Intelektual Muslim Modern Dan Al-qur'An
Intelektual Muslim Modern Dan Al-qur'An
dengan cara yang rasional dan sitematis. Sayangnya, dunia Islam masih
belum siap merespon gagasan-gagasan Rahman.
Asma Barlas telah menuliskan sebuah bab tentang hermeneutika Amina
Wadud dari perspektif perempuan. Bab ini tepatnya bertajuk
Hermeneutika al-Qur'an Amina Wadud: Pembacaan Perempuan atas
Teks-teks Suci." Rasanya tidak ada gunanya mengatakan dunia Islam itu
jauh dari munculnya nilai-nilai patriarkhi dan ulama tradisional masih
membenamkan dirinya sedalam-dalamnya di dalam nilai-nilai ini. Setiap
perselisihan dengan mereka dianggap sebagai bidah yang tidak bisa
diampuni. Sayangnya, hanya ada sedikit usaha untuk melakukan 'geresy'
ini. Dunia Islam masih jarang melahirkan perempuan yang membaca teks
suci dari sudut pandang mereka sendiri.
Amina Wadud adalah salah satu dari perempuan-perempuan tersebut
yang sedang berusaha menegaskan pembacaan perempuan terhadap
teks suci. Dia bukan berasal dari negara muslim tetapi dari USA. Dia
adalah muslimah ketururan Afrika-Amerika meskipun dia dididik di
Islamic University of Malaysia untuk beberapa tahun. Namun
kontroversi-kontroversi mengikutinya juga di sana. Sebuah metodologi
yang definitif diperlukan untuk membaca al-Qur'an dari perspektif
perempuan. Dan
Amina Wadud benar-benar mengembangkan
metodologinya dalam membaca atau menafsirkan al-Qur'an.
Asma menyatakan bahwa "Wadud mempercayai bahwa membaca alQur'an
secara
sepotong-sepotong
dan
dengan
cara
tanpa
dikontektualisasikan tidak hanya akan mengacuhkan koherensi internal
al-Qur'an atau nazm, namun juga akan menggagalkan dalam merengkuh
prinsip-prinsip utama yang digariskan oleh ajaran-ajaran al-Qur'an
sebagaimana juga pendapat Rahman. Sebagai hasilnya, kebanyakan
penafsiran diakhiri dengan perintah-perintah khusus yang sifatnya
mengeneralisir, sebuah praktik yang Wadud percayai bersifat menindas
khususnya kepada perempuan dalam sejumlah pembatasan yang
membahayakan mereka dari 'penafsirkan solusi-solusi al-Qur'an untuk
masalah-masalah partikular yang seolah-olah dianggap sebagai masalah
univesal." Wadud memberikan contoh bagaimana para mufasir
tradisional menafsirkan ketentuan-ketentuan al-Qur'an mengenai
berpakaian.
Amina Wadud menjelaskan, "..al-Qur'an mengusung sebuah gagasan
universal berkaitan dengan persoalan Pakaian dan menilai bahwa
'pakaian kesalehan adalah yang paling baik'. Namun, Shari'ah (Islamic
4
Bab keenam dari buku ini adalah catatan tentang sarjana Mesir Nasr
Hamid Abu Zayd yang juga harus hengkang dari Mesir karena
pandangannya mengenai teks al-Quran yang tidak diterima oleh
ortodoksi Islam. Bab ini ditulis oleh Navid Kermani. Navid mengatakan
"Dalam pandangan Abu Zayd, peradaban peran al-Qur'an yang menonjol
menjadikan budaya Arab sebagai sebuah tradisi teks' (hadarat alnass).
Memang, dia beranjak lebih jauh untuk menggambarkan budaya Arab
sebagai peradaban teks par excellence.
Menurut Nasr, kebudayaan Arab dihasilkan oleh konfrontasi 'manusia'
(jadal) terhadap realitas, dan dialognya (hiwar) dengan teks. Nasr juga
mempertahankan pendapatnya bahwa untuk mendefinisikan peradaban
Islam-Arab sebagai sebuah budaya teks memberikan implikasi bahwa
peradaban Islam Arab juga sebuah budaya interpretasi (hadrat al-ta'wil).
Nasr, sebagaimana intelektual Muslim lainnya yang dibahas di dalam
buku ini menyatakan bahwa bahasa al-Quran sebagaimana teks-teks
lainnya bukanlah penjelasan-diri dan maknanya tergantung pada
intelektual dan horizon budaya pembaca (intaj dalalatihi). Oleh sebab itu,
pesan teks hanya bisa dikuak melalui penafsirnya
Ada sejumlah penafsiran al-Quran yang berbeda-beda, dan sekte-sekte
Islam yang utama muncul juga karena perbedaan penafsiran. Jika pada
awal Islam sudah ada begitu banyak penafsiran, bagaimana bisa
seseorang menghindari penafsiran-penafsiran yang lebih baru dewasa ini
karena kondisi-kondisi sosio-kultural dan politik yang berubah secara
drastis? Abu Zayd melangkah lebih jauh lagi dan membuat sebuah poin
yang menarik.
Teks [Qur'ani] berubah dari pertama kali yakni, ketika Nabi membacanya
pada saat peristiwa pewahyuan al-Quran, dari eksistensinya sebagai teks
Tuhan (nass ilahi), dan menjadi sesuatu yang bisa dipahami; sebuah teks
manusia (nass insani), sebab al-Quran berubah dari sejak pewahyuan
menuju masa penafsiran (l-annahu tahawwala min al-tanzil ila a-ta'wil).
Pemahaman Nabi terhadap teks merupakan salah satu fase pertama
pergerakan yang dihasilksn dari hubungan teks dengan akal manusia.
Kemudian Abu Zayd menyandarkan tekanan yang besar mengenai
pemahaman atau penafsiran teks. Bahkan latar belakang personal akan
sangat mempengaruhi pemahaman ini. Jika teks yang sama dibaca oleh
sebuah kelompok manusia dari latar belakang ruang dan waktu yang
sama maka teks mungkin dipahami dengan cara yang berbeda oleh
setiap individu dari anggota kelompok tersebut jika perkembangan
intelektual mereka berbeda. Tranformasinya dari pewahyuan ilahi
menuju pemahaman manusia memainkan peran penting dalam beraksi
menurut teks.
Abu Zayd membuat poin lain tentang pemahaman Nabi terhadap teks alQuran. Menurutnya, kita tidak bisa mengabsolutkan "Klaim semacam itu
7
10