolah dari Statistik Kemenhut
Perbandingan luasan yang sangat kontras antara luasan izin HTR
dengan HTI seperti pada Tabel 3 tersebut di atas menunjukan bahwa
keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat untuk ikut andil dalam
pengelolaan hutan produksi nampaknya masih sangat rendah.
Rendahnya realisasi penerbitan izin HTR oleh Bupati menurut Tuti
(2011) berdasarkan hasil penelitian di 3 lokasi yaitu Provinsi Riau, DI
Yogya dan Kalimantan Selatan yang menjadi permasalahan adalah
belum siapnya pemerintah daerah, kesiapan masyarakat calon petani
HTR, ketidakserasian pemahaman kebijakan HTR antara pemerintah
dan pemerintah daerah di lapangan (Kalsel). Hal lain yang menjadi
permasalahan antara lain lambatnya proses verifikasi lokasi calon
areal HTR yang dilakukan oleh BPPHP setempat, sebagai salah satu
contoh adalah pengaduan salah satu koperasi ke Unit Kerja Koperasi
Tani Hutan Makmur di Desa Silo Baru, Kecamatan Silau Laut,
Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, yang telah mendapat SK Menhut
RI No. SK.381/Menhut-II/2011 (18 Juli 2011) tentang Pencadangan
Areal untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas 335 Ha di
Asahan, namun sampai dengan tahun 2012 belum dilakukan verifikasi
lokasi oleh BPPHP Wilayah II Medan padahal masa berlaku SK
pencadangan terbatas hanya 2 tahun.

Sedangkan Ardi (2011) mengungkapkan bahwa akses terhadap lahan


pencadangan HTR dalam bentuk IUPHHK-HTR belum terwujud karena
masyarakat belum mampu memenuhi persyaratan sebagaimana
diamanatkan peraturan perundangan sebagai akibat kebijakan yang
tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas
masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya.
Endang (2011) mengatakan bahwa masyarakat masih memandang
hutan sebagai sumber penghidupan utama bagi keluarganya sehingga
seharusnya ijin pengelolaannya dapat diwariskan walaupun tanah
atau lahannya mereka sadari sebagai milik negara. Rendahnya
persepsi responden terhadap ketentuan hak dan kewajiban
menunjukkan bahwa masyarakat memandang ketentuan pelaksanaan
HTR sebagai beban. Ketentuan HTR yang realistis baru sebatas pada
pemberian ijin sedangkan ketentuan yang mengatur kegiatan setelah
ijin keluar belum mempertimbangkan kemauan dan kemampuan
masyarakat sebagai pelaksananya.
Dewi (2011) mengungkapkan bahwa rendahnya (a) terdapat
perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara
Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang
digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan
tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c)
Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat
dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan
kebijakan tersebut.

10

C. Realisasi Penanaman dan Produksi Kayu Bulat HTR


Direktorat Bina Usaha utan Tanaman (2014), mengungkapkan bahwa
sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 dari izin HTR seluas
195.288,43 hektar realisasi penanaman HTR baru mencapai 13.722,78
hektar (7,03%) atau rata-rata hanya
2.287,3 hektar / tahun.
Rendahnya realisasi penanaman HTR ini menurut Direktorat BUHT
disebabkan karena permasalahan-permasalahan antara lain belum
optimalnya pemanfaatan lahan (teknik pengolahan lahan), aspek
kelembagaan dan manajemen belum kuat, kurangnya keterampilan
teknis pelaku usaha HTR, kurangnya modal usaha, kurangnya
pendampingan/fasilitasi dari instansi terkait.
Soerianegara dan Lemmens (1993) dalam Haruni dkk (2011)
melaporkan bahwa riap tumbuh maksimum jenis kayu Sengon pada
rotasi 10 tahun adalah 50 cm3/ha dan menurut Sumarna (1961) total
volume yang dihasilkan bisa mencapai 350-400 m3/ha. Dengan
asumsi seluruh areal izin HTR ditanami jenis Sengon, maka dalam
waktu 10 tahun seharusnya sudah bisa dihasilkan volume kayu bulat
sebesar 68-78 juta m3. Dengan realisasi penanaman HTR yang hanya
seluas 13.722,78 hektar, maka pemegang izin HTR berpotensi
kehilangan volume kayu bulat sebesar 63-72 juta m3 atau hampir
setara 31-36 triliun rupiah dengan asumsi harga Sengon
Rp.300.000,- / m3.
Data mengenai produksi kayu bulat yang berasal dari HTR masih
sangat sulit diperoleh sehingga tidak diketahui gambaran dan trend
perkembangn produksi kayu bulat yang berasal dari HTR.
D. Fasilitas Pembiayaan Dana Bergulir
Fasilitas pembiayaan pinjaman dan bergulir (PDB) yang disediakan
pemerintah melalui Pusat P2H BLU nampaknya belum banyak
dimanfaatkan oleh para pemegang izin HTR. Berdasarkan data
Direktorat BUHT dari 103 pemegang izin berbentuk koperasi yang
telah memanfaatkan dana bergulir hanya 35 koperasi dengan total
akad kredit mencapai Rp.53.666.500.000,- sedangkan realisasi
penyalurannya baru mencapai Rp.8.121.620.000,-.
Brasmantoro (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan PDB HTR
menunjukkan potensi kelemahan berupa (1) sempitnya pilihan bagi
petani akibat skema yang tunggal (one size fits all) dan hanya
berorientasi pada pembangunan tanaman, tata cara permohonan
yang kompleks dan jauhnya lokasi pengurusan pinjaman (BLU Pusat
P2H berkantor di Jakarta) berisiko salah sasaran karena hanya individu
atau lembaga yang memiliki kemampuan finansial cukup yang dapat
mengurusnya, (2) kelemahan lainnya adalah pengembangan PDB-HTR
yang
mengandalkan
laporan
laporan
administratif
tanpa

11

menghadirkan organisasi khusus pengelola program di level tapak,


dikhawatirkan akan mengganggu efektivitas program. Dalam
pemanfaatan kredit, ketiadaan unit pengelola program pinjaman
dapat menimbulkan persepsi bahwa uang yang dipinjamkan
merupakan uang yang tidak bertuan. (3) tidak adanya
pendampingan pada pemberian kredit berkelompok (mekanisme
tanggung renteng) sebagaimana pendampingan yang dilakukan oleh
Grameen Bank (Yunus 2007) dan kemitraan industri pengolahan kayu
bersama petani HR di Pulau Jawa (Prihadi 2010).
Hasil penelitian Entin (2012) menunjukkan bahwa kinerja PDB HTR
buruk, dan tujuan PDB HTR belum tercapai yaitu tepat lokasi, tepat
pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan pengembalian.
Ketidaktepatan pelaku dan lokasi karena dari 2 koperasi yang sudah
menerima penyaluran PDB HTR keduanya tidak terbebas dari konflik.
Tidak tepat kegiatan dan penyaluran karena dana PDB HTR digunakan
oleh penerimanya untuk kepentingan selain penanaman. Buruknya
kinerja PDB HTR dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Karakteristik. Karakteristik yang mempengaruhi kinerja PDB HTR
terdiri dari karakteristik kredit, karakteristik petani dan karakteristik
usaha sebagai berikut: (A) karakteristik kredit, seperti: (a) risiko
kredit sangat tinggi karena rentan terkena hama penyakit, mudah
terpengaruh oleh gangguan alam dan manusia seperti kemarau,
kebakaran hutan, dan pencurian, (b) pinjaman cukup besar yaitu
Rp.68 juta per 8 Ha (Rp 8.5 juta x 8 Ha) atau 2.5 Milyar untuk satu
kelompok tani (luas maksimal kelompok tani adalah 300 Ha), dan
(c) tidak ada pendanaan dari penerima pinjaman (self financing).
(B) Karakteristik penerima pinjaman, meliputi: (a) karakteristik
penerima pinjaman bervariasi, (b) pengalaman kredit investasi
minim, (c) kemampuan manajerial rendah (kapasitas), (d) aset yang
dimiliki beragam, dan (e) karakteristik informasi sulit (karakteristik
pasar), dan (C) karakteristik usaha HTR bervariasi, terdiri dari: (a)
areal yang dekat dengan pemukiman penduduk ataupun yang jauh
dari pemukiman (remote). (b) areal yang datar hingga curam, (c)
sarana dan prasarana yang beragam, (d) karakteristik lahan yang
berlainan, dan areal sudah diokupasi oleh masyarakat dan (D)
karakteristik informasi pasar yang rendah.
2. Aturan main pinjaman belum mendukung, yaitu belum adanya: (a)
kebijakan yang sesuai, (b) kemudahan prosedur dalam mengakses
kredit, (c) ketepatan waktu penyaluran dan jumlah pinjaman yang
sesuai. Ketiganya tidak dipenuhi oleh kelembagaan PDB HTR,
dimana kebijakan yang dibuat sangat tidak sederhana sehingga
tidak sesuai dengan karakteristik penerima pinjaman. Diskursus
PDB HTR adalah diskursus pesanan dari pemerintah (state
endangered order) tanpa memperhatikan karakteristik atau situasi
petani sebagai salah satu subyek pembangunan HTR.
3. Organisasi pengelola dana PDB HTR belum didukung oleh kebijakan
yang sesuai dengan karakteristik dan persepsi masyarakat
penerima PDB HTR, yaitu: (a) sistem insentif dan keleluasaan dalam
12

pengambilan keputusan di level tapak, (b) keberhasilan dalam


menentukan lokal agen, (c) pembinaan yang intensif. BLU Pusat P2H
sebagai pengelola dana PDB HTR hanya berlokasi di Jakarta
sehingga sulit dalam menentukan lokal agen yang tepat melakukan
pembinaan yang intensif, dan,
4. Persepsi terhadap PDB HTR. Persepsi petani terhadap PDB HTR
umumnya belum paham tentang PDB HTR. Sedangkan persepsi
para pihak umumnya pesimistis terhadap perkembangan PDB HTR
jika kelembagaan yang dimaksud tidak diperbaiki.

III. Kesimpulan dan Saran


Hasil pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pembangunan HTR tidak dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan antara lain karena faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kebijakan HTR dipandang tidak memperhatikan karateristik
sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga
sumberdaya.
2. Rendahnya tingkat partisipatif pemerintah daerah (Kabupaten)
untuk mendorong pelaksanaan pembangunan HTR sebagai salah
satu bagian upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di
wilayahnya.
3. Koordinasi antar stakeholder terkait lemah, perbedaan persepsi dan
pemahaman regulasi dan kebijakan HTR di tingkat pusat dan
daerah.
4. Kurangnya fasilitasi sosialisasi dan pendampingan sampai pada
tingkat tapak.
5. Kelembagaan masyarakat belum kuat.
6. Masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap
program HTR, antara lain :
a. Masyarakat memandang izin dan areal HTR sebagai hak yang
dapat diwariskan
b. Ketentuan peraturan prosedur pelaksanaan HTR masih
dipandang sebagai beban
7. Aspek teknis : kemampuan managerial, keterampilan teknis pelaku
usaha rendah.
8. Pembiayaan :
a. persepsi petani terhadap mekanisme PDB HTR pada umumnya
belum paham
b. tata cara permohonan yang kompleks dan jauhnya lokasi
pengurusan pinjaman (Pusat P2H BLU berada di Jakarta)
c. tidak adanya pendampingan pada pemberian kredit berkelompok
Harapan dari terbangunnya HTR adalah meningkatnya produktifitas
hutan produksi secara optimal, perekonomian masyarakat berputar
dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

13

sekitar hutan. Untuk mendorong peningkatan kinerja dan produktifitas


HTR upaya sinergis dari semua pihak yang terlibat mutlak sangat
diperlukan.
Berikut ini adalah beberapa saran yang perlu digarisbawahi dalam
rangka percepatan pembangunan HTR :
1. Menyederhanakan peraturan prosedur untuk mendapatkan izin agar
lebih mudah diakses masyarakat.
2. Mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi
melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi
secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat.
3. Kelembagaan
a. Penguatan kelompok lokal sebagai organisasi yang akan
mengusulkan kawasan kelola dan usaha untuk mendapatkan
IUPHHK-HTR melalui pembinaan dan pendampingan yang
berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah
daerah dan dibantu dengan lembaga swadaya masyarakat.
b. membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi
antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana
untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR,
pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat
informasi pembangunan HTR.
c. Membentuk kelompok pemasaran
4. Asistensi teknis dan permodalan untuk pembangunan HTR yang
lebih mudah diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan IUPHHKHTR maupun pembangunannya.
5. Sosialisasi sampai dengan tingkat tapak untuk meningkatan
persepsi masyarakat terhadap alokasi lahan untuk HTR, jangka
waktu dan luasan penguasaan lahan HTR.
6. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendamping.
7. Mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini
(misalnya tanaman Karet) sebagai motivasi agar masyarakat mau
berpatisipasi dalam kebijakan HTR;
8. Mendorong pengusaha HTI untuk bermitra dengan pemegang izin
HTR sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dan
resolusi penyelesaian konflik.
9. Pemberian jaminan pemasaran dan pengolahan produk HTR.

14

Daftar Pustaka
Agus Wibowo Dwi Saputro, 2012. Modal Sosial dan Persepsi
Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sekolah Pascasarjana IPB.
Ardi, 2012. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman
Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten
Sarolangun Jambi). Sekolah Pascasarjana IPB.
Bambang Hendroyono , 2014. Arah Kebijakan dan Evaluasi
Pembangunan HTR (paparan pada rapat pembahasan percepatan
pembangunan HTR 2014). Ditjen BUK.
Bramasto Nugroho, 2010. Pembangunan Kelembagaan Pinjaman Dana
Bergulir Hutan Rakyat.
Dewi Febriani, 2011. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan
Tanaman Rakyat Di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Sekolah
Pascasarjana IPB,
Ditjen BUK, 2011. Road Map Pembangunan Industri Kehutanan
Berbasisi Hutan Tanaman. Kemenhut.
Endang Pujiastuti, 2011. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Sekolah Pascasarjana IPB.
Haruni dkk, 2011. Paraserianthes falcataria(L.) Nielsen Ekologi,
Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR.
Kemenhut, 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013.
Tuti Herawati , 2011. Hutan Tanaman Rakyat : Analisis Proses
Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual
Kebijakan. Sekolah Pascasarjana IPB.
www.lapor.ukp.go.id/id/26588/realisasi-hutan-tanaman-rakyat-%28htr
%29-tersendat-di-asahan.html
www.possore.com/2014/02/11/pengusaha-hti-wajib-gaet-masyarakathtr/

15

Anda mungkin juga menyukai