Anda di halaman 1dari 103

DisusunOleh;

TimPLADirektoratPKLKDikdas.
Kemdikbud.

BAB 1
PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut UNESCO (2011), angka kejadian penyandang autistik dari tahun ke
tahun terus mengalami kenaikan. National Information Center for Children and
Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa pada tahun 2000
prevalensi autisme mendekati 50 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne
(2003),juga menghasilkan angka prevalensi yang hampir sama yaitu sekitar 60 per
10.000 anak dibawah usia 18 tahun di Amerika Serikat, atau 62,6 per 10.000 anak di
Inggris.Dengan angka-angka prevalensi tersebut UNESCO menyimpulkan pada
pada tahun 2011 angka prevalensi autistik diperkirakan mencapai 6 anak per 1000
kelahiran baru.
Perkembangan jumlah penyandang autis yang terus meningkat, mengharuskan
adanya perhatian yang lebih serius, baik dari masyarakat maupun pemerintah.
Adanya karakteristik yang khas pada penyandang autis, baik pada aspek komunikasi,
interaksi sosial dan perilaku, menyebabkan perlunya layanan yang lebih
komprehenssif dan terpadu, baik dari segi medis, sosial psikologis dan pendidikan.
Mendasarkan pertimbangan tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia
mengembangkan Pusat Layanan Autis (PLA) sebagai salah satu bentuk perwujudan
tanggung jawab pemerintah dalam rangka pemenuhan hak dasar pendidikan yang
mencerdasakan sesuai amanat UUD 1945.
Di Indonesia layanan pendidikan khusus bagi anak autis pada saat ini
sebagian besar dirintis dan dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk sekolahsekolah khusus.Pemerintah lebih banyak memberikan dukungan dalam hal subsidi
pembiayaan, bantuan sarana prasarana, dan lain-lain.Kompleksitas permasalahan
yang dihadapi penyandang autis, mengharuskan pihak penyelenggara sekolahsekolah autis, menyediakan tenaga professional dan tenaga teknis yang tidak
sedikit.Akibatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat khususnya
orangtua anak autis menjadi sangat besar.
Kondisi ini harus segera dicari jalan keluarnya.Orangtua anak autis selaku
penanggung jawab biaya seharusnya dapat diberikan keringanan-keringanan karena
secara fisik, mental dan psikologis mereka sudah terbebani perawatan sehari-hari
1|P a g e

yang harus dilakukan di rumah. Untuk itu pemerintah perlu mengambil langkah
konkrit dan strategis agar masyarakat tidak semakin terbebani pembiayaan yang
besar, serta dapat menyediakan layanan yang optimal dan berkualitas bagi anak autis
sesuai dengan kebutuhannya, baik secara medis, sosial psikologis maupun
pendidikan.
Pusat layanan autis (PLA) merupakan salah satu jalan keluar dari yang
dilakukan pemerintah dalam mengatasi kondisi tersebut.Dengan adanya PLA
diharapkan selain dapat memberikan dukungan (supporting) dalam pemberian
layananpendidikan pada anak autis, sekaligus juga penyediaan intervensi sosial
psikologis dan medis yang dibutuhkan anak autis.PLA sebagai salah satu
lembagapelayanan publik sesuai tugas dan fungsinya dapat memiliki kinerja
sebagaimana diharapkan dan dapat memberikan manfaat secara optimal bagi
masyarakat.Untuk itu perlu disusun pedoman umum penyelenggaraan Pusat
Layanan Autis (PLA) agar kinerja lembaga ini dapat terukur dan dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat pengguna secara transparan.
Tingkat perkembangan pendidikan masyarakat semakin meningkat yang
didukung perkembangan ilmu pengetahuan, modernisasi dan bahkan globalisasi
berimplikasi terhadap kemampuan berpikir masyarakat, dan kuatnya pemenuhan
tuntutan kebutuhan hidup. Pada masa sekarang masyarakat lebih kritis dibanding
masa-masa sebelumnya, tuntutan masyakat terhadap lembaga-lembaga pelayanan
publik semakin kuat. Kuatnya dorongan dan tingginya tuntutan masyarakat
merupakan tantangan bagi institusi penyelenggara layanan publik untuk memiliki
kinerja yang tinggi. Kondisi inilah yang mendorong perlunya disusun Pedoman
Umum PLA.

Pedoman ini

lebih bersifat umum sebagai rambu-rambu bagi

pemerintah, pemerintah darah, pengawas, maupun pengelola dan penyelenggara


PLA dalam rangka bahan pembinaan, pengawasan, dan penyelenggaraan operasional
PLA.

B. Tujuan
Pusat Layanan Autis (PLA) secara umum diselenggarakan

dengan tujuan

menjamin terpenuhinya hak-hak anak autis agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

2|P a g e

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya


anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Secara khusus diselenggarakannya PLA bertujuan untuk : (1) menyediakan
layanan identifikasi dan asesmen bagi anak autis sehingga dapat diberikan layanan
intervensi yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, (2) memberikan layanan
intervensi terpadu anak autis dengan melibatkan berbagai profesi dan praktisi terkait
untuk meminimalisir perilaku autisitas anak; (2) memberikatan layanan pendidikan
transisi oleh tenaga pendidik yang kompeten agar mereka memiliki kesiapan untuk
mengikuti pendidikan pada sekolah-sekolah formal maupun non formal; (3)
memberikan layanan pendukung bagi orangtua, sekolah, dan masyarakat agar
memiliki kesiapan dan kemampuan dalam membimbing dan melayani bagi anakanak autis di rumah maupun di masyarakat.

C. Landasan
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005) Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana
telah diubah dengan PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5410);
4. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi,

dan

Pemerintahan

Daerah

Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); dan
5. PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan
3|P a g e

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105) sebagaimana telah diubah


dengan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5157).

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup layanan yang disediakan pada Pusat Layanan Autis, meliputi (1)
layanan identifikasi dan asesmen, (2) layanan intervensi terpadu, (3) layanan
intervensi pendidikan transisi, (4) layanan pendukung dan bersifat pengembangan dan
pengabdian pada masyarakat. Berdasarkan ruang lingkup isi buku pedoman tersebut,
maka buku pedoman ini disusun menjadi beberapa Bab dan bagian yang secara
deskriptif sebagai berikut :
1. Bab Pendahuluan
2. Bab Konsep Dasar
3. Bab Pengelolaan PLA
4. Bab Layanan Identifikasi dan Asesmen
5. Bab Layanan Intervensi Terpadu
6. Bab Layanan Intervensi Pendidikan Transisi
7. Bab Layanan Pendukung
8. Bab Penutup

4|P a g e

BAB II
KONSEP DASAR AUTISME

A. Pengertian
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani auto berarti sendiri yang ditujukan
pada seseorang yang menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri danada
umumnya penderita autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang
melibatkan mereka. Secara umum autisme adalah suatu spectrum disordersatau suatu
gangguan yang mempunyai rentangan panjang dan bergradasi mulai dari yang ringan
sampai berat, artinya walaupun memiliki symptom yang sama, tetapi setiap orang dengan
autisme dipengaruhi oleh gangguannya tersebut dengan cara yang berbeda dan dapat
berakibat berbeda pula pada perilakunya. Symptom dapat terjadi dengan kombinasi yang
berbeda-beda dan dapat bergradasi dari sangat ringan ke sangat berat.Demikian pula
dengan potensi kemampuan kognitifnya bervariasi dari diatas rata-rata sampai retardasi
mental berat.
Autisme pada DSM-5 disebut sebagai Autism Spectrum Disorder (ASD) yaitu
dikarakterisasikan sebagai defisit yang persisten dalam komunikasi dan interaksi sosial
pada berbagai situasi, termasuk defisit hubungan timbal balik sosial, perilaku
komunikatif non-verbal, dan ketrampilan mengembangkan, mempertahankan serta
memahami hubungan.Sebagai tambahan atas defisit dari diagnosis ASD yaitu adanya
pola perilaku ketertarikan yang terbatas, maupun aktivitas yang berulang.
Derajat berat ringannya autisitas anak berdasarkan DSM -5 dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, yaitu :
Derajat Autistik
Derajat 1
Membutuhkan
dukungan/bantuan ringan

Komunikasi Sosial
Dapat berinteraksi sosial
tanpa bantuan, walaupun
mengalami kendala atau
kekurangan dalam
komunikasi sosial

Ketertarikan yang
terbatas dan perilaku
berulang
Keterbatasan yang nyata
paling tidak pada satu hal.

5|P a g e

Derajat 2
Membutuhkan dukungan /
bantuan sedang

Derajat 3
Sangat membutuhkan
dukungan / bantuan

Ditandai dengan
kekurangan dan
keterbatasan dalam
berinteraksi serta dalam
memberikan respon secara
social
Kemampuan
berkomunikasi sosial yang
terbatas

Ditandai dengan
keterbatasan yang nyata
dalam beberapa hal.

Ditandai dengan adanya


keterbatasan yang nyata
dalam kehidupan seharihari.

Derajat autistik berdasarkan fungsi kecerdasan dapat dikategorikan ke dalam


3 tingkatan, yaitu :
a. Fungsi kecerdasan rendah.
Anak autis yang temasuk ke dalam kategori kecerdasan
dikemudian hari kecil kemungkinan untuk

rendahmaka

dapat diharapkan untuk hidup

mandiri secara penuh, ia tetap akan memerlukan bantuan orang lain.


b. Fungsi kecerdasan menengah.
Apabila penderita masuk ke dalam kategori kecerdasan menengah maka
memungkinkan untuk dilatih bermasyarakat dan mempunyai kesempatan yang
cukup baik bila diberikan pendidikan khusus yang dirancang secara khusus
untuk penyandang autis.
c. Fungsi kecerdasan tinggi.
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori kecerdasan tinggimaka dengan
pendidikan yang tepat, diharapkan dapat hidup secara mandiri bahkan
dimungkinkan dapat berprestasi, dapat juga hidup berkeluarga.

B. Karakteristik
Asosiasi Psikiatri Amerika (2013) memberikan kriteria diagnostik untuk Autism
Spectrum Disorder dalam 5 kriteria, yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria A: Adanya defisit atau kekurangan yang relatif menetap dalam
komunikasi sosial dan interaksi sosial pada berbagai situasi, yang tidak
disebabkan karena keterlambatan perkembangan secara umum, sebagaimana
termanifestasikan dalam berbagaihal di bawah ini, baik menilik pada kondisi
sekarang maupun menilik informasi masa lalu:

6|P a g e

a. Kendala dalam hubungan sosial-emosional timbal balik: mulai dari cara


bersosialisasi yang abnormal dan kegagalan dalam menjalin komunikasi
timbal balik sampai pada kurangnya kemampuan untuk berbagi tentang halhal yang menarik, berbagi rasa (emosi), suasana hati, hingga kegagalan untuk
memulai atau merespon interaksi sosial.
b. Kendala dalam penggunaan komunikasi non-verbal untuk interaksi sosial:
mulai dari kemampuan yang rendah dalam mengintegrasikan komunikasi
verbal-nonverbal, hingga abnormalitas pada kontak mata dan bahasa tubuh
maupun kurangnya pemahaman dan penggunaan gerak isyarat tubuh, hingga
kekurangan secara total dalam ekspresi wajah dan komunikasi non-verbal.
c. Kendala dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan
sosial mulai dari kesulitan menyesuaikan perilaku agar sesuai dengan
berbagai konteks sosial, sampai kesulitan dalam bermain imajinatif dan
menjalin pertemanan, hingga tidak adanya ketertarikan pada orang lain.
2. Kriteria B:Pola perilaku, ketertarikan, atau aktivitas yang terbatas dan berulang,
sebagaimana dimanifestasikan paling tidak dalam dua hal berikut ini, baik menilik
pada kondisi sekarang maupun menilik informasi masa lalu:
a. Gerakan motorik, penggunaan obyek atau bicara yang stereotip dan berulang
(seperti

stereotip

gerakan

motorik

sederhana,

ekolalia,

ungkapan

idiosinkratik).
b. Ketaatan pada rutinitas yang berlebihan/kaku, adanya pola ritualistik perilaku
verbal dan non verbal atau kesulitan untuk berubah: (seperti misalnya : distres
ekstrim ketika terjadi prubahan kecil, kesulitan dengan perubahan, pola pikir
kaku, butuh atas rute yang sama atau pemilihan jenis makanan yang sama
setiap hari).
c. Ketertarikan yang terbatas dan kaku, yang abnormal dalam intensitas dan
fokus (seperti kelekatan yang kuat atau preokupasi dengan obyek yang tidak
biasa, ketertarikan yang sangat terbatas).
d. Reaksi yang berlebihan atau sangat kekurangan terhadap rangsang sensori
atau ketertarikan yang tidak biasa terhadap aspek sensori lingkungan: (seperti
misalnya keacuhan terhadap rasa sakit / suhu, respon yang tidak tepat pada
bunyi, aroma atau sentuhan, terpesona secara berlebihan pada lampu atau
obyek berputar).
7|P a g e

3. Kriteria C :Simptom harus mulai terlihat /ada pada masa kanak awal (walaupun
mungkin belum termanifestasi secara nyata sampai kapasitas anak yang terbatas
tidak lagi dapat memenuhi tuntutan secara sosial atau ditutupi dengan strategi
yang dipelajari ).
4. Kriteria D : Simtom yang terjadi menyebabkan gangguan yang signifikan secara
klinis dalam fungsi keseharian pada area sosial, okupasi ataupun area penting lain.
5. Kriteria E : Gangguan ini tidak dapat diterangkan sekedar dengan
ketidakmampuan

intelektual

(gangguan

perkembangan

intelektual)

atau

keterlambatan perkembangan umum (global developmental delay). Gangguan


intelektual dan spektrum gangguan autisme seringkali terjadi bersamaan; untuk
membuat diagnosis spektrum gangguan autisme dan gangguan intelektual menjadi
co-morbid, komunikasi sosial harus dibawah dari tingkat perkembangan umum
yang diharapkan.
Secara spesifik karasteristik hambatan dominan pada anak autis
diantaranya sebagai berikut:
a. Prilaku terbatas dan Perilaku mengulang
Hambatan tentang prilaku terbatas meliputi hambatan yang terjadi di
beberapa area berikut ini antara lain: sangat meyukai prilaku yang di ulang
ulang, misalnya flapping dan

menata mobil mainan,mempunyai cara

komunikasi yang tidak lazim /unik antara lain echolalia, monologues,


jargon.Cenderung malakukan kegiatan yang sama atau rutin, cenderung
memiliki ketertarikan yang dominan pada hal-hal yang spesifik (Highly
restricted, fixated special interests). Memiliki sensori yang terkadang sangat
sensitive atau sebaliknya (Hyper-or hypo-reactivity to sensory input).
Memiliki sensori terhadap lingkungan yang tidak lazim seperti, spinning
items, smells, light, Touch dan sejenisnya
b Hambatan kumunikasi dan berinteraksi sosial
Hambatan komukasi sosial dan interaksi sosial meliputi hambatan yang
terjadi di beberapa area

berikut ini antara lain: membuka dan

melanjutkankan percakapan, komunikasi secara non verbal ,berbagi


kesenangan atau hobby dengan orang lain,memahami emosi yang terjadi
pada diri sendiri dan orang lain, berinisiatif untuk melakukan interaksi sosial,
memelihara dan mengembangkan suatu hubungan dalam pergaulan, tidak
8|P a g e

tertarik untuk berteman, prilaku yang sulit beradaptasi terhadap suatu


perubahan ,hambatan dalam berbicara dan logika berfikir.
c. Karakteristik kognitif
Karakteristik kemampuan kognitif anak autis dapat digambarkan sebagai
berikut:
Bisa memiliki diagnosis ganda dengan disabilitas intelektual
Keterampilan terpecah
Bisa memiliki kemampuan kecendekiawanan
Ingatan jangka pendek yang lemah, kuat dalam hafalan
Kuat dalam belajar visual
Berpikir secara hitam - putih
Kesulitan dalam fleksibilitas perilaku
Ketidakmampuan dalam mengelola diri
Koherensi pusat yang lemah

C. Penyebab
Penyebab autis tidak dapat diketahui secara pasti. Beberapa kejadian
menunjukkan bahwa autis lebih disebabkan oleh factor organic (Happe, 1994), Kanner
(1943) secara tidak langsung berhubungan dengan genetika, sementara Rutters (1978)
menekankan pada perpaduan pada disfungsi struktur otak. Frith (1991) menjabarkan
autism sebagai abnormalitas spesifik perkembangan otak.Beberapa hasil penelitian
meyakini bahwa penyebab ASD menunjukkan keterkaitan antara factor genetic dengan
factor lingkungan, dalam hal tertentu factor genetika dipengaruhi factor kondisi
lingkungan. Hal yang harus ditekankan adalah adanya hubungan antara kesehatan fisik
dan system syaraf. Konsekuensinya sejumlah interfensi biomedig yang telah
dikembangkan untuk anak-anak ASD diasumsikan bahwa system metabilisme tubuh
tidak berfungsi secara optimal. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas hasil
intervensi tersebut tidak menunjukkan hasil yang jelas.
Beberapa ahli

juga menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial.

Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat


bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat
bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan

9|P a g e

yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar
yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk
mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah :
teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), Genetik (heriditer), teori
kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori
Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein
Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran
cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan
Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin.
Walaupun pencemaran logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun
hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan
dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa
penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme
metalotionin. Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh
tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam
berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut
air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan
logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan
bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah :
defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi
regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk
netalotianin.
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab
autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield,
Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara
vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian
lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa
imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang
autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara
Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi

10|P a g e

epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka
yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya
dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara
umum. Namun penelitian secara khusus pada penderita autis, memang menunjukkan
hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..

Banyak pula ahli

melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi
dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam
hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio
dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh
thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20
hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada
anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi
menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau
pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein
otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal
mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar
protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini
berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autisme
terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian
terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat
dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari
perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan
untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi
dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya
tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut
berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam
menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum
diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan
11|P a g e

beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu
autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh
zatkimiawi ataupun vaksin.

1. Faktor genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme
walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh
gen dari keluarga. Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa
kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95
persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme
hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen. Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen
sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama
sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.

2. Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMRyang rutin diberikan
kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran
ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk
mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri. Unsur merkuri inilah yang
selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada
bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin.
Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka
autisme pada anak semakin tinggi.

D. Kebutuhan Layanan Anak Autis


Sesuai dengan karakteristik autis sebagaimana dijelaskan di atas, maka setiap
anak

autis

membutuhkan

layanan

yang

berbeda-beda,

tidak

bias

disamaratakan.Meskipun demikian secara umum ada beberapa layanan yang dapat


dipilih, baik sebagian maupun secara keseluruhan. Beberapa layanan yang dibutuhkan
autis tersebut antara lain:
1. Layanan medis, antara lain mencakup pemantauan tumbuh kembang, pemeriksaan
kesehatan umum,
12|P a g e

2. Layanan sosial psikologis, antara lain meliputi intervensi untuk meningkatkan


kemampuan perhatian dan kepatuhan, imitasi, bahasa reseptif, bahasa ekspresif, dan
kemampuan pra akademik. Kesehatan khusus terkait dengan autis, hambatan
motoric dan sensorik, dll.
3. Layanan pendidikan, antara lain meliputi pengembangan kemampuan binadiri,
berbahasa, ketrampilan dasar membaca, menulis, berhitung, dll

13|P a g e

BAB III
PENYELENGGARAAN PUSAT LAYANAN AUTIS
A. Pengertian
Pusat Layanan Autis (PLA) adalah unit pelayanan teknis pendidikan yang
memiliki tugas dan fungsi memberikan dukungan layanan dalam perspektif
pendidikan untuk anak-anak autis di masyarakat. Dukungan layanan yang diberikan
diselenggrakan dalam bentuk layanan intervensi terpadu, layanan pendidikan
transisi dan layanan pendukung lainnya seperti layanan konsultasi, layanan
identifikasi dan asesmen, dan layanan bagi orangtua, sekolah dan masyarakat dalam
bentuk pembinaan dan/atau pembekalan agar anak autis memiliki kesiapaan untuk
mengikuti pendidikan baik secara formal atau maupun non formal.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum Pusat Layanan Autis (PLA) diselenggarakan

dengan tujuan

menjamin terpenuhinya hak-hak anak autis untuk dapat hidup, tumbuh dan
berkembang, memperoleh pendidikan sebagaimana anak lain seusianya.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus diselenggarakannya PLA bertujuan untuk memberikan: (1)
memberikan layanan intervensi terpadu anak autis dengan melibatkan berbagai
profesi dan praktisi terkait untuk meminimalisir perilaku autisitas anak; (2)
memberikatan layanan pendidikan transisi oleh tenaga pendidik yang kompeten
agar mereka memiliki kesiapan untuk mengikuti pendidikan pada sekolahsekolah formal maupun non formal; (3) memberikan layanan-layanan
pendukung bagi orangtua, sekolah, dan masyarakat agar memiliki kesiapan dan
kemampuan dalam membimbing memberikan layanan bagi anak-anak autis di
rumah maupun di masyarakat.

C. Status Kelembagaan PLA


PLA merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Pendidikan Prov/Kab/Kota, dan
atau Perguruan Tinggi sesuai dengan status kebijakan daerah masing-masing.
14|P a g e

D. Tugas Pokok dan Fungsi PLA


PLA memiliki tugas pokok menyelenggarakan pelayanan intervensi pendidikan bagi
anak autismelalui interaksi terapeutik dan interaksi edukatif dengan tujuan
meningkatkan dan mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, perilaku
adaptif serta meminimalisir hambatan psikologis yang di alami. Sehingga pada
gilirannya mereka memiliki kesiapan untuk mengikuti pendidikan di lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal.
Untuk menjalankan tugas pokok tersebut PLA memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan asesmen
2. Menyelenggarakan intervensi terpadu
3. Menyelenggarakan pendidikan transisi
4. Menyelenggarakan layanan umum

E. Ruang Lingkup Layanan


PLA meyediakan empat unit layanan yaitu:(1) Unit Layanan asesmen, (2) Unit
layanan intervensi terpadu, (3) unit layanan pendidikan transisi,(4) unit layanan
umum.Di dalam prakteknya berbagai layanan yang diselenggarakan di PLA dapat
dikelompokkan ke dalam kategori layanan utama dan layanan pendukung.
1. Layanan Utama
Layanan utama adalah layanan pokok yang diberikan di PLA Program
layanan utama yang selenggarakan di PLA terdiri dari (1) Layanan Asesmen, (2)
Layanan intervensi terpadu, (3) Layanan pendidikan transisi.
Program layanan disusun sesuai dengan jenis layanan yang diberikan,
yaitu: Layanan yang bersifat intervensi langsung pada anak program layanan
disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Memberikan
stimulasi guna memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak. (2) Mengarah pada pengembangan berbagai aspek kesiapan anak belajar.
(3) Memperhatikan sifat individual anak. Materi masing-masing program
layanan disesuaikan dengan jenis layanan yang diberikan di PLA yaitu sebagai
berikut:
15|P a g e

a. Layanan Asesmen
Layanan asesmen merupakan salah satu unit layanan di PLA yang
memiliki tugas dan fungsi melakukan layanan identifikasi dan asesmen pada
anak autis. Layanan identifikasi dan asesmen diperuntukkan baik bagi anak
yang akan mengikuti program intervensi di PLA maupun anak yang tidak
bermaksud mengikuti program intervensi di PLA. Tujuannya diagnose
keautisan anak dan pemetaan profile potensi kemampuan anak. Identifikasi
dan asesmen dilakukan terhadap anak autis baik yang sudah teridentifikasi
autis maupun yang belum teridentifikasi sebagai autis, sehingga layanan ini
dapat merupakan layanan awal bagi anak yang akan diintervensi di PLA
maupun layanan khusus identifikasi dan asesmen bagi masyarakat yang
membutuhkan.
Identifikasi dan asesmen dilaksanakan oleh tenaga yang memiliki
kompetensi dan kewenangan dalam bidang yang sesuai.Lingkup kegiatan
layanan identifikasi dan asesmen sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1)
Deteksi/diagnose autis, (2) Asesmen psikologis, (3) Asesmen perkembangan,
(4) Asesmen kecakapan akademik/skolastik, (5) Asesmen medis.

b. Intervensi Terpadu
1) Intervensi psikologis
Layanan intervensi psikologis merupakan intervensi dalam bentuk
interaksi terapeutik yang dilakukan terhadap anak guna meningkatkan atau
mengembangkan

keterampilan

sosial

dan

meminimalisir

hambatan

psikologis yang ada pada diri anak.


Lingkup materi intervensi dalam intervensi psikologis sekurangkurangnya sebagai berikut: (1) Kemampuan perhatian dan kepatuhan, (2)
Kemampuan imitasi, (3) Kemampuan bahasa reseptif, (4) Kemampuan
bahasa ekspresif, (5) Kemampuan pra-akademik.
2) Intervensi Medis

16|P a g e

Materi

layanan yang diberikan/dilaksanakan dalam intervensi

medis sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1) Pemantauan tumbuh


kembang, (2) Pemeriksaan fisik (umum dan khusus), (3) Kesehatan umum,
(4) Kesehatan khusus, (5) Terapi hambatan motorik, (6) Terapi hambatan
sensorik.
2. Pendidikan Transisi
a. Intervensi Layanan Pra Akademik
Materi

layanan yang diberikan dalam intervensi layanan pra akademik

sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1) Kecakapan dasar membaca, (2)


Kecakapan dasar menulis, (3) Kecakapan dasar berhitung, (4) Pengembangan
Senso-motor (sensori motorik), (5) Kognitif, (6) Bahasa dan komunikasi, (7)
Sosial- Emosi, (8) Bina diri.
b. Layanan penempatan pada sekolah formal dan non formal.
Layanan penempatan diperuntukkan bagi anak autis yang telah dinayatakan
memiliki kesiapan untuk mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan baik yang bersifat formal maupun non formal.
Materi layanan yang diberikan dalam layanan penempatan pada sekolah
formal dan non formal sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1) Orientasiadaptasi, (2) Penempatan , (3) Pemantauan, (4) Pendampingan, (5)
Bimbingan belajar

3. Layanan Umum
Layanan umum yaitu layanan yang diberikan bersifat layanan dukungan
(supporting) sehingga tidak bersifat penanganan langsung pada anak. Layanan
pendukung yang ada di PLA meliputi: (1) layanan Informasi dan konsultasi, (2)
Layanan keluarga, sekolah dan masyarakat, (3) Kajian dan pengembangan
a. Layanan Informasi dan konsultasi.
Materi layanan yang diberikan dalam Layanan Informasi dan konsultasi
sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1) Informasi Karakteristik perilaku
anak autis, (2) Parenting anak autis, (2) Permasalahan orang tua di rumah,
(3) Parenting anak autis, (4) Permasalahan pendidikan (belajar), (5)
Permasalahan karir.
17|P a g e

b. Layanan sekolah, keluarga dan masyarakat


Materi layanan yang dilaksanakan dalam layanan keluarga dan masyarakat
sekurang-kurangnya sebagai berikut: (1) Informasi dan konsultasi orang
tua/masyarakat/lembaga,

(2)

Bantuan

Intervensi

orang

tua/masyarakat/lembaga, (3) Home visit


c. Layanan Penelitian dan Pengembangan
Materi

layanan

penelitian

dan

pengembangan

sekurang-kurangnya

memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: (1) Kegiatan penelitian


didasarkan atas proposal/rencana penelitian, (2) Membuat laporan penelitian,
(3) Seminar Hasil/ Laporan hasil, (4) Menulis artikel
d. Layanan Pelatihan dan Bimbingan Teknis
Layanan pelatihan dan bimbingan teknis dapat diberikan kepada guru,
terapis, orang tua dan masyrakat lain yang membutuhkan sesuai dengan
keperluannya. Ruang lingkup layanan meliputi: (1) sosialisasi pendidikan
autis, (2) pembelajaran anak autis, (3) Cara pengasuhan di rumah, (4)
intervensi anak autis.

F. Struktur Organisasi PLA


1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi PLA disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi
daerah, serta didasarkan atas ruang lingkup layanan yang disediakan serta
ketersediaan sumber daya pendukung di daerah.Meskipun demikian secara
nasional perlu ditetapkan struktur organisasi yang minimal harus dipenuhi
untuk sebuah PLA di suatu daerah.Adapun struktur organisasi pengelola
PLA terdiri atas:
a) Kepala
b) Sekretaris
c) Kasi Unit-unit layanan, yang terdiri dari :
(1) Kanit layanan asesmen
(2) Kanit layanan intervensi terpadu
(3) Kanit layanan pendidikan transisi
(4) Kanit layanan umum
18|P a g e

STRUKTUR ORGANISASI PLA

DisdikProv/Kab/Kota/
PerguruanTinggi*)

Dinassocial,
kesehatan,
disnaker

Kepala

Sekretaris

Administrasi

UnitLayanan

Assesmen

UnitLayanan
Intervensi
Terpadu

UnitLayanan
Pendidikan
Transisi

UnitLayanan
Umum

ANAKAUTIS

MASYARAKAT

Di samping pejabat struktural tersebut, sebuah PLA perlu dilengkapi


dengan tenaga teknis fungsional yang meliputi dokter, psikolog, ahli
pendidikan khusus, pendidik dan terapis, pustakawan dan/atau laboran.
Di luar yang telah disebutkan di atas, setiap PLA dapat
mengembangkan organisasi dan personalia secara lebih kompleks sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.

19|P a g e

G. Alur dan Mekanisme Layanan PLA


1. Alur dan Mekanisme Layanan Utama PLA
ANAK
AUTIS

PENDAFTARAN
INTERVENSI
TERPADU

SEKOLAH
INKLUSI

PENDIDIKAN
TRANSISI

SEKOLAH
KHUSUS

IDENTIFIKASI
danASESMEN

PENDAMPINGAN

2. Alur dan Mekanisme Layanan Umum PLA

PUSAT LAYANAN AUTIS

Pendaftaran

UNIT LAYANAN UMUM

MASYARAKAT
PROGRAM LAYANAN

5. Orangtua

Layanan Informasi dan


Konsultasi

Layanan Keluarga,
Sekolah &
Penelitian dan
Pengembangan
Layanan Pelatihan
dan Bimbingan
3. Kebutuhan SDM

4. Perorangan
3. Sekolah
2. Lembaga
1. Masyarakat

20|P a g e

SDM yang ditugaskan di satuan penyelenggara PLA memenuhi kualifikasi dan


kompetensi tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk personil yang ditugasi sebagai
pejabat

struktural,

minimal

S1/D

IV,

memiliki

kompetensi

manajerial,

kewirausahaan, dan teknis serta didukung pengalaman yang relevan dengan bidang
tugas yang akan diampu. Jumlah SDM yang ditugasi di suatu PLA disesuaikan
dengan potensi dan kebijakan daerah.
Untuk personalia yang ditugasi sebagai tenaga fungsional, memenuhi
kualifikasi pendidikan tetentu.Tenaga fungsional kesehatan minimal dokter, tenaga
fungsional psikologi minimal psikolog, tenaga fungsional pendidik minimal S1/DIV,
tenaga fungsional terapis minimal DIII dengan kompetensi khusus sesuai dengan
bidang layanan yang ditugaskan.
4. Kebutuhan Sarana Dan Prasarana
1. Bangunan Gedung
a. Bangunan gedung memenuhi ketentuan rasio minimum luas lantai terhadap
peserta didik (2 m2/ peserta didik)
b. Memiliki ventilasi udara dan pencahayaan yang memadai,
c. Bangunan gedung menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang mudah,
aman, dan nyaman bagi anak berkebutuhan khusus
d. Bangunan gedung memenuhi persyaratan kenyamanan yaitu mampu
meredam getaran dan kebisingan yang mengganggu kegiatan pembelajaran,
memiliki temperatur dan kelembaban yang tidak melebihi kondisi luar
ruangan, setiap ruang dilengkapi dengan lampu penerangan
2. Memiliki ruang kepala Pusat Layanan Autis dan sekretaris Pusat Layanan Autis
yang dilengkapisarana kursi dan meja
3. Memiliki ruang Administrasi dan staff yang dilengkapi
a. Dilengkapi perabot (meja, kursi, almari, rak buku, instalasi listrik)
b. Dilengkapi lemari dan arsip (instrumen identifikasi dan asesmen, profil,
program layanan individual, rencana kerja PLA, dll)
4. Memiliki ruang observasi
5. Memiliki musholla
6. Memiliki ruang assessment yang juga bisa menyatu dengan ruang bermain yang
dilengkapi fasilitas-fasilitas permainan anak-anak
7. Ruang intervensi
21|P a g e

a. Ruang layanan individual


b. Ruang layanan kelompok
c. Ruang layanan klasikal
8. Ruang konsultasi/koordinasi
Sarana ini dipergunakan untuk pelaksanaan program keterlibatan keluarga dan
lembaga dalam mempersiapkan anak autis mendapatkan layanan intervensi.
9. Ruang kamar mandi
a. Setidaknya terdapat 2 ruang kamar mandi dalam satu PLA
b. Pembatas dari dinding, beratap, dapat dikunci, mudah dibersihkan
c. Ruang kamar mandi minimal satu kloset duduk dan satu kloset jongkok,
dilengkapi dengan sarana penyedia air bersih
10. Media pembelajaran akademik
Media pembelajaran akademik terdiri dari berbagai alat dan bahan ajar sesuai
dengan kebutuhan yang akan digunakan selama pelaksanaan intervensi klient
11. Media pembelajaran keterampilan bina diri
12. Ruang Khusus:
a. Ruang sensori integrasi
b. Ruang pengembangan komunikasi (bina bicara)
c. Ruang tenang
d. Ruang audio visual
e. Ruang case conferences.
5. Pembiayaan
1. Jenis dan Sumber pembiayaan
a. Pembiayaan PLA terdiri atas:
1) biaya investasi (penyediaan sarana prasarana, pengembangan SDM,
modal kerja tetap)
2) biaya operasi (gaji personalia, bahan atau peralatan habis pakai, biaya
operasi layanan tak langsung)
3) biaya personal (biaya layanan yang harus dikeluarkan klien. Dapat
bervariasi berdasarkan jenis layanan yang diterima)
2. PLA mengoptimalkan sumber pembiayaan dari pemerintah, pemerintah daerah,
serta sumber lain yang sah.
3. Program pembiayaan
22|P a g e

a. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber pendapatan melalui program yang


rasional dan menyampaikan laporan pertanggung-jawaban secara akuntabel
dan transparan
b. PLA memiliki pedoman pengelolaan biaya yang mengacu pada standar dinas
pendidikan provinsi/kabupaten/kota/universitas setempat
4. Satuan pembiayaan
Satuan biaya dapat dihitung berdasarkan biaya satuan tetap (fixedcost) pada
setiap PLA pertahun dengan standar biaya sama yang dihitung berdasarkan
jumlah klien, lokasi PLA, dan program kegiatan PLA yang sesuai dengan jenis
dan komponen pembiayaan yang relevan
5. Penentuan pembiayaan
Penentuan biaya yang dibebankan pada klien ditentukan berdasarkan persetujuan
pemerintah daerah atau pimpinan universitas atas usul dari Kepala PLA
6. Pengelolaan pembiayaan
Pengelolaan pembiayaan pendidikan dilakukan secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan

penggunaannya

kepada

Dinas

Pendidikan

Provinsi/Kabupaten/Kota/Universitas
7. Rencana Anggaran dan Belanja (RAPB)
PLA menyusun RAPB.Penyusunan RAPB melibatkan semua pihak yang
berkepentingan terhadap PLA.Sumber-sumber pembiayaan dan penggunaannya
transparan dan akuntabel.
8. Pemeriksaan
Setiap

pemasukan

dan

pengeluaran

diaudit

oleh

Dinas

Pendidikan

Provinsi/Kabupaten/Kota/Universitas
9. Pelaporan
Setiap pelaporan dilaksanakan secara tertib dan teratur bulanan, triwulan, tahunan

K. Sistem Penjaminan Mutu Pusat Layanan Autis


1. Latar Belakang
Sistem Penjaminan Mutu pada Pusat Layanan Autis (SPM-PLA)
merupakan hal yang sangat penting. Hal ini tidak saja karena PLA merupakan hal
yang baru, akan tetapi juga karena adanya keinginan dan tanggung jawab yang

23|P a g e

harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan pelayanan yang bermutu bagi


pemangku kepentingan.
Penjaminan

mutu

PLA

adalah

proses

perencanaan,

pemenuhan,

pengendalian, dan pengembangan standar pelayanan pada PLA secara konsisten


dan berkelanjutan, sehingga pemangku kepentingan (stakeholders) internal dan
eksternal PLA yaitu peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orangtua,
masyarakat, dan pemerintah memperoleh kepuasan atas kinerja dan keluaran
PLA.
Sistem Penjamainan Mutu pada Pusat Pelayanan Autis (SPM-PLA) perlu
dibuat agar pengelolaan dan penyelenggaraan PLA memenuhi standar kriteria
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perunang-undangan maupun harapan
dan keinginan dari pemangku kepentingan.PLA sebagai sebuah institusi baru di
lingkungan pendidikan, pada dasarnya merupakan lembaga penyedia jasa layanan
terpadu, yaitu memadukan antara layanan pendidikan, psikologi, kesehatan dan
terapi secara sistemik, simultan dan sistematis bagi anak autis. Sebagai institusi
baru, maka perlu diberikan garis kebijakan secara tertulis tentang bagaimana
pengelolaan dan penyelenggaraan PLA agar ke depan dapat menjalankan tugas
pokok dan fungsinya dengan baik, serta mampu menghasilkan luaran yang sesuai
dengan harapan stakeholders.
Sistem penjaminan mutu pada PLA sangat penting untuk dibuat agar
masyarakat mendapatkan keyakinan bahwa pelayanan yang disediakan di PLA
benar-benar sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan serta dapat
dipertanggung jawabkan, baik secara akademik keilmuan maupun administratif.
2. Tujuan Penjaminan Mutu
Secara umum tujuan penjaminan mutu PLA adalah terjaminnya mutu
penyelenggaraan PLA baik pada masukan, proses maupun keluaran berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, visi dan

misi PLA, serta

mempertimbangkan harapan dan masukan pemangku kepentingan. Kegiatan


penjaminan mutu PLA merupakan salah satu bentuk perwujudan akuntabilitas
dan transparansi pengelolaan PLA.
Secara khusus tujuan penjaminan mutu PLA adalah :
24|P a g e

a. Untuk menjamin bahwa penyelenggaraan PLA mensyaratkan masukan/input


yang mengutamakan pada standar kriteria mutu yang telah ditetapkan
b. Untuk menjamin bahwa penyelenggaraan PLA mensyaratkan proses layanan
yang memenuhi standar kriteria mutu yang ditetapkan
c. Untuk menjamin bahwa penyelenggaraan PLA menghasilkan luaran yang
memenuhi standar kriteria mutu yang diharapkan
3. Sasaran Penjaminan Mutu
Sasaran utama penjaminan mutu PLA difokuskan pada mutu pelayanan
yang disediakan di PLA terdiri atas :
a. Layanan Intervensi terpadu
b. Layanan Pendidikan transisi
c. Layanan Pendukung (supporting), yang terdiri atas : layanan Informasi dan
Konsultasi, layanan deteksi, asesmen dan intervensi awal, layanan keluarga,
sekolah dan masyarakat
4. Ruang Lingkup Dan Indikator SPM PLA
a. Kriteria Kelembagaan
1) Organisasi
Secara organisatoris keberadaan PLA berada di bawah pembinaan Dinas
Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota setempat. Karena sifat layanannya
tepadu baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, psikologi, dan terapi, maka
organisasi PLA dapat berbentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD-PLA),
yang memiliki struktur, personil serta tugas pokok dan fungsi yang khusus.
Struktur organisasi PLA disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi
daerah, dan didasarkan atas ruang lingkup layanan yang disediakan serta
ketersediaan sumberdaya pendukung di daerah.Meskipun demikian secara
nasional perlu ditetapkan struktur organisasi yang minimal harus dipenuhi
untuk sebuah PLA di suatu daerah.
Adapun struktur organisasi tersebut untuk jabatan struktural minimal
meliputi sebagai berikut :
a) Kepala
b) Sekretais
c) Kepala Tata Usaha, dan beberapa staf
25|P a g e

d) Unit-unit layanan, yang terdiri dari :


(1) unit layanan intervensi terpadu
(2) unit layanan pendidikan transisi
(3) unit layanan pendukung, meliputi : layanan informasi dan konsultasi,
identifikasi dan asesmen, serta layanan keluarga, sekolah dan
masyarakat
Di samping pejabat struktural tersebut, sebuah PLA perlu dilengkapi
dengan tenaga teknis fungsional yang meliputi dokter, psikolog, pendidik
dan terapis, pustakawan dan/atau laboran.Di luar yang telah disebutkan di
atas, setiap PLA dapat mengembangkan organisasi dan personalia secara
lebih kompleks sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
2) Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM yang ditugaskan di satuan penyelenggara PLA hendaknya
memenuhi kualifikasi dan kompetensi tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Untuk personil yang ditugasi sebagai pejabat struktural, minimal S1/DIV,
memiliki kompetensi manajerial, kewirausahaan, dan teknis serta
didukung pengalaman yang relevan dengan bidang tugas yang akan
diampu. Jumlah SDM yang ditugasi di suatu PLA disesuaikan dengan
potensi dan kebijakan daerah. Untuk personalia yang ditugasi sebagai
tenaga

fungsional,

hendaknya

memenuhi

kualifikasi

pendidikan

tetentu.Tenaga fungsional kesehatan minimal dokter, tenaga fungsional


psikologi minimal psikolog, tenaga fungsional pendidik minimal S1/DIV,
tenaga fungsional terapis minimal DIII dengan kompetensi khusus sesuai
dengan bidang layanan yang ditugaskan.
3) Sarana Prasarana
Sebuah satuan penyelenggara PLA, harus memiliki sarana dan
prasarana pendukung yang memadai sesuai dengan ruang lingkup
kegiatan dan layanan yang disediakan. Kriteria sarana dan prasarana
dimaksud mencakup :
(1) persyaratan ketersediaan luas lahan
(2) persyaratan ketersediaan luas bangunan
(3) persyaratan ketersediaan ruang-ruang pelayanan
26|P a g e

(4) persyaratan ketersediaan sarana pelayanan teknis pendidikan,


kesehatan, psikologi, dan terapi
(5) persyaratan ketersediaan sarana administrasi dan perkantoran
4) Pembiayaan
Aspek pembiayaan merupakan hal pokok dari keberadaan suatu
UPTD.Karena itu untuk penyelenggaraan UPTD PLA harus didukung
pembiayaan yang jelas, baik dari segi sumber maupun jumlah untuk
mendukung operasional PLA maupun pengembangannya. Sumber
pembiayaan PLA diharapkan dari pemerintah, pemerintah daerah, serta
sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
b. Kriteria masukan (raw input, instrumental input, environmental input)
1) Masukan Peserta didik :
Peserta didik pada PLA adalah anak-anak penyandang autis usia sekolah
dengan prioritas kurang dari usia 18 tahun.
2) Masukan instrumental :
Kurikulum dan program layanan, buku-buku penunjang, sarana dan media
pelayanan.
(a) Kurikulum dan program layanan : untuk memberikan jaminan bahwa
layanan yang disediakan di PLA dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik dan administratif, maka layanan pada PLA menggunakan
kurikulum/program layanan yang dikembangkan bersama oleh
Pemerintah dan satuan penyelenggara PLA.
(b) Buku penunjang : untuk menjamin bahwa layanan yang diberikan
kepada anak autis memenuhi persyaratan akademik dan administratif,
PLA menyediakan buku-buku penunjang sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan kurikulum/program layanan yang digunakan.
(c) Sarana dan media pelayanan : PLA menyediakan sarana dan media
pelayanan yang memadai, dievaluasi dan dikembangkan secara terus
menerus sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dalam rangka menjamin ketersediaan

layanan yang

bermutu.
3) Masukan environmental :
27|P a g e

Untuk menjamin bahwa PLA memperhitungkan factor lingkungan


sebagai bagian dari kondisi yang ikut mempengaruhi keberhasilan dalam
penyediaaan layanan pada PLA, maka PLA dibangun di suatu
lingkungan yang kondusif dan aksesibel bagi masyarakat calon pengguna
PLA.
c. Kriteria proses (perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian)
Sebuah PLA dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, harus memenuhi
standar

kriteria

proses

yang

ditentukan.

Standar

proses

dalam

penyelenggaraan PLA meliputi:


1) Perencanaan
(a) Pengelola PLA menyusun Renana Kerja Pusat Layanan Autis
(RKPLA) jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek.
(b) RKPLA jangka panjang disusun untuk jangka waktu sekurangkurangnya 8 tahun, memuat antara lain rumusan visi, misi, tujuan,
indikator keberhasilan, strategi pencapaian, kebijakan umum, dan
program-program yang akan dilakukan selama jangka panjang
tersebut.
(c) RKPLA jangka menengah disusun untuk jangka waktu sekurangkurangnya 4 tahun, merupakan penjabaran dari program jangka
panjang yang telah ditetapkan sebelumnya.
(d) RKPLA jangka pendek disusun untuk jangka waktu 1 tahun,
merupakan penjabaran dari program jangka menengah. Pada RKPLA
jangka pendek selain harus memuat rencana kegiatan operasional
selama satu tahun, juga harus dilengkapi dengan kebutuhan anggaran
dari masing-masing kegiatan. Karena itu RKPLA jangka pendek 1
tahun selanjutnya disebut Rencana Kegiatan dan Anggaran Pusat
Layanan Autis (RKA-PLA). RKA-PLA hendaknya memuat aspekaspek

kegiatan

yang

menunjang

investasi,

operasional,

dan

pengembangan PLA.

2) Pelaksanaan
28|P a g e

(a) Pengelola PLA melaksanakan kegiatan berdasarkan RKA-PLA yang


telah disusun sebelumnya.
(b) Pengelola PLA membagi tugas kepada semua unit dan bagian yang
ada sesuai dengan organisasi PLA.
(c) Pengelola PLA mengkoordinasikan semua kegiatan pada tahun
berjalan sesuai dengan RKA-PLA agar terjamin pelaksanaanya
sehingga efektif, efisien dan tepat sasran.
3) Pengendalian
(a) Pengelola PLA melakukan pengendalian atas semua kegiatan yang
telah direncanakan untuk mencapai jumlah dan kualitas hasil yang
terbaik, melalui koordinasi, supervisi, monitoring dan evaluasi.
(b) Pengelola PLA melakukan koordinasi internal dan eksternal secara
periodik sesuai kebutuhan
(c) Pengelola PLA melakukan supervisi kepada semua unit dan bagian
untuk meyakinkan bahwa masing-masing unit dan bagian telah
menjalankan tugas dan fungsinya serta program-program yang
menjadi tanggungjawabnya dengan baik dan benar.
(d) Pengelola PLA melakukan monitoring kepada unit dan bagian secara
langsung atau tidak langsung menggunakan instrument monitoring
yang telah ditetapkan.
(e) Pengelola PLA melakukan evaluasi diri dan pelaporan secara rutin
pada setiap akhir tahun anggaran, untuk dilaporkan kepada pihakpihak yang berwenang dan terkait, menggunakan form dan/atau
instrument yang telah ditetapkan oleh Pemerintah/Pemerintah
Daerah/Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
d. Kriteria luaran (output dan outcome)
1) Luaran PLA adalah berupa kualitas hasil layanan yang dapat ditunjukkan
dalam bentuk indikator-indikator belajar dan perilaku peserta didik sesuai
dengan target belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum/program
layanan.
2) Kriteria luaran diukur secara individual bagi setiap peserta didik penerima
layanan, digambarkan dalam bentuk deskripsi perilaku dan/atau prestasi

29|P a g e

yang dapat dilambangkan dengan angka-angka sesuai dengan ketetapan


yang dirumuskan oleh PLA.
3) Gambaran mengenai deskripsi luaran peserta didik, dibuat secara berkala
(bisa mingguan, bulanan, tiga bulanan, semesteran, dan atau tahunan)
sesuai dengan program layanan yang harus diikuti oleh masing-masing
peserta didik.
4) Laporan hasil layanan PLA terhadap peserta didik, disampaikan kepada
orangtua melalui mekanisme dan periode yang ditetapkan oleh pengelola
PLA.
5) Outcome dari luaran PLA dapat diukur berdasarkan kemampuan peserta
didik dalam hal kemandirian, kemampuan mengikuti proses pendidikan
lanjut di sekolah formal, baik melalui jalur sekolah khusus maupun
sekolah regular secara inklusif.
5. Pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu PLA (SPM-PLA)
a. Evaluasi Diri PLA
1) Evaluasi diri PLA dilaksanakan secara periodik pada setiap akhir
tahun ajaran (bulan Juni).
2) Evaluasi diri PLA dilakukan oleh Pengelola PLA dengan penanggung
jawab Kepala PLA.
3) Evaluasi diri PLA menggunakan instrument Evaluasi Diri Pusat
Layanan Autis yang dikembangkan oleh Pemerintah dan/atau PLA
sendiri dengan persetujuan pejabat yang berwenang.
4) Instrumen evaluasi diri PLA mengacu pada model Evaluasi Diri
Sekolah pada umumnya disesuaikan dengan komponen-komponen
yang terdapat pada PLA.
b. Monitoring dan Supervisi PLA
1) Monitoring dan supervisi terhadap PLA dilakukan sepanjang waktu
sesuai kebutuhan
2) Monitoring dan supervisi dilakukan oleh pihak yang berwenang baik
internal maupun eksternal. Secara internal monitoring dan supervise
dilakukan oleh Pimpinan PLA terhadp unit-unit dan/atau bagian yang
menangani layanan sesuai dengan bidangnya. Secra eksternal

30|P a g e

monitoring dan supervise dilakukan oleh pihak Pengawas, Dinas


Pendidikan Kab/Kota/Provinsi setempat dan/atau Pemerintah Pust.
3) Monitoring dan supervisi PLA dapat dilakukan secara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung artinya pihak pemonitor dan
supervisor datang secara langsung ke PLA untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Secara tidak langsung artinya pihak
pemonitor dan supervisor tiak datang secara langsung ke PLA akan
tetapi menggunakan instrument tertentu yang harus diisi oleh pihak
PLA.
4) Monitoring dan supervise PLA yang menggunakan instrument khusus,
dikembangkan oleh Pemerintah dan/atau pihak PLA dengan
pesetujuan pihak yang berwenang.
c. Pelaporan
1) PLA membuat laporan tahunan secara tertulis, dikirimkan kepada
Dinas Pendidikan Kab/Kota/Provinsi setempat, yang tembusannya
dikirimkan ke Direktorat Pembinaan PKLK Dikdas. Format laporan
tahunan PLA ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kab/Kota atau
Provinsi yang membawahi PLA di suatu daerah.
2) Laporan tahunan PLA dibuat oleh pengelola PLA dengan penanggung
jawab Kepala PLA.
3) Laporan tahaunan PLA digunakan oleh pihak Pemerintah/Pemerintah
Daerah dalam rangka pembinaan dan pengembangan PLA untuk
mencapai kinerja terbaik.

31|P a g e

BAB IV
LAYANAN IDENTIFIKASI DAN ASSESMEN
1. Pengertian Identifikasi dan Assesmen
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen.
Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai
sebagai proses penjaringan atau proses menemukan apakah anak mempunyai
kelainan/masalah, atau proses pendektesian dini terhadap anak berkebutuhan
khusus.Istilah identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dimaksudkan
merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan
lainnya)

untuk

mengetahui

apakah

seorang

anak

mengalami

kelainan/penyimpangansecara fisik, intelektual, social, emosional/tingkah laku


dalam pertumbuhan- perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya
Mengidentifikasi masalah berarti mengidentifikasi suatu kondisi atau hal
yang dirasa kurang baik. Masalah-masalah pada anak ini didapat dari keluhankeluhan orang tua dan keluarganya, keluhan guru, dan bisa didapat dari
pengalaman-pengalaman lapangan. Identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang
yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya,
pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Sedangkan
langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen.
Deteksi dan diagnostik

untuk sebuah gangguan merupakan hal yang

penting untuk menjadi acuan dalam langkahlangkah penanganan dini , maupun


dalam pemberian terapi bagi anak. Demikian juga untuk

Austism Spectrum

Disorder, suatu langkah diagnostik juga menentukan penanganan dini dan


pemberian terapi bagi mereka. Kriteria diagnostik Austism Spectrum Disorder
dalam DSM-5 dipakai untuk menyusun langkah deteksi dan diagnostik.
Proses asesmen diagnostik yang dilakukan profesional merupakan hal
yang

penting, karena bila tidak dilakukan dengan mengikuti panduan yang

standar akan dapat menimbulkan keraguan bagi orangtua. Keraguan orangtua


dapat memudahkan untuk menyangkal tentang gangguan yang dialami anak autis,
hal ini akan menghambat usaha deteksi , juga menghambat dalam proses asesmen
diagnostik itu sendiri dan menghambat dalam proses penanganan dini.
32|P a g e

Proses asesmen diagnostik pada umumnya diawali dengan adanya


kekhawatiran orangtua tentang perkembangan anaknya . Dalam hal ini ada
sebagian orangtua yang memperhatikan perkembangan anaknya dan juga cukup
informasi mengenai perkembangan anak pada umumnya, sehingga dapat
merasakan bila anaknya mengalami penyimpangan dalam perkembangan sejak
masih berusia dini. Sehingga orangtua datang kepada profesional untuk
memperoleh pendapat profesional mengenai perkembangan anaknya. Disisi lain
proses asesmen diagnostik dapat juga dimulai dengan adanya rujukan dari
pemerhati anak di Posyandu, Paud dan Taman bermain, yang menginformasikan
bahwa anak mengalami penyimpangan dalam perkembangan. Usaha usaha
memahami gejala ini dikatakan sebagai usaha deteksi untuk mengenal gangguan
anak sedini mungkin.
Deteksi dini merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen
diagnostik. Deteksi atau identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai
sesuatu, yang dimaknai sebagai proses penjaringan atau proses menemukan
apakah anak mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendektesian dini
terhadap anak berkebutuhan khusus.
Istilah deteksi dini atau identifikasi anak dengan kebutuhan khusus
dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga
kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami
kelainan/penyimpangan secara fisik - motorik, bicara, emosi sosial dan kognisi
dalam pertumbuhan - perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya
Deteksi masalah berarti menemukan suatu kondisi atau hal yang dirasa
kurang baik. Masalah-masalah pada anak ini didapat dari keluhan-keluhan orang
tua dan keluarganya, keluhan guru, dan bisa didapat dari pengalamanpengalaman lapangan. Deteksi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat
(sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tua, pengasuh, guru,
dan pihak-pihak yang terkait dengan anak . Sedangkan langkah berikutnya untuk
melakukan pengamatan yang lebih serius tentang gangguan yang terjadi pada
anak sering disebut asesmen.
Asesmen diagnostik merupakan kegiatan profesional yang dilakukan
secara khusus untuk menentukan diagnostik dari gangguan atau kelainan yang
33|P a g e

dialami seseorang. Asesmen didefinisikan sebagai proses

pengumpulan

informasi tentang seseorang anak yang akan digunakan untuk membuat


pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan keadaan anak yang
bersangkutan.
Asesmen diagnostik biasanya dilakukan oleh tenaga profesional, seperti
Dokter anak , Psikolog Klinis , Neurolog, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa .
Proses asesmen secara umum memiliki dua tujuan yaitu ; yang pertama untuk
mendapatkan diagnostik , yang kedua sebagai dasar dalam pemberian intervensi,
merencanakan program pendidikan dan evaluasi. Sebaiknya dalam melakukan
asesmen dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu agar asesmen dapat
memberikan gambaran yang komprehensif mengenai gangguan yang dialami
anak Autis, serta gambaran kelebihan dan kekurangan untuk kepentingan
intervensi dan merancang program pendidikan. Terlebih lagi pentingnya asesmen
yang melibatkan berbagai disiplin ilmu karena Austism Spectrum Disorder
termasuk dalam kelompok Neurodevelopmental Disorder.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah dipaparkan di atas, disusun
pedoman untuk layanan identifikasi , asesmen diagnostik bagi anak Autis, agar
dapat

dilakukan layanan yang optimal bagi anak autis. Hasil identifikasi ,

deteksi dan asesmen diagnostik yang dilakukan bagi anak autis dapat digunakan
menentukan upaya pelayanan selanjutnya, apakah anak akan mendapatkan
layanan intervensi dan pendidikan transisi.
Pusat layanan Autis merupakan tempat yang diharapkan menjadi rujukan
layanan bagi anak autis yang telah dideteksi memiliki gangguan perkembangan,
dengan mendapat rujukan anak yang memiliki gangguan perkembangan akan
diasesmen untuk didiagnostik dan dipahami kebutuhannya. Pusat layanan autis
juga menyiapkan anak untuk memiliki kecakapan khusus sebelum memasuki
memasuki pendidikan reguler maupun non reguler, meliputi kecakapan bergaul,
berkomunikasi juga bersosialisasi.
2. Tujuan
Tujuan dari identifikasi, deteksi dini dan asesmen diagnostik yang
dilakukan adalah agar anak autis yang datang ke Pusat Layanan Autis
mendapatkan gambaran tentang gangguan yang dialami secara detail
termasuk didalamnya tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
34|P a g e

Melalui gambaran asesmen yang detail dapat disusun

intervensi dan

pendidikan transisi yang sesuai dengan kebutuhan anak.


3. Target dan Sasaran Identifikasi dan Asesmen Diagnostik
Masyarakat umum, paramedis dan orang awam yang peduli terhadap
anak berkebutuhan khusus dapat merujuk anak yang dicurigai mengalami
autis untuk datang ke Pusat Layanan Autis untuk mendapatkan asesmen
diagnostik. Anak yang dirujuk untuk datang ke Pusat Layanan Autis bisa saja
datang ke PLA untuk mendapatkan asesmen diagnostik saja, lalu
penanganannya dilakukan diluar PLA.

Selain itu anak dan keluarganya

yang mendapatkan asesmen diagnostik akan mendapatkan informasi tentang


intervensi yang dibutuhkan dan pendidikan transisi yang sesuai dengan
perkembangan anak.
4. Materi yang digunakan dalam Identifikasi dan Asesmen Diagnostik
Pada prinsipnya prosedur penanganan anak autis, dimulai dari
identifikasi , deteksi dini dan asesmen diagnostik sampai anak menerima
intervensi. Untuk membahas tentang materi yang digunakan dalam
identifikasi dan asesmen, perlu diingat bahwa yang terlibat dalam proses
identifikasi dan asesmen di Pusat Layanan Autis terdiri dari berbagai disiplin
ilmu. Sehingga materi yang tercantum dibawah ini adalah materi yang
digunakan oleh berbagai disiplin ilmu tersebut.
Materi atau alat-alat yang digunakan untuk Identifikasi , deteksi dini
, asesmen diagnostik dapat dilihat pada tulisan berikut ini :
A. Identifikasi dan Deteksi Dini
Identifikasi dan deteksi dinipada umumnya dilakukan dengan
melakukan observasi pada anak, bisa dilakukan di usia 18 bulan atau bahkan
usia lebih muda lagi. Proses ini dilakukan untuk mengidentifikasi apakah
anak mempunyai kecenderungan mengalami gangguan spektrum autis dengan
melalui pengamatan pada tanda dan gejala autism yang ditunjukkan oleh
anak.
Proses ini dapat dilakukan oleh orangtua, guru, pemerhati
perkembangan anak, bisa dilakukan saat datang ke Posyandu, ke Puskesmas
atau sekolah. Deteksi ini biasa dilakukan sedini mungkin karena gejala
autism timbul sebelum anak autism mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian
35|P a g e

anak gejala sudah ada sejak lahir. Gejala yang sangat menonjol adalah tidak
adanya atau sangat kurangnya kontak mata. Orangtua

bisa melakukan

pengamatan dini terhadap gangguan autis asal mendapat bekal pengetahuan


tentang gejala autis. Orangtua adalah orang yang paling banyak berinteraksi
dengan anak, karena itu orang tua khususnya ibu adalah yang paling
mengetahui tentang anaknya. Ibu bisa melakukan observasi terhadap perilaku
dan perkembangan anak berdasar tabel gejala autis. Gejala autis sudah mulai
nampak sebelum anak berusia satu tahun. Ibu yang jeli bisa memahami
apabila ada kejanggalan pada anak. Gejala yang paling menonjol adalah
adanya penolakan terhadap kontak mata walau dengan ibunya. Anak terlihat
aktif menghindari kontak mata. Setelah mulai agak besar gejala lain bisa
mulai bermunculan seperti tidak senang dipeluk, tidak memberikan respon
pada saat dipanggil, namun bisa tertawa terkekeh-kekeh sendiri, senang
dengan mainan yang diputar di atas tempat tidurnya. Gejala tersebut
merupakan pertanda dini, hingga ibu perlu waspada atau mengkonsultasikan
pada seorang ahli.Gejala awal dari anak autis adalah tidak adanya kontak
mata, atau cenderung menghindari kontak mata dengan orang lain termasuk
dengan ayah dan ibunya. Gejala ini sudah terlihat sebelum anak berusia satu
tahun. Ada anak autis yang tidak senang dipeluk, tidak senang bermain
dengan benda-benda namun terpaku pada satu benda secara menetap, atau
senang memainkan satu obyek tetap khususnya benda yang berputar. Bila
benda tersebut tidak berputar, anak akan memutar-mutar benda mainannya
secara terus-menerus.
Gejala lain, adalah kesulitan melakukan interaksi sosial, tingkah laku
sering mengalami pengulangan, kurang respon terhadap belaian kasih sayang,
hiperaktif atau tidak mempunyai aktivitas sama sekali (hipoaktif), gangguan
bicara dan kesulitan menerima pelajaran.Selanjutnya gejala-gejala akan
tampak makin jelas setelah anak mencapai usia 3 tahun.
Gejala khas yang menandai gangguan autis adalah :
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non-verbal
a. Terlambat bicara
b. Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain

36|P a g e

c. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi hanya dibunyikan tanpa


makna.
d. Banyak meniru atau membeo (echolalia)
e. Beberapa anak sangat pandai meniru nyanyian, nada maupun katakata tanpa mengerti artinya.
f. Sebagian (20%) dari anak-anak ini tidak dapat bicara sampai dewasa.
g. Bila menginginkan sesuatu, ia menarik tangan yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial
a. Menolak atau menghindari tatap muka dengan orang lain
b. Tidak menengok bila dipanggil, seperti tuli
c. Menolak untuk dipeluk
d. Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang, malah asyik main
sendiri.
e. Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh
3. Gangguan dalam bidang perilaku
a. Pada anak autisma terlihat ada perilaku yang berlebihan (excessive) dan
kekurangan (deficit).
Contoh perilaku yang berlebihan adalah : hiperaktif motorik, seperti tidak
bisa diam, lari kesana-sini tidak terarah, melompat-lompat, berputar-putar,
memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang suatu gerakan tertentu.
b. Perilaku yang kekurangan adalah : duduk diam bengong dengan tatapan
mata kosong, bermain secara monoton dan kurang variatif secara
berulang-ulang, terpaku oleh suatu hal, misalnya bayangan atau suatu
benda yang berputar.
c. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti sepotong tali,
kartu, kertas, gambar, gelang karet atau apa saja yang terus dipegangnya
dan dibawa kemana-mana.
4. Gangguan dalam bidang perasaan atau emosi :
a. Tidak ada atau kurang rasa empati, misalnya melihat anak menangis ia
tidak merasa kasihan melainkan merasa terganggu dan anak yang sedang
menangis didatangi dan dipukul.
b. Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab yang nyata.
37|P a g e

c. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak


mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan bisa menjadi agresif dan
destruktif.
5. Gangguan dalam persepsi sensorik :
a. Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.
b. Kurang sensitif terhadap rasa,seperti tidak bisa membedakan rasa pahit,

asam, manis. Anak bisa tetap makan makanan walau rasanya pahit.
c. Terlalu sensitif terhadap suara atau nada tertentu, bila mendengar suara

keras langsung menutup telinga.


d. Tidak menyukai rabaan atau pelukan.
e. Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan kasar.
f. Terlalu sensitif terhadap tekstur, seperti tidak senang dengan benda yang

halus atau benda-benda yang kasar tidak bisa menginjak batu atau
menginjak karpet.
Gejala-gejala yang digambarkan diatas dapat diobservasi pada anak ,
namun dalam melakukan observasi gejala-gejala tersebut tidak harus ada
pada setiap anak penyandang autisme. Pada penyandang autisme yang berat
mungkin hampir semua gejala diatas ada, tapi pada kelompok yang termasuk
ringan hanya terdapat sebagian saja dari gejala autisme tersebut ada.
Deteksi dini pada anak dengan autisme melalui beberapa tahapan, antara lain
:
1. Deteksi Dini Sejak dalam Kandungan
Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia
masih juga belum mampu mendeteksi resiko autisme sejak dalam
kandungan. Terdapat beberapa pemeriksaan biomolekular pada janin bayi
untuk mendeteksi autisme sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam
batas kebutuhan untuk penelitian.
2. Deteksi Dini Sejak Lahir hingga Usia 5 tahun
Autisme agak sulit di diagnosis pada usia bayi, tetapi penting untuk
mengetahui gejala dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang
lebih cepat akan memberikan hasil yang lebih baik.

38|P a g e

Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau
usia anak, gejala tersebut dapat diobservasi pada anak adalah sebagai berikut
:
Usia 0-6 bulan
a. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
b. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
c. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
d. Tidak mengoceh
e. Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
f. Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
g. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
Usia 6 12 Bulan
a. Kaku bila digendong
b. Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
c. Tidak mengeluarkan kata sampai usia 16 bulan
d. Tidak tertarik pada boneka atau mainan lain
e. Memperhatikan tangannya sendiri
f. Tidak merespon jika dipanggil namanya
g. Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
Usia 12 36 bulan
a. Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
b. Melihat orang sebagai benda
c. Kontak mata terbatas, cenderung menghindari kontak mata dengan
orang lain
d. Tertarik pada benda tertentu, misalnya sangat suka benda-benda bulat,
berputar, atau suka benda-benda bungkus-bungkus (kotak) obat atau
makanan
e. Kaku bila digendong
Usia 4 5 Tahun
a. Sering didapatkan ekolalia (membeo)
b. Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
c. Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
d. Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
39|P a g e

e. Temperamen tantrum atau agresif


f. Jadi ada indikatornya
Deteksi dini terhadap autisme dapat dilakukan secara sederhana dengan
menggunakan instrumen Modified Checklist for Autism in Toddlers disingkat MCHAT.
Robins D dkk dalam 'The Modified Checklist for Autism in Toodlers,
Journal of Autism and Development Disorders', membuat

checklist yang bisa

digunakan untuk mendeteksi autis secara dini.Modified Checklist for Autism in


Toodlers bisa digunakan untuk mendeteksi gejala autis untuk anak usia 18 bulan
atau sebelum 3 tahun. Bila orangtua sudah bisa mendeteksi gejala autisme secara
dini maka mereka akan memiliki peluang yang semakin besar untuk membuat
anaknya menjadi mandiri.Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan
perkembangan pervasif pada masa kanak-kanak. Gejala muncul pada usia di
bawah 3 tahun. Anak dengan autism mengalami kesulitan dalam interaksi sosial
yang bersifat timbal balik, hambatan dalam pola komunikasi, memiliki minat
yang terbatas serta perilaku yang stereotype dan berulang-ulang.
Diane L. Robins dkk. mengembangkan M-Chat (The Modified Checklist
for Autism in Toddler) sebagai alat deteksi dini bagi penderita autism. M-Chat ini
merupakan daftar atau checklist yang berjumlah 23 aitem, berisi gejala-gejala
dini dari gangguan autisme. Cara menggunakan sangat mudah, yaitu dengan
menjawab Ya atau Tidak pada pernyataan yang tertulis dalam checklist.

40|P a g e

M-CHAT

No Pernyataan
1

Apakah anak suka diayun, ditimang?

Apakah anak merasa tertarik dengan anak lain?

Apakah anak suka memanjat, misalnya tangga?

Apakah anak menyukai permainan ciluk ba?

Apakah anakpernah bermain Sandiwara, misalnya : Pura-pura

Ya

Tidak

bicara di telepon? Menjadi tokoh tertentu? Bicara pada boneka?


6

Apakah anak pernah menggunakan telunjuk untuk meminta sesuatu?

Apakah anak pernah menggunakan telunjuk menunjukan rasa


tertariknya pada sesuatu?

Dapatkah anak bermain dengan mainan kecil (mobil-mobilan/balok)


dengan sewajarnya tanpa hanya memasukannya ke dalam mulut,
kutak-katik atau menjatuhkannya saja?

Apakah anak pernah membawa objek/benda dan diperlihatkan pada


anda?

10 Apakah anak melihat pada mata anda lebih dari 1 atau 2 detik?
11 Apakah anak sangat sensitif terhadap bunyi?
12 Apakah anak tersenyum pada wajah anda atau senyuman anda?
13 Apakah anak meniru anda? (misalnya bila anda membuat raut wajah
tertentu, anak akan menirunya)
14 Apakah anak memberi reaksi bila namanya dipanggil?
15 Bila anda menunjuk pada sebuah mainan di sisi lain ruangan, apakah
anak tersebut akan melihat pada mainan tersebut?
16 Apakah anak sudah dapat berjalan?
17 Apakah anak juga melihat pada benda yang anda lihat?
18 Apakah anak membuat gerakan-gerakan jari yang tidak wajar di
sekitar wajahnya
19 Apakah anak mencoba mencari perhatian anda untuk kegiatan yang
sedang dilakukannya?

41|P a g e

20 Apakah anda berpikir bahwa anak mengalami ketulian?


21 Apakah anak mengerti apa yang dikatakan orang lain?
22 Apakah anak terkadang menatap dengan tatapan kosong atau mondarmandir tanpa tujuan?
23 Apakah anak melihat pada wajah anda untuk melihat reaksi anda
ketika ia dihadapkan pada situasi yang asing atau tidak ia mengerti?
Note :
Critical items are marked in BOLD and reverse score items, meaning those for
which a score of Yes indicates risk for autism (11, 18, 20, 22) are noted by the
word REVERSE.
Skoring :
Seorang anak berpeluang menyandang autis jika : 10 atau lebih dari pertanyaan
M-CHAT dijawab TIDAK.Tidak semua anak berpeluang menyandang autis
memenuhi kriteria spektrum autis. Daftar ini digunakan agar orang tua waspada
untuk segera mengirim anak yang berpeluang autis kepada professional, yaitu
dokter atau pikolog yang berkompeten.
Deteksi dini yang dilakukan oleh orangtua atau guru bisa dilakukan
dengan cara mengamati gejaladan tanda-tanda perilaku yang mengindikasikan
anak mengalami gangguan autisme. Gambar dibawah ini bisa dipakai sebagai
referensi untuk menemukan gejala pada anak :

42|P a g e

43|P a g e

44|P a g e

Asesmen Diagnostis Autis


Untuk mendiagnosis seorang anak menderita Autism Spectrum
Disorders (ASD) memang bukan pekerjaan mudah. Menegakkan
diagnosis autism memang tidaklah mudah karena membutuhkan
kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar
untuk pengamatan.Deteksi dini lewat observasi umumnya bisa dilakukan
di usia 18 bulan atau bahkan lebih muda lagi. Namun menegakkan
diagnosis yang dilakukan oleh seorang profesional perlu dilakukan pada
usia anak di atas 2 tahun, baru bisa memberikan hasil meyakinkan. Usia
anak mendapat diagnosis final sebaiknya tidak lebih dari usia 5 tahun,
dengan pertimbangan bahwa anak telah melewatkan usia keemasan
(golden ages). Agar anak mendapatkan pertolongan terapi yang
dibutuhkan pada usia sebelum anak mencapai lima tahun. Karena bila
terapi diberikan pada masa-masa ini, peluang bagi anak untuk mencapai
kemajuan menjadi lebih besar.
Adapun asesmen diagnosis dapat dilakukan dengan beberapa cara
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan tumbuh kembang anak (developmental screening), tes
singkat untuk mengetahui apakah anak sudah bisa menguasai kemampuan
dasar sesuai usianya atau mengalami keterlambatan. Dokter biasanya akan
menanyai orangtua dan mengajak anak bermain untuk mengevaluasi apa
yang telah dikuasai anak, termasuk gerakan, perilaku dan kemampuan
bicaranya. Setiap keterlambatan bisa menjadi sinyal adanya masalah.
Perhatian khusus perlu diberikan bila anak lahir dengan berat badan
kurang, tidak cukup umur, atau memiliki kakak atau adik yang merupakan
penyandang ASD. Bila melihat adanya sinyal masalah, dokter akan
menyarankan evaluasi lebih lanjut untuk dapat memastikan.
2. Evaluasi komprehensif. Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan lebih
teliti mengenai perilaku dan kesehatan anak. Ini bisa termasuk
pemeriksaan penglihatan dan pendengaran, tes syaraf, dan berbagai tes
medis lainnya.
3. Bila pemeriksaan awal dilakukan oleh dokter anak, orangtua akan dirujuk
untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut bagi anak yaitu pemeriksaan
45|P a g e

oleh dokter spesialis syaraf, ahli tumbuh kembang anak, psikolog anak,
atau psikiater.
4. Sebelum

diagnosis

ditegakkan

maka

perlu

diketahui

Riwayat

Perkembangan Anak (RPA), lembar RPA ini diberikan pada orangtua,


untuk dituliskan mengenai perkembangan anak dari masa kehamilan
hingga anak berusia saat ini. Riwayat perkembangan yang diungkap
adalah riwayat semua aspek perkembangan, yaitu meliputi :
a. Aspek perkembangan fisik
b. Aspek perkembangan motorik (motorik halus dan kasar)
c. Aspek perkembangan bicara
d. Aspek perkembangan emosi social
e. Aspek perkembangan kognisi
5. Selanjutnya dilakukan observasi dan wawancara untuk menegakkan
diagnosis dengan criteria yang telah ditentukan secara internasional, yaitu
dengan ICD (International Classification of Disease) dari WHO (World
Health Organization) atau DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder) yang dikembangkan oleh APA (American Psychiatric
Association).
Menurut DSM 5, tidak ada satu cara atau satu tes untuk
menentukan

Autisme.

Diagnosis

perlu

mempertimbangkan

hasil

pembicaraan dengan orang tua, untuk mengetahui riwayat anak, dan


mengobservasi bagaimana perilaku dan gejala anak. Ketika anak sudah
mendapatkan diagnosis, maka anak dapat memulai treatment atau
penanganan awal atau lanjut

secara intensif untuk mengoptimalisasi

perkembangannya.
Profesional dalam bidang kesehatan mental, seperti: Dokter Anak,
Psikiater dan Psikolog biasa menggunakan DSM dalam menyusun
diagnosis Autisme. DSM memberikan panduan dan penjelasan mengenai
berbagai gejala dan tanda-tanda yang terkait dengan autisme. DSM juga
memberikan kriteria mengenai berapa jumlah gejala yang harus tampak
untuk dapat menegakkan diagnosis klinis autisme. Pada tulisan ini kami
menggunakan DSM-5 yang mulai disahkan penggunaannya pada bulan
46|P a g e

Mei 2013. Memang ada beberapa perubahan, khususnya autis ada


perubahan dalam diagnostik. Ada beberapa perubahan diagnosis dalam
DSM-5 yang perlu dipahami oleh profesional dalam bidang kesehatan
mental, yaitu:
a. Hanya ada satu diagnosis gangguan Autisme Spektrum (Autism Spectrum
Disorder). Diagnosis ASD ini menggantikan berbagai diagnosis klinis
terdahulu seperti Gangguan Autistik, Asperger, dan Gangguan Pervasive
yang tidak spesifik.
b. Dalam diagnosis ASD tidak ada beberapa macam gangguan, tetapi
pembedanya adalah kriteria derajat keberatan gejala. Dalam diagnosis
ASD diperkenalkan juga kontinuum derajat keberatan autisme, dari level
1, 2, 3. Tingkatan ini didasarkan pada sejauhmana anak membutuhkan
dukungan orang lain dalam melakukan tugas perkembangannya.
Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak dengan tingkat ASD ringan
dan ada pula yang tingkat gangguan lebih berat.
c. Penegakan diagnosis ASD dengan memperhatikan tiga ranah menjadi dua
ranah atau bisa dikatakan ada perubahan dari Triadic menjadi Dyadic.
Sebelumnya diagnosis autisme ditegakkan jika muncul gangguan pada 3
ranah, yaitu: komunikasi dan bahasa, interaksi sosial dan perilaku minat
terbatas dan berulang (DSM IV TR, 2000). Namun dalam DSM-5 ,
diagnosisnya menjadi 2 ranah, yaitu: hambatan komunikasi sosial (deficits
in social communication) dan minat yang terfiksasi dan perilaku berulang
(fixated interest and repetitive behavior).
d. Ada penambahan dengan jelas dengan menyebutkan adanya profil
sensoris autisme. Sebelumnya problem sensoris atau inderawi autisme
tidak disebutkan dalam DSM IV. Dalam DSM-5, profil sensoris anak
dengan ASD dimasukkan dalam gejala minat yang terfiksasi dan perilaku
berulang. Misalkan: tidak menyukai makanan tertentu yang memiliki
warna atau tekstur tertentu.
e. Menurut DSM-5, diagnosis ASD bisa ditegakkan jika anak telah
menunjukkan gejala sejak masa kanak. Walaupun gangguan ASD baru
diketahui setelah masa kanak, namun penting untuk melihat dyadic

47|P a g e

tersebut yang menunjukkan bahwa anak memiliki persoalan dalam hal


sosial dan perilaku dibandingkan anak-anak seusianya.
Untuk menegakkan diagnosis gangguan spektrum autis ada
kriteria diagnostik yang dipakai sebagai pedoman dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), dengan kriteria
diagnostik sebagai berikut:
A. Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap pada
berbagai konteks.
1.

Kekurangan dalam kemampuan komunikasi sosial dan emosional.


Contohnya pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan untuk
melakukan komunikasi dua arah; kegagalan untuk berinisiatif atau
merespon pada interaksi sosial.

2.

Terganggunya perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk


interaksi sosial. Integrasi komunikasi verbal dan non-verbal yang
sangat parah, hilangnya kontak mata, bahasa tubuh dan ekspresi
wajah.

3.

Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan.


Contohnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai konteks
sosial, kesulitan dalam bermain imajinatif atau berteman, tidak
adanya ketertarikan terhadap teman sebaya.

B. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitive, ketertarikan, atau


aktifitas yang termanifestasi minimal dua dari perilaku berikut:
1.

Pergerakan motor retetitif atau stereotype, penggunaan objek-objek


atau

bahasa,

misalnya:

perilaku stereotype

yang

sederhana,

membariskan mainan-mainan atau membalikkan objek.


2.

Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku atau


pola perilaku verbal atau non-verbal yang diritualkan, contohnya
stress ekstrim pada suatu perubahan yang kecil, kesulitan pada saat
adanya proses perubahan, pola pikir yang kaku.

3.

Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan


yang abnormal. Contoh: kelekatan yang kuat atau preokupasi pada
objek-objek yang tidak biasa, pembatasan yang berlebihan atau
perseverative interest.
48|P a g e

4.

Hiperaktivitas/hipoaktivitas pada input sensori atau ketertarikan yang


tidak biasa pada aspek sensori pada lingkungan. Contoh: sikap tidak
peduli pada rasa sakit atau temperature udara, respon yang
berlawanan pada suara atau teksture tertentu, penciuman yang
berlebihan atau sentuhan dari objek, kekaguman visual pada cahaya
atau gerakan.

C. Gejala-gejala harus muncul pada periode perkembangan awal (tapi


mungkin tidak termanifestasi secara penuh sampai

tuntutan sosial

melebihi kapasitas yang terbatas, atau mungkin tertutupi dengan strategi


belajar dalam kehidupannya).
D. Gejala-gejala menyebabkan perusakan yang signifikan pada kehidupan
sosial, pekerjaan atau setting penting lain dalam kehidupan.
E. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak dijelaskan dengan istilah
ketidakmampuan intelektual (intellectual disability) atau gangguan
perkembangan intelektual atau keterlambatan perkembangan secara
global.
Jadi untuk menegakan diagnosis autism harus memenuhi kriteria
diagnosis A, B, C, D, dan E, bila kurang maka diagnosis autism tidak bisa
ditegakkan . Jadi perlu melihat kriteria diagnosis yang lain.
Dari uraian diatas nampak jelas bahwa salah satu ciri utama pada
gangguan autistik adalah gangguan yang signifikan dalam berkomunikasi
sosial dan berbicara. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-5) gangguan komunikasi sosial adalah individu yang
memiliki masalah yang signifikan dalam penggunaan komunikasi verbal
dan non-verbal untuk tujuan sosial, yang mengarah pada gangguan dalam
kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif, berpartisipasi
secara sosial, memelihara hubungan sosial, atau melakukan kegiatan
akademis.Tanda gangguan komunikasi sosial termasuk masalah dengan
interaksi sosial (misalnya, gaya bicara dan konteks, aturan untuk kesopanan
linguistik), kognisi sosial (misalnya, kompetensi emosional, memahami
emosi diri dan orang lain), dan pragmatik (misalnya, niat komunikatif,
bahasa tubuh, kontak mata). Gangguan komunikasi sosial ditandai dengan
karakteristik sebagai berikut ; Kesulitan terus-menerus dengan komunikasi
49|P a g e

verbal dan non-verbal yang tidak dapat dijelaskan oleh kemampuan kognitif
rendah. Gejala termasuk kesulitan dalam akuisisi dan penggunaan lisan dan
bahasa serta masalah dengan tanggapan yang tidak pantas dalam
percakapan tertulis. Keterbatasan dalam komunikasi yang efektif, hubungan
sosial, prestasi akademik, atau kinerja kerja.
Di bawah ini adalah tabel pembagian atau level ASD berdasarkan
keparahan atau berat ringannya gejala sehingga membutuhkan dukungan
atau bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Table. Severity level for autism spectrum disorder

Severity level

Social communication

Restricted, repetitive,
behavior

Level 3

Hambatan

yang

parah

dalam Perilaku

yang

tidak

Sangat

keterampilan sosial verbal dan fleksible

dan

kaku,

membutuhkan

nonverbal menyebabkan parahnya kesulitan sangat ekstrem

bantuan

kerusakan

substansial

inisiasi akan interaksi sosial sangat perubahan

fungsi-fungsinya, untuk

menghadapi
lingkungan

terbatas, dan respon yang minimal dan perilaku yang berulang


terhadap ajakan orang lain.

menyebabkan

kesulitan

pada semua situasi.


Level 2

Ditandai dengan hambatan dalam Perilaku

Membutuhkan keterampilan

komunikasi

yang

sosial kesulitan

yang
hal

kaku,
ekstrem

bantuan

verbal dan nonverbal, kerusakan dalam

substansial

sosial jelas terlihat meski ada perubahan, perilaku yang


bantuan di tempat itu, inisiasi berulang
interaksi sosial yang terbatas atau yang

menghadapi

yang

terbatas

sering

muncul

respon yang abnormal pada ajakan mengganggu fungsi dalam


sosial

orang

lain.

Contoh: berbagai

seseorang yang berbicara dengan merubah


kalimat

sederhana,

konteks.

Sulit

perhatian

atau

interaksinya tindakan.

terbatas pada ketertarikan tertentu,


dan individu yang ditandai dengan
50|P a g e

komunikasi nonverbal yang aneh


Level 1

Tanpa bantuan di tempat,

Perilaku yang tidak

Memerlukan

kurangnya dalam komunikasi sosial fleksibel/ kaku

bantuan

menyebabkan kelemahan yang

menyebabkan hambatan

nyata. Kesulitan dalam inisiasi

yang signifikan pada satu

interaksi sosial , dan tipikal

atau bebera fungsi .

ketidaksuksesan merespon ini

Kesulitan untuk beralih

menyebabkan kurang ketertarikan

aktivitas. Bermasalah

dalam interaksi sosial.

dengan organisasi dan


perencanaan
mengakibatkan hambatan
dalam kemandirian.

Penetapan keparahan (pada table di atas) dapat digunakan untuk


menggambarkan secara ringkas simtomatologi sekarang (yang mungkin jatuh di
bawah level 1), dengan pengenalan keparahan yang bervariasi atau berubah-ubah
dan naik turun dari waktu ke waktu. Keparahan pada kesulitan komunikasi sosial
dan keterbatasan minat, perilaku berulang tersebut harus dirating secara terpisah.
Gambaran kategori keparahan tidak digunakan untuk menentukan layak tidaknya
mendapat layanan; ini hanya bisa dikembangkan pada tingkat individu dan
melalui diskusi prioritas pribadi dan target.

5.

Proses , Prosedur Identifikasi ,Deteksi Dini dan Asesmen Diagnosis


Pada prinsipnya prosedur penanganan anak autis, dimulai dari
identifikasi, deteksi dini sampai anak menerima penanganan (intervensi).
Adapun prosedur pelayanan anak autis adalah sebagai berikut di bawah :

51|P a g e

PSIKOLOGIS

ANAK

IDENTIFIKASI

MEDIS

&ASESMEN

CASE
CONFERENCE

PEDAGOGIS
DIAGNOSIS
REKOMENDASI

6. Sarana, Alat dan intrumen untuk Identifikasi, Deteksi Dini dan


Asesmen Diagnosis
Ada beberapa Alat-alat Psikodiagnostik yang melengkapi
penegakan diagnosis gangguan spektrum autis sebagai berikut :
a. Childhood Autism Rating Scale
Childhood Autism Rating Scale (CARS) adalah suatu skala
perilaku yang bertujuan untuk membantu diagnosis autism, yang
dikembangkan olehEric Schopler, Robert J. Reichier, dan Barbara
Rochen Renner. CARS ini dirancang untuk membedakan anak dengan
ASD dari gangguan perkembangan lainnya, seperti intellectual
disability, dengan memperhatikan hasil pengamatan pada beberapa
subskala dalam CARS.
Meskipun tidak ada standard penilaian yang baku dalam
mendeteksi autis, CARS adalah alat yang baik dalam proses diagnostik.
CARS suatu metode asesmen diagnostik dalam skala satu sampai
empat untuk beberapa kriteria, dalam rentang normal sampai berat,
dengan penggolongan dari non-autistic to mildlyautistic, moderately
autistic, atau severely autistic. Skala menggunakan pengamatan
(observasi) secara subjektif dalam 15 item.
52|P a g e

Childhood Autism Rating Scale (CARS) terdiri dari 15 butir yaitu :


1. Relasi atau hubungan dengan orang lain; yaitu bagaimana anak
berinteraksidengan orang lain dalam berbagai situasi. Misalnya
menghindar menatap orang dewasa, tidak respon kepada orang tua
sebagaimana anak lain.
2. Imitasi ( meniru ) yaitu bagaimana anak menirukan kata atau suara
perilaku, apakah harus dengan dorongan, paksaan atau sama sekali
tak pernah menirukan.
3. Respon emosional, yaitu bagaimana reaksi anak terhadap situasi
yang menyenangkan, misalnya ketika dipeluk-cium, dipuji,
digelitik, diberi mainan / mainan kesukaannya.
4. Penggunaan badan / tubuh baik untuk gerakan koordinasi maupun
gerakan-gerakan yang lain sesuai dengan keadaan ; misalnya
ketepatan sikap dan gerakan tubuh, jinjit, memutar, tepuk tangan,
menari, bermain, menggambar, menggunting dan sebagainya.
5. Penggunaan benda-benda ( objek ) yaitu minat anak terhadap
mainan atau benda lain serta bagaimana anak menggunakannya .
Perhatikan bagaimana anak berinteraksi dengan mainan dan objek
lain terutama pada aktivitas yang tidak terstruktur. Perhatikan
dengan seksama bagaimana anak menggunakan mainan yang
berjuntai atau putaran, apakah terjadi keasyikan dan pengulangan
yang berlebihan.
6. Adaptasi terhadap perubahan; yaitu adaptasi terhadap perubahan
hal-hal yang telah rutin atau telah terpola , dan kesulitan mengubah
suatu aktivitas lain. Misalnya bagaimana reaksi anak terhadap
perubahan penataan mebel , pergi dengan rute berbeda, penggantian
pengasuh / guru dan sebagainya.
7. Respon visual; yaitu pola-pola perhatian visual yang tidak lazim,
misalnya menghindari kontak mata ketika berinteraksi dengan
orang tua atau melihat objek / mainan dari sudut yang tidak lazim.
8. Repon mendengarkan, yaitu perilaku mendengarkan yang tidak
biasanya atau respon yang tidak lazim terhadap bunyi-bunyian
termasuk reaksi anak terhadap suara orang dan jenis-jenis suara lain
53|P a g e

. Misalnya anak seolah-olah tidak mendengar suara yang sangat


keras, tetapi pada waktu yang lain bereaksi terhadap suara yang
biasa.
9. Respon indra kecap ( pengecapan ), mencium ( membau ) dan raba;
misalnya bagaimana respon anak terhadap rangsangan kecap, bau,
dan raba, misalnya penolakan atau minat berlebihan terhadap bau ,
rasa dan bentuk tertentu dari makanan atau bentuk maian tertentu.
10. Ketakutan dan kegelisahan; yaitu rasa takut yang tidak wajar dan
tidak semestinya, misalnya ketakutan yang berlangsung terus
terhadap objek yang secara normal tidak menakutkan atau tidak
takut terhadap sesuatu yang ditakuti anak normal.
11. Komunikasi verbal ( kata ); perhatikan anak dalam menggunakan
kata dan cara berbicara, amati perbendaharaan kata, struktur
kalimat, volume dan ritme suara. Apakah memperlihatkan
keanehan, tidak tepat atau kacau.
12. Komunikasi non verbal ; yaitu komunikasi dengan penggunaan
ekspresi /mimik muka, sikap tubuh dan gerak tubuh, serta respon
anak terhadap komunikasi non verbal dari orang lain. Apakah anak
dapat menunjuk dan menjangkau sesuatu yang mereka inginkan,
apakah hanya menggunakan isyarat yang kacau dan aneh. Apakah
anak tidak menunjukkan perhatian pada isyarat dari orang tua /
anak lain.
13. Derajat aktivitas; yaitu seberapa banyak anak bergerak baik dalam
situasi yang dibatasi maupun yang tidak dibatasi . Apakah
aktivitasnya berlebihan atau tampak lesu. Perhatikan tingkat
aktivitas anak yang teratur dan tekun . Jika lesu apakah anak bisa
diberi semangat untuk beraktivitas dan seberapa banyak orang tua
harus memberi semangat dan dorongan agar anak mau beraktivitas.
Jika aktivitasnya berlebihan apakah bisa diberitahu untuk menjadi
tenang dan duduk diam. Dalam penilaian ini perlu dipertimbangkan
faktor kelelahan dan efek medik.
14. Derajat dan konsentrasi respon intelektual. Perhatikan bagaimana
anak mengerti dan menggunakan bahasa, angka, dan konsep,
54|P a g e

bagaimana kemampuannya dalam mengingat benda-benda yang


pernah ia lihat atau dengar serta bagaimana anak menjelajahi
lingkungannya.
15. Kesan umum, yaitu kesan subjektif observer tentang anak
b. Psycho Educational Profile Revised ( PEP-R)
Berdasarkan pengalaman Sleeuwen ( 1996) , tes khusus untuk
anak autis disebut dengan Psycho Educational Profile Revised ( PEP-R).
Tes tersebut dikembangkan di Teacch, sebuah program pendidikan khusus
untuk anak autis. Tes ini digunakan untuk anak autistik atau yang
terganggu perkembangannya dan dipakai pada anak-anak dengan usia
kronologis enam bulan sampai dengan tujuh tahun. Tes PEP-R ini
memberikan informasi tentang fungsi perkembangan seperti imitasi,
persepsi, ketrampilan motorik halus, ketrampilan motorik kasar,
koordinasi mata dan tangan, performansi kognitif dan kognisi verbal, Tes
PEP-R juga dapat mendeteksi masalah-masalah dalam hal relasi dan
afeksi, permainan dan minat terhadap benda dan respon penginderaan dan
bahasa. Skor PEP-R digunakan untuk membuat rencana pendidikan
individual anak sehingga guru dapat tertolong dalam menangani anak
autistik.
Alat ukur ini valid untuk anak-anak yang mengalami gangguan
perkembangan terutama ASD, karena :
a.

Item-itemnya tidak tergantung pada ketrampilan berbahasa

b. Dapat diadministrasikansecara fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan


anak
c. Item-item tidak dibatasi oleh waktu
d. Materi tes nyata (kongkrit) dan menarik, bahkan untuk anak-anak yang
mengalami gangguan yang parah
e. Kemungkinan untuk sukses pada setiap anak (yang dikenai PEP-R) adalah
besar karena disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak
f. Item-item yang berhubungan dengan bahasa, hanya sebagian dari semua
item yang ada
55|P a g e

PEP-R didesign untuk anak-anak yang mengalami kesulitan dalam


bahasa dan anak yang mengalami keterlambatan perkembangan oleh karena
itu item yang berhubungan dengan bahasa diminimalkan dan respon lebih
bersifat non verbal.Skor yang diperoleh dari PEP-R digunakan untuk
mendesign IEPs (Individualized Educational Plans) yang ditujukan kepada
anak yang bersangkutan. Jadi skor PEP-R dapat digunakan untuk merancang
program pendidikan individual. Hasil yang diperoleh dapat direkomendasikan
kepada guru dan orang tua untuk kemudian dapat dilakukan modifikasi
kurikulum.
PEP-R dapat diberikan kepada anak preschool atau yang berusia 6
bulan sampai dengan 7 tahun. PEP-R juga dapat dikenakan kepada anak yang
berusia lebih dari 7 tahun tetapi tidak sampai 12 tahun. Hal ini dilakukan jika
anak tersebut perkembangannya di bawah rata-rata. Setelah usia 12 tahun,
maka menggunakan AAPEP (Adolescent and Adult Psychoeducational
Profile).
PEP R adalah alat tes perkembangan yang memberikan informasi
tentang kemampuan :

a. Imitasi (Imitation),
b. Persepsi (Perception),
c. Motorik halus (Fine Motor),
d. Motorik kasar (Gross Motor),
e. Integrasi mata dan tangan (Eye-Hand Integration),
f. Kemampuan kognitif (Cognitive Performance), and
g. Kemampuan kognitif verbal (Cognitive Verbal).
PEP-R juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat perilaku
abnormal yang berhubungan dengan :
a. Relation and Affect (minat terhadap orang dan menjalin kerjasama),

b. Play and Interest in Material,


c. Sensory Responses, and Language.
PEP-R berisi permainan dan materi belajar yang dipresentasikan
kepada anak secara terstruktur, saat pelaksanaan tes tugas tester adalah:
1. Mengobservasi, mengevaluasi dan mencatat semua respon anak selama
tes
56|P a g e

2. Memberikan rewards. Misal: makanan, mainan kesukaan, waktu bebas,


stimulasi fisik, pujian). Mencatat respon anak terhadap rewards.
3. Pada akhir session, skor anak didistribusikan pada tujuh area
perkembangan

(Developmental

Areas)

dan

empat

area

perilaku

(Behavioral Areas)
4. Memberikan gambaran sehubungan dengan kelemahan dan kelebihan
anak pada masing-masing area dan membandingkan setiap fungsi pada
masing-masing area
Tehnik dalam mengadiministrasikan PEP-R:
1. Menggunakan bahasa verbal. Bahasa yang digunakan sederhana dan
mudah dipahami anak
2. Menggunakan bahasa tubuh
3. Mendemontrasikan bagaimana tugas (item) harus dilakukan oleh anak
(tergantung pada item yang membutuhkan demonstrasi)
4. Melakukan bimbingan fisk: menggerakkan tangan anak dan membantu
menggunakan materi tes (bila perlu).
c. Tes Inteligensi Stanford Binet
Tes inteligensi Stanford Binet adalah suatu tes yang sistem
penilaian untuk menghitung rasio usia mental (MA) telah ditetapkan,
sehingga MA rata-rata untuk sekelompok besar anak-anak usia kronologis
(CA) tertentu, dalam faktanya, sama dengan CA.Tiap butir tes
disesuaikan

dengan

usia

pada

tingkat

dimana

sebagian

anak

menempuhnya. Usia mental anak didapatkan dengan menjumlahkan


banyaknya butir soal yang dijawab secara tepat pada tingkat usia. Selain
itu, Terman menerapkan indeks intelegensia yang disarankan oleh ahli
psikologi Jerman, Wiliam Stern. Indeks ini adalah Inteligence Quotient,
yang umum dikenal sebagai IQ. Indeks ini mengekspresikan Intelegensia
sebagai rasio usia mental (MA )terhadap usia kronologis (CA).
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menentukan awal test Binet:
1. Menentukan umur kronologis anak (CA)

57|P a g e

2. Test dimulai pada titik dimana anak mempunyai kemungkinan untuk


berhasil, akan tetapi dengan usaha.
3. Pada umumnya test binet dimulai setengah tahun atau 1 tahun
dibawah umur kronologis anak
4. Menentukan Tingkat Umur Basal dan Celling
Umur Basal jika seorang testee dapat menjawab seluruh item
pada suatu subtest. Sedang umur Celling jika seorang testee tidak dapat
menjawab seluruh item pada suatu subtest.
Mencari IQ adalah dengan cara :
IQ = MA X 100
CA

MA = Umur mental didapatkan dengan cara: Umur basal ditambah


dengan kredit tambahan yang diperoleh subjek diatas umur basalnya

CA = Chronological age diperoleh dari menghitung umur berdasarkan


tanggal kelahiran atau umur kalender

Klasifikasi IQ
140 Keatas

Verry Superrior

120 139

Superior

110 119

Rata-rata Atas (High average)

90 109

Normal atau Rata-rata

80 - 89

Rata-rata bawah (Low average)

70 79

Borderline defective

69 ke-bawah

Cacat mental (mentally devective)

(Klasifikasi IQ menurut L.M. Terman dan Maud A. Merrill)

d. Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC)


Intellegence quotient sering disingkat dengan IQ merupakan hasil
tes intelegensi untuk mengukur kemampuan dan intelegensi seseorang.
Intelegensi (kecerdasan) adalah seluruh kemampuan individu untuk
bertindak dan berfikir secara terarah guna mengolah dan menguasai
lingkungan dengan efektif. Makin tinggi tingkat kecerdasan seseorang

58|P a g e

akan makin memungkinkan untuk melakukan tugas yang banyak


menuntut rasio dan akal serta tugas yang bersifat kompleks.
Wechsler (1958) mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan
atau totalitas kemampuan seseorang untuk belajar, bertindak dengan
tujuan tertentu, berpikir rasional dan menghadapi lingkungan dengan
efektif. Intelegensi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Faktor lingkungan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa hal seperti gizi,
pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan. Keberhasilan seorang murid
dalam belajar ditentukan oleh faktor dari dalam dan ciri kepribadian.
Faktor-faktor ini saling berkaitan dan mempengaruhi. Intelegensi akan
berfungsi dengan optimal bila didukung oleh motivasi yang kuat dan
sesuai. IQ dibagi atas verbal dan performance. IQ verbal merupakan
rincian dari fungsi hemisfer kiri, sedangkan IQ performance merupakan
gambaran dari fungsi hemisfer kanan.
Tes ini dipakai untuk mengukur intelegensi anak-anak usia 6
sampai 16 tahun. WISC-R terdiri dari 12 sub tes yang dikelompokkan
menjadi dua golongan yaitu skala verbal dan skala performance. Kedua
skala tersebut masing-masig memuat enam subtes, sebagai berikut :
Skala Verbal
a. Information (Informasi)
b. Comprehension (Pemahaman)
c. Arithmetic (Hitungan)
d. Similarities (Kesamaan)
e. Vocabulary (Kosakata)
f. Digit span (Rentang angka)
Skala Performance
a. Picture Completion (Kelengkapan gambar)
b. Picture Arrangement (Susunan gambar)
c. Block Design (Rancangan balok)
d. Object Assembly (Perakitan Objek)
e. Coding (Sandi)
59|P a g e

f. Mazes (Taman sesat)


Pemberian skor pada sub tes WISC-R berdasarkan benarnya
jawaban

dan

lamanya

waktu

dalam

menjawab.

Skor

tersebut

diterjemahkan dalam angka standar melalui tabel norma, sehingga


diperoleh angka IQ deviasi untuk skala verbal, angka IQ deviasi untuk
skala performansi dan angka IQ deviasi untuk skala keseluruhan.
Berdasarkan skala, intelegensi dapat digolongkan sebagai berikut:
a. < 65 Mental defective Keterbelakangan mental
b. 66-79 Borderline Lambat belajar
c. 80-90 Dull normal Lambat belajar
d. 91-110 Average Rata-rata
e. 111-119 Bright normal Di atas rata-rata
f. 120-127 Superior Superior
g. > 128 Very superior Sangat superior

Selain intrumen psikodiagnostik yang dilakukan oleh psikolog,


juga ada beberapa intrumen untuk mendapatkan profil medis antara lain :
a. Rekam medis yang berisi , riwayat kesehatan sebelumnya,
hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan
b. Grafik pemantauan berat badan dan tinggi badan berdasarkan
umur
Alat-alat yang diperlukan untuk melakukan asesmen medis antara lain :
a. Timbangan badan
b. Pengukur tinggi badan
c. Stetoskop
d. Tensi meter
e. Snellen chart
f. Senter
60|P a g e

7. Evaluasi /Tindak Lanjut


Proses evaluasi /tindak lanjut setelah melakukan identifikasi,
deteksi dini dan asesmen diagnosis, anak dan orangtua akan mendapatkan
informasi mengenai gangguan yang dialami anak dan kelebihan dan
kelemahan anak yang masih dapat dioptimalkan dalam proses intervensi
dan pendidikan transisi.

61|P a g e

BAB V
LAYANAN INTERVENSI TERPADU

A. Pengertian
Secara etimologis, intervensi berasal dari kata intervening yang bermakna
coming between(yang datang diantara; campur tangan). Hal tersebut berarti bahwa
intervensi merupakan usaha untuk mengubah kehidupan yang sedang berjalan
dengan cara tertentu.Intervensi terhadap anak autis berarti adalah upaya mengubah
kehidupan anak autis untuk mengurangi gejala perilaku yang mempengaruhi fungsi
perkembangan anak secara negatif dan mendorong fungsi perkembangan anak
seperti mengembangkan kemampuan berbahasa, tingkah laku, penyesuaian diri,
sosialisasi dan ketrampilan bina diri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan padu sebagai sudah bercampur
dan sudah menjadi satu benar, serta utuh dan kuat; kompak. Sedangkan terpadu
diartikan sebagai sudah dipadu (disatukan, dileburkan menjadi satu). Intervensi
terpadu dengan demikian dapat diungkapkan sebagai kepaduan beberapa komponen
dalam mengembangkan anak autis sehingga memberikan hasil yang lebih besar
daripada ketika masing-masing komponen itu bergerak sendiri. Keterpaduan itu
meliputi ketenagaan, kurikulum, metode, sarana pendidikan, dan lingkungan
(keluarga, sekolah dan masyarakat).
Keterpaduan dalam ketenagaan berarti kerjasama dan kolaborasi antara
berbagai profesi yang menangani anak autis seperti orthopedagog, psikolog, dokter,
dan terapis secara sinergis. Para profesional tersebut tetap bekerja sesuai keahlian
dan batas-batas kompetensi yang dimiliki, namun melakukan koordinasi dan secara
bersama-sama bekerja dalam menangani anak autis yang menjadi klien/murid Pusat
Layanan Autis. Keterpaduan dalam bidang kurikulum dan metode menyangkut
keselarasan program intervensi antara bidang-bidang dan profesional yang
menangani anak autis, berikut keterpaduan alur layanan, sistem dan alur kerja untuk
mendukung intervensi yang dilakukan. Keterpaduan dalam bidang lingkungan
mengimplikasikan pendekatan menyeluruh yang diberikan terhadap anak autis yang
merupakan klien/murid PLA dalam berbagai dimensi kehidupan yaitu dengan
melibatkan berbagai stakeholder terkait terutama keluarga, sekolah dan masyarakat.

62|P a g e

B. Sasaran
1. Anak penyandang autis, setelah mendapatkan diagnosis dari profesional yang
kompeten.
2. Keluarga dari anak autis yang mendapat layanan dari Pusat Layanan Autis.

C. Tujuan
1. Mengurangi hambatan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial.
2. Pengelolaan emosi dan perilaku, termasuk untuk mengurangi manifestasi dari
pola yang terbatas dan berulang pada perilaku, ketertarikan atau aktivitas yang
tidak relevan.
3. Meningkatkan kemandirian sesuai dengan tingkat perkembangan dan derajat
autis yang dimiliki.
4. Memperbaiki kemampuan sensori motor untuk meningkatkan ketrampilan respon
adaptif dalam aktivitas sehari-hari.
5. Mengoptimalkan kesehatan anak (termasuk kesehatan umum, kesehatan secara
khusus yang terkait dengan gejala autis, gizi, dan kesehatan gigi).

D. Layanan Intervensi Terpadu


1. Intervensi Psikologis
Intervensi

psikologis

mencakup

pengembangan

kemampuan

bahasa-

komunikasi, interaksi sosial, dan emosi serta pengelolaan perilaku-perilaku


anak autis yang repetitif/obsesif dan kaku serta perilaku-perilaku anak yang
mengganggu. Kemampuan-kemampuan ini adalah kemampuan anak untuk
dapat berfungsi dalam aktivitas sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, intervensi
psikologis tidak dapat terlepas dari intervensi lain misalnya intervensi medis dan
pendidikan transisi, serta intervensi berbasiskan keluarga.Intervensi tersebut
meliputi terapi perilaku dan terapi bermain. Terdapat berbagai pendekatan yang
dapat digunakan dalam intervensi psikologis, diantaranya adalah Applied
Behavior Analysis/Discrete Trial Training, Floortime, Sonrise, Kaufman,
Strategi Visual/Pecs/Compic, dan berbagai pendekatan lain.
a.

Terapi Perilaku
Sejauh ini metode yang secara luas dianggap sebagai metode paling
berhasil dalam penanganan anak autis adalah metode terapi perilaku
63|P a g e

Applied Behavior Analysis (ABA), terutama dengan pendekatan siklus


Discrete Trial Training (DTT). Pendekatan ini telah terbukti efektif dalam
mengajar beragam ketrampilan inti dalam konteks yang terstruktur dan
formal. Salah satu model pelaksanaan yang paling umum digunakan dalam
siklus Discrete Trial Training adalah siklus dimulai dengan instruksi dan
diakhiri dengan imbalan. Siklus penuh terdiri dari 3 kali instruksi, dengan
pemberian tenggang waktu 3 5 detik pada instruksi pertama dan kedua.
Aplikasi dari DTT seringkali menggunakan blok-blok target dan prosedur
yang identik. Salah satu yang paling sering digunakan adalah program
terapi yang dilaksanakan dalam 3 tingkatan yaitu: Tingkat Dasar (basic),
Tingkat Madya (intermediate), dan Tingkat Lanjut (advance). Materi untuk
setiap tingkatan tersebut terbagi dalam 6 kategori:
Kategori A: Kemampuan mengarahkan perhatian (attending) dan
kepatuhan
Kategori B: Kemampuan Imitasi (menirukan)
Kategori C: Kemampuan Bahasa Reseptif
Kategori D: Kemampuan Bahasa Ekspresif
Kategori E: Kemampuan Pre-Akademik
Kategori F: Kemampuan Bina Diri
Tingkat Lanjut akan mendapatkan 3 tambahan kategori yaitu: kemampuan
sosialisasi, kemampuan bahasa abstrak, dan kesiapan masuk sekolah.
Kurikulum ABA dengan pendekatan ini secara lengkap sebenarnya terdiri
atas lebih dari 500 tugas individual yang perlu dikerjakan, dan terapi
berlangsung sekitar 2 tahun secara intensif dengan 40 jam per minggu.
Meskipun demikian aplikasi praktisnya sangat disesuaikan dengan kondisi
awal dan kecepatan perkembangan anak yang berbeda-beda.
b.

TerapiBermain
Terapi bermain merupakan penggunaan aktivitas bermain untuk membantu
anak dalam terapi, mengatasi masalahnya masing-masing dalam membantu
anak mencegah atau mengatasi kesulitan psikososial dan mencapai tumbuh
kembang yang optimal. Hal ini termasuk penggunaan material permainan
yang bervariasi dan terapis yang selaras dengan kebutuhan masing-masing
anak yang unik. Terapi bermain bagi penyandang autisme bertujuan untuk
64|P a g e

mengendalikan perilaku agresif, mengembangkan keterampilan berbicara


dan bersosialisasi, serta menumbuhkan kesadaran akan keberadaan orang
lain dan lingkungan di sekitar mereka. Selain itu, terapi bermain juga
membantu mengembangkan ketrampilan sosial, menumbuhkan kesadaran
akan keberadaan orang lain dan lingkungan sosial, mengembangkan
ketrampilan bicara, mengurangi perilaku stereotip dan mengendalikan
agresivitas. Terapi bermain bisa dilakukan dengan berbagai macam teknik,
antara

lain:

teknik

fantasi(fantasy

technique),bermain

untuk

relaksasi(relaxation play), (drawing), bermain dengan buku (biblio-play),


membuat prakarya (making-things), dan pengamalan sensorik(sensory
experience).
2. Intervensi Medis
Intervensi medis mencakup intervensi sensori-motor, bahasa wicara, dan
kesehatan.
a. Intervensi sensori-motor meliputi berbagai aspek dalam menerima dan
merespon stimulus dari lingkungan (vestibular, proprioseptif, taktil, visual,
auditori, olfaktori dan gustatori) melalui aktivitas yang melibatkan motorik
kasar dan motorik halus.
b. Intervensi bahasa wicara meliputi kemampuan untuk memproduksi suara,
kemampuan oral-motor dan pemahaman bahasa.
c. Intervensi kesehatan meliputi kesehatan umum, gizi, kesehatan gigi dan
mulut dan kesehatan khusus yang terkait dengan gejala autis. Inidividu
dengan autisme seringkali membutuhkan pemantauan dan penanganan
medis secara berkesinambungan keuntuk mengatasi berbagai kondisi seperti
misalnya bangkitan (seizure), kecemasan, depresi, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan pencernaan, atau gangguan pola tidur.
Intervensi tersebut dilaksanakan melalui satu atau beberapa dari berbagai jenis
pendekatan/terapi sesuai kebutuhan anak, yaitu terapi okupasi (sensori integrasi
dan snozelen), terapi wicara,hydrotherapy, serta terapi biomedik dan atau
medikamentosa.
a. Terapi okupasi

65|P a g e

Occupational therapy berasal dari kata occupational yang artinya aktivitas


dan therapy berarti penyembuhan atau pemulihan, sehingga occupational
therapy adalah bentuk layanan kesehatan kepada individu yang mengalami
gangguan fisik dan atau mental dengan menggunakan aktivitas bermakna
(okupasi) untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas
kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang. Untuk
melakukan aktivitas okupasional tersebut diperlukan koordinasi gerak,
atensi dan konsentrasi, kekuatan, otot, keseimbangan. kemampuan
berinteraksi sosial, refleks, kendali diri, dan sebagainya. Layanan terapi
okupasi yang disediakan PLA dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan sensori-integrasi dan snozelen.
1) Sensori-integrasi
Pendekatan ini berupa aktivitas yang dapat merangsang koneksi sinaptik
yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas
untuk belajar. Integrasi sensori (sensory integration) ditujukan untuk
dapat mengolah dan mengartikan rangsang sensoris yang diterima dari
tubuh maupun lingkungan dan kemudian akan menghasilkan respon
yang terarah. Pendekatan ini membantu anak untuk dapat memproses
input-input sensori yang adadi sekitarnya, (vestibular, proprioseptif,
taktil, visual, auditori, olfaktori dan gustatori)sehingga menghasilkan
output berupa respons yang sesuai. Dengan demikian diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan atensi dan konsentrasi, mengkoordinasikan
gerakan,berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan, kemampuan
mengendalikan

emosi,menumbuhkan

rasa

percaya

diri,

serta

kemampuan akademis seperti membaca, menulis,memahami materi


pelajaran, mengemukakan ide, dan sebagainya.
2) Snozelen
Snozelen merupakan salah satu pendekatan multisensori dimana
menggunakan aktifitas yang dirancang mempengaruhi sistem sensori
primer (SSP) melalui pemberian stimuli yang cukup pada sistem sensori
primer dan sensori sekunder dalam ruang multi sensori. Stimuli
primer/reseptor sensori eksternal yang akan diberikan berupa visual,

66|P a g e

auditori, olfaktori, gustatori dan taktil. Stimuli sekunder/reseptor sensori


internal yang akan diberikan adalah berupa vestibular dan proprioseptif.
b. Terapi wicara
Terapi Wicara adalah layanan terapi yang membantu bekerja pada prinsipprinsip dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau ganguan pada
berbahasa dan berbicara. Tujuan terapi wicara adalah

agar anak dapat

berkomunikasi secara optimal di masyarakat berdasarkan modalitas yang di


miliki oleh anak.
c. Hydrotheraphy
Terapi yang menggunakan media air dan kolam, berguna untuk menangani
gangguan sensori taktil, fobia air, gangguan konsentrasi, gangguan motorik
(otot dan sendi), dan keseimbangan motorik. Selain itu terapi ini juga dapat
membantu anak autis untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri
anak melalui aktifitas di air.
d. Terapi biomedik dan atau medikamentosa
Terapi ini berfokus pada pengoptimalan fungsi-fungsi pada otak, yang
diakibatkan oleh gangguan metabolisme. Terapi dilaksanakan oleh dokter
spesialis dengan penguasaan tentang penanganan medis anak autis.
Disamping

itu

dokter

juga

akan

melakukan

terapi

obat-obatan

(medikamentosa) sesuai kebutuhan peserta layanan (bila indikasi kuat)


antara lain: hiperaktivitas yang berat, menyakiti diri sendiri, menyakiti orang
lain, merusak, dan gangguan pola tidur.

3. Intervensi Berbasis Keluarga


Pusat Layanan Autisme tidak mungkin berdiri sendiri dalam memberikan
intervensi. Kompleksitas gangguan yang dimiliki oleh anak autis menuntut
berbagai pihak - terutama keluarga dimana waktu anak sangat banyak berada di
sana untuk memberikan kontribusi dalam proses intervensi ini. Oleh karena itu
peran keluarga sangat penting untuk menunjang keberhasilan hasil intervensi.
Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan Pusat Layanan Autis terkait
intervensi berbasis keluarga:

67|P a g e

Penyampaian diagnosis disertai dengan penjelasan pada orang tua


tentangautisme secara umum, dan jabaran dari berbagai berbagai fungsi
kekhususanyang disandang oleh anak.

Meninjau dan menganalisis bersama orang tua berbagai kondisi dalam


keluargadan situasi di lingkungan rumah yang berpotensi digunakan untuk
melakukanintervensi pada anak.

Orang tua dilibatkan dalam penyusunan program secara komprehensif


yangdapat dilakukan di rumah (home programme).

Mengajarkan

pada

anak

keterampilan

sosial

sederhana,

misalnya

denganmengajak anak bertamu, mengajak anak berbelanja dan mendorong


anak untukberinteraksi dengan penjual, memilih benda yang diinginkan,
membayar dan sebagainya.

Dilakukan program sosialisasi pada lingkungan sekitar anak tentang


autismedan kekhususan fungsi yang disandang anak, agar lingkungan dapat
memahamidan membantu memfasilitasi anak.

Melibatkan

anak

autis

dalam

kegiatan

di

lingkungan,

misalnya

memfasilitasianak untuk bermain bersama anak sebaya.

E. Prosedur dan Metode


Secara umum tata laksana program intervensi terpadu dilakukan dengan proses:
1. Pembuatan program intervensi terpadu
Pembuatan program intervensi terpadu dilaksanakan berdasarkan hasil asesmen
yang telah dilaksanakan sebelumnya pada Unit Identifikasi dan Asesmen.Bila
perlu dilakukan asesmen lanjut dan case conference. Asesmen lanjut dilakukan
untuk mendapatkan profil sensori anak yang akan menjadi dasar untuk
pembuatan program intervensi.
2. Penandatanganan kontrak oleh orang tua
Program intervensi akan diinformasikan dan didiskusikan dengan orang tua
sekaligus melakukan penandatanganan kontrak atas program intervensi yang
akan dijalankan dan aturan yang harus dipenuhi.
3. Implementasi program intervensi.
Implementasi program intervensi terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap penuh di unit
intervensi terpadu selama 1-3 bulan dan tahap paralel unit intervensi terpadu
68|P a g e

dengan unit pendidikan transisi selama sampai dengan maksimal 1 tahun. Anak
mendapat maksimal dua sesi terapi yang berbeda dalam satu hari. Alokasi waktu
masing-masing terapi adalah 1 jam dengan rincian 45 menit pelaksanaan terapi
dan 15 menit pembuatan evaluasi harian.
Program intervensi diimplementasikan dengan berbagai pendekatan/metode,
antara lain: terapi perilaku (Applied Behavior Analysis/Discrete Trial Training,
Floortime, Sonrise, Kaufman, Strategi Visual/Pecs/Compic, dll), terapi okupasi
(sensori integrasi, snoezellen, bina diri dan produktivitas), terapi wicara,
hydrotherapy. Berbagai aktivitas dalam intervensi tersebut dapat dilakukan
secara individual maupun kelompok. Selain program-program intervensi
tersebut, terdapat intervensi yang bersifat insidental meliputi kesehatan umum,
gizi, gigi dan mulut serta kesehatan khusus terkait gejala autis yang
menggunakan terapi biomedik dan/atau medikamentosa.
4. Evaluasi harian, mingguan, dan triwulan.
Evaluasi periodik dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kemajuan
yang dimiliki anak pada setiap tahapan. Informasi ini berguna untuk mengetahui
apakah program yang dijalankan sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan
dan mengetahui hambatan dalam pelaksanaan program sehingga dapat segera
diberikan penanganan yang sesuai.
5. Evaluasi semester
Hasil evaluasi semester berbeda dari evaluasi periodik lain akan menentukan
tindak lanjutprogram. Ada dua alternatif rekomendasi tindak lanjut, yaitu anak
melanjutkan intervensi terpadu paralel dengan unit pendidikan transisi atau anak
menjadi tanggung jawab penuh unit intervensi terpadu.
6. Evaluasi akhir implementasi intervensi terpadu
Hasil evaluasi akhir akan menentukan tindak lanjut. Ada dua altrnatif
rekomendasi tindak lanjut, yaitu anak menjadi tanggung jawab penuh unit
intervensi terpadu atau anak mengalami pengurangan jam intervensi dan
mendapat penguatan program di rumah.

69|P a g e

ALUR PELAYANAN UNIT INTERVENSI TERPADU

70|P a g e

F. Pelaksana
Layanan intervensi terpadu akan dilaksanakan oleh beberapa profesi dengan
kompetensi khusus untuk menangani dan mengembangkan anak autis, meliputi
orthopedagog, psikolog, dokter dan terapis. Keterpaduan antara profesi dalam menangani
anak autis akan sangat menentukan keberhasilan intervensi yang dijalankan, sehingga
diperlukan kolaborasi antar profesional yang terlibat.
Pendidikan yang berhasil untuk anak autis memerlukan kolaborasi antara
bermacam

profesi

dan

pemangku

kepentingan.

Kolaborasi

profesional

dapat

didefinisikan sebagai gaya interaksi langsung antara (paling tidak) dua pihak setara
yang secara suka rela terlibat dalam pengambilan keputusan bersama ketika mereka
bekerja untuk tujuan yang sama. Sebagai contoh, terapis wicara dan ortopedagog perlu
bekerja sama untuk mengembangkan kemampuan komunikasi untuk anak autis. Sebagai
tambahan, diperlukan tim kolaboratif lintas disiplin untuk menunjang dan mendorong
pendidikan untuk anak autis.
Terdapat berbagai macam bentuk kolaborasi profesional yang mungkin dilakukan
untuk menangani anak autis, yaitu:

Tim Multidisiplin : terdiri dari anggota yang mewakili beragam sudut pandang dan
disiplin, namun dengan jumlah dan tenggat pertemuan yang terbatas.

Tim Interdisiplin : terdiri dari anggota yang mewakili sejumlah sudut pandang dan
disiplin, namun dengan pertemuan yang lebih sering berlangsung.

Tim Transdisiplin : profesional memberikan unjuk kerja terkait tugas yang diemban
secara interaktif dan, melalui pelepasan peran, dapat berbagi atau mencampur peranperan tersebut, dengan satu atau dua anggota tim bertanggungjawab melaksanakan
intervensi.

G. Sarana/alat/instrumen
Terdapat berbagai macam peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung layanan
intervensi terpadu yang terbagi dalam dua jenis yaitu sarana umum dan sarana khusus.
Sarana umum diantaranya adalah ruang-ruang yang harus memenuhi syarat untuk
kebutuhan intervensi. Sarana khusus berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam
proses terapi. Berbagai peralatan yang digunakan memiliki spesifikasi khusus dan dalam
penggunaannya harus sangat memperhatikan karakteristik anak, karena anak autis
memiliki karakter dan kepekaan yang berbeda-beda dari sisi sensori motornya. Meskipun
71|P a g e

demikian terapis perlu memiliki pendekatan yang kreatif atas alat-alat tersebut, mulai
dari kreativitas dalam ragam alat yang digunakan, kreativitas dalam penggunaan alat-alat
tersebut, hingga kreativitas dalam pengadaan berbagai alat alternatif yang mungkin tidak
ada di pusat layanan autis.Misalnya pelaksanaan terapi okupasi tidak memerlukanalat
atau media yang cukup berarti. Semua media bisa digunakan, yang penting adalahtujuan
terapinya. Satu media bisa digunakan untuk beberapa tujuan, itulah uniknya.Katakan
sebuah kertas. Kertas bisa dimodifikasi dengan berbagai macam cara untuk bisadijadikan
media terapi bagi anak yang mengalami gangguan fungsi pada tangannya.

H. Evaluasi dan Tindak Lanjut


Evaluasi atas perkembangan anak perlu dilakukan secara periodik untuk memastikan
anak mendapatkan layanan yang sesuai. Selain dengan berbagai instrumen yang harus
diisi

oleh

profesional

terkait

untuk

kepentingan

intervensi

ini,

pemantauan

perkembangan anak juga dilaksanakan dengan case conference antar profesional yang
terlibat secara berkala, sehingga informasi yang tercakup menjadi lebih komprehensif.
Demikian pula, tindak lanjut atas evaluasi program intervensi yang diberikan kepada
anak harus melibatkan berbagai profesional yang terlibat, termasuk dengan
memperhatikan informasi dan masukan yang diberikan oleh orang tua/wali.Setelah
menyelesaikan program intervensi terpadu, anak autis dapat melanjutkan program di
Unit Pendidikan Transisi berdasarkan rekomendasi dari unit layanan intervensi terpadu
dengan disertai laporan hasil dan kesimpulan.

72|P a g e

BAB VI
LAYANAN PENDIDIKAN TRANSISI
A. Pengertian
Transisi ke sekolah secara umum dipahami sebagai periode penuh tekanan untuk
semua anak dan keluarganya. Transisi ke sekolah merupakan tonggak awal yang
sangat penting dalam kehidupan dan perkembangan anak-anak berkebutuhan
khusus. Pentingnya pengalaman memasuki sekolah untuk pengembangan
akademik dan kemampuan sosial dinyatakan secara jelas dalam berbagai literatur
(Maxwell & Eller, 1994; Rous et al, 2007). PLA sebagai bagian dari penanganan
anak berkebutuhan khusus autis menyadari pentingnya layanan pendidikan
transisi bagi mereka.
Program pendidikan transisi adalah program layanan pembelajaran/pendidikan
kepada anak-anak autis di Pusat Layanan Autis (PLA). Program pendidikan
transisi memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Merupakan bagian integral dari pelayanan yang ada di PLA.
2. Dilaksanakan setelah proses indentifikasi dan asesmen.
3. Dilaksanakan setelah dan/atau bersamaan dengan program intervensi terpadu.
4. Bersifat sementara/transisi (kurang lebih 1 tahun), sebelum memasuki
lembaga pendidikan lebih lanjut yang sesuai dengan perkembangan
terbaiknya.
5. Dipriotitaskan kepada penggalian dan pengembangan kemampuan bidang
akademik sebagai dasar pertimbangan untuk penempatan pendidikan lebih
lanjut.
B. Tujuan
Program pendidikan transisi memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengenali potensi kemampuan anak dalam bidang akademik dan bidangbidang perkembangan lainnya seperti bahasa komunikasi, sosio emosional,
motorik (ketrampilan menulis), bina diri, ketrampilan membaca, ketrampilan
berhitung, dan seni dan prakarya.

73|P a g e

2. Membekali anak dengan hal-hal lebih kompleks lainnya yang diperlukan


untuk menjalani proses pendidikan lebih lanjut (misalnya adaptasi situasi
sekolah, relasi dengan lingkungan yang lebih kompleks).
3. Menempatkan anak pada jenjang dan/atau lembaga pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan terbaiknya.

C. Subjek/sasaran
Program pendidikan transisi diberikan kepada seorang atau sekelompok anak
autis yang terdaftar di Pusat Layanan Autis. Anak autis yang mengkuti program
pendidikan transisi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Terdaftar sebagai peserta didik di pusat layanan autis.
2. Telah mengikuti proses identifikasi dan asesmen dan telah didiagnosis
sebagai autis.
3. Telah mengikuti program intervensi terpadu sekurang-kurangnya selama 1-3
bulan.
D. Waktu
Program pendidikan transisi berlangsung maksimal 12 bulan. Program dapat
dipercepat atau diperpanjang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan atas dasar
penilaian dan pertimbangan lembaga dengan pertimbangan utama perkembangan
anak. Setelah kurun waktu 12 bulan, Pusat Layanan Autis (PLA) akan
menempatkan anak ke lembaga pendidikan (sekolah) yang sesuai dengan
perkembangan terbaik anak.
E. Manajemen pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran di program pendidikan transisi mengikuti beberapa
ketentuan umum sebagai berikut:
1. Pembelajaran dapat dilaksakan secara individual atau klasikal. Jika jumlah
anak hanya ada satu, atau karakteristik usia/kemampuan/perilaku anak sangat
unik, maka guru dapat melaksanakan pembelajaran secara individual.
2. Anak-anak dengan karakteristik perkembangan yang relatif homogen, dapat
dilayani melalui pembelajaran klasikal.
74|P a g e

3. Jumlah siswa dalam satu kelas klasikal maksimal 5, yang dilayani oleh 2-3
guru.
4. Bobot belajar dalam 1 minggu adalah 18 jam pelajaran, yang meliputi 7
bidang pengembangan yaitu (1) bahasa komunikasi, (2) sosio emosional, (3)
motorik (ketrampilan menulis), (4) bina diri, (5) ketrampilan membaca, (6)
ketrampilan berhitung, dan (7) seni dan prakarya.
4.

Bobot untuk masing-masing bidang pengembangan dapat dilihat pada


kurikulum.

5. Pembelajaran dilaksanakan 3 hari dalam seminggu (misalnya: senin, rabu dan


jumt). 2 hari lainnya (selasa dan kamis) digunakan untuk program intervensi
terpadu (terapi).
6. Lamanya pembelajaran dalam satu hari adalah 6 jam pelajaran (1 jam = 30
menit). Dengan demikian waktu belajar dalam 1 hari adalah 180 menit/3 jam
(6x30

menit).

Berikut

disajikan

contoh/ilustrasi

pengaturan

jadwal

pembelajaran di pendidikan transisi:

Jam
09.0010.00
10.0011.00
11.0012.00

Senin
Transisi

Hari/bidang pengembangan
Selasa
Rabu
Kamis
Intervensi
Transisi
Intervensi

Kamis
Transisi

Transisi

Intervensi

Transisi

Intervensi

Transisi

Transisi

Intervensi

Transisi

Intervensi

Transisi

7. Ruang belajar klasikal minimal berukuran 30 m2 (5x6 m), nyaman dan kaya
dengan display yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
F. Kurikulum
1. Kompetensi inti
Kompetensi inti adalah kemampuan-kemampuan utama yang harus dikuasai
oleh anak autis setelah mengikuti program pendidikan transisi. Ada 4
kompetensi inti yang diharapkan dikuasai oleh anak yaitu sebagai berikut:

Memahami dan menataati ajaran agama yang dianutnya.

75|P a g e

Memiliki perilaku peduli, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, dan


percaya diri dalam menjalankan tugas/aktivitas sebagai makhluk individu
dan makhluk social.

Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang konsep dasar berbagai


objek dan peristiwa dan memecahkan masalah sesuai kemampuannya.

Memiliki kecakapan/keterampilan dasar untuk menolong dirinya dan


menghasilkan karya-karya yang bermakna sesuai dengan usianya.

2. Bidang pengembangan dan bobot belajar

Ada 7 bidang pengembangan pokok yang dipelajari anak dalam program


pendidikan transisi, dengan jumlah bobot belajar 18 jam pelajaran per
minggu. Rincian bidang pengembangan dapat dilihat pada tabel berikut:

Bidang pengembangan Dan Bobot Belajar


Program Pendidikan Transisi
No

Bidang pengembangan

Bahasa dan Komunikasi

Sosio Emosional

Motorik (Ketrampilan Menulis)

Bina diri

Keterampilan Membaca

Keterampilan Berhitung

Seni dan Prakarya

Jumlah

Bobot belajar/minggu

18

Penerapan bidang pengembangan dan bobot belajarnya harus bersifat


fleksibel. Artinya, jumlah bidang pengembangan dan jumlah jam belajar
dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak yang
didasarkan kepada hasil asesmen.

3. Kompetensi dasar

76|P a g e

Kompetensi dasar adalah kemampuan-kemampuan lebih rinci sebagai


penjabaran dari komponensi inti dan dirumuskan pada masing-masing
bidang pengembangan.

Kompetensi inti dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan dan


kebutuhan anak.

Kompetensi dasar bersifat fleksibel artinya dapat berubah untuk


disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Anak yang berada dalam satu kelas dimungkinkan untuk menggunakan


kompetensi dasar yang sama atau berbeda sesuai dengan kemampuan
siswa.

Rumusan kompetensi dasar dapat dilihat pada lampiran.

G. Tenaga Pendidik
1. Tenaga yang akan melayani anak autis di program transisi adalah guru
pendidikan khusus.
2. Guru pendidikan khusus adalah guru yang memiliki keahlian dan kualifikasi
pendidikan di bidang pendidikan khusus.
3. Guru pendidikan khusus yang mengajar di program pendidikan transisi harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Berkualifikasi pendidikan S1 dari jurusan/program studi pendidikan
khusus/pendidikan luar biasa.
b. Berkualifikasi pendidikan S1 non-pendidikan khusus, yang telah
mengikuti dan lulus pendidikan profesi dalam bidang pendidikan khusus.
c. Berkualifikasi pendidikan S1 non-pendidikan khusus, yang telah
mengikuti pendidikan tambahan di bidang pendidikan khusus dari
lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
d. Memiliki keahlian dan pengalaman dalam mendidik anak autis.
H. Asesmen akademik
1. Sebelum memulai pembelajaran di program pendidikan transisi, guru harus
melakukan asesmen akademik (educational assessment).
2. Asesmen akademik adalah proses pengumpulan data/informasi mengenai diri
anak yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan program pembelajaran.
77|P a g e

3. Asesmen akademik merupakan asesmen lanjutan dan lebih fokus kepada


area-area yang relevan dengan kegiatan belajar mengajar.
4. Asesmen

akademik

bertujuan

untuk

mengenali

kemampuan

anak,

kecenderungan perilaku, serta jenis dan tingkat hambatan.


5. Asesmen akademik dilakukan oleh guru (tenaga pendidik).
6. Bidang-bidang atau area kemampuan yang harus diases mencakup:
a. Kemampuan sensori motor antara lain: penglihatan, pendengaran,
perabaan, morik kasar dan motorik halus
b. Kemamampuan kognitif (mengenal bentuk, mengenal warna, calistung,
konsep-konsep dasar dll.)
c. Kemampuan bahasa (bahasa reseptif dan bahasa ekspresif)
d. Kemampuan sosio-emosional (inisiatif, kemandirian, etc)
e. Kemampuan Bina diri
f. Kemampuan Pre-akademik/Akademik (kemampuan akademik dasar;
membaca, berhitung dan menulis)
7. Asesmen dapat dilakukan melalui beberapa cara/metode, di antaranya adalah
sebagai berikut:

Wawancara dengan orang tua

Mempelajari biodata anak

Mencermati dokumen hasil identifikasi dan asesmen yang sudah diikuti


sebelumnya di PLA.

Mencermati berbagai dokumen hasil asesmen sebelumnya.

Tes yang dirancang oleh guru.

Pengamatan dan wawancara langsung kepada anak.

8. Jika asesmen dilakukan melalui kegiatan pengamatan, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:

Pengamatan dilakukan di ruang khusus yang telah dirancang.

Pengamatan dilakukan maksimum selama 45 menit dalam satu hari


pengamatan.

Pengamatan dapat diintegrasikan dengan tes, permainan, wawancara dll.

Pengamatan dapat dilakukan lebih dari satu kali kesempatan.

Pengamatan harus menggunakan instrument yang dirancang khusus.


78|P a g e

9. Hasil asesmen memberikan gambaran tentang potensi kemampuan dan


kecenderungan perilaku anak, dan rekomendasi mengenai program yang
dibutuhkan oleh anak.
I. Perencanaan pembelajaran
1. Sebelum melaksanakan kegiatan belajar mengajar, guru harus menyusun
rencana pembelajaran.
2. Rencana pembelajaran harus disusun sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan anak, dengan merujuk kepada hasil asesmen.
3. Ada 2 jenis rencana pembelajaran yang harus dibuat oleh guru, yaitu Program
Pembelajaran Individual (PPI) dan Rencana Pembelajaran Harian (RPP:
rencana pelaksanaan pembelajaran).
a. Program pembelajaran individu (PPI)
Program Pembelajaran Individu (PPI) adalah program pembelajaran yang
dirancang untuk setiap individu anak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan.
Program Pembelajaran Individu (PPI) terdiri dari 2 bagian yaitu;
1. Data: nama anak, tanggal lahir anak, nama orangtua, diagnosa, periode
program, nama guru, penanggung jawab program.
2. Form : Performa anak, tujuan pembelajaran jangka panjang, Tujuan
pembelajaran jangka pendek, strategi/metode pembelajaran, media,
penanggung jawab

79|P a g e

Berikut contoh Program Pembelajaran Individu (PPI) ;

Program Pembelajaran Individu (PPI)

Namaanak
TanggalLahir
NamaOrangTua
Diagnosa

Tujuanjangka
Panjang

:
:
:
:

Periode
Namaguru
PenanggungJawab

:
:
:

Perorma Anak

Tujuan Jangka
Pendek

Strategi

Media

PIC

b. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)


Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran
yang disusun untuk satu atau dua kali pertemuan pembelajaran. Informasi,
komponen atau aspek yang harus termuat di RPP adalah (1) identitas
bidang pengembangan, (2) rumusan kompetensi inti, (3) kompetensi
dasar, (4) materi, (5) indikator, (6) alokasi waktu, (7) kegiatan
pembelajaran, (8) media dan sumber belajar, (9) evaluasi. RPP dibuat
secara naratif. Contoh dapat dilihat pada lampiran.
4. Rencana pembelajaran dapat dibuat dalam 2 model sesuai kebutuhan yaitu (1)
rencana pembelajaran individual, dan (2) rencana pembelajaran klasikal.
a. Rencana Pembelajaran Individual
Rencana Pembelajaran Individual adalah rencana pembelajaran yang
dirancang dan diberlakukan untuk sesorang anak. Rencana pembelajaran
individual disusun karena kemampuan dan kebutuhan anak sangat unik
(individual), sehingga tidak mungkin untuk disusun secara bersama
dengan anak lain. rencana pembelajaran individual sering dikenal dengan
istilah PPI (perencanaan pembelajaran individu), atau IEP (individualized
80|P a g e

education program). Aspek yang harus termuat di dalam rencana


pembelajaran individu adalah identitas mata ajar, identitas siswa,
kemampuan siswa saat ini, tujuan yang akan dicapai, materi, kegiatan
pembelajaran, waktu, media dan sumber, evaluasi.
b. Rencana Pembelajaran Klasikal
Rencana pembelajaran klasikal adalah rencana pembelajaran yang disusun
dan diberlakukan untuk sekelompok anak secara bersama. Konten dan
prosedur pengembangannya sama dengan silabus dan RPP yang telah
dibahas sebelunya.
J. Proses Pembelajaran
1. Prinsip
-

Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar. Oleh karena itu guru
harus memiliki sikap dan tutur bahasa yang baik

Konsistensi dan persistensi menjadi penting agar anak memahami aturan


yang ditetapkan dalam kegiatan belajar

Guru harus bersikap tegas terhadap manipulasi perilaku yang muncul dari
anak, menegakkan aturan kegiatan belajar.

Kegiatan dibuat sesuai dengan ketahanan atensi anak rata-rata dalam


kelas. Hal ini dilakukan mengatisipasi anak bosan atau marah. Kegiatan
bisa dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang tidak terputus. Misalnya
kegiatan pembelajaran 2 jam pelajaran (60 menit) kegiatan belajar bisa
dilakukan per 10-15 menit lalu diberi jeda istirahat 1-5 menit.

Tidak memberikan kesempatan anak melakukan kegiatan yang tidak


bermakna bahkan sampai tidak melakukan apa-apa (menunggu guru
menyiapkan materi)

Jika anak tantrum atau marah saat kegiatan belajar, guru harus mengambil
tindakan mengeluarkan anak tersebut dari kelas untuk ditenangkan
sehingga tidak mendistraksi kegiatan pembelajaran di kelas.

2. Pendekatan
-

Instruksi terfokus
Pendekatan ini dilakukan pada kondisi awal, dengan memberikan
pemahaman instruksi individual
81|P a g e

Pengalaman belajar
Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan pengalaman belajar
(misalnya : naik alat transportasi)

Pengayaan/Stimulasi
Pendekatan ini dilakukan dengan menambah pemahaman anak atau
mengenalkan hal-hal baru

Integratif
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan kegiatan integratif
dalam kelompok kecil maupun besar

3. Strategi
Dalam pelaksanaan pembelajaran pada kelas transisi, kurikulum yang ada
akan terbagi menjadi kurikulum pembelajaran dalam dimensi yang berbasis
akademik dan berbasis intervensi (kekhususan). Bidang pengembangan sebagai
kegiatan untuk menerapkan tujuan pembelajaran khusus seperti pengembangan
perilaku, sosial emosional, bahasa dan komunikasi. Kegiatan belajar tidak selalu
dilakukan secara konvensional, yaitu bagaimana cara anak mampu memahami
tujuan pembelajaran itu secara menyeluruh. Tetapi kegiatan bisa dimodifikasi
untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran khusus. Kegiatan pembelajaran bisa
dilakukan dengan cara sebagai berikut ;
1. Pembentukan
Pembelajaran dengan tujuan pembentukan adalah kegiatan yang dirancang
dan direncanakan untuk membentuk hal yang baru seperti pembentukan
aturan baru, pembentukan kebiasaan dan lain sebagainya.
2. Pemudaran/penghilangan
Pembelajaran dengan tujuan pemudaran adalah kegiatan pembelajaran
yang dirancang dan direncanakan untuk memudarkan atau menghilangkan
hal-hal yang tidak diharapkan muncul, misalnya; menghilangkan perilaku
agresif, impulsif atau menghilangkan kebiasaan yang tidak baik
3. Bantuan
Pembelajaran dengan tujuan memberikan bantuan atau dorongan saat anak
melakukan kegiatan pembelajaran. Diharapkan bantuan tersebut akan
hilang secara bertahap. Biasanya metode ini digunakan saat guru
memberikan materi baru atau pemahaman baru.
82|P a g e

4. Model/Contoh
Kegiatan pembelajaran dengan meniru/modeling adalah kegiatan yang
dilakukan dengan memberi contoh terlebih dahulu kepada anak diharapkan
anak meniru apa yang dicontohkan. Kegiatan imitasi gerak seperti menari,
melakukan gerak sederhana mewakili kata kerja seperti melompat dan lain
sebagainya.
5. Bermain
Kegiatan pembelajaran dengan bermain adalah kegiatan yang dilakukan
sambil bermain, bisa permainan dengan kelompok kecil atau kelompok
besar
6. Generalisasi
Kegiatan pembelajaran dengan cara generalisasi adalah kegiatan yang
dilakukan untuk menggeneralisasi kemampuan pemahaman anak terhadap
ligkungannya. Misalnya menggeneralisasi pemahaman anak terhadap
warna atau bentuk.
7. Penguatan/Pengukuhan
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan penguatan/pengukuhan
positif atau negatif untuk mempertahankan kemampuan yang sudah
dimiliki anak.
8. Analisis tugas
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan tugas atau
lembar kerja yang akan diamati proses dan hasil penyelesaiannya
9. Urutan
Kegiatan pembelajaran dengan urutan adalah kegiatan yang dilakukan
dengan serangkaian kegiatan. Biasanya metode ini dipakai untuk
mempelajari satu rangkaian kegiatan seperti cara mencuci piring, cara
memasak nasi, dan lain sebagainya

10. Fungsional
Kegiatan pembelajaran fungsional adalah kegiatan yang mengarah ke
pemahaman fungsional. Anak-anak diberi pemahaman tentang fungsi
benda atau tempat dan yang lainnya.
83|P a g e

K. Sarana, media dan sumber belajar


Sarana, media dan sumber belajar adalah satu kesatuan pendukung kegiatan
pembelajaran di kelas transisi.
1. Sarana adalah alat, fasilitas yang dipakai untuk mencapai tujuan kegiatan
yang dilakukan di kelas transisi
2. Media belajar adalah alat-alat peraga yang dipergunakan dalam proses
kegiatan pembelajaran di kelas transisi
3. Sumber belajar adalah sarana yang dipakai untuk menambah wawasan dan
ilmu dalam melakukan kegiatan pembelajaran di kelas transisi. Misalnya
buku sumber, pelatihan dan yang lainnya.
Sarana, media dan sumber belajar yag dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran di kelas transisi disediakan terlampir.
L. Evaluasi
1. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh anak pada
berbagai aspek perkembangan yang mencakup aspek: bahasa komunikasi, sosio
emosional, motorik (ketrampilan menulis), bina diri, ketrampilan membaca,
ketrampilan berhitung, dan seni dan prakarya.
Evaluasi dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu:
1) Evaluasi selama program berlangsung (harian, bulanan, dan triwulan)
2) Evaluasi akhir program
2. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan melalui beberapa teknik yaitu:
1) Pengamatan
2) Tes
3) Portofolio
3. Evaluasi dilaksanakan oleh tenaga pengajar
4. Guru harus membuat laporan hasil evaluasi. Ada tiga bentuk laporan evaluasi
yang harus dibuat yaitu:
1) Laporan kemajuan harian
2) Laporan kemajuan bulanan
3) Laporan Evaluasi triwulan
4) Laporang akhir program
M. Penempatan Anak Ke Sekolah
84|P a g e

1) Proses penempatan ke sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari


program pendidikan transisi sebagai bentuk keberlanjutan layanan pendidikan
anak autis pada jenjang pendidikan berikutnya berdasarkan perkembangan
terbaik anak.
2) Pilihan

jenis

sekolah

(sekolah

khusus/inklusif)

disesuaikan

dengan

rekomendasi hasil identifikasi, asesmen, dan intervensi yang dilakukan PLA.


3) Proses ini menitik-beratkan pada upaya keterlibatan anak, orangtua/keluarga,
dan sekolah yang akan dituju untuk mewujudkan perpindahan anak ke
sekolah seoptimal mungkin (smooth transition)
4) Proses ini mulai dilaksanakan pada bulan ketiga anak autis mengikuti
pendidikan transisi sampai dengan tiga bulan setelah anak autis tersebut
diterima di sekolah atau sesuai dengan kemampuan PLA dan kebutuhan
sekolah.
5) Prosedur pelaksanaan proses transisi ke sekolah adalah sebagai berikut :
a. Penjelasan rekomendasi hasil identifikasi, asesmen, dan intervensi oleh
PLA kepada orangtua.
Setelah melalui serangkaian proses identifikasi, asesmen, intervensi
terpadu,

dan

pendidikan

transisi,

PLA

akan

memberikan

saran/rekomendasi kepada orangtua atas alternatif jenis sekolah yang tepat


untuk perkembangan terbaik anak. Rekomendasi jenis sekolah yang
dimaksud adalah sekolah umum (inklusif) atau sekolah khusus.
Rekomendasi yang diberikan oleh PLA bersifat sebagai acuan bagi
orangtua.
b. Pemilihan sekolah yang akan melayani anak paska PLA.
Pada tahap ini, orangtua bersama anak melakukan pemilihan sekolah yang
akan melayani anak paska PLA berdasarkan rekomendasi yang diberikan
oleh PLA. Jika anak direkomendasikan ke sekolah khusus, maka dapat
diupayakan sekolah-sekolah khusus/SLB yang terdekat atau diinginkan
anak dan orangtua. Jika anak direkomendasikan ke sekolah umum
(inklusif), maka dapat diupayakan ke sekolah-sekolah umum terdekat atau
yang sudah direkomendasikan oleh pemerintah setempat atau sekolah
yang diinginkan anak dan orangtua.

85|P a g e

c. Konferensi kolaboratif antara pihak sekolah, orangtua, dan PLA tentang


implementasi penempatan anak ke sekolah.
Keberhasilan pendidikan transisi adalah bagaimana anak mendapatkan
layanan sebaik-baiknya pada sekolah lanjutan paska PLA. Untuk itu,
diperlukan proses yang melibatkan pihak orangtua/keluarga dan sekolah
sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam keberlanjutan pendidikan
anak, serta PLA sebagai lembaga yang menangani anak. Output tahap ini
adalah bagaimana pihak orangtua dan sekolah membangun sinergi dan
kerjasama dalam melayani anak paska PLA.
d. Observasi sekolah kepada anak di PLA
Sekolah yang akan menjadi tujuan penempatan anak paska pendidikan
transisi dapat melakukan observasi kondisi anak. Hal ini penting dalam
rangka memberikan pemahaman kepada pihak sekolah atas tingkat
kemampuan dan perkembangan anak yang akan dilayani. Pengamatan
dapat dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh sekolah untuk
melakukan pengamatan pada anak di pendidikan transisi.
e. Uji coba adaptasi anak di sekolah
Penyesuaian anak dengan lingkungan sekolah yang baru merupakan salah
satu kunci utama keberhasilan anak mengikuti proses pembelajaran di
sekolah. Untuk itu, dapat dilakukan uji coba adaptasi anak di sekolah
sebelum anak tersebut menyelesaikan program pendidikan transisi di
PLA. Perencanaan uji coba adaptasi anak di sekolah sesuai dengan
rekomendasi dan masukan dari Unit Layanan Pendidikan Transisi, dan
dilaksanakan oleh orangtua dengan pendampingan dari Unit Layanan
Pendidikan Transisi.
f. Penerimaan anak di sekolah.
Sebagai akhir dari layanan pendidikan transisi, maka anak akan menjadi
siswa di sekolah yang telah dipilih. Unit layanan pendidikan transisi PLA
akan mengeluarkan surat keterangan yang menerangkan bahwa anak telah
selesai mengikuti program layanan pendidikan transisi berikut datadata/catatan selama berada di PLA. Surat keterangan ini dapat digunakan
sebagai referensi dalam mengikuti pendidikan di sekolah paska PLA,
maupun dalam mengupayakan pengembangan kemampuan anak pada area
86|P a g e

terapi bidang pengembangan. Sebagai bentuk layanan lanjutan, unit


pendidikan transisi akan membantu memberikan pendampingan anak di
sekolah selama maksimal 3 bulan atau sesuai dengan kebutuhan.
Secara alur dapat dilihat pada bagan berikut :

6) Dalam hal anak sudah selesai mengikuti layanan di PLA namun ternyata
masih mengalami hambatan, anak dapat kembali mendapatkan layanan di
PLA. Proses penanganan anak akan direkomendasikan oleh unit layanan
pendidikan transisi meliputi tindakan apa dan unit layanan yang akan
melakukan.
N. Tahapan umum
Program pendidikan transisi dilaksanakan melalui 5 tahapan utama yaitu
(1) Asesmen,
(2) Pengembangan Rencana Pembelajaran,
(3) Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar,
(4) Evaluasi Akhir, dan
(5) Penempatan di Sekolah.

87|P a g e

Tahapan pelaksanaan pendidikan transisi dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:


Asesmen
Akademik

Pelaksanaan
Pembelajaran

Perencanaan
Pembelajaran

Evaluasi
akhir

Penempatan
kesekolah

SekolahUmum
(inklusif)
SekolahKhusus
Gambar 1: Tahapan Umum Pelaksanaan Program Pendidikan Transisi

1. Asesmen akademik
Asesmen akademik adalah pengumpulan data tentang kemampuan dan
kecenderungan

perilaku

anak

sebelum

dilaksanakan

program

pendidikan.Asesmen akademk dilakuan sebagai dasar untuk pengembangan


rencana pembelajaran.
2. Perencanaan pembelajaran
Rencana pembelajaran adalah rancanga program pembelajaran yang akan
dilaksanakan untuk jangka waktu satu semester atau satu dan beberapa kali
pertemuan.
3. Pelaksanaan pendidikan
Pelaksanaan pendidikan adalah pelaksanaan program pendidikan transisi yang
akan berlangusung kurang lebih 1 tahun.
4. Evaluasi akhir
Evaluasi akhir adalah pengumpulan data tentang tingkat kemampuan dan/atau
pencapaian siswa terhadap kompetensi-kompetensi yang telah ditetapkan.Hasil
evaluasi akan digunakan sebagai dasar dalam menyalurkan/menempatkan anak
ke lembaga pendidikan lanjutan yang sesuai.

88|P a g e

5. Penempatan ke sekolah
Penempatan adalah upaya untuk menyalurkan atau menempatkan anak pada
lembaga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan terbaik anak. Anak-anak
yang sudah mengikuti program pendidikan transisi akan melanjutkan pendidikan
ke sekolah khusus, sekolah umum (inklusif), atau lembaga lain yang relevan.

89|P a g e

Lampiran1
Kurikulum(mengadopsidarikurikulumAutisterbaru2014tingkatkelas1yangdisesuaikan
denganbidangpengembangandiPLA/PendidikanTransisi)

90|P a g e

Lampiran2
ProgramPembelajaranIndividual

PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL


Nama Anak

: Arsya

Tanggal Lahir

: Juni 2011

Bahasa Pengantar

: Indonesia

Klasifikasi Kekhususan

: ASD

Mulai Program

: 6 Januari 2014

Periode

: Januari-Maret 2014

Penanggung Jawab

: Ibu Nurma

Guru

: Ibu Mia

SOSIO EMOSIONAL
Tujuan jangka panjang :
Performa saatini
Arsya mampu diarahkan untuk
duduk dengan bantuan gesture.
Saat Arsya jalan atau istirahat
guru berkata Arsyaduduk
(sambilmenunjukkursi)
Arsya juga belum memiliki sikap
duduk yang benar

TujuanJangkaPendek
Arsya mampu duduk dikursi
saat belajar dengan bantuan
minim dengan pencapaian
70%

Arsya mampu duduk dengan


sikap duduk yang benar
dengan pencapaian 70%
Arsya mampu melakukan kontak Arsya mampu melakukan
mata dengan sangat minim saat
kontak mata dengan spontan
berinteraksi dengan orang lain
saat guru memberikan
instruksi lihat dengan
bantuan minimal dengan
pencapaian 70%

Strategi
Modeling
Reinforcement

Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuan fisik dan


pengolahan gross
motor

Guru
Orangtua
Pengasuh

Memberikan media
yang menarik untuk
Arsyaliat dan
diarahkan kemata
yang member
instruksi

Guru
Orangtua
Pengasuh

91|P a g e

Tanggal
Tercapai

BAHASA DAN KOMUNIKASI


Tujuan jangka panjang

Performa saatini

TujuanJangkaPendek

Arsya mampu meresepon


beberapa instruksi sederhana
hanya belum konsisten
Arsya

Arsya belum mampu memegang


benda/gambar sesuai yang
diminta

Arsya belum mampu


memintaapa yang diinginkannya

Arsya mampu merespon


instruksi sederhana duduk,
berdiri, kesini, kasih, ambil,
dadah, pegang, tepuktangan,
taruh dengan bantuan minimal
dengan pencapaian 70%
Arsya
mampumemegangbenda/gamb
ar yang
dimintadenganinstruksi
pegang mata, hidung, mulut,
rambut, telinga, pipi, tangan,
kaki, arsya,
bumiadenganpencapaian 60%

Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Guru
Orangtua
Pengasuh

Tanggal
Tercapai

Arsya mampu meminta sesuatu


dengan gesture menjulur
kantangan dengan pencapaian
50%
KETERAMPILAN MEMBACA
Tujuan jangka panjang
Performa saatini

:
TujuanJangkaPendek

Strategi
Bantuan fisik
Modeling
Reinforcement

Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuan fisik
Modeling
Reinforcement

Guru
Orangtua
Pangasuh

92|P a g e

Tanggal
Tercapai

KETERAMPILAN BERHITUNG
Tujuan jangan panjang

Performa saat ini

Tujuan Jangka Pendek

Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Guru
Orangtua
Pangasuh

Tanggal
Tercapai

KETERAMPILAN MOTORIK
Tujuan jangka panjang

Performa saatini

Tujuan Jangka
Pendek

Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Guru
Orangtua
Pangasuh

Tanggal
Tercapai

KETERAMPILAN BINA DIRI


Tujuan jangka panjang
Performa saatini

:
TujuanJangkaPendek

Strategi
Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Penanggung
jawab
Guru
Orangtua
Pengasuh

Bantuanfisik
Modeling
Reinforcement

Guru
Orangtua
Pangasuh

Tanggal
Tercapai

93|P a g e

KontribusiOrangtua

Catatan

Tanggal:

Tanggal:

Tanggal:

Orangtua

Guru

Koordinatorprogram

(Nama)

(Nama)

AyahdanIbu

94|P a g e

Lampiran3
ContohRPP

Mata pelajaran

: Bahasa Indonesia

Durasi

: 2 Jam pelajaran (60 menit)

Kompetensi dasar

: Mampu mengidentifikasi nama buah

Indikator

: Kepatuhan dalam belajar, atensi dan konsentrasi,


Pemahaman instruksi, kemandirian menyelesaikan tugas

Strategi pembelajaran

: Bermain, Task analisis

Kegiatan
1. Pembukaan

Anak duduk berkelompok setengah lingkaran, 1 guru duduk didepan anak, 1 guru
yang lain duduk dibagian belakang anak.

Guru memimpin doa bersama, lalu absen anak, bercakap-cakap

2. Inti

A. Kegiatan kelompok
1 guru memimpin kegiatan kelompok yang berisi 2-3 anak, 1 guru yang
lainnya memantau kegiatan kemandirian 1 anak
Dalam kegiatan kelompok : Guru memberi pemahaman tentang beberapa
nama buah. Lalu guru melakukan kegiatan permainan sederhana yaitu bermain
flash cards, yaitu guru meminta salah satu nama buah lalu anak-anak
memberikan gambar sesuai permintaan guru
B. Kegiatan Individual
1-2 anak yang lainnya tidak mengikuti kegiatan permainan tetapi melakukan
kegiatan individual menyelesaikan 1-2 tugas dengan didampingi 1 guru.
Perlahan kegiatan ini akan dilakukan pengurangan bantuan pengawasan.

Anak diberi lembar tugas atau kegiatan yang akan diselesaikan dengan
mandiri. Siapkan 2 keranjang, 1 keranjang tempat lembar tugas atau kegiatan

95|P a g e

yang akan diselesaikan, 1 keranjang lagi tempat menyimpan lembar tugas atau
kegiatan yang telah selesai.
Siapkan cek lis (berbentuk token) sebagai penanda bahwa anak telah
menyelesaikan kegiatannya.
3. Penutup

Semua anak dan guru merapikan media belajar yang telah selesai dipergunakan. Lalu
meminta anak duduk setengah lingkaran kembali dengan komposisi sama dengan
kegiatan pembuka.

96|P a g e


Lampiran4
FormEvaluasi

EVALUASI HARIAN

97|P a g e

EVALUASI BULANAN
Nama

Periode

Guru

Bahasadankomunikasi

Motorik

Sosioemosional

Keterampilanmembaca

98|P a g e

Keterampilanberhitung


Binadiri

Senidanprakarya

Tanggal:
Guru,

(nama)

EVALUASI TRIWULAN

Nama Anak

Arsya

Tanggal Lahir

Juni 2011

Bahasa Pengantar

Indonesia

Klasifikasi Kekhususan :

Mulai Program

6 Januari 2014

Periode

: Januari-Maret 2014

Penanggung Jawab

Ibu Nurma

Guru

: Ibu Mia

ASD

: Ibu Mia

99|P a g e

Area Sosio Emosional


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

Area Bahasa dan Komunikasi


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

Area Motorik (Keterampilan Menulis)


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

Area Bina Diri


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

100|P a g e

Area Keterampilan Membaca


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

Area Ketemapilan Berhitung


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

Area Seni dan Prakarya


Tujuan Pembelajaran

Performa Saat ini

Saran pelaksanaan program selanjutnya

Tanggal

Koordinator Program

101|P a g e

Lampiran 5
Sarana, Media dan Sumber Belajar

102|P a g e

Anda mungkin juga menyukai