Psikologi
Locus of Control Pada Siswa SMA Kelas XI SMA 106 Jakarta
ANGGOTA KELOMPOK:
Nazir Ultama
(1111070000022)
Dwi Prasetyaningsih
(1111070000028)
Anjarwati Kusuma N
(1111070000029)
SEMESTER/KELAS: VI/A
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013/2014
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya
kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini sesuai dengan
waktu yang telah diberikan.
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Konstruksi Alat Ukur
Psikologi, dimana kami meneliti variable locus of control mengukur kegiatan belajar siswa
SMA dipengaruhi oleh factor internal atau eksternal.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
arahan sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat. Kami sadar masih banyak kekurangan di dalam laporan ini. Maka kami
mohon untuk saran dan kritiknya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Peneliti
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1.2. Rumusan Masalah ...........................................................................
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................
BAB II
1
2
2
TINJAUAN LITERATUR
2.1. Locus of Control
2.1.2. Definisi LOC ............................................................................. 3
2.1.3. Perkembangan LOC................................................................... 3
2.1.4. Aspek LOC................ 4
2.1.5. Definisi Operasional LOC ....................................................... 6
2.1.6. Indikator-Indikator LOC 6
2.1.7. Kisi-Kisi (Blue print) ................................................................. 7
BAB III
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Penyusunan Instrumen......................................................................... 10
3.2. Studi Pendahuluan............................................................................... 10
3.2.1. Partisipan.................................................................................... 10
3.2.2. Prosedur...................................................................................... 10
3.2.3. Metode Analisis Instrumen......................................................... 10
HASIL
4.1. Analisis Faktor Konfirmatorik 1st Order ............................................ 12
4.2. Analisis Quest ..................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
menggunakan strategi pemecahan masalah (Millea & Woodruff, 2004 dalam Breet,
dkk, 2010)
a. Locus of control external
Individu dengan locus of control eksternal mengacu kepada keyakinan bahwa suatu
kejadian tidak mempunyai hubungan langsung dengan tindakan oleh diri sendiri, dan
percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan dan kesempatan
serta lebih mempercayai kekuatan di luar dirinya. Keyakinan ini yang menyebabkan
depresi pada pandangan hidup. (Jaffe, 1998 dalam Breet, dkk, 2010)
Elemen utama dari teori Rotter ialah konsep kontrol eksternal versus internal dari
reinforcement atau locus of control. Ada ekspektasi umum dimana tindakan individu
sendiri akan menyebabkan munculnya hasil akhir yang diinginkanlokus kontrol
internal (internal locus of control)atau terdapat keyakinan bahwa hal di luar diri,
seperti kesempatan atau kekuatan lain, menentukan apakah hasil akhir yang diinginkan
akan terjadilokus kontrol eksternal (external locus of control). Rotter mengembangkan
7
skala lokus kontrol internal-eksternal yang mengukur keyakinan individu tentang faktor
penentu perilaku.
Rotter percaya bahwa individu memiliki disposisi yang stabil selain peran penting
dari situasi, dalam menentukan perilakunya. Dalam pendangna awalnya, Rotter melihat
lokus kontrol sebagai variabel perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua
dimensi (internal dan eksternal) yang mempengaruhi berbagi perilaku dalam sejumlah
konteks yang berbeda.
Baru-baru ini ditemukan memiliki tiga dimensi yang cukup independen satu
dengan yang laininternalitas, keberuntungan atau kesempatan, dan kekuatan lain
(Levenson, 1981). Jadi orang yang mengatribusikan faktor eksternal tidak hanya percaya
bahwa peristiwa terjadi di luar kontrol mereka, tetapi mereka juga mengaggap bahwa
peristiwa tersebut terjadi karena kesempatan atau kekuatan lain.
Orang dengan lokus kontrol internal lebih berorientasi pada keberhasilan karena
mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan mereka juga
lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever (Findley & Cooper, 1983). Orang
dengan lukus kontrol eksternal cenderung kurang independen dan lebih mungkin mejadi
depresif dan stress, seperti yang diperkirakan oleh Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour,
1988; Rotter, 1954).
Selama lebih dari 40 tahun lokus kontrol remaja Amerika cenderung semakin
eksternal dibandingkan dengan apa yang orang tua mereka percayai mereka mereka
remaja (Tweng, Zhang, & Im, 2004). Sayangnya perasaan tersebut konsisten dengan
menigkatnya sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut dengan mudah meyalahkan
orang lain atas masalah mereka dan tidak mau bergabung dengan yang lainnya untuk
memperbaiki masyarakat. Penelitian lain menyebutkan bahwa bahwa internal locus of
control lebih dominan atau memiliki skor yang tinggi pada pelajar di salah satu sekolah
di Turkey sehingga mengindikasikan bahwa mereka lebih mengaktifkan lokus
internalnya. (Kutanis, R. O., Mesci. M. And vdr, Z, 2011).
Seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia
sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di
dalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan memandang
dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai
tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di dalamnya. Rotter
8
Sementara
itu
individu
yang
mempunyai internal
locus
of
control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan
diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang
menguntungkan.
2.1.5. Definisi Operasional Locus of Control
Locus of Control ialah kemampuan seseorang untuk mengontrol dirinya baik secara
internal maupun eksternal dalam hal persepsi, konsentrasi, kemampuan, pendengaran,
visual, dan metode belajar yang mampu mempengaruhi proses belajarnya.
Perhatian
dan
konsentrasi
merupakan
serangkaian
proses
d. Kemampuan. Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa,
sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan,
kecakapan, kekuatan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:
552-553). Kemampuan (ability) berarti kapasitas seorang individu untuk
melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. (Stephen P. Robbins &
Timonthy A. Judge, 2009: 57). Lebih lanjut, Stephen P. Robbins & Timonthy
A. Judge menyatakan bahwa kemampuan keseluruhan seorang individu pada
dasarnya terdiri atas dua kelompok faktor, yaitu :
menuntut
stamina,
karakteristik serupa.
e. Visual. Pendeteksian sebuah bagian kecil gelombang elektromagnetik (cahaya)
dimungkinkan karena mata kita memiliki struktur yang unik yang kemudian
menghadirkan informasi berharga bagi kita mengenai lingkungan di sekeliling
kita.
f. Metode belajar. Metode belajar merupakan salah satu pendekatan dalam
rangka mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif. Metode
atau model belajar sangat erat kaitannya dengan gaya belajar guru (teaching
style), yang kesuanya disingkat menjadi SOLAT (Style of Learning and
Teaching).
2.1.7. Kisi-Kisi (Blue print)
Variab
el
Locus
of
Control
Aspek
Internal
Item: 2,
5, 7, 8,
9, 11,
12, 13,
15, 20
Eksterna
l
Indikator
Original item
Konsentras
i
While I am
studying, i often
stop and do
something else
I like sport
activities at
school and
attend them
I do what i can
Item
1. Saat belajar, saya tibatiba bosan dan melakukan
hal yang lain.
2. Saya suka mengikuti
olahraga di sekolah.
3. Saya melakukan hal
yang bisa dilakukan di
setiap kegiatan dan
mengambil peran di
10
Item: 1,
3, 4, 6,
10, 14,
16, 17,
18, 19
Persepsi
Pendengar
an
Kemampu
an
Metode
belajar
I prefer telling
to writing.
I like my teacher
to correct my
mistakes by
explaining them
to me.
Id rather listen
dalamnya.
4. Para guru berfikir
bahwa saya suka
mondar mandir di
dalam kelas.
5. Saya berisik dikelas.
9. Saya suka
mendengarkan
10. Saya suka lagu mars
sekolah dan dengan
cepat menghafalnya.
11. Saya suka membaca
dengan keras
Visual
2.2.1
to the teacher
than study by
myself.
I understand a
subject better if
somebody tells
or reads it,
rather than
reading it on my
own.
penjelasan guru
dibandingkan belajar
sendiri.
18. Saya lebih memahami
pelajaran jika ada yang
mengajarkannya,
dibanding belajar
sendiri.
19. Saya lebih paham
belajar berkelompok
daripada belajar sendiri.
I like to read
silently.
Dalam SEM, setiap variabel-variabel teramati atau indikator-indikator yang digunakan untuk
mengukur sebuah variabel laten bersifat reflektif (Wijanto, 2008). Artinya, variabel tersebut
dipandang sebagai indikator-indikator yang dipengaruhi konsep yang sama dan yang
mendasarinya. Muatan-muatan faktor (factor loading) yang menghubungkan variabel laten
dengan variabel-variabel teramati disimbolkan dengan huruf Yunani (lambda). SEM
mempunyai dua matrik lambda yang berbeda, yaitu satu matrik pada sisi X dan matrik
lainnya pada sisi Y. Notasi pada sisi X adalah x sedangkan pada sisi Y adalah y.
2.2.2 Item response theory
Item Response Theory (IRT) sebagai teori tes modern memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan teori tes klasik yaitu (1) IRT tidak berdasarkan group dependent; (2)
skor responden dideskripsikan bukan test dependent; (3) menekankan pada tingkat butir item
bukan tes; (4) tidak memerlukan paralel test untuk menentukan reliabilitas tes; (5)
merupakan suatu model pengukuran ketepatan untuk setiap skor abilitas (Safari, 2005).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa salah satu kelebihan dari IRT dibandingkan
dengan teori tes klasik adalah parameter tingkat kesukaran dan daya pembeda untuk
mengestimasi ability tidak berdasarkan group dependent dan menekankan pada tingkat butir
item bukan tes.
Dalam IRT dikenal tiga macam model logistik, yaitu model satu parameter, model dua
parameter, dan model tiga parameter. Perbedaan di antara ketiganya terdapat pada banyaknya
parameter yang dipakai untuk menggambarkan karakteristik item dalam model yang
bersangkutan. Parameter yang dimaksud adalah;
b
Jadi, model satu parameter menggambarkan karakteristik item berdasarkan indeks kesukaran
soal. Model dua parameter menggambarkan karakteristik item berdasarkan indeks kesukaran
soal dan diskriminasi item. Adapun model tiga parameter bertumpu pada indeks kesukaran
item, indeks diskriminasi item, dan parameter tebakan semu.
13
exp v i
1 exp v, i
2.5
Nilai kemungkinan orang (v) menjawab soal (i) dipahami sebagai fungsi logistik
perbedaan dua parameter. Parameter pertama (v), mengukur kemampuan orang menjawab
soal (memecahkan masalah). Parameter kedua (i), mengkalibrasi kesukaran butir soal
(masalah).
Model Rasch (Rasch, 1960/1980; Wright and Stone 1979) untuk butir soal
polytomous adalah
ni
ni xni
exp Wij n i ij
j 0
mi
k 0
j 0
exp Wij n i i
2.6
Nilai kemungkinan orang (n) menjawab soal (i) dipahami sebagai fungsi logistik (w)
skor langkah (j) dalam item (i) dengan perbedaan tiga parameter. Parameter pertama (n)
mengukur kemampuan orang menjawab soal. Parameter kedua (i) mengkalibrasi kesukaran
butir soal. Parameter ketiga (ij) mengkalibrasi kesukaran langkah (j) dalam butir soal.
Dalam Rasch models satuan ukuran untuk kemampuan orang dan kesukaran soal
disebut logits (log-odd units). Kemampuan seseorang dalam skala logit adalah 'natural log
14
odds' untuk berhasil menjawab soal-soal yang sejenis yang dipilih untuk menentukan titik
'nol' dalam skala. Demikian juga tingkat kesukaran butir soal dalam skala logit adalah
'natural log odds' untuk memperoleh informasi tentang orang dengan kemampuan 'nol'.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam Rasch Model ini dapat dilakukan
untuk mengestimasi kemampuan peserta tes dan item itu sendiri. Proses mengestimasi
kemampuan orang disebut pengukuran, sementara proses mengestimasi parameter tingkat
kesukaran soal disebut kalibrasi. Jadi, kalibrasi merupakan penentuan posisi suatu soal dalam
suatu garis kontinum skala (kesukaran soal). Di samping itu, matrik tersebut juga dapat
digunakan untuk menguji kecocokan data dengan Model Rasch (goodness-of-fit). Beberapa
metoda estimasi parameter dalam Model Rasch telah dikembangkan, antara lain
Unconditional Maximum Likelihood (UCON), Uniform Approximation (UFORM), Normal
Approximation (PROX), dan sebagainya.
Pada model logistik satu paramater atau model Rasch, karakteristik tingkat kesukaran
soal merupakan satu-satunya faktor yang memperngaruhi ability peserta tes. Hubungan antara
performansi atau ability peserta tes pada suatu butir soal dengan karakteristik kesukaran soal
dapat digambarkan oleh suatu fungsi yang menaik secara monotonik yang disebut item
characteristic function atau item characteristic curve (ICC).
Gambar 2.1 di atas menginformasikan salah satu bentuk ICC untuk model 1
parameter logistik dengan satu trait yang mendasari performansi pada dua kelompok yang
memiliki kemampuan berbeda. Peserta tes yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi
memiliki probabilitas yang lebih besar untuk menjawab butir soal dengan benar dibandingkan
15
peserta tes yang rendah kemampuannya, tanpa ada pengaruh kelompok asal. Dengan kata
lain, karakteristik kesukaran soal tidak lagi tergantung pada kelompok peserta tes. Ini
merupakan keunggulan yang tidak didapat pada teori klasik.
Rasch models memilki enam asumsi dasar yang berlandaskan pada persyaratan
objektivitas spesifik (specific objectivity) (Puspendik dalam Gathmyr, 2006), yaitu:
1. Unique ordering. Sekelompok orang yang diukur dan sekumpulan soal yang
kemungkinan seorang individu menjawab benar suatu soal tidak bergantung pada
jawaban soal lainnya. Urutan soal dalam tes tidak mempengaruhi posisi orang dalam
dimensi yang diukur. Demikian juga jawaban seseorang terhadap suatu soal tidak
dipengaruhi oleh jawaban orang lain terhadap soal tersebut. Pemilihan sekelompok
orang (dari suatu populasi tertentu) tidak mempengaruhi posisi soal dalam dimensi
tingkat kesukaran.
3. Equality of discrimination. Perlu ditekankan bahwa hal ini tidak berarti bahwa semua
soal diasumsikan mempunyai indeks korelasi point-biserial yang sama dengan skor
total atau kriteria eksternal lainnya, melainkan bahwa rasio 'gangguan' (noise) yang
direpresentasikan oleh kemiringan (slope) maksimal kurva karakteristik soal (item
characteristic curve) diasumsikan sama untuk semua soal. Jika kemiringan kurva
tidak sama maka pada suatu titik kurva karakteristik dua buah soal akan berpotongan.
Ini berarti bahwa urutan posisi soal dalam tingkat kesukaran untuk orang yang
berkemampuan rendah tidak sama dengan posisi kesukaran soal untuk orang yang
lebih mampu.
4. Unidimensionality. Sekumpulan soal dalam suatu perangkat tes harus mengukur
hanya satu dimensi (berdimensi tunggal). Jika performa (baca: kemampuan) orang
terhadap sekumpulan soal bergantung pada posisi mereka dalam dua atau lebih
dimensi tidak identik maka tidaklah mungkin merepresentasikan interaksi orang
dengan soal dengan satu parameter tunggal yaitu kemampuan.
5. Perilaku menebak yang acak (random guessing behavior). Walaupun kelihatannya
tidak realistik, asumsi ini secara matematis memudahkan. Model Rasch mensyaratkan
16
bahwa untuk setiap soal, nilai kemungkinan jawaban benar secara asimptotik
cenderung nol sejalan dengan tingkat kemampuan orang yang menurun.
6. Apabila kemampuan orang meningkat, nilai kemungkinan jawaban benar terhadap suatu soal
mendekati satu. Asumsi ini merupakan kebalikan dari asumsi keempat.
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Partisipan.
Penelitian ini melibatkan 120 partisipan pada pelajar SMA di SMA 106
Jakarta. Namun, karena terdapat kuesioner yang tidak diisi secara lengkap maka
peneliti hanya mengambil sampel sebanyak 100 partisipan.
3.2.2. Prosedur
Dalam studi pendahuluan, prosedur yang ditempuh yaitu peneliti mendatangi
ke lokasi yang sebelumnya telah mendapat perizinan untuk melakukan penelitian
yaitu pelajar SMA sebanyak tiga kelas. Peneliti memasuki tiga kelas tersebut secara
bergiliran, artinya tidak menyebar semua kuesioner sekaligus.
3.2.3. Metode Analisis Instrumen
Analisis data dilakukan dengan dua tahap. Pertama, dengan analisis faktor
konfirmatorik yang ditujukan untuk menguji apakah item sebagai variabel teramati
tersebut memiliki kesesuaian dengan faktor sebagai laten variabel. Dalam analisis
faktor konfirmatorik ini, setiap ukuran atau variabel teramati hanya berhubungan
dengan satu variabel laten dan semua kovariasi di antara variabel-variabel teramati
adalah sebagai akibat dari hubungan antara variabel teramati dan variabel laten.
Sebelum dilakukan analisis validitas konstruk, perlu diuji terlebih dahulu apakah
model memang fit dengan data yang ada. Ukuran untuk menentukkan fit model ini
didasarkan pada nilai chi-square. Namun jika hal ini tidak terpenuhi, maka sebagian
18
besar kesalahan pengukuran (error) pada setiap item dapat dibuat berkorelasi satu
sama lain. Jika nilai RMSEA< 0,05 dan P-value > 0,05 model dapat dianggap fit
dengan data.
Setelah model fit dengan data, dapat dilakukan analisis apakah item-item yang disusun
benar-benar dapat mengukur konstruk yang akan diukur. Analisis ini berpatokan pada
tiga hal :
1. Lambda. Jika sebuah item memiliki lambda negatif maka item tersebut dianggap
gugur. Sebab jika diandaikan pada tes kemampuan sebuah item yang memiliki lamda
negatif berarti semakin pintar seorang peserta tes maka semakin tidak mampu
menjawab item tersebut.
2.
T-value. Jika t-value > 1,96 berarti sumbangan item terhadap faktor signifikan.
3. Korelasi antar item. Sebuah item yang memiliki korelasi dengan item lain bermakna
selain memberikan informasi terhadap konstruknya, item tersebut juga memberikan
informasi terhadap item lain. Perlu diketahui item yang baik adalah item yang hanya
memberikan informasi terhadap konstruknya (unidimensional). Sedangkan item yang
memberikan informasi terhadap hal lain disebut multi dimensional.
Dengan demikian, dari analisis ini dapat diketahui apakah item tertentu dapat
mewakili sebuah faktor atau tidak. Jika sebuah item melanggar tiga persyaratan
tersebut item tersebut dianggap gugur dan tidak dilibatkan lagi dalam analisis
selanjutnya. Tahap selanjutnya dalam confirmatory factor analysis yaitu komputasi
composite/ construct reliability measure (ukuran reliabilitas konstruk/ komposit.
Adapun teknis komputasi ini menggunakan rumus sebagai berikut (Fornel & Larcker
dalam Wijanto, 2009):
Construct Reliability
stdloading 2
stdloading 2 error
Tahap Kedua, analisis item dengan pendekatan item response theory dengan 1 parameter
logistik (Raschs model) dengan menggunakan bantuan software Quest. Proses ini merupakan
kelanjutan dari analisis yang pertama yaitu confirmatory factor analysis. Dalam analisis
dengan pendekatan Raschs model ini, hanya disertakan item yang memiliki t-value yang
signifikan.
19
Raschs model itu sendiri merupakan suatu formulasi matematik yang menghubungkan
kemungkinan (probability) hasil (benar atau salah untuk butir soal yang dikotomi) apabila
seseorang menjawab suatu butir soal sesuai dengan karakteristik orang dan butir soal
tersebut. Apabila kemampuan orang lebih tinggi dari tingkat kesukaran soal, nilai
kemungkinan orang tersebut menjawab soal dengan benar lebih besar dari 0.50. Sebaliknya,
apabila kemampuan orang lebih rendah dari tingkat kesukaran soal, nilai kemungkinan orang
tersebut menjawab benar kurang dari 0.50. Jika kemampuan orang sama persis dengan
tingkat kesukaran soal nilai kemungkinan orang tersebut menjawab soal dengan benar adalah
0.50 (Hayat, B., 2000).
Matrik respon orang-dengan-soal dapat digunakan untuk mengestimasi parameter
kemampuan pada orang dan kesukaran pada soal. Proses mengestimasi kemampuan orang
disebut pengukuran. Indeks statistik yang dihasilkannya disebut theta (). Nantinya estimasi
kemampuan orang (theta) ini akan digunakan dalam analisis tahap ketiga.
Sementara itu, proses mengestimasi parameter tingkat kesukaran soal disebut kalibrasi.
Dalam hal ini dapat dilakukan seleksi item dengan melihat apakah indeks statistik fit dengan
model. Apabila perolehan angka infit meansquare item tersebut mendekati satu maka dapat
dikatakan item tersebut fit dengan model (Adams dan Khoo,1993). Item soal dikatakan tidak
cocok (tidak fit) dengan model, artinya item soal tersebut berperilaku tidak konsisten dengan
apa yang diharapkan oleh model IRT.
.
20
BAB IV
HASIL
4.1
21
2. Dimensi eksternal
Dari hasil analisis CFA yang dilakukan pada dimensi ini, ternyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 117.28, df=35, P-value=0.0000, RMSEA=0.153. Oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit seperti pada gambar 2 dibawah ini:
22
Dari gambar 1, dan 2, nilai Chi Square menghasilkan P-value > 0.05 (signifikan),
yang artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur
satu faktor saja yaitu locus of control .
Selanjutnya, untuk melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor yang
hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak.
Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item.
Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor,
seperti pada tabel 4.5 berikut.
Tabel.4.5.
Koefesien lambda, dan t-value dimensi internal
Item no
lamda
T value
2.28
7.02
11
5.7
4.03
15
3.59
6.77
20
-6.94
0.75
Tabel.4.5.
Koefesien lambda, dan t-value dimensi eksternal
Item no
Lamda
T value
2.89
6.81
2.01
7.04
23
3.63
6.05
5.36
0.22
10
4.05
5.21
Dari tabel di atas, nilai t bagi koefisien muatan faktor dari seluruh item tersebut
signifikan. Selanjutnya untuk menentukan kualitas item juga perlu dilihat koefesien
lambda dari setiap item.
24
diharapkan oleh model. Secara umum informasi mengenai item yang tidak fit dapat dilihat
pada Tabel 4.9. berikut;
4.3 kesimpulan
4.4 Saran
25
Daftar pustaka
Friedmen, H. S., & Schustack, M. W. (2008). Kepribadian Teori Klasik edisi ke-3. Jakarta:
Erlangga.
Twenge, J. M., Zhang, L., & Im, C. (2004). It's beyond my control: A cross-temporal metaanalysis of increasing externality in locus of control, 1960-2002. Personality and Social
Psychology Review, 8, 308-319.
Kutanis, R. O., Mesci. M. And vdr, Z. (2011). The Effects of Locus of Control On
Learning Performance: A Case of An Academic Organization. Journal of Economic And
Social Studies, 1, 113-136
Solso, R. L., Maclin, O. H. & Maclin, M. K. (2007). Psikologi Kognitif, Edisi Kedelapan.
Jakarta: Erlangga.
Hanafiah, N. & Suhana, C. (2012). Konsep Strategi Pembelajaran.
Bandung: Redaksi Refika.
Robbins, S. P., & Judge, T, A. (2009). Perilaku Organisasi: edisi ke-12.
Jakarta: Salemba Empat
Baron., Byrne. D,. (Social Psycology: Understanding Human Interaction:
Eight Edition. United State of Anerica: Allin and Bacon Inc.
Petri, H.L. (1980). Motivation: Theort and Recearch. California: Wadsworth
Publishing
Thorpe, L.P. (1960). The Psychology of Mental Health. New York: The
Ronald Press Company.
26