Sri Nuryanti 1
Abstrak
Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk mengkaji aspek finansial,
yaitu biaya dan pendapatan usahatani tebu dengan variasi jenis lahan,
luas garapan, dan pola tanam. Analisa komparatif dilakukan terhadap
biaya dan pendapatan usahatani tebu antara sawah dan tegalan, luas
garapan kurang dari satu dan lebih dari satu hektar, serta pola tanam
tanam awal dan keprasan. Sampel ditentukan secara sengaja menurut
lokasi jenis lahan (Bantul untuk sawah dan Klaten untuk tegalan).
Disimpulkan bahwa usahatani tebu di lahan sawah lebih lebih
menguntungkan diusahakan pada luasan lebih dari satu hektar dengan
pola tanam awal. Sebaliknya di tegalan lebih menguntungkan pada
lahan kurang dari satu hektar dengan pola keprasan. Implikasinya,
acceleration program akan berhasil apabila diterapkan secara luas
dengan pola tanam awal pada lahan sawah.
Kata kunci: Tebu, sawah, tegalan, biaya, pendapatan.
105
Abstract
This study was an investigation on financial aspect (cost and benefit) of sugar
cane farming within land type using, holding size, and cultivation method
variations. Comparative analysis was conducted on cost and benefit between
wet and dry field, less and more than a hectare area, and plant cane and ratoon
cultivation method. Purposive sampling was performed regarding to field type
site (wet field at Bantul and dry field at Klaten). It was concluded that, sugar
cane farming in wet field was more feasible done extensively by plant cane
method. On the other hand, it was more feasible done on leass than a hectare
area by ratoon method. The result implied that acceleration program supposed to
be done on large wet field area by plant cane method.
Key words: Sugar cane, wet field, dry field, benefit, cost.
PENDAHULUAN
Kemerosotan produktivitas tanaman tebu/gula yang dialami sejak
pemberlakuan Inpres nomor 9/1975 tentang program Tebu Rakyat
Intensifikasi masih terasa dampaknya sampai saat ini. Tidak
terpenuhinya kebutuhan bahan baku dan berujung pada ditutupnya
sepuluh pabrik gula (PG) di Jawa merupakan salah satu bukti nyata
bahwa penurunan produktivitas masih tersebut terus berlangsung.
Kebijakan baru di sektor usahatani tebu di lahan kering belum
sepenuhnya menunjukkan keberhasilan meningkatkan produktivitas
tebu/gula.
Pencanangan program akselerasi peningkatan produktivitas industri
dula nasional dengan rencana kenaikan gula dari 1.8 juta ton tahun 2002
menjadi 3 juta ton pada tahun 2007, kenaikan areal tebu dari 346 000
hektar menjadi 380 000 hektar, dan kenaikan produktivitas gula dari 5
ton menjadi 8 ton tentunya memerlukan angka-angka akurat disertai
skenario pencapaian yang layak (Mubyarto, 2003). Berbagai penelitian
terhadap komoditas tebu maupun gula sudah banyak dilakukan,
mengingat gula merupakan komoditas strategis dan sangat penting
peranannya bagi perekonomian Indonesia. Dikatakan demikian karena
setiap intervensi pemerintah dalam rangka mengembangkan industri
gula perlu diikuti oleh campur tangan pemerintah pada pengembangan
106
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Responden
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan
perbedaan karakteristik jenis lahan, yaitu lahan beririgasi (sawah)
terletak di Kabupaten Bantul DI Yogyakarta dan lahan tidak beririgasi
(tegalan) terletak di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Berdasarkan jenis
lahan, sampel dibedakan menurut pola tanam, yaitu tanam awal dan
keprasan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data
biaya dan pendapatan usahatani dikumpulkan melalui wawancara
dengan acuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan (kuesioner).
B. Metode Analisa
Data usahatani tebu yang diperoleh dikelompokkan menurut jenis lahan
asal responden. Berdasarkan jenis lahan, dibedakan menurut pola
tanamnya. Selain perbedaan pola tanam secara agregat dibandingkan
107
y =1
x =1
Py.Y
y =1
m
Px.X
x =1
108
Sawah (n = 26)
Tegalan (n = 22)
Nilai
Nilai
Biaya
Saprodi
1.990.717
23,1
1.323.003
24,4
Tenaga Kerja
5.462.851
63,5
3.172.643
58,5
Lain-lain
1.148.013
13,3
931.348
17,2
TOTAL
8.601.581
100
5.426.992
100
Pendapatan
15.431.515
Keuntungan
6.829.934
10.829.137
79,4
5.402.145
99,5
1,794032
1,995422
B/C Ratio
Sumber: Data primer, 2003 (diolah).
Catatan: rendemen sawah 6,05 dan rendemen tegalan 6,1
Sementara pada lahan sawah biaya sewa lahan sebesar 12.7% dari total
biaya. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa tebu lebih
banyak diusahakan petani penyewa lahan. Sementara dengan melihat
perbandingan alokasi biaya, tersirat bahwa biaya sewa lahan sawah
lebih mahal daripada tegalan, sehingga lebih sedikit proporsi petani
yang menyewa sawah daripada tegalan. Nilai B/C ratio usahatani tebu
di tegalan lebih besar (1,995422) dibandingkan di lahan sawah, yaitu
sebesar 1,794032. Artinya usahatani tebu di tegalan lebih
menguntungkan dibandingkan di lahan sawah.
B. Tanam Awal vs Keprasan
Tebu yang diusahakan di Yogyakarta meliputi dua pola tanam, yaitu
tanam awal dan keprasan. Pola keprasan lebih banyak dilakukan di
wilayah Yogyakarta. Karena usahatani tebu di lahan sawah dengan pola
tersebut masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola tanam
awal (Tabel 2).
Selain alasan mahalnya biaya bibit untuk pola tanam awal, biaya yang
harus dikeluarkan untuk upah tenaga kerja selama budidaya tebu juga
lebih besar. Biaya saprodi pada pola tanam awal mencapai 28.5% dari
total biaya, sementara untuk pola keprasan hanya 22.4% dari total biaya.
109
Tanam Awal (n =
Nilai
/ )
28,5
1.854.003
22,4
6.992.501
70,6
4.668.939
56,3
87.119
0,9
1.772.069
21,3
TOTAL
9.902.750
100
8.295.011
100
Pendapatan
Keuntungan
16.399.52
4
6.496.774
B/C Ratio
1,656058
Nilai
/ )
Saprodi
2.823.130
Tenaga Kerja
Keprasan (n = 16)
Biaya
Lain-lain
14.862.098
65,6
6.567.087
79,2
1,791691
Alokasi biaya untuk saprodi dan tenaga kerja pada pola tanam awal
mencapai 99.1 persen. Sementara biaya di luar itu (sewa, iuran, dan
pajak) bahkan kurang dari satu% dari total biaya. Hal ini menunjukkan
pola tanam awal di lahan sawah umumnya dilakukan oleh petani
pemilik penggarap, sehingga keseluruhan biaya tercurah pada budidaya
tanaman. Sementara pada pola tanam keprasan biaya saprodi dan tenaga
kerja hanya sebesar 78.6% dari total biaya, sisanya (21.4%) dialokasikan
110
untuk biaya sewa, pajak, dan iuran. Fenomena ini menunjukkan bahwa
usahatani tebu dengan pola keprasan dilakukan para petani bermodal
yang mengusahakannya secara luas (skala besar) dengan menyewa
lahan petani lain karena dianggap menguntungkan.
Pendapatan usahatani tebu pola tanam awal rata-rata sebesar Rp 16.4
juta per hektar, sementara pada pola keprasan pendapatannya sebesar
Rp 14.9 juta/ha. Besarnya pendapatannya ini sangat terkait dengan
tingkat rendemen tebu yang dihasilkan. Produktivitas tebu yang
ditanam sejak awal rata-rata sebesar 954 ku tebu/ha, sementara tebu
yang dikepras sebesar 917 ku tebu/ha. Namun dalam perhitungan
keuntungan, rata-rata keuntungan pola tanam awal lebih rendah, yaitu
sebesar Rp 6.5 juta/ha (65.6% dari biaya), sementara untuk pola
keprasan sebesar Rp 6.6 juta/ha (79.2% dari biaya). Artinya, pola
keprasan lebih menguntungkan untuk dilakukan di lahan sawah.
Terdapat penghematan biaya bibit dan tenaga kerja.
Berdasarkan analisa cost benefit dari kedua pola tanam tebu di lahan
sawah, tampak bahwa biaya usahatani tebu pola keprasan di Yogyakarta
rata-rata sebesar Rp 9.9 juta per hektar, sementara dengan sistem
keprasan hanya Rp 8.3 juta/ha. Biaya pembelian bibit mencapai 16%
biaya dari total biaya. Apabila diasumsikan petani menggunakan dosis
yang sama untuk pupuk dan pestisida pada pola tanam awal dan
keprasan, maka petani hanya membutuhkan sembialan% dari total biaya
untuk mengganti tanaman yang mati apabila mempraktekkan pola
keprasan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan pola
tanam awal lebih kecil (1,656058) daripada keprasan, yaitu sebesar
1,791691. Artinya usahatani tebu di lahan sawah lebih menguntungkan
diusahakan secara keprasan.
Secara finansial terdapat kecenderungan yang sama pada usahatani tebu
di tegalan di daerah Klaten (Tabel 3). Biaya usahatani tebu di tegalan
yang diusahakan dengan pola tanam awal, 21.2% dari total biayanya
digunakan untuk penyediaan saprodi. Alokasi biaya tersebut, 9.5%
digunakan untuk membeli bibit. Biaya penyediaan saprodi untuk pola
keprasan justru mencapai 24.9% dari total biaya. Persentase sebesar itu,
5.3% dialokasikan petani untuk membeli pupuk urea. Petani
berpendapat, karena tegalan tidak subur, maka diperlukan urea agar
tanaman tebu tumbuh subur, sehingga beratnya bertambah.
111
Tabel 3.
Tanam Awal (n = 2)
Keprasan (n = 20)
Nilai
Saprodi
1.851.375
21,2
1.270.165
24,9
Tenaga Kerja
4.870.000
55,8
3.002.906
58,9
Lain-lain
2.000.000
23,0
824.482
16,2
TOTAL
8.721.375
100
5.097.553
100
Pendapatan
11.874.31
Keuntungan
3.152.941
B/C Ratio
1,361519
Nilai
Biaya
10.724.619
36,2
5.627.066
110,4
2,103876
Perbedaan alokasi biaya untuk tenaga kerja pada kedua pola tanam di
tegalan tidak cukup signifikan. Pola tanam awal memerlukan 55.8% dari
total biya, sementara untuk pola keprasan memerlukan 58.9% dari total
biaya. Perbedaan alokasi biaya yang cukup besar terjadi pada kegiatan
pengolahan tanah. Pola tanam awal, umumnya dilakukan dengan
mempersiapkan got, guludan, dan bedengan sebagai sarana drainase
dan media tanam.
Berbeda dengan petani di lahan sawah, petani lahan kering umumnya
adalah petani penyewa penggarap. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya
alokasi biaya sebesar sewa sebesar 22.9% dari total biaya pada pola
tanam awal dan 15.6% dari total biaya pada pola keprasan. Artinya, sifat
usahatani tebu yang intensif memerlukan biaya yang besar, sehingga
hanya petani yang mempunyai cukup modal yang tertarik untuk
mengusahakannya, meskipun dengan cara menyewa lahan.
Secara umum, usahatani tebu dengan pola tanam awal pada tegalan di
wilayah Kabupaten Klaten rata-rata memerlukan biaya sebesar Rp 8.7
juta per hektar, sementara untuk pola keprasan rata-rata mencapai Rp
5.1 juta/ha. Perbedaan biaya yang cukup besar tersebut merupakan
112
113
Biaya
(Rp/Ha)
Pendptan
(Rp/Ha)
Keuntunga
n (Rp/Ha)
Produktvta
s(Ku/Ha)
B/C
Ratio
Tanam awal
9.902.75
16.399.524
6.496.774
954
1,66
Keprasan
8.295.01
14.862.098
6.567.087
917
1,79
7.876.57
14.739.073
6.862.502
912
1,87
7.869.36
14.806.017
6.936.650
886
1,88
8.601.58
15.431.515
6.829.934
935
1,79
Tanam awal
8.721.37
11.874.316
3.152.941
713
1,36
Keprasan
5.097.55
10.724.619
5.627.066
463
2,10
5.298.82
11.874.316
4.782.342
609
2,24
4.446.89
10.081.167
5.253.567
489
2,27
6.909.46
11.299.468
4.390.004
588
1,64
Lahan sawah
Kepras 1-3
Kepras > 3
Tegalan
Kepras 1-3
Kepras > 3
114
115
Jenis lahan
Biaya
(Rp/Ha)
Pendapatan
(Rp/Ha)
Keuntungan
(Rp/Ha)
B/C Ratio
< 1 Ha
9.403.705
16.363.170
6.959.464.
1,74
> 1 Ha
7.443.828
14.629.854
7.186.025
1,97
-20,8
-10,6
3,3
0,51
< 1 Ha
4.349.183
9.516.344
5.167.161
2,19
> 1 Ha
6.281.625
11.711.261
5.429.636
1,86
44,4
23,1
5,1
0,52
Lahan
Perubahan
Tegalan
Perubahan
Menurut Irawan dan Budiman (1991), kondisi ekonomi skala usaha pada
dasarnya terjadi karena perbedaan produktivitas masukan usahatani
yang dapat disebabkan oleh pengaruh ketersediaan irigasi atau kualitas
bibit yang digunakan. Usahatani tebu yang memiliki produktivitas
masukan lebih tinggi, ekonomi skala usaha yang masih menguntungkan
akan terjadi pada ukuran usahatani yang lebih luas. Sejalan dengan hasil
penelitian Irawan dan Budiman (1991), tampak jelas apabila
dibandingkan antara tanaman tebu tanam awal di lahan sawah dan
tanaman tebu keprasan di tegalan. Tanaman tebu tanam awal di lahan
116
117
keprasan lebih dari empat kali bahkan sampai sepuluh kali. Selain itu,
dalam kegiatan penyulaman, petani hanya menggunakan pucuk tebu
dan jarang menggunakan bibit baru dengan alasan lebih murah.
Penyebab kedua adalah kegiatan pemupukan yang dilakukan petani
untuk tebu di lokasi penelitian sangat rendah dibandingkan dosis pupuk
yang dianjurkan. Dosis pemupukan tebu yang dilakukan petani di lokasi
penelitian masih 2045% di bawah dosis anjuran, sehingga berakibat
pada penurunan produktivitas. Petani di Yogyakarta rata-rata memupuk
tanaman tebu di lahan sawah dengan dosis urea sebesar 586 kg/ha, ZA
sebesar 702 kg/ha (87.8%), KCl sebesar 126 kg/ha (63%), dan SP-36 127
kg/ha (63.5%). Berdasarkan kumulatif dosis yang dianjurkan petani tebu
di Yogyakarta hanya menggunakan 79.6% dari dosis anjuran.
Sementara petani di Klaten rata-rata memupuk tanaman tebu di tegalan
dengan dosis urea sebesar 100 kg/ha, ZA sebesar 472 kg/ha (59%), KCl
sebesar 90 kg/ha (45%), dan SP-36 sebesar 100 kg/ha (50%). Secara
kumulatif, dosis pemupukan yang dilakukan petani tebu di Klaten
sebesar 55% dari dosis anjuran. Dosis pemupukan tebu yang dianjurkan
adalah 800 kg/ha ZA, 200 kg/ha KCl, dan 200 kg/ha SP-36. Petani justru
menggunakan pupuk urea dengan maksud untuk menambah berat tebu
dan meningkatkan rendemen. Namun, kenyataanya berat maupun
rendemen yang diharapkan tidak meningkat, ditunjukkan oleh
produktivitas tebu yang semakin menurun.
Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disusun suatu tabel
rangkuman perbandingan nilai B/C ratio berbagai variasi sebagai
disajikan pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa menurut jenis lahan usahatani
tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada
tegalan, khususnya apabila diusahakan dengan pola tanam awal pada
skala usaha lebih dari satu hektar. Namun, berdasarkan pola tanam, baik
di lahan sawah maupun tegalan, keprasan lebih menguntungkan dan
layak diusahakan bahkan lebih dari tiga kali pada skala usaha kurang
dari satu hektar. Kenyataan pada petani dan temuan empiris kelayakan
usaha ini bertolak belakang dengan teori yang direkomendasikan P3GI.
Secara umum peningkatan skala usaha akan lebih menguntungkan
dilakukan pada lahan sawah dan dapat meningkatan kelayakan finansial
lebih dari 50%.
118
Pola Tanam
Sawah
Tegalan
Tanam
np
pn
Keprasan
nn
pp
Kepras 1-3
nn
pp
Kepras > 3
nn
pp
np
pn
Tanam
pp
nn
Keprasan
pn
np
Kepras 1-3
pn
np
Kepras > 3
pn
np
pp
nn
Rata-rata
Luas (> 1 Ha)
Rata-rata
119
insentif bagi petani tebu yang menyediakan bahan baku industri gula
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 19972002. Klaten Dalam Angka Tahun 19982001.
BPS Kabupaten Klaten.
Badan Pusat Statistik. 19982001. Yogyakarta Dalam Angka 19982001. BPS
Propinsi DI Yogyakarta.
Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan
Publishing Co.
Irawan, B. dan Budiman H. 1991. Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan
dan Ekonomi Skala UsahaTani Tebu di Jawa Timur. JAE, Volume 10,
Nomor 1 dan 2, Oktober 1991. Hal. 73 90.
Ismail, N.M. 2001. Peningkatan Industri Daya Saing Gula Nasional Sebagai
Langkah MenujuPersaingan Bebas. ISTECS Journal, II (2001). Hal 314.
Mubyarto. 2003. Penelitian Kebijakan untuk Mendukung Akselerasi
Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. Makalah
disampaikan
pada
Workshop
Strategi
Penelitian
dan
Pengembangan untuk Memacu Program akselerasi Peningkatan
Produktivitas Industri Gula Nasional. 16 Juli 2003, LPP
Yogyakarta.
Rahmat, M. 1999. Profil Tebu Rakyat di Jawa Timur. JAE Vol. II/ No. 2/
Okt 1992. Hal. 39 57.
Rusastra, I.W., Achmad S, dan Ali A.N. Amsari. 1999. Keunggulan
Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional. Ekonomi
Gula di Indonesia. IPB. Hal. 427 479.
Simatupang, P. 1999. Nizwar S, Farida Liestijati. 1999. Keterkaitan antar
Industri dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional. Ekonomi Gula
di Indonesia. IPB. Hal. 21 68.
Soentoro, Novi I, Abdul Muis SA. 1999. Usahatani dan Tebu Rakyat
Intensifikasi di Jawa. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 69 130.
120