Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG
Ensefalomielitis Diseminata Akut ( Acute Disseminated Encephalomyelitis

/ ADEM ) adalah penyakit inflamasi imunologis pada sistem saraf pusat (SSP)
yang mengakibatkan lesi demielinasi multifocal yang mempengaruhi grey matter
dan white matter dari otak dan sumsum tulang belakang, yang biasanya didapat
setelah adanya infeksi atau vaksinasi. ADEM merupakan penyakit monofasik,
yang umumnya terkait dengan penolakan antigen (infeksi atau vaksinasi), yang
diyakini sebagai pemicu untuk respon inflamasi yang mendasari penyakit ini,
karena reaksi silang antara alergi atau autoimun yang menyerang myelin dengan
protein virus. Meskipun tidak terbatas pada infeksi virus, namun pada umumnya
penyakit ini muncul setelah penderita terinfeksi measles, varicella dan rubella.
Hal ini paling sering terlihat pada populasi anak dan dewasa muda namun dapat
terjadi pada setiap usia.1,2,3
Penyakit ini jarang ditemukan, terdapat sekitar 3-6 kasus ADEM per tahun
di pusat kesehatan di US, UK dan Australia.4,5,6
Di India dan negara- negara berkembang lainnya ADEM merupakan
kondisi neurologis umum, mungkin karena tingginya prevalensi infeksi
penyebab.2
Pasien datang dengan gejala dan defisit neurologi fokal biasanya dalam 1
sampai 3 minggu setelah infeksi virus atau vaksinasi. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan riwayat klinis dan analisis CSF, yang sering menunjukkan
limfositosis (sering kali meningkat hinnga beberapa ratus sel) dan peningkatan
myelin protein dasar. Perubahan ECG non spesifik dan CT Scan mungkin normal
sehinnga tidak terlalu membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang terbaik yang dapat menegakkan diagnosis yaitu dengan brain MRI.

Tindak lanjut MRI ini sangat membantu dalam membedakan ADEM dari suatu
episode Multiple Sclerosis (MS), karena gambaran klinis, analisis cairan
serebrospinal, histopatologi dan penampilan neuroimaging yang sangat mirip.2,3,4,7

1.2

BATASAN MASALAH
Pembahasan laporan kasus ini dibatasi pada anatomi otak, definisi ADEM,

epidemiologi, patogenesis, patologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan


penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi dari
Ensefalomielitis Diseminata akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis /
ADEM).

1.3

TUJUAN PENULISAN
Penulisan laporan kasus ini salah satunya adalah untuk menambah

wawasan para pembaca khususnya dikalangan dokter umum, dokter muda dan
paramedis dalam mengenali penyakit Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute
Disseminated Encephalomyelitis/ADEM) dimana kasusnya sangat jarang dan juga
sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian neurologi
RSUD.Dr.H.Kumpulan Pane Tebing Tinggi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Acute Disseminated Encephalomielitis (ADEM)
2.1

DEFINISI
Ensefalomielitis

Diseminata

Akut

(Acute

Disseminated

Encephalomyelitis/ADEM) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan


terjadinya demielinasi peradangan akut multifokal pada Sistem Saraf Pusat (SSP),
bersifat monofasik dan dapat terjadi setelah infeksi virus atau imunisasi, sehingga
disebut juga ensefalomielitis pasca infeksi.7,8

2.2

ANATOMI OTAK
Otak merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang terletak di kavum

kranii. Otak dibentuk oleh kavum neuralis yang membentuk 3 gelembung


embrionik primer, yaitu prosensefalon, mesensefalon, rhombensefalon, untuk
selanjutnya berkembang membentuk 5 gelombang embrionik sekunder, yaitu
telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon dan myelensefalon.
Telensefalon

membentuk

hemisfer

serebri,

korteks

serebri.

Diensefalon

membentuk epithalamus, thalmus, hipothalamus, subthalamus, dan methatalmus.


Di dalam diensefalon terdapat rongga, ventriculus tertius yang berhubungan
dengan ventriculus lateralis melalui foramen interventriculare. Mesensefalon
membentuk corpora quadgemina dan crura cerebri, dalam mesensefalon terdapat
kanal sempit aquaductus sylvii yang menghubungkan ventriculus tertius dengan
ventriculus quartus. Metensefalon membentuk serebelum dan pons, sedangkan
myelensefalon membentuk medulla oblongata.9

Gambar 2.1.Anatomi Otak Manusia


Berat otak saat lahir 350 gram, dan berkembang hingga saat dewasa
seberat 1400- 1500 gram. Otak dibungkus oleh meningean yang terdiri dari 3
lapis. Di dalam otak terdapat rongga, sistem ventrikularis yang berisi liquors
serebrospinalis yang lanjut ke rongga antar meningen, kavum subarachnoid.
Fungsi utama liquor serebrospinalis, yaitu melindungi dan mendukung otak dari
benturan.9
Hemisfer serebri jumlahnya sepasang, dipisahkan secara tidak sempurna
oleh fisura longitudinalis superior dan falx cerebri, belahan kiri dan kanan
dihubungkan oleh corpus callosum. Hemisfer serebri dibentuk oleh korteks
serebri, substansia alba, ganglia basalis, dan serabut saraf penghubung yang
dibentuk oleh akson dan dendrite setiap sel saraf. Korteks serebri terdiri dari
selapis tipis substansia grissea yang melapisi permukaan hemisfer serebri.
Permukaannya memiliki banyak sulkus dan gyrus. Diperkirakan terdapat 10
milyar sel saraf yang ada pada korteks serebri.9
Hemisfer serebri memiliki 6 lobus, lobus frontalis, lobus parietalis, lobus
temporalis, lobus occipitalis, lobus insularis dan lobus limbik. Lobus frontalis,
mulai dari sulkus sentralis sampai ke polus sentralis, terdiri dari gyrus
presentralis, gyrus frontalis superior, gyrus frontalis media, gyrus frontalis

inferior, gyrus recrus, gyrus orbitalis, dan lobus parasentralis superior. Lobus
parietalis, mulai dari sulkus sentralis menuju lobus occipitalis dan cranialis dari
lobus temporalis, terdiri dari gyrus post sentralis, lobulus parietalis superior, dan
lobulus parietalis inferior-inferior-posterior. Lobus temporalis, terletak antara
polus temporalis dan polus occipitalis di bawah sulkus lateralis. Lobus occipitalis
terletak antara sulkus parieto occipital dengan sulkus preoccipitalis, memiliki dua
bangunan, cuneus dan gyrus lingualis. Lobus insularis, tertanam dalam sulkus
lateralis. Lobus limbik, berbentuk huruf C dan terletak pada dataran medial
hemisfer serebri.10
Pembuluh darah yang memperdarahi otak terdiri dari :
a. Sepasang pembuluh darah karotis
Denyut pembuluh darah besar ini dapat kita raba di leher depan, sebelah kiri
dan kanan di bawah mandibula. Sepasang pembuluh darah ini setelah masuk
ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga :
Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)
Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
Sebagian menuju ke otak bagian dalam (arteri serebri interior)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut
arteri komunikan posterior.
b. Sepasang pembuluh darah vertebralis
Denyut pembuluh darah ini tidak dapat diraba karena kedua pembuluh darah
ini menyusup ke bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini mendarahi
batang otak dan kedua otak kecil. Kedua pembuluh darah tersebut akan saling
berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut
anastomosis.10

2.3

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan penelitian pada tahun 2008, insidens Acute Disseminated

Enchephalomyelitis (ADEM) di California diperkirakan sekitar 0,4 per 100.000


populasi per tahun dan terdapat 3- 6 kasus ADEM per tahun di pusat kesehatan
di US, UK dan Australia. ADEM di negara berkembang lebih sering terjadi.
ADEM lebih sering terjadi

pada anak-anak dan remaja dibandingkan

usia

dewasa dan tidak terdapat perbedaan kejadian ADEM berdasarkan gender dan
etnik.5,6
Kejadian ADEM biasanya mengikuti penyakit infeksi pada anak-anak dan
sering dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian
Sekitar 50-75 % kasus ADEM

yang signifikan.5

terjadi setelah infeksi virus ataupun bakteri.

Banyak virus yang berkaitan dengan ADEM, termasuk : campak, mumps, rubella,
varicella zoster, eipsten-barr, cytomegalovirus, herpes simplex, hepatitis A,
influenza dan enterovirus.6
ADEM terjadi 1/1000 kejadian infeksi campak. ADEM relatif jarang
terjadi setelah infeksi varicella, di mana angka kejadiannya 1/10.000 kejadian
infeksi varicella. Kejadian ADEM setelah infeksi rubella sekitar 1/500.5 Kematian
dan cacat neurologis pada ADEM setelah infeksi rubella dan varicella lebih
rendah dibandingkan dengan ADEM setelah infeksi campak. Angka kematian
ADEM setelah infeksi campak sekitar 25 % dan sekitar 25-40 % bertahan dengan
cacat neurologis permanen. Sekitar kurang dari 5 % kasus ADEM terjadi setelah
imunisasi. Vaksinasi campak, mumps, rubella merupakan yang paling sering
berkaitan dengan ADEM post vaccinial. Insiden ADEM yang berkaitan dengan
vaksin campak sekitar 1-2/ 1 juta. Gejala neurologis biasanya muncul 4-13 hari
setelah vaksinasi.6

2.4

PATOGENESIS
Patogenesis ADEM dianggap berupa inflamasi dan demielinisasi

multifokal yang tersebar dan yang terkait dengan mekanisme autoimun di SSP.
Hipotesis autoimun menunjukkan bahwa sel T yang menyerang antigen viral atau
bakteri mengenali asam amino yang juga dimiliki oleh protein myelin. Sel T yang
teraktivasi melewati sawar darah otak, memungkinkan rekrutmen dan migrasi selsel inflamasi lainnya yang berperan dalam proses demyelinasi. Target antigen
mencakup myelin basic protein (MBP), proteolipid protein (PLP), myelin
oligodendrocyte protein (MOP), myelin associated glycoprotein (MAG),
oligodendrocyte basic protein, dan lain-lain.11,12

Molecular mimicry, atau kesamaan epitop virus dengan antigen myelin


seperti MBP,MOG dan protein proteolipid merupakan salah satu penjelasan
munculnya respon imun terhadap substansia alba SSP setelah infeksi. Sejumlah
studi menyatakan bahwa sitokin proinflamasi berperan dalam patogenesis.12
Mekanisme molekuler pasti yang menyebabkan kematian oligodendrosit
pada ADEM dan variannya masih belum diketahui; namun molekul sitokin,
kemokin dan molekul perlekatan secara bersama-sama berkontribusi terhadap
patogenesis ensefalomielitis inflamasi. Faktor kerentanan genetik menjelaskan
mengapa komplikasi ensefalomielitis dijumpai hanya pada sejumlah kecil pasien
yang mendapat infeksi atau imunisasi. Gen human leucocyte antigen (HLA) kelas
II memiliki pengaruh yang paling signifikan. Nitric oxide juga tampaknya
memperantarai kematian oligodendrosit. Mekanisme lainnya mencakup stress
oksidatif yang menyebabkan kematian prematur dari oligodendrosit dan
eksitoksisitas.11

2.5

PATOLOGI
Pemeriksaan makroskopis otak menunjukkan edema dengan tanda-tanda

kongesti serebral. Gambaran histopatologis ADEM yang dapat membedakannya


dengan kelainan lain adalah inflamasi dan demielinasi perivaskular, terutama
perivena, yang terutama melibatkan substansia alba dari hemisfer serebri, batang
otak, serebelum, medula spinalis dan nervus optikus.11,13
Proses inflamasi terutama dicirikan dengan infiltrasi perivaskular dari selsel inflamasi mononuklear (limfosit dan monosit), biasanya disekitar vena dan
venula dan proliferasi mikroglial reaktif. Terdapat edema vasogenik yang
menyebabkan pembengkakan otak dan medulla spinalis. Dalam lesi tersebut
dijumpai fragmentasi mielin dengan akson yang relatif utuh walaupun dapat juga
dijumpai kerusakan aksonal yang nyata. Pada tahap akhir, respon inflamasi
digantikan oleh gliosis fibrilari.11

Pada jaringan otak terutama dijumpai keterlibatan substansia alba dengan


sejumlah fokus demielinasi kecil. Secara histologis, terdapat reaksi inflamasi
destruktif dengan sel limfosit dan sedikit sel plasma di sekitar vena-vena kecil di
seluruh serebrum, batang otak, serebelum dan medula spinalis. Dijumpai sel-sel
mikroglial fagositik pada lesi. Akson dan sel saraf relatif tidak terkena. Terdapat
batas yang tegas antara fokus demielinasi dan daerah normal. Pada tahap lanjut,
perluasan gliosis melebihi daerah demielinasi. Pada ADEM reaksi jaringan berada
pada usia yang sama yang menggambarkan perjalanan yang monofasik dari
penyakit ini.10

2.6

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari Acute Disseminated Enchephalomyelitis (ADEM)

meliputi ensefalopati, tetapi dapat juga berupa sindrom fokal atau multifokal,
yang mengarah pada gangguan demyelinasi inflamasi sistem saraf pusat, termasuk
neuritis optik dan myelitis. Beberapa gejala klinis meningoensefalitis pada ADEM
terdiri dari ensefalopati, kejang, demam, sakit kepala dan tanda meningeal.13
Gejala inflamasi dan gejala neurologis sering dimulai 2 minggu setelah
keadaan sakit akibat virus atau bakteri. Gejala sistemik seperti demam, malaise,
sakit kepala, nausea, dan muntah sering mendahului gejala neurologis ADEM.
Ciri khas dari gejala klinis ADEM berupa perluasan fokal atau multifokal dari
gangguan neurologis. Onset gangguan sistem saraf pusat sangat cepat dengan
disfungsi puncak terjadi dalam beberapa hari. Gambaran klinis awal berupa letargi
dan dapat berlanjut sampai koma, gejala fokal atau multifokal neurologi seperti
gangguan pada cerebrum (hemiparesis dan afasia), gangguan pada batang otak
(kelumpuhan nervus kranial) dan gangguan pada spinal cord (paraparesis). Gejala
lain yang juga dilaporkan biasa tejadi seperti meningismus, ataksia dan gangguan

pergerakan. Kejang dapat terjadi pada kasus yang berat, terutama pada perdarahan
akut ADEM.2,15 Selain itu, banyak kasus ADEM juga menunjukkan adanya
gambaran limfositik meningitis pada pemeriksaan histopatologi.13
ADEM pada anak-anak, dicurigai bila pada anak yang sebelumnya sehat,
mengalami gejala dengan onset akut yang terdiri dari : mengalami lebih dari satu
gejala defisit neurologikal (polysymptomatic onset), perubahan status mental,
dan dikombinasi dengan perubahan pada gambaran MRI, berupa white matter
lession.13
Beberapa gejala klinis seperti perubahan status mental, ataksia, defisit
motorik,dan keterlibatan brainstem, muncul berhubungan dengan usia. Demam
yang lama dan sakit kepala lebih sering ditemukan pada anak-anak. Kebanyakan
pada pasien dewasa tampilan klinisnya hampir sama dengan anak-anak, kecuali
pada dewasa jarang ditemukan sakit kepala, demam, dan meningismus, akan
tetapi frekuensi kejadian defisit sensori lebih sering ditemukan pada dewasa.
Neuritis optik juga jarang ditemukan pada pasien ADEM dewasa. Selain itu,
kejang juga jarang ditemukan pada pasien dewasa, di mana kejang lebih sering
ditemukan pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.2,16

2.7

DIAGNOSIS
Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan pada manifestasi klinis dan

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi.


Sayangnya, tidak ada penanda biologis tertentu atau tes konfirmasi secara khusus
untuk mengidentifikasi gangguan, juga tidak ada data ilmiah pada diagnosis dan
pengobatan ADEM. Penetapan diagnosis dan pengobatan ADEM terutama
didasarkan pada pendapat para ahli. Diagnosis ADEM ditegakkan ketika individu
mengalami kelainan neurologis multifokal dengan kebingungan, mudah marah
yang berlebihan, atau tingkat kesadaran yang berubah (ensefalopati), terutama jika

timbulnya gejala dalam 1 sampai 2 minggu setelah infeksi bakteri / virus atau
vaksinasi.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk ADEM, terutama untuk
menyingkirkan penyebab lain yang didasarkan pada gejala klinis pasien.
Pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah lengkap, kultur, dan studi
serologi darah dan cairan serebrospinal untuk mendeteksi organisme bakteri dan
virus. Lumbal punksi juga dapat dilakukan, dimana tes ini berguna untuk
mengetahui adanya inflamasi pada cairan serebrospinal (CSF), dengan terjadinya
pleositosis limfosit (biasanya antara 50 dan 180 sel/mm2) dan / atau peningkatan
konsentrasi protein(umumnya 0,5-1,0 g / dl). Cairan serebrospinal (CSF)
umumnya normal pada 61,5% dari pasien ADEM. Oligoclonal band kadangkadang juga ditemukan pada ADEM (terlihat pada 0-29%). Hal ini menjadi alasan
kenapa

ADEM

sering

dihubungkan

dengan

MS.

Pemeriksaan

Electroencephalogram (EEG) dapat dijadikan sebagai salah satu pemeriksaan


pasien dengan ADEM, tetapi jarang berguna untuk menegakkan diagnosis. Hal
ini terkait dengan kejang yang menjadi salah satu gejala klinis ADEM.1
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi sangat berharga dalam membantu menegakkan
diagnosis ADEM.
CT Scan
Pemeriksaan dengan CT scan dapat normal pada onset awal dan dapat
abnormal pada 5-14 hari kemudian.2 Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk
mendiagnosa kelainan ADEM. Beberapa studi, menyebutkan gambaran CT scan
tidak menunjukkan kelainan pada awal penyakit dan tidak sensitif untuk
mendeteksi adanya lesi demielinasi yang kecil. Pada gambaran CT scan yang
abnormal, biasanya ditemukan area hipodense yang diskret pada white matter
serebri dan pada area juxtakortikal dan kadang-kadang tampak seperti gambaran
cincin. Penelitian yang pernah dilakukan Tenembaum dkk, melaporkan temuan
abnormal pada CT Scan pada 78% pasien rata-rata setelah 6,5 hari dari munculnya

10

onset. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Pavone dkk, didapatkan adanya
abnormal CT scan ditemukan pada 86% dari pasien ADEM dan ditemukan ratarata setelah 2,5 hari dari munculnya gejala onset.1

Gambar 2.2 CT scan kontras 11 hari setelah timbulnya gejala. Tampak lesi
hipodense berbentuk cincin di kedua hemisfer (panah). 17
MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik penggambaran
penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen.
Tehnik penggambaran MRI relatif komplek sehingga kualitas gambaran detil
tubuh manusia akan tampak jelas, anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat
dievaluasi secara teliti.18
Pada pemeriksaan radiologi MRI, beberapa jaringan tampak lebih terang
atau lebih gelap dari jaringan lain. Intensitas terang atau gelap tergantung pada
kepadatan proton di daerah itu - kepadatan meningkat dikaitkan dengan area yang
lebih gelap. Waktu relaksasi untuk proton dapat bervariasi dan biasanya diukur
dua kali - yang dikenal sebagai T1 dan T2. T1 dan T2 adalah istilah teknis yang
diterapkan pada waktu yang diperlukan untuk relaksasi proton. T1 dan T2
memberikan intensitas yang berbeda dari gambar dan masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pada T2-weighted image (T2WI) terlihat

11

lemak, air dan cairan yang terang, oleh karena itu, pencitraan T2WI sangat ideal
untuk mengambil edema jaringan. T2 digunakan dalam fungsional MRI scanning,
sedangkan T1 digunakan dalam anatomi MRI scanning. White matter lebih gelap
dari grey matter dalam T1WI dan lebih terang dari grey matter dalam T2WI.19
A

Gambar 2.3 T1-weighted image (A) dan T2-weighted image (B)19


Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling penting yang tersedia untuk membantu
menegakkan diagnosis ADEM dan membedakan klinisnya dengan penyakit
A
inflamasi dan non
inflamasi lainnya. Pada BADEM, MRI menunjukkan

bukti

perubahan pada white matter yang luas, serta perubahan pada grey matter
subkortikal, termasuk talamus dan ganglia basal.20 MRI otak dapat menunjukkan
fitur awal halus demielinisasi CNS yang luas terkait dengan ADEM. MRI T2WI,
dan gambar FLAIR (Fluid Attenuated Inversion Recovery) menunjukkan kelainan
lebih mudah daripada T1WI. Perubahan ini biasanya dibedakan dari Multiple
Sclerosis (MS). Keterlibatan white matter subkortikal hampir universal,
sedangkan lesi pada grey matter terlihat lebih jarang, dan hanya tambahan untuk
lesi pada materi putih lebih karakteristik. Keterlibatan talamus dan basal ganglia
merupakan temuan khas di ADEM, tapi tidak biasa di MS dan dapat menjadi
penanda berguna dalam diagnosis banding.4

12

Gambar 2.4 Potongan koronal otak MRI T2WI menunjukkan perpanjangan bidang T2
pada white matter subkortikal dari kedua hemisfer otak, thalamus, peduncles cerebellar
bilateral, inti dentate, dan cervical cord bagian atas.4

Dari berbagai penelitian yang ada, temuan MRI khusus yang mewakili
ADEM ialah bersifat luas, bilateral, plaka simetris yang homogen atau sedikit
peningkatan intensitas inhomogen pada T2-weighted imaging dalam white matter,
deep gray nuclei, dan medulla spinalis. Didalam white matter, juxta cortical dan
deep white matter lebih sering terlibat disbanding periventricular white matter,
yang merupakan hal yang kontras dibandingkan pada pasien dengan Multiple
Sclerosis (MS). Selain itu, lesi yang melibatkan corpus calossum yang khas pada
MS juga jarang ditemukan pada ADEM. Lesi infra tentorial juga sering ditemukan
termasuk pada batang otak dan white matter pada serebelum. Gambaran
unenhanced T1-weighted memperlihatkan bahwa lesi biasanya tidak begitu
terlihat kecuali lesi besar, dimana hipodensitas ringan terlihat dalam area yang
terkena. Lesi dapat muncul bersamaan dengan presentasi klinis.1

13

Gambar 2.5 Lokasi potensial terbentuknya lesi pada ADEM. 1

2.8

DIAGNOSIS BANDING

1. Multipel Sklerosis
MRI merupakan pemeriksaan yang penting dalam menentukan ADEM dan
MS. ADEM dan MS memperlihatkan lesi inflamasi diseminata pada saraf
pusat (terutama white matter). Beberapa penelitian telah melaporkan
perbedaan gambaran antara ADEM dan MS pada anak. Lesi ADEM sering
memiliki batas yang tidak jelas, sementara lesi MS memiliki batas seperti
plak (plaque like) yang dapat ditentukan. Terdapat perbedaan lokasi lesi,
periaqueductal, corpus callosum, dan periventricular white matter adalah
karakteristik MS. Sementara pada ADEM lesi cenderung berada di deeper
white matter dengan periventricular sparing. Lesi ADEM pada medulla
spinalis biasanya besar, membengkak, dan berada di toraks, sementara pada
MS lesi lebih kecil, diskret, dan berada di servikal. Gray matter sering terlibat
pada ADEM (kontras dengan MS).
Setelah melalui analisis retrospektif dari gambaran MRI 28 anak dengan
serangan pertama ADEM dan 20 anak dengan MS, didapat kriteria yang dapat
digunakan untuk membedakan pasien dengan MS dan ADEM dengan

14

sensitivitas 81% dan spesifisitas 95% yaitu: didapat 2 dari 3 tanda dibawah
ini, sebagai berikut:
(1) tidak ada pola lesi bilateral difus,
(2) adanya black holes,
(3) adanya 2 atau lebih lesi periventricular.3

2.9

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diutamakan pada imunosupresi dan immunomodulation.

Pilihan

termasuk

kortikosteroid,

plasma

exchange,

dan

intravenous

immunoglobulin (IVIg).
1. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid secara luas diterima sebagai line pertama terapi
untuk ADEM. Regimen pengobatan yang dianjurkan adalah metilprednisolon
intravena 10 -30 mg / kgBB/hari

sampai dosis harian maksimum 1 g atau

deksametason (1 mg / kg) selama 3 sampai 5 hari diikuti steroid oral selama 4-6
minggu tappering off.1
Kortikosteroid sangat efektif untuk gejala ADEM, dimana memiliki angka
kesembuhan 50- 80%.1
2. Plasma Exchange
Plasma Exchange direkomendasikan pada pasien yang kurang atau tidak
respon terhadap kortikosteroid intravena. Pertukaran plasma digunakan karena
antibodi serum diarahkan terhadap MBP dan galactocerebroside ditemukan pada
pasien dengan pasca-rabies inokulasi ADEM, serta sintesis intratekal antibodi ini.
Intravenous immunoglobulin (IVIg)

3.

IVIg digunakan untuk ADEM yang tidak respon dengan kortikosteroid dan
plasma exchange merupakan kontraindikasiatau sulit diakses.IVIg mungkin lebih
diutamakan untuk kasus encephalomyelitis pasca vaksinasi.Penggunaan IVIG
telah terbukti efektif pada pasien dengan keterlibatan baik SSP (Sistem Saraf
Pusat) maupun sistem saraf perifer dan beberapa penulis telah menganjurkan

15

bahwa pada pasien dengan poliradikulopati, IVIg dianggap sebagai terapi line
pertama.
Ada beberapa laporan kasus keberhasilan penggunaan IVIg, baik sendiri
maupun kombinasi dengan kortikosteroid, setelah gagal steroid intravena atau
demielinisasi berulang, Dosis yang dilaporkan untuk IVIg lebih konsisten dari
steroid, dengan dosis total 1-2 g / kgBB sebagai dosis tunggal atau dalam 3-5 hari.
IVIg umumnya dapat ditoleransi dengan baik.1
4. Lainnya
Dengan adanya kegagalan modalitas terapi diatas, beberapa terapi lain
telah dicoba, termasuk siklofosfamid intravena dan mitoxantrone.Miravalle dan
Roos mendiskusikan pemberian antivaccinia gamma globulin pada saat vaksinasi
cacar untuk mencegah komplikasi ADEM pasca vaksinasi, tapi tidak efektif.
Selain itu, dianjurkan untuk menghindari imunisasi selama minimal 6 bulan
setelah diagnosis ADEM relap ke MDEM terjadi mengikuti vaksinasi.

2.10 PROGNOSIS
ADEM bersifat monofasik pada 70-90% kasus. Umumnya pasien ADEM
memiliki prognosis yang baik. Pada penelitian diperoleh angka kesembuhan total
pada 70-90% pasien dalam 6 bulan sejak onset penyakit. Komplikasi berat
(termasuk kematian) jarang ditemukan pada populasi anak kecuali pada yang
berkaitan dengan campak (measles). Angka mortalitas pada post measles
encephalomyelitis ialah 10-20%, dan sekuele neurologis terjadi pada 25% pasien
yang hidup. Gejala sisa yang paling sering terjadi adalah defisit motor fokal, dari
kekakuan ringan hingga hemiparesis, gangguan penglihatan mulai dari penurunan
visus ringan hingga kebutaan, dan kejang. Defisit neurokognitif ringan dapat
diidentifikasi dalam atensi, fungsi eksekusi, dan sikap setelah 1 tahun setelah
ADEM pada 50-60% pasien, namun lebih banyak terjadi pada pasien dengan
onset usia muda (kurang 5 tahun).1

2.11 KOMPLIKASI
Meskipun mayoritas pasien ADEM dapat sepenuhnya pulih, fase akut
dapat berat dan mengancam jiwa, dan defisit residual telah dilaporkan pada 20%

16

sampai 30% dari anak-anak. Dari jumlah tersebut , yang paling sering dilaporkan
mencakup defisit ringan motorik, masalah penglihatan, dan kejang. Rata-rata
waktu untuk pemulihan penuh berkisar antara 1 sampai 6 bulan, meskipun pasien
sering mengalami perbaikan segera gejala setelah mulai pengobatan dengan
kortikosteroid. Angka kematian akut ensefalomielitis sebelumnya telah dilaporkan
setinggi 20%. Namun, di era pengobatan modern untuk angka ini telah berkurang.
Defisit kognitif dilaporkan sebagai konsekuensi jangka panjang dari akut
ensefalomielitis. Defisit halus dalam fungsi eksekutif, perhatian, dan perilaku
telah dilaporkan pada anak-anak yang telah dinyatakan benar-benar pulih dari
ADEM. Defisit ini telah tercatat lebih menonjol pada anak yang terdiagnosis
ADEM pada umur di bawah 5 tahun.

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
1
2
3
4
5

Nama Pasien
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan

:
:
:
:
:

Septian Irsandy
24 tahun
Laki-laki
Desa pasar 8, Indrapura
Buruh
17

6
7
8
9

Status perkawinan
Agama
Tanggal Masuk RS
Nomor

: Belum menikah
: Islam
: 18 Oktober 2014
:

STATUS NEUROLOGI
A. ANAMNESA (diperoleh dari keluarga/alloanamnesa)
1. Keluhan Utama
2. Riwayat Penyakit Sekarang

:
:

Penurunan kesadaran
Os datang dibawa ibunya atas

rujukan dari puskesmas dengan penurunan kesadaran yang baru terjadi 1


hari. Sebelumnya (14 Oktober 2014) , Os mengalami demam tinggi dan
pening pada kepala dan oleh si ibu diberikan antalgin. Keesokan harinya
os mengalami hal yang sama tapi disertai dengan badan yang pegal linu
dan kemudian os pergi ke mantri (obat tidak diketahui namanya), setelah
itu muncul keluhan baru yaitu gelisah dan tidak bisa tidur. Keesokan
harinya tangan sebelah kiri tidak bisa digerakkan dan esoknya lagi tungkai
sebelah kiri tidak bisa digerakkan. Lalu Os dibawa oleh keluarga ke
puskesmas dan dilakukan pemasangan infus. Esoknya keluhan bertambah
lebih parah lagi yaitu Os tidak dapat makan, minum, maupun berbicara.
Serta pandangan kosong dan akhirnya puskesmas merujuk Os ke RSUD
Dr. H. Kumpulan Pane.
Riwayat imunisasi negatip.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Hipertensi
b. Diabetes Melitus
c. Penyakit Jantung
d. Asma
e. Penyakit lain
4. Riwayat Pribadi
5. Riwayat Pengobatan Lain
puskesmas
6. Riwayat Penyakit Keluarga
7. Anamnesis Sistem
a. Sistem serebrospinal
b. Sistem kardiovaskular
c. Sistem respirasi
d. Sistem gastrointsetinal
e. Sistem muskuloskletal

:
:
:
:
:
:
:

disangkal
disangkal
disangkal
disangkal
disangkal
Riwayat imunisasi (-)
Antalgin dan obat dari mantri dan

disangkal

:
:
:
:
:

+ (positip)
- (negatip)
- (negatip)
+ (positip)
+ (positip)

18

f. Sistem integumental
g. Sistem urologenital

:
:

- (negatip)
- (negatip)

Resume Anamnesis

Os berjenis kelamin laki-laki, umur 24

tahun mengalami lemah lengan dan tungkai sebelah kiri, dan diikuti dengan Os
tidak bisa berbicara, makan, dan minum dan akhirnya penurunan kesadaran.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
Kesadaran
Glasgow Coma Scale
Kontak
Vital sign
Tekanan darah
Nadi
Respirasi
Suhu
f. Berat Badan
g. Tinggi Badan
h. Status Gizi
i. Pulmo
j. Jantung
k. Hati
l. Limpa
2. Pemeriksaan Neurologi
a. Kepala
Ukuran
Wajah
Fontanella
Nyeri tekan
b. Leher dan vertebra
Inspeksi
Palpasi
Range of motion
Manuver
- Lasegue sign
- Patricks test
- Contrapatricks test
- Valsava maneuver
- Nafzingers test
c. Rangsangan Meningeal
Kaku Kuduk
a.
b.
c.
d.
e.

:
:
:
:

Jelek
Apatis
E: 4 V: 2
inadequate

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

110/70 mmHg
51 x/menit (irreguler)
15 x/menit
37,2 C
50 kg
170 cm
underweight
DBN
DBN
(-) teraba
(-) teraba

:
:
:

:
Normochepali
simetris
tertutup
negatif

:
:
:

DBN
DBN
Tidak merespon

:
:
:
:
:

+ (positip)
TDP
TDP
TDP
TDP

+ (positip)

19

M: 3

Test Kernig
Brudzinki I
Test Brudzinki II
Test Brudzinki III
Test Brudzinki IV
d. Syaraf otak
Nervus I
- Anosmia
- Hiposmia
- Hiperosmia
- Parosmia
- Kakosmia
- Halusinasi penciuman

:
:
:
:
:

+ (positip)
+ (positip)
+ (positip)
TDP
TDP

:
:
:
:
:
:

TDP
TDP
TDP
TDP
TDP
TDP

Nervus II (Optic Nerve)


Kanan
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon
TDP
Midriasis
TDP
TDP
Negatip

Kiri
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon
TDP
Midriasis
TDP
TDP
Negatip

Kanan
Negatip
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon
1- 2 mm
Bulat
Isokor
+ (positip), kesan lambat
+ (positip), kesan lambat
Simetris
- (negatip)
Tidak merespon
- (negatip)
- (negatip)

Kiri
Negatip
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon
1- 2 mm
Bulat
Isokor
+ (positip), kesan lambat
+ (positip), kesan lambat
Simetris
- (negatip)
Tidak merespon
- (negatip)
- (negatip)

Daya Penglihatan
Pengenalan Warna
Medan Penglihatan
Fundus Okuli
Pupil
Retina
Arteri/vena
Perdarahan

Nervus III (Oculomotor Nerve)

Ptosis
Gerak mata ke atas
Gerak mata medial
Gerak mata ke bawah
Ukuran pupil
Bentuk pupil
Kesamaan pupil
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya konsesuil
Rima palpebra
Strabismus divergen
Diplopia
Nistagmus
Eksoftalmus

20

Nervus IV (Trochlear Nerve)


Kanan
Tidak Merespon
Tidak merespon
Tidak merespon

Kiri
Tidak Merespon
Tidak merespon
Tidak merespon

Menggigit
Membuka mulut
Sensitibilitas muka atas,

Kanan
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon

Kiri
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon

tengah, bawah
Refleks kornea
Refleks bersin
Refleks masseter
Refleks zygomaticus
Eksoftalmus

+ (positip)
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon
Negatip

+ (positip)
Tidak merespon
Tidak merespon
Tidak merespon
negatip

Kanan
Tidak merespon
Negatip
Tidak merespon

Kiri
Tidak merespon
Negatip
Tidak merespon

Gerak mata ke lateral bawah


Strabismus konvergen
Diplopia

Nervus V (Trigeminal Nerve)

Nervus VI (Abdusens Nerve)

Gerak mata ke lateral


Strabismus konvergen
Diplopia

Nervus VII (Facial Nerve)


Kanan
Positip
Positip
Simetris
Simetris
Positip
Positip
Positip
Positip
Tidak merespon
Negatip
Positip

Kerutan kulit dahi


Kedipan mata
Lipatan naso-labial
Sudut mulut
Mengerutkan dahi
Mengerutkan alis
Menutup mata
Meringis
Menggembungkan pipi
Tic fasialis
Lakrimasi
21

Kiri
Positip
Positip
Simetris
Simetris
Positiip
Positip
Positip
Positip
Tidak merespon
Negatip
Positip

Daya kecap lidah 2/3 bagian


Refleks visuo-palpebra
Refleks glabella
Refleks aurikulo-palpebra
Tanda myerson
Tanda chovstek
Bersiul

TDP
Positip
Positip
TDP
TDP
Tidak merespon
Tidak merespon

Nervus VIII (Vestibulocochlear)


Kanan
TDP
TDP
TDP
TDP
TDP

Mendengar suara berbisik


Mendengar detik arloji
Test Rinne
Test Weber
Test Schwabach

Nervus IX (Glossopharyngeal nerve)


- Arkus Faring
:
- Daya kecap lidah 1/3 belakang :
- Refleks muntah
:
- Sengau
:
- Tersedak
:
Nervus X (Vagus nerve)
- Arkus Faring
:
- Nadi
:
- Bersuara
:
- Menelan
:
Nervus XI (Accessory nerve)

Nervus XII (Hypoglossal nerve)


- Sikap lidah
:
- Artikulasi
:
- Tremor lidah
:
- Menjulurkan lidah
:
- Kekuatan lidah
:
- Trofi otot lidah
:
- Fasikulasi lidah
:

TM
TM
TM
TM
TM
TM
TM
22

Kiri
TDP
TDP
TDP
TDP
TDP

Tidak merespon
TDP
TDP
TDP
TDP
TDP
Positip
meringis
Positip

Kanan
Postip
Negatip
Negatip
Negatip

Memalingkan kepala
Sikap bahu
Mengangkat bahu
Trofi otot bahu

TDP
Positip
Positip
TDP
TDP
Tidak merespon
Tidak merespon

Kiri
Positip
Negatip
Negatip
Negatip

e. Sistem Motorik
Inspeksi
Gerakan volunter
Palpasi otot
Perkusi otot
Tonus otot
Kekuatan otot

:
:
:
:
:
:

Negatip
TM
Negatip
TDP
TDP
TM

f. Sistem Sensorik
Sensibilitas
Nyeri
Termis
Taktil
Posisi
Vibrasi

Tangan
Kanan
+
TDP
TDP
TDP
TDP

Kaki
Kiri
+
TDP
TDP
TDP
TDP

Kanan
+
TDP
TDP
TDP
TDP

kiri
+
TDP
TDP
TDP
TDP

g. Refleks Fisiologis
Refleks
Biceps refleks
Triceps refleks
Brachioradialis refleks
Knee patella refleks
Achilles refleks

Kanan
+
+
+
+
+

Kiri
+
+
+
+
+

h. Refleks Patologis
Refleks
Babinski refleks
Chaddocks refleks
Oppeinheim refleks
Gordon refleks
Schaeffer refleks
Gonda refleks
Hoffman refleks
Trommer refleks

Kanan
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip

i. Fungsi Cerebellum
Cara berjalan
Ataksia
Rebound fenomen

:
:
:
23

TDP
TDP
TDP

Kiri
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip
Negatip

Dismetri
Tes telunjuk-hidung
Tes telunjuk-telunjuk
Tes hidung-telunjuk-hiding
Test romberg
Disdiadokhok nesis
Nistagmus

j. Fungsi Vegetatif
Vasomotorik
Sudomotorik
Pilo-erektor
Miksi
Defekasi
Potensi libido
k. Fungsi Luhur
Kesadaran kualitatif

:
:
:
:
:
:
:

TDP
TDP
TDP
TDP
TDP
TDP
TDP

:
:
:
:
:
:

TDP
+(Positip)
TDP
+(Positip)
+(Positip)
TDP

Daya ingat kejadian

Orientasi

Tingkah laku : TM
Perasaan hati: TM
Ingatan baru: TM
Ingatan lama: TM
Tempat : TM Waktu : TM

Intelegensi
Daya pertimbangan
Reaksi emosi
Afasia
Agnosia
Akalkulia

:
:
:
:
:
:

Orang : TM Situasi : TM
TM
TM
Meninggi
TM
TM
TM

C. PEMERIKSAAN LAIN
:
1. Darah Rutin
WBC
14.900 mm3
Granulosit
12.500 mm3
Hemoglobin
15,3 g/dL
RBC
5.240.000 mm3
PLT
315.000 mm3
2. Pemeriksaan Laboratorium
Fungsi Hati
Bilirubin total
0,73 mg/dL
Bilirubin direct
0,37 mg/dL
SGOT
47 U/I
SGPT
52 U/I

24

Alkali Phospatase (AP)

152 U/I

Lipid Profile

Total Cholesterol
Trigliserida

110 mg/dL
86 mg/dL

Fungsi Ginjal

Ureum
Creatinine

41mg/dL
1,27 mg/dL

Elektrolit
Kalium (+)

4,5 mmol/l

Natrium (+)

141,6 mmol/l

Chlorida (-)

99,6 mmol/l

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT- Scan

25

2. MRI (Magneting Resonance Imaging)


Tanpa Kontras

Dengan Kontras

Kesan :
Suspect Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
E. DIAGNOSA BANDING
:
1. ADEM (Acute Disseminated Enchephalomyelitis)
2. Ensefalitis Viral Akut
3. Acute Multiple Sclerosis
F. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis Klinik
: ADEM (Acute Disseminated
Encephalomyelitis)
2. Diagnosis Topik

: SSP ( hemisfer serebri, batang

otak,serebelum, medula spinalis, dan nervus optikus ).


3. Diagnosis Etiologik
: infeksi virus atau autoimune.

26

G. TERAPI
1. Diet Sonde
2. IVFD. KaEn 3B 20 gtt/i
3. Inj. Ceftriaxone 2 gr/12 jam
4. Inj. Dexamethasone 1 amp/8 jam
5. Inj. Chloramfenikol 1 gr/6 jam
6. Inj. Ranitidine 1 amp/ 12 jam
7. Inj. Novalgin ( T > 38C )
8. Inj. Stesolid (k/p)
H. PROGNOSIS
1. Death
2. Disease
3. Disability
4. Discomfort
5. Dissatisfaction
I. FOLLOW UP PASIEN

TANGGAL / VITAL
SIGN
19 10 2014
Sens : Somnolen
TD

: 111/68 mmHg

HR

: 72 x/i

RR

: 26 x/i

: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam

KELUHAN UTAMA

Demam
Sesak (+)
Gelisah (+)

Temp : 37C

TERAPI

Diet Sonde
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone

gr/12 jam
Inj. Ranitidine

amp/12 jam
Inj. Novalgin 1 amp (

T > 38C )
Inj. Stesolid ( 1 amp
bolus pelan- pelan )

20 10 2014
Sens

: somnolen

TD

: 121/78 mmHg

HR

: 72 x/i

RR

Demam (-)
Sesak (+)
Gelisah
Urine (+)
BAB (-)

: 30 x/i

Temp : 37C

k/p
Diet sonde
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/

12 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/

12 jam
Inj. Novalgin 1 amp (
T > 38C

27

Inj. Stesolid (1 amp


bolus pelan- pelan)

21 10 2014
Sens

: somnolen

TD

: 138/85 mmHg

HR

: 80 x/i

RR

: 18 x/i

TD (-) stabil
Sesak (-)
Demam (-)
Kejang (-)
Urine (+)
BAB (-)

Temp : 36C

22 10 2014
Sens : somnolen
TD

: 118/71 mmHg

HR

: 81 x/i

RR

: 26 x/i

TD stabil
Sesak (+)
Demam (-)
Urine (+)

Temp : 37C

23 10 2014
Sens : Somnolen
TD

: 126/71 mmHg

HR

: 58 x/i

RR

: 26 x/i

TD stabil
Sesak (+)
Demam (-)
Urine (+)

k/p
Diet sonde, teh manis
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 2

gr/12 jam
Inj. Khloramfenikol 1

gr/6 jam
Inj. Ranitidine

amp/12 jam
Inj. Novalgin 1 amp (

T > 38C )
Inj. Stesolid 1 amp

(k/p)
Diet sonde + teh

manis
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone

gr/12 jam
Inj. Chloramfenikol 1

gr/6 jam
Inj. Ranitidine

amp/12 jam
Inj. Dexamethason 2

amp/6 jam
Inj. Novalgin 1 amp (

T > 38C )
Inj. Stesolid 1 amp

(k/p)
Diet Sonde + teh

manis
IVFD RL 30 gtt/i
Inj.Ceftriaxone
gr/12 jam

28

Temp : 37C

Inj. Chloramfenikol 1

gr/6 jam
Inj. Dexamethason 2

amp/6 jam
Inj. Ranitidine

amp/12 jam
Inj. Novalgin 1 amp (

T > 38C )
Inj. Stesolid 1 amp

(k/p)

BAB IV
DISKUSI
4.1

PEMBAHASAN
1. Berdasarkan penelitian pada tahun 2008, insidens Acute Disseminated
Enchephalomyelitis (ADEM) di California diperkirakan sekitar 0,4 per
100.000 populasi per tahun dan terdapat 3- 6 kasus ADEM per tahun di
pusat kesehatan di US, UK dan Australia. ADEM di negara berkembang
lebih sering terjadi. ADEM lebih sering terjadi pada anak-anak dan
remaja dibandingkan usia dewasa dan tidak terdapat perbedaan kejadian
ADEM berdasarkan gender dan etnik.
Pertanyaan :
Mengapa pada septian, infeksi ini terjadi di umur 24 tahun?
Pembahasan :
Menurut tim penyusun berdasarkan referensi, kasus ini dikaitkan dengan
sistem autoimun penderita. Dari alloanamnesis didapati bahwa septian
memiliki riwayat tidak mendapatkan imunisasi, dan ini dikaitkan juga
dengan daya tahan tubuh dari septian yang lemah dikarenakan kurangnya
gizi. Dimana tujuan dari imunisasi adalah untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas terhadap suatu penyakit menular.
2. Gejala inflamasi dan gejala neurologis sering dimulai 2 minggu setelah
keadaan sakit akibat virus atau bakteri. Gejala sistemik seperti
demam, malaise, sakit kepala, nausea, dan muntah sering mendahului
gejala neurologis ADEM. Beberapa gejala klinis seperti perubahan status

29

mental, ataksia, defisit motorik,dan keterlibatan brainstem, muncul


berhubungan dengan usia. Demam yang lama dan sakit kepala lebih sering
ditemukan pada anak-anak. Kebanyakan pada pasien dewasa tampilan
klinisnya hampir sama dengan anak-anak, kecuali pada dewasa
jarang ditemukan sakit kepala, demam,

dan meningismus, akan

tetapi frekuensi kejadian defisit sensori lebih sering ditemukan pada


dewasa. Neuritis optik juga jarang ditemukan pada pasien ADEM
dewasa. Selain itu, kejang juga jarang ditemukan pada pasien dewasa,
di mana kejang lebih sering ditemukan pada anak-anak di bawah usia 5
tahun.
Pertanyaan :
Bagaimana menegakkan dignosis pada Septian? Mengapa tertegak
diagnosis ADEM?
Pembahasan :
Diagnosa Septian bisa ditegakkan melalui Anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan lain dan pemeriksaan penunjang. Dimana dari anamnesis
didapati, demam, pusing, lemas, kelumpuhan, hemiparese sinistra dan
penurunan kesadaran. Sedangkan dari pemeriksaan fisik, didapati
Rangsangan meningeal positif. Lalu pemeriksaan lain juga didapati
peninggian sel darah putih yang mengartikan adanya infeksi pada tubuh.
Dan dari pemeriksaan penunjang, didapati hasil adanya ensefalomielitis
disemanata akut yang merupakan panyakit autoimun.
3. ADEM bersifat monofasik pada 70-90% kasus. Umumnya pasien
ADEM memiliki prognosis yang baik. Pada penelitian diperoleh angka
kesembuhan total pada 70-90% pasien dalam 6 bulan sejak onset penyakit.
Komplikasi berat (termasuk kematian) jarang ditemukan pada
populasi anak kecuali pada yang berkaitan dengan campak (measles).
Angka mortalitas pada post measles encephalomyelitis ialah 10-20%, dan
sekuele neurologis terjadi pada 25% pasien yang hidup. Gejala sisa yang
paling sering terjadi adalah defisit motor fokal, dari kekakuan ringan
hingga hemiparesis, gangguan penglihatan mulai dari penurunan
visus ringan hingga kebutaan, dan kejang. Defisit neurokognitif
ringan dapat diidentifikasi dalam atensi, fungsi eksekusi, dan sikap
30

setelah 1 tahun setelah ADEM pada 50-60% pasien, namun lebih


banyak terjadi pada pasien dengan onset usia muda (kurang 5 tahun).
Pertanyaan :
Bagaimanakah prognosis Septian terhadap penyakit yang dideritanya?
Pembahasan :
Prognosisnya baik, pada penelitian diperoleh angka kesembuhan total pada
70- 90 % pasien dalam 6 bulan sejak onset penyakit. Angka mortalitas
sebesar 10 20 % dan sekuele neurologis terjadi pada 25% pasien yang
hidup. Gejala sisa yang paling terjadi defisit motor fokal, dari kekakuan
ringan hingga hemiparesis.

BAB V
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu

penyakit demielinasi inflamasi idiopatik pada susunan saraf pusat (SSP) yang

31

sering dijumpai pada anak-anak yang diperantarai oleh sistem imun dan sering
muncul setelah infeksi atau vaksinasi. Manifestasi klinis ADEM sangat beragam
yang biasanya berupa ensefalopati dan defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis, quadriparesis, ataksia, keterlibatan saraf kranial, neuritis optik,
gerakan involunter, dan parestesi. Walaupun ADEM sering dihubungkan dengan
infeksi atau vaksinasi namun hal ini tidak termasuk dalam kriteria diagnosis
ADEM serta tidak spesifik dan sensitif untuk ADEM. Diagnosis ADEM
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis demielinasi disertai gejala
ensefalopati dengan onset akut atau subakut dan dibantu dengan temuan MRI,
berupa demielinasi substanisa alba multifokal.
Walaupun ADEM biasanya memiliki perjalanan yang monofasik, namun
relaps dapat dijumpai pada sejumlah kasus yang dikenal dengan multiphasic atau
recurrent

ADEM.

Diagnosis

banding

ADEM

cukup

luas,

mencakup

meningoensefalitis dengan berbagai penyebab dan sejumlah penyakit demielinasi


inflamasi seperti MS. Temuan MRI dapat membantu membedakan ADEM dari
MS. Penatalaksanaan ADEM terdiri dari terapi obat-obatan yaitu dengan
kortikosteroid dosis tinggi, immunoglobulin intravena, plasmaferesis dan terapi
suportif. Walaupun ADEM memiliki prognosis yang baik secara umum, namun
sering dijumpai gejala sisa berupa defisit neurologis multifokal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Garg RK. Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrad Med J.
2003;79:1117.
2. Mermuys K, Hoe LV, Vanhoenacker P. Images In Clinical Radiology Acute
disseminating encephalomyelitis (ADEM). JBRBTR . 2006, 89: 226.

32

3. Stonehouse M, Gupte G, Wassmer E, Whitehouse WP. Acute disseminated


encephalomyelitis : recognition in the hands of general paediatricians. Arch
Dis Child 2003;88:122124.
4. Garg,
RK.
2014.
Acute

Disseminated

http://pmj.bmj.com/content/79/927/11.full.pdf.
November 2014.
5. The Transverse

Myelitis

Encephalomyelitis

Association.
(ADEM).

Encephalomyelitis.

Diunduh pada tanggal 2


2012.

Acute

Disseminated

http://myelitis.org/wp/wp-

content/uploads/2012/07/ADEM.pdf. Diunduh pada tanggal 2 November


2014.
6. Jubelt B, Miller JR. Acute Disseminated Encephalomyelitis : VIRAL
INFECTION. MERRITTS

NEUROLOGY. Tenth edition. Lippincott

Williams & Wilkins. Philadelphia. 2000. h. 151-153.


7. Anonim. Standar Penatalaksanaan Penyakit Saraf Anak. Diakses dari:
http://www.docstoc.com/docs/36067793/SPTL-SYARAF.

Diunduh

pada

tanggal 2 November 2014.


8. Uddin, Jurnalis. Kerangka Umum Anatomi Susunan Saraf dalam Anatomi
susunan saraf manusia. Langgeng sejati. Jakarta; 2001: 3-13.
9. Price, Sylvia A. Tumor Sistem Saraf Pusat dalam Patofisiolosi Edisi 6, EGC.
Jakarta; 2005. 1183-9.
10. Sarnat HB, Menkes JH. Autoimmune and Postinfectious Disease. Dalam:
Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child Neurology. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h. 578-84.
11. Leake JA, Albani S, Kao AS, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis in
Childhood : Epidemiologic, Clinical and Laboratory Features. Pediatric
Infectious Disease Journal .2004; 23: 756-64.
12. Armstrong D, Hallidat W, Hawkins C, et al. Pediatric Neuropathology A Text
Atlas.New York : Springer, 2007. h. 248-9.

33

Anda mungkin juga menyukai