Anda di halaman 1dari 14

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO.

1, Januari-Juni 2011

KRITIK SANAD HADIST


(Suatu Upaya Menjaga Keotentikan Hadist Nabi SAW )
Oleh :
Zulyadain, MA1
Abstract
This paper reviews the criticism sanad hadith. Criticism does not
mean dropping or criticizing Hadith but the criticism is an effort to
maintain the authenticity of the hadith itself. So know the
advantages and disadvantages of the narrators of friends who
meriwatkan periwat first came to the last.
After criticism it would seem that a tradition of quality is
maintained from the efforts of people who inkar to the sunna and
the effort to distance the people from the initial referral of the
Koran and Hadith.
Key words : Kritik Sanad, Keotentikan Hadis
A. Pendahuluan
Tidak ada kesangsian sedikitpun bagi umat Islam bahwa sunnah atau
hadis2 Nabi itu sangat penting,3 karena selain menduduki peringkat kedua sebagai
sumber ajaran Islam,4 juga sebagai penjelas (bayan) al-Quran.5 Walaupun
sunnah itu penting, dikalangan sahabat ada perbedaan tentang diperbolehkan dan
tidaknya semua sunnah Nabi itu ditulis. Paling tidak ditemukan dua kelompok
yang pro dan kontra dengan berbagai argumennya masing-masing. Kelompok
yang tidak membolehkan sunnah itu ditulis karena khawatir kalau-kalau orang
1 Dosen Tafsir Hadis STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang
21. Sunnah adalah jalan yang ditempuh kemudian diikuti oleh orang lain. Sedangkan hadis adalah
pembicaraan yang diriwayatkan atau diasosiasikan kepada Nabi Muhammad Saw, atau segala
sesuatu yang berupa berita (ucapan, tindakan, taqrir, keadaan, kebiasaan) yang dikatakan berasal
dari Nabi. Lihat Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 197, hlm. 1-5. Lebih jelasnya tentang pengertian sunnah, periksa Ismail R. al-Faruqi dan
Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992, hlm. 119-148.
32. Q.S.al-Ahzab (33):21, sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah. Q.S. al-Hasyr (59):7, Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Lihat Al-Quran dan
Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1985, hlm. 670 dan 916
43. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 3.
Pernyataan ini diambil dari Al-Suyuthi, Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi al-Sunnah, al-Madinah alMunawwarah: Matbaah al-Rayid, 1399 H/1979 M
54. M.Quraish Shihab, Hubungan Hadis dan al-Quran, dalam Membumikan Al-Quran, Bandung:
Mizan, 1992, hlm, 121126

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

tidak bisa membedakan antara al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga


mengakibatkan perubahan (tahrif) ayat-ayat al-Quran, dan ini merupakan suatu
kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.6 Argumen ini telah dibantah Abu Rayyah,
bahwa alasan demikian itu mungkin nampak meyakinkan bagi orang awam,
tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti bahwa keindahan
bahasa al-Quran setingkat dengan hadis.7 Kalau keindahan kemukjizatan alQuran dapat dimiliki oleh manusia, sudah barang tentu manusia akan dapat
membuat yang semisal al-Quran, padahal Allah sendiri akan selalu menjaga
orisinalitas al-Quran. Allah berfirman:
(9: )
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.8
Begitu juga tantangan-tantangan Allah kepada manusia yang meragukan
kebenaran al-Quran untuk membuat satu surat yang semisal al-Quran,9 atau
membuat sepuluh surah yang semisal al-Quran,10 niscaya mereka tidak akan
mampu membuatnya.
Alasan lain pelarangan penulisan hadis adalah agar kebiasaan menghafal
hadis dikalangan sahabat tidak hilang, tidak hanya mengandalkan tulisan saja.11
Alasan inipun tidak masuk akal, karena bahaya akibat tidak dituliskannya hadis
terlalu besar, generasi berikutnya tidak akan mengetahui sunnah-sunnah Nabi,
berarti dalam berislamnya tidak akan dapat utuh dan sempurna. Peradaban dan
65. Abu Umar Yusuf Ibn Abdil Barr, Jami Bayan al-Ilm wa Fadlih, Bairut: Dar al-Fikr, [t.th],
hlm82.
76. Mahmud Abu Rayyah, Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah au Difa an al-Hadis, Mesir:
Dar al-Marifah, [t.th], hlm 51
87. Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 391.
98. Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. Al-Quran dan
Terjemahnya, Ibid., hlm. 12.
109. Contoh hadis palsu yang dibuat oleh kelompok Ali bin Abi Thalib, yang artinya:Barang
siapa ingin melihat ilmu Nabi Adam, ketakwaan Nabi Nuh,ketabahan Nabi Ibrahim, keperkasaan
Nabi Musa dan Ibadah Nabi Isa, maka lihatlah Sayyidina Ali. Mencintai Ali adalah sebuah
kebaikan yang tidak akan ternoda oleh keburukan. Membencinya adalah keburukan yang tidak
dapat ditebus oleh kebaikan. Hai Ali, sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu,
kedua orang tuamu, keluargamu, kelompokmu, dan orang-orang yang mencintaimu. Lihat Muh.
Zuhri, op.cit., hlm. 67-68.
1110. Abu Umar Yusuf Ibn Abdil Barr, op.cit., hlm. 81.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

kebudayaan manusia akan selalu terpelihara melalui tulisan dan tidak oleh
hafalan, walaupun menghafal itu juga penting. Ibn Qulabah menyatakan: Kitab
dan tulisan lebih baik bagi kita daripada kehilangan hafalan dan lupa.12 Apalagi
kalau ada alasan kalau sunnah itu ditulis, orang akan mengabaikan al-Quran
karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadis,13 juga tidak dapat
diterima.
Sebaliknya kalau sunah itu tidak ditulis akan membawa akibat. (1)
hilangnya sejumlah besar hadis yang penting. Kekuatan hafalan manusia itu
sangat terbatas, dan sewaktu-waktu karena syaraf otak terganggu atau usia uzur
maka hafalan itu akan hilang dengan sendirinya. (2) Penyebaran kebohongan,
atau lahirnya hadis-hadis palsu. (3) Periwayatan maknawi, sebab secara
keseluruhan redaksi matan hadis ada yang lupa, maka hanya mengandalkan
maksud dari hadis dengan dibuat redaksinya sendiri.(4) Akibat berikutnya adalah
munculnya perbedaan diantara sesama muslim dalam mengamalkan sunnah yang
berbeda-beda. (5) Meluasnya pengunaan rayu, karena tidak menemukan hadis.14
Adapun yang mendorong untuk ditulis sunnah-sunnah Nabi, antara lain
Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi berdiri dan berpidato pada saat
penaklukkan Mekkah. Abu Syah meminta Nabi untuk menuliskan khutbahnya.
Beliau kemudian memerintahkan khutbahnya ditulis untuk Abu Syah. Dalam
beberapa kitab hadis dijelaskan bahwa Abu Hurairah berkata: tak seorangpun
lebih mengetahui daripada aku tentang hadis Nabi kecuali Abdullah ibn Amr,
sebab ia menulis dengan tangannya dan menghafalkannya, sedangkan aku hanya
menghafal dan tidak menulis hadis itu. Abdullah ibn Amr telah memperoleh
restu Nabi untuk menuliskan berbagai hadis dan Nabi sudah memberi jaminan
restu kepadanya.15
1211. Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-Ilm, Damaskus, 1949, hlm. 103
1312 Ibid., hlm. 57
1413. Rasul Jafarian, Tadwin al-HadisStudi Historis Tentang Pengumpulan dan Penulisan
Hadis (Bagian III), dalam Jurnal Studi-Studi Islam Al-Hikmah, No. 3 Dzulhijjah 1411-Rabiul
Awwal 1412, Bandung: Yayasan Muthahhari, 1991, hlm. 25-33.
1514. Rasul Jafarian, Tadwin al-HadisStudi Historis Tentang Pengumpulan dan Penulisan
Hadis (Bagian II) , dalam Jurnal Studi-Studi Islam Al-Hikmah, No. 2 Dzulhijjah 1410-Rabiul
Awwal 1411, Bandung: Yayasan Muthahhari, 1990, hlm.32.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Hal ini sesungguhnya telah membuktikan menulis apa yang diucapkan,


dilakukan, didiamkan, dicita-citakan Nabi tidaklah dilarang, justru Nabi sendiri
yang telah mengizinkan untuk ditulis. Penulisan hadis merupakan keharusan
sejarah yang tidak dapat dielakkan, karena nilai kemaslahatan bagi kelangsungan
ajaran dan bagi umat Islam sangatlah besar. Lebih-lebih telah disepakati bahwa
hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Alangkah naifnya kalau
sebagai sumber ajaran hanya ada dalam otak pada penghafal hadis saja, sementara
orang awam tidak bisa mengetahui isi dari hadis atau sunnah Nabi.
B. Pembahasan
1. Kehati-hatian Para Sahabat dalam Meriwayatkan Suatu Hadist
Kecurigaan Aisyah terhadap hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, Abu
Bakar al-Shidiq yang mengecek khabar dari Mughirah kepada Mahmud bin
Musalamah, Umar bin Khathab yang meminta didatangkan saksi untuk
memperkuat khabar yang diterima, Ali bin Abi Thalib yang meminta sumpah
kepada sahabat yang membawa khabar kepadanya, merupakan rangkaian
peristiwa yang menempatkan begitu pentingnya khabar yang berupa sunnah Nabi
itu dicek kebenarannya. Memang belum ada data sejarah yang dapat
dipertanggungjawaban bahwa pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan hadis.16
Pemalsuan hadis menurut ulama hadis pada umumnya mulai muncul dan
berkembang pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.17 Pemalsuan hadis mulai
zaman ini, menurut ulama hadis disebabkan adalah; (1) adanya pertentangan
politik, sehingga hadis itu dibuat untuk melegitimasi kepentingan politiknya
belaka. Kelompok Ali membuat hadis untuk mendukung Ali bin Abi Thalib yang
dipercaya sebagai pengganti sah setelah Muhammad SAW meninggal.18
1615.M.Syuhudi Ismail,Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 9295

1716 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-HadisUlumuhu wa Musthalahuhu, Bairut: Dar alFikr, 1989, hlm 415-416.
1817. Contoh hadis palsu yang dibuat oleh kelompok Ali bin Abi Thalib, yang artinya:Barang
siapa ingin melihat ilmu Nabi Adam, ketakwaan Nabi Nuh,ketabahan Nabi Ibrahim, keperkasaan
Nabi Musa dan Ibadah Nabi Isa, maka lihatlah Sayyidina Ali. Mencintai Ali adalah sebuah
kebaikan yang tidak akan ternoda oleh keburukan. Membencinya adalah keburukan yang tidak
dapat ditebus oleh kebaikan. Hai Ali, sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu,
kedua orang tuamu, keluargamu, kelompokmu, dan orang-orang yang mencintaimu. Lihat Muh.
Zuhri, op.cit., hlm. 67-68.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Muawiyah sebagai lawan politik tidaklah tinggal diam, ia juga membuat hadis
politik.19 (2) Perbedaan madzhab, pertentangan dalam madzhab kalam misalnya,
memunculkan hadis palsu yang membenci faham Qadariyah, dengan hadis yang
cukup terkenal, yakni:

(Paham Qadariyah adalah kaum Majusi bagi ummat ini)
Sebab berikutnya (3) adalah cinta kebaikan serta bodoh agama,
maksudnya bahwa ada ulama yang membolehkan merekaya hadis unyuk
menganjurkan orang mengamalkan keutamaan dalam ibadah, dan melarang
maksiat.20 Curiga terhadap kebenaran suatu hadis itu dalam rangka menjaga
kemurnian sunnah, maka perlu ada penelitian terhadap hadis baik dari segi matan
(naqd al-matan) maupun dari segi sanad (naqd al-sanad). Tujuan utama
penelitian hadis adalah untuk mengetahui kualitas hadis. Karenanya hadis yang
tidak memenuhi syarat (lemah) tidak dapat dipakai hujjah. Adapun hadis yang
diteliti kualitasnya adalah hadis Ahad,21 sedangkan hadis mutawattir,22 ulama
menganggap tidak perlu diteliti karena jelas bersandarkan kepada Nabi. Peristiwa
Aisyah yang mencuirgai hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang mayat
yang ditangisi oleh keluarganya akan disiksa, adalah embrio lahirnya kritik
matan.23 Artinya suatu matan hadis itu perlu diteliti (dikoreksi) apakah sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Nabi SAW atau tidak?.

1918. Contoh hadis palsu yang dibuat oleh kelompok Muawiyah, yang artinya: Di surga tiada
pohon kecuali daunnya tertulis, la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, Abu Bakar al-Shidiq,
Umar al-Faruq, Usman zhun-Nurain. Di sini tidak menyebut Ali bin Abi Thalib. Orang-orang
terpercaya itu tiga. Saya (Nabi), Jibril dan Muawiyah. Hai Muawiyah, engkau di pihakku dan
aku di pihak kamu. Ibid., hlm. 70.
2019. Ibid., hlm. 72.
2120. Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau hadis yang tidak
terkumpul syarat-syarat mutawatir kepadanya. Lihat Mahmud Thahhan. Ulumul HadisStudi
Kompleksitas Hadis Nabi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, hlm. 32.
2221. Hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh bilangan rawi dalam tiap-tiap
tingkatan sanadnya, dimana secara akal mustahil mereka akan sepakat menyalahi hadis tersebut.
Ibid., hlm. 30.
2322. Ada beberapa kesulitan dalam melakukan kritik matan (naqd al-matan), yakni (1) kitabkitab yang membahas kritik matan dan metodenya sangat langka; (2) pembahasan matan pada
kitab-kitab tertentu termuat diberbagai kitab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara khusus;
(3) adanya kekhawatiran menyatakan sesuatu sebagai bukan hadis padahal hadis, dan sesuatu
sebagai hadis padahal bukan hadis. Shalahuddin bin Ahmad Adlabi, op.cit., hlm. 20-23.

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Apakah ucapan Nabi itu hanya diambil sebagian saja atau keseluruhan
sesuai dengan konteks sewaktu Nabi mengucapkan? Ini sangat perlu, agar maksud
yang sesungguhnya ucapan nabi itu tidak hilang. Suatu perkataan tidak bisa
dilepaskan dari konteksnya. Begitu juga pengecekan yang dilakukan oleh Abu
Bakar al-Shidiq tentang pernyataan al-Mughirah bahwa bagian warisan untuk
nenek adalah 1/6 bagian, perlu dicek matan hadis itu dengan matan hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat lain, dan ternyata sama, yakni nenek mendapat bagian
1/6.
Selain kritik matan, ada kritik sanad, yakni melakukan penelitian terhadap
orang yang meriwayatkan hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin
Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Umar memerlukan bukti otentik, apakah khabar
saksinya atau tidak, dan sejauh mana kualitas sanadnya. Bahkan Ali perlu
mengambil sumpah kepada orang yang membawa khabar dari Nabi. Dari sinilah
sesungguhnya kritik sanad itu berkembang. Dalam penelitian terhadap sanad,
pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para
periwayat yang terlibat dalam sanad, disamping metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing periwayat.24 Ketika Abu Musa diminta untuk
menghadirkan saksi, dan ternyata al-Asyari (bapaknya Abu Musa) yang datang,
Umar percaya, karena kapasitas al-Asyari tidak diragukan lagi. Maka sebelum
Umar menetapkan dan meyakinan kebenaran suatu hadis ia melakukan kritik
sanad terlebih dahulu.
Tidak ada diantara para sahabat Nabi yang mendustakan Nabi, karena
mereka adalah orang-orang yang menjamin atau melindungi Nabi baik secara
sendiri-sendiri maupun kolektif. Mereka adalah orang yang mendermakan harta
baik yang bernilai mahal maupun murah untuk berjuang menyebarkan agama,
menolong dakwah Nabi. Allah memilih mereka untuk mengemban amanah agama
dan menyampaikan pada orang sesudahnya. Sahabat itu adalah manusia biasa,
mereka memiliki kejernihan berpikir, dan hafalannya kuat, tetapi mereka tidak
lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, mungkin sebagian sahabat dicurigai dalam

2423. M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, op.cit., hlm. 30.


6

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

meriwayatkan hadis. Tetapi sahabat lainnya tidak tinggal diam ketika melihat
kesalahan, mereka saling mengoreksi.
Contoh, riwayat dari Ibnu Umar bahwa mayat akan disiksa karena
ditangisi oleh keluarganya. Aisyah menjelaskan bahwa hadis dari Ibnu Umar itu
dicurigai dalam periwayatannya. Sebab konteks secara utuh, bahwa ketika ada
tetangga seorang Yahudi yang mati, sedang keluarganya menangisi, maka Nabi
mengabarkan, sesungguhnya mayat itu akan disiksa karena keluarganya
menangisinya. Sikap para sahabat ketika mendengar dari salah seorang dari
mereka sebuah riwayat yang riwayat itu bertentangan dengan apa yang mereka
ketahui dari Rasulullah adalah; (1) mereka segera memberikan penjelasan tentang
adanya kecurigaan didalam periwayatan; (2) mereka menetapkan, dan ketetapan
ini menjadi tradisi bagi sahabat, khususnya hadis yang diriwayatkan oleh Khulafa
al- Rasyidin, karena mereka selalu melakukan penyelidikan dan penetapan hadis.
Sikap para sahabat yang mencurigai suatu riwayat, tidak dimaksudkan
untuk mengoreksi suatu matan, tetapi semata-mata untuk membetulkan dalam
periwayatan. Contoh; Abdurrahman bin Madjid menolak riwayat Sahl bin Abi
Khutsmah tentang hadis al-Qasamah al-Masyhuri. Sahl meriwayatkan tentang
cerita al-Anshari yang menemukan kaumnya terbunuh dalam perang Khaibar.
Nabi Muhammad SAW menyumpah dengan 50 kali sumpah terhadap seorang laklaki diantara mereka, laki-laki tersebut menolak. Bahwa betul-betul tidak
membunuhnya dan tidak mengetahui siapa yang membunuhnya, maka
Rasululullah membayar 100 unta.
Tradisi Khulafa al-Rasyidin dalam penetapan riwayat merupakan tradisi
yang baik dan terpuji, maka menjadi penting dan pokok, karena pada dasarnya
riwayat dari Rasulullah itu sangat penting dan tidak boleh diselewengkan.
Mentaati Rasulullah itu hukumnya wajib berdasarkan nash al-Quran al-Karim,
dan tidak semua orang memiliki kesempatan dapat mendengar dari Rasulullah
secara langsung. Oleh karena itu diperlukan perantara (penengah) dalam
periwayatan antara orang setelah sahabat dan Rasulullah SAW.
2. Kehati-hatian Abu Bakar Dalam Menjaga Hadist Nabi SAW

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Dan sungguh Nabi SAW telah mendorong untuk menyampaikan


sabdanya, contoh: Riwayat dari Abi Bakrah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir,
karena orang yang hadir itu lebih mengerti tentang sabdaku dari pada orang yang
tidak hadir. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi SAW setelah
memerintahkan :hafalkanlah sabdaku dan berilah khabar kepada orang yang
sesudah kamu. Dari Zaid bin Tsabit berkata: Rasulullah SAW bersabda:Allah
membaguskan seseorang yang mendengar sabdaku. Maka seseorang tadi
menyampaikan sabda Nabi tersebut. Banyak sekali orang yang mencoba
memahami walaupun kefakihannya tidak diragukan, dan banyak orang yang
faham menyampaikan kepada orang yang lebih faham darinya. Ibnu Abbas
berkata, bersabda Rasulullah SAW: kamu semua mendengar, dan ada orang yang
mendengar dari kamu sekalian, dan ada lagi orang yang mendengar dari apa kamu
sekalian dengar.
Apabila ukuran periwayatan itu berdasarkan keadilan (al-adalah) dan kedhabitan, maka seorang sahabat yang mulia lebih-lebih Khulafa al-Rasyidin akan
selalu menyelidiki kepada orang yang meriwayatkan dan apa yang diriwayatkan.
3. Kehati-hatian Umar Ibnu Khattab Dalam Menjaga Hadist Nabi SAW
Riwayat dari Ibnu Abi Dzuaib, ia berkata: ada seorang nenek datang
kepada Abu Bakar al-Shidiq menanyakan tentang bagian yang harus diterima dari
harta waris. Abu Bakar menjawab: tidak ada keterangan dalam al-Quran, dan saya
belum pernah mengetahui hal itu dalam sunnah Rasulullah, maka pulanglah
karena saya akan menanyakan hal itu kepada seseorang. Abu Bakar bertanya
kepada al-Mughirah bin Syubah, dan dijawab oleh al-Mughirah: saya pernah
datang kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah memberikan 1/6 bagian untuk
nenek. Abu Bakar bertanya kepada sahabat lain, yakni Muhammad bin
Musalamah al-Anshari, dijawab bahwa seperti jawaban Mughirah bin Syubah.
Kemudian Abu Bakar melaksanakan pembagian warisan untuk nenek tersebut.
Musawwir bin Nahramah berkata: Umar bin Khathab meminta petunjuk
kepada sahabat lain tentang aborsi. Berkata Mughirah bin Syubah: saya
8

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

menyaksikan Rasulullah SAW memutuskan tentang aborsi dengan denda


memerdekakan budak laki-laki atau perempuan. Lalu Umar berkata:
datangkanlah kepada saya orang yang menyaksikan bersamamu, maka orang yang
menyaksikan bersama Mughirah adalah Muhammad bin Musalamah..
Peristiwa lain, Abu Musa al-Asyari datang kepada Umar, dan meminta
izin tiga kali, tetapi Umar tidak memberikan izin, maka ia pulang. Umar bertanya
kepadanya: Apa yang menyebabkan kamu pulang?. Abu Musa berkata:
bersabda Rasulullah SAW: salah seorang dari kamu meminta izin tiga kali,
kemudian diberikan ijin, maka masuklah. Jika tidak diberi ijin, maka pulanglah.
Umar berkata: datangkanlah kepada saya satu bukti tentang hal ini. Abu Musa
pergi, dan kembali dengan membawa bapaknya sebagai saksi. Maka bapaknya
berkata: wahai Umar kamu jangan menyiksa atas sahabat Rasulullah. Umar
menjawab, saya tidak menyiksa sahabat Rasulullah SAW.
Dalam riwayat lain dijelaskan, Umar berkata kepada Abu Musa,
sesungguhnya saya ini tidak menuduhmu, karena hadis dari Rasulullah itu
penting. Begitu juga riwayat lainnya, Umar berkata kepada Abu Musa: saya
tidak menuduh kamu, karena saya khawatir manusia membuat kebohongan
tentang Rasulullah SAW. Umar menjelaskan bahwa ia tidak menuduh Abu
Musa al-Asyari, namun ia bermaksud menyampaikan kepada manusia bahwa
hadis dari Rasulullah SAW itu penting. Oleh karena itu ia takut kepada orang
yang menyampaikan hadis kepada manusia dengan tergesa-gesa, tanpa melalui
pengecekan, kemudian orang tersebut melakukan kebohongan, walaupun ia tidak
merasa kalau melakukan kebohongan.
4. Kehati-hatian Ali Ibnu Abu Tallib Dalam Menjaga Hadist Nabi SAW
Ali r.a. berkata:sesungguhnya saya seorang laki-laki, apabila saya
mendengar dari Rasulullah SAW tentang suatu hadis semoga Allah memberikan
manfaat kepada saya, agar hadis itu bermanfaat buat saya. Apabila seorang dari
sahabat Rasulullah SAW bercerita kepada saya, saya meminta sumpah kepadanya,
dan apabila mau bersumpah, maka saya mempercayainya.
Dari contoh-contoh di atas, kami berpendapat bahwa Abu Bakar r.a yang
menyatakan tidak ada bagian warisan untuk nenek dalam al-Quran dan al-

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Sunnah, lalu dia bertanya kepada seorang sahabat, maka ketika Mughirah bin
Syubah mengabarkannya bahwa Rasulullah memberikan 1/6 bagian harta waris.
Abu Bakar meminta pendapat sahabat lain yang menyaksikannya, lalu
Muhammad bin Musalamah al-Anshari mengaku bahwa dia menyaksikan,
barulah Abu Bakar menetapkan pembagian warisan untuk nenek 1/6 bagian.
Demikian juga pernyataan Mughirah kepada Umar bin Khathab tentang
aborsi. Aborsi yaitu menggugurkan janin yang ada di perutnya, dan sesungguhnya
Rasulullah SAW memutuskan orang yang menggugurkan janin didenda dengan
memerdekan budak laki-laki atau perempuan. Kemudian Umar meminta saksi,
Muhammad bin Musalamah sebagai saksinya. Dalam hadis tentang permintaan
ijin yang diriwayatkan Abu Musa al-Asyari kepada Umar bin Khathab, dan Umar
melaksanakan apa yang diputuskan Abu Musa dengan saksi Abi bin Kaab,
seperti hadis Abu Musa.
Adapun Ali bin Abi Thalib r.a yang meminta sumpah kepada orang yang
menyampaikan hadis dari Rasulullah SAW, apabila ia mau disumpah, maka ia
akan membenarkannya. Sumpah terhadap hadis itu sulit, ia membutuhkan seluruh
kemauan, kejernihan berpikir, maka sumpah itu dapat dijadikan alasan untuk
menetapkan apa yang diriwayatkannya.
Sahabat menerima berita atau hadis yang diriwayatkan oleh satu orang
rawi. Umar menerima khabar dari Amr bin Hazam tentang diyat jari itu sama, dan
khabar dari Dhohak bin Sofyan tentang pembagian harta warisan dari diyat
suaminya, khabar dari Abdurrahman bin Auf tentang wabah penyakit, khabar
pengambilan jizyah (pajak) dari Majusi tentang orang yang ragu dalam shalatnya.
Sesungguhnya ia membuang keraguan dan meneruskan apa yang telah
diyakininya. Khabar dari Saad bin Abi Waqash tentang membasuh dua sepatu,
dan penerimaan Utsman atas khabar Fariah binti Sanan, saudara perempuan Abi
Said, tentang menegakkan kepercayaan dari kematian di dalam rumahnya,
menghadiahkan kepadanya hasil buruan kepada keluarganya, padahal ia dalam
keadaan ihram. Keluarga itu memakannya, dan memberitahukan hal itu kepada
Ali, maka Ali melarangnya. Ali menerima khabar dari Abu Bakar tentang hadis
shalat taubah tanpa Ali meminta sumpah kepadanya.

10

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Sebagian sahabat meriwayatkan hadis itu tanpa memberikan penjelasan


dari siapa ia mendengar hadis Rasulullah tersebut, padahal ia mendengar dari
Fulan, karena berdasarkan kebiasaan pada waktu itu para sahabat mempunyai
keagamaan dan ketakwaan yang tinggi, disebabkan kekentalan persahabatan
mereka. Dalam hal ini Imam Ibnu al-Jauzi menetapkan persahabatan generasi
pertama itu jernih atau suci, maka sebagai sahabat mendengar dari sebagian yang
lain, dan sebagian sahabat itu berkata: Rasulullah SAW bersabda: tanpa
menyebut orang yang meriwayatkan kepadanya, karena ia tidak ragu tentang
kebenaran orang yang meriwayatkan. Hal ini bisa dibuktikan dengan riwayat
dari Abi Hurairah dari Ibu Abbas tentang cerita ayat:
( 214: )
Kisah ini terjadi di Mekah pada permulaan Islam, padahal Abu Hurairah
belum masuk Islam, sedangkan Ibnu Abbas masih kecil. Demikian juga riwayat
Ibnu Umar tentang berhentinya Rasulullah SAW pada sumur Badar, Ibnu Umar
tidak datang. Al-Musawwir bin Nahramah dan Marwan bin al-Hakim
meriwayatkan cerita perjanjian Hudaibiyah, padahal umur keduanya belum
dewasa (masih kecil), karena keduanya setelah hijrah umurnya baru 2 tahun. Anas
bin Malik meriwayatkan hadis tentang mencium bulan, al-Barra bin Azib
berkata: tidak seluruh hadis yang kami ceritakan kepada kamu itu kami dengar
dari Raulullah SAW. Tetapi sahabat-sahabat kami yang menceritakan, kemudian
kebiasaan-kebiasaan itu masih menyebar sampai muncul kecurigaan atau tuduhan,
kemudian dibutuhkan bukti yang adil. Berdasarkan hal ini kami menemui banyak
riwayat dari Thabiin yang langsung berkata

, tanpa menyebut sahabat yang meriwayatkan hadis kepadanya. Para


muhaditsun menyebut peristiwa tersebut dengan sebutan mursal. Ada perbedaan
dikalangan mereka tentang diterima atau ditolaknya sanad mursal, jika telah
diperiksa (diteliti) kemursalan Thabiin dan keadaan yang sesungguhnya seperti
riwayat Said bin Musayyad al-Mursala, maka Imam Syafii menganggap hadis itu
shahih.
Tersebarnya hadis mursal kebanyakan dikalangan Thabiin mewujudkan
bahwa, khabar wahid diterima dikalangan muhadditsun. Sebelum terjadinya
11

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

fitnah kubra, muhadditsun tidak menemui kesulitan mengenal sahabat yang


meriwayatkan dari sahabat yang lain, tetapi setelah terjadinya fitnah kubra mereka
membuat kelompok-kelompok, sehingga mereka saling tidak mengenal. Oleh
karena itu memerlukan penjelasan tentang nama rawi yang meriwayatkan hadis.
Bersamaan dengan itu banyak dikalangan mereka yang lupa nama perawinya,
maka dibutuhkan penjelasan yang proporsional (adil) untuk mengungkap para
perawi.
Ada pertentangan antara penetapan dari satu segi, dan menerima khabar
wahid pada segi yang lain, maka penetapan itu diperlukan untuk mengajar
manusia tentang sunnah/hadis ini, atau menghindari manusia membuat
kebohongan tentang hadis Nabi SAW, atau apabila terjadi keraguan di hati tentang
sebuah riwayat, maka khabar wahid yang tsiqah dapat diterima. Hadis mursal
adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW oleh tabiin tanpa menyebutkan
nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, padahal tabiin itu tidak pernah
bertemu dengan Nabi.25 Contohnya, Imam Muslim dalam kitab shahihnya bab alBuyu, menjelaskan: telah bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi, telah
bercerita kepada kami al-Laits dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Saib bin
Musyayab, sesungguhnya Rasulullah SAW jual beli secara menimbun. Said bin
al-Musyayyab adalah tabiin besar, meriwayatkan hadis ini dari Nabi SAW
dengan tanpa menyebutkan perantara (penengah) antara dia dan Nabi SAW, maka
hadis ini telah gugur sanadnya.26
Dikalangan ulama ada perbedaan tentang keberadaan hadis mursal, apakah
dapat dijadikan hujjah atau tidak?. Paling tidak ditemukan tiga pendapat, yakni:
(1) hadis mursal dapat dijadikan hujjah secara mutlak, didukung oleh Abu
Hanifah dan Imam Malik; (2) hadis mursal tidak dapat dijadikan hujjah sama
sekali, didukung oleh Imam Muslim; dan (3) hadis mursal dapat dijadikan hujjah
kalau didukung oleh hadis yang lain.27
C. KESIMPULAN
2524. Muh.Zuhri, op.cit., hlm. 95
2625. Mahmud Thahhan, op.cit., hlm. 79.
2726. Muh. Zuhri, loc.cit.

12

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Dari uraian atau penjelasan dan analisis tersebut dapat diambil beberapa
kesimpulan, antara lain adalah sebagai berikut:
1.

Sunnah atau hadis itu sangat penting dalam menata kehidupan umat
manusia, maka harus selektif dalam menerima hadis. Nilai urgenitas
sunnah itu telah dibakukan Allah melalui firman-firmannya dalam alQuran.

2.

Kehati-hatian dalam menerima suatu hadist itu sangat perlu, agar sunnah
itu betul-betul dijamin berasal dari Nabi SAW. Baik mencurigai keutuhan
redaksi hadis maupun orang yang meriwayatkan. Peristiwa Aisyah, Abu
Bakar, Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib adalah gambaran yang
cukup jelas akan kecurigaan mereka terhadap matan maupun sanad hadis.

3.

Para tabiin sering meriwayatkan hadis tanpa menyebutkan sahabat yang


membawa hadis, langsung mereka berkata qala Rasulullah. Inilah yang
disebut hadis mursal. Keberadaan hadis ini diperselisihkan dikalangan
ulama, boleh tidaknya dipakai untuk hujjah dalam melaksanakan ajaran
agama. Ada tiga pendapat, yakni membolehkan secara mutlak, tidak
membolehkan, dan membolehkan dengan syarat diperkuat oleh hadis lain.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahnya. 1985. Jakarta: Departemen Agama RI.


Abu Umar Yusuf Ibn Abdil Barr. [t.th]. Jami Bayan al-Ilm wa Fadlih.
Bairut: Dar al-Fikr.
Ajjaj al-Khatib. 1989. Ushul al-HadisUlumuhu wa Musthalahuhu. Bairut;
Dar al-Fikr.
Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, No. 2 Dzulhijjah 1410 H Rabiul
Awwal 1411 M. 1990. Bandung: Yayasan Muthahhari.
Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, No. 3 Dzulhijjah 1411 H Rabiul
Awwal 1412 M. 1991. Bandung: Yayasan Muthahhari.
Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi. 1992. Atlas Budaya Islam.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasan dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Malaysia.

13

Jurnal al-Irfani, VOL. 1, NO. 1, Januari-Juni 2011

Muh. Zuhri.1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta:


Tiara Wacana.
M.Syuhud Ismail. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan
Bintang.
---------------------. 1988. Kaedah Kesahihah Sanad Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang.
M.Quraish Shihab. 1992. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.
Mahmud

Thahhan.1997.

Ulumul

Hadis

Studi

Kompleksitas

Hadis

Nabi.Yogyakarta: Titian Ilahi Press


Mahmud Abu Rayyah. [t.th]. Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah au
Difa an al-Hadis. Mesir: Matbaah al-Marifah.
Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi. 1978. Al-Mujam al-Mufahras li al-Fadz alQuran al-Karim. Bairut: Dar al-Fikr.

14

Anda mungkin juga menyukai