Anda di halaman 1dari 19

KONSEP HADIS FAZLUR RAHMAN

DALAM TRADISI KEILMUAN


Oleh: Vita Fitria
(Peserta Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Pendahuluan
Ruang kajian hadis yang tidak senyaman ruang kajian Alquran,
membawa dampak pada kajian hadis yang tidak pernah tuntas dan
masih diperdebatkan sampai saat ini. Rentang waktu yang sangat
panjang

antara

memungkinkan

wafatnya
masuknya

nabi

dengan

unsur-unsur

pencatatan
luar

yang

hadis,
sangat

mempengaruhi otentisitas sebuah hadis. Hingga akhirnya para ulama


hadis menetapkan persyaratan yang relatif ketat untuk menyeleksi
hadis. Melalui kritik sanad dan kritik matan, pengkodifikasian hadis
memposisikan hadis pada status yang lebih jelas yaitu sebagai sumber
hukum kedua setelah Alquran.
Tanpa disadari hal tersebut dapat menimbulkan kebiasaan yang kurang
menguntungkan bagi generasi muslim berikutnya dalam memahami sunah atau
hadis, pembukuan terhadap hadis justru membakukan hadis yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis, yang bukan tidak mungkin merubah cara pandang masyarakat
muslim terhadap hadis menjadi teks yang sakral yang tidak bisa dikembangkan
lagi.1 Kajian dan telaah hadis terhenti pada kajian tekstual yang mengacu pada
kitab-kitab hadis saja.
1 Lihat Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka ,
1984), cet. 2, 112.

Iklim ini tentunya tidak diinginkan oleh kaum intelektual muslim yang
merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan peradaban Islam. Salah satunya
adalah Fazlur Rahman, terutama dalam meneliti hadis tidak hanya terpaku pada
teks dan transmisi periwayatan, tetapi lebih menekankan pada sejarah hadis itu
sendiri. Rahman berusaha mendobrak tradisi pemahaman kaum muslimin tentang
hadis yang selama ini menurutnya --cenderung berhenti pada zaman Imam
Syafii dan produk intelektualnya. Menurut Rahman, menembus langsung dimensi
sejarah Islam sampai ke masa Rasulullah adalah tindakan yang paling efektif
daripada berkomunikasi lewat kitab-kitab hadis yang ada. Karena dengan
mengetahui latar belakang mengapa konsep hadis itu muncul, maka kita
mempunyai nilai lebih dalam menjalankan sunah nabi.

Kajian hadis Rahman yang ditulis dalam bukunya Islam, yang


selanjutnya diperjelas lagi dalam Islamic Methodology in History.
Rahman merekonstruksi pemahaman terhadap sunah dan hadis secara
sistematik dan objektif, mulai dari masa hidupnya Nabi, pasca Nabi,
serta penjelasan-penjelasan yang signifikan terutama pada generasi
Imam Syafii.

Fazlur Rahman dalam Sketsa


Fazlur Rahman (1919-1988) adalah seorang tokoh intelektual
muslim kontemporer yang mempunyai karakteristik dan ketajaman
analisis pada studi keislaman yang ditekuninya. Lahir di Pakistan,
dalam lingkungan keluarga bermazhab Hanafi yang taat, tak heran bila
dalam usia sepuluh tahun ia sudah mampu melafalkan Alquran di luar
kepala.2 Meskipun terdidik dalam pemikiran Islam tradisional, namun
ia punya keyakinan bahwa agama dapat menyelamatkan manusia
modern, dalam arti bahwa pendidikan modern dengan segala
atributnya bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan suatu
tantangan dan peluang yang harus dihadapi. Karenanya, Rahman
dapat melepaskan diri dari lingkungan pemikiran yang sempit di
dalam

batas

mazhab-mazhab

Sunni

dan

mengembangkan

pemikirannya secara bebas.3

2 Samsurizal Panggabean, Fazlur Rahman dan Neo-Modernisme Islam, dalam Bangkit, Vol.3,
No.8, 1994, 35.
3 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1993), 79.

Pendidikan formalnya dimulai dari sebuah madrasah yang


didirikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi, pada tahun 1867,
disamping itu pendidikan agama juga ia peroleh dari ayahnya secara
nonformil. Rahman memulai pendidikan tingginya pada Departemen
Ketimuran Universitas Punjab, Lahore, Pakistan. Di sini Rahman
memperoleh gelar MA dalam bidang Bahasa Arab pada tahun 1942.
Kemudian tahun 1946, ia melanjutkan program doktornya di
Universitas Oxford di Inggris dan meraih gelar Doktor bidang filsafat
Islam pada tahun 1949.4 Selanjutnya ia diminta menjadi dosen Studi
Persia dan Filsafat di Universitas Durham tahun 1950- 1958.
Kemudian

diangkat sebagai Guru Besar di Institut Studi Islam

Universitas McGill, Kanada sampai tahun 1961.


Pada saat menjalankan tugasnya, dia diminta oleh Presiden Ayub
Khan untuk menjadi guru besar tamu di Lembaga Riset Islam
Pakistan. Ia menjabat sebagai direktur lembaga ini dari tahun 19621969.5 Kiprah Rahman dalam lembaga ini diharapkan dapat memberi
nuansa baru bagi

perkembangan keislamam di negara Pakistan,

terlebih setelah ditunjuknya Rahman sebagai Dewan Penasehat


Ideologi Negara Islam Pakistan pada tahun 1964. Di sini Rahman bisa
mengajukan gagasan-gagasan pembaruan keislamannya, dengan
menafsirkan Islam dalam kerangka ilmiah dan rasional, untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang progesif.6 Namun
ternyata, hampir seluruh gagasan pembaruananya ditolak oleh para
4 John L. Esposito (ed), Fazlur Rahman, dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern
Islamic World, vol. 3, (New York: Oxford University Press, 1995), 408.
5 Ibid.
6 Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000), 16.

ulama tradisional dan konservatif Pakistan. Bahkan begitu kerasnya


penolakan tersebut, muncul ancaman pembunuhan atas diri Rahman.7
Situasi Pakistan dirasakan sangat tidak kondusif bagi kaum intelektual
modernis, karena seorang pemikir tidak lagi bisa secara terbuka menyatakan
gagasan dan ide-idenya, meskipun pada dasarnya hal itu untuk kemajuan Islam
sendiri. Ekspresi kekuatan (political force) telah menggantikan kekuatan
berekspresi (Intelectual force). Demikian pula polarisasi yang tumbuh secara
ekstrem antara kanan dan kiri makin tak terkendali, padahal di sini Rahman
mencoba menawarkan untuk selektif terhadap bentuk pemikiran modern dengan
tidak langsung menolak secara apologis.
Kondisi semacam ini yang membuat Rahman tidak bisa berkolaborasi lagi
di negaranya. Yang akhirnya, di tengah hujatan dan kritik tajam atas
pandangannya sebagai seorang pembaharu yang dianggap terlalu liberal, tahun
1968 Rahman memutuskan untuk meninggalkan Pakistan.8 Untuk selanjutnya, ia
hijrah ke Amerika Serikat dan menjadi Guru Besar di Universitas Chicago sampai
akhir hayatnya tahun 1988.
Karya-karya intelektual Rahman antara lain Islamic Methodology in
History yang diterbitkan tahun 1965 oleh Central Islamic Research Institut,
Pakistan. Dua tahun kemudian ia menyelesaikan karyanya yang berjudul Islam
yang diterbitkan pada tahun 1968 oleh The Anchor Book, New York. Dan pada
tahun 1979 dicetak ulang oleh The Chicago University Press.9 Buku karya
Rahman periode Chicago yaitu Islam and Modernity: Transformation of an
Intelektual Tradition yang diselesaikan tahun 1978, dan baru diterbitkan pada
tahun 1982 oleh The University of Chicago Press. Berikutnya adalah buku Major
Themes of The Qur`an, diterbitkan oleh Bibliotheca Islamica, Minneapolis,

7 Ibid., 18.
8 Fazlur Rahman, Why I Left Pakistan : A Testament, terj. Ihsan Ali Fauzi, Islamika, No. 2,
Oktober-Desember, 1993, 16-17. Lihat juga dalam Syarif Hidayatullah, op. cit., . 22.
9 Buku ini sempat dilarang di Pakistan, karena --antara lain --memuat pendapatnya tentang
wahyu. Rahman dituduh berpendapat bahwa Al-quran adalah hasil kerjasama antara Allah dan
Muhammad. Hal ini menyebabkan terjadinya kemarahan publik Pakistan, yang kemudian
mendorong Rahman untuk meninggalkan tanah airnya menuju Chicago Amerika Serikat.

Chicago tahun 1980.10 Memuat tentang tema-tema pokok dalam Alquran, yang
khas dengan penerapan gaya hermeneutika Rahman.
Karya-karya Rahman periode Chicago ini memperlihatkan kemandirian dan
orisinalitas pemikiran keagamaannya, serta menunjukkan rasa tanggung jawabnya
terhadap Islam, umat dan masa depan mereka di tengah tantangan modernitas.11
Di samping karya-karya diatas, Rahman juga banyak menulis dalam bentuk
artikel maupun tulisan-tulisan yang dimuat di Jurnal.

Sikap Rahman yang

mengakomodasi kemodernan namun juga tidak meninggalkan unsur-unsur


tradisional,

menempatkannya

sebagai

seorang

tokoh

pemikir

beraliran

Neomodernisme.12

10 Syarif Hidayatullah, Intelektualisme, op. cit., 33.


11 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, op. cit., 79.
12 Suatu pendekatan baru yang ditawarkan Rahman dalam mengkaji ajaran-ajaran Islam atau
nilai-nilai Barat. Neomodernisme bagi Rahman adalah pemikiran Islam progressif yang muncul
dari modernisme Islam namun juga mencakup aspek-aspek tradisional. Pendekatan ini lebih
menekankan pada ijtihad terus menerus dalam rangka untuk menemukan pesan-pesan yang
terkandung dalam Al-quran secara kontekstual. (Lihat Syarif Hidayatullah, Intelektualisme Dalam
Perspektif Neomodernisme, 57 70).

Sunnah dan Hadis dalam Tradisi Keilmuan


Para ulama hadis pada umumnya tidak membedakan pengertian
Sunnah dan Hadis, yakni, segala sabda, perbuatan, persetujuan dan
sifat Rasulullah saw.13 Hal ini terutama pada kalangan ulama pasca
Imam Syafii (w 204/820), sunnah identik dengan hadis. Namun
konsep lebih awal, dan beberapa kalangan ulama lain membedakan
kedua pengertian tersebut.
Secara harfiah hadis
cerita,

penuturan

atau

berasal dari kata hadasa yang berarti


laporan.

Fazlur

Rahman

misalnya,

mendefinisikan hadis sebagai unit disiplin ilmu yang bertujuan


memberikan informasi tentang apa yang dikatakan nabi, dilakukan,
disetujui atau tidak disetujui oleh beliau, juga informasi tentang para
sahabat nabi. Setiap hadis mengandung dua bagian yaitu teks (matan)
dan transmisi periwayatan (sanad), dengan menyebutkan nama-nama
perowinya yang menjadi pendukung bagi teks hadis tersebut.14

13 Lihat misalnya Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilm li alMalayin , 1977), 3; juga dalam Muhammad al-Sabbag, al-Hadis al-Nabawi,(Riyad: Maktabah alIslami, 1972), 14-16.
14 Fazlur Rahman, Islam, op. cit., 68.

Sedangkan sunnah secara harfiah berarti jalan, perilaku, praktek dan


cara bertindak.15 Yang secara terminologi adalah konsep perilaku, baik
yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi
mental. Dengan kata lain, sunnah adalah hukum tingkah laku, baik
yang terjadi sekali, maupun yang terjadi berulang-ulang.16 Sunnah
juga merupakan hukum moral yang bersifat normatif, adat istiadat
yang diwarisi dari nenek moyang yang diteladani oleh masyarakat
pewarisnya juga disebut sunnah karena di dalamnya terkandung unsur
normatif. Namun demikian sunah tidak hanya merujuk pada sesuatu
dari masa lampau yang merupakan teladan bagi masa kini, tetapi juga
mencakup suatu yang baru diperkenalkan untuk diikuti.17 Sunah
merupakan kandungan dari hadis, sementara hadis merekam, berisi
dan melaporkan sunnah. Ada indikasi bahwa apa yang tertulis dalam
hadis tidak semuanya sunah. Tetapi sunah tidak semuanya terekam
dalam hadis.

Konsep Rahman sebagai Idealitas Sunnah


Kegelisahan awal Rahman dipicu dengan adanya kontroversi hadis di
Pakistan. Parwez18 dan kelompoknya berkesimpulan bahwa hadis tidak dapat
dikatakan bersumber dari Nabi, karena menurutnya, banyak hal-hal yang tidak
masuk akal dalam hadis, terlalu antromorfis, dan bahkan memalukan secara
moral.19 Menindaklanjuti pendapat Parwez, di satu sisi Rahman mengkritik
15 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (New Delhi: Adam Publishers
& Distributors, 1994), 85.
16 Fazlur Rahman,Membuka Pintu ijtihad, op. cit., 2.
17 Syamsul Anwar, Paradigma Pemikiran Hadis Modern, dalam Fazlur Rahman dkk., Wacana
Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), cet. 1., 154.
18 Seorang penafsir Alquran terkemuka di Pakistan.
19 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, op. cit., 86.

Parwez dengan tetap mempertahankan kesahihan dan normativitas Sunnah Nabi.


Namun disisi yang lain ia bersama Parwez dalam menilai hadis teknis tidak
kembali kepada Nabi. Namun Rahman menekankan bahwa hadis merupakan
interpretasi yang kreatif dan dinamis terhadap Sunnah Nabi.20
Di antara para sarjana Barat modern, Ignaz Goldziher adalah kategori
orang pertama yang mempelajari evolusi hadis. Dalam karya monumentalnya,
Muhammadanische Studien ia menyatakan bahwa begitu Muhammad saw. tampil,
maka segala perbuatan dan tingkah lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat
muslim yang masih baru tersebut dan idealitas Sunnah dari orang-orang Arab pra
Islam pun berakhir.21 Dengan datangnya Islam, sebagaimana dinyatakan
Goldziher, kandungan konsep sunnah bagi kaum muslimin berubah menjadi
model perilaku nabi, yakni norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan
dan tindakan-tindakan Nabi yang diwartakan.22 Begitu juga dengan Margoliouth
dalam bukunya, Early Development of Islam dan Lammens dalam Islam: Beliefs
and Institution, menurutnya, Nabi tidak meninggalkan apa-apa selain Alquran,
dan bahwa sunnah yang dipraktikkan kaum muslimin awal bukan Sunnah Nabi,
melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang telah dimodifikasi
Alquran. Praktik kaum muslim awal itu telah mendahului perumusannya dalam
hadis.23 Belakangan muncul Joseph Schacht, yang mencetuskan teori Projecting
Back,24 menyatakan bahwa ketika pertama kali hadis mulai beredar, hadis
tersebut tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi kepada tabiin (generasi sesudah
sahabat), kemudian pada taraf selanjutnya, kepada para sahabat, dan akhirnya
setelah beberapa waktu lamanya, baru dinisbatkan kepada nabi sendiri. 25 Teori
Schacht ini tercantum dalam bukunya yang terkenal yaitu Origins of
Muhammadan Jurisprudence.
Berangkat dari pandangan pandangan kaum orientalis tersebut, Rahman selain
berusaha membuka mata masyarakat muslim yang masih cenderung berpikir
20 Ibid, 87.
21 Fazlur Rahman,Membuka Pintu Ijtihad, op. cit., 5.
22 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994), cet. 2., 53.
23 Ibid., 55.
24 Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.3, 19.
25 Fazlur Rahman, Islam, op. cit., 57.

10

tradisional --juga ingin membuktikan bahwa pendapat para orientalis ini tidak
sepenuhnya benar.
Terhadap pandangan sarjana Barat yang relatif negatif terhadap konsep
Sunnah Nabi, Rahman menunjukkan beberapa pokok pikirannya yaitu :1)Kisah
perkembangan Sunnah di atas pada dasarnya hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya, 2)bahwa
kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak
dimaksudkan untuk bersifat spesifik secara mutlak, 3)bahwa konsep sunnah
sesudah nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah dari Nabi tetapi juga penafsiran
penafsiran terhadapnya, 4)bahwa sunnah dalam pengertian yang terakhir ini sama
luasnya dengan ijma yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus, 5)bahwa setelah gerakan pemurnian hadis besarbesaran hubungan organis antara sunnah, ijtihad dan ijma` menjadi rusak.26

26 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op. cit., 7.

11

Sehubungan dengan konsep sunnah-ijtihad-ijma, lebih jauh


Rahman menganalisis surat Hasan Al-Bashri yang ditujukan kepada
Abd al-Malik ibn Marwan, dimana Bashri berbicara tentang Sunnah
Nabi dalam kaitannya dengan karsa bebas manusia, walaupun ia
mengatakan tidak ada tradisi formal dan verbal tentangnya yang
bersumber dari Nabi. Berpijak pada analisisnya tersebut, Rahman
mengemukakan bahwa surat tersebut memberi petunjuk positif
tentang Sunnah Nabi.27 Pendapat Al-Bashri dalam suratnya lebih
menampakkan bahwa Sunnah Nabi lebih merupakan petunjuk arah,
ketimbang serangkaian aturan yang ditetapkan secara pasti, dan
menunjukkan bahwa pengertian Sunnah Ideal semacam inilah yang
merupakan basis aktivitas pemikiran kaum muslim terdahulu.28

Sunnah Yang Hidup


Dalam penelitian hadis ini Rahman menggunakan teori evolusi hadis,
yakni meneliti hadis berdasarkan status perkembangannya, mulai masa hidupnya
nabi. Pada masa tersebut hadis umumnya hanya digunakan dalam kasus-kasus
informal, karena satu-satunya peranan hadis adalah memberikan bimbingan di
dalam praktik aktual kaum muslimin dan kebutuhan itu telah dipenuhi oleh nabi
sendiri.29 Setelah wafatnya nabi, nampaknya status hadis menjadi semi-formal, ini
karena hadis-hadis yang ada digunakan untuk tujuan-tujuan praktis, yaitu sebagai
sesuatu yang dapat digunakan atau dikembangkan menjadi praktik kaum
muslimin. Karena itulah pada masa ini hadis hadis secara bebas ditafsirkan oleh
para penguasa, ulama maupun hakim sesuai dengan situasi yang sedang mereka
hadapi hingga terciptalah Sunnah yang hidup. Dalam perkembangannya,
27
Ibid., 8-9.
28 Ibid., 17.
29 Ibid, 45

12

Sunnah yang hidup ini menjadi amat pesat berkembang di berbagai daerah.
Karena perbedaan di dalam praktik hukum semakin besar maka hadispun
berkembang menjadi disiplin formal.30 Formalisasi tersebut memang pada waktu
itu diperlukan, karena proses yang berkelanjutan tanpa formalisasi pada waktuwaktu tertentu dapat memutuskan kesinambungan proses itu sendiri dengan
menghancurkan identitasnya. Meskipun pada kenyataannya --menurut Rahman
--yang dihasilkan hadis bukanlah formalisasi tertentu tetapi suatu ketetapan yang
bersifat mutlak.31
Menurut Rahman, kuatnya gerakan hadis pada pertengahan abad ke-3 H,
dikarenakan berhasilnya al-Syafii dalam mengampanyekan penempatan hadis
sebagai pengganti sunnah yang hidup. Sunnah yang hidup telah tenggelam ke
dalam materi-materi hadis yang telah dibukukan dan dibakukan. 32 Kegeniusan alSyafii dalam menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan kepada
struktur sosial-religius kaum muslimin zaman itu bisa dikatakan sukses, tetapi
dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan originalitas mereka.
Dengan menggunakan pemahaman evolusi sunnah dan hadis sebagai basisnya,
Rahman menegaskan bahwa kebutuhan kaum muslimin dewasa ini adalah
menuangkan kembali atau mencairkan hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk
Sunnah yang hidup melalui studi historis terhadapnya.33
Penafsiran situasional ini akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin pokok
ortodoksi harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah
determinisme dan karsa bebas manusia yang tercermin dalam hadis-hadis. Hadishadis tersebut harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya yang tepat dan
menurut fungsinya yang benar di dalam konteks kesejarahannya. 34 Penafsiran
situasional yang sama juga harus dilakukan terhadap hadis-hadis hukum. Hadishadis ini harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali, dan
30 Ibid., 46.
31 Ibid., 117 118. lihat selanjutnya pada skema di halaman lampiran.
32
Fazlur Rahman, Islam, op. cit., 78.
33 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan, op. cit., 172-173.
34 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op. cit., 79. Contoh-contoh analisis Rahman tentang
hadis predeterminisme dan karsa bebas manusia bisa dilihat pada hal. 52 53.

13

bukan sebagai hukum yang sudah jadi yang harus diterapkan secara langsung. 35
Penafsiran situasional atau historis dalam rangka mencairkan hadis-hadis ke
dalam bentuk sunnah yang hidup ini akan membuat umat Islam dapat
menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk umat Islam sendiri melalui suatu
teori etika yang memadai dan penumbuhan kembali hukumnya.
Hadis sebagai Proses Ijtihad
Dalam

memahami

sunnah

yang

berkembang

saat

ini,

Rahman

menggunakan dua sisi, pertama, dari sisi konseptual, di mana konsep Sunnah ini
telah ada sejak Islam ada hingga saat ini, sebagaimana telah dijelaskan dalam
Alquran bahwa nabi sebagai uswatun khasanah (teladan yang baik),36 dan tentu
saja pernyataan ini dengan jelas menyiratkan arti bahwa kaum muslimin sejak
awal telah memandang perilaku nabi sebagai suatu konsep. Kedua, Sunnah literal,
di sinilah Rahman banyak menyatakan ketidaksepakatannya. Karena di sini
Sunnah dipahami secara harfiah dan mutlak, serta sarana satu-satunya sebagai
transmisi sunnah tersebut adalah hadis. Ketika sunnah harus diverbalkan, secara
otomatis hubungan antara sunnah-ijtihad-ijma menjadi rusak.37 Di sini
menunjukkan proses penalaran, yakni sunnah ditafsirkan melalui instrumen ijtihad
dan setelah melalui interaksi ide yang ketat, mengkristal dalam bentuk ijma.
Namun ketika diverbalkan dalam bentuk hadis, korelasi tersebut tidak nampak
lagi.
Rahman mencoba mengkritisi paradigma tunggal pola pikir Ortodok Sunni
yang menekankan pada kritik matan dan kritik sanad. Metode isnad, pada
mulanya

memang telah meminimalkan terhadap pemalsuan-pemalsuan hadis,

namun menurut Rahman- tidak dapat dijadikan sebuah argumen yang positif dan
final, karena isnad baru berkembang di belakang hari menjelang akhir abad
pertama Hijriah.38 Rahman tidak sepakat akan klaim hadis palsu, karena pada
dasarnya semangat yang muncul dari sebuah hadis apapun bentuknya adalah
35 Ibid., 105 106.
36
Q.S. Al-Ahzab (33): 31 dan Q.S. Al-Mumtahanah (60): 4,6.
37 Ibid., 8.
38 Ibid,. 113.

14

semangat nabi, kalau toh memungkinkan untuk dijadikan landasan hukum secara
kontekstual-situasional tidak menutup kemungkinan yang dikatakan hadis palsu
tersebut bisa dijadikan sandaran. Demikian juga sebaliknya, sesahih apapun
sebuah hadis, kalau sudah tidak memungkinkan untuk digunakan dalam konteks
saat ini, tidak harus dipaksakan diri untuk dijadikan sebagai sebuah rujukan.
Analisis Rahman sangat tajam dalam membidik berbagai permasalahan
melalui hadis-hadis maupun praktek aktual masyarakat muslim waktu itu,
Rahman menjelaskan secara ilmiah dan konkret, bahkan cenderung berulangulang dengan bukti-bukti yang mendukung pendapatnya, sebagai penjelasan atas
keberatan-keberatan dan pandangan negatif yang diajukan terhadapnya seputar
Sunnah dan Hadis. Secara tidak langsung Rahman telah memasukkan kritik matan
melalui metode hermeneutiknya, baik dalam bidang sosio-kultural, ekonomi,
hukum, pendidikan dan sebagainya. Berkaitan dengan pemaparan tersebut di atas,
yang perlu dilakukan umat Islam dalam menghadapi proses dunia global --sebagai
implikasi dari penelitian Rahman tentang hadis --adalah memberi ruang gerak
yang dinamis dari apa yang sudah dianggap taken for granted sehingga sunnah
yang diformulasikan dalam hadis bersifat dinamis dan terus berubah disesuaikan
dengan kondisi perkembangan zaman serta diarahkan sejalan dengan prinsipprinsip Alquran.
Bila masyarakat muslim saat ini dalam memahami hadis dapat mengaplikasikan
teori dan metode sebagaimana yang ditawarkan Rahman, maka ada keuntungan
yang bisa diperoleh, yakni mampu memahami hadis dari sisi sejarah yang murni
sehingga dalam pemaknaannya bisa lebih mendalam, serta bisa dikembangkan
menjadi sunnah yang hidup yang bisa digunakan untuk menjawab berbagai
permasalahan kontemporer saat ini (to solve the problem).
Dalam setiap masyarakat harus ada sebuah unsur konservatisme, karena
perubahan dan pertumbuhan sosial saja tidak dapat terjadi tanpa adanya tangan
pengontrol yang memberikan unsur kontinuitas terhadap perubahan-perubahan
tersebut. Tidak ada masyarakat yang dapat hidup hanya dengan perubahan, begitu

15

juga masyarakat tidak dapat hidup dalam jangka waktu yang lama dengan
konservatisme semata.39

Model Penelitian dan Pendekatan Rahman


Dalam memaparkan konsep hadisnya, Rahman menggunakan pendekatan
kritis historis evolutif. Dengan pendekatan sejarah ini, ia mencoba merekonstruksi
pemahaman terhadap sunnah dan hadis secara sistematik dan objektif, mulai dari
masa hidupnya Nabi, pasca Nabi serta penjelasan-penjelasan yang signifikan
terutama pada generasi Imam Syafii. Rahman memaparkan contoh-contoh hadis
yang dihubungkan dengan hadis-hadis yang lain, atau pendapat beberapa ulama
waktu itu, kemudian dianalisis secara obyektif untuk diambil suatu kesimpulan
yang bisa dipertanggungjawabkan. Tegasnya, metode kritik-historis merupakan
sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan
fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung di
dalamnya. Pokok denotatifnya pada pengungkapan nilai-nilai yang terkandung
dalam sejumlah data sejarah, dan bukan peristiwa sejarah itu sendiri. 40 Kata
evolusi sendiri dimaksudkan untuk menyusun sebuah strata perkembangan hadis
secara periodik, sebagai upaya intelektual dalam rangka mengetahui hadis secara
benar dan akurasi periwayatannya dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, metode yang digunakan Rahman dengan melakukan
peninjauan kembali terhadap hadis, yaitu dengan mengembalikan hadis menjadi
sunnah

sebagai

sumber

awalnya

serta

dengan

penafsiran

situasional

dimungkinkan untuk dapat menghidupkan kembali norma-norma yang dapat


diterapkan untuk situasi masa sekarang.41 Rahman menerapkan metode double
movement (gerak ganda), sebuah grand teorinya, yaitu metode dengan melihat
pada situasi sekarang, kembali ke masa nabi, dan kembali lagi ke masa kini.42
39
Ibid., 215.
40 Syarif Hidayatullah, Intelektualisme, op. cit., 98.
41 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op. cit., 124.
42 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka,
1995), 6.

16

Penutup
Berangkat dari paparan di atas, kajian ini dapat ditegaskan sebagai berikut:
1. Rahman secara tegas membedakan konsep sunnah dengan kandungan sunnah.
Yang memberikan prinsip-prinsip normatif universal adalah konsep sunnah.
Sunnah ini juga yang mengikat untuk mentaati Rasulullah saw. Sementara
kandungan sunnah atau yang diistilahkan Rahman dengan tradisi (hadis)
bukanlah kumpulan warisan masa lampau yang statis dan tidak berubah,
melainkan dinamis dan membutuhkan perubahan yang harus selalu diarahkan
sejalan dengan prinsip-prinsip Alquran.
2. Selama ini yang dijadikan landasan hukum masyarakat muslim justru sunnah
yang literal yang dimutlakkan dalam kitab-kitab hadis. Bahkan yang sering
terjadi bahkan sampai saat ini, bila ada kritik yang cukup mendasar terhadap
hadis, di klaim sebagai inkar as-sunnah. Fenomena ini mungkin yang
menyebabkan orang enggan melakukan pendalaman melalui pemahaman
secara kritis terhadap hadis.
3. Berdasarkan hasil penelitiannya, Rahman banyak menemukan hadis-hadis
teknis yang tidak bersumber dari Nabi, melainkan merupakan hasil karya dari
generasi-generasi muslim di masa lampau, meskipun demikian, semangat
yang terkandung di dalamnya adalah semangat Nabi, yang merupakan
cerminan sunnah yang hidup, dan sunnah yang hidup adalah penafsiran dan
formulasi yang progresif terhadap Sunnah Nabi.
Wassalam.

17

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan, cet.3., 1992.
Anwar, Syamsul, Paradigma Pemikiran Hadis Modern, dalam Fazlur Rahman
dkk., Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta : Tiara Wacana, cet.1.,
2002.
Esposito, John L. (ed), Fazlur Rahman dalam The Oxford Encyclopedia of The
Modern Islamic World, vol. 3, New York : Oxford University Press, 1995.
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, New Delhi :
Adam Publishers & Distributors, 1994.
Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme dalam
Yogyakarta :Tiara Wacana, cet. 1., 2000.

Perspektif Neo-Modernisme,

Panggabean, Samsurizal, Fazlur Rahman dan Neo-Modernisme Islam dalam


Bangkit, Vol.3, No.8, 1994.
Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka
, cet.2, 1984.

18

----------------, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung, Pustaka, cet. 2, 1994.


----------------, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin
Mohammad, Bandung, Pustaka, cet. 2, 1995.
----------------, dkk., Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana,
cet. 1., 2002.
----------------, Why I Left Pakistan : A Testament, terj. Ihsan Ali Fauzi,
Islamika, No. 2, Oktober-desember, 1993.
al-Sabbag, Muhammad, al-Hadis al-Nabawi, Riyad : Maktabah al-Islami, 1972.
al-Shalih, Subhi, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li alMalayin , 1977.
Yaqub, Mustafa Ali, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. 3, 2000.

Lampiran Bagan:

Teori Pembentukan dan Perkembangan Sunnah Menjadi Hadis43

Konsep Sunnah
Verbal
(Hadis)

Non Verbal
(Sunnah)

SemiSemi
FormalFormal

Tuntutan tabiin atas


Informal
Formal
praktek
perilaku
43Masa
Skema ini pernah disampaikan oleh
M. Amin
Abdullahnabi
dalam beberapa kesempatan akademik,
Nabi saw.
terutama di Program Pascasarjana. yang ditafsirkan oleh
Ada
sampai masa
tuntutan
para penguasa dan
sahabat .
standarisasi
hakim.
(tanpa sanad)
hadis

19

Masa Nabi Saw.

Pasca Nabi Saw.

Masa Tabiin
(sampai sekarang ?)

Anda mungkin juga menyukai