Disusun oleh
Kelompok 1
o
o
o
o
o
o
ASTRIEN MELINDA
IRWAN AFRIANDI
WETA OKTARENA
EKA PUSPITA
LESI YULIKA
WINDA APRIANI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang ASKEP PADA HIV/AIDS DENGAN INFEKSI
OPPORTUNISTIK PADA SISTEM PERNAPASAN Tuberkulosis (TB).
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak terutama kepada Ns.
Idramsyah S.kep dan Ns. Nehru S.kep sebagai dosen pembimbing dan rekan-rekan di
kelas Keperawatan (VI C) yang telah banyak membantu dan memberi dorongan dalam
penyelesaian makalah ini.
Hasil makalah ini tentunya belum sempurna, namun bagi penulis hasil ini
sangatlah berarti terutama dapat memberikan dorongan dan sekaligus tantangan untuk
terus berkarya sebagai pengisi kegiatan dan aktifitas remaja yang dituntut untuk terus
berkarya dan berkreasi mengisi masa depan yang penuh tantangan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mohon saran dan kritik demi kesempurnaan
makalah ini.
Bengkulu,
Juni 2013
TIM Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
Insiden limfadenitis TB di India paling sering dijumpai pada usia 11-20 tahun,
sedangkan di Amerika Serikat terbanyak pada usia 25-50 tahun. Dengan perbandingan
antara penderita laki-laki dan perempuan adalah 1:1,3. 1,2 Gambaran sitologi TB terdiri
dari histiosit epiteloid dengan latar belakang limfosit, multinucleated giant cells dari tipe
foreign body atau tipe Langhans giant cells dan bisa pula menunjukkan atau tidak
menunjukkan adanya nekrosis. 10,11 Pada penderita HIV yang lanjut, Cluster of
Differentiation 4 (CD4) akan berkurang dalam jumlah dan fungsinya. Kerusakan sistem
imun pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan tidak aktifnya imunitas seluler yang
ditandai dengan tes Mantoux yang negatif, tidak terbentuknya granulomatosa, ditemuinya
nekrosis kaseosa dan kavitas tetapi jarang ditemukan BTA pada dahak.
1.2. Tujuan
1.
2.
Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah sebagai aplikatif dalam
memenuhi tugas mata kuliah pilihan askep HIV-AIDS
Tujuan khusus
Untuk mengetahui bagaimana strategi penanganan pada pasien dengan
BAB II
TINJAUAN TEORI
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4
semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai
nol(1)
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain
(Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS,
apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai
infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik
Epidemiologi
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang
dan yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan
kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia
Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut
catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS dengan 305
di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya pertambahan kasus baru
setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya
ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian
dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)
(1,2)
.
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan
kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (2)
Struktur HIV :
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut envelope dan di bagian
dalam terdapat sebuah inti (CORE).
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat
seperti bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan
molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika
partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari
sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72
turunan (rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan
selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4
molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4
molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus. (3)
2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti
yang berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan
protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV,
yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env,
mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat protein terstruktur
untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein gp 160 yang
dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan
komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif,
vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi
protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat
turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef
misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara
efisien dan protein yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan
partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah
protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim
yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu :
REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV
lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope (4)
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Cara penularan
Faktor Resiko
AIDS
Heteroseksual/HeterosexuaL
12717
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual
724
48
628
Tak Diketahui/Unknown
772
Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,
horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung
dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau
secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada
kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak
paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik
terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi
mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan
CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat
pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin
berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan
tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun
dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi
target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke
sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat
pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhans, sel dendrit, astrosit,
microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu
CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3.
Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran
gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk
enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse
transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA.
Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk
mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus
masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim
integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan
transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan
laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host
teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu
nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal
repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang
terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu
replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur,
protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi
replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA
Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang
intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein
virus. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan
bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya,
enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi
imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan
menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang
infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi
terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar
orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak
menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan
oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2
(IL-2), yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma. Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk
antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang
memengaruhi respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol,
ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin
jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor
stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti
yang terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan
normal sel-sel inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus
dengan mengeluarkan perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan
mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8
sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam
limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda
tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas
antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin
beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang
penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini (5) :
Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum
yang dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi
penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi
(misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam
akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien
mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular
selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut window
period (masa jendela). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul
sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi
positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis
infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam,
diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang
lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV
dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali
ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase
asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali
mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan
waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam
darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus
itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase infeksi klinisnya
mungkin laten(5).
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya
telah turun di bawah 300 sel /. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi
dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS .
CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini
Manifestasi klinis
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara
lain tumor dan infeksi oportunistik :
1. Manifestadi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang
terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas
dalam dan demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab
kematian pada 30% penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat
menyebar ke organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada
fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia,
mielopati dan neuropari perifer.
Diagnosis HIV
Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)
Gejala Minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pemeriksaan fisik
menggunakan tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela atau
window period. Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk
belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus telah masuk di
dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif, Biasanya
antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila
tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi. (5)
2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :
Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan
dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini
yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi
oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat
mempengaruhi pemilihan terapi.
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit
berat atau AIDS), dalam tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis
infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana
tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi
ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah
limfosit total (Total Lymphocyte Count TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi
imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon
terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
\
PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):
dan nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
No Nama Golongan
1
NRTI
(nucleoside
Fungsi
reverse- penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari RNA
transcriptase inhibitor )
PI (Protease Inhibitor )
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.
( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan
stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
Terapi pada ODHA dewasa
Stadium
Klinis
1
2
Jika
tidak
tersedia
pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak diberikan
Bila jumlah total limfosit
<1200
terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian
ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam
menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom
restorasi imun atau IRIS.
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi
HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya
memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi
2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah
AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah
nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).
Terapi ARV
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah
d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena
adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.
Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun,
perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan
ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan
masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:
dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun
terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS.
Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang
mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di
Indonesia, seperti pada tabel 14.
Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS
Mycobacterium tuberculosis
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.
Patofisiologi TBC
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
inhalasi. Setelah masuk, bakteri tersebut akan membuat sarang pneumoni di
jaringan paru, yang disebut sarang primer / afek primer. Di dalam tubuh manusia
tersebut akan terjadi limfangitis local yang nantinya akan diikuti limfadenitis
regional. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura dapat menyebabkan efusi pleura. Kuman juga dapat
masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit,
terjadilah limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB Milier.
Selanjutnya kompleks primer memiliki 3 nasib :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh meninggalkan sedikit bekas (antara lain fokus ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus). Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm
dan kurang lebih 10 % diantaranya dapat reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
3. Menyebar dengan 3 cara:
a.Perkontinuitatum atau ke jaringan sekitarnya
b.Bronkogen (ke paru-paru dank ke paru sebelahnya)
c.Hematogen dan Limfogen
Manifestasi klinis
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E
dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam,
penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu
malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering
adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya,
gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga
menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit.
PEMERIKSAAN
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha.
Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan tes
tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada
odha dengan CD4>200 sel/L tidak berbeda dengan non HIV (8)
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200
sel/L, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan
infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya
berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi OAT.
Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
KLASIFIKASI TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan
untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi,
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. Mengurangi efek samping.
gambaran tuberkulosis.
Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
atau spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(9).
PENATALAKSANAAN
Pasien HIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu,
apakah pasien sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah
pasien sudah mengkonsumsi AOT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi
Tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada
prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berbeda dengan pasien HIV negatif.
Interaksi antar OAT dan ARV terutama dengan hepatotoksiknya. Pada ODHA yang belum
mendapat terapi ARV, waktu pemberian OAT harus disesuaikan dengan kondisinya.
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan
pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah
dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan
Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk
ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test
HIV).
Klasifikasi
Kasus TB baru
Regimen Obat
2HRZE / 6 HE (DOTS)
CD4
CD4
mm3
mm3
CD4
mm3
CD4
TB lengkap
Pertimbangkan terapi ARV
mungkin
diperiksa
terapi TB dimulai
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.1. PENGKAJIAN
1.
DATA KLINIS
Nama
No. RM
Usia
TB
Lila
Suhu
: Lengan kanan ( )
Lengan Kiri
Duduk
Berbaring
Tanggal
()
()
()
Waktu Kedatangan :
Orang yang dihubungi :
Telepon
:-
) brankar
: -
Alasan
:-
Dosis
Dosis Terakhir
Frekuensi
Obat
Bebas)
Osteocal
3x1
Myoinal
3x1
Alprzolam
0,5 mg
3x1
Pronolges support
2.
100 mg
1x1
Penggunaan
Tembakau :
Ya ( ), tidak (
(
) 1-2 bks/hari, (
) berhenti (tanggal), (
) > 2 bks /hari, (
) Pipa, (
) Cerutu, (
) < 1 bks/hari,
) riwayat bks/tahun (
Alkohol :
( ) tidak, (
Obat lain :
( ) tidak, (
) Ya, Jenis :
Penggunaan :
Alergi :
(obat-obatan, makanan, plester, zat warna) : _tidak ada________________
Reaksi : (-)
Obat-obatan warung/tanpa resep dokter : (-)
3.
) Ya,
Nafsu makan :
( ) Normal , (
Mual,
) Meningkat, (
) Muntah, (
) Menurun, (
) Stomatitis
) makanan padat, (
) Cair
Gigi :
Atas
:(
) Parsial, (
) lengkap
Bawah
:(
) Parsial, (
) lengkap
) tidak, (
) Penyembuhan Abnormal, (
berlebihan
Gambaran diet pasien dalam sehari :
Makan Pagi :
Makan Siang :
Makan Malam :
Pantangan/ Alergi :(-)
4.
POLA ELIMINASI
Kebiasaan defekasi :
) Ruam, (
) Kering, (
) Keringat
) Diare, (
) DBN, (
) Nokturia, (
) Hematuria , (
) Siang hari, (
) Malam Hari, (
) Inkontinensia, (
,(
)
ostomi :
Jenis
Alat
Karakter Stoma :
Kebiasaan berkemih :
(
) DBN,
Fekuensi : 5-6
x/hari, (
) disuria, (
Retensi .
Inkontinensia :
(
) tidak, (
) Ya, (
kadang kadang, (
) total, (
) Kesulitan mencapai
toilet,
Alat Bantu ;
(
) Kateterisasi intermitten, (
) Kateter Indwlling, (
5.
) Kateter Eksternal, (
= Mandiri
Makan/ Minum
Mandi
Berpakaian/
Berdandan
Toileting
Mobilisasi
diTempat
tidur
Berpindah
Berjalan
Menaiki tangga
Berbelanja
Memasak
Pemeliharaan Rumah
Alat Bantu :
(
) tidak ada
) Kruk
) Walker
) Tongkat
) Belat/ Mitela
) Kursi Roda
Kekuatan otot :
Keluhan saat beraktifitas :
6.
Jam/malam, (
) tidur siang, (
) Ya, (
)Tidur sore,
) Tidak
Masalah masalah :
(
) tidak ada, (
) Terbangun, (
Mimpi Buruk
Lain-lain :
7.
) Afasia Reseptif
) Terorientasi
) Kelam piker
) Kombatif
Bicara :
( ) Normal
(
) Tak Jelas
) Gagap
) Afasia Ekspresif
) Terbangun dini, (
) Insomnia , (
) Ya, (
Kemampuan berkomunikasi : (
) Ya, (
) Tidak
Kemampuan memahami : (
) Ya, (
) Tidak
) Tidak
) Sedang, (
) Berat, (
) lain-lain :
Pendengaran:
( ) DBN,
(
) Kerusakan : (
) Kanan, (
) Tuli : (
) Tinnitus
) Kanan, (
) Kiri
) Kiri
Penglihatan:
(
) DBN
) Kacamata
) Kerusakan : (
) Buta : (
) Katarak : (
) Glaucoma : (
) Protesis : (
Vertigo :
) Kanan, (
) Kanan, (
) Kiri
) Kanan, (
) Kanan, (
) Kanan, (
) Kiri
) Kiri
) Kiri
) Kiri , (
) Ya, (
) Tidak
) panik
Ketidaknyamanan / Nyeri : (
)tidak ada, (
) Akut, (
) Kronik
Deskrifsi:
Penatalaksanaan Nyeri :
8.
Status pekerjaan
) bekerja, (
Jangka Panjang, (
) ketidakmampuan
) Tidak bekerja
Sistem Pendukung :
(
) Pasangan,
) tetangga/teman,
) tidak ada,
( ) keluarga serumah,
(
Lain-lain :
POLA SEKSUALITAS/REPRODUKSI
Tanggal mesntruasi akhir (TMA) :
Masalah menstruasi : (
Pap Smear terakhir :
) Ya, (
) Tidak
) Ya, (
) Tidak
) Ya, ( ) Tidak
Hal yang dilakukan saat ada masalah :mendiskusikan bersama orang tua
Penggunaan obat untuk menghilangkan stress :(-)
Keadaan emosi dalam sehari-hari : ( ) santai, (
) tegang,
Lain-lain :
11.
) katolik Roma, (
) Protestan, ( ) Hindu, (
) Budha
) Ya : uraikan :
12.
PEMERIKSAAN FISIK
TANDA VITAL :
TD
Nadi
Suhu
) Ya, ( ) Tidak
Pernapasan
KULIT :
LEHER :
Trakea
Carotid Bruit
Vena
Kelenjar
Tiroid
Lainnya
DADA / THORAK
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi:
Auskultasi :
PAYUDARA :
JANTUNG
Inspeksi :
Palpasi :
Auskultasi :
Perkusi:
Ritme :
PMI :
ABDOMEN :
Inspeksi :
Auskultasi :
Perkusi:
Palpasi :
MUSKULOSKELETAL :
NODUS LIMFE :
NEUROLOGI :
Status Mental / GCS : ( 15 )
E =4
,M=6
, V =5
Syaraf Cranial :
Nervus I
Nervus II
Nervus III
Nervus IV
:Diplopia - / -
Nervus V
Nervus VI
Nervus VII
Nervus VIII
Nervus IX
:Reflek muntah ( - )
Nervus X
Nervus XI
gerakan kedepan
Nervus XII
555 555
Motoris :
555
555
Sensoris :
Sensasi panas
Sensasi dingin
Sensasi raba
Sensasi Nyeri
Sensasi cium
DTR :+
RF : ++
/ ++
RP : - / Lainnya :
EKSTREMITAS :
VASCULAR PERIPER : Capilery refill < 3 detk
GENITALIA :
RECTAL :
13.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnostik :tanggal 18-04-2007 : EKG
Tanggal 23-04-07 : Rontgen foto lumbosakral
Laboratorium :
15,7 gr%
Leukosit
Ht
50%
7900/mm
Trombosit:
298.000
Ca
9,3 mg %
Therapi :
1.Pemasangan papan dipinggang pasien (tanggal 18-21 april 2007)
2.klien tidur diatas matras(18-21 april 2007)
14.
PERENCANAAN PULANG :
Rencana tindak lanjut : Pengawasan Obat
DATA
DS :
-
Klien mengatakan
nafasnya sesak,
Klien mengatakan
dadanya sakit,
Klien mengatakan batuk
berdahak
ETIOLOGI
Peningkatan sputum
MASALAH
Inefektif bersihan
jalan nafas
DO:
-
nafas
Klien Nampak
memegang daerah
dadanya
Ronci (+)
Frekuensi nafas 28 x/i
TTV :
TD: 120/80 mmHg
ND: 100 x/i
RR: 28 x/i
S: 38,5 C
2.
DS:
anoreksia
Klien mengatakan
DO:
-
nafsu makan
Berat badan klien
menurun
- Klien tampak lemas
TTV :
Gangguan nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh
3.
DS :
Nyeri dada
Q : ditusuk-tusuk
S : 8-10
T : waktu batuk
DO :
Klien tampak meringis
kesakitan
Klien tampak gelisah
TTV :
TD: 120/80 mmHg
ND: 100 x/i
RR: 28 x/i
S: 38,5 C
Gangguan
nyaman nyeri
rasa
1.
2.
No
Diagnosa
Tujuan
1.
Setelah dilakukan
napas berhubungan
intervensi selama 3
pola nafas
dengan peningkatan
x 24 jam,
sputum
diharapkan jalan
efektif
Tidak
nafas kembali
efektif
Kriteria hasil
-
Mepertahankan
Intervensi
Rasional
Mandiri :
-
perlkembangan komplikasi
mengalami
sianosis
mengi, ronki
Catat kecepatan atau kedalaman
menunjukan kesulitan
kebutuhan
Hisap jalan nafas sesuai
kebutuhan, gunakan teknik steril
dan lakukan tindakan
pencegahan, missal:
menggunakan masker, pelindung
Page 66
[Type text]
Memperkirakan adanya
mata.
Selidiki keluhan tentang nyeri
dada
Menurunkan konsumsi O2
2.
Gangguan nutrisi
Setelah dilakukan
intervensi selama 3
masa otot
berhubungan dengan
x 24 jam,
diharapkan
adekuat
Mempertahankan
Mempertahankan
Nafsu makan
1,35 kg dr berat
menignkat dan
sebelum sakit
Menunjukan nilai
berat badan
meningkat
normal dan
[Type text]
bermanfaat
perbaikan tingkat
energi
Tekankan pentingnya
mempertahankan
keseimbangan /pemasukkan
nutrisi adekuat
[Type text]
Page 68
tepat.
Memberikan bantuan dan
3.
Setelah dilakukan
nyeri berhubungan
intervensi selama 3
hilangnya /
x 24 jam,
terkontrolnya
diharapkan nyeri
rasa sakit
Menunjukan
Keluhan
rencana diet
pamasukkan
Mandiri :
-
tanda-tanda perkembangan
/resolusi komplikasi
posisi atau
ekspresi wajah
takikardia, meringis
Dorong pengungakapan
istirahat adekuat
televise
[Type text]
perasaan
tidur atau
Meningindikasikan kebutuhan
menanggulangi
Meningkatkan relaksasi atau
BAB IV
KESIMPULAN
Acuired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya
infeksi oportunistik. AIDS disebabkan terutama oleh retrovirus RNA HIV-1 tetapi HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS dan terutama dijumpai di Afrika
Barat. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di membran sel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang terdapat
di system saraf dan jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusi darah yang mengandung HIV,
penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada bayi melalui plasenta atau ASI. Untuk penapisan standart untuk infeksi HIV adalah
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan uji konfirmasi yang tersering adalah western blot. Uji-uji lain mencakup biakan virus, serta pengukuran
antigen p24 dan RNA atau DNA HIV dengan reaksi berantai polymerase (PCR). Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+, termasuk sel
T penolong dan makrofag. Pada system imun yang masih utuh, jumlah normal set T CD4+ berkisar dari 600-1200/ml atau mm 3. Terdapat empat fase infeksi
HIV, yaitu infeksi akut primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase asimptomatik lanjut. Setelah fase awal infeksi HIV, individu
mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan (masa jendela / window periode ), tetapi dapat menularkan kepada orang lain.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain
seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.Pengobatan untuk infeksi oportunistik
bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan
dapatmemperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker
sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif
[Type text]
Page 70
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause
SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
8. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
[Type text]
Page 71
[Type text]
Page 72