Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mutu pendidikan di Indonesia merupakan salah satu isu sentral dalam
kerangka wacana pedagogi kritis dewasa ini. Isu mutu pendidikan terkait dengan
kualitas Guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas), kurikulum
pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan
manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan
kualitas belajar-mengajar yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa lepas dari strategi pembelajaran yang
dilakukan oleh guru.
Kritik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia sangat banyak dikemukakan
oleh para pakar pendidikan, para peneliti bidang pendidikan dan oleh para pemerhati
pendidikan. Suparno dkk. (2002:9) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia
sedang mengalami masalah besar, masalah yang dihadapi meliputi 1) mutu
pendidikan yang masih rendah, 2) sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang
belum memadai, dan 3) krisis moral yang melanda masyarakat kita. Tilaar (2006:5-6)
mengemukakan tentang kemerosotan mutu pendidikan nasional tidak terletak kepada
kemampuan intelegensi para siswa Indonesia, tetapi disebabkan oleh kesempatan
yang tidak merata dalam memperoleh pendidikan yang baik pada anak-anak bangsa
ini. Selain daripada itu, kualitas pembinaan para guru, kesempatan belajar yang

tersedia di dalam lingkungan sekolah dan masyarakat, serta biaya-biaya yang optimal
yang dibutuhkan di dalam pendidikan yang berkualitas rupa-rupanya belum secara
merata dapat dinikmati oleh anak-anak bangsa. Sebagaimana telah diketahui kualitas
pendidikan bukan hanya ditentukan oleh kurikulum (standar isi) tetapi juga oleh
faktor-faktor yang lain seperti penguasaan para siswa terhadap isi yang telah
digariskan di dalam kurikulum serta tersedianya sumber-sumber belajar yang
memadai. Hasairin (2008:10) menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
jauh tertinggal dari negara-negara di dunia tetangga dan tidak terlepas dari tanggung
jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Komponen yang harus bertanggung
jawab adalah semua pihak yang berkepentingan (stake holder) dalam dunia
pendidikan baik guru, orang tua siswa, Dinas Pendidikan, Departemen Agama,
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan DPR yang membawahi bidang
pendidikan. Di samping itu, khususnya peranan LPTK sebagai lembaga penjaring
tenaga keguruan sangat penting.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sudah
dilakukan dengan serius dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dilakukan
adalah pengembangan kurikulum, yaitu dari kurikulum berbasis konten menuju
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang diimplementasikan melalui kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam KBK ada beberapa komponen sebagai
kerangka inti yaitu (1) kurikulum dan hasil belajar, (2) penilaian berbasis kelas, (3)
kegiatan belajar mengajar, dan (4) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.

Tujuan utama KBK adalah memandirikan sekolah atau memberdayakan


sekolah dalam mengembangkan kompetensi peserta didik, sesuai dengan kondisi
lingkungan. Pemberian wewenang kepada sekolah diharapkan dapat mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Di samping
lulusan yang kompeten, peningkatan mutu dalam KBK, antara lain diperoleh melalui
reformasi sekolah, yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi orang tua, kerja
sama dengan dunia industri, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan
profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, dan upaya
pemerintah yang dapat menumbuhkembangkan budaya mutu dalam suasana yang
kondusif. KBK memberi peluang bagi kepala sekolah, guru dan peserta didik untuk
melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah berkaitan dengan masalah kurikulum,
pembelajaran, manajerial yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme
yang dimiliki. Dengan demikian, sekolah diharapkan dapat melakukan proses
pembelajaran yang efektif, dapat mencapai tujuan yang diharapkan, materi yang
diajarkan relevan dengan kebutuhan masyarakat, berorientasi pada hasil (output), dan
dampak (outcome), serta melakukan penilaian, pengawasan, dan pemantauan berbasis
sekolah secara terus menerus serta berkelanjutan (Mulyasa, 2006:10-11).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP), menetapkan lingkup SNP meliputi standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan,

standar sarana

dan prasarana,

standar pengelolaan,

standar

pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. SNP adalah kriteria minimal tentang

sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.


SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. SNP
bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Sesuai dengan amanat PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP bahwa salah satu
standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah
standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada
satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria
minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses meliputi
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil
pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses
pembelajaran yang efektif dan efisien (Permendiknas RI No.41 tahun 2007 : 1).
Salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari
prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma
pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses
pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana

secara efektif dan efisien. Oleh karena itu agar terjadi proses pembelajaran yang
berkualitas peranan guru sangat penting terutama guru yang profesional.
Usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui peningkatan
profesionalisme guru sudah banyak dilakukan, di antaranya melalui pelatihan, melalui
seminar, workshop, pelatihan pengelolaan laboratorium bagi guru sains, dan melalui
pendidikan lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, dalam kenyataannya proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru belum menampakkan perubahan dan
peningkatan yang berarti, sebab ternyata para guru masih menggunakan metode
ceramah dan latihan menjawab soal lebih dominan dilakukan dibandingkan dengan
metode pemecahan masalah atau metode belajar aktif lainnya. Kenyataan ini
didukung dengan hasil penelitian Sadia (2008: 228-229), yang memaparkan bahwa
model/strategi pembelajaran yang paling dominan digunakan oleh para guru dalam
proses pembelajaran adalah ekspositori (ceramah, diskusi, tanya jawab) 45,6%,
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) 2,5%, pembelajaran
kontekstual (cotextual teaching and learning/CTL) 26,6 %, siklus belajar (learning
cycle model) 2,5 %, pembelajaran berbasis portofolio 0,0 %, model pembelajaran
sains teknolgi masyarakat (STM) 0,0 %, pembelajaran pemecahan masalah (problem
solving) 10,2 %, dan pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) 12,6 %.
Sementara itu, menurut pendapat guru-guru model pembelajaran yang diperkirakan
berkontribusi secara signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis
siswa adalah pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran

kontekstual (contextual teaching and learning), dan pembelajaran pemecahan


masalah (problem solving).
Reformasi di bidang pendidikan (khususnya mata pelajaran IPA) adalah
sangat penting, terutama sejak diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi
dengan penekanan pada pemahaman prinsip-prinsip alam serta mendorong peserta
didik untuk bekerja dan bersikap ilmiah (Mulyasa, 2006: 80-81). Ilmu kimia
merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains. Oleh karena itu,
pembelajaran kimia hendaknya mengikuti pola-pola pembelajaran IPA, yaitu
pengalaman langsung terhadap gejala serta prinsip-prinsip alam yang dipelajari.
Kegiatan praktikum dapat diartikan sebagai salah satu strategi mengajar dengan
menggunakan pendekatan ilmiah terhadap gejala-gejala yang diteliti, diselidiki dan
dipelajari melalui percobaan-percobaan di bawah kondisi-kondisi yang diatur. Dalam
kegiatan praktikum, siswa akan menghayati sendiri, berhadapan dengan objek dan
gejala yang timbul, dan memecahkan masalah-masalah yang mereka temukan sampai
memperoleh

kesempatan

yang

signifikan.

Dengan

demikian,

siswa

akan

melaksanakan proses belajar yang aktif dan akan memperoleh pengalaman langsung
yang disebut sebagai pengalaman pertama. Melalui praktikum siswa akan mengalami
suatu proses belajar yang efisien dalam arti siswa tidak akan memperoleh ilmu
pengetahuan yang statis dan otoriter, melainkan siswa diharapkan akan memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilan, baik keterampilan
psikomotorik maupun intelektual, menghayati prosedur ilmiah dan sikap ilmiah,
sehingga siswa menyadari bahwa ilmu sebenarnya bersifat dinamik.

Kegiatan praktikum merupakan kegiatan aplikasi dari teori-teori yang telah


dipelajari untuk memecahkan berbagai masalah IPA melalui percobaan-percobaan di
laboratorium. Pada hakikatnya, kegiatan praktikum di laboratorium mengharapkan
para siswa mencapai tujuan-tujuan berikut.
1. Mengembangkan keterampilan dalam pengamatan, pencatatan data
pengukuran dan memanipulasi alat yang diperlukan serta pembuatan alat-alat
sederhana.
2. Bekerja dengan teliti, cermat dalam mencatat, serta menyusun hasil
percobaannya secara jelas dan obyektif/jujur.
3. Bekerja secara teliti dan cermat serta mengenal batas-batas kemampuannya
dalam pengukuran-pengukuran.
4. Mengembangkan kekuatan penalarannya secara kritik
5. Memperdalam pengetahuan inquiri dan pemahaman terhadap cara pemecahan
masalah.
6. Mengembangkan sikap ilmiah.
7. Memahami, memperdalam dan menghayati IPA yang dipelajarinya.
8. Dapat mendisain dan melaksanakan percobaan lebih lanjut dengan
menggunakan alat dan bahan yang sederhana (Amien, 1987: 95-96).
Dilihat dari sisi teori yang direncanakan bahwa fungsi dan tujuan
pembelajaran kimia telah mengisyaratkan hal yang positif, yaitu untuk mewujudkan
siswa yang dapat menguasai konsep-konsep kimia dan menerapkannya dalam upaya
memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan IPTEK dan dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat. Akan tetapi, harapan dan tuntutan tersebut di
atas akan semakin berat dicapai, karena kenyataan di lapangan masih ditemui bahwa
pembelajaran kimia dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan menjadi momok bagi
peserta didik. Ketidaktahuan peserta didik mengenai kegunaan ilmu kimia dalam
praktik sehari-hari menjadi penyebab mereka lekas bosan dan tidak tertarik pada
pelajaran kimia. Di samping hal itu, strategi pembelajaran kimia yang monoton,

metode pembelajaran yang kurang bervariasi, serta sumber belajar yang terbatas
menyebabkan minat siswa belajar kimia juga rendah.
Dalam kenyataannya proses pembelajaran kimia pada sekolah menengah atas
belum bermakna sesuai dengan harapan. Dapat dikatakan demikian karena diprediksi
dari pemahaman konsep-konsep dasar kimia pada mahasiswa semester awal di
Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selama ini banyak keluhan dan
ketidakpuasan dosen pembimbing praktikum terhadap proses dan hasil belajar
mahasiswa pada Praktikum Kimia Dasar I. Kualitas dan hasil belajar mahasiswa pada
Praktikum Kimia Dasar I yang dinilai belum memuaskan karena kemampuan
mahasiswa dalam membuat bon alat dan bahan kurang, kesiapan mahasiswa sebelum
praktikum rendah, praktikum belum berlangsung secara efektif dan efisien, dan
setelah praktikum penguasaan mahasiswa terhadap konsep yang dipraktikumkan juga
dinilai masih rendah (Sudiana, 2001: 1-2). Hal senada juga dikemukakan oleh dosen
pengampu mata kuliah praktikum kimia analitik. Dikatakannya bahwa keterampilan
mahasiswa melaksanakan praktikum masih rendah dan belum mampu mengaitkan
antara teori yang sudah dipelajari dengan kegiatan praktikum. Informasi dari
mahasiswa yang diperoleh adalah bahwa mereka merasa sulit mengimplementasikan
teori dalam kegiatan praktikum. Dalam pelaksanaan praktikum kimia analitik terjadi
hal-hal yang mestinya tidak perlu terjadi, misalnya, dalam petunjuk menyarankan
agar menghilangkan gas H2S yang ada di dalam larutan dengan cara penguapan. Di
dalam petunjuk tersebut sudah implisit ada kaitan antara gas H 2S dan cara ujinya

sehingga mahasiswa semestinya bisa membuktikan bahwa gas tersebut habis atau
tidak. Namun, kenyataannya mahasiswa tidak tahu cara membuktikan apakah gas H 2S
tersebut sudah habis atau belum, padahal secara teoretis mahasiswa sudah dibekali
teori tentang pengujian asam dan basa. Sementara itu gas H2S adalah gas yang
bersifat asam. Hal-hal yang sejenis sering terjadi sehingga muncul kesan bahwa
mahasiswa bekerja di laboratorium layaknya mengikuti petunjuk resep memasak
(Wiratma dan Selamat, 2005: 1-2).
Peristiwa-peristiwa seperti yang disebutkan di atas sering ditemukan dari
tahun ke tahun pada mahasiswa jurusan pendidikan kimia Undiksha Singaraja,
terutama pada mahasiswa semester awal. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan
awal mahasiswa tentang praktikum kimia, yang diperoleh pada saat di SMA belum
tuntas.
Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab mengembangkan sistem
pengelolaan serta menggunakan kewenangannya menyiapkan SDM unggul lewat
pembenahan sistem pendidikan nasional. UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003,
pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
Sesuai

dengan amanat

perundang-undangan, Departemen

Pendidikan

Nasional, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui


Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, mengembangkan SMA yang

10

berpotensi untuk melaksanakan proses layanan pendidikan yang berkualitas untuk


menghasilkan lulusan yang memiliki potensi dan prestasi berdaya saing secara
nasional maupun internasional. Pelayanan pendidikan yang berkualitas tersebut
diawali dengan program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang
dikembangkan

dengan

memberikan

jaminan

kualitas

kepada

stakeholders

(Depdiknas, 2009: iii).


Tujuan umum pengembangan program Sekolah Menengah Atas Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (SMA RSBI) adalah meningkatkan kinerja sekolah
dalam mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran, untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional secara optimal, dalam mengembangkan manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab, dan memiliki daya saing pada taraf internasional. Untuk
mempersiapkan lulusan sesuai dengan kriteria di atas, sekolah melakukan proses
seleksi terhadap calon siswa program RSBI.
Kriteria SMA RSBI adalah sebagai berikut.
1. Sekolah menengah atas negeri atau swasta yang telah memenuhi standar nasional
pendidikan (SNP) dan terakreditasi A.
2. Kepala sekolah memenuhi standar nasional pendidikan, berkompeten dalam
pengelolaan manajemen mutu pendidikan, serta mampu mengoperasikan
komputer dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
3. Memiliki tenaga pengajar fisika, kimia, biologi, matematika dan mata pelajaran
lainnya yang berkompeten dalam menggunakan ICT dan pengantar bahasa
Inggris.
4. Tersedia sarana prasarana yang memenuhi standar untuk menunjang proses
pembelajaran bertaraf internasional antara lain :
a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, Biologi)

11

b.
c.
d.
e.
f.
5.
6.
7.
8.
9.

Memiliki perpustakaan yang memadai


Memiliki laboratorium komputer
Tersedia akses internet
Memiliki web sekolah
Memiliki kultur sekolah yang kondusif (bersih, bebas asap rokok, bebas
kekerasan, indah dan rindang).
Memiliki dana yang cukup untuk membiayai pengembangan program rintisan
SMA bertaraf internasional.
Penyelenggaraan sekolah dalam satu shift.
Jumlah rombongan belajar pada satu satuan pendidikan minimal 9 (sembilan)
atau setara dengan 288 siswa.
Memiliki lahan minimal 10.000 m2.
Memiliki akses jalan masuk yang mudah dilalui oleh kendaraan roda empat
(Depdiknas, 2009: 8).
Salah satu persyaratan yang sudah ditetapkan dan diberlakukan di antaranya

menyatakan bahwa untuk menunjang dan mencirikan sekolah sebagai sekolah rintisan
bertaraf internasional adalah penggunaan dua bahasa dalam pembelajaran MIPA yang
di dalamnya termasuk pelajaran kimia. Penggunaan dua bahasa tersebut yaitu
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran.
Sementara itu, guru yang mengajar belum dipersiapkan untuk melaksanakan
pembelajaran dengan dua bahasa. Dengan kondisi itu ada kekhawatiran bahwa
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam menjelaskan ilmu kimia
kemungkinan pemahaman konsep kimia pada siswa kurang bagus, malah bisa jadi
penjelasan ilmu kimia dengan bahasa Inggris tidak dipahami dengan baik oleh siswa.
Pro dan kontra tentang RSBI dalam dunia maya cukup menarik untuk
dipaparkan sebagai sebuah wacana umum mengenai kebijakan pendidikan. Dalam
wacana tersebut dikemukakan bahwa berkenaan dengan kebijakan RSBI memiliki
problema empirik. Ada yang menyatakan RSBI sebagai rintisan sekolah bertarif

12

internasional. Kritik yang disampaikan menilai bahwa sekolah bertaraf internasional


cenderung mahal atau biaya tinggi, sementara kualitasnya belum sesuai dengan biaya
yang harus dikeluarkan. Penggunaan kata internasional sering melupakan potensi
daerah atau lokal, bisa jadi jauh lebih unggul dari kata internasional itu sendiri,
sehingga banyak orang asing yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari
keragaman budaya di negeri ini. Ada yang berpendapat bahwa RSBI berpeluang
membuat orang Indonesia menyembah-nyembah budaya asing dan seolah-olah
sekolah di Indonesia tidak lebih hebat daripada sekolah mereka.
Di lain pihak ada wacana yang mendukung kebijakan RSBI dengan
menyatakan bahwa kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu
bersaing dalam dunia global. Anak-anak di Indonesia tidak kalah dengan anak-anak
dari negara lain. Siswa-siswa sekolah di Indonesia lebih berani mencoba hal-hal baru,
dan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran di
dunia internasional. Indonesia adalah bangsa yang besar, masyarakat Indonesia harus
bangga dengan predikat ini. Kalau Malaysia saja dulu belajar dari Indonesia, kenapa
anak Indonesia sekarang yang belajar kepada mereka, tentu ada sesuatu yang harus
dibenahi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jangan biarkan ana-anak Indonesia
lebih percaya belajar di luar negeri daripada belajar di negerinya sendiri
(http://www.kompasiana.com/wijayalabs diunduh 4 januari 2010). Pro dan kontra
mengenai kebijakan pendidikan tentang RSBI, yang terjadi dalam diskusi dunia
maya, sangat mendukung perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam
mengenai kebijakan tersebut.

13

Atmadja (2010: 2) menyatakan kefavoritan RSBI berkaitan erat dengan


karakteristiknya, yakni berbeda daripada sekolah non RSBI. Dalam tulisannya
Atmadja menyatakan sebagai berikut.
Sekolah bertaraf internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang
komponen-komponennya memiliki taraf internasional. Sekolah bertaraf
internasional adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan dengan
menggunakan standar nasional pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan
standar salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) dan /atau negara lainnya.
Tujuan umum SBI adalah meningkatkan kinerja sekolah dalam mewujudkan
situasi belajar dan proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional secara optimal dalam mengembangkan manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab, dan memiliki daya saing pada taraf internasional.
Sedangkan tujuan khusus SBI adalah meningkatkan mutu pelayanan
pendidikan dalam menyiapkan lulusan SMA yang memiliki kompetensi
seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan yang memenuhi
standar kompetensi lulusan berdaya saing pada taraf internasional yang
memiliki karakter sebagai berikut. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta berakhlak mulia. Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani.
Meningkatkan mutu lulusan dengan standar lebih tinggi daripada standar
kompetensi lulusan nasional. Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
(Atmadja, 2010: 2; Depdiknas, 2009: 6-9).
Berdasarkan kutipan di atas, secara tekstual RSBI sangat tepat bagi
pencapaian tujuan pendidikan nasional, yakni mewujudkan manusia Indonesia yang
terdidik yang berkualitas tinggi, baik pada tatanan nasional maupun global.
Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika RSBI menjadi idola bagi orang tua
murid, sehingga menjadi sangat laris. Namun, di balik kelarisan RSBI, kuatnya asas
legalistik yang mendukungnya, harapan dan kebanggaan atas prestasi dan prestise

14

yang melekat pada RSBI maka menarik dikaji secara dekonstruktif. Menurut Atmadja
(2010: 3-4) bahwa dengan berpegang pada teori kritis maka RSBI sebagai suatu
realitas ada kemungkinan mengandung penindasan, ketidakadilan, peminggiran atau
pemarginalan yang dilakukan oleh kelas sosial atas, terhadap kelas bawah atau kelas
kaya terhadap kelas miskin. Peminggiran itu tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang
melandasinya. Ideologi tidak saja dianut oleh negara, masyarakat bisnis dan
masyarakat sipil, tetapi bisa pula menjalar ke sekolah-sekolah bagian dari negara
sebagai struktur dominan.
Upaya

pengkajiannya

dilakukan

melalui

membedah

pengelolaan

pembelajaran kimia pada SMA yang berstatus RSBI di Provinsi Bali. Pelajaran kimia
ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran yang diunggulkan dalam program RSBI
disamping beberapa mata pelajaran yang lain seperti matematika, fisika, biologi dan
bahasa Inggris. Pelajaran kimia di mata siswa dan pendapat umum menyatakan relatif
sulit dibandingkan dengan beberapa mata pelajaran yang lain. Demikian pula banyak
guru mata pelajaran kimia berdasarkan pengalamannya mengajar menyatakan agak
kesulitan menanamkan konsep-konsep kimia agar mencapai ketuntasan belajar.
Namun demikian dalam kenyataannya di SMA yang berstatus RSBI hasil belajar
kimia sangat baik jika dilihat dari hasil ujian nasional maupun prestasi dalam lombalomba ilmu kimia.
Berdasarkan studi pendahuluan di beberapa SMA di Bali yang dilakukan
dengan mewawancarai beberapa guru kimia yang berasal dari sekolah yang berbeda
diperoleh informasi yang bervariasi. Materi wawancara diarahkan mengenai

15

pelaksanaan pembelajaran kimia di kelas dan pelaksanaan praktikum kimia di


laboratorium. Informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut.
1. Guru kimia di SMA yang berada di kota berkatagori rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI) menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran praktikum
kimia sudah sesuai dengan yang direncanakan, baik jumlah praktikum
maupun jenis praktikum yang dilakukan.
2. Guru kimia di SMA yang berada di kota berkatagori rintisan sekolah katagori
mandiri (RSKM) menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran praktikum
kimia sebagian besar dapat dilaksanakan walaupun masih ada beberapa materi
praktikum belum terlaksana, dengan alasan kekurangan bahan dan
keterbatasan alat.
3. Guru kimia di SMA yang berada di kecamatan berkatagori RSKM
menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran praktikum sangat minim
dilakukan, karena keterbatasan alat dan bahan dan juga ruangan laboratorium
yang digunakan bersama dengan mata pelajaran IPA yang lain. Disebutkan
juga bahwa praktikum yang cukup merepotkan tidak banyak berkontribusi
untuk ujian nasional
4. Guru kimia di SMA yang berkatagori sekolah standar nasional menyatakan
bahwa pelaksanaan praktikum sangat minim dilakukan, karena keterbatasan
ruang alat dan bahan.

16

Sementara itu, pelajaran kimia pada jenjang SMA pada dasarnya


menggunakan kurikulum yang sama yaitu KBK dengan pengimplementasiannya
melalui KTSP, dan tuntutan kompetensi yang dituju juga sama. Jika dicermati
ternyata proses pembelajaran praktikum kimia yang terjadi pada jenjang satuan
pendidikan yang sama terjadi perbedaan yang sangat berbeda antara SMA yang satu
dengan yang lain.
Hasil wawancara mengenai pembelajaran kimia di kelas diperoleh informasi
bahwa guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak berpatokan pada rencana
persiapan pembelajaran (RPP) yang disusun, tetapi beracuan pada buku teks dan
lembar kegiatan siswa (LKS) yang dibawa ke dalam kelas. Sementara itu RPP yang
disusun oleh guru digunakan untuk memenuhi kewajiban administrasi sekolah.
Informasi di atas menandakan bahwa guru dalam menjelaskan materi ajar mengikuti
alur yang dipaparkan di dalam buku teks, tidak berdasarkan rencana pembelajaran
yang disusun. Keadaan ini menarik untuk ditelusuri lebih mendalam sehingga
diperoleh penjelasan yang akurat dan makna yang ada dibalik gejala tersebut.
Di lain pihak guru menyatakan bahwa metode pembelajaran yang banyak
diterapkan dalam pembelajaran kimia adalah metode ceramah dan latihan soal.
Beberapa guru kimia sangat jarang menggunakan metode-metode inovatif yang
merangsang siswa untuk aktif, kreatif, dan kritis. Alasan yang dikemukakan oleh para
guru adalah karena siswa tidak menyiapkan diri menghadapi pelajaran, siswa tidak
belajar sebelum mendapatkan pembelajaran, karena itu maka guru harus menjelaskan

17

materi ajar dengan ceramah dan diselingi pertanyaan-pertanyaan dan dilanjutkan


dengan latihan soal-soal.
Jika informasi yang disampaikan oleh beberapa guru kimia yang dikemukakan
di atas dicermati, maka fenomena itu menarik untuk dibedah lebih lanjut akar
permasalahannya, faktor yang mempengaruhi, mutu yang dihasilkan, dan gagasan
yang ada dibalik semua gejala itu.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, ternyata pelaksanaan
proses pembelajaran kimia di SMA tidak berjalan seperti yang direncanakan, ada
perbedaan di antara sekolah satu dan sekolah lain. Proses pembelajaran kimia selain
pembelajaran teori semestinya sebagian didukung dengan pengalaman praktis melalui
kegiatan praktik laboratorium. Di samping hal tersebut pembelajaran di kelas tidak
berpatokan pada RPP yang dibuat tetapi berpedoman pada buku teks. Demikian pula
metode pembelajaran di kelas didominasi dengan metode ceramah dan latihan soalsoal. Melihat fenomena tersebut di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kualitas pengelolaan pembelajaran kimia pada SMA RSBI di
Provinsi Bali pada dewasa ini ?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kualitas pengelolaan
pembelajaran kimia pada SMA RSBI di Provinsi Bali pada dewasa ini?

18

3. Apakah dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia yang berkualitas


pada SMA RSBI di Provinsi Bali pada dewasa ini?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mengkaji dan membedah
fenomena pengelolaan proses pembelajaran kimia pada SMA RSBI di Provinsi Bali
agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas. Dengan melakukan pengkajian yang
mendalam diharapkan mendapat gambaran/potret pengelolaan pembelajaran kimia
pada SMA RSBI di Provinsi Bali. Potret pengelolaan pembelajaran kimia ini dapat
digunakan sebagai refleksi untuk dapat dirujuk, diperbaiki atau dikembangkan dalam
pengelolaan pembelajaran kimia di sekolah lain.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan kualitas pengelolaan pembelajaran
kimia pada SMA RSBI di Provinsi Bali.
2. Untuk mengungkap serta memahami lebih mendalam faktor faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran kimia pada SMA RSBI di
Provinsi Bali.
3. Untuk menjelaskan dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia yang
berkualitas pada SMA RSBI di Provinsi Bali.

19

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoretis dan praktis
bagi peningkatan kualitas pendidikan dan ilmu pengetahuan. SMA RSBI pada
dasarnya adalah SMA yang sudah melaksanakan SNP + X. Sementara itu, SMA yang
bukan RSBI adalah SMA dalam kerangka pelaksanaan dan pengembangan SNP. Oleh
karena itu, temuan yang diperoleh di SMA RSBI sangat relevan untuk dimanfaatkan
pada SMA yang lain.

1.4.1 Manfaat Teoretis


1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kerangka konseptual yang lebih
jelas mengenai pengelolaan proses pembelajaran kimia di SMA. Kerangka
konseptual yang dimaksud adalah hal-hal penting atau faktor- potensial yang
berpengaruh yang menyebabkan proses pembelajaran kimia menjadi
berkualitas. Kerangka konseptual ini nantinya dapat dipakai acuan dalam
mengupayakan peningkatan kualitas pengelolaan proses pembelajaran kimia
di sekolah lain.
2. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai acuan teoritis untuk peningkatan
kualitas penyelenggaraan/pengelolaan pendidikan di sekolah. Kualitas
pengelolaan pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat sentral di

20

dalam

menentukan

mutu

sekolah.

Kualitas

pengelolaan

pendidikan

mempengaruhi kualitas pengelolaan proses pembelajaran. Mekanisme yang


dibangun di dalam pengelolaan sekolah memberikan arah dan sekaligus
mengharap tagihan kepada pengelola proses pembelajaran

sesuai dengan

tujuan yang ditetapkan sekolah.


1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk
pengambilan kebijakan terhadap pelaksanaan proses pembelajaran kimia di
sekolah. Hasil penelitian yang berkaitan dengan kualitas pengelolaan proses
pembelajaran kimia cendrung memberikan gambaran yang lebih jelas tentang
kaitan antara hal yang satu dengan hal lain. Keterkaitan itu menjadikan sebuah
sistem bekerja yang kemudian menghasilkan sebuah produk yang dapat
dinilai. Penjelasan bekerjanya sistem yang dalam hal ini adalah pengelolaan
proses pembelajaran kimia, dapat dipertimbangkan dalam mengambil
kebijakan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai pedoman untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran kimia di sekolah. Potret pengelolaan proses
pembelajaran kimia yang diperoleh menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas, dan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan
tersebut. Hasil ini tentunya ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat
negatif, baik yang menyangkut teknis dan non teknis. Oleh karena itu maka,

21

hasil penelitian ini dapat dipakai pedoman pengelolaan proses pembelajaran


kimia di sekolah.
3. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam bentuk laporan
penelitian, artikel ilmiah tentang potret pengelolaan proses pembelajaran
kimia pada SMA RSBI di Provinsi Bali, serta untuk memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan. Informasi ilmiah dalam bentuk laporan penelitian dan
artikel ilmiah mengenai gambaran kualitas pengelolaan proses pembelajaran
kimia di sekolah sangat bermanfaat untuk peningkatan kualitas pembelajaran
kimia, pengembangan dalam ilmu pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan secara umum.

Anda mungkin juga menyukai