BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mutu pendidikan di Indonesia merupakan salah satu isu sentral dalam
kerangka wacana pedagogi kritis dewasa ini. Isu mutu pendidikan terkait dengan
kualitas Guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas), kurikulum
pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan
manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan
kualitas belajar-mengajar yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa lepas dari strategi pembelajaran yang
dilakukan oleh guru.
Kritik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia sangat banyak dikemukakan
oleh para pakar pendidikan, para peneliti bidang pendidikan dan oleh para pemerhati
pendidikan. Suparno dkk. (2002:9) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia
sedang mengalami masalah besar, masalah yang dihadapi meliputi 1) mutu
pendidikan yang masih rendah, 2) sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang
belum memadai, dan 3) krisis moral yang melanda masyarakat kita. Tilaar (2006:5-6)
mengemukakan tentang kemerosotan mutu pendidikan nasional tidak terletak kepada
kemampuan intelegensi para siswa Indonesia, tetapi disebabkan oleh kesempatan
yang tidak merata dalam memperoleh pendidikan yang baik pada anak-anak bangsa
ini. Selain daripada itu, kualitas pembinaan para guru, kesempatan belajar yang
tersedia di dalam lingkungan sekolah dan masyarakat, serta biaya-biaya yang optimal
yang dibutuhkan di dalam pendidikan yang berkualitas rupa-rupanya belum secara
merata dapat dinikmati oleh anak-anak bangsa. Sebagaimana telah diketahui kualitas
pendidikan bukan hanya ditentukan oleh kurikulum (standar isi) tetapi juga oleh
faktor-faktor yang lain seperti penguasaan para siswa terhadap isi yang telah
digariskan di dalam kurikulum serta tersedianya sumber-sumber belajar yang
memadai. Hasairin (2008:10) menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
jauh tertinggal dari negara-negara di dunia tetangga dan tidak terlepas dari tanggung
jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Komponen yang harus bertanggung
jawab adalah semua pihak yang berkepentingan (stake holder) dalam dunia
pendidikan baik guru, orang tua siswa, Dinas Pendidikan, Departemen Agama,
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan DPR yang membawahi bidang
pendidikan. Di samping itu, khususnya peranan LPTK sebagai lembaga penjaring
tenaga keguruan sangat penting.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sudah
dilakukan dengan serius dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dilakukan
adalah pengembangan kurikulum, yaitu dari kurikulum berbasis konten menuju
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang diimplementasikan melalui kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam KBK ada beberapa komponen sebagai
kerangka inti yaitu (1) kurikulum dan hasil belajar, (2) penilaian berbasis kelas, (3)
kegiatan belajar mengajar, dan (4) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
standar sarana
dan prasarana,
standar pengelolaan,
standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. SNP adalah kriteria minimal tentang
secara efektif dan efisien. Oleh karena itu agar terjadi proses pembelajaran yang
berkualitas peranan guru sangat penting terutama guru yang profesional.
Usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui peningkatan
profesionalisme guru sudah banyak dilakukan, di antaranya melalui pelatihan, melalui
seminar, workshop, pelatihan pengelolaan laboratorium bagi guru sains, dan melalui
pendidikan lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, dalam kenyataannya proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru belum menampakkan perubahan dan
peningkatan yang berarti, sebab ternyata para guru masih menggunakan metode
ceramah dan latihan menjawab soal lebih dominan dilakukan dibandingkan dengan
metode pemecahan masalah atau metode belajar aktif lainnya. Kenyataan ini
didukung dengan hasil penelitian Sadia (2008: 228-229), yang memaparkan bahwa
model/strategi pembelajaran yang paling dominan digunakan oleh para guru dalam
proses pembelajaran adalah ekspositori (ceramah, diskusi, tanya jawab) 45,6%,
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) 2,5%, pembelajaran
kontekstual (cotextual teaching and learning/CTL) 26,6 %, siklus belajar (learning
cycle model) 2,5 %, pembelajaran berbasis portofolio 0,0 %, model pembelajaran
sains teknolgi masyarakat (STM) 0,0 %, pembelajaran pemecahan masalah (problem
solving) 10,2 %, dan pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) 12,6 %.
Sementara itu, menurut pendapat guru-guru model pembelajaran yang diperkirakan
berkontribusi secara signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis
siswa adalah pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran
kesempatan
yang
signifikan.
Dengan
demikian,
siswa
akan
melaksanakan proses belajar yang aktif dan akan memperoleh pengalaman langsung
yang disebut sebagai pengalaman pertama. Melalui praktikum siswa akan mengalami
suatu proses belajar yang efisien dalam arti siswa tidak akan memperoleh ilmu
pengetahuan yang statis dan otoriter, melainkan siswa diharapkan akan memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilan, baik keterampilan
psikomotorik maupun intelektual, menghayati prosedur ilmiah dan sikap ilmiah,
sehingga siswa menyadari bahwa ilmu sebenarnya bersifat dinamik.
metode pembelajaran yang kurang bervariasi, serta sumber belajar yang terbatas
menyebabkan minat siswa belajar kimia juga rendah.
Dalam kenyataannya proses pembelajaran kimia pada sekolah menengah atas
belum bermakna sesuai dengan harapan. Dapat dikatakan demikian karena diprediksi
dari pemahaman konsep-konsep dasar kimia pada mahasiswa semester awal di
Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selama ini banyak keluhan dan
ketidakpuasan dosen pembimbing praktikum terhadap proses dan hasil belajar
mahasiswa pada Praktikum Kimia Dasar I. Kualitas dan hasil belajar mahasiswa pada
Praktikum Kimia Dasar I yang dinilai belum memuaskan karena kemampuan
mahasiswa dalam membuat bon alat dan bahan kurang, kesiapan mahasiswa sebelum
praktikum rendah, praktikum belum berlangsung secara efektif dan efisien, dan
setelah praktikum penguasaan mahasiswa terhadap konsep yang dipraktikumkan juga
dinilai masih rendah (Sudiana, 2001: 1-2). Hal senada juga dikemukakan oleh dosen
pengampu mata kuliah praktikum kimia analitik. Dikatakannya bahwa keterampilan
mahasiswa melaksanakan praktikum masih rendah dan belum mampu mengaitkan
antara teori yang sudah dipelajari dengan kegiatan praktikum. Informasi dari
mahasiswa yang diperoleh adalah bahwa mereka merasa sulit mengimplementasikan
teori dalam kegiatan praktikum. Dalam pelaksanaan praktikum kimia analitik terjadi
hal-hal yang mestinya tidak perlu terjadi, misalnya, dalam petunjuk menyarankan
agar menghilangkan gas H2S yang ada di dalam larutan dengan cara penguapan. Di
dalam petunjuk tersebut sudah implisit ada kaitan antara gas H 2S dan cara ujinya
sehingga mahasiswa semestinya bisa membuktikan bahwa gas tersebut habis atau
tidak. Namun, kenyataannya mahasiswa tidak tahu cara membuktikan apakah gas H 2S
tersebut sudah habis atau belum, padahal secara teoretis mahasiswa sudah dibekali
teori tentang pengujian asam dan basa. Sementara itu gas H2S adalah gas yang
bersifat asam. Hal-hal yang sejenis sering terjadi sehingga muncul kesan bahwa
mahasiswa bekerja di laboratorium layaknya mengikuti petunjuk resep memasak
(Wiratma dan Selamat, 2005: 1-2).
Peristiwa-peristiwa seperti yang disebutkan di atas sering ditemukan dari
tahun ke tahun pada mahasiswa jurusan pendidikan kimia Undiksha Singaraja,
terutama pada mahasiswa semester awal. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan
awal mahasiswa tentang praktikum kimia, yang diperoleh pada saat di SMA belum
tuntas.
Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab mengembangkan sistem
pengelolaan serta menggunakan kewenangannya menyiapkan SDM unggul lewat
pembenahan sistem pendidikan nasional. UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003,
pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
Sesuai
dengan amanat
perundang-undangan, Departemen
Pendidikan
10
dengan
memberikan
jaminan
kualitas
kepada
stakeholders
11
b.
c.
d.
e.
f.
5.
6.
7.
8.
9.
menyatakan bahwa untuk menunjang dan mencirikan sekolah sebagai sekolah rintisan
bertaraf internasional adalah penggunaan dua bahasa dalam pembelajaran MIPA yang
di dalamnya termasuk pelajaran kimia. Penggunaan dua bahasa tersebut yaitu
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran.
Sementara itu, guru yang mengajar belum dipersiapkan untuk melaksanakan
pembelajaran dengan dua bahasa. Dengan kondisi itu ada kekhawatiran bahwa
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam menjelaskan ilmu kimia
kemungkinan pemahaman konsep kimia pada siswa kurang bagus, malah bisa jadi
penjelasan ilmu kimia dengan bahasa Inggris tidak dipahami dengan baik oleh siswa.
Pro dan kontra tentang RSBI dalam dunia maya cukup menarik untuk
dipaparkan sebagai sebuah wacana umum mengenai kebijakan pendidikan. Dalam
wacana tersebut dikemukakan bahwa berkenaan dengan kebijakan RSBI memiliki
problema empirik. Ada yang menyatakan RSBI sebagai rintisan sekolah bertarif
12
13
14
yang melekat pada RSBI maka menarik dikaji secara dekonstruktif. Menurut Atmadja
(2010: 3-4) bahwa dengan berpegang pada teori kritis maka RSBI sebagai suatu
realitas ada kemungkinan mengandung penindasan, ketidakadilan, peminggiran atau
pemarginalan yang dilakukan oleh kelas sosial atas, terhadap kelas bawah atau kelas
kaya terhadap kelas miskin. Peminggiran itu tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang
melandasinya. Ideologi tidak saja dianut oleh negara, masyarakat bisnis dan
masyarakat sipil, tetapi bisa pula menjalar ke sekolah-sekolah bagian dari negara
sebagai struktur dominan.
Upaya
pengkajiannya
dilakukan
melalui
membedah
pengelolaan
pembelajaran kimia pada SMA yang berstatus RSBI di Provinsi Bali. Pelajaran kimia
ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran yang diunggulkan dalam program RSBI
disamping beberapa mata pelajaran yang lain seperti matematika, fisika, biologi dan
bahasa Inggris. Pelajaran kimia di mata siswa dan pendapat umum menyatakan relatif
sulit dibandingkan dengan beberapa mata pelajaran yang lain. Demikian pula banyak
guru mata pelajaran kimia berdasarkan pengalamannya mengajar menyatakan agak
kesulitan menanamkan konsep-konsep kimia agar mencapai ketuntasan belajar.
Namun demikian dalam kenyataannya di SMA yang berstatus RSBI hasil belajar
kimia sangat baik jika dilihat dari hasil ujian nasional maupun prestasi dalam lombalomba ilmu kimia.
Berdasarkan studi pendahuluan di beberapa SMA di Bali yang dilakukan
dengan mewawancarai beberapa guru kimia yang berasal dari sekolah yang berbeda
diperoleh informasi yang bervariasi. Materi wawancara diarahkan mengenai
15
16
17
18
19
20
dalam
menentukan
mutu
sekolah.
Kualitas
pengelolaan
pendidikan
sesuai dengan
21