Anda di halaman 1dari 26

Laporan Konstruksi Alat Ukur

Psikologi
Locus of Control Pada Siswa SMA Kelas XI SMA 106 Jakarta

ANGGOTA KELOMPOK:
Nazir Ultama
(1111070000022)
Dwi Prasetyaningsih
(1111070000028)
Anjarwati Kusuma N
(1111070000029)
SEMESTER/KELAS: VI/A

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013/2014

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya
kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini sesuai dengan
waktu yang telah diberikan.
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Konstruksi Alat Ukur
Psikologi, dimana kami meneliti variable locus of control mengukur kegiatan belajar siswa
SMA dipengaruhi oleh factor internal atau eksternal.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
arahan sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat. Kami sadar masih banyak kekurangan di dalam laporan ini. Maka kami
mohon untuk saran dan kritiknya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2014

Peneliti

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DARTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1.2. Rumusan Masalah ...........................................................................
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................

BAB II

1
2
2

TINJAUAN LITERATUR
2.1. Locus of Control
2.1.2. Definisi LOC ............................................................................. 3
2.1.3. Perkembangan LOC................................................................... 3
2.1.4. Aspek LOC................ 4
2.1.5. Definisi Operasional LOC ....................................................... 6
2.1.6. Indikator-Indikator LOC 6
2.1.7. Kisi-Kisi (Blue print) ................................................................. 7

BAB III

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Penyusunan Instrumen......................................................................... 10
3.2. Studi Pendahuluan............................................................................... 10
3.2.1. Partisipan.................................................................................... 10
3.2.2. Prosedur...................................................................................... 10
3.2.3. Metode Analisis Instrumen......................................................... 10
HASIL
4.1. Analisis Faktor Konfirmatorik 1st Order ............................................ 12
4.2. Analisis Quest ..................................................................................... 15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh individu akan melibatkan
segala proses mental yang terjadi di dalam diri manusia sehingga menghasilkan perilaku
tertentu. Proses mental tersebut diiringi dengan kematangan diri sendiri dalam
memproses segala hal yang berkaitan baik dengan dirinya dan juga lingkungannya. Salah
satu perilaku yang sering dibahas ialah perilaku dalam proses belajar, karena setiap
individu pasti mengalami proses belajar di dalam kehidupannya. Perilaku yang muncul
selama proses belajar tersebut berkaitan dengan Locus of Control yang dimiliki oleh
masing-masing individu.
Locus of Control (LOC) merupakan suatu konsep yang menuju pada keyakinan
individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. LOC
menggambarkan seberapa jauh sesorang memandang hubungan antara perbuatan yang
dilakukan (action) dengan akibat/hasil (outcome). Secara umum LOC akan mengungkap
bagaimana usaha individu, dalam hal ini proses belajar, akan menghasilkan sesuatu hal
yang positif bagi diri individu. Usaha-usaha yang dilakukan ini berupa berbagai macam
perilaku yang mendukung proses belajar. Sebagian besar individu, khususnya pelajar
cenderung mengangggap bahwa untuk memiliki prestasi yang baik hanya bergantung
pada tingginya kemampuan serta tingkat intelektual yang dimilikinya. Jadi bagi mereka
yang memiliki tingkat intelektualnya rendah secara tidak langsung akan membuat konsep
diri bahwa mereka hanya pelajar biasa dan kebanyakan dari mereka menjadi kurang
termotivasi untuk berusaha lebih untuk membuat suatu prestasi atas dasar keyakinan
yang telah dibuat sebelumnya.
Berdasarkan fenomena di atas, kami meneliti bagaimana Locus of Control yang
dimiliki oleh pelajar berkaitan dengan proses belajar mereka, apakah mereka lebih
banyak berorientasi secara internal atau eksternalnya.
Kemukakan alasan penyusunan alat ukur/ skala locus of control

1.2. Tujuan Penelitian


1.2.1. Mengetahui Locus of Control pada pelajar SMA.
1.2.2. Mengetahui peranan Locus of Control pada pelajar SMA.
1.2.3. Mengetahui tingkat orientasi internal dan eksternal LOC pada pelajar SMA.
Tujuan penyusunan alat ukur/skala locnya mana?
1.3. Manfaat Penelitian
1.3.1. Untuk sumber informasi bagi pelajar tentang peranan LOC dalam proses belajar.
1.3.2. Untuk memberikan gambaran tentang LOC pelajar SMA sehingga memunculkan
gagasan-gagasan baru untuk mengoptimalkan LOC.
1.3.3. Untuk bahan perbandingan pada penelitian selanjutnya.
Manfaat penyusunan alat ukur/skala locnya mana?

BAB II
TINJAUAN LITERATUR

2.1. Locus of Control


2.1.2. Definisi LOC
Menurut Robbin (1998) Locus of control mengandung arti seberapa jauh individu
yakin bahwa mereka menguasai nasib mereka sendiri. Konsep Locus of control pertama
kali diajukan oleh Rotter berdasarkan teori belajar sosialnya. Menurut Rotter, bahwa
pada dasarnya konsep locus of control menunjukkan pada keyakinan atau harapanharapan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya, yaitu kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh kekuatan
dari dalam dirinya atau dari luar dirinya.
Pendapat itu diperkuat oleh Petri yang mengatakan bahwa locus of control
merupakan konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai
kemampuannya untuk mengendalikan penguat yang menyertai perilaku. Pendapat lain
yang dikemukakan oleh Baron dkk, menyebutkan bahwa locus of control merupakan
salah satu aspek karakteristik kepribadian yang dimiliki setiap individu, mempengaruhi
harapan dan tingkah lakunya dalam menghadapi lingkungan. Setiap perilaku manusia
dipengaruhi oleh persepsi terhadap hasil yang dicapai, yang dapat menjadi faktor penguat
atau pelemah untuk perilaku selanjutnya.
2.1.3. Perkembangan LOC
Didasarkan pada tinjauan teoritis, locus of control merupakan unsur kepribadian.
Unsur tersebut tumbuh dan berkembang dari latar belakang kehidupan seseorang. Thorpe
mengemukakan bahwa Lingkungan keluarga ikut mempengaruhi dan membentuk
pengalamannya. Latar belakang yang mantap mempengaruhi suasana psikologis yang
sangat penting dalam perkembangan kepribadian.
Perkembangan kepribadian yang mantap pula menjadi dasar dari terbentuknya
penyesuaian diri yang mantap pula. Orang yang memiliki konsep diri tinggi, mengalami
situasi perkembangan psikologis lebih ajeg. Situasi lingkungan yang mendukung rasa
aman, memberi kepuasan dan mendorong motivasi untuk mencapai suatu prestasi, hal ini
juga merupakan ciri orang yang mempunyai locus of control internal. Mereka dapat
6

memanfaatkan situasi lingkungan untuk mendapatkan prestasi dan kemampuan, sehingga


dalam menghadapi suatu tantangan, orang-orang dengan ciri tersebut lebih berhasil
menyesuaikan diri.
Perbedaan orientasi locus of control seseorang akan mempengaruhi penilaian
terhadap peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi, misalnya perilaku seksual pra
nikah, yang selanjutnya mempengaruhi cara mereka mengatasi masalah atau biasa
disebut coping behaviour. Jadi hubungan seksual pra nikah akan dihadapi dengan cara
yang bermacam-macam, sesuai dengan kepribadian masing-masing.
2.1.4. Aspek LOC
Rotter melihat locus of control sebagai hal yang bersifat unidimensional yaitu
memiliki dua aspek, yaitu:
a. Locus of control internal
Locus of control internal mengacu kepada persepsi bahwa kejadian baik positif
maupun negatif terjadi sebagai konsekuensi dari tindakan atau perbuatan diri sendiri
dan dibawah pengendalian diri. Individu tersebut akan menunjukkan kinerja yang
lebih baik dalam situasi yang memungkinkan mereka untuk melakukan usaha yang
lebih besar dalam mengontrol lingkungannya. Seseorang yang memiliki locus of
control internal

dapat mengelola emosi dan stress secara efektif dengan

menggunakan strategi pemecahan masalah (Millea & Woodruff, 2004 dalam Breet,
dkk, 2010)
a. Locus of control external
Individu dengan locus of control eksternal mengacu kepada keyakinan bahwa suatu
kejadian tidak mempunyai hubungan langsung dengan tindakan oleh diri sendiri, dan
percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan dan kesempatan
serta lebih mempercayai kekuatan di luar dirinya. Keyakinan ini yang menyebabkan
depresi pada pandangan hidup. (Jaffe, 1998 dalam Breet, dkk, 2010)
Elemen utama dari teori Rotter ialah konsep kontrol eksternal versus internal dari
reinforcement atau locus of control. Ada ekspektasi umum dimana tindakan individu
sendiri akan menyebabkan munculnya hasil akhir yang diinginkanlokus kontrol
internal (internal locus of control)atau terdapat keyakinan bahwa hal di luar diri,
seperti kesempatan atau kekuatan lain, menentukan apakah hasil akhir yang diinginkan
akan terjadilokus kontrol eksternal (external locus of control). Rotter mengembangkan
7

skala lokus kontrol internal-eksternal yang mengukur keyakinan individu tentang faktor
penentu perilaku.
Rotter percaya bahwa individu memiliki disposisi yang stabil selain peran penting
dari situasi, dalam menentukan perilakunya. Dalam pendangna awalnya, Rotter melihat
lokus kontrol sebagai variabel perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua
dimensi (internal dan eksternal) yang mempengaruhi berbagi perilaku dalam sejumlah
konteks yang berbeda.
Baru-baru ini ditemukan memiliki tiga dimensi yang cukup independen satu
dengan yang laininternalitas, keberuntungan atau kesempatan, dan kekuatan lain
(Levenson, 1981). Jadi orang yang mengatribusikan faktor eksternal tidak hanya percaya
bahwa peristiwa terjadi di luar kontrol mereka, tetapi mereka juga mengaggap bahwa
peristiwa tersebut terjadi karena kesempatan atau kekuatan lain.
Orang dengan lokus kontrol internal lebih berorientasi pada keberhasilan karena
mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan mereka juga
lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever (Findley & Cooper, 1983). Orang
dengan lukus kontrol eksternal cenderung kurang independen dan lebih mungkin mejadi
depresif dan stress, seperti yang diperkirakan oleh Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour,
1988; Rotter, 1954).
Selama lebih dari 40 tahun lokus kontrol remaja Amerika cenderung semakin
eksternal dibandingkan dengan apa yang orang tua mereka percayai mereka mereka
remaja (Tweng, Zhang, & Im, 2004). Sayangnya perasaan tersebut konsisten dengan
menigkatnya sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut dengan mudah meyalahkan
orang lain atas masalah mereka dan tidak mau bergabung dengan yang lainnya untuk
memperbaiki masyarakat. Penelitian lain menyebutkan bahwa bahwa internal locus of
control lebih dominan atau memiliki skor yang tinggi pada pelajar di salah satu sekolah
di Turkey sehingga mengindikasikan bahwa mereka lebih mengaktifkan lokus
internalnya. (Kutanis, R. O., Mesci. M. And vdr, Z, 2011).
Seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia
sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di
dalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan memandang
dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai
tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di dalamnya. Rotter
8

(1966) dalam studinya di teori belajar sosial berdasarkan studinya, mengekspresikan


situasi yang mana penguatan terjadi berdasarkan sikap individu sebagai locus of control
individu. Dimana saat Rotter menguji situasinya, setelah penguatan terjadi suatu sikap
individu tertentu, hal tersebut dapat disebut sebagai locus of control eksternal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai external
locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk
bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang
menguntungkan.

Sementara

itu

individu

yang

mempunyai internal

locus

of

control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan
diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang
menguntungkan.
2.1.5. Definisi Operasional Locus of Control
Locus of Control ialah kemampuan seseorang untuk mengontrol dirinya baik secara
internal maupun eksternal dalam hal persepsi, konsentrasi, kemampuan, pendengaran,
visual, dan metode belajar yang mampu mempengaruhi proses belajarnya.

2.1.6. Indikator-Indikator LOC


Indikator-indikator locus of control peneliti adaptasi dari Journal of Economic and
Social Studies yang berjudul The Effects of Locus of Control on Learning Performance:
A Case of an Academic Organization (2011), dimana terdapat indicator sebagai berikut
yang menjadi dasar atas penyusunan item.
a. Konsentrasi. Perhatian atau atensi merupakan proses awal menuju pada sebuah
konsentrasi, sehingga tidak akan terjadi konsentrasi tanpa perhatian terlebih
dahulu.

Perhatian

dan

konsentrasi

merupakan

serangkaian

proses

berkelanjutan terhadap suatu obyek yang diamati individu.


b. Persepsi. Persepsi merupakan kegiatan paling awal dari serangkaina
pemrosesan informasi. Persepsi merupakan suatu proses penggunaan
pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan) untuk
mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang
diterima oleh alat indera (Matlin, 1989; Solso, 1988).
c. Pendengaran
9

d. Kemampuan. Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa,
sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan,
kecakapan, kekuatan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:
552-553). Kemampuan (ability) berarti kapasitas seorang individu untuk
melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. (Stephen P. Robbins &
Timonthy A. Judge, 2009: 57). Lebih lanjut, Stephen P. Robbins & Timonthy
A. Judge menyatakan bahwa kemampuan keseluruhan seorang individu pada
dasarnya terdiri atas dua kelompok faktor, yaitu :

Kemampuan Intelektual (Intelectual Ability), merupakan kemampuan


yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktifitas mental (berfikir,
menalar dan memecahkan masalah).

Kemampuan Fisik (Physical Ability), merupakan kemampuan melakukan


tugas-tugas yang

menuntut

stamina,

ketrampilan, kekuatan, dan

karakteristik serupa.
e. Visual. Pendeteksian sebuah bagian kecil gelombang elektromagnetik (cahaya)
dimungkinkan karena mata kita memiliki struktur yang unik yang kemudian
menghadirkan informasi berharga bagi kita mengenai lingkungan di sekeliling
kita.
f. Metode belajar. Metode belajar merupakan salah satu pendekatan dalam
rangka mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif. Metode
atau model belajar sangat erat kaitannya dengan gaya belajar guru (teaching
style), yang kesuanya disingkat menjadi SOLAT (Style of Learning and
Teaching).
2.1.7. Kisi-Kisi (Blue print)
Variab
el
Locus
of
Control

Aspek
Internal
Item: 2,
5, 7, 8,
9, 11,
12, 13,
15, 20
Eksterna
l

Indikator

Original item

Konsentras
i

While I am
studying, i often
stop and do
something else
I like sport
activities at
school and
attend them
I do what i can

Item
1. Saat belajar, saya tibatiba bosan dan melakukan
hal yang lain.
2. Saya suka mengikuti
olahraga di sekolah.
3. Saya melakukan hal
yang bisa dilakukan di
setiap kegiatan dan
mengambil peran di
10

Item: 1,
3, 4, 6,
10, 14,
16, 17,
18, 19

Persepsi

Pendengar
an

for every event


that i can act and
take part in them
in class
Teachers think
that i move a lot
in the classroom
I talk too much
in class
I hold every new
thing in my
hands and
observe them
I can understand
better when i see
things
I quickly
perceive things
showed in maps,
posters and
diagrams
I like listening
to book
cassettes.
I like school
songs very much
and learn them
quickly
I like reading
aloud.

Kemampu
an

Metode
belajar

I prefer telling
to writing.
I like my teacher
to correct my
mistakes by
explaining them
to me.
Id rather listen

dalamnya.
4. Para guru berfikir
bahwa saya suka
mondar mandir di
dalam kelas.
5. Saya berisik dikelas.

6. Setiap menemukan hal


yang baru, saya
mengamatinya.
7. Saya lebih paham
dengan cara melihat hal
tersebut.
8. Saya dengan segera
melihat hal yang
terdapat di peta, poster,
atau diagram

9. Saya suka
mendengarkan
10. Saya suka lagu mars
sekolah dan dengan
cepat menghafalnya.
11. Saya suka membaca
dengan keras

12. Saya suka belajar


musik.
13. Saya belajar dengan
melakukan dan
mempraktekannya.
14. Saya melakukan
presentasi secara
optimal, jika temanteman memperhatikan
dan antusias.
15. Saya lebih suka
berbicara daripada
menulis
16. Saya suka jika guru
mengoreksi kesalahan
dengan cara
menjelaskannya.
17. Saya lebih suka
mendengarkan
11

Visual

2.2.1

to the teacher
than study by
myself.
I understand a
subject better if
somebody tells
or reads it,
rather than
reading it on my
own.

penjelasan guru
dibandingkan belajar
sendiri.
18. Saya lebih memahami
pelajaran jika ada yang
mengajarkannya,
dibanding belajar
sendiri.
19. Saya lebih paham
belajar berkelompok
daripada belajar sendiri.

I like to read
silently.

20. Saya suka membaca


dalam hati

Confirmatory factor analysis

Analisis faktor biasanya digunakan dalam mengembangkan istrumen penelitian. Setelah


memutuskan apa yang diukur, seorang peneliti juga perlu melihat apakah item yang telah
dibuat benar-benar berhubungan atau mewakili konstruk yang telah ditentukan. Metode yang
dikenal untuk menangani persoalan ini adalah analisis faktor.
Ada dua pendekatan dalam analisis faktor, yaitu exploratory factor analysis (EFA) dan
confirmatory factor analysis (CFA). Ada beberapa perbedaan mendasar antara dua
pendekatan ini (Wijanto, 2008). Pada EFA model rinci yang menghubungkan antara variabel
laten dengan variabel teramati tidak dispesifikasikan terlebih dahulu. Selain itu, pada EFA
jumlah variabel laten tidak ditentukan sebelum analisis dilakukan; semua variabel laten
diasumsikan mempengaruhi semua variabel teramati; dan kesalahan pengukuran tidak boleh
berkorelasi. Sebaliknya pada CFA, model dibentuk terlebih dahulu; jumlah variabel laten
ditentukan oleh analis; pengaruh variabel laten terhadap variabel teramati dapat ditetapkan
sama dengan nol atau suatu konstanta; kesalahan pengukuran boleh berkorelasi; kovarian
variabel-variabel laten dapat diestimasi atau ditetapkan pada nilai tertentu; identifikasi
parameter diperlukan.
CFA merupakan salah satu bentuk structural equation model (SEM) yang juga dikenal model
linear structural relationship. SEM itu sendiri ada dua komponen model pengukuran yang
menghubungkan seperangkat observed variable dengan latent variable dan model struktural
yang menghubungkan latent variable melalui model recursive dan non-recursive (Wijanto,
2008).
12

Dalam SEM, setiap variabel-variabel teramati atau indikator-indikator yang digunakan untuk
mengukur sebuah variabel laten bersifat reflektif (Wijanto, 2008). Artinya, variabel tersebut
dipandang sebagai indikator-indikator yang dipengaruhi konsep yang sama dan yang
mendasarinya. Muatan-muatan faktor (factor loading) yang menghubungkan variabel laten
dengan variabel-variabel teramati disimbolkan dengan huruf Yunani (lambda). SEM
mempunyai dua matrik lambda yang berbeda, yaitu satu matrik pada sisi X dan matrik
lainnya pada sisi Y. Notasi pada sisi X adalah x sedangkan pada sisi Y adalah y.
2.2.2 Item response theory

Item Response Theory (IRT) sebagai teori tes modern memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan teori tes klasik yaitu (1) IRT tidak berdasarkan group dependent; (2)
skor responden dideskripsikan bukan test dependent; (3) menekankan pada tingkat butir item
bukan tes; (4) tidak memerlukan paralel test untuk menentukan reliabilitas tes; (5)
merupakan suatu model pengukuran ketepatan untuk setiap skor abilitas (Safari, 2005).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa salah satu kelebihan dari IRT dibandingkan
dengan teori tes klasik adalah parameter tingkat kesukaran dan daya pembeda untuk
mengestimasi ability tidak berdasarkan group dependent dan menekankan pada tingkat butir
item bukan tes.
Dalam IRT dikenal tiga macam model logistik, yaitu model satu parameter, model dua
parameter, dan model tiga parameter. Perbedaan di antara ketiganya terdapat pada banyaknya
parameter yang dipakai untuk menggambarkan karakteristik item dalam model yang
bersangkutan. Parameter yang dimaksud adalah;
b

= indeks kesukaran item

= indeks diskriminasi item

= parameter tebakan semu.

Jadi, model satu parameter menggambarkan karakteristik item berdasarkan indeks kesukaran
soal. Model dua parameter menggambarkan karakteristik item berdasarkan indeks kesukaran
soal dan diskriminasi item. Adapun model tiga parameter bertumpu pada indeks kesukaran
item, indeks diskriminasi item, dan parameter tebakan semu.

13

3.1.1. Rasch Model


The Rasch Model merupakan salah satu model dalam item response theory (IRT)
dengan model 1 parameter. Dengan demikian Rasch model menggambarkan karakteristik
item berdasarkan indeks kesukaran soal (threshold). Secara teoritis model ini adalah suatu
formulasi matematika yang menghubungkan kemungkinan (probability) hasil (benar atau
salah untuk butir soal berbentuk dikotomi) apabila seseorang menjawab suatu butir soal
sesuai dengan karakteristik orang dan butir soal tersebut. Apabila kemampuan orang lebih
tinggi dari tingkat kesukaran soal, nilai kemungkinan orang tersebut menjawab soal dengan
benar lebih besar dari 0.50. Sebaliknya apabila kemampuan orang lebih rendah dari tingkat
kesukaran soal, nilai kemungkinan orang tersebut menjawab benar kurang dari 0.50. Jika
kemampuan orang sama persis dengan tingkat kesukaran soal nilai kemungkinan orang
tersebut menjawab soal dengan benar adalah 0.50 (Hayat, 2000). Model Rasch (Rasch,
1960/1980; Wright and Stone 1979) untuk butir soal dikotomi adalah:
Xvi 1 / v, i

exp v i
1 exp v, i

2.5

Nilai kemungkinan orang (v) menjawab soal (i) dipahami sebagai fungsi logistik
perbedaan dua parameter. Parameter pertama (v), mengukur kemampuan orang menjawab
soal (memecahkan masalah). Parameter kedua (i), mengkalibrasi kesukaran butir soal
(masalah).
Model Rasch (Rasch, 1960/1980; Wright and Stone 1979) untuk butir soal
polytomous adalah
ni

ni xni

exp Wij n i ij
j 0

mi

k 0

j 0

exp Wij n i i

2.6

Nilai kemungkinan orang (n) menjawab soal (i) dipahami sebagai fungsi logistik (w)
skor langkah (j) dalam item (i) dengan perbedaan tiga parameter. Parameter pertama (n)
mengukur kemampuan orang menjawab soal. Parameter kedua (i) mengkalibrasi kesukaran
butir soal. Parameter ketiga (ij) mengkalibrasi kesukaran langkah (j) dalam butir soal.
Dalam Rasch models satuan ukuran untuk kemampuan orang dan kesukaran soal
disebut logits (log-odd units). Kemampuan seseorang dalam skala logit adalah 'natural log
14

odds' untuk berhasil menjawab soal-soal yang sejenis yang dipilih untuk menentukan titik
'nol' dalam skala. Demikian juga tingkat kesukaran butir soal dalam skala logit adalah
'natural log odds' untuk memperoleh informasi tentang orang dengan kemampuan 'nol'.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam Rasch Model ini dapat dilakukan
untuk mengestimasi kemampuan peserta tes dan item itu sendiri. Proses mengestimasi
kemampuan orang disebut pengukuran, sementara proses mengestimasi parameter tingkat
kesukaran soal disebut kalibrasi. Jadi, kalibrasi merupakan penentuan posisi suatu soal dalam
suatu garis kontinum skala (kesukaran soal). Di samping itu, matrik tersebut juga dapat
digunakan untuk menguji kecocokan data dengan Model Rasch (goodness-of-fit). Beberapa
metoda estimasi parameter dalam Model Rasch telah dikembangkan, antara lain
Unconditional Maximum Likelihood (UCON), Uniform Approximation (UFORM), Normal
Approximation (PROX), dan sebagainya.
Pada model logistik satu paramater atau model Rasch, karakteristik tingkat kesukaran
soal merupakan satu-satunya faktor yang memperngaruhi ability peserta tes. Hubungan antara
performansi atau ability peserta tes pada suatu butir soal dengan karakteristik kesukaran soal
dapat digambarkan oleh suatu fungsi yang menaik secara monotonik yang disebut item
characteristic function atau item characteristic curve (ICC).

Gambar 2.1. Kurva Karakteristik Butir Soal 1 Parameter

Gambar 2.1 di atas menginformasikan salah satu bentuk ICC untuk model 1
parameter logistik dengan satu trait yang mendasari performansi pada dua kelompok yang
memiliki kemampuan berbeda. Peserta tes yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi
memiliki probabilitas yang lebih besar untuk menjawab butir soal dengan benar dibandingkan
15

peserta tes yang rendah kemampuannya, tanpa ada pengaruh kelompok asal. Dengan kata
lain, karakteristik kesukaran soal tidak lagi tergantung pada kelompok peserta tes. Ini
merupakan keunggulan yang tidak didapat pada teori klasik.
Rasch models memilki enam asumsi dasar yang berlandaskan pada persyaratan
objektivitas spesifik (specific objectivity) (Puspendik dalam Gathmyr, 2006), yaitu:
1. Unique ordering. Sekelompok orang yang diukur dan sekumpulan soal yang

digunakan untuk mengukur masing-masing dapat secara unik diurutkan (unique


ordering) menurut kemampuan orang dan kesukaran soal. Pengurutan semacam ini
memungkinkan suatu parameterisasi orang dan soal yang sesuai dengan Model Rasch
yang sederhana.
2. Local independence. Asumsi ini merupakan implikasi dari asumsi pertama. Nilai

kemungkinan seorang individu menjawab benar suatu soal tidak bergantung pada
jawaban soal lainnya. Urutan soal dalam tes tidak mempengaruhi posisi orang dalam
dimensi yang diukur. Demikian juga jawaban seseorang terhadap suatu soal tidak
dipengaruhi oleh jawaban orang lain terhadap soal tersebut. Pemilihan sekelompok
orang (dari suatu populasi tertentu) tidak mempengaruhi posisi soal dalam dimensi
tingkat kesukaran.
3. Equality of discrimination. Perlu ditekankan bahwa hal ini tidak berarti bahwa semua

soal diasumsikan mempunyai indeks korelasi point-biserial yang sama dengan skor
total atau kriteria eksternal lainnya, melainkan bahwa rasio 'gangguan' (noise) yang
direpresentasikan oleh kemiringan (slope) maksimal kurva karakteristik soal (item
characteristic curve) diasumsikan sama untuk semua soal. Jika kemiringan kurva
tidak sama maka pada suatu titik kurva karakteristik dua buah soal akan berpotongan.
Ini berarti bahwa urutan posisi soal dalam tingkat kesukaran untuk orang yang
berkemampuan rendah tidak sama dengan posisi kesukaran soal untuk orang yang
lebih mampu.
4. Unidimensionality. Sekumpulan soal dalam suatu perangkat tes harus mengukur

hanya satu dimensi (berdimensi tunggal). Jika performa (baca: kemampuan) orang
terhadap sekumpulan soal bergantung pada posisi mereka dalam dua atau lebih
dimensi tidak identik maka tidaklah mungkin merepresentasikan interaksi orang
dengan soal dengan satu parameter tunggal yaitu kemampuan.
5. Perilaku menebak yang acak (random guessing behavior). Walaupun kelihatannya

tidak realistik, asumsi ini secara matematis memudahkan. Model Rasch mensyaratkan
16

bahwa untuk setiap soal, nilai kemungkinan jawaban benar secara asimptotik
cenderung nol sejalan dengan tingkat kemampuan orang yang menurun.
6. Apabila kemampuan orang meningkat, nilai kemungkinan jawaban benar terhadap suatu soal
mendekati satu. Asumsi ini merupakan kebalikan dari asumsi keempat.

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Penyusunan Instrumen


Alat ukur tentang self control ini disusun dengan menggunakan skala likert. Jadi
setiap pernyataan favorable yang ditulis akan mendapat respon dari subjek dengan empat
rentangan, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak
Sesuai). Setiap respon memiliki skor yang berbeda, jika subjek menjawab SS akan diberi
skor 4, S akan diberi skor 3, TS akan diberi skor 2, STS akan diberi skor 1. Dalam
instrumen ini tidak ada item yang berupa unfavorable jadi skor tidak ada yang dirubah.
3.2 Studi Pendahuluan
3.2.1

Partisipan.
Penelitian ini melibatkan 120 partisipan pada pelajar SMA di SMA 106

Jakarta. Namun, karena terdapat kuesioner yang tidak diisi secara lengkap maka
peneliti hanya mengambil sampel sebanyak 100 partisipan.
3.2.2. Prosedur
Dalam studi pendahuluan, prosedur yang ditempuh yaitu peneliti mendatangi
ke lokasi yang sebelumnya telah mendapat perizinan untuk melakukan penelitian
yaitu pelajar SMA sebanyak tiga kelas. Peneliti memasuki tiga kelas tersebut secara
bergiliran, artinya tidak menyebar semua kuesioner sekaligus.
3.2.3. Metode Analisis Instrumen
Analisis data dilakukan dengan dua tahap. Pertama, dengan analisis faktor
konfirmatorik yang ditujukan untuk menguji apakah item sebagai variabel teramati
tersebut memiliki kesesuaian dengan faktor sebagai laten variabel. Dalam analisis
faktor konfirmatorik ini, setiap ukuran atau variabel teramati hanya berhubungan
dengan satu variabel laten dan semua kovariasi di antara variabel-variabel teramati
adalah sebagai akibat dari hubungan antara variabel teramati dan variabel laten.
Sebelum dilakukan analisis validitas konstruk, perlu diuji terlebih dahulu apakah
model memang fit dengan data yang ada. Ukuran untuk menentukkan fit model ini
didasarkan pada nilai chi-square. Namun jika hal ini tidak terpenuhi, maka sebagian
18

besar kesalahan pengukuran (error) pada setiap item dapat dibuat berkorelasi satu
sama lain. Jika nilai RMSEA< 0,05 dan P-value > 0,05 model dapat dianggap fit
dengan data.
Setelah model fit dengan data, dapat dilakukan analisis apakah item-item yang disusun
benar-benar dapat mengukur konstruk yang akan diukur. Analisis ini berpatokan pada
tiga hal :
1. Lambda. Jika sebuah item memiliki lambda negatif maka item tersebut dianggap
gugur. Sebab jika diandaikan pada tes kemampuan sebuah item yang memiliki lamda
negatif berarti semakin pintar seorang peserta tes maka semakin tidak mampu
menjawab item tersebut.
2.

T-value. Jika t-value > 1,96 berarti sumbangan item terhadap faktor signifikan.

3. Korelasi antar item. Sebuah item yang memiliki korelasi dengan item lain bermakna
selain memberikan informasi terhadap konstruknya, item tersebut juga memberikan
informasi terhadap item lain. Perlu diketahui item yang baik adalah item yang hanya
memberikan informasi terhadap konstruknya (unidimensional). Sedangkan item yang
memberikan informasi terhadap hal lain disebut multi dimensional.
Dengan demikian, dari analisis ini dapat diketahui apakah item tertentu dapat
mewakili sebuah faktor atau tidak. Jika sebuah item melanggar tiga persyaratan
tersebut item tersebut dianggap gugur dan tidak dilibatkan lagi dalam analisis
selanjutnya. Tahap selanjutnya dalam confirmatory factor analysis yaitu komputasi
composite/ construct reliability measure (ukuran reliabilitas konstruk/ komposit.
Adapun teknis komputasi ini menggunakan rumus sebagai berikut (Fornel & Larcker
dalam Wijanto, 2009):

Construct Reliability

stdloading 2
stdloading 2 error

Tahap Kedua, analisis item dengan pendekatan item response theory dengan 1 parameter
logistik (Raschs model) dengan menggunakan bantuan software Quest. Proses ini merupakan
kelanjutan dari analisis yang pertama yaitu confirmatory factor analysis. Dalam analisis
dengan pendekatan Raschs model ini, hanya disertakan item yang memiliki t-value yang
signifikan.
19

Raschs model itu sendiri merupakan suatu formulasi matematik yang menghubungkan
kemungkinan (probability) hasil (benar atau salah untuk butir soal yang dikotomi) apabila
seseorang menjawab suatu butir soal sesuai dengan karakteristik orang dan butir soal
tersebut. Apabila kemampuan orang lebih tinggi dari tingkat kesukaran soal, nilai
kemungkinan orang tersebut menjawab soal dengan benar lebih besar dari 0.50. Sebaliknya,
apabila kemampuan orang lebih rendah dari tingkat kesukaran soal, nilai kemungkinan orang
tersebut menjawab benar kurang dari 0.50. Jika kemampuan orang sama persis dengan
tingkat kesukaran soal nilai kemungkinan orang tersebut menjawab soal dengan benar adalah
0.50 (Hayat, B., 2000).
Matrik respon orang-dengan-soal dapat digunakan untuk mengestimasi parameter
kemampuan pada orang dan kesukaran pada soal. Proses mengestimasi kemampuan orang
disebut pengukuran. Indeks statistik yang dihasilkannya disebut theta (). Nantinya estimasi
kemampuan orang (theta) ini akan digunakan dalam analisis tahap ketiga.
Sementara itu, proses mengestimasi parameter tingkat kesukaran soal disebut kalibrasi.
Dalam hal ini dapat dilakukan seleksi item dengan melihat apakah indeks statistik fit dengan
model. Apabila perolehan angka infit meansquare item tersebut mendekati satu maka dapat
dikatakan item tersebut fit dengan model (Adams dan Khoo,1993). Item soal dikatakan tidak
cocok (tidak fit) dengan model, artinya item soal tersebut berperilaku tidak konsisten dengan
apa yang diharapkan oleh model IRT.
.

20

BAB IV
HASIL
4.1

Analisis factor konfirmatorik first order


Dalam confirmatory factor analysis (CFA) dilakukan pengujian apakah 20 item yang
ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur locus of control. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan membagi menjadi dua bagian perdimensi, bagian
pertama adalah dimensi internal, dan bagian kedua dimensi eksternal.
1. Dimensi internal
Dari hasil analisis CFA yang dilakukan pada dimensi ini, ternyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 100.51, df=35, P-value=0.0000, RMSEA=0.137. Oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit seperti pada gambar 1 dibawah ini:

21

2. Dimensi eksternal
Dari hasil analisis CFA yang dilakukan pada dimensi ini, ternyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 117.28, df=35, P-value=0.0000, RMSEA=0.153. Oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit seperti pada gambar 2 dibawah ini:

22

Dari gambar 1, dan 2, nilai Chi Square menghasilkan P-value > 0.05 (signifikan),
yang artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur
satu faktor saja yaitu locus of control .
Selanjutnya, untuk melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor yang
hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak.
Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item.
Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor,
seperti pada tabel 4.5 berikut.
Tabel.4.5.
Koefesien lambda, dan t-value dimensi internal
Item no

lamda

T value

2.28

7.02

11

5.7

4.03

15

3.59

6.77

20

-6.94

0.75

Tabel.4.5.
Koefesien lambda, dan t-value dimensi eksternal
Item no

Lamda

T value

2.89

6.81

2.01

7.04
23

3.63

6.05

5.36

0.22

10

4.05

5.21

Dari tabel di atas, nilai t bagi koefisien muatan faktor dari seluruh item tersebut
signifikan. Selanjutnya untuk menentukan kualitas item juga perlu dilihat koefesien
lambda dari setiap item.

Model CFA-nya tidak tepat


4.2 Analisis IRT
Semua semua item yang lolos dalam seleksi dengan pendekatan confirmatory factor
analysis diuji kembali dengan pendekatan IRT satu parameter (Rasch model). Adapun
software yang digunakan dalam analisis ini adalah software Quest. Sebagaimana telah
disinggung bahwa dalam pendekatan Rasch model ini akan diketahui indeks
kesukaran (dalam item dikotomik disebut threshold sedangkan dalam item politomik
disebut delta) dan indeks kemampuan (). Mengingat semua item sikap terhadap
matematika memenuhi persyaratan dalam analisis dengan pendekatan CFA, maka
dalam analisis dengan Rasch model ini semua item tersebut diikutsertakan
Dalam output software Quest, cara mudah untuk menentukan suatu item soal
dikatakan fit dengan melihat peta item fit, sebagaimana dapat dilihat pada contoh
berikut ini,
Item dapat dikatakan fit dengan model jika indeks infit meansquare berada di antara dua garis
titik vertical (Adams & Khoo, 1993). Sebaliknya jika indeks infit meansquare sebuah item
berada di luar kedua garis titik vertikal, maka item ini dikatakan tidak cocok (tidak fit)
dengan model, artinya item soal tersebut berperilaku tidak konsisten dengan apa yang

24

diharapkan oleh model. Secara umum informasi mengenai item yang tidak fit dapat dilihat
pada Tabel 4.9. berikut;

4.3 kesimpulan
4.4 Saran

25

Daftar pustaka
Friedmen, H. S., & Schustack, M. W. (2008). Kepribadian Teori Klasik edisi ke-3. Jakarta:
Erlangga.
Twenge, J. M., Zhang, L., & Im, C. (2004). It's beyond my control: A cross-temporal metaanalysis of increasing externality in locus of control, 1960-2002. Personality and Social
Psychology Review, 8, 308-319.
Kutanis, R. O., Mesci. M. And vdr, Z. (2011). The Effects of Locus of Control On
Learning Performance: A Case of An Academic Organization. Journal of Economic And
Social Studies, 1, 113-136
Solso, R. L., Maclin, O. H. & Maclin, M. K. (2007). Psikologi Kognitif, Edisi Kedelapan.
Jakarta: Erlangga.
Hanafiah, N. & Suhana, C. (2012). Konsep Strategi Pembelajaran.
Bandung: Redaksi Refika.
Robbins, S. P., & Judge, T, A. (2009). Perilaku Organisasi: edisi ke-12.
Jakarta: Salemba Empat
Baron., Byrne. D,. (Social Psycology: Understanding Human Interaction:
Eight Edition. United State of Anerica: Allin and Bacon Inc.
Petri, H.L. (1980). Motivation: Theort and Recearch. California: Wadsworth
Publishing
Thorpe, L.P. (1960). The Psychology of Mental Health. New York: The
Ronald Press Company.

26

Anda mungkin juga menyukai