Anda di halaman 1dari 20

KONSTRUK ASPEK FEMINITAS

DALAM SPIRIT HERMENEUTIKA TEOLOGI SUFISTIK


Oleh. Mustofa*
Abstrak
Tuduhan miring bahwa paham teologi sufistik tidak berpihak pada
kaum perempuan, sangat penting diluruskan. Agama Islam, pada
dasarnya, sangat menghormati kehormatan kaum perempuan.
Bahkan jika dipahami ulang, ekspresi tajalli-Nya Allah sangat
cenderung bersifat feminim ketimbang maskulin sebagaimana
banyak diurai dalam Firman-Nya. Ekpresi feminisme Tuhan, dapat
dibaca, misalnya, dalam sifat-Nya yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Dengan
demikian, karakter spirit teologi sufistik sangatlah dekat dengan
unsur feminitas. Karena itu, menurut penulis, dalam dunia
spiritualitas, perempuan berpeluang lebih besar dalam mencapai
tahapan tertinggi pada puncak asketis dan ketenangan batin. Hal itu
karena jiwa, pada dasarnya, bersumber dari unsur feminitas
ketuhanan yang abadi.
Kata Kunci: Aspek Feminitas, Sifat Ketuhanan & Teologi Sufistik.
I. Pendahuluan
Pernyataan negatif, bahwa agama menghalangi gerak kaum perempuan,
bisa terjadi terutama disebabkan masih kuatnya adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai
sosial budaya yang bersifat patriarkhis.1 Budaya patriarki adalah sistem tata nilai
dan cara pandang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada
kedudukan dan peran yang berbeda. Itulah mengapa, ajakan untuk memahami
relasi gender, pada dasarnya bukanlah satu refleksi dari gugatan, apalagi
pemberontakan kaum perempuan terhadap laki-laki.
1*Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir & Hadis, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, E-mail: kangmus@yahoo.com.
Adat, tradisi dan budaya patriakhi adalah, sebuah sistem budaya yang lebih memihak kaum lakilaki dan biasanya hal itu dikonstruk dengan laki-laki sebagai kepala keluarga, suku atau
masyarakat. Atau dengan kata lain, ia merupakan sistem tata nilai dan cara pandang hidup yang
menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda. Peter
Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 1997),
1366. Lihat juga, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam (Bandung: Mizan, 2002), 15-20.

Karena itu, tuduhan miring bahwa paham sufistik tidak berpihak pada
kaum perempuan sangat penting untuk diluruskan. Islam, pada dasarnya, sangat
menghormati kemartabatan serta kehormatan kaum perempuan.2 Segala bentuk
pencitraan dan perlakuan negatif terhadap kaum perempuan pasti merupakan
penyimpangan dari pesan dasar Islam, termasuk penafsiran yang menyatakan
bahwa Hawa dicipta dari tulang rusuk Adam.3
Islam justru menawarkan prinsip-prinsip ajaran dasar yang sangat
potensial untuk meningkatkan kualitas keadilan dan kesetaraan gender.4 Keadilan
dan kesetaraan di depan Allah merupakan ajaran dasar Islam dan menjadi
dambaan setiap orang. Apalagi dewasa ini, banyak yang tidak mengira bahwa
ajaran ketuhanan yang diimplementasikan ke arah ritual tarekat teologi sufistik,
2 Hal ini tercermin pada sejarah Islam awal, atau hal ini bisa dibaca di beberapa buku sejarah
Islam. Itu semua tercermin dalam firman Allah Swt pada QS. Az-Zumar, (39):6, QS, An-Nisa',
(4):1; Al-Araf, (7):189; Maryam, (19):19-22.
3Penafsiran yang seperti ini, pada gilirannya, akan memperkuat pemikiran tentang perempuan
sebagai mahluk kedua (the second sex). Penafsiran tersebut berasal dari surat an-Nisa' ayat 1 yang
dipahami bahwa nafs adalah Adam dan zaujaha adalah Hawa, sehingga muncul pandangan bahwa
perempuan merupakan bagian dari laki- laki. Lihat, Mufidah, Paradigma Gender (Malang:
Bayumedia, 2004), 29. Berbeda dengan Riffat, ia mempelajari bahwa konsep penciptaan Hawa
dari tulang rusuk Adam berasal dari Injil tepatnya Genesis 1: 26-27; Genesis 2:7, 18-24 dan 5: 1-2.
Tradisi Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang kata Riffat penuh kontroversial. Jadi menurut
Riffat, Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama substansinya, sama pula caranya.
Dengan beberapa variasinya, pendapat Riffat ini sepertinya searah dengan Amina Wadud Muhsin.
Meskipun yang terakhir ini tidak begitu gamblang menolak pemikiran klasik, Amina tidak
menekankan kepada penciptaan Hawa. Baginya yang terpenting adalah bahwa Hawa adalah
pasangan (zauj) dari Adam. Pasangan, kata Amina, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi
dari realitas Tunggal, dengan sejumlah perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua
bagian yang selaras ini pas, cocok, dan saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan.
Amina Wadud, "Qur'an and Woman" dalam Liberal Islam, Charles Kurzman (ed.) (New York:
Oxford University, 1998), 120-128. Riffat Hassan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in
Islamic Tradition (The Commite on South Asian Womens Bulletin, Vol. 4), 10-16.
4 Salah satu wacana teologis-filosofis di dalam ajaran Islam adalah, persamaan antara manusia
tanpa bias gender atau membedakan jenis kelamin, antara bangsa, suku atau etnis maupun
keturunan. Di dalam pandangan normatif-tekstual, Islam seperti yang disitir al-Qurn, tinggi
rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan
ketakwaannya kepada Allah Swt. Selanjutnya Allah memberikan penghargaan yang sama dan
setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua
amal yang dikerjakannya. Baca, QS, An-Nisa', (4):1; QS, Maryam, (19):19-22, Al-Araf, (7):189;
Az-Zumar, (39): 6.

pada dasarnya menyimpan rahasia besar atas kedalaman sifat kelembutan kaum
perempuan (feminitas) dengan karakter Tuhan yang Maha Kasih.
Pasalnya, ritual penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, diakui
telah mencerminkan sifat-sifat feminim. Misalkan sifat halus, sabar, menyayangi,
mengampuni, dan memaafkan, dipastikan akan kita bawa, akan kita ingat, kita
haturkan kepada Tuhan saat di mana kita berdo'a. Jika demikian halnya, karakter
feminitas yang dimiliki oleh kaum perempuan, ternyata menjadi karakter mayor
yang ada pada sifat-sifat ketuhanan sebagai sang Pencipta.5
Tentunya, fenomena yang demikian, menjadi sesuatu yang menarik untuk
dikaji ulang terkait dengan banyaknya kaum laki-laki yang jarang memikirkan
sifat kefeminisan (baca; kehalusan) yang dimiliki kaum perempuan. Bahkan
sebaliknya, dengan sifat kefeminisan tersebut, malah membuat kaum perempuan
sering ditindas, dimarginalkan, dianggap lemah tidak kuat, tidak pantas untuk
hidup, atau dengan bahasa lainnya sering diremehkan kaum laki-laki. Karena
itulah, tulisan ini hadir di depan pembaca untuk mengungkap aspek feminitas
dalam teologi sufistik.6

5Penting disadari, bahwa dalam al-Qur'an, Tuhan disimbolkan menjadi dua; Ismul Jalal (namanama keagungan Tuhan) dan Ismul Jamal (nama-nama keindahan Tuhan). Yang pertama
menampakkan dengan cirri-ciri maskulinisasi Tuhan; al-Qahhar (pemaksa), al-Qadir (yang
berkuasa) dan lain-lain. Sementara nama-nama yang indah itu, seperti; al-ghaffar (pengampun),
ar-rahim (pengasih), as-shobur (sabar), al-latif (halus), dan lain-lain yang itu semua bisa dilihat
didaftar asmaul husna. Akan tetapi, yang perlu dingat bahwa nama-nama Tuhan yang lembut itu,
di mana ke-feminim-an sangat terasa sekali, jauh lebih banyak ketimbang nama-nama yang tidak
mencerminkan ke-feminim-an. Baca, AsmaulHusna.
6 Maksud dari Teologi Sufistik adalah, sebuah pemahaman tentang ketuhanan yang diekspresikan
lewat ritual-ritual ajaran tasawuf. Ekspresi-ekspresi ini, menuntut pemahaman dan kejelian dalam
membaca, mengerti, dan merasakan atas sifat-sifat tauhidillah yang tercermin dalam ayat-ayat
kauniyah dan non-kauniyah, yang dari kesemuanya bisa terlihat di alam mikro dan makro kosmos.
Tentu dalam hal ini, dibutuhkan penafsiran (hermeneutika) yang tepat, agar karakter ketuhanan
bisa terbaca jelas.

II. Tasawuf, Feminitas & Tuhan


Tasawuf (mistik, sufi atau olah spiritual) berperan besar dalam
menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya, meski
sering menimbulkan kontroversi,7 pada kenyataannya menunjukkan bahwa ia
memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan
problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak
dinamikanya. Karena itu, tentu saja sufisme atau faham tasawuf dalam sejarah
perkembangannya di Indonesia memiliki arti sangat penting.8
"Islam pertama" yang diperkenalkan di Jawa, sebagaimana terdata, adalah
Islam dalam corak sufi.9 Islam dalam corak yang demikian itu terkesan "dilihat"
paling mampu memikat lapisan masyarakat bawah, menengah dan bahkan
bangsawan. Masyarakat terkesan lebih merespon paham sufi yang mayoritasnya
mengedepankan pemahaman hati, perasaan, dan kehalusan pemahaman serta
karakter (baca: moral). Indonesia dalam hal ini, tentunya, diakui telah menjadi
salah satu Negara yang menyaksikan bahkan merasakan pentingnya moralitas
sebagai bagian dari paham sufistik ketuhanan.10
7Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), 170-176.
8Ibid., Bandingkan dengan, Alwi Shihab, Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya
Hingga Kini di Indonesia (Mizan: Bandung, 2001), 27-39.
9 Para ahli memberikan indikasi, bahwa Islam yang tersebar untuk pertama kalinya di Indonesia,
adalah bercorak sufistik. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh A.H. Johns, ahli filologi Australi,
bahwa agama ini menyebar berkat usaha para penyiar ajaran tasawuf yang telah menjadi anggota
suatu ordo tarekat tertentu, yang mayoritas dari mereka berasal dari Baghdad setelah kota itu
diserang oleh tentara Mongol pada tahun 1258. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN.
Balai Pustaka, 1984), 53. Bandingkan dengan, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang
Islam,160.
10Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam, Lihat juga, Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), 42-49. Baca, Hawash Abdullah,
Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara (Surabaya: Al-Ikhlash, 1980), 4756. Bandingkan dengan, Hamka, Tasawuf: Perkembangan & Pemurniannya (Jakarta: Yayasan
Nurul Islami, 1981), 38-39. Musthafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina
Ilmu, 1995), cet I, 43-49.

Kemudian, konsep hubungan antara sufi dengan Tuhannya, pada dasarnya


tidak memberikan ruang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.11 Kehidupan
spiritual tidak mempedulikan atau memberikan ruang batasan bagi laki-laki dan
perempuan. Gelar kesufian tentunya akan dapat dicapai dengan mengikuti jalur
Tuhan, untuk menyatu denganNya dan bagi mereka yang dapat mencapainya akan
mendapat derajat tinggi dalam kehidupan spiritualnya di dunia baik laki-laki
maupun perempuan.
Bahkan kedudukan kesufian atau tingginya kedudukan yang dapat diraih
oleh para sufi perempuan dibuktikan oleh adanya kenyataan, bahwa kaum sufi
ternyata memberikan kedudukan utama bagi kaum perempuan pada masa-masa
awal dan menjadikannya sebagai wakil yang representatif dari perkembangan
pertama sufisme dalam Islam.
Hal itu dapat ditunjukkan oleh adanya sederetan nama-nama kaum
perempuan sufi pada masa-masa awal seperti Aminah dan Fatimah. Ibunda dan
putri Rasulullah ini diakui sebagai perempuan sufi pada masa sebelum bangkitnya
sufisme dalam Islam.12 Demikian juga Ummu Haram, yang selalu disebut-sebut
oleh para penulis Arab awal, diakui sebagai perempuan sufi, yang meninggal
bersama suaminya pada saat ikut berperang bersama para Sahabat di masa
khalifah Utsman tahun 28 H sehingga disebut syahidah.13
11Hal itu karena ajaran tasawuf, pada dasarnya, juga bersumber dari memahami al-Qur'an yang
penuh akan ajaran keadilan, kesamaan, tasamuh, demokrasi dan kesetaraan. Salah sedikit saja
memahami al-Qur'an, tentunya memberikan efek yang jauh luar biasa bahayanya, apalagi dalam
wilayah keterekatan-kesufian yang di dalamnya penuh akan simbol-simbol suci.
12Annemarie Schiemel, Mistik Islam, terj. Sapardi Djoko Darmono (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1975), 25-39. Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa Tarikhihi (Kairo: al-Qahirah, 1969), 2637. Lihat juga, A.J. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics of Islam, terj. Bambang Herawan,
Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985), 39-48.
13 Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj. Jamilah Baraja (Surabaya;
Risalah Gusti, 1997), 160-168.

Ajaran tasawuf, pada dasarnya, memberikan ruang gerak yang lebih luas
kepada wanita untuk berkiprah dalam kehidupan agama dan kemasyarakatan.
Pada masa Dinasti Mamluk di Mesir, ada Khanqah (semacam pesantren) yang
dipimpin oleh seorang syaikhah (wanita syaikh) yang memimpin jemaah dalam
ritual keagamaan dan shalat. Bahkan, tarekat Bektasyi di Turki pada masa
Kerajaan Usmani memberikan keleluasaan bagi wanita untuk ikut serta dalam
kegaitan-kegiatan dan pertemuan bersama.14 Mereka sepenuhnya diakui dan
sejajar dengan laki-laki.
Karena itu, dalam Islam, banyak ditemukan nama-nama perempuan sufi.
Mereka bisa ditemukan di seluruh dunia Islam meskipun hanya sedikit di antara
mereka yang dicantumkan dalam catatan-catatan resmi. Kalau Fatima Mernissi
menunjukkan banyaknya "ratu Islam yang terlupakan", dalam tasawuf pun banyak
"wanita sufi yang terlupakan" atau sengaja dilupakan oleh sejarah akibat
dominannya peran laki-laki dengan sistem patriakhalnya.
Namun, sejarah tidak dapat dikelabui. Ia akan berbicara bahwa di sebuah
Negara tertentu, Anatolia misalkan- banyak ditemukan makam kecil tempat
dikuburkannya para wanita yang tercatat dalam sejarah "gadis-gadis sederhana
dan perawan-perawan muslim" yang namanya sering mengilhami cerita-cerita
romantis dan memilukan.
Di Iran dan Afrika Utara, juga kaya makam perempuan sufi. Tetapi, daerah
yang paling kaya makam perempuan sufi, diakui terletak di India Islam (Dinasti

14 Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa Tarikhihi (Kairo: al-Qahirah, 1969), 43-47.
Muhammad Jalal Syaraf, Al-Tashawwuf al-Islami wa Madarisuhu (Iskandariyah: Dar al-Matbu'at
al-Jamiyah, 1974), 23-27.

Mughal).15 Jihanara, putri tertua Syah Jihan (yang memerintah Mughal 1628-1658
M) dan saudaranya yang kurang beruntung, Dara Shikoh, masuk tarekat Qadiriyah
dan mendapat pujian tinggi dari sang pemuka, Mullah Syah. Tulisan-tulisan
mengenai perempuan sufi, tentu saja membuktikan bahwa ia mendalami masalahmasalah mistik.16 Bibi Khatun (wafat 1639 M), pembimbing mistik Jihanara dan
Dara Shikoh adalah salah seorang sufi wanita terkemuka dalam tarekat Qadiriyah.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa dalam upaya merasakan
kehadiran Tuhan, feminim atau maskulin tidaklah menjadi kendala yang berarti.
Bahkan sifat kefeminiman yang dimiliki kaum perempuan, bisa "bersanding"
dengan dzat pemberi sifat itu. Meskipun demikian, manusia baik pria maupun
perempuan, sebagaimana dasar ajaran al-Qur'an mengatakan, memiliki peluang
yang sama dalam kesempatan memperoleh -misalkan- maqamat (jenjang menuju
tingkatan yang lebih tinggi bagi seorang sufi) dan ahwal (pencapaian yang
diperoleh sufi tanpa jenjang maqamat) sebagai titian menuju sufi sejati.
Selanjutnya, dalam diskursus tasawuf, ternyata gagasan tentang tubuh
manusia menjadi amat menarik. Ini karena peran spritual terbesar dari tubuh
manusia dan hubungannya dengan fakta bahwa manusia merupakan wujud
teomorfik17 yang memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, sangat bisa

15 Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami, 49-52.


16 A.J. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics, 56. Lihat, Javad Nurbakhsh, Sufi Women
(London: Yale University Press, 1983), 35-38.
17 Manusia, merupakan sebuah entitas theomorfik, diciptakan, dalam bentuk seluruh nama-nama
Tuhan, namun dia memiliki kecenderungan ke arah kebenaran dan ketersesatan dalamkaitan
dengan penerapan sifat-sifat Tuhan. Manakala manusia dilimpahi dengan kasih Tuhan dan
dipenuhi dengan cahaya-Nya, maka sifat-sifat keagungan akan mengejawantah di dalam dirinya
sebagaimana adanya.

diapresiasi. Karena baik laki-laki maupun perempuan adalah manusia, mereka


menyimbolkan kebenaran yang sama tentang Tuhan.18
Akan tetapi, karena ada polarisasi bentuk manusia menjadi laki-laki dan
perempuan, mereka pasti menyimbolkan efek ketuhanan yang berbeda. Kenyataan
gramatikal menunjukkan bahwa kata Arab untuk esensi Ilahi (zat) adalah feminim.
Laki-laki (maskulin), di pihak lain dikatakan menyimbolkan Tuhan sebagai Rabb
dan Khaliq.
Berdasarkan itulah, unsur feminism, pada dasarnya juga melekat pada
sifat ke-Tuhan-an.19 Menurut Ibnu 'Arabi, kegiatan kreatif Tuhan terungkap paling
jelas pada perempuan dan bahkan boleh dikatakan bahwa sebenarnya "perempuan
tidak diciptakan oleh Sang Pencipta". Artinya, melihat Tuhan dalam diri seorang
perempuan, berarti sama saja melihat-Nya dalam diri-Nya sendiri.20
Pendapat bahwa perempuan dikaruniai kelembutan, kasih sayang,
sehingga ia bisa mengurus anak dengan kesabaran lebih dari pada laki-laki,
sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Penyiksaan terhadap anak juga bisa dilakukan
secara bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan.
18 Ketika kesetaraan antara Tuhan dengan makhluk "ternyatakan", muncullah cahaya yang
berbeda. Dalam kaitan dengan "kesetaraan" yang diterapkan pada-Nya, Tuhan dipandang immanen
dan dekat. Dia menyatakan diri melalui luthf, kasih, ampunan, berkah dan kepemurahan. Karena
Dia memiliki sifat-sifat tersebut, eksistensi setiap makhluk menjadi pusat perhatian-Nya, tak
terkecuali mahluk yang berstatus perempuan.
19 Dari sudut pandang manusia, terdapat sebuah perbedaan nyata antara sifat kasih dan sifat
murka. Akan tetapi jika ditinjau dari pandangan ke-Tuhan-an, murka beasal dari dan senantiasa
kembali pada kasih. Jelasnya, kasih melekat pada hakikat Wujud itu sendiri, sehingga ia meliputi
"segala sesuatu", sebagaimana hal itu dijelaskan oleh al-Qur'an, QS. (7):156, (40):7.
20 Ketika berbicara tentang Esensi, Ibnu al 'Arabi menyatakan, bahwa Tuhan tidak dapat
disetarakan dengan sesuatu apapun. Dalam hal ini hanya sedikit yang dapat kita katakana tentang
Tuhan, kecuali untuk menegasikan sifat-sifat dari segala ciptaan sesuatu yang berasal dari-Nya.
Namun, Esensi adalah Tuhan sebagai Dia dalam Dirinya sendiri, dan Tuhan mewujud dia dalam
DiriNya sendiri sebelum Dia menyatakan Diri kepada yangselain Dirinya Sendiri. William C.
Chittick, Tuhan Sejati dan tuhan-tuhan Palsu, trj. A. Nidzam dkk. (Yogyakarta: Qalam, 2001),
176-214.

Para feminis psikoanalis percaya bahwa kelembutan dan kasih sayang,


telah dimiliki baik perempuan maupun laki- laki sejak dalam kandungan. Pada
perempuan, kemampuan tersebut lebih terasah karena sejak kecil mereka
dibiasakan untuk berpartisipasi pada hal-hal tersebut oleh lingkungannya,
sementara anak laki-laki pada usia yang sama sedang asyik bermain bola. Jadi,
laki-laki tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga bukan karena tidak bisa,
melainkan karena tidak mau.
Jika dikontekskan pada dunia spiritual dan kesetaraan jender,
persoalannya bukanlah bagaimana perempuan dapat mengungguli kaum pria atau
sebaliknya, melainkan bagaimana sebuah kualitas spiritual yang berada di wilayah
spiritual, dapat diperoleh baik pada laki-laki maupun perempuan. Seorang Rabiah
dengan konsep cintanya,21 misalkan, sangat sarat dengan kualitas feminim,
sehingga ia dikatakan bersifat feminim. Namun, seorang Rumi,22 sufi laki-laki,
yang juga menggunakan kata-kata cinta untuk mendekatiNya, dapat pula disebut
feminim.
Demikian halnya dengan sebutan "perempuan" dan "laki-laki", menurut
Schimmel23 tidak menunjuk pada sesuatu yang bersifat fisis-biologis, melainkan
menunjuk pada kualitas non-fisis yang dalam hal ini adalah kualitas spiritual.
Beberapa ungkapan sufi, di bawah ini, akan memperkuat pernyataan Schimmel
dalam rangka menunjukkan pentingnya kualitas.
Mislkan ungkapan penyair filosof Ismailiyah, Nashir Khusrau,
mengatakan bahwa Nabi adalah laki-laki sejati, sementara yang lainnya adalah
21AJ. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics, Op. Cit.,
22 Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa, Op. Cit.,
23 Annemarie Schiemel, Mistik Islam, Op. Cit.,

10

"perempuan". Ada pula ungkapan Aththar yang mengatakan bahwa laki-laki yang
tidak sarat dengan derita cintaNya adalah seorang "perempuan". Begitu juga di
kalangan sufi, terdapat ungkapan masyhur "seorang perempuan yang berjalan di
jalan Tuhan bukan seorang perempuan, melainkan seorang "laki-laki"".
Karena luasnya wilayah dunia spiritual, maka tidak ada istilah "laki-laki"
atau "perempuan", kecuali sebutan "sang pencinta", "yang bertakwa", "yang
beriman", "yang merindukanNya" dan seterusnya. Tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan sepanjang menyangkut cinta kepadaNya.
Seorang sufi, Nizamuddin Auliya,24 misalkan, berkata: "Ketika seekor
singa liar meninggalkan hutan dan memasuki wilayah penduduk, tak seorang pun
bertanya, apakah ia jantan atau betina, (oleh karena itu) semua putra Adam baik
laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk bertakwa dan berbakti kepada
Tuhan". Di dalamnya tidak dibedakan, hanya karena unsur taqwalah yang natinya
bakal membedakannya.25
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa laki-laki atau perempuan
adalah "sebuah konsep" semata yang sangat sarat dengan berbagai bias, karena
produk dan bentukan tradisi duniawi. Sementara itu, untuk menjelajahi dunia
spiritual, konsep-konsep tersebut tidak diperlukan, karena setiap ukuran-ukuran
sangat berbeda dan bertolak belakang.
Siapa pun yang "menyapaNya" secara sempurna, tidak akan
mengidentifikasi siapa dirinya, sebab ia tidak lagi memiliki eksistensi individual.
Eksistensi individu telah hancur berkeping-keping, hingga yang tersisa adalah
24 Annemarie Schiemel, Mistik Islam,
25 Baca al-Qur'an, QS. Al-Hujurat (49):13

11

jiwa. Sebuah syair berbunyi: "Tuhan akan menahannya untuk tidak melihat
adanya perbedaan sedikit pun antara laki-laki dan perempuan".
Dalam Islam, termasuk di kajian teologi sufistik, dikenal bahkan
dipercayai bahwa Allah Maha indah, Maha dekat, Maha pengasih, Maha
penyayang, Maha kasih, Maha lembut dan Maha pengampun, Maha pemaaf,
Maha pemberi hidup, Maha pemberi kekayaan, dan Maha pemberi segalanya,
semuanya itu dikenal sebagai keindahan (Jamaliyah). Semuanya itu adalah namanama yang menekankan pada kepasrahan kepada kehendak yang diinginkan pada
pihak lain yang di dalamnya bersatu karakter feminitas.
Tentu saja dengan demikian, spiritualitas tidak mengenal jenis kelamin,
laki-laki atau perempuan. Menurut penulis, jenis atau status kelamin dalam dunia
spiritual adalah profan karena ia merupakan simbol duniawi. Dalam dunia
spiritual, tidak dikenal apa yang disebut sebagai eksistensi individu. Karena ia
bertentangan dengan sifat keabadian, sedangkan spiritualitas adalah dunia jiwa
abadi yang bersifat feminim.
Itulah mengapa, banyak kaum atau pemerhati teologi sufistik menyadari
dengan mengatakan bahwa keintiman spiritualitas dan feminitas pada akhirnya
sangat mampu melahirkan apa yang disebut sebagai sifat kenabian.26 Oleh karena
itu, perempuan mempunyai potensi besar untuk menduduki puncak profetik
dengan kesahajaan feminitasnya untuk mewujudkan perdamaian dunia dan
26 Misi kenabian adalah, misi kejuangan, misi pembebasan dan peneguhan kemanusiaan. Seorang
nabi selain cerdas dan terpercaya, ia juga memiliki komitmen dan keberpihakan yang jelas bagi
tegaknya humanitas. Menurut al-Farabi, sebagaimana dikutip Ibrahim Madkour, Nabi adalah
pribadi yang memiliki imajinasi yang kuat, sehingga ia dapat berhubungan dengan akal "fa'al"
yaitu akal kesepuluh yang mengatur alam dunia. Tentu saja untuk mengatur dunia, sifat kasih
sayang sangatlah penting selain sifat kelembutan, memaafkan dan, sifat-sifat Tuhan yang lain.
Mengenai persoalan kenabian ini, bisa dibaca dalam bukunya, Ibrahim Madkour, Filsafat Islam,
Bagian I, terj. Yudian W Asmin (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 82-98.

12

keselamatan umat manusia, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Tuhan


kepada nabi-nabiNya.
Al-Quran, karena itu, berulangkali menegaskan bahwa segala sesuatu
adalah tanda-tanda (Ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu apapun
menggambarkan hakikat dan realitas Allah, di mana segala alam semesta sebagai
refleksi nama-nama dan sifat-sifat Allah, di mana nama-nama itu melukiskan
berbagai kualitas, semisal Keagungan, Keindahan, dan Kehidupan serta
pengetahuan.

III. Hermeneutika Sufistik; Upaya Merasakan Aspek Feminitas


Dominasi maskulinitas dalam spirit teologi memang cenderung sangat
hegemonik, sehingga segala sisi hidup manusia yang bernuansa laki-laki dengan
mengedepankan nilai-nilai kekuasaan, kekuatan, kekerasan, telah menjadikan
harmoni dunia lenyap karena terpenjaranya nilai-nilai feminitas yang berwujud
cinta, kasih sayang, dan perdamaian. Bahkan, hegemoni maskulinitas itu sejak
lama memasuki wacana agama, sehingga tafsir teks agama27 yang berkembang
dan dijalankan sebagian besar merupakan tafsir yang cenderung patriarkhal.28
Akan tetapi, jika diteliti dan direnungkan lebih jauh, sebetulnya Allah Swt
dalam FirmaNya, lebih banyak menggambarkan diriNya dengan menggunakan
sifat feminin (jamaliah) dari pada sifat maskulin (jalaliah). Allah Swt yang
27Amina Wadud, "Qur'an and Woman" dalam Liberal Islam, Charles Kurzman (ed.) (New York:
Oxford University, 1998), 120-128. Riffat Hassan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in
Islamic Tradition (The Commite on South Asian Womens Bulletin, Vol. 4), 10-16.
28 Mansour Faqih, "Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender" dalam
Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam (Surabaya; Risalah Gusti, 1996). Baca
juga, Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembaran Kitab Suci: Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih
(Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 46-52.

13

mengekpresikan tajallinya lewat sifat jamaliah atau feminisme dapat dibaca antara
lain dalam sifat Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha
Pemaaf. Sedangkan maskulin (jalaliah) antara lain terdapat dalam sifat Maha
Pembalas, Maha Berbuat Apa Saja. Dengan demikian, perempuan sebenarnya
mempunyai potensi jauh lebih besar dibandingkan kaum laki-laki untuk lebih
memahami Allah Swt.
Dalam sejarah teologi sufistik, dicatat betapa banyak laki-laki sufi yang
berguru kepada perempuan sufi. Seperti Imam Syafi'i yang berguru pada
perempuan bernama Saidah Nafisah. Sufi Ibn Arabi pun, mengatakan, bahwa
untuk bisa menjadi sufi maka harus "menjadi perempuan" terlebih dahulu.
Maksudnya, untuk menjadi sufi harus mengadopsi sifat feminism terlebih dahulu
yang hal itu tercermin pada setiap kaum perempuan.29
Dulu, para sufi pada dasarnya telah menyadari atas segi-segi positif atas
karakter sifat feminin. Beberapa kisah perempuan dalam al-Quran30 dijadikan
simbol dalam lambang kehidupan sufi. Berlatar mahabbah Rabiah,31 kisah
Zulaikha yang kasmaran terhadap pemuda tampan Yusuf, merupakan lambang
bagi kekuatan cinta yang memabukkan (sukr), yang diungkapkan oleh para sufi
dalam renungannya tentang keindahan Ilahi yang terwujud dalam bentuk (postur
tubuh dan perawakan) manusia.
Melambungnya rasa cinta menyebabkan setiap orang yang mengalaminya
seperti perempuan yang diundang Zulaikha, mengiris tangan mereka sendiri tanpa

29 William C. Chittick, Tuhan Sejati,


30 Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa,
31 Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan,

14

sadar karena terpesona oleh keindahan yang tak terkira dari Yusuf.32 Dalam ajaran
teologi sufistik, Zulaikha telah menjelma menjadi lambang jiwa yang dimurnikan
oleh kerinduan yang tak ada batasnya di jalan cinta. Maryam (Maria), ibu suci
yang melahirkan Isa, anak rohani, bukan hanya diagungkan umat Kristiani
melainkan juga oleh para pecinta teologi sufistik. Maryam sering dipergunakan
sebagai lambang ruh yang menerima ilham (wahyu)33 Ilahi dan mengandung
cahaya Ilahi.
Tokoh penting yang sangat apresiatif dalam memandang wanita adalah
Ibnu Arabi (tokoh yang dikenal sebagai pencetus paham wahdat al-wujud).
Menurut Schimmel,34 kecenderungan Ibnu Arabi dalam melihat yang Ilahi lewat
medium kecantikan wanita dan melihat wanita sebagai perwujudan daya cipta dan
ampunan Allah, pada awalnya dilatarbelakangi pertemuannya dan
keterpesonaannya terhadap seorang wanita yang memancarkan keindahan Ilahi
sehingga tampak transparan baginya.
Ibnu Arabi menulis lirik-lirik cintanya di Mekkah karena pengaruh
seorang wanita Parsi. Dengan demikian, Ibnu Arabi dapat mempertahankan
bahwa "cinta wanita adalah milik kesempurnaan ma'rifat sebab itu merupakan
warisan dari Rasul yang bersifat Ilahi".35
Dalam Islam, al-Quran juga mengajarkan bahwa nilai-nilai feminin tak
dapat diingkari, karena merupakan bagian dari sifat dunia yang polar, seperti
halnya; maskulin-feminin, male-female, yin-yang, dzakar-untsa. Keberagaman
32 AJ. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics, Op. Cit.,
33 AJ. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics,
34 Annemarie Schiemel, Mistik Islam,
35 William C. Chittick, Tuhan Sejati,

15

dunia merupakan sistem yang sengaja diciptakan Tuhan agar antar makhluk saling
berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, mengingkari nilai feminin atau
menafikan satu unsur kemajemukan dunia, berarti melanggar sunnatullah atau
hukum alam (QS 49:13), yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan dunia.
Nilai feminin ini tercermin dari jiwa atau nafs, bentuk kata benda feminin
yang berarti spirit kedamaian atau nafs muthmainnah (QS 88:27-28), bukan
seperti stereotip yang selalu menganggap nilai feminin sebagai nafs penghasut,
yang dicitrakan dalam diri perempuan sebagai Hawa atau Zulaikha. Meskipun
nafs juga mengandung unsur lawwamah (menuduh atau menghasut), namun hal
itu bisa dikalahkan oleh unsur muthmainnah melalui proses pendekatan diri pada
Tuhan. Oleh karena itu, dalam dunia spiritualitas, perempuan bisa mencapai
tahapan tertinggi pada puncak asketis dan ketenangan batin karena jiwa tadi
memang bersumber dari unsur feminitas.
Bahkan Dzatullah -kata ganti Tuhan dalam bahasa Arab- merupakan
bentuk kata benda feminim yang menunjukkan dalam Tuhan terkandung unsur
feminism. Selain kata ganti huwa atau dlomir hu dari kata ganti laki-laki yang
biasa digunakan untuk menggantikan kata Tuhan, Dzat Tuhan yang feminism
tersebut berwujud dalam sifat-sifatnya, seperti sifat kasih sayang (Ar-Rahiim),
kelembutan (Lathif), damai (Salam), dan lain-lain, di samping sifat maskulin
Tuhan seperti pemaksa (Al-Qohhar), yang kuat (Al-Qowiy), yang menjaga (AlMuhaimin), dan lain-lain.
Dzat Tuhan merupakan hakikat yang dituju, didambakan, dan diharapkan
setiap hamba yang mendalami spiritualitas keagamaan.36 Fenomena spiritualitas
36 William C. Chittick, Tuhan Sejati,

16

yang lebih dekat dengan unsur feminitas tersebut, ditunjukkan oleh sejarah
mistisisme berupa pola pendekatan kepada Yang Tertinggi dengan
mengedepankan jiwa yang feminin dalam diri para tokoh mistis.
Dalam sejarah mistisisme agama Islam, juga agama lain,37 dapat
ditemukan perempuan dengan keunggulan spiritual, seperti Rabi'ah al-Adawiyah
yang menyerahkan hidup untuk mencintai Tuhan-nya, sehingga tidak bisa
menemukan cinta lain karena kesempurnaan cinta telah ditemukannya dalam
Tuhan.38
Nama sufi lainnya adalah Maryam, Fatimah, Khadijah, Aisyah, dan lainlain, sebagai sosok yang konsisten dengan cintanya kepada Tuhan.39 Mereka selalu
berjuang mencintai Tuhan-nya sehingga mereka mendapat julukan kembang
peradaban sebagaimana yang diberikan Annemarie Schimmel dalam buku Jiwaku
adalah Wanita.40
Bahkan, Zulaikha -perempuan yang kontroversial- sebagai seorang hamba
dan avonturir dalam perjalanannya untuk mencari keindahan Tuhan, telah
menemukan kesempurnaan dan keindahan-Nya dalam diri Yusuf. Akhir dari
pencariannya adalah bisa bersatu dengan keindahan tersebut. Di sanalah puncak
spiritualitas, yakni pertemuan dengan Yang Maha atas segala keindahan.
Dengan demikian, tidak bisa dihindari bahwa sejarah tokoh spiritual lakilaki seperti Rumi, Ibnu Arabi, dan lain-lainnya, dalam perilaku dan amaliah
37Selain di agama Islam, juga ternyata banyak ditemukan perempuan-perempuan sufi atau zuhud
yang senantiasa mengedepankan hari depan, akhirat, ketuhanan dan moralitas. Annemarie
Schiemel, Mistik Islam,
38 Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan...
39 Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan
40Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminim dalam Spiritualitas Islam
(Bandung: Mizan, 1998), 32-38.

17

mistisnya, cenderung mengedepankan unsur feminitas untuk menampakkan kasih


Tuhan kepada manusia. Jalaluddin Rumi, misalnya, dikenal sensitif dengan syairsyairnya yang lembut dan syahdu menyentuh nurani. Demikian juga Ibnu Arabi,
tokoh sufi, penyair, dan filsuf yang cenderung menampilkan feminitas dalam
karya-karya sufinya.

IV. Kesimpulan
Dari pemaparan tulisan ini, selain menyatakan bahwa nilai-nilai feminin
tak dapat diingkari, mahluk Tuhan baik laki-laki maupun perempuan pada
dasarnya mempunyai tanggung jawab sama di hadapan Allah, sama-sama
berpotensi mewujudkan "rupa Allah" dalam perbuatan yang akan mencerminkan
sifat Ilahiah. Karena itu, ada dua kesimpulan penting dari uraian kajian di atas.
Pertama, dalam ajaran teologi sufistik, diakui bahwa ekspresi tajalli-Nya
Allah sangat cenderung bersifat feminim ketimbang maskulin sebagaimana hal itu
banyak diurai dalam Firman-Nya. Ekpresi feminisme Tuhan itu, dapat dibaca
misalnya dalam aspek sifat-Nya yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Pengampun, dan Maha Pemaaf. Dengan demikian, karakter spirit teologi sufistik
sangatlah dekat dengan unsur-unsur feminitas. Karena itu, dalam dunia
spiritualitas, perempuan berpeluang lebih besar dalam mencapai tahapan tertinggi
pada puncak asketis dan ketenangan batin, karena jiwa tadi memang pada
dasarnya bersumber dari unsur feminitas ketuhanan yang abadi.
Kedua, mengingkari nilai feminitas pada unsur spiritual ketuhanan, sama
saja menafikan unsur kemajemukan dunia. Begitu juga, memarjinalkan nilai

18

feminitas berarti melanggar spiritualitas hukum alam yang dapat menyebabkan


ketidakseimbangan dunia seisinya. Itulah mengapa, karakter teologi sufistik yang
tersirat pada jiwa-jiwa sang 'sufi', sangat mencerminkan naluri feminitas dzat
ketuhanan. Tentu saja, keyakinan bahwa keintiman spiritualitas dan feminitas
mampu melahirkan sifat kenabian sebagai pantulan cahaya ilahi yang memenuhi
jiwa-jiwa suci abadi, tidak bisa diingkari bahkan sangat nyata hasilnya.
***

19

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash., Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlash, 1980.
Afifi, Abu Ala., Fi al-Tasawuf al-Islami Wa Tarikhihi, Kairo: al-Qahirah, 1969.
Arberry, A.J., Sufism; An Account of The Mystics of Islam, terj. Bambang
Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985.
Chittick, William C., Tuhan Sejati dan tuhan-tuhan Palsu, trj. A. Nidzam dkk.,
Yogyakarta: Qalam, 2001.
Faqih, Mansour., "Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender"
dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam,
Surabaya; Risalah Gusti, 1996.
Fudhaili, Ahmad., Perempuan Di Lembaran Kitab Suci: Kritik Atas Hadis-Hadis
Sahih, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.
Hamka, Tasawuf: Perkembangan & Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul
Islami, 1981.
Hassan, Riffat., Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition,
The Commite on South Asian Womens Bulletin, Vol. 4.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984.
Madkour, Ibrahim., Filsafat Islam, Bagian I, terj. Yudian W Asmin, Jakarta:
Rajawali Pers, 1991.
Mufidah, Paradigma Gender, Malang: Bayumedia, 2004.
Murata, Sachiko., The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Nurbakhsh, Javad., Sufi Women, London: Yale University Press, 1983.
Salim, Peter., The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern
English Press, 1997.
Schimmel, Annemarie., Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminim dalam
Spiritualitas Islam, Bandung: Mizan, 1998.
_______, Mistik Islam, terj. Sapardi Djoko Darmono, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1975.

20

Shihab, Alwi., Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Mizan: Bandung, 2001.
Smith, Margaret., Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj. Jamilah Baraja
Surabaya; Risalah Gusti, 1997.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Syaraf, Muhammad Jalal., Al-Tashawwuf al-Islami wa Madarisuhu, Iskandariyah:
Dar al-Matbu'at al-Jamiyah, 1974.
Wadud, Amina., "Qur'an and Woman" dalam Liberal Islam, Charles Kurzman
(ed)., New York: Oxford University, 1998.
Zuhri, Musthafa., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Anda mungkin juga menyukai