TimPLADirektoratPKLKDikdas.
Kemdikbud.
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut UNESCO (2011), angka kejadian penyandang autistik dari tahun ke
tahun terus mengalami kenaikan. National Information Center for Children and
Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa pada tahun 2000
prevalensi autisme mendekati 50 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne
(2003),juga menghasilkan angka prevalensi yang hampir sama yaitu sekitar 60 per
10.000 anak dibawah usia 18 tahun di Amerika Serikat, atau 62,6 per 10.000 anak di
Inggris.Dengan angka-angka prevalensi tersebut UNESCO menyimpulkan pada
pada tahun 2011 angka prevalensi autistik diperkirakan mencapai 6 anak per 1000
kelahiran baru.
Perkembangan jumlah penyandang autis yang terus meningkat, mengharuskan
adanya perhatian yang lebih serius, baik dari masyarakat maupun pemerintah.
Adanya karakteristik yang khas pada penyandang autis, baik pada aspek komunikasi,
interaksi sosial dan perilaku, menyebabkan perlunya layanan yang lebih
komprehenssif dan terpadu, baik dari segi medis, sosial psikologis dan pendidikan.
Mendasarkan pertimbangan tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia
mengembangkan Pusat Layanan Autis (PLA) sebagai salah satu bentuk perwujudan
tanggung jawab pemerintah dalam rangka pemenuhan hak dasar pendidikan yang
mencerdasakan sesuai amanat UUD 1945.
Di Indonesia layanan pendidikan khusus bagi anak autis pada saat ini
sebagian besar dirintis dan dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk sekolahsekolah khusus.Pemerintah lebih banyak memberikan dukungan dalam hal subsidi
pembiayaan, bantuan sarana prasarana, dan lain-lain.Kompleksitas permasalahan
yang dihadapi penyandang autis, mengharuskan pihak penyelenggara sekolahsekolah autis, menyediakan tenaga professional dan tenaga teknis yang tidak
sedikit.Akibatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat khususnya
orangtua anak autis menjadi sangat besar.
Kondisi ini harus segera dicari jalan keluarnya.Orangtua anak autis selaku
penanggung jawab biaya seharusnya dapat diberikan keringanan-keringanan karena
secara fisik, mental dan psikologis mereka sudah terbebani perawatan sehari-hari
1|P a g e
yang harus dilakukan di rumah. Untuk itu pemerintah perlu mengambil langkah
konkrit dan strategis agar masyarakat tidak semakin terbebani pembiayaan yang
besar, serta dapat menyediakan layanan yang optimal dan berkualitas bagi anak autis
sesuai dengan kebutuhannya, baik secara medis, sosial psikologis maupun
pendidikan.
Pusat layanan autis (PLA) merupakan salah satu jalan keluar dari yang
dilakukan pemerintah dalam mengatasi kondisi tersebut.Dengan adanya PLA
diharapkan selain dapat memberikan dukungan (supporting) dalam pemberian
layananpendidikan pada anak autis, sekaligus juga penyediaan intervensi sosial
psikologis dan medis yang dibutuhkan anak autis.PLA sebagai salah satu
lembagapelayanan publik sesuai tugas dan fungsinya dapat memiliki kinerja
sebagaimana diharapkan dan dapat memberikan manfaat secara optimal bagi
masyarakat.Untuk itu perlu disusun pedoman umum penyelenggaraan Pusat
Layanan Autis (PLA) agar kinerja lembaga ini dapat terukur dan dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat pengguna secara transparan.
Tingkat perkembangan pendidikan masyarakat semakin meningkat yang
didukung perkembangan ilmu pengetahuan, modernisasi dan bahkan globalisasi
berimplikasi terhadap kemampuan berpikir masyarakat, dan kuatnya pemenuhan
tuntutan kebutuhan hidup. Pada masa sekarang masyarakat lebih kritis dibanding
masa-masa sebelumnya, tuntutan masyakat terhadap lembaga-lembaga pelayanan
publik semakin kuat. Kuatnya dorongan dan tingginya tuntutan masyarakat
merupakan tantangan bagi institusi penyelenggara layanan publik untuk memiliki
kinerja yang tinggi. Kondisi inilah yang mendorong perlunya disusun Pedoman
Umum PLA.
Pedoman ini
B. Tujuan
Pusat Layanan Autis (PLA) secara umum diselenggarakan
dengan tujuan
menjamin terpenuhinya hak-hak anak autis agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
2|P a g e
C. Landasan
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005) Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana
telah diubah dengan PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5410);
4. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup layanan yang disediakan pada Pusat Layanan Autis, meliputi (1)
layanan identifikasi dan asesmen, (2) layanan intervensi terpadu, (3) layanan
intervensi pendidikan transisi, (4) layanan pendukung dan bersifat pengembangan dan
pengabdian pada masyarakat. Berdasarkan ruang lingkup isi buku pedoman tersebut,
maka buku pedoman ini disusun menjadi beberapa Bab dan bagian yang secara
deskriptif sebagai berikut :
1. Bab Pendahuluan
2. Bab Konsep Dasar
3. Bab Pengelolaan PLA
4. Bab Layanan Identifikasi dan Asesmen
5. Bab Layanan Intervensi Terpadu
6. Bab Layanan Intervensi Pendidikan Transisi
7. Bab Layanan Pendukung
8. Bab Penutup
4|P a g e
BAB II
KONSEP DASAR AUTISME
A. Pengertian
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani auto berarti sendiri yang ditujukan
pada seseorang yang menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri danada
umumnya penderita autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang
melibatkan mereka. Secara umum autisme adalah suatu spectrum disordersatau suatu
gangguan yang mempunyai rentangan panjang dan bergradasi mulai dari yang ringan
sampai berat, artinya walaupun memiliki symptom yang sama, tetapi setiap orang dengan
autisme dipengaruhi oleh gangguannya tersebut dengan cara yang berbeda dan dapat
berakibat berbeda pula pada perilakunya. Symptom dapat terjadi dengan kombinasi yang
berbeda-beda dan dapat bergradasi dari sangat ringan ke sangat berat.Demikian pula
dengan potensi kemampuan kognitifnya bervariasi dari diatas rata-rata sampai retardasi
mental berat.
Autisme pada DSM-5 disebut sebagai Autism Spectrum Disorder (ASD) yaitu
dikarakterisasikan sebagai defisit yang persisten dalam komunikasi dan interaksi sosial
pada berbagai situasi, termasuk defisit hubungan timbal balik sosial, perilaku
komunikatif non-verbal, dan ketrampilan mengembangkan, mempertahankan serta
memahami hubungan.Sebagai tambahan atas defisit dari diagnosis ASD yaitu adanya
pola perilaku ketertarikan yang terbatas, maupun aktivitas yang berulang.
Derajat berat ringannya autisitas anak berdasarkan DSM -5 dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, yaitu :
Derajat Autistik
Derajat 1
Membutuhkan
dukungan/bantuan ringan
Komunikasi Sosial
Dapat berinteraksi sosial
tanpa bantuan, walaupun
mengalami kendala atau
kekurangan dalam
komunikasi sosial
Ketertarikan yang
terbatas dan perilaku
berulang
Keterbatasan yang nyata
paling tidak pada satu hal.
5|P a g e
Derajat 2
Membutuhkan dukungan /
bantuan sedang
Derajat 3
Sangat membutuhkan
dukungan / bantuan
Ditandai dengan
kekurangan dan
keterbatasan dalam
berinteraksi serta dalam
memberikan respon secara
social
Kemampuan
berkomunikasi sosial yang
terbatas
Ditandai dengan
keterbatasan yang nyata
dalam beberapa hal.
rendahmaka
B. Karakteristik
Asosiasi Psikiatri Amerika (2013) memberikan kriteria diagnostik untuk Autism
Spectrum Disorder dalam 5 kriteria, yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria A: Adanya defisit atau kekurangan yang relatif menetap dalam
komunikasi sosial dan interaksi sosial pada berbagai situasi, yang tidak
disebabkan karena keterlambatan perkembangan secara umum, sebagaimana
termanifestasikan dalam berbagaihal di bawah ini, baik menilik pada kondisi
sekarang maupun menilik informasi masa lalu:
6|P a g e
stereotip
gerakan
motorik
sederhana,
ekolalia,
ungkapan
idiosinkratik).
b. Ketaatan pada rutinitas yang berlebihan/kaku, adanya pola ritualistik perilaku
verbal dan non verbal atau kesulitan untuk berubah: (seperti misalnya : distres
ekstrim ketika terjadi prubahan kecil, kesulitan dengan perubahan, pola pikir
kaku, butuh atas rute yang sama atau pemilihan jenis makanan yang sama
setiap hari).
c. Ketertarikan yang terbatas dan kaku, yang abnormal dalam intensitas dan
fokus (seperti kelekatan yang kuat atau preokupasi dengan obyek yang tidak
biasa, ketertarikan yang sangat terbatas).
d. Reaksi yang berlebihan atau sangat kekurangan terhadap rangsang sensori
atau ketertarikan yang tidak biasa terhadap aspek sensori lingkungan: (seperti
misalnya keacuhan terhadap rasa sakit / suhu, respon yang tidak tepat pada
bunyi, aroma atau sentuhan, terpesona secara berlebihan pada lampu atau
obyek berputar).
7|P a g e
3. Kriteria C :Simptom harus mulai terlihat /ada pada masa kanak awal (walaupun
mungkin belum termanifestasi secara nyata sampai kapasitas anak yang terbatas
tidak lagi dapat memenuhi tuntutan secara sosial atau ditutupi dengan strategi
yang dipelajari ).
4. Kriteria D : Simtom yang terjadi menyebabkan gangguan yang signifikan secara
klinis dalam fungsi keseharian pada area sosial, okupasi ataupun area penting lain.
5. Kriteria E : Gangguan ini tidak dapat diterangkan sekedar dengan
ketidakmampuan
intelektual
(gangguan
perkembangan
intelektual)
atau
C. Penyebab
Penyebab autis tidak dapat diketahui secara pasti. Beberapa kejadian
menunjukkan bahwa autis lebih disebabkan oleh factor organic (Happe, 1994), Kanner
(1943) secara tidak langsung berhubungan dengan genetika, sementara Rutters (1978)
menekankan pada perpaduan pada disfungsi struktur otak. Frith (1991) menjabarkan
autism sebagai abnormalitas spesifik perkembangan otak.Beberapa hasil penelitian
meyakini bahwa penyebab ASD menunjukkan keterkaitan antara factor genetic dengan
factor lingkungan, dalam hal tertentu factor genetika dipengaruhi factor kondisi
lingkungan. Hal yang harus ditekankan adalah adanya hubungan antara kesehatan fisik
dan system syaraf. Konsekuensinya sejumlah interfensi biomedig yang telah
dikembangkan untuk anak-anak ASD diasumsikan bahwa system metabilisme tubuh
tidak berfungsi secara optimal. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas hasil
intervensi tersebut tidak menunjukkan hasil yang jelas.
Beberapa ahli
9|P a g e
yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar
yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk
mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah :
teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), Genetik (heriditer), teori
kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori
Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein
Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran
cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan
Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin.
Walaupun pencemaran logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun
hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan
dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa
penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme
metalotionin. Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh
tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam
berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut
air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan
logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan
bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah :
defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi
regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk
netalotianin.
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab
autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield,
Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara
vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian
lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa
imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang
autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara
Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi
10|P a g e
epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka
yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya
dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara
umum. Namun penelitian secara khusus pada penderita autis, memang menunjukkan
hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..
melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi
dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam
hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio
dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh
thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20
hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada
anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi
menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau
pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein
otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal
mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar
protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini
berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autisme
terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian
terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat
dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari
perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan
untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi
dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya
tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut
berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam
menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum
diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan
11|P a g e
beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu
autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh
zatkimiawi ataupun vaksin.
1. Faktor genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme
walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh
gen dari keluarga. Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa
kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95
persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme
hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen. Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen
sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama
sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
2. Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMRyang rutin diberikan
kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran
ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk
mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri. Unsur merkuri inilah yang
selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada
bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin.
Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka
autisme pada anak semakin tinggi.
autis
membutuhkan
layanan
yang
berbeda-beda,
tidak
bias
13|P a g e
BAB III
PENYELENGGARAAN PUSAT LAYANAN AUTIS
A. Pengertian
Pusat Layanan Autis (PLA) adalah unit pelayanan teknis pendidikan yang
memiliki tugas dan fungsi memberikan dukungan layanan dalam perspektif
pendidikan untuk anak-anak autis di masyarakat. Dukungan layanan yang diberikan
diselenggrakan dalam bentuk layanan intervensi terpadu, layanan pendidikan
transisi dan layanan pendukung lainnya seperti layanan konsultasi, layanan
identifikasi dan asesmen, dan layanan bagi orangtua, sekolah dan masyarakat dalam
bentuk pembinaan dan/atau pembekalan agar anak autis memiliki kesiapaan untuk
mengikuti pendidikan baik secara formal atau maupun non formal.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum Pusat Layanan Autis (PLA) diselenggarakan
dengan tujuan
menjamin terpenuhinya hak-hak anak autis untuk dapat hidup, tumbuh dan
berkembang, memperoleh pendidikan sebagaimana anak lain seusianya.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus diselenggarakannya PLA bertujuan untuk memberikan: (1)
memberikan layanan intervensi terpadu anak autis dengan melibatkan berbagai
profesi dan praktisi terkait untuk meminimalisir perilaku autisitas anak; (2)
memberikatan layanan pendidikan transisi oleh tenaga pendidik yang kompeten
agar mereka memiliki kesiapan untuk mengikuti pendidikan pada sekolahsekolah formal maupun non formal; (3) memberikan layanan-layanan
pendukung bagi orangtua, sekolah, dan masyarakat agar memiliki kesiapan dan
kemampuan dalam membimbing memberikan layanan bagi anak-anak autis di
rumah maupun di masyarakat.
a. Layanan Asesmen
Layanan asesmen merupakan salah satu unit layanan di PLA yang
memiliki tugas dan fungsi melakukan layanan identifikasi dan asesmen pada
anak autis. Layanan identifikasi dan asesmen diperuntukkan baik bagi anak
yang akan mengikuti program intervensi di PLA maupun anak yang tidak
bermaksud mengikuti program intervensi di PLA. Tujuannya diagnose
keautisan anak dan pemetaan profile potensi kemampuan anak. Identifikasi
dan asesmen dilakukan terhadap anak autis baik yang sudah teridentifikasi
autis maupun yang belum teridentifikasi sebagai autis, sehingga layanan ini
dapat merupakan layanan awal bagi anak yang akan diintervensi di PLA
maupun layanan khusus identifikasi dan asesmen bagi masyarakat yang
membutuhkan.
Identifikasi dan asesmen dilaksanakan oleh tenaga yang memiliki
kompetensi dan kewenangan dalam bidang yang sesuai.Lingkup kegiatan
layanan identifikasi dan asesmen sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1)
Deteksi/diagnose autis, (2) Asesmen psikologis, (3) Asesmen perkembangan,
(4) Asesmen kecakapan akademik/skolastik, (5) Asesmen medis.
b. Intervensi Terpadu
1) Intervensi psikologis
Layanan intervensi psikologis merupakan intervensi dalam bentuk
interaksi terapeutik yang dilakukan terhadap anak guna meningkatkan atau
mengembangkan
keterampilan
sosial
dan
meminimalisir
hambatan
16|P a g e
Materi
3. Layanan Umum
Layanan umum yaitu layanan yang diberikan bersifat layanan dukungan
(supporting) sehingga tidak bersifat penanganan langsung pada anak. Layanan
pendukung yang ada di PLA meliputi: (1) layanan Informasi dan konsultasi, (2)
Layanan keluarga, sekolah dan masyarakat, (3) Kajian dan pengembangan
a. Layanan Informasi dan konsultasi.
Materi layanan yang diberikan dalam Layanan Informasi dan konsultasi
sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1) Informasi Karakteristik perilaku
anak autis, (2) Parenting anak autis, (2) Permasalahan orang tua di rumah,
(3) Parenting anak autis, (4) Permasalahan pendidikan (belajar), (5)
Permasalahan karir.
17|P a g e
(2)
Bantuan
Intervensi
orang
layanan
penelitian
dan
pengembangan
sekurang-kurangnya
DisdikProv/Kab/Kota/
PerguruanTinggi*)
Dinassocial,
kesehatan,
disnaker
Kepala
Sekretaris
Administrasi
UnitLayanan
Assesmen
UnitLayanan
Intervensi
Terpadu
UnitLayanan
Pendidikan
Transisi
UnitLayanan
Umum
ANAKAUTIS
MASYARAKAT
19|P a g e
PENDAFTARAN
INTERVENSI
TERPADU
SEKOLAH
INKLUSI
PENDIDIKAN
TRANSISI
SEKOLAH
KHUSUS
IDENTIFIKASI
danASESMEN
PENDAMPINGAN
Pendaftaran
MASYARAKAT
PROGRAM LAYANAN
5. Orangtua
Layanan Keluarga,
Sekolah &
Penelitian dan
Pengembangan
Layanan Pelatihan
dan Bimbingan
3. Kebutuhan SDM
4. Perorangan
3. Sekolah
2. Lembaga
1. Masyarakat
20|P a g e
struktural,
minimal
S1/D
IV,
memiliki
kompetensi
manajerial,
kewirausahaan, dan teknis serta didukung pengalaman yang relevan dengan bidang
tugas yang akan diampu. Jumlah SDM yang ditugasi di suatu PLA disesuaikan
dengan potensi dan kebijakan daerah.
Untuk personalia yang ditugasi sebagai tenaga fungsional, memenuhi
kualifikasi pendidikan tetentu.Tenaga fungsional kesehatan minimal dokter, tenaga
fungsional psikologi minimal psikolog, tenaga fungsional pendidik minimal S1/DIV,
tenaga fungsional terapis minimal DIII dengan kompetensi khusus sesuai dengan
bidang layanan yang ditugaskan.
4. Kebutuhan Sarana Dan Prasarana
1. Bangunan Gedung
a. Bangunan gedung memenuhi ketentuan rasio minimum luas lantai terhadap
peserta didik (2 m2/ peserta didik)
b. Memiliki ventilasi udara dan pencahayaan yang memadai,
c. Bangunan gedung menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang mudah,
aman, dan nyaman bagi anak berkebutuhan khusus
d. Bangunan gedung memenuhi persyaratan kenyamanan yaitu mampu
meredam getaran dan kebisingan yang mengganggu kegiatan pembelajaran,
memiliki temperatur dan kelembaban yang tidak melebihi kondisi luar
ruangan, setiap ruang dilengkapi dengan lampu penerangan
2. Memiliki ruang kepala Pusat Layanan Autis dan sekretaris Pusat Layanan Autis
yang dilengkapisarana kursi dan meja
3. Memiliki ruang Administrasi dan staff yang dilengkapi
a. Dilengkapi perabot (meja, kursi, almari, rak buku, instalasi listrik)
b. Dilengkapi lemari dan arsip (instrumen identifikasi dan asesmen, profil,
program layanan individual, rencana kerja PLA, dll)
4. Memiliki ruang observasi
5. Memiliki musholla
6. Memiliki ruang assessment yang juga bisa menyatu dengan ruang bermain yang
dilengkapi fasilitas-fasilitas permainan anak-anak
7. Ruang intervensi
21|P a g e
penggunaannya
kepada
Dinas
Pendidikan
Provinsi/Kabupaten/Kota/Universitas
7. Rencana Anggaran dan Belanja (RAPB)
PLA menyusun RAPB.Penyusunan RAPB melibatkan semua pihak yang
berkepentingan terhadap PLA.Sumber-sumber pembiayaan dan penggunaannya
transparan dan akuntabel.
8. Pemeriksaan
Setiap
pemasukan
dan
pengeluaran
diaudit
oleh
Dinas
Pendidikan
Provinsi/Kabupaten/Kota/Universitas
9. Pelaporan
Setiap pelaporan dilaksanakan secara tertib dan teratur bulanan, triwulan, tahunan
23|P a g e
mutu
PLA
adalah
proses
perencanaan,
pemenuhan,
fungsional,
hendaknya
memenuhi
kualifikasi
pendidikan
layanan yang
bermutu.
3) Masukan environmental :
27|P a g e
kriteria
proses
yang
ditentukan.
Standar
proses
dalam
kegiatan
yang
menunjang
investasi,
operasional,
dan
pengembangan PLA.
2) Pelaksanaan
28|P a g e
29|P a g e
30|P a g e
31|P a g e
BAB IV
LAYANAN IDENTIFIKASI DAN ASSESMEN
1. Pengertian Identifikasi dan Assesmen
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen.
Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai
sebagai proses penjaringan atau proses menemukan apakah anak mempunyai
kelainan/masalah, atau proses pendektesian dini terhadap anak berkebutuhan
khusus.Istilah identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dimaksudkan
merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan
lainnya)
untuk
mengetahui
apakah
seorang
anak
mengalami
Austism Spectrum
pengumpulan
deteksi dan asesmen diagnostik yang dilakukan bagi anak autis dapat digunakan
menentukan upaya pelayanan selanjutnya, apakah anak akan mendapatkan
layanan intervensi dan pendidikan transisi.
Pusat layanan Autis merupakan tempat yang diharapkan menjadi rujukan
layanan bagi anak autis yang telah dideteksi memiliki gangguan perkembangan,
dengan mendapat rujukan anak yang memiliki gangguan perkembangan akan
diasesmen untuk didiagnostik dan dipahami kebutuhannya. Pusat layanan autis
juga menyiapkan anak untuk memiliki kecakapan khusus sebelum memasuki
memasuki pendidikan reguler maupun non reguler, meliputi kecakapan bergaul,
berkomunikasi juga bersosialisasi.
2. Tujuan
Tujuan dari identifikasi, deteksi dini dan asesmen diagnostik yang
dilakukan adalah agar anak autis yang datang ke Pusat Layanan Autis
mendapatkan gambaran tentang gangguan yang dialami secara detail
termasuk didalamnya tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
34|P a g e
intervensi dan
anak gejala sudah ada sejak lahir. Gejala yang sangat menonjol adalah tidak
adanya atau sangat kurangnya kontak mata. Orangtua
bisa melakukan
36|P a g e
asam, manis. Anak bisa tetap makan makanan walau rasanya pahit.
c. Terlalu sensitif terhadap suara atau nada tertentu, bila mendengar suara
halus atau benda-benda yang kasar tidak bisa menginjak batu atau
menginjak karpet.
Gejala-gejala yang digambarkan diatas dapat diobservasi pada anak ,
namun dalam melakukan observasi gejala-gejala tersebut tidak harus ada
pada setiap anak penyandang autisme. Pada penyandang autisme yang berat
mungkin hampir semua gejala diatas ada, tapi pada kelompok yang termasuk
ringan hanya terdapat sebagian saja dari gejala autisme tersebut ada.
Deteksi dini pada anak dengan autisme melalui beberapa tahapan, antara lain
:
1. Deteksi Dini Sejak dalam Kandungan
Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia
masih juga belum mampu mendeteksi resiko autisme sejak dalam
kandungan. Terdapat beberapa pemeriksaan biomolekular pada janin bayi
untuk mendeteksi autisme sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam
batas kebutuhan untuk penelitian.
2. Deteksi Dini Sejak Lahir hingga Usia 5 tahun
Autisme agak sulit di diagnosis pada usia bayi, tetapi penting untuk
mengetahui gejala dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang
lebih cepat akan memberikan hasil yang lebih baik.
38|P a g e
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau
usia anak, gejala tersebut dapat diobservasi pada anak adalah sebagai berikut
:
Usia 0-6 bulan
a. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
b. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
c. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
d. Tidak mengoceh
e. Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
f. Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
g. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
Usia 6 12 Bulan
a. Kaku bila digendong
b. Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
c. Tidak mengeluarkan kata sampai usia 16 bulan
d. Tidak tertarik pada boneka atau mainan lain
e. Memperhatikan tangannya sendiri
f. Tidak merespon jika dipanggil namanya
g. Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
Usia 12 36 bulan
a. Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
b. Melihat orang sebagai benda
c. Kontak mata terbatas, cenderung menghindari kontak mata dengan
orang lain
d. Tertarik pada benda tertentu, misalnya sangat suka benda-benda bulat,
berputar, atau suka benda-benda bungkus-bungkus (kotak) obat atau
makanan
e. Kaku bila digendong
Usia 4 5 Tahun
a. Sering didapatkan ekolalia (membeo)
b. Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
c. Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
d. Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
39|P a g e
40|P a g e
M-CHAT
No Pernyataan
1
Ya
Tidak
10 Apakah anak melihat pada mata anda lebih dari 1 atau 2 detik?
11 Apakah anak sangat sensitif terhadap bunyi?
12 Apakah anak tersenyum pada wajah anda atau senyuman anda?
13 Apakah anak meniru anda? (misalnya bila anda membuat raut wajah
tertentu, anak akan menirunya)
14 Apakah anak memberi reaksi bila namanya dipanggil?
15 Bila anda menunjuk pada sebuah mainan di sisi lain ruangan, apakah
anak tersebut akan melihat pada mainan tersebut?
16 Apakah anak sudah dapat berjalan?
17 Apakah anak juga melihat pada benda yang anda lihat?
18 Apakah anak membuat gerakan-gerakan jari yang tidak wajar di
sekitar wajahnya
19 Apakah anak mencoba mencari perhatian anda untuk kegiatan yang
sedang dilakukannya?
41|P a g e
42|P a g e
43|P a g e
44|P a g e
oleh dokter spesialis syaraf, ahli tumbuh kembang anak, psikolog anak,
atau psikiater.
4. Sebelum
diagnosis
ditegakkan
maka
perlu
diketahui
Riwayat
Autisme.
Diagnosis
perlu
mempertimbangkan
hasil
perkembangannya.
Profesional dalam bidang kesehatan mental, seperti: Dokter Anak,
Psikiater dan Psikolog biasa menggunakan DSM dalam menyusun
diagnosis Autisme. DSM memberikan panduan dan penjelasan mengenai
berbagai gejala dan tanda-tanda yang terkait dengan autisme. DSM juga
memberikan kriteria mengenai berapa jumlah gejala yang harus tampak
untuk dapat menegakkan diagnosis klinis autisme. Pada tulisan ini kami
menggunakan DSM-5 yang mulai disahkan penggunaannya pada bulan
46|P a g e
47|P a g e
2.
3.
bahasa,
misalnya:
perilaku stereotype
yang
sederhana,
3.
4.
tuntutan sosial
verbal dan non-verbal yang tidak dapat dijelaskan oleh kemampuan kognitif
rendah. Gejala termasuk kesulitan dalam akuisisi dan penggunaan lisan dan
bahasa serta masalah dengan tanggapan yang tidak pantas dalam
percakapan tertulis. Keterbatasan dalam komunikasi yang efektif, hubungan
sosial, prestasi akademik, atau kinerja kerja.
Di bawah ini adalah tabel pembagian atau level ASD berdasarkan
keparahan atau berat ringannya gejala sehingga membutuhkan dukungan
atau bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Table. Severity level for autism spectrum disorder
Severity level
Social communication
Restricted, repetitive,
behavior
Level 3
Hambatan
yang
parah
dalam Perilaku
yang
tidak
Sangat
dan
kaku,
membutuhkan
bantuan
kerusakan
substansial
fungsi-fungsinya, untuk
menghadapi
lingkungan
menyebabkan
kesulitan
Membutuhkan keterampilan
komunikasi
yang
sosial kesulitan
yang
hal
kaku,
ekstrem
bantuan
substansial
menghadapi
yang
terbatas
sering
muncul
orang
lain.
Contoh: berbagai
sederhana,
konteks.
Sulit
perhatian
atau
interaksinya tindakan.
Memerlukan
bantuan
menyebabkan hambatan
aktivitas. Bermasalah
5.
51|P a g e
PSIKOLOGIS
ANAK
IDENTIFIKASI
MEDIS
&ASESMEN
CASE
CONFERENCE
PEDAGOGIS
DIAGNOSIS
REKOMENDASI
a. Imitasi (Imitation),
b. Persepsi (Perception),
c. Motorik halus (Fine Motor),
d. Motorik kasar (Gross Motor),
e. Integrasi mata dan tangan (Eye-Hand Integration),
f. Kemampuan kognitif (Cognitive Performance), and
g. Kemampuan kognitif verbal (Cognitive Verbal).
PEP-R juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat perilaku
abnormal yang berhubungan dengan :
a. Relation and Affect (minat terhadap orang dan menjalin kerjasama),
(Developmental
Areas)
dan
empat
area
perilaku
(Behavioral Areas)
4. Memberikan gambaran sehubungan dengan kelemahan dan kelebihan
anak pada masing-masing area dan membandingkan setiap fungsi pada
masing-masing area
Tehnik dalam mengadiministrasikan PEP-R:
1. Menggunakan bahasa verbal. Bahasa yang digunakan sederhana dan
mudah dipahami anak
2. Menggunakan bahasa tubuh
3. Mendemontrasikan bagaimana tugas (item) harus dilakukan oleh anak
(tergantung pada item yang membutuhkan demonstrasi)
4. Melakukan bimbingan fisk: menggerakkan tangan anak dan membantu
menggunakan materi tes (bila perlu).
c. Tes Inteligensi Stanford Binet
Tes inteligensi Stanford Binet adalah suatu tes yang sistem
penilaian untuk menghitung rasio usia mental (MA) telah ditetapkan,
sehingga MA rata-rata untuk sekelompok besar anak-anak usia kronologis
(CA) tertentu, dalam faktanya, sama dengan CA.Tiap butir tes
disesuaikan
dengan
usia
pada
tingkat
dimana
sebagian
anak
57|P a g e
Klasifikasi IQ
140 Keatas
Verry Superrior
120 139
Superior
110 119
90 109
80 - 89
70 79
Borderline defective
69 ke-bawah
58|P a g e
dan
lamanya
waktu
dalam
menjawab.
Skor
tersebut
61|P a g e
BAB V
LAYANAN INTERVENSI TERPADU
A. Pengertian
Secara etimologis, intervensi berasal dari kata intervening yang bermakna
coming between(yang datang diantara; campur tangan). Hal tersebut berarti bahwa
intervensi merupakan usaha untuk mengubah kehidupan yang sedang berjalan
dengan cara tertentu.Intervensi terhadap anak autis berarti adalah upaya mengubah
kehidupan anak autis untuk mengurangi gejala perilaku yang mempengaruhi fungsi
perkembangan anak secara negatif dan mendorong fungsi perkembangan anak
seperti mengembangkan kemampuan berbahasa, tingkah laku, penyesuaian diri,
sosialisasi dan ketrampilan bina diri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan padu sebagai sudah bercampur
dan sudah menjadi satu benar, serta utuh dan kuat; kompak. Sedangkan terpadu
diartikan sebagai sudah dipadu (disatukan, dileburkan menjadi satu). Intervensi
terpadu dengan demikian dapat diungkapkan sebagai kepaduan beberapa komponen
dalam mengembangkan anak autis sehingga memberikan hasil yang lebih besar
daripada ketika masing-masing komponen itu bergerak sendiri. Keterpaduan itu
meliputi ketenagaan, kurikulum, metode, sarana pendidikan, dan lingkungan
(keluarga, sekolah dan masyarakat).
Keterpaduan dalam ketenagaan berarti kerjasama dan kolaborasi antara
berbagai profesi yang menangani anak autis seperti orthopedagog, psikolog, dokter,
dan terapis secara sinergis. Para profesional tersebut tetap bekerja sesuai keahlian
dan batas-batas kompetensi yang dimiliki, namun melakukan koordinasi dan secara
bersama-sama bekerja dalam menangani anak autis yang menjadi klien/murid Pusat
Layanan Autis. Keterpaduan dalam bidang kurikulum dan metode menyangkut
keselarasan program intervensi antara bidang-bidang dan profesional yang
menangani anak autis, berikut keterpaduan alur layanan, sistem dan alur kerja untuk
mendukung intervensi yang dilakukan. Keterpaduan dalam bidang lingkungan
mengimplikasikan pendekatan menyeluruh yang diberikan terhadap anak autis yang
merupakan klien/murid PLA dalam berbagai dimensi kehidupan yaitu dengan
melibatkan berbagai stakeholder terkait terutama keluarga, sekolah dan masyarakat.
62|P a g e
B. Sasaran
1. Anak penyandang autis, setelah mendapatkan diagnosis dari profesional yang
kompeten.
2. Keluarga dari anak autis yang mendapat layanan dari Pusat Layanan Autis.
C. Tujuan
1. Mengurangi hambatan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial.
2. Pengelolaan emosi dan perilaku, termasuk untuk mengurangi manifestasi dari
pola yang terbatas dan berulang pada perilaku, ketertarikan atau aktivitas yang
tidak relevan.
3. Meningkatkan kemandirian sesuai dengan tingkat perkembangan dan derajat
autis yang dimiliki.
4. Memperbaiki kemampuan sensori motor untuk meningkatkan ketrampilan respon
adaptif dalam aktivitas sehari-hari.
5. Mengoptimalkan kesehatan anak (termasuk kesehatan umum, kesehatan secara
khusus yang terkait dengan gejala autis, gizi, dan kesehatan gigi).
psikologis
mencakup
pengembangan
kemampuan
bahasa-
Terapi Perilaku
Sejauh ini metode yang secara luas dianggap sebagai metode paling
berhasil dalam penanganan anak autis adalah metode terapi perilaku
63|P a g e
TerapiBermain
Terapi bermain merupakan penggunaan aktivitas bermain untuk membantu
anak dalam terapi, mengatasi masalahnya masing-masing dalam membantu
anak mencegah atau mengatasi kesulitan psikososial dan mencapai tumbuh
kembang yang optimal. Hal ini termasuk penggunaan material permainan
yang bervariasi dan terapis yang selaras dengan kebutuhan masing-masing
anak yang unik. Terapi bermain bagi penyandang autisme bertujuan untuk
64|P a g e
lain:
teknik
fantasi(fantasy
technique),bermain
untuk
65|P a g e
emosi,menumbuhkan
rasa
percaya
diri,
serta
66|P a g e
itu
dokter
juga
akan
melakukan
terapi
obat-obatan
67|P a g e
Mengajarkan
pada
anak
keterampilan
sosial
sederhana,
misalnya
Melibatkan
anak
autis
dalam
kegiatan
di
lingkungan,
misalnya
dengan unit pendidikan transisi selama sampai dengan maksimal 1 tahun. Anak
mendapat maksimal dua sesi terapi yang berbeda dalam satu hari. Alokasi waktu
masing-masing terapi adalah 1 jam dengan rincian 45 menit pelaksanaan terapi
dan 15 menit pembuatan evaluasi harian.
Program intervensi diimplementasikan dengan berbagai pendekatan/metode,
antara lain: terapi perilaku (Applied Behavior Analysis/Discrete Trial Training,
Floortime, Sonrise, Kaufman, Strategi Visual/Pecs/Compic, dll), terapi okupasi
(sensori integrasi, snoezellen, bina diri dan produktivitas), terapi wicara,
hydrotherapy. Berbagai aktivitas dalam intervensi tersebut dapat dilakukan
secara individual maupun kelompok. Selain program-program intervensi
tersebut, terdapat intervensi yang bersifat insidental meliputi kesehatan umum,
gizi, gigi dan mulut serta kesehatan khusus terkait gejala autis yang
menggunakan terapi biomedik dan/atau medikamentosa.
4. Evaluasi harian, mingguan, dan triwulan.
Evaluasi periodik dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kemajuan
yang dimiliki anak pada setiap tahapan. Informasi ini berguna untuk mengetahui
apakah program yang dijalankan sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan
dan mengetahui hambatan dalam pelaksanaan program sehingga dapat segera
diberikan penanganan yang sesuai.
5. Evaluasi semester
Hasil evaluasi semester berbeda dari evaluasi periodik lain akan menentukan
tindak lanjutprogram. Ada dua alternatif rekomendasi tindak lanjut, yaitu anak
melanjutkan intervensi terpadu paralel dengan unit pendidikan transisi atau anak
menjadi tanggung jawab penuh unit intervensi terpadu.
6. Evaluasi akhir implementasi intervensi terpadu
Hasil evaluasi akhir akan menentukan tindak lanjut. Ada dua altrnatif
rekomendasi tindak lanjut, yaitu anak menjadi tanggung jawab penuh unit
intervensi terpadu atau anak mengalami pengurangan jam intervensi dan
mendapat penguatan program di rumah.
69|P a g e
70|P a g e
F. Pelaksana
Layanan intervensi terpadu akan dilaksanakan oleh beberapa profesi dengan
kompetensi khusus untuk menangani dan mengembangkan anak autis, meliputi
orthopedagog, psikolog, dokter dan terapis. Keterpaduan antara profesi dalam menangani
anak autis akan sangat menentukan keberhasilan intervensi yang dijalankan, sehingga
diperlukan kolaborasi antar profesional yang terlibat.
Pendidikan yang berhasil untuk anak autis memerlukan kolaborasi antara
bermacam
profesi
dan
pemangku
kepentingan.
Kolaborasi
profesional
dapat
didefinisikan sebagai gaya interaksi langsung antara (paling tidak) dua pihak setara
yang secara suka rela terlibat dalam pengambilan keputusan bersama ketika mereka
bekerja untuk tujuan yang sama. Sebagai contoh, terapis wicara dan ortopedagog perlu
bekerja sama untuk mengembangkan kemampuan komunikasi untuk anak autis. Sebagai
tambahan, diperlukan tim kolaboratif lintas disiplin untuk menunjang dan mendorong
pendidikan untuk anak autis.
Terdapat berbagai macam bentuk kolaborasi profesional yang mungkin dilakukan
untuk menangani anak autis, yaitu:
Tim Multidisiplin : terdiri dari anggota yang mewakili beragam sudut pandang dan
disiplin, namun dengan jumlah dan tenggat pertemuan yang terbatas.
Tim Interdisiplin : terdiri dari anggota yang mewakili sejumlah sudut pandang dan
disiplin, namun dengan pertemuan yang lebih sering berlangsung.
Tim Transdisiplin : profesional memberikan unjuk kerja terkait tugas yang diemban
secara interaktif dan, melalui pelepasan peran, dapat berbagi atau mencampur peranperan tersebut, dengan satu atau dua anggota tim bertanggungjawab melaksanakan
intervensi.
G. Sarana/alat/instrumen
Terdapat berbagai macam peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung layanan
intervensi terpadu yang terbagi dalam dua jenis yaitu sarana umum dan sarana khusus.
Sarana umum diantaranya adalah ruang-ruang yang harus memenuhi syarat untuk
kebutuhan intervensi. Sarana khusus berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam
proses terapi. Berbagai peralatan yang digunakan memiliki spesifikasi khusus dan dalam
penggunaannya harus sangat memperhatikan karakteristik anak, karena anak autis
memiliki karakter dan kepekaan yang berbeda-beda dari sisi sensori motornya. Meskipun
71|P a g e
demikian terapis perlu memiliki pendekatan yang kreatif atas alat-alat tersebut, mulai
dari kreativitas dalam ragam alat yang digunakan, kreativitas dalam penggunaan alat-alat
tersebut, hingga kreativitas dalam pengadaan berbagai alat alternatif yang mungkin tidak
ada di pusat layanan autis.Misalnya pelaksanaan terapi okupasi tidak memerlukanalat
atau media yang cukup berarti. Semua media bisa digunakan, yang penting adalahtujuan
terapinya. Satu media bisa digunakan untuk beberapa tujuan, itulah uniknya.Katakan
sebuah kertas. Kertas bisa dimodifikasi dengan berbagai macam cara untuk bisadijadikan
media terapi bagi anak yang mengalami gangguan fungsi pada tangannya.
oleh
profesional
terkait
untuk
kepentingan
intervensi
ini,
pemantauan
perkembangan anak juga dilaksanakan dengan case conference antar profesional yang
terlibat secara berkala, sehingga informasi yang tercakup menjadi lebih komprehensif.
Demikian pula, tindak lanjut atas evaluasi program intervensi yang diberikan kepada
anak harus melibatkan berbagai profesional yang terlibat, termasuk dengan
memperhatikan informasi dan masukan yang diberikan oleh orang tua/wali.Setelah
menyelesaikan program intervensi terpadu, anak autis dapat melanjutkan program di
Unit Pendidikan Transisi berdasarkan rekomendasi dari unit layanan intervensi terpadu
dengan disertai laporan hasil dan kesimpulan.
72|P a g e
BAB VI
LAYANAN PENDIDIKAN TRANSISI
A. Pengertian
Transisi ke sekolah secara umum dipahami sebagai periode penuh tekanan untuk
semua anak dan keluarganya. Transisi ke sekolah merupakan tonggak awal yang
sangat penting dalam kehidupan dan perkembangan anak-anak berkebutuhan
khusus. Pentingnya pengalaman memasuki sekolah untuk pengembangan
akademik dan kemampuan sosial dinyatakan secara jelas dalam berbagai literatur
(Maxwell & Eller, 1994; Rous et al, 2007). PLA sebagai bagian dari penanganan
anak berkebutuhan khusus autis menyadari pentingnya layanan pendidikan
transisi bagi mereka.
Program pendidikan transisi adalah program layanan pembelajaran/pendidikan
kepada anak-anak autis di Pusat Layanan Autis (PLA). Program pendidikan
transisi memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Merupakan bagian integral dari pelayanan yang ada di PLA.
2. Dilaksanakan setelah proses indentifikasi dan asesmen.
3. Dilaksanakan setelah dan/atau bersamaan dengan program intervensi terpadu.
4. Bersifat sementara/transisi (kurang lebih 1 tahun), sebelum memasuki
lembaga pendidikan lebih lanjut yang sesuai dengan perkembangan
terbaiknya.
5. Dipriotitaskan kepada penggalian dan pengembangan kemampuan bidang
akademik sebagai dasar pertimbangan untuk penempatan pendidikan lebih
lanjut.
B. Tujuan
Program pendidikan transisi memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengenali potensi kemampuan anak dalam bidang akademik dan bidangbidang perkembangan lainnya seperti bahasa komunikasi, sosio emosional,
motorik (ketrampilan menulis), bina diri, ketrampilan membaca, ketrampilan
berhitung, dan seni dan prakarya.
73|P a g e
C. Subjek/sasaran
Program pendidikan transisi diberikan kepada seorang atau sekelompok anak
autis yang terdaftar di Pusat Layanan Autis. Anak autis yang mengkuti program
pendidikan transisi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Terdaftar sebagai peserta didik di pusat layanan autis.
2. Telah mengikuti proses identifikasi dan asesmen dan telah didiagnosis
sebagai autis.
3. Telah mengikuti program intervensi terpadu sekurang-kurangnya selama 1-3
bulan.
D. Waktu
Program pendidikan transisi berlangsung maksimal 12 bulan. Program dapat
dipercepat atau diperpanjang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan atas dasar
penilaian dan pertimbangan lembaga dengan pertimbangan utama perkembangan
anak. Setelah kurun waktu 12 bulan, Pusat Layanan Autis (PLA) akan
menempatkan anak ke lembaga pendidikan (sekolah) yang sesuai dengan
perkembangan terbaik anak.
E. Manajemen pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran di program pendidikan transisi mengikuti beberapa
ketentuan umum sebagai berikut:
1. Pembelajaran dapat dilaksakan secara individual atau klasikal. Jika jumlah
anak hanya ada satu, atau karakteristik usia/kemampuan/perilaku anak sangat
unik, maka guru dapat melaksanakan pembelajaran secara individual.
2. Anak-anak dengan karakteristik perkembangan yang relatif homogen, dapat
dilayani melalui pembelajaran klasikal.
74|P a g e
3. Jumlah siswa dalam satu kelas klasikal maksimal 5, yang dilayani oleh 2-3
guru.
4. Bobot belajar dalam 1 minggu adalah 18 jam pelajaran, yang meliputi 7
bidang pengembangan yaitu (1) bahasa komunikasi, (2) sosio emosional, (3)
motorik (ketrampilan menulis), (4) bina diri, (5) ketrampilan membaca, (6)
ketrampilan berhitung, dan (7) seni dan prakarya.
4.
menit).
Berikut
disajikan
contoh/ilustrasi
pengaturan
jadwal
Jam
09.0010.00
10.0011.00
11.0012.00
Senin
Transisi
Hari/bidang pengembangan
Selasa
Rabu
Kamis
Intervensi
Transisi
Intervensi
Kamis
Transisi
Transisi
Intervensi
Transisi
Intervensi
Transisi
Transisi
Intervensi
Transisi
Intervensi
Transisi
7. Ruang belajar klasikal minimal berukuran 30 m2 (5x6 m), nyaman dan kaya
dengan display yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
F. Kurikulum
1. Kompetensi inti
Kompetensi inti adalah kemampuan-kemampuan utama yang harus dikuasai
oleh anak autis setelah mengikuti program pendidikan transisi. Ada 4
kompetensi inti yang diharapkan dikuasai oleh anak yaitu sebagai berikut:
75|P a g e
Bidang pengembangan
Sosio Emosional
Bina diri
Keterampilan Membaca
Keterampilan Berhitung
Jumlah
Bobot belajar/minggu
18
3. Kompetensi dasar
76|P a g e
G. Tenaga Pendidik
1. Tenaga yang akan melayani anak autis di program transisi adalah guru
pendidikan khusus.
2. Guru pendidikan khusus adalah guru yang memiliki keahlian dan kualifikasi
pendidikan di bidang pendidikan khusus.
3. Guru pendidikan khusus yang mengajar di program pendidikan transisi harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Berkualifikasi pendidikan S1 dari jurusan/program studi pendidikan
khusus/pendidikan luar biasa.
b. Berkualifikasi pendidikan S1 non-pendidikan khusus, yang telah
mengikuti dan lulus pendidikan profesi dalam bidang pendidikan khusus.
c. Berkualifikasi pendidikan S1 non-pendidikan khusus, yang telah
mengikuti pendidikan tambahan di bidang pendidikan khusus dari
lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
d. Memiliki keahlian dan pengalaman dalam mendidik anak autis.
H. Asesmen akademik
1. Sebelum memulai pembelajaran di program pendidikan transisi, guru harus
melakukan asesmen akademik (educational assessment).
2. Asesmen akademik adalah proses pengumpulan data/informasi mengenai diri
anak yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan program pembelajaran.
77|P a g e
akademik
bertujuan
untuk
mengenali
kemampuan
anak,
8. Jika asesmen dilakukan melalui kegiatan pengamatan, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
79|P a g e
Namaanak
TanggalLahir
NamaOrangTua
Diagnosa
Tujuanjangka
Panjang
:
:
:
:
Periode
Namaguru
PenanggungJawab
:
:
:
Perorma Anak
Tujuan Jangka
Pendek
Strategi
Media
PIC
Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar. Oleh karena itu guru
harus memiliki sikap dan tutur bahasa yang baik
Guru harus bersikap tegas terhadap manipulasi perilaku yang muncul dari
anak, menegakkan aturan kegiatan belajar.
Jika anak tantrum atau marah saat kegiatan belajar, guru harus mengambil
tindakan mengeluarkan anak tersebut dari kelas untuk ditenangkan
sehingga tidak mendistraksi kegiatan pembelajaran di kelas.
2. Pendekatan
-
Instruksi terfokus
Pendekatan ini dilakukan pada kondisi awal, dengan memberikan
pemahaman instruksi individual
81|P a g e
Pengalaman belajar
Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan pengalaman belajar
(misalnya : naik alat transportasi)
Pengayaan/Stimulasi
Pendekatan ini dilakukan dengan menambah pemahaman anak atau
mengenalkan hal-hal baru
Integratif
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan kegiatan integratif
dalam kelompok kecil maupun besar
3. Strategi
Dalam pelaksanaan pembelajaran pada kelas transisi, kurikulum yang ada
akan terbagi menjadi kurikulum pembelajaran dalam dimensi yang berbasis
akademik dan berbasis intervensi (kekhususan). Bidang pengembangan sebagai
kegiatan untuk menerapkan tujuan pembelajaran khusus seperti pengembangan
perilaku, sosial emosional, bahasa dan komunikasi. Kegiatan belajar tidak selalu
dilakukan secara konvensional, yaitu bagaimana cara anak mampu memahami
tujuan pembelajaran itu secara menyeluruh. Tetapi kegiatan bisa dimodifikasi
untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran khusus. Kegiatan pembelajaran bisa
dilakukan dengan cara sebagai berikut ;
1. Pembentukan
Pembelajaran dengan tujuan pembentukan adalah kegiatan yang dirancang
dan direncanakan untuk membentuk hal yang baru seperti pembentukan
aturan baru, pembentukan kebiasaan dan lain sebagainya.
2. Pemudaran/penghilangan
Pembelajaran dengan tujuan pemudaran adalah kegiatan pembelajaran
yang dirancang dan direncanakan untuk memudarkan atau menghilangkan
hal-hal yang tidak diharapkan muncul, misalnya; menghilangkan perilaku
agresif, impulsif atau menghilangkan kebiasaan yang tidak baik
3. Bantuan
Pembelajaran dengan tujuan memberikan bantuan atau dorongan saat anak
melakukan kegiatan pembelajaran. Diharapkan bantuan tersebut akan
hilang secara bertahap. Biasanya metode ini digunakan saat guru
memberikan materi baru atau pemahaman baru.
82|P a g e
4. Model/Contoh
Kegiatan pembelajaran dengan meniru/modeling adalah kegiatan yang
dilakukan dengan memberi contoh terlebih dahulu kepada anak diharapkan
anak meniru apa yang dicontohkan. Kegiatan imitasi gerak seperti menari,
melakukan gerak sederhana mewakili kata kerja seperti melompat dan lain
sebagainya.
5. Bermain
Kegiatan pembelajaran dengan bermain adalah kegiatan yang dilakukan
sambil bermain, bisa permainan dengan kelompok kecil atau kelompok
besar
6. Generalisasi
Kegiatan pembelajaran dengan cara generalisasi adalah kegiatan yang
dilakukan untuk menggeneralisasi kemampuan pemahaman anak terhadap
ligkungannya. Misalnya menggeneralisasi pemahaman anak terhadap
warna atau bentuk.
7. Penguatan/Pengukuhan
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan penguatan/pengukuhan
positif atau negatif untuk mempertahankan kemampuan yang sudah
dimiliki anak.
8. Analisis tugas
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan tugas atau
lembar kerja yang akan diamati proses dan hasil penyelesaiannya
9. Urutan
Kegiatan pembelajaran dengan urutan adalah kegiatan yang dilakukan
dengan serangkaian kegiatan. Biasanya metode ini dipakai untuk
mempelajari satu rangkaian kegiatan seperti cara mencuci piring, cara
memasak nasi, dan lain sebagainya
10. Fungsional
Kegiatan pembelajaran fungsional adalah kegiatan yang mengarah ke
pemahaman fungsional. Anak-anak diberi pemahaman tentang fungsi
benda atau tempat dan yang lainnya.
83|P a g e
jenis
sekolah
(sekolah
khusus/inklusif)
disesuaikan
dengan
dan
pendidikan
transisi,
PLA
akan
memberikan
85|P a g e
6) Dalam hal anak sudah selesai mengikuti layanan di PLA namun ternyata
masih mengalami hambatan, anak dapat kembali mendapatkan layanan di
PLA. Proses penanganan anak akan direkomendasikan oleh unit layanan
pendidikan transisi meliputi tindakan apa dan unit layanan yang akan
melakukan.
N. Tahapan umum
Program pendidikan transisi dilaksanakan melalui 5 tahapan utama yaitu
(1) Asesmen,
(2) Pengembangan Rencana Pembelajaran,
(3) Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar,
(4) Evaluasi Akhir, dan
(5) Penempatan di Sekolah.
87|P a g e
Pelaksanaan
Pembelajaran
Perencanaan
Pembelajaran
Evaluasi
akhir
Penempatan
kesekolah
SekolahUmum
(inklusif)
SekolahKhusus
Gambar 1: Tahapan Umum Pelaksanaan Program Pendidikan Transisi
1. Asesmen akademik
Asesmen akademik adalah pengumpulan data tentang kemampuan dan
kecenderungan
perilaku
anak
sebelum
dilaksanakan
program
88|P a g e
5. Penempatan ke sekolah
Penempatan adalah upaya untuk menyalurkan atau menempatkan anak pada
lembaga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan terbaik anak. Anak-anak
yang sudah mengikuti program pendidikan transisi akan melanjutkan pendidikan
ke sekolah khusus, sekolah umum (inklusif), atau lembaga lain yang relevan.
89|P a g e
Lampiran1
Kurikulum(mengadopsidarikurikulumAutisterbaru2014tingkatkelas1yangdisesuaikan
denganbidangpengembangandiPLA/PendidikanTransisi)
90|P a g e
Lampiran2
ProgramPembelajaranIndividual
: Arsya
Tanggal Lahir
: Juni 2011
Bahasa Pengantar
: Indonesia
Klasifikasi Kekhususan
: ASD
Mulai Program
: 6 Januari 2014
Periode
: Januari-Maret 2014
Penanggung Jawab
: Ibu Nurma
Guru
: Ibu Mia
SOSIO EMOSIONAL
Tujuan jangka panjang :
Performa saatini
Arsya mampu diarahkan untuk
duduk dengan bantuan gesture.
Saat Arsya jalan atau istirahat
guru berkata Arsyaduduk
(sambilmenunjukkursi)
Arsya juga belum memiliki sikap
duduk yang benar
TujuanJangkaPendek
Arsya mampu duduk dikursi
saat belajar dengan bantuan
minim dengan pencapaian
70%
Strategi
Modeling
Reinforcement
Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh
Guru
Orangtua
Pengasuh
Memberikan media
yang menarik untuk
Arsyaliat dan
diarahkan kemata
yang member
instruksi
Guru
Orangtua
Pengasuh
91|P a g e
Tanggal
Tercapai
Performa saatini
TujuanJangkaPendek
Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Guru
Orangtua
Pengasuh
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Guru
Orangtua
Pengasuh
Tanggal
Tercapai
:
TujuanJangkaPendek
Strategi
Bantuan fisik
Modeling
Reinforcement
Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh
Bantuan fisik
Modeling
Reinforcement
Guru
Orangtua
Pangasuh
92|P a g e
Tanggal
Tercapai
KETERAMPILAN BERHITUNG
Tujuan jangan panjang
Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Guru
Orangtua
Pangasuh
Tanggal
Tercapai
KETERAMPILAN MOTORIK
Tujuan jangka panjang
Performa saatini
Tujuan Jangka
Pendek
Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Guru
Orangtua
Pangasuh
Tanggal
Tercapai
:
TujuanJangkaPendek
Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement
Guru
Orangtua
Pangasuh
Tanggal
Tercapai
93|P a g e
KontribusiOrangtua
Catatan
Tanggal:
Tanggal:
Tanggal:
Orangtua
Guru
Koordinatorprogram
(Nama)
(Nama)
AyahdanIbu
94|P a g e
Lampiran3
ContohRPP
Mata pelajaran
: Bahasa Indonesia
Durasi
Kompetensi dasar
Indikator
Strategi pembelajaran
Kegiatan
1. Pembukaan
Anak duduk berkelompok setengah lingkaran, 1 guru duduk didepan anak, 1 guru
yang lain duduk dibagian belakang anak.
2. Inti
A. Kegiatan kelompok
1 guru memimpin kegiatan kelompok yang berisi 2-3 anak, 1 guru yang
lainnya memantau kegiatan kemandirian 1 anak
Dalam kegiatan kelompok : Guru memberi pemahaman tentang beberapa
nama buah. Lalu guru melakukan kegiatan permainan sederhana yaitu bermain
flash cards, yaitu guru meminta salah satu nama buah lalu anak-anak
memberikan gambar sesuai permintaan guru
B. Kegiatan Individual
1-2 anak yang lainnya tidak mengikuti kegiatan permainan tetapi melakukan
kegiatan individual menyelesaikan 1-2 tugas dengan didampingi 1 guru.
Perlahan kegiatan ini akan dilakukan pengurangan bantuan pengawasan.
Anak diberi lembar tugas atau kegiatan yang akan diselesaikan dengan
mandiri. Siapkan 2 keranjang, 1 keranjang tempat lembar tugas atau kegiatan
95|P a g e
yang akan diselesaikan, 1 keranjang lagi tempat menyimpan lembar tugas atau
kegiatan yang telah selesai.
Siapkan cek lis (berbentuk token) sebagai penanda bahwa anak telah
menyelesaikan kegiatannya.
3. Penutup
Semua anak dan guru merapikan media belajar yang telah selesai dipergunakan. Lalu
meminta anak duduk setengah lingkaran kembali dengan komposisi sama dengan
kegiatan pembuka.
96|P a g e
Lampiran4
FormEvaluasi
EVALUASI HARIAN
97|P a g e
EVALUASI BULANAN
Nama
Periode
Guru
Bahasadankomunikasi
Motorik
Sosioemosional
Keterampilanmembaca
98|P a g e
Keterampilanberhitung
Binadiri
Senidanprakarya
Tanggal:
Guru,
(nama)
EVALUASI TRIWULAN
Nama Anak
Arsya
Tanggal Lahir
Juni 2011
Bahasa Pengantar
Indonesia
Klasifikasi Kekhususan :
Mulai Program
6 Januari 2014
Periode
: Januari-Maret 2014
Penanggung Jawab
Ibu Nurma
Guru
: Ibu Mia
ASD
: Ibu Mia
99|P a g e
100|P a g e
Tanggal
Koordinator Program
101|P a g e
Lampiran 5
Sarana, Media dan Sumber Belajar
102|P a g e