Anda di halaman 1dari 72

ASKEP PADA HIV/AIDS DENGAN INFEKSI

OPPORTUNISTIK PADA SISTEM PERNAPASAN


Tuberkulosis Paru (TB)

Disusun oleh
Kelompok 1
o
o
o
o
o
o

ASTRIEN MELINDA
IRWAN AFRIANDI
WETA OKTARENA
EKA PUSPITA
LESI YULIKA
WINDA APRIANI

Dosen Pembimbing: Ns.Idramsyah S.Kep


Ns. Nehru Nugroho S.kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang ASKEP PADA HIV/AIDS DENGAN INFEKSI
OPPORTUNISTIK PADA SISTEM PERNAPASAN Tuberkulosis (TB).
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak terutama kepada Ns.
Idramsyah S.kep dan Ns. Nehru S.kep sebagai dosen pembimbing dan rekan-rekan di
kelas Keperawatan (VI C) yang telah banyak membantu dan memberi dorongan dalam
penyelesaian makalah ini.
Hasil makalah ini tentunya belum sempurna, namun bagi penulis hasil ini
sangatlah berarti terutama dapat memberikan dorongan dan sekaligus tantangan untuk
terus berkarya sebagai pengisi kegiatan dan aktifitas remaja yang dituntut untuk terus
berkarya dan berkreasi mengisi masa depan yang penuh tantangan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mohon saran dan kritik demi kesempurnaan
makalah ini.

Bengkulu,

Juni 2013

TIM Penyusun

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak di dunia.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 miliar manusia
(sepertiga penduduk dunia) telah terinfeksi kuman TB. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi TB di dunia ini. Dan dalam dekade mendatang tidak kurang dari 300 juta orang
akan terinfeksi olehnya. Setiap tahunnya dijumpai sekitar 4 juta penderita TB paru
menular di dunia, ditambah lagi dengan penderita yang tidak menular. Artinya, setiap
tahun akan ada sekitar 8 juta penderita TB paru di dunia dan akan ada sekitar 3 juta orang
meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. Di Indonesia TB merupakan masalah
utama kesehatan masyarakat. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah sekitar 10% dari total jumlah
penderita TB di dunia. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 539.000 kasus baru dengan
kematian sekitar 100.000 orang. Insiden kasus TB Basil Tahan Asam (BTA) positif
sekitar 110 per 100.000 penduduk. Munculnya pandemi Human Immunodeficiency Virus
(HIV)/Acquired Immunedeficiency Syndrome (AIDS) di dunia menambah permasalahan
TB. Koinfeksi TB dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian TB secara signifikan.
Hingga akhir tahun 2002, WHO dan Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) memperkirakan lebih dari 42 juta orang terinfeksi dengan HIV dan
lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia kehilangan jiwa akibat AIDS. Dari data terbaru
diperoleh informasi bahwa sekitar 16.000 orang terinfeksi tiap harinya. Selama tahun
2002, diperkirakan telah terjadi 5 juta kasus infeksi HIV baru dan 3 juta kematian.
Diperkirakan pula 6 juta anak-anak hidup dengan HIV/AIDS saat ini. Di kawasan Asia
pasifik, jumlah . Epidemi HIV di Asia seperti Vietnam, India, Cina dan Indonesia telah
masuk ke dalam tahapan epidemi yang relatif cepat. Tingkat penularan HIV pada

beberapa subpopulasi di Indonesia telah menunjukkan penularan yang memprihatinkan.


Hal ini merupakan tantangan terbesar yang dihadapai dalam upaya penanggulangan TB
oleh karena sepertiga dari 40 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS menderita
koinfeksi dengan TB pada akhir tahun 2001. Limfadenitis TB adalah manisfestasi TB di
luar paru yang paling banyak ditemukan. Penderita TB di luar paru di Amerika Serikat
dilaporkan sebanyak 41%, sedangkan di Jerman didapatkan 50%. Survei penderita TB di
Inggris dan Wales pada tahun 1978 juga mencatat bahwa limfadenitis TB adalah bentuk
TB di luar paru yang terbanyak. Di Australia, limfadenitis TB merupakan TB di luar paru
yang tersering ditemukan. Dilaporkan terdapat sekitar 9% penderita limfadenitis TB di
Victoria selama periode 1970-1986 dan 11,7% penderita TB di New South Wales pada
tahun 1986.

Insiden limfadenitis TB di India paling sering dijumpai pada usia 11-20 tahun,
sedangkan di Amerika Serikat terbanyak pada usia 25-50 tahun. Dengan perbandingan
antara penderita laki-laki dan perempuan adalah 1:1,3. 1,2 Gambaran sitologi TB terdiri
dari histiosit epiteloid dengan latar belakang limfosit, multinucleated giant cells dari tipe
foreign body atau tipe Langhans giant cells dan bisa pula menunjukkan atau tidak
menunjukkan adanya nekrosis. 10,11 Pada penderita HIV yang lanjut, Cluster of
Differentiation 4 (CD4) akan berkurang dalam jumlah dan fungsinya. Kerusakan sistem
imun pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan tidak aktifnya imunitas seluler yang
ditandai dengan tes Mantoux yang negatif, tidak terbentuknya granulomatosa, ditemuinya
nekrosis kaseosa dan kavitas tetapi jarang ditemukan BTA pada dahak.

1.2. Tujuan
1.

2.

Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah sebagai aplikatif dalam
memenuhi tugas mata kuliah pilihan askep HIV-AIDS
Tujuan khusus
Untuk mengetahui bagaimana strategi penanganan pada pasien dengan

kasus HIV AIDS


Untuk lebih memperhatikan proteksi diri pada perawat yang bekerja di
ruang isolasi khusunya

Memberi asuhan keperawatan yang bersifat komprehensif dan holistik


pada pasien

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 HIV AIDS


Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah
satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang
berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan

sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4
semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai

nol(1)

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain
(Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS,
apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai
infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik
Epidemiologi
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang
dan yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan
kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia
Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut
catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS dengan 305
di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya pertambahan kasus baru
setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya
ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.

Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian
dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)
(1,2)

.
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup

mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan
kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (2)
Struktur HIV :
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut envelope dan di bagian
dalam terdapat sebuah inti (CORE).
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat
seperti bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan
molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika
partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari
sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72
turunan (rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan
selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4
molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4
molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus. (3)

2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti
yang berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan
protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV,
yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env,
mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat protein terstruktur
untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein gp 160 yang
dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan
komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif,
vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi
protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat
turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef
misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara
efisien dan protein yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan
partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah
protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim
yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu :
REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV
lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope (4)
Gambar 1: struktur virus HIV-1

Cara penularan

Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun


Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat
ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko
penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan
jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko
tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada
saat berhubungan secara anogenital.
1.2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur
seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan
berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual


2.1 Transmisi Parenral
2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik

yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama.


Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas
kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
2.1.2. Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara
barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di
negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih
dari 90%.
2.2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan
resiko rendah.

Faktor Resiko

AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL

12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual

724

Transfusi Darah/Blood Transfusion

48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans.

628

Tak Diketahui/Unknown

772

TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan


faktor resiko dilapor s/d Desember 2010
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara
lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien
tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening
penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan
kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,
horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung
dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau
secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada
kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak
paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik
terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi
mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,

dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan
CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat
pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin
berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan
tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun
dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi
target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke
sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat
pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhans, sel dendrit, astrosit,
microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu
CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3.
Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran
gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk
enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse
transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA.
Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk
mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus
masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim
integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan
transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan
laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host
teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu
nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal
repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang
terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu
replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur,
protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi
replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA

mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA


menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk
tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease
menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan
glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan
matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam
satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 10 9-1011 virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan
jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme (4) :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak
terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV
dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat
menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal
sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi(4).
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan
reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan
kematian sel melalui apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah
limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi
200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan
system imun, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen
menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk
ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan
gejala klinis sesuai

jenis infeksi sekundernya.

Patogenesis infeksi HIV


Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang
intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein
virus. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan
bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya,
enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi
imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan
menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang
infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi
terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar
orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak
menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan
oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2
(IL-2), yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma. Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk
antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang
memengaruhi respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol,
ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin
jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor
stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti
yang terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan
normal sel-sel inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus
dengan mengeluarkan perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan
mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8
sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam
limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda
tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas
antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin
beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang
penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini (5) :

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak


terbantahkan. Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar prosesproses misalnya produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag.
Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama
berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+
mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun
terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka
produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja
produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan
replikasi-diri populasi limfosit CD4+.
Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui,
namun dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis,
anergi, pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated
cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh
komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral yang membantu menyingkirkan
limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua glikoprotein, gp120 dan
gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk mematikan
sel yang terinfeksi.
Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan
berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit
HIV. Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan bunuh diri saat dirangsang oleh
suatu bahan pengaktif atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier,
1993). Limfosit CD4+ juga mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul
fenomena yang disebut anergi. Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan
sinsitium. Pada pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang terinfeksi
the bystander effect (efek peluru nyasar; Weiss, 1993) sehingga mengeliminasi
banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+ mungkin
disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virusvirus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif
mematikan sel tersebut.

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum
yang dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi
penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi
(misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam
akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien
mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular
selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut window
period (masa jendela). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul
sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi
positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis
infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam,
diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang
lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV
dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali
ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase
asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali
mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan
waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam
darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus
itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase infeksi klinisnya
mungkin laten(5).
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya
telah turun di bawah 300 sel /. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi
dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS .
CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

Manifestasi klinis
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara
lain tumor dan infeksi oportunistik :
1. Manifestadi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang
terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas
dalam dan demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab
kematian pada 30% penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat
menyebar ke organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada
fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia,
mielopati dan neuropari perifer.
Diagnosis HIV

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana
selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar
tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Faktor risiko infeksi HIV


-

Penjaja seks laki-laki atau perempuan

Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)

Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Daftar tilik riwayat pasien

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV


positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor yang berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejalagejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan
dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau pneumonia yang
mengancam jiwa yang berulang(5).
Gejala Mayor :
1.
2.
3.
4.
5.

Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan


Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
Demensia / ensefalopati HIV

Gejala Minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pemeriksaan fisik

Dermatitis generalisata yang gatal


Herpes Zooster berulang
Kandidiosis Orofaring
Herpes Simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Pemeriksaan khusus untuk HIV :


1. Tes Antibody HIV
Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link
Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan juga dot blot. Bahan yang digunakan
adalah serum, cairan plasma, darah, dan juga liur. Metode yang paling sering
digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila

menggunakan tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela atau
window period. Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk
belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus telah masuk di
dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif, Biasanya
antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila
tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi. (5)

2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :

Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )

Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat


terpapar terhadap HIV
Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini


: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk
lagi.

Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan
dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini
yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi
oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat
mempengaruhi pemilihan terapi.

Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit
berat atau AIDS), dalam tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis
infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.

Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan

memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam

memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana
tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi
ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah
limfosit total (Total Lymphocyte Count TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi
imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon
terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
\
PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,

zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir


Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens

dan nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

No Nama Golongan
1

NRTI

(nucleoside

Fungsi
reverse- penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari RNA

transcriptase inhibitor )

menjadi DNA yang terjadi sebelum penggabungan DNA


virus dengan kromosom sel inang.

NNRTI (non-nucleoside reverse- menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase


transcriptase inhibitor (NNRTI)

dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif pada

enzim tanpa aktivasi sebelumnya.


3

PI (Protease Inhibitor )

menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan untuk


memecah prekursor poliprotein virus dan membangkitkan
fungsi protein virus.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.
( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan
stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
Terapi pada ODHA dewasa
Stadium
Klinis
1
2

Bila tersedia pemeriksaan CD4

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Jika

tidak

tersedia

pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak diberikan
Bila jumlah total limfosit
<1200

Jumlah CD4 200 350/mm3, pertimbangkan


terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
3

Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil

dengan CD4 350


Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa


memandang jumlah limfosit
total

Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah


CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh,


TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan)(6).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm 3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total 1200/mm 3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV
(Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik.
Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh
diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan
sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan
penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia
sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3.
Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien
dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil
stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV
pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan
memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan
sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia

terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian
ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam
menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom
restorasi imun atau IRIS.
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi
HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya
memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi
2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah
AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah
nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).

Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah
d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena
adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.
Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun,
perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan
ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan
masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:

Pilihan obat ARV golongan NR

Tabel 13 : Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI


pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di
mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan
lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada
perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV,
atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)
Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati)

dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun
terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS.
Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang
mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di
Indonesia, seperti pada tabel 14.
Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

2.2 TUBERKOLOSIS (TB)


Definisi
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang
aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV.
Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan
M. Avium.

Mycobacterium tuberculosis

HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.

SKEMA 1. Faktor resiko TB dengan HIV (+)

Dampak infeksi hiv terhadap paru


Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli
adalah sel defender utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit
alveoler oleh HIV (paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis
penyakit paru pada AIDS. Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor
untuk masuknya HIV dan untuk masuknya virus ke dalam sel diperlukan
kerjasama dengan ko-reseptor kemokin. CCR5 adalah ko-reseptor yang
digunakan untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic (M-tropic),
namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk
strain lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV
yang utama. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase
dari hasil Bronchoalveolar Lavage (BAL). Pada paru, CD4 ini terdapat pada
permukaan makrofag alveoler dan ko-reseptor yang paling berperan adalah CCR5
walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.Infeksi oleh strain M-tropic dapat
diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory protein-

1_dan _ yang berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan perkembangan


infeksi HIV, maka peran strain M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai
penurunan yang cepat status imunologik penderita. Sebagai reaksi defensif lokal
paru terhadap masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-helper), maka
limfosit CD8 yang merupakan efektor system imunitas seluler, membunuh sel
yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel limfosit
sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai respon terhadap adanya
epitope virus HIV, sehingga menekan replikasi virus secara langsung Walaupun
telah ada mekanisme penekanan ini, namun replikasi virus tetap berlangsung
(mekanismenya masih belum jelas) sehingga terjadi destruksi dan penurunan
jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya menyebabkan respon CTL CD8 menjadi
suboptimal (secara in vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target dengan baik)
CD4/CD8 pada paru lebih kecil dibandingkan darah perifer. Pada beberapa
penderita menunjukkan symptom pulmonologis sebagai akibat influks limfosit
CD8 ke sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal ini berkorelasi
dengan tingginya viral load. Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini
juga mengalami penurunan7.
didapatkan bahwa abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal
infeksi sebelum terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan
antibodi sebagai respon terhadap mitogen dan gangguan inisiasi sistesis antibodi
secara normal sebagai respon terhadap antigen. Penurunan konsentrasi IgG pada
paru kemungkinan akibat gangguan kemampuan makrofag alveoler dalam
merangsang sekresi IgG dari sel B.14 Mekanisme defensif lainnya adalah
surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara fisiologis
berguna untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi
pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas kompleks fosfolipid dan
protein spesifik, sel-sel bronkoalveoler juga terdapat didalamnya.Surfaktan
menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis sitokin seperti IL-1, IL-6
dan TNF-_ (sitokin-sitokin yang merangsang replikasi virus HIV), menghambat
aktivasi limfosit sehingga menghambat replikasi virus HIV. Paparan terhadap
infeksi mikroorganisme tertentu akan merangsang produksi TNF oleh makrofag
alveoler, berikutnya TNF akan mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus
mengganggu sistesis protein surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi natural
antiviral factor pada paru

Patofisiologi TBC
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
inhalasi. Setelah masuk, bakteri tersebut akan membuat sarang pneumoni di
jaringan paru, yang disebut sarang primer / afek primer. Di dalam tubuh manusia
tersebut akan terjadi limfangitis local yang nantinya akan diikuti limfadenitis
regional. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura dapat menyebabkan efusi pleura. Kuman juga dapat
masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit,
terjadilah limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB Milier.
Selanjutnya kompleks primer memiliki 3 nasib :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh meninggalkan sedikit bekas (antara lain fokus ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus). Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm
dan kurang lebih 10 % diantaranya dapat reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
3. Menyebar dengan 3 cara:
a.Perkontinuitatum atau ke jaringan sekitarnya
b.Bronkogen (ke paru-paru dank ke paru sebelahnya)
c.Hematogen dan Limfogen

SKEMA 3. Perjalanan TB Primer


Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul kembali selama
kurang lebih bertahun-tahun, kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis
dewasa. Tuberculosis sekunder atau post-primer terjadi karena imunitas menurun (sering
pada penyakit HIV-AIDS), orang dengan malnutrisi, pecandu alcohol, penyakit maligna,
diabetes, dan gagal ginjal. TB post primer dimulai dengan sarang dini yang umumnya
terlekat di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
selanjutnya akan menjadi sarang pneumonia, yang akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut:
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang akan meluas dan terjadi proses penyembuhan dengan jaringan fibrosis dan
selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan kaseosa. Kaviti akan muncul
dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Dimana awal kaviti berdinding tipis
dan akan jadi tebal(kaviti sklerotik), dan kaviti ini akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru
b. Memadat dan membungkus diri(enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi juga dapat aktif
kembali
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity

SKEMA 4. Tuberculosis Post-Primer

Manifestasi klinis
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E
dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam,
penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu
malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering
adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya,
gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga
menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit.

PEMERIKSAAN
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha.
Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan tes

tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada
odha dengan CD4>200 sel/L tidak berbeda dengan non HIV (8)
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200
sel/L, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan
infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya
berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi OAT.
Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung


pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.


P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas .


S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.

Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

Pemeriksaan Tes Resistensi

Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu


melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional,
dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium
supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan
simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat
dicegah.

DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -

pagi - sewaktu (SPS).


Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain

seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.


Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,

sehingga sering terjadi overdiagnosis.


Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Diagnosis TB ekstra paru.


Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB, nyeri perut di semua regio pada Peritonitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan

bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,


patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

KLASIFIKASI TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi

kasus yang meliputi empat hal , yaitu:


1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstraparu
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatanTB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah :


1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan
untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi,
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. Mengurangi efek samping.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang


menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,


yaitu pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis.
Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
atau spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(9).

2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative


Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika nonOAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.

2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:


TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
Kelenjar adrenal.

TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,


peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan: Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. Bila
seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB
ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

PENATALAKSANAAN
Pasien HIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu,
apakah pasien sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah
pasien sudah mengkonsumsi AOT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi
Tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada
prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berbeda dengan pasien HIV negatif.
Interaksi antar OAT dan ARV terutama dengan hepatotoksiknya. Pada ODHA yang belum
mendapat terapi ARV, waktu pemberian OAT harus disesuaikan dengan kondisinya.
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan
pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah
dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan
Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk
ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test
HIV).

Klasifikasi
Kasus TB baru

Regimen Obat
2HRZE / 6 HE (DOTS)

TB kambuh/ pengobatan ulang

2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

CD4
CD4

Paduan yang dianjurkan


Keterangan
<200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 8

mm3

segera setelah terapi TB dapat ditoleransi

minggu setelah OAT

(antara 2 minggu hingga 2 bulan)


Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800
mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat dilakukan
dengan melakukan pemantauan fungsi
hati (SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB

Setelah 8 minggu terapi TB

mm3
CD4

Tunda terapi ARV , evaluai

>350/ Mulai terapi TB

mm3

kembali pada saat minggu ke


8 terapi TB dan setelah terapi

CD4

tidak Mulai terapi TB

TB lengkap
Pertimbangkan terapi ARV

mungkin

mulai 2 8 minggu setelah

diperiksa

terapi TB dimulai

BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.1. PENGKAJIAN
1.

DATA KLINIS
Nama

No. RM

Usia

TB

Lila

Suhu

Nadi _________ kuat _________ lemah ______ teratur _____tak teratur


Tekanan darah

: Lengan kanan ( )

Lengan Kiri
Duduk
Berbaring
Tanggal

()
()
()

Waktu Kedatangan :
Orang yang dihubungi :
Telepon

:-

Catatan kedatangan : ( - ) kursi roda, ( ) ambulans, (

) brankar

Alasan dirawat diRumah Sakit :


Perawatan diRS terakhir :
Tanggal

: -

Alasan

:-

Riwayat Medis yang lalu :


1. klien pernah jatuh 2 bulan yang lalu
2. klien suka tidur dengan sembarang posisi
3. klien suka mengangkat barang yang berat
Obat-obatan
(Resep/

Dosis

Dosis Terakhir

Frekuensi

Obat

Bebas)
Osteocal

3x1

Myoinal

3x1

Alprzolam

0,5 mg

3x1

Pronolges support

2.

100 mg

1x1

POLA PERSEPSI DAN PENANGANAN KESEHATAN


Persepsi terhadap penyakit
Klien tak tahu jenis penyakit yang diderita. Klien mengeluhkan nyeri pada pinggang,
tungkai dan ke telapak kaki. Tungkai sebelah kanan lebih nyeri dari tungkai kiri.

Penggunaan
Tembakau :
Ya ( ), tidak (
(

) 1-2 bks/hari, (

) berhenti (tanggal), (
) > 2 bks /hari, (

) Pipa, (

) Cerutu, (

) < 1 bks/hari,

) riwayat bks/tahun (

Alkohol :
( ) tidak, (

)Jenis / Jumlah , _____x/hari, _______x/minggu, _____x/bulan.

Obat lain :
( ) tidak, (

) Ya, Jenis :

Penggunaan :

Alergi :
(obat-obatan, makanan, plester, zat warna) : _tidak ada________________
Reaksi : (-)
Obat-obatan warung/tanpa resep dokter : (-)
3.

POLA NUTRISI / METABOLISME


Diet/ Suplemen khusus :

Instruksi diet sebelumnya : ( ) tidak, (

) Ya,

Nafsu makan :
( ) Normal , (
Mual,

) Meningkat, (
) Muntah, (

) Menurun, (

) Purunan sensasi kecap, (

) Stomatitis

Perubahan berat badan 6 bulan terakhir :


( ) tidak ada,

Kg, Peningkatan / Penurunan

Kesulitan Menelan( Dispagia) :


( ) tidak, (

) makanan padat, (

) Cair

Gigi :
Atas

:(

) Parsial, (

) lengkap

Bawah

:(

) Parsial, (

) lengkap

Riwayat Masalah kulit/ Penyembuhan :


(

) tidak, (

) Penyembuhan Abnormal, (

berlebihan
Gambaran diet pasien dalam sehari :
Makan Pagi :
Makan Siang :
Makan Malam :
Pantangan/ Alergi :(-)
4.

POLA ELIMINASI
Kebiasaan defekasi :

) Ruam, (

) Kering, (

) Keringat

______defekasi / hari, Tanggal defekasi terakhir :


Konstipasi

) Diare, (

) DBN, (

) Nokturia, (

) Hematuria , (

) Siang hari, (

) Malam Hari, (

) Inkontinensia, (

,(
)

ostomi :
Jenis

Alat

Karakter Stoma :

Kebiasaan berkemih :
(

) DBN,

Fekuensi : 5-6

x/hari, (

) disuria, (

Retensi .

Inkontinensia :
(

) tidak, (

) Ya, (

kadang kadang, (

) total, (

) Kesulitan menahan berkemih, (

) Kesulitan mencapai

toilet,

Alat Bantu ;
(

) Kateterisasi intermitten, (

) Kateter Indwlling, (

) jenis Implantasi Penis.


Lain lain :

5.

POLA AKTIFITAS / OLAHRAGA


Kemampuan Perawatan diri :

) Kateter Eksternal, (

= Mandiri

= Dengan alat Bantu

= Bantuan dari orang lain

= Bantuan peralatan dari orang lain

= Tergantung / tidak mampu


0

Makan/ Minum

Mandi

Berpakaian/

Berdandan
Toileting
Mobilisasi

diTempat

tidur
Berpindah

Berjalan

Menaiki tangga

Berbelanja
Memasak
Pemeliharaan Rumah

Alat Bantu :
(

) tidak ada

) Kruk

) Pispot ditempat tidur

) Walker

) Tongkat

) Belat/ Mitela

) Kursi Roda

Kekuatan otot :
Keluhan saat beraktifitas :
6.

POLA ISTIRAHAT TIDUR


Kebiasaan :

Jam/malam, (

) tidur siang, (

Merasa segar setelah tidur : (

) Ya, (

)Tidur sore,
) Tidak

Masalah masalah :
(

) tidak ada, (

) Terbangun, (

Mimpi Buruk
Lain-lain :

7.

POLA KOGNITIF PERSEPSI


Status mental :
( ) Sadar,
(

) Afasia Reseptif

) Mengingat Cerita Buruk

) Terorientasi

) Kelam piker

) Kombatif

Bicara :
( ) Normal
(

) Tak Jelas

) Gagap

) Afasia Ekspresif

) Terbangun dini, (

) Insomnia , (

Bahasa sehari-hari : daerah ( ) Indonesia, (

Kemampuan membaca bahasa Indonesia : (

) Ya, (

Kemampuan berkomunikasi : (

) Ya, (

) Tidak

Kemampuan memahami : (

) Ya, (

Tingkat Ansietas ( ) Ringan, (

) Tidak

) Tidak

) Sedang, (

Keterampilan Interaksi : ( ) Tepat, (

) Berat, (

) lain-lain :

Pendengaran:
( ) DBN,
(

) Kerusakan : (

) Kanan, (

) Tuli : (

) Alat Bantu Dengar

) Tinnitus

) Kanan, (

) Kiri

) Kiri

Penglihatan:
(

) DBN

) Kacamata

) Kerusakan : (

) Buta : (

) Katarak : (

) Glaucoma : (

) Protesis : (

Vertigo :

) Kanan, (

) Kanan, (

) Kiri

) Kanan, (
) Kanan, (
) Kanan, (

) Kiri

) Kiri
) Kiri
) Kiri , (

) Ya, (

) Tidak

) panik

Ketidaknyamanan / Nyeri : (

)tidak ada, (

) Akut, (

) Kronik

Deskrifsi:
Penatalaksanaan Nyeri :
8.

POLA PERAN HUBUNGAN


Pekerjaan

Status pekerjaan

) bekerja, (

Jangka Panjang, (

) Ketidakmampuan jangka pendek, (

) ketidakmampuan

) Tidak bekerja

Sistem Pendukung :
(

) Pasangan,

) tetangga/teman,

) tidak ada,

( ) keluarga serumah,
(

) Keluarga tinggal berjauhan

Lain-lain :

Masalah keluarga berkenaan dengan perawatan dirumah sakit : keluarga mengalami


kendala finansial
Kegiatan social (-)
Lain-lain :(-)
9.

POLA SEKSUALITAS/REPRODUKSI
Tanggal mesntruasi akhir (TMA) :
Masalah menstruasi : (
Pap Smear terakhir :

) Ya, (

) Tidak

Pemeriksaan Payudara/ testis Mandiri bulanan : (

) Ya, (

) Tidak

Masalah seksual b/d penyakit :


Lain-lain :
10.

POLA KOPING TOLERANSI STRES


Perhatian utama tentang perawatan di RS atau penyakit (financial, perawatan diri) :
Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh ASKESKIN, perawatan diri dirumah sakit
tak ada kendala yang berarti.
Kehilangan / perubahan besar dimasa lalu : (

) Ya, ( ) Tidak

Hal yang dilakukan saat ada masalah :mendiskusikan bersama orang tua
Penggunaan obat untuk menghilangkan stress :(-)
Keadaan emosi dalam sehari-hari : ( ) santai, (

) tegang,

Lain-lain :
11.

POLA KEYAKINAN NILAI


Agama : ( ) Islam, (

) katolik Roma, (

Pantangan keagamaan : ( ) tidak, (

) Protestan, ( ) Hindu, (

) Budha

) Ya : uraikan :

Pengaruh agama dalam kehidupan :agama menjadi sumber kekuatan dalam


menyelesaikan masalah
Permintaan kunjungan rohaniawan pada saat ini : (

12.

PEMERIKSAAN FISIK

TANDA VITAL :
TD

Nadi

Suhu

) Ya, ( ) Tidak

Pernapasan

KULIT :
LEHER :
Trakea

Carotid Bruit

Vena

Kelenjar

Tiroid

Lainnya

DADA / THORAK
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi:
Auskultasi :
PAYUDARA :
JANTUNG
Inspeksi :
Palpasi :
Auskultasi :
Perkusi:
Ritme :
PMI :

ABDOMEN :
Inspeksi :
Auskultasi :
Perkusi:
Palpasi :
MUSKULOSKELETAL :
NODUS LIMFE :
NEUROLOGI :
Status Mental / GCS : ( 15 )

E =4

,M=6

, V =5

Syaraf Cranial :
Nervus I

:Mampu menentukan bau pada kedua lubang hidung

Nervus II

:Penglihatan lapangan pandang

Nervus III

:Pupil isokor : 2/2

Nervus IV

:Diplopia - / -

Nervus V

:Sensasi sama pada seluruh area wajah tonus otot utuh

Nervus VI

;Gerakan mata lateral +/+

Nervus VII

:Mampu membedakan manis , asam, asin, pahit

Nervus VIII

:Bunyi diterima dengan sama pada kedua telinnga

Nervus IX

:Reflek muntah ( - )

Nervus X

;Koordinasi menelan halus

Nervus XI

:Ukuran dan kekuatan otot trafezeus secara bilateral sama pada

gerakan kedepan

, reflek cahaya : +/+

Nervus XII

:Tonjolan pada lidah tengah, simetris,

555 555
Motoris :
555

555

Sensoris :
Sensasi panas
Sensasi dingin
Sensasi raba
Sensasi Nyeri
Sensasi cium
DTR :+
RF : ++

/ ++

RP : - / Lainnya :
EKSTREMITAS :
VASCULAR PERIPER : Capilery refill < 3 detk
GENITALIA :
RECTAL :
13.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnostik :tanggal 18-04-2007 : EKG
Tanggal 23-04-07 : Rontgen foto lumbosakral
Laboratorium :

Darah & urine lengkap


Tanggal:
18-04-07: Ca :7,2mg% ( 9-11mg %)
19-04-07: Hb

15,7 gr%

Leukosit

Ht

50%

7900/mm

Trombosit:

298.000

Ca

9,3 mg %

Therapi :
1.Pemasangan papan dipinggang pasien (tanggal 18-21 april 2007)
2.klien tidur diatas matras(18-21 april 2007)

14.

PERENCANAAN PULANG :
Rencana tindak lanjut : Pengawasan Obat

3.2. ANALISA DATA


NO
1.

DATA

DS :
-

Klien mengatakan

nafasnya sesak,
Klien mengatakan

dadanya sakit,
Klien mengatakan batuk
berdahak

ETIOLOGI

Peningkatan sputum

MASALAH

Inefektif bersihan
jalan nafas

DO:
-

Klien Nampak sesak

nafas
Klien Nampak
memegang daerah
dadanya
Ronci (+)
Frekuensi nafas 28 x/i

TTV :
TD: 120/80 mmHg
ND: 100 x/i
RR: 28 x/i
S: 38,5 C

2.

DS:

anoreksia

Klien mengatakan

tidak selera makan


Klien mengatakn
menghabiskan porsi
makan

DO:
-

Klien Nampak tidak

nafsu makan
Berat badan klien

menurun
- Klien tampak lemas
TTV :

Gangguan nutrisi
kurang

dari

kebutuhan tubuh

TD: 120/80 mmHg


ND: 100 x/i
RR: 28 x/i

3.

DS :

Nyeri dada

P : nyeri pada dada

Q : ditusuk-tusuk

R : nyeri pada bagian


dada

S : 8-10

T : waktu batuk

DO :
Klien tampak meringis
kesakitan
Klien tampak gelisah
TTV :
TD: 120/80 mmHg
ND: 100 x/i
RR: 28 x/i
S: 38,5 C

3.3. Diagnosa Keperawatan yang muncul

Gangguan
nyaman nyeri

rasa

1.

Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan


peningkatan sputum

2.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan tidak selera makan dan penurunan berat badan


3.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
nyeri dada

No

Diagnosa

Tujuan

1.

Inefektif bersihan jalan

Setelah dilakukan

napas berhubungan

intervensi selama 3

pola nafas

dengan peningkatan

x 24 jam,

sputum

diharapkan jalan

efektif
Tidak

nafas kembali
efektif

Kriteria hasil
-

Mepertahankan

Intervensi

Rasional

Mandiri :
-

Aus kultasi bunyi nafas, tanda

daerah paru yang `mengalami

perlkembangan komplikasi

mengalami

penurunan atau kehilangan

atau infeksi pernafasan

sesak nafas atau

vemntilasi, dan munculnya bunyi

sianosis

adventisius missal: krekels,


-

mengi, ronki
Catat kecepatan atau kedalaman

pernafasan, penggunaan otot

menunjukan kesulitan

aseksori/ peningkatan kerja nafas

pernafasan dan adanya

yang muncul nya dipnea, ansietas

kebutuhan untuk meningkatan

Tinggikan kepala tempat tidur.

kebutuhan
Hisap jalan nafas sesuai
kebutuhan, gunakan teknik steril
dan lakukan tindakan
pencegahan, missal:
menggunakan masker, pelindung
Page 66

atau pengawasan /intervensi


Meningkatan fungsi pernafasan
yang optimal dan mengurangi
asipirasi atau infeksi yang

batuk, menarik napas sesuai


-

Takipnea, tak dapat beristirahat


dan peningkatan nafas

Usahakan pasien untk berbalik,

[Type text]

Memperkirakan adanya

ditimbulkan karena atelektasis


Membantu membersihkan jalan
nafas sehingga memungkinkan
terjadinya pertukaran gas dan
mencegah komplikasi
pernafasan

mata.
Selidiki keluhan tentang nyeri

dada

Nyeri dada pleuritis dapat


menggambarkan adanya
pneumonia nonspesifik atau
efusi pleura berkenaan dengan
keganasan

Menurunkan konsumsi O2

Berikan priode istirahat yang


cukup diantara waktu aktivitas
perawatan. Pertahankan

2.

Gangguan nutrisi

Setelah dilakukan

kurang dari kebutuhan

intervensi selama 3

masa otot

berhubungan dengan

x 24 jam,

tidak selera makan dan

diharapkan

adekuat
Mempertahankan

penurunan berat badan

Mempertahankan

Tentukan berat badan umum


sebelum pasien didiagnosa HIV

Penurunan berat badan dini


bukan ketentuan pasti grafik

berat antara 0,9-

berat badan dan tinggi badan

Nafsu makan

1,35 kg dr berat

normal. Kerananya penentuan

menignkat dan

sebelum sakit
Menunjukan nilai

berat badan terakhir dalam

blab dalam batas

badan pradiagnosis lebih

berat badan
meningkat

normal dan
[Type text]

lingkungan yang tenang


Mandiri:

hubungannya dengan berat

Tentukan pola diet atau masukkan


Page 67

bermanfaat

perbaikan tingkat

pasien yang tepat dan

energi

pengetahuan akan nutrisi

Identifikasi dari factor-faktor ini


dapat membantu untuk
merencanakan kebutuhan
individu. Pasien dengan infeksi
HIV telah menunjukkan deficit
mineral renik zink, magnesium,
selenium. Menyalahgunaan

alcohol dan obat-obatan dapat

Diskusikan/ catat efek-efek


samping obat-obatan terhadap
nutrisi

membantu masukkan adekuat.


Umumnya obat-obatan yang
digunakan menyebabkan
anoreksia dan mual/muntah,
beberapa mempengaruhi

Tekankan pentingnya
mempertahankan
keseimbangan /pemasukkan
nutrisi adekuat

produksi SDM sum-sum tulang


Pasien mungkin kecewa dengan
perubahan status dan
menemukan kesulitan makan.
Mengetahui pentingnya
masukkan nutrisi untuk
mempertahaknkan kesehatan,
dapat memotivasi pasien untuk
mempertahankan diet yang

[Type text]

Page 68

tepat.
Memberikan bantuan dan

umpan balik selama


peningkatan rasa control,
meningkatkan rasa percaya diri
-

3.

Gangguan rasa nyaman

Setelah dilakukan

nyeri berhubungan

intervensi selama 3

hilangnya /

dengan nyeri dada

x 24 jam,

terkontrolnya

diharapkan nyeri

rasa sakit
Menunjukan

hilang atau nyeri


berkurang

Keluhan

Bantu pasien untk merumuskan

dan kemungkinan meningkatan

rencana diet

pamasukkan

Mandiri :
-

Kaji keluhan nyeri, perhatikan

untuk intervensi dan juga

lokasi, intensitas (skala 1-10)

tanda-tanda perkembangan

frekuensi dan waktu menandai

/resolusi komplikasi

posisi atau

gejala nonferbal missal: gelisah,

ekspresi wajah

takikardia, meringis
Dorong pengungakapan

rileks dan dapat

istirahat adekuat

Berikan aktivitas hiburan,

mengurangi persepsi akan


-

meningkatan kemapuan untuk

televise

[Type text]

Lakukan tindakan valiatif


Page 69

intensitas rasa sakit


Memfokuskan kembali
perhatian, mungkin dapat

missal: membaca, dan menonton

Dapat mengurangi ansietas dan


rasa takut, sehingga

perasaan

tidur atau

Meningindikasikan kebutuhan

menanggulangi
Meningkatkan relaksasi atau

missal: perubahan posisi meses,

menurunkan tegangan otot

rentang gerak pada bagian yang


skit

BAB IV
KESIMPULAN
Acuired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya
infeksi oportunistik. AIDS disebabkan terutama oleh retrovirus RNA HIV-1 tetapi HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS dan terutama dijumpai di Afrika
Barat. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di membran sel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang terdapat
di system saraf dan jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusi darah yang mengandung HIV,
penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada bayi melalui plasenta atau ASI. Untuk penapisan standart untuk infeksi HIV adalah
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan uji konfirmasi yang tersering adalah western blot. Uji-uji lain mencakup biakan virus, serta pengukuran
antigen p24 dan RNA atau DNA HIV dengan reaksi berantai polymerase (PCR). Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+, termasuk sel
T penolong dan makrofag. Pada system imun yang masih utuh, jumlah normal set T CD4+ berkisar dari 600-1200/ml atau mm 3. Terdapat empat fase infeksi
HIV, yaitu infeksi akut primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase asimptomatik lanjut. Setelah fase awal infeksi HIV, individu
mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan (masa jendela / window periode ), tetapi dapat menularkan kepada orang lain.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain
seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.Pengobatan untuk infeksi oportunistik
bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan
dapatmemperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker
sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif
[Type text]

Page 70

DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause
SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
8. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

[Type text]

Page 71

[Type text]

Page 72

Anda mungkin juga menyukai