Anda di halaman 1dari 15

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO.

1, Januari-Juni 2011

REINTERPRETASI TAFSIR HADITS: PENCIPTAAN PEREMPUAN


DARI TULANG RUSUK LAKI-LAKI?
Oleh :
Muazzatun Adawiyah, M.S.I.1
Abstract
This paper discusses the hadith about the creation of women from
men's ribs, so the question is what does not.? There is a difference
of opinion among scholars about on this tradition, although this
hadith is agreed upon in terms of chains and ahad hadith saheeh.
Place the differences of the scholars is located at Matan hadith.
Key words : Penciptaan Perempuan, Tulang Rusuk Laki-Laki
A. Pendahuluan
Perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan bahkan kekerasan
terhadap perempuan, pada dasarnya merupakan konstruksi social budaya yang
terbentuk melalui proses yang panjang. Namun karena konstruk social budaya
semacam itu telah menjadi kebiasaan dalam waktu yang sangat lama, maka
perbedaan gender tersebut menjadi keyakinan dan idiologi yang mengakar dalam
kesadaran masing-masing individu, masyarakat, bahkan Negara sekalipun.
Perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah dan
bersifat kodrati. Dan tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab yang
melanggengkan konstruksi social budaya yang mengakibatkan ketidakadilan
gender tersebut adalah pemahaman agama.
Agama Islam sendiri, menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi
sejajar. Islam datang mendobrak budaya dan tradisi

patriarkhi bangsa Arab,

bahkan dapat dikatakan dengan cara revolusioner. Tradisi Arab pada saat itu
secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan
harta benda. Mereka biasa mengubur hidup-hidup bayi perempuan, tidak memberi
hak waris kepada perempuan, poligami dengan belasan istri, dan membatasi hakhak perempuan baik dalam wilayah public maupun domestic.2
1 Dosen Tafsir Hadis STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang
2 Q.S. an-Nahl (16):58-59, menggambarkan nilai perempuan dalam pandangan orang-orang Arab
waktu itu dengan pernyataan: Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran
anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Islam datang dengan mengecam penguburan bayi-bayi perempuan,


membatasi poligami, memberikan hak waris dan hak-hak lain kepada perempuan
sesusai dengan fungsi dan peran social perempuan saat itu. Dengan demikian
semangat dan pesan universal

yang dibawa Islam pada dasarnya adalah

persamaan antara laki-laki dan perempuan serta berusaha menegakkan keadilan


gender dalam masyarakat.3 Semangat Islam seperti itu kemudian diinterpretasi dan
dipahami oleh orang-orang (Arab) yang mempunyai budaya dan idiologi
patriarkhi, sehingga hasil penafsiran mereka menempatkan perempuan lebih
rendah dibanding laki-laki.
Penafsiran yang bias gender tersebut tidak hanya terjadi pada hal-hal yang
spesifik tetapi juga pada hal-hal yang sangat mendasar seperti masalah awal
penciptaan perempuan. Dengan penafsirannya, mereka meyakini bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga sejak semula
perempuan bersifat derivative dan sekunder: perempuan diciptakan hanya sebagai
pelengkap dan untuk melayani laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan telah
diciptakan tidak setara oleh Allah, maka selamanya mereka tidak dapat menjadi
setara. Pemahaman seperti ini kemudian menjadi keyakinan dan idiologi yang
melekat dalam pikiran masyarakat.
Dalam masyarakat Islam, keyakinan seperti itu disamping pengaruh dari
luar Islam timbul dari penafsiran teks hadits yang menyatakan perempuan
diciptakan dari tuklang rusuk laki-laki, yang diyakini sebagai sabda Nabi saw.
Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha mengadakan pengkajian mendalam,
baik dari segi sanad maupun matan hadits.
B. Matan Hadits
Hadits ini diriwayatkan dengan matan yang berbeda-beda. Namun apabila
dicermati, matan-matan hadits tersebut secara umum memiliki dua macam arti,
yaitu (1) menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, (2)
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau akan menguburnya hidup-hidup ke dalam
tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
3 Lihat misalnya, Q.S. al-Hujurat(49): 13, Ali Imran(3): 195, an-Nisa(4): 124, dan atTaubah(9): 71.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

menggambarkan

bahwa

perempuan

seperti

tulang

rusuk.

Disini

akan

dikemukakan tiga macam matan hadits, yang semuanya berasal dari Shahih alBukhari. Pengutipan tiga macam hadits dari satu kitab ini untuk menunjukkan
bahwa tiga macam matan hadits

yang berbeda-beda tersebut pada dasarnya

merupakan satu hadits yang sama, atau dengan kata lain Nabi saw hanya
mengatakan satu kali tetapi kemudian diriwayatkan dengan matan yang berbedabeda. Ketiga matan hadits tersebut yaitu:






Setelah melihat ketiga matan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa matan
hadits pertama dan ketiga (yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari
tulang rusuk) berbeda dengan matan hadits kedua (prempuan bagaikan tulang
rusuk), atau dengan kata lain kedua macam matan hadits tersebut, yaitu antara
matan pertama dan ketiga dengan matan kedua, merupakan hadits yang berdiri
sendiri. Memang dapat dikatakan demikian apabila hanya dilihat dari riwayat alBukhari. Namun apabila dilihat juga dari riwayat yang lain, riwayat Ibnu Hanbal
misalnya, akan didapatai bahwa matan haditsnya sama dengan matan hadits
pertama dan ketiga, namun jalur sanadnya hampir sama dengan jalur sanad hadits
kedua dan berbeda sama sekali dengan jalur sanad hadits pertama dan ketiga
(lihat lampiran). Hal ini jug diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar hadits
ini diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, bahkan riwayat al-Bukhari dan Muslim
semuanya berasal dari Abu Hurairah. Sementara itu, riwayat dari selain Abu
Hurairah, terutama dari Abu Zarr, juga mempunyai matan yang berbeda-beda
(lihat lampiran).

C. Sanad Hadits

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Hadits diatas diriwayatkan oleh lima penyusun kitab hadits, yaitu alBukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad Ibnu Hanbal, dan ad-Darimi, dengan jalur
sanad yang berbeda-beda. Sementara sahabat yang meriwayatkan hadits ini ada
empat orang, yaitu Abu Hurairah, Aisyah, Samrah, dan Abu Zarr. Kelima
penyusun kitab hadits tersebut semuanya meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah.
Sementara jalur Aisyah dan Samarah hanya diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu
Hanbal dan jalur Abu Zarr disamping diriwayatkan oleh Ahmad juga oleh adDarimi. Untuk meringkas pembahasan tentang sanad hadits, dalam tulisan ini
hanya diteliti dua jalur sanad sebagai sampel,
Skema Sanad hadits
Nabi Muhammad
Abu
Al-Araj (3)
Abu az-Zinad (3)
Malik (2)
Abd al-Aziz
Ibn Abdullah (3)
Al-Bukhari

Abu
Maysarah(3)
Zaidah (3)
Husain Ibn Ali
Abu Bakar
Ibn Ali
Muslim

Dari skema sanad diketahui bahwa baik riwayat al-Bukhari maupun


Muslim sama-sama berasal dari Abu Hurairah. Hanya saja al-Bukhari melalui
jalur sanad al-Araj_az-Zinad_Malik_Abd al-Aziz Ibn Abdullah, sementara
Muslim melalui jalur sanad Abu Hazim_Maysarah_Zaidah_Husain Ibn Ali Bakr
Ibn Abi Syaibah. Dalam tulisan ini, penilaian mengenai sahabat mengikuti
pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil
(as-sahbah kulluhum udl), dalam arti mereka tidak mungkin berdusta dalam
meriwayatkan hadits dari Nabi, sehingga tidak perlu dilakukan penilaian terhadap

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

mereka.4 Karena itu, penilaian tadil dan tarjih hanya dilakukan terhadp para
periwayat setelah sahabat, dalam hal ini adalah setelah Abu Hurairah.
Pada skema sanad di atas, semua periwayat yang ada pada dua jalur sanad
tersebut memiliki nilai ke-siqah-an dalam peringkat (martabah) yang tinggi,
sebagainana yang ditunjukkan dengan angka dalam kurung. Peringkat-peringkat
tersebut adalah peringkat pertama (m raaitu afdala minhu, m raaitu atqana
minhu), peringkat kedua (siqah mamn-wara-faqh-lim-hujjah), dan peringkat
ketiga (siqah, siqah imam f al-hds, dan siqah sahib as-sunnah). Di samping itu
masing-masing periwayat saling bertemu (liqa), atau setidaknya sejaman
(musarah) dengan periwayat sebelum dan sesudahnya, karena masing-masing
periwayat tersebut menerima riwayat (tahammul) dari periwayat sebelumnya dan
meriwayatkan (ada) kepada periwayat sesudahnya.5
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadits yang menyatakan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk, mempunyai sanad yang bernilai shahih
(shahih al-isnd). Namun demikian suatu hadits dipandang shahih apabila
memang terbukti shahih baik sanad maupun matannya. Karena itu, berikut akan
dilihat bagaimana pandangan para ulama dan sarjana mengenai matan hadits
tersebut.
D. Pandangan Ulama tentang Matan Hadits
Hadits dan al-Quran merupakan sumber ajaran Islam yang paling
otoritatif. Namun al-Quran dan hadits sebagai sebuah teks sangat terbuka untuk
diinterpretasi dari berbagai sudut pandang. Hasil interpretasi dari al-Quran dan
hadits tentu saja bukan al-Quran dan hadits itu sendiri, karena hasil interpretasi
pada dasarnya merupakan hasil dialog antara teks dengan penafsir yang
dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, politik, bahkan kepentingan-kepentingan
tertentu dari penafsir. Karena itu interpretasi dari satu teks al-Quran dan hadits
4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, sul al-Hadits: Ulmuh wa mustalahuh, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), h. 392.

5 Bandingkan Ibid., hlm. 275-276. Penilaian di atas didasarkan pada Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzb
(T. pt.: Dar al-Fikr, 1984). Masing-masing periwayat tersebut adalah al-Araj, XII: 76, Abu azZinad, V: 178-179, Malik, X: 5-8, dan Abd al-Aziz Ibn Abdullah, VI: 308 dari jalur periwayatan
al-Bukhari. Sementara dari jalur periwayatan Muslim adalah Abu Hazim, IV: 123, Maysarah, X:
345, Zaidah, III: 264, Husain ibn Ali, II: 308, dan Abu Bakar Ibn Abi syahibah, VI: 3-4.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

dapat menghasilkan beragam penafsiran. Disamping itu hadits Ahad, tidak seperti
al-Quran dan hadits mutawatir, karena kepastian datang dari Nabi masih bersifat
dugaan (dzanni al-Wurd) maka ulamapun sering berbeda pendapat untuk dapat
menerimanya.
Mengenai hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari
tulang rusuk ini karena merupakan hadits ahad (walaupun sanadnya shahih) para
ulama dan sarjana masih berbeda pendapat mengenai keotentikan hadits tersebut
sebagai sabda Nabi saw. Apabila dicermati, secara umum mereka terbagi menjadi
dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap hadits tersebut sebagai
sabda Nabi dan kedua, kelompok yang berpendapat bahwa matan hadits tersebut
tidak shahih sehingga harus ditolak.
Kelompok pertama, yaitu kelompok yang menerima hadits tersebut, juga
terbagi menjadi dua pandangan. Pandangan pertama, memahami hadits tersebut
secara tekstual, sehingga menurut mereka perempuan (Hawwa) benar-benar
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Hadits ini bahkan dijadikan sebagai
argument untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran tentang awal penciptaan
manusia, khususnya an-Nisa (4) ayat 1.
Dalam menafsirkan kata nafs whidah dalam ayat tersebut, mereka
mengartikannya dengan Adam, dan kata zaujaha dengan Hawwa. Dengan
demikian ayat tersebut berarti: Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kalian dari nafs whidah (Adam) dan darinya (Adam) Allah
menciptakan pasangannya (Hawwa). Kemudian sesuai informasi hadits di atas
yang dipahami secara tekstual, mereka berpendapat bahwa penciptaan Hawwa
tersebut adalah dari tulang rusuk Adam.6
Pandangan ini jelas melahirkan pandangan negative terhadap perempuan,
karena perempuan dianggap sebagai bagian dari laki-laki dan diciptakan hanya
sebagai pendamping dan pelengkap laki-laki. Pendapt bahwa perempuan
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ini, setidaknya menurut tim penterjemah al-

6 Lihat misalnya Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad al-Qurtubi, al-Jmi li Ahkm al-Qurn,
(Kairo: Dar al-Katib al-Arabi li at-Tabaah wa an-Nasyr, 1967), I: 301-302, V: 1-2. Ibnu Katsir,
Tafsir al-Quran al-Azim, (Ttp.: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, t.t.), I: 448.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Quran Depag RI, merupakan pendapat mayoritas ulama tafsir.7 Para ulama yang
berpendapat seperti ini, untuk menyebut sebagiannya, adalah Jalaluddin as-Suyuti,
Ibnu Katsir, al-Qurtubi, al-Biqai, dan Abu Saud.8
Sementara itu pandangan kedua, dari kelompok pertama, berpendapat
bahwa hadits itu shahih, baik sanad maupun matannya, namun harus dipahami
secara metaforis. Pandangan ini timbul dari tarik menarik antara apa yang
dipahami dari teks hadits dengan apa yang dipahami dari al-Quran. Pandangan
kedua ini umumnya berpendapat bahwa kata nafs whidah dalam Q.S. an-Nisa(4)
ayat 1 bukan berarti Adam, tetapi jenis yang satu, sehingga kata zaujah
(pasangannya), yang diyakini sebagai Hawwa, diciptakan pula daribahan atau
jenis yang satutersebut sebagaimana penciptaan Adam.
Karena itu, supaya hadits shahih itu tidak bertentangan dengan al-Quran,
maka menurut mereka, secara rasional hadits tersebut tidak dapat dipahami
dengan makna tekstual. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi secara metaforis,
yaitu bahwa hadits tersebut berisi pesan kepada kaum laki-laki agar menghadapi
perempuan dengan cara yang baik, bijaksana, dan tidak kasar.9
Adapun kelompok kedua, adalah kelompok yang menolak ke-shahih-an
hadits tersebut. Mereka seperti halnya pandangan kedua dari kelompok pertama,
berpendapat bahwa kata nafs whidah dalam Q.S. an-Nisa(4) ayat 1, berarti
jenis yang satu, sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan
penciptaan Hawwa, keduanya diciptakan dari bahan (nafs, jenis) yang sama.
Dengan demikian, menuut mereka ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung
paham yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Karena itu, hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki harus ditolak karena tidak sesuai dengan ayat al-Quran.
Pemahaman bahwa perempuan (Hawwa) diciptakan dari tulang rusuk
(Adam), menurut mereka tampaknya timbul dari ide yang tercantum
(dimasukkan) dalam Perjanjian Lama (Kitab Kejadian II ayat 21-22). Menurut
7 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Quran, al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang:
Toha Putra, 1989), hlm. 14. F. 263.
8 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 299.
9Lihat Ibid., hlm. 300. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Quran,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 50.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

mereka, jika saja tidak ada informasi dari Perjanjian Lama tersebut, niscaya
pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk lakilaki (Adam) tidak akan pernah terlintas dalam pikiran orang Islam. 10 Lebih lanjut,
Riffat Hassan menyatakan bahwa teologi perempuan yang terkandung dalam
hadits tersebut dengan didasarkan pada pandangannya menyangkut ontology,
biologi, dan psikologinya jelas bertentangan dengan yang tersebut dan tersirat
dalam al-Quran, karena itu, hadits tersebut harus ditolak atas dasar isinya
sendiri.11
Dengan demikian, secara umum terdapat tiga pendapat mengenai matan
hadits ini, pertama, memandang hadits tersebut shahih dan memahaminya secara
tekstual. Ini berarti, menurut mereka perempuan (Hawwa) memang diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Kedua, menerima keshahihan hadits tersebut,
namun memahaminya secara metaforis, yaitu bahwa laki-laki harus menghadapi
perempuan dengan cara, baik, bijaksana, dan tanpa kekerasan. Ketiga, menolak
hadits tersebut karena, menurut mereka, bertentangan dengan ayat al-Quran yang
menyatakan bahwa laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawwa) diciptakan dari
bahan atau jenis yang sama.
E. Reinterpretasi Makna Hadits
Hadits tersebut secara tekstual memiliki arti bahwa perempua diciptakan
dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk. Dalam teks hadits yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan
siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Namun,
teks hadits inilah yang berkembang di masyarakat, bahkan mereka memberikan
penafsiran lebih lanjut bahwa perempuan yang dimaksud dalam teks hadits itu
adalah perempuan pertama, yaitu Hawwa, dan dia diciptakan dari tulang rusuk
Adam, yang merupakan manusia pertama. Pemahaman seperti itu yang
merupakan hasil penafsiran karena tidak disebutkan sama sekali dalam teks

10 Bandingkan M.Quraih Shihab, Wawasan ., hlm.300-301.


11 Riffat Hassan, Isu Kesetaraan Laki-laki-Perempuan dalam Tradisi Islam dalam Fatimah
Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Dihadapan Allah, Terj. Tim LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA
Yayasan Prakarsa, 1995), hlm. 60.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

hadits12 dianggap sebagai hadits Nabi itu sendiri, dan dijadikan otorisasi bagi
ajaran Islam setelah al-Quran.
Pemahaman bahwa Hawwa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk
Adam (laki-laki) yang diyakini berasal dari hadits Nabi tersebut kemudian
menjadi doktrin teologi yang dipercayai oleh kebanyakan masyarakat Islam.
konsepsi teologis ini jelas membawa implikasi-implikasi lebih lanjut, baik
psikologis, social, budaya, ekonomi maupun politik yang bersifat misoginis.
Karena perempuan merupakan makhluk sekunder yang keberadaannya hanya
sebagai pelengkap dan untuk melayani kaum laki-laki dalam segala bidang baik
pada wilayah domestic maupun publik.
Pemahaman yang sebenarnya bukan hadits ini oleh mayoritas ulama,
sebagaiman telah dikemukakan, digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan awal penciptaan manusia, khususnya Q.S. an-Nisa (4) ayat 1.
Mereka, dengan berargumen pada pemahaman dari hadits ini dan cerita-cerita
isriliyyt (dan inilah sesungguhnya yang paling berpengaruh), 13 menafsirkan kata
nafs whidah dalam ayat tersebut dengan Adam dan kata zaujaha dengan Hawwa,
sehingga ayat tersebut diartikan dengan:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kalian dari nafs whidah (Adam) dan darinya
(Adam) [yaitu dari tulang rusuk Adam] Allah menciptakan
zaujaha (Hawwa).
Menafsirkan kata nafs whidah dengan Adam dan kata ganti h pada
minh dengan dari bagian tubuh Adam (sehingga kemudia dipahami Hawwa
diciptakan dari bagian tubuh Adam), menurut hemat penulis, kurang tepat. Kata
nafs whidah lebih sesuai apabila diterjemahkan dengan jenis yang satu atau
12 Kata Hawwa sama sekali tidak terdapat dalam teks-teks hadits yang berkaitan dengan
masalah ini. Dalam riwayat Ibnu Majjah memang terdapat kata Hawwa, namun yang
diriwayatkan tersebut bukan sabda Nabi, tetapi ucapan Imam SyafiI, kenapa pada air kencing bayi
laki-laki yang masih menyusu cukup dipercikkan air untuk membersihkannya sedangkan air
kencing bayi perempuan harus dicuci, ini karena Hawwa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk
yang pendek milik Adam (laki-laki), sehingga apabila air kencing bayi laki-laki itu berasal dari air
dan tanah sementara air kencing bayi perempuan berasal dari daging dan darah (lihat lampiran).
13 Cerita-cerita israiliyyat yang banyak dikutip antara lain menceritakan bahwa Hawwa
diciptakan dari tulang rusuk yang paling pendek dari bagian belakang tubuh Adam. Ketika itu
Adam sedang tidur, kemudian setelah dia bangun dan melihat ada perempuan di sampingnya ia
terkejut dan merasa terkagum-kagum, dan pada akhirnya keduanya saling menyenangi. Lihat
misalnya Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, I: 448.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

jenis yang sama, sehingga zaujaha (pasangannya) diciptakan dari jenis yang
sama dengan penciptaan Adam. Penafsiran kata nafs dengan jenis ini sesuai
dengan penunjukan ayat-ayat yang lain, misalnya ayat: wallhu jaala lakum min
anfusikum azwjan (Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian
sendiri), wmin ytihi an khalaqa lakum min anfusikum azjan (diantara sebagian
tanda-tanda kebesaran-Nya, dia menciptakan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian
sendiri), dan laqad jakum raslan min anfusikum (sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari jenis kalian sendiri).14
Dengan demikian, apabila ada pemahaman yang menyatakan bahwa
Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam, jelas tidak sesuai dengan ayat-ayat alQuran. Disamping itu, dalam kenyataannya hadits

yang mengarah pada

pemahaman seperti itu diriwayatkan dengan matan yang berbde-beda. Matan


hadits yang berbeda-beda tersebut yang secara garis besar memiliki dua arti, yaitu
perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan perempuan seperti tulang rusuk sulit
untuk ditentukan mana yang lebih kuat (rjih) karena sanadnya sama-sama
shahih dan sama-sama kuat.
Hadits yang memiliki matan yang berbeda-beda dan sulit untuk ditetapkan
mana yang benar, disebut sebagai hadits yang mudtarib al-matan. Hadis mudtarib
pada dasarnya masuk dalam kategori hadis daf, karena tidak dapat dipastikan
mana yang benar, padahal kepastian tersebut merupakan salah satu syarat bagi
keshahihan suatu hadits. Namun sebagian ulama menyebut sebuah hadits sebagai
hadits mudtarib hanya apabila idtirb (kekacauan, kerancauan) tersebut terjadi
pada sanad. Apabila kerancauan tersebut terjadi pada matan, maka menurut
mereka hal itu menjadi tugas para ulama dan sarjana untuk memecahkan dan
menyelesaikannya. Karena itu, bisa jadi suatu hadits itu shahih atau hasan tetepi
merupakan hadits mudtarib, seperti yang terjadi pada hadits al-Bukhari dan
Muslim. Dengan demikian suatu hadits dapat disebut sebagai hadsun shahhun
mudtaribun.15
14 Lihat Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Matbaah Mustafa al-Babi alHalabi wa Auladuh, 1974), III: 177.
15 Lihat Mahmud at-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadits, (Beirut: Dar as-Saqafah al-Islamiyah,
t.t.), hlm. 112-114. Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits, hlm. 344-345. Fatchur Rahman,

10

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Disamping itu, dalam matan hadits yang menyatakan bahwa perempuan


diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan sama sekali siapa perempuan yang
dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Apalagi ditambah dengan matan
hadits yang mengguanakan kata perempuan dalam bentuk plural an-Nis
(kaum perempuan), yang berarti seluruh kaum perempuan, tidak hanya perempuan
pertama (Hawwa), diciptakan dari tulang rusuk. Ini jelas bertentangan dengan
ayat-ayat yang berbicara mengenai proses reproduksi kejadian manusia.16
Apabila dicermati konteks hadits-hadits ini, sebenarnya berisi anjuran,
atau bahkan perintah Nabi kepada orang laki-laki waktu itu supaya saling
menasehati satu sama lain untuk berbuat baik kepada istri-istri mereka atau kaum
perempuan secara umum (bandingkan bunyi hadits: man kna yuminu billhi wa
al-yaumi al-hir fal yuz jrahu wa istaus bi an-nis hkairan). Nabi kemudia
mengibaratkan perempuan seperti tulang rusuk yang tidak dapat diubah-ubah
seenaknya mengikuti kemauan laki-laki. Perempuan yang dikemukakan Nabi
tersebut mengisyaratkan laki-laki tidak boleh kasar atau melakukan kekerasan
terhadap perempuan, karena dengan tanpa menggunakan kekerasan laki-laki justru
akan dapat saling mengisi dan hidup berdampingan secara baik dengan
perempuan (bandingkan bunyi hadits: al-maratu ka ad-dilaI wa fh iwajun).
Sabda Nabi tersebut hanya ditunjukkan kepada kaum laki-laki, ini sesuai
dengan konteks masyarakat Arab ketika itu. Sabda Nabi ini secara inplisit
menunjukkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan ketika itu (bahkan
sampai sekarang) sangat kuat sehingga Nabi merasa perlu untuk memerintahkan
kaum laki-laki agar memperlakukan kaum perempuan secara baik dan bijaksana.
Dengan demikian, dominasi laki-laki dan budaya ptriarkhi inilah sesungguhnya
yang hendak dihilangkan oleh Nabi dengan memerintahkan kaum laki-laki supaya
memandang perempuan sebagai mitra yang sejajar.
Pandangan ini diperkuat bahwa para penulis kitab hadits menempatkan
hadits-hadits ini pada pembahasan mengenai anjuran untuk berbuat baik kepada
istri, bukan pada pembahasan mengenai awal penciptaan manusia. Al-Bukhari,
Ihtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: PT. al-Maarif, 1987), hlm. 163-165.
16 Lihat misalnya Q.S. al-Muminun (23): 12-14.

11

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

disamping pada kitb ahds al-anbiy (yang hanya satu hadits), menempatkan
hadits-hadits ini pada kitb an-nikh, bb al-mudrah maa an-nis (bab berbuat
sopan dan lembut kepada kaum perempuan) dan bb al-wus t bi an-nis (bab
wasiat mengenai kaum perempuan).17
An-Nawawi dalam Syarah muslim-nya menempatkan hadits-hadits ini
pada bb al-wasiyyah bi an-nis (bab wasiat mengenai kaum perempuan). Dalam
penjelasannya an-Nawawi antara lain menyatakan bahwa hadits ini merupakan
anjuran untuk berlaku lembut terhadap kaum perempuan.18 Sementara itu, asSyaukani menempatkan pada bb ihsn al-isyrah wa bayn haqq az-zaujain (bab
berlaku baik dalam pergaulan (suami istri) dan keterangan mengenai hak suami
istri),19 dan demikian pula kitab-kitab hadits lainnya.20
Dengan demikian hadits-hadits itu tidak sesuai apabila dipahami sebagai
informasi bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Hadits-hadits tersebut
sebenarnya berisi anjuran kepada kaum laki-laki untuk berlaku baik dan bijaksana
terhadap perempuan hanya saja kemudian dalam perkembangannya matan hadits
tersebut mengalami perubahan sehingga muncul matan yang berbeda-beda.
Karena itu, Ibnu Hajar antara lain menerangkan bahwa secara umum hadits-hadits
itu dapat diartikan dengan:
saya (Nabi) berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada
perempuan, maka terimalah wasiatku ini mengenai kaum
perempuan dan laksanakanlah wasiatku ini, berlaku lembutlah
kepada mereka dan bergaullah kepada mereka dengan baik.21
Hadits-hadits tersebut pada dasarnya selaras dengan hadits-hadits lain dan
ayat-ayat al-Quran yang berisi anjuran kepada para suami untuk bergaul secara
baik dengan para istri mereka. Untuk menyebutkan sebagian ayat dan hadits yang
senada dengan hadits-hadits tersebut adalah Q.S. an-Nisa (4) ayat 19 wa
17 Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasiyah al-Sindi,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, t.t.), III: 256-257.
18 An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), X: 57-58.
19 Muhammad Ibnu Ali asy-Syaukani , Nail al-Autar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa
Auladuh, 1961), V: 217.
20 Misalnya, Abu al-Ali al-Mubarakafuri , Tuhfat al-Ahwazi bi Syarah Jami al-Tirmizi, (ttp.: Dar
al-Ittihad al-Arabi li at-Tabaah, 1965), IV: 367.
21 Ibnu Hajar al-Asyqalani, Fath al-Bari bi Syarah al-Bukhari, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi
wa Auladuh, 1959), XI: 162 dan 177.

12

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

sirhunna bi al-marf (pergaulilah istri-istri kamu secara baik), Q.S. at-Talaq


(65) ayat 6 wa Itamir bainakum bi marf (musyawarahlah diantara kalian
suami istri (tentang segala sesuatu), dengan cara yang baik), dan hadits akmal almuminn mnan ahsanuhum khuluqan, wa khiyrukum li nisihim (mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orangorang yang paling baik di antara kalian adalah orang-orang yang paling baik
terhadap istri-istrinya).22
Anjuran dan perintah untuk berlaku baik tersebut ditujukan kepada kaum
laki-laki karena memang, sebagaimana dikemukakan, konstruksi budaya Arab
ketika itu (atau bahkan sampai dengan sekarang) menempatkan kaum laki-laki
lebih dominan dan kaum perempuannya tersubordinasi, bahkan dapat dikatakan
dalam keadaan tertindas. Karenanya Nabi berusaha merombak budaya semacam
itu dan berupaya meningkatkan derajat dan martabat kaum perempuan__dengan
memerintahkan kaum laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada
kaum perempuan.
Perjuangan Nabi demi memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan
ini terlihat dari sikap para sahabat yang masih mewarisi budaya patriarkhi ketika
itu untuk menahan diri dan tidak banyak bicara mengenai hal-hal yang
menyangkut hak-hak dan kewajiban istri-istri mereka, karena mereka khawatir
akan turun wahyu atau sabda Nabi yang akan memberatkan mereka. Hal ini
tergambar dari ungkapan Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai
penutup hadits-hadits yang menganjurkan untuk saling berpesan supaya berlaku
baik kepada kaum perempuan.
Ucapan Ibnu Umar itu adalah:23
Kami pada masa Nabi saw menghindari untuk banyak
berbicara dan membahas tentang istri-istri kami karena kami
khawatir akan turun sesuatu (wahyu yang memberatkan)
kepada kami. Ketika Nabi saw wafat baru kami
membicarakan dan membahas secara panjang lebar
(mengenai istri-istri kami).
22 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Abu Hurairah. Dikutib oleh Wahhab azZuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VII: 329. Lihat juga A.J.
Wensick, al-Mujam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits an-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1943), VI: 65.
23 Lihat al-Bukhari, Matan al-Bukhari, III: 257. Ibnu Hajar al-Asyqalani, Fath al Bari, XI: 163.

13

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

F. Penutup
Hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk,
atau perempuan bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih, namun
ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan sarjana menyangkut
matannya, khususnya matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dsri
tulang rusuk. Diantara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak. Pada
kelompok yang menerima, ada dua pendapat: yang pertama mengartikannya
secara tekstual, bahkan digunakan untuk menafsirkan QS. An-Nisa (4) ayat 1
tentang penciptaan awal manusia, sehingga menurut mereka Hawwa diciptakan
dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan hadits tersebut
secara metaforis, bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam
menghadapi perempuan. Sementara kelompok yang menolak hadits itu
berargumen bahwa hadits tersebut harus ditolak karena isinya tidak sesuai dengan
ayat-ayat al-Quran.
Hadits tersebut walaupun sanadnya shahih, tetapi memiliki matan yang
berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan mana matan yang benar, sehingga hadits
tersebut termasuk hadits mudtarib (al-matan). Namun demikian, bila ditempatkan
pada konteksnya secara tepat dan dipahami secara utuh dan keseluruhan matan
yang ada, tidak hanya parsial kalimat per kalimat atau matan per matan, maka
hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal
perempuan. Hadits-hadits itu berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu
untuk berlaku baik kepada istri-istri mereka atau kepada kaum perempuan secara
umum. Pesan Nabi tersebut merupakan salah satu manifestasi dari semangat
ajaran Islam yang hendak menempatkan laki-laki dan perempuan secara sederajat.
Wallahu alam.
DAFTAR PUSTAKA
A.J. Wensick, al-Mujam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits an-Nabawi, (Leiden: E.J.
Brill, jilid VI, 1943.
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad al-Qurtubi, al-Jmi li Ahkm al-Qurn,
(Kairo: Dar al-Katib al-Arabi li at-Tabaah wa an-Nasyr), jilid I dan V,
1967.

14

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasiyah


al-Sindi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, jilid III, t.t.
Abu al-Ali al-Mubarakafuri , Tuhfat al-Ahwazi bi Syarah Jami al-Tirmizi, (ttp.:
Dar al-Ittihad al-Arabi li at-Tabaah, IV, 1965.
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Matbaah Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Auladuh), jilid III, 1974.
Al-Bukhari, Matan al-Bukhari, jilid III.
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid X,
1972.
Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: PT. al-Maarif), 1987.
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzb (T. pt.: Dar al-Fikr), 1984.
Ibnu Hajar al-Asyqalani, Fath al Bari, XI.
Ibnu Hajar al-Asyqalani, Fath al-Bari bi Syarah al-Bukhari, (Mesir: Mustafa alBabi al-Halabi wa Auladuh, XI, 1959.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, I: 448.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, (Ttp.: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah),
jilid I. t.t.
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan), 1997.
Mahmud at-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadits, (Beirut: Dar as-Saqafah alIslamiyah), t.t. Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits.
Muhammad Ajjaj al-Khatib, sul al-Hadits: Ulmuh wa mustalahuh, (Beirut:
Dar al-Fikr), 1989.

15

Anda mungkin juga menyukai