Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tonsilitis adalah inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Organisme penyebabnya yang utama meliputi streptococcus atau staphylococcus
(Charlene J. Reeves,2001).
Tonsil dikenal di masyarakat sebagai penyakit amandel, merupakan penyakit
yang sering di jumpai di masyarakat sebagian besar terjadi pada anak-anak. Namun tidak
menutup kemungkinan terjadi pada orang dewasa, dan masih banyak masyarakat yang
belum mengerti bahkan tidak tahu mengenai gejala-gejala yang timbul dari penyakit ini.
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif
dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi, dan
mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan
jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak berhasil dengan
pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan. Jika penyebabnya
bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami
kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotic, sehingga sering
dilakukan pengangkatan dari tonsil atau disebut tonsilektomi. Kriteria untuk bisa
dilaksanakan tonsilektomi sekarang ini adalah bila terjadi 3 hingga 4 episode tonsiltitis
atau faringitis selama satu atau dua tahun. Tonsil perlu diambil 4-6 minggu setelah abses
peritonsilar muncul (Charlene J. Reeves,2001).

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1.

2.2.

Identitas Pasien
Nama

: Ahap

Umur

: 34 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Wanasaba

Tanggal masuk

: 16 Desember 2014

Anamnesa
2.2.1. Keluhan Utama
Nyeri menelan
2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan datang ke poli THT RSUD R.SOEDJONO Selong
dengan keluhan utama nyeri menelan sejak 2 bulan yang lalu, nyeri menelan
dirasakan tambah hebat 1 minggu yang lalu. Nyeri menelan dirasakan saat
makan makanan yang pedas dan gorengan. Pasien mengaku terasa tidak enak di
tenggorokan dan merasa bau mulut. Nafsu makan menurun. Suara sengau (-),
sesak (-), batuk (-), pilek (-), demam (+) 1 minggu yang lalu, nyeri telinga (-),
sakit kepala (-), suami pasien mengaku pasien sering ngorok saat tidur.
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien pernah mengalami kejadian yang sama 6 bulan yang lalu
b. Riwayat hipertensi (-)
c. Riwayat asma (-)
d. Riwayat diabetes mellitus (-)
2.2.4. Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
dengannya
2.2.5. Riwayat pengobatan
Pasien mengatakan tidak pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya
2

2.2.6. Riwayat alergi


Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi
2.3.

2.4.

No
.

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tekana darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 90X/menit
Pernapasan
: 20 X/menit
Pemeriksaan Fisik Telinga :

Pemeriksaan

Telinga kanan

Telinga kiri

Telinga

1.

Tragus

Nyeri tekan (-), edema (-)

Nyeri tekan (-), edema (-)

2.

Daun telinga

Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam


batas normal, hematoma (-), batas normal, hematoma (-),
nyeri tarik aurikula (-)

3.

Liang telinga

Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),


furunkel

(-),

otorhea (-)
4.

Membran timpani

nyeri tarik aurikula (-)

edema

(-), furunkel

(-),

edema

(-),

otorhea (-)

Intak. Retraksi (-), bulging Intak. Retraksi (-), bulging


(-), hiperemi (-), edema (-), (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-),

cone of light perforasi (-), cone of light (+)

(+)

2.5.

Pemeriksaan hidung
3

Pemeriksaan

Hidung kanan

Hidung kiri

Bentuk normal, hiperemi (-),

Bentuk normal, hiperemi (-), nyeri

nyeri tekan (-), deformitas (-)

tekan (-), deformitas (-)

Hidung
Hidung luar

Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi

Hiperemis (-), sekret (-)

Hiperemis (-), sekret (-)

Cavum nasi

Bentuk (normal), hiperemia Bentuk (normal), hiperemia (-)


(-)

Meatus nasi media

Konka nasi inferior

Mukosa hiperemis, sekret (-), Mukosa hiperemis, sekret (-),


massa (-)

massa (-)

Edema (-), mukosa hiperemi

Edema(-), mukosa hiperemi (-)

(-)
Septum nasi

Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus


ulkus (-), abses (-)

2.6.

(-), abses (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda

Mulut

Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Geligi

Normal

Lidah

Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

Uvula

Bentuk normal, hiperemi (+), edema (+)

Palatum mole

Ulkus (-), hiperemi (+)

Faring

Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)

Tonsila

Kanan

kiri

T0

T0

Hiperemi (+), kripta (+),

Hiperemi (+), kripta (+),

detritus (+), permukaan tidak

detritus (+), permukaan tidak

rata (+)

rata (+)

palatine

Fossa

hiperemi (+)

hiperemi (+)

Tonsillaris dan
Arkus

Faringeus

2.7.

Diagnosa
Tonsilitis Kronis
2.8.
Terapi
Cefadroxil 3x1
Dexametason 3x1

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi
seluruh fosa tonsilaris, daerah kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris.
Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga
tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih,
tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi
velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil
tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya anak
saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.
Tonsil terdiri atas:

1. Tonsil fariengalis, agak menonjol keluar dari atas faring dan terletak di belakang
koana
2. Tonsil palatina, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
6

3. Tonsil lingualis, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk


Secara mikroskopik tonsil mengandung 3 unsur utama:
1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah dan saraf
2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium

Gambar 2.1. Anatomi Tonsil

Tonsil dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada daerah
faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan mulai
berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh setelah imunitas yang diwariskan
dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak. Pada saat itu (usia kurang lebih 1 tahun)
tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama pada anak, karena jaringan
limfoid lain yang ada di seluruh tubuh belum bekerja secara optimal.
Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas
seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat memakan kuman dan
virus serta membunuhnya. Sedangakan imunitas humoral bekerja karena adanya sel
(limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh
kuman dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid
terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabklan infeksi tonsil
yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini akan
menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun
7

yang banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoidakan membesar dengan cepat
melebihi ukuran yang normal. Tonsil dan adenoid yang demikian sering dikenal
sebagai tonsilitis yang dapat menjadi sumber infeksi (fokal infeksi) sehingga anak
menjadi sering sakit demam dan batuk pilek. Selain itu folikel infeksi pada tonsil
dapat menyebabkan penyakit pada ginjal (Glomerulonefritis), katup jantung
(Endokarditis), sendi (Rhematoid Artritis) dan kulit (Dermatitis). Penyakit sinusitis
dan otitis media pada anak seringkali juga disebabkan adanya infeksi kronis pada
tonsil dan adenoid.

2.2.

Tonsilitis
2.2.1. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu, tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil
palatina ( tonsil faucial ), tonsil lingual ( tonsil pangkal lidah ), tonsil tuba
eustachius ( lateral band dinding faring/gerlachs tonsil ).
Penyebaran infeksi melalui udara ( air borne droplets ), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
2.2.2. Etiologi
1. Tonsillitis bakterialis supuralis akut paling sering disebabkan oleh
streptokokus beta hemolitikus group A, Misalnya: Pneumococcus,
staphylococcus, Haemalphilus influenza, sterptoccoccus non hemoliticus
atau streptoccus viridens.
2. Bakteri merupakan penyebab pada 50% kasus. Antara lain streptococcus B
hemoliticus grup A, streptococcus, Pneumoccoccus,Virus, Adenovirus,
Virus influenza serta herpes.
2.2.3. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal
ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan
datang akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau
virus.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan


limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak
pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.
Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga
menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas,
bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibular,
sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan
biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh
sukar menelan, dan pada belakang tenggorokan akan terasa mengental.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran
semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut.
Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar
(kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus
kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula.
2.2.4. Manifestasi Klinis Tonsilitis
Secara umum gejala pada tonsilitis dapat berupa nyeri tenggorokan
(yang semakin parah jika penderita menelan), nyeri seringkali dirasakan di
telinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan yang sama ).
Gejala lain: Demam, tidak enak badan, sakit kepala, dan muntah. Selain itu,
pasien juga mengeluh ada penghalang di tenggorokan, tenggorokan terasa
kering, nafas bau, pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak
rata, kriptus membesar dan terisi detritus, tidak nafsu makan, mudah lelah,
pucat, letargi, nyeri kepala, dan disfagia (sakit saat menelan).
9

2.2.5. Klasifikasi Tonsilitis


1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus
pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus. (Mansjoer,A. 2000).
Gejala pada tonsillitis akut antara lain rasa gatal/ kering
ditenggorokan, lesu, nyeri sendi odinafagia, anoreksia, otalgia, suara serak
(bila laring terkena), dan pembengkakan tonsil.

Gambar 2.2 Tonsilitis Akut


Tonsilitis akut dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling serimg adalah
virus epstein barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsil
akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum
dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi pada tonsilitis viral adalah istirahat, minum cukup,
analgetik, dan antivirus diberikan jika gejala berat.

10

2) Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan oleh kuman grup A
Streptokokus hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumokokus, streptokokus viridan dan streptokokus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi
kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak
detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran
semu ( pseudomembrane ) yang menutupi tonsil.
Gejala dan tanda : Masa inkubasi 2-4 hari, dimana tanda dan
gejala yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu
menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga ( otalgia ).
Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih ( referred pain ) melalui
nervus glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeri tekan.
Terapi : Antibiotik spektrum luas seperti penisilin, eritromisin.
Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi : Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis
media akut, sinusitis, abses peritonsil, abses parafaring, bronkitis,
glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat
infeksi pada vena jugularis interna ( sindrom lemierre ). Akibat
hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep
11

apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome


( OSAS ).
Penatalaksanaan pada tonsilitis akut yaitu;
1) Pemberian antibiotik seperti sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur
untuk desinfektan, bila alergi dengan sulfanamid dapat diberikan
eritromisin atau klidomisin. Antibiotik yang adekuat dapat mencegah
infeksi sekunder.
2) Kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan terapi
simptomatik.
3) Pemberian antipiretik

2. Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa
adalah tonsilitis difteri, tonsilitis septik, angina plaut vincent, penyakit
kelainan darah ( seperti leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia
maligna serta infeksi mono-nukleosis ), dan tuberkulosis.
1) Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan
imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman
Coryne Bakterium Diphteriae, kuman yang termasuk gram positif.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit.
Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang.
Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang yang dipakai pada tes
Schick.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun
pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Gejala dan Tanda


12

Gambaran klinis dibagi menjadi 3 golongan yaitu gejala umum,


gejala lokal, dan gejala akibat eksotoksin.
a. Gejala umum
Seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya sufebris, nyeri kepala, nafsu makan menurun, nadi lemah,
dan keluhan nyeri menelan.
b. Gejala lokal
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, bronkus, dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters
hals.
c. Gejala akibat eksotoksin
Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman
difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis,
mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan
otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Gambar 2.3 Tonsilitis Difteri


13

Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan

bawah

membran

semu

dan

didapatkan

kuman

Corynebacterium Diphteriae.
Terapi
Anti difteri serum ( ADS ) diberikan segera tanpa menunggu
hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur
dan beratnya penyakit.
Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-50 mg/bb dibagi dalam
3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kg bb/hari. Antipiretik untuk simtomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus
istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda
usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat menyebabkan payah

jantung

atau

dekmpensasi kordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi,
otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria
sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
2) Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus Hemolitikus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh
karena itu di indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan.
3) Angina Plaut Vincent ( Stomatitis Ulsero Membranosa )

14

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau


triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C. Gejala berupa demam sampai 39 C,
nyeri kepala, badan lemah dan kadang gangguan pecernaan.
3. Tonsilitis Kronis
1) Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau
inflamasi pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis
Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu
yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya
tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).
Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk
menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat
terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan
diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar
limfe, dan bertambahnya jumlah kripta pada tonsil (Brodsky, 2006).

2) Etiiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman
terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil
maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan
(Farokah, 2003). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen
pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna (Colman, 2001).
Pada pendera Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat
15

Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein


Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS,
Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus
beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela (Abdulrahman, 2008).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan
tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering
Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti
Stafilokokus

aureus,

Streptokokus

Stafilokokus

epidermidis

dan

beta

kuman

hemolitikus
gram

negatif

grup

A,

berupa

Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (Suyitno


dan Sadeli, 1995).
3) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang
tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi
kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis
Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10
tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian
prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan
0,6 % usia 45 tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian
yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis
Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %
(Hannafort,

2004).

Sedangkan

Kisve

pada

penelitiannya

memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294


(62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun (Kisve, 2009).
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di
Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
16

didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing,
2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98
(48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita
(Awan , 2009).
4) Patologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu
tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat
kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat
keadaan umum tubuh menurun (Farokah, 2003).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan
disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).
Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat
sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang
menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat
dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi
medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara
permukaan tonsil dan jaringan tonsil (Undaya, 1999).
5) Gejala klinis
Gejala klinis Tonsilitis Kronis yaitu:
a. Nyeri menelan
Dalam penelitiaa mengenai aspek epidemiologi faringitis
mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 41,3%
diantaranya mengeluhkan nyeri menelan sebagai keluhan utama.
b. Bau mulut (halitosis)
Bau yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada
penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan

17

utama halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis


didapati terdapat pada 27% penderita.
c. Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar
dan menyumbat jalan nafas).
d. Pembesaran kelenjar limfe pada leher
e. Butiran putih pada tonsil

6) Pemeriksaan
Dari pemeriksaan dapat dijumpai :
a. Pembesaran tonsil yang bervariasi
Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di tengah. Standart
untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari
medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri
-

(Brodsky, 2006).
T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil
T1: <25%
T2: >25%<50%
T3:>50%<75%
T4: >75%

Sedangkan menurut Thane dan Cody membagi pembesaran


-

tonsil atas :
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak

pilar anterior uvula.


T2: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula
sampai jarak pilar anterior-uvula.

18

T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula

sampai jarak pilar anterior-uvula.


T4: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula

sampai uvula atau lebih.


b. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial
tonsil
c. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju
d. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan
mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi
kronis pada tonsil.
Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis
dengan hasil pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis
pada Tonsilitis Kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada
kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula
(Primara, 1999).
Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa
tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan
yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan
ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran
kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
(Dass, 1988).
Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis
terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik
diagnostik yang didapatkan dari penderita (Kurien, 2000).

7) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
a. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi
pada

tonsil.

Kegagalan

mengeradikasi

organisme

patogen
19

disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi


antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009).
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
Tonsilitis

Kronis

yang

dilakukan

tonsilektomi,

didapatkan

kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab pada


permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap
flora bakteri Tonsilitis Kronis dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus ( Kurien, 2000).

b. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008
di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa
diagnosa

Tonsilitis

Kronis

dapat

ditegakkan

berdasarkan

pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu


ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses
dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis (Ugras, 2008).

8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:
a. Medikamentosa
yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian
antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis
Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika
disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis) (Adam, 1997;
Lee, 2008).
b. Operatif
Dengan tindakan tonsilektomi. Pada penelitian Khasanov et
al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis
20

Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif


yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita
mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi (Khasanov et al, 2006).
Indikasi tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan
seluruh tonsil palatina (Hermani B, 2004). Menurut Mosbys
Dictionary of Medicine, Nursing and Health Profession (2006) pula,
tonsilektomi adalah eksisi surgikal tonsil palatina untuk mencegah
tonsilitis rekuren.
Menurut American Academy of Otolaryngology Head and
Neck Surgery (AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur
surgikal adalah seperti berikut:
Indikasi Absolut
-

Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,


disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner

Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis


dan drainase

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi


anatomi

Indikasi Relatif
-

Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan


pemberian terapi medis

Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang


tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten

Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu


keganasan

Kontraindikasi tonsilektomi

21

Terdapat

beberapa

keadaan

yang

disebut

sebagai

kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat


dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi
yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat
(Kartika, 2008).

Teknik operasi tonsilektomi


Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
-

Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak
akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan
praktis untuk mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau
guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan
dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome
merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang
edematosa atau elongasi.
Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara
ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di
Indonesia, terutama di daerah masih lazim dilakukan cara ini
dibandingkan cara diseksi. Kepustakaan lama menyebutkan
beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi
kecil, biaya kecil (Hermani, B., 2004).

Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan
metode diseksi. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar
bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi
Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka
lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara
ini juga banyak digunakan pada pasien anak.

22

Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal


anesthesia).

Teknik

operasi

meliputi:

memegang

tonsil,

membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari


kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari
fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis
dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi
pada daerah tersebut dengan salin (Hermani, B., 2004).

9) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi:
a. Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai
jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara
kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini
paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang
berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan
aspirasi abses.
b. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan
dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses
dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi
tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis
Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna.
Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan;
selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila
kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik
23

kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu


terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap
dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih
sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal
atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang
tidak rata pada perabaan.

e. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai
pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa
disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
10) Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan
beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang
timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila
antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut
harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap,
bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang
singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa
penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering
terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang
jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).

24

KESIMPULAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu, tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tonsil faucial ), tonsil lingual ( tonsil
pangkal lidah ), tonsil tuba eustachius ( lateral band dinding faring/gerlachs tonsil ).
Secara umum gejala pada tonsilitis dapat berupa nyeri tenggorokan (yang semakin
parah jika penderita menelan), nyeri seringkali dirasakan di telinga (karena tenggorokan dan
telinga memiliki persyarafan yang sama ). Gejala lain: Demam, tidak enak badan, sakit
kepala, dan muntah. Selain itu, pasien juga mengeluh ada penghalang di tenggorokan,
tenggorokan terasa kering, nafas bau, pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan
tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus, tidak nafsu makan, mudah lelah, pucat,
letargi, nyeri kepala, dan disfagia (sakit saat menelan).
Secara umum tonsilitis dibagi menjadi 3 yaitu, tonsilitis akut, tonsilitis membranosa,
dan tonsilitis kronis. Tonsilitis akut dibagi menjadi tonsilitis viral dan tonsilitis bakterial.
Tonsilitis membranosa dibagi menjadi tonsilitis difteri, tonsilitis septik, dan angina plaut
vincent ( Stomatitis Ulsero Membranosa ).

25

DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan, Kepala dan Leher, FKUI,
edisi VI.
Ballenger J.J ; Penyakit Telinga Hidung T enggorokan, Kepala dan Leher, Jilid III,Edisi 13.
Anonim.2008.Tonsilitis.Accessed:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepag
es/1092.htm.
Moses, Scott. 2008. Tonsilitis kronis. Accessed: www.fpnotebook.com.

26

Anda mungkin juga menyukai