PENDAHULUAN
Penyusunan buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011 merupakan
hasil dari salah satu mata rantai pelaksanaan Sistem Informasi Kesehatan di Provinsi
Kalimantan Barat dalam rangka menyediakan berbagai data & informasi di bidang kesehatan.
Data dan informasi kesehatan tersebut akan menjadi faktor pendukung di dalam sistem
manajemen pembangunan kesehatan, dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan
berbagai upaya kesehatan akan menjadi berdaya guna dan berhasil guna sebagaimana
termaktub dalam Rencana Strategis (Renstra) dinas kesehatan provinsi Kalimantan Barat Tahun
2008 2013.
Sistem Informasi Kesehatan merupakan bagian fungsional dari Sistem Kesehatan secara
keseluruhan. Oleh karena itu penerbitan buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat
sekarang ini lebih dikaitkan dengan sistem kesehatan yang diarahkan pada pencapaian Visi
Kalimantan Barat Sehat 2013 yakni mewujudkan masyarakat kalimantan barat yang
beriman, sehat, cerdas, aman, berbudaya dan sejahtera. Artinya, Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2011 ini disusun agar dapat menjadi salah satu sarana untuk menilai
pencapaian Pembangunan Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka mencapai Visi
tersebut.
Profil adalah dokumen yang berisi tentang data dan informasi dari sistem manajemen
data/informasi sebuah organisasi, mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan
penyebarluasan informasi. Untuk fungsi manajemen dan pengambilan keputusan sebuah
organisasi memerlukan dukungan data/informasi.
Dalam penyusunan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011 ini kami
menggunakan berbagai sumber data antara lain
Walaupun dengan berbagai keterbatasan data dan informasi yang dapat kami sajikan,
akhirnya buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011 ini dapat diselesaikan.
Apa yang kami tampilkan pada buku Profil Kesehatan ini diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang berbagai perubahan maupun perbaikan pada program Pembangunan Daerah
Provinsi Kalimantan Barat khususnya sektor kesehatan secara menyeluruh. Untuk memenuhi
kebutuhan berbagai data dan informasi guna menunjang manajemen program kesehatan pada
semua tingkat administrasi. Untuk itu segala upaya dan perbaikan terhadap isi buku profil ini
telah kami coba laksanakan baik terhadap kualitas maupun kuantitas dan juga dalam hal
menganalisa data-data yang ada.
Penyusunan Buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011 ini mengalami
keterlambatan jika disesuaikan dengan waktu yang seharusnya dimana bulan Juli sudah harus
tersusun, hal ini disebabkan karena adanya keterlambatan laporan data profil dari Dinas
Kesehatan Kabupatan/Kota.
Guna memberikan gambaran yang lebih baik tentang situasi kesehatan di Provinsi
Kalimantan Barat maka buku Profil Kesehatan ini kami susun dengan sistimatika sebagai berikut
:
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Bab I
: Pendahuluan
Bab II
: Gambaran umum Provinsi
Bab III
: Pembangunan Kesehatan Daerah
Bab IV
: Pencapaian Pembangunan Kesehatan
Bab V
: Situasi Sumber Daya Kesehatan
Bab VI
: Penutup
Lampiran tabel-tabel
BAB II
GAMBARAN UMUM PROVINSI
2.1. Letak Wilayah
Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis
2 08' LU serta 3 02' LS serta di antara 108 30' BT dan 114 10' BT pada peta bumi.
Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh
garis Khatulistiwa (garis lintang 0) tepatnya di atas Kota Pontianak. Karena pengaruh letak ini
pula, maka Kalimantan Barat adalah salah satu daerah tropik dengan suhu udara cukup tinggi
serta diiringi kelembaban yang tinggi.
Ciri-ciri spesifik lainnya adalah bahwa wilayah Kalimantan Barat termasuk salah satu
Provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing, yaitu dengan Negara
Bagian Serawak, Malaysia Timur. Bahkan dengan posisi ini, maka daerah Kalimantan Barat kini
merupakan satu-satunya Provinsi di Indonesia yang secara resmi telah mempunyai akses jalan
darat untuk masuk dan keluar dari negara asing. Hal ini dapat terjadi karena antara Kalimantan
Barat dan Sarawak telah terbuka jalan darat antar negara Pontianak Entikong Kuching
(Sarawak, Malaysia) sepanjang sekitar 400 km dan dapat ditempuh sekitar enam sampai
delapan jam perjalanan.
Batas-batas wilayah selengkapnya bagi daerah Provinsi Kalimantan Barat adalah :
Utara
Selatan
Timur
Barat
Sebelah utara Provinsi Kalimantan Barat terdapat empat kabupaten yang langsung
berhadapan dengan negara jiran yaitu; Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, yang
membujur sepanjang Pegunungan Kalingkang Kapuas Hulu.
2.2. Luas Wilayah
Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah merupakan daratan
berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia atau
1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih
dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur.
Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk Provinsi terbesar
keempat setelah pertama Provinsi Papua (319.036 km2), kedua Kalimantan Timur (204.534 km2)
dan ketiga Kalimantan Tengah (153.564 km2).
Dilihat dari luas menurut Kabupaten/Kota, maka yang terbesar adalah Kabupaten
Ketapang (31.240,74 km2 atau 21,28 persen) kemudian diikuti Kapuas Hulu (29.842 km2 atau
20,33 persen), dan Kabupaten Sintang (21.635 km atau 14,74 persen), sedangkan sisanya
tersebar pada 11 (sebelas) kabupaten/kota lainnya.
2.3. Topografi
Secara umum, daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah dan mempunyai
ratusan sungai yang aman bila dilayari, sedikit berbukit yang menghampar dari Barat ke Timur
sepanjang Lembah Kapuas serta Laut Natuna/Selat Karimata. Sebagian daerah daratan ini
berawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove.
Wilayah daratan ini diapit oleh dua jajaran pegunungan yaitu, Pegunungan
Kalingkang/Kabupaten Kapuas Hulu di bagian Utara dan Pegunungan Schwaner di Selatan
sepanjang perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah.
Dilihat dari tekstur tanahnya maka, sebagian besar daerah Kalimantan Barat terdiri dari
jenis tanah PMK (podsolet merah kuning), yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28
persen dari luas daerah yang 14,7 juta hektar. Berikutnya, tanah OGH (orgosol, gley dan humus)
dan tanah Aluvial sekitar 2,0 juta hektar atau 10,29 persen yang terhampar di seluruh
Kabupaten/Kota, namun sebagian besar terdapat di kabupaten daerah pantai.
2.4. Sungai dan Danau
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki Provinsi
Seribu Sungai. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai
besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat
ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun
prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.
Sungai besar utama adalah Sungai Kapuas, yang juga merupakan sungai terpanjang
di Indonesia (1.086 km), yang mana sepanjang 942 km dapat dilayari. Sungai-sungai besar
lainnya antara lain : Sungai Melawi (dapat dilayari 471 km), Sungai Pawan (197 km), Sungai
Kendawangan (128 km), Sungai Jelai (135 km), Sungai Sekadau (117 km), Sungai Sambas (233
km), Sungai Landak (178 km), dan lainnya.
Kapuas Hulu seluas 1.960.578 ha, sedangkan padang/semak belukar terluas berada di
Kabupaten Ketapang yaitu seluas 1.084.278 ha. Sementara itu areal perkebunan mencapai
1.691.617 ha atau 11,52 %. Dari 14,68 ribu ha luas Kalimantan Barat, areal untuk pemukiman
hanya berkisar 0,77 persen. Adapun areal pemukiman terluas berada di Kabupaten Sintang
diikuti kemudian oleh Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sanggau.
2.8. I k l i m
2.8.1. Angin dan Udara
Faktor yang merupakan ciri umum bagi suatu daerah dataran rendah di daerah tropis
adalah suhu udara yang relatif panas atau tinggi, sedangkan khusus daerah Kalimantan Barat
suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan kelembaban udara yang tinggi. Berdasarkan catatan
empiris dari Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak yang meliputi Stasiun Meteorologi (SM)
Supadio Pontianak, SM Pangsuma Putussibau, SM Paloh Sambas, SM Susilo Sintang, SM
Nanga Pinoh Melawi dan Stasiun Klimatologi Siantan Kabupaten Pontianak, umumnya suhu
udara di daerah Kalbar cukup normal namun bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 23,30C sampai
dengan 32,90C.
Selama tahun 2011, temperatur udara di Kalimantan Barat maksimum mencapai 37,10C.
yang terjadi di stasiun meteorologi Maritim Kota Pontianak pada bulanMei 2011. Demikian juga
temperatur minimum tercatat 19,60C yang terjadi di stasiun meteorologi Nangapinoh Melawi
pada Bulan Februari 2011.
Pada umumnya, kecepatan angin di Kalimantan Barat dari beberapa stasiun
meteorologi, sepanjang bulan di tahun 2011, secara rata-rata berkisar antara 1 hingga 6
knot/jam sedangkan maksimum tercatat sebesar 26 knot/jam terjadi di stasiun meteoreologi
Paloh pada BulanMei 2011.
2.8.2. Curah Hujan dan Hari Hujan
Pada tahun 2011, rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terjadi di Stasiun Meteorologi
Paloh pada bulan Januari 857,1 mm dan terendah terjadi di Stasiun Metereologi Rahadi Usman
yaitu pada bulan Agustus mencapai 3,8 mm. Banyaknya hari hujan tertinggi tercatat di SM
Pangsuma pada Bulan Januari sebanyak 28 hari dan SM Maritim Kota Pontianak Bulan
November, juga sebanyak 28 hari. Jumlah hari terendah terjadi pada Agustus di SM Rahadi
Usman sebanyak 3 hari.
2.10. Kependudukan
Penduduk Provinsi Kalimantan Barat tahun 2011 diperkirakan berjumlah sekitar
4,477.348 juta jiwa (angka proyeksi BPS), dimana sekitar 2,288.577 juta jiwa berjenis kelamin
laki-laki dan 2,188.771 juta jiwa adalah perempuan. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat
sebesar 146.807 Km2, sehingga jika dilihat dari luas wilayah dan jumlah penduduk, maka
kepadatan penduduk di Kalimantan Barat adalah sekitar 30 atau lebih besar dari Pulau Jawa,
maka kepadatan penduduk Kalimantan Barat sekitar 30 Jiwa per Km2.
Tabel : 2.2
Jumlah Penduduk Menurut Daerah Dan Kepadatan Per Kabupaten/Kota
Tahun 2011
Sumber : BPS
Dilihat dari tabel 2.2. Persebaran penduduk Kalimantan Barat tidak merata antar
wilayah kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, maupun antar wilayah kawasan pantai
bukan pantai atau perkotaan dan pedesaan. Seperti daerah pesisir yang mencakup
Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang,
Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak, dan Kota Singkawang
yang dihuni oleh hampir 50 persen dari total penduduk Kalimantan Barat dengan
kepadatan rata-rata mencapai 38 jiwa per Km2. Sebaliknya tujuh kabupaten lain (bukan
pantai) selain kota pontianak secara rata-rata tingkat kepadatan penduduknya relatif lebih
jarang. Kabupaten Kapuas Hulu dengan luas wilayah 29.842 km2 atau sekitar 20,33% dari
luas wilayah Kalimantan Barat hanya dihuni rata-rata 8 (delapan) jiwa per kilometer
persegi.
Kota Pontianak dengan luas wilayah paling kecil diantara Kabupaten/Kota di
Kalimantan Barat yaitu sekitar 107,80 km2 memiliki jumlah penduduk paling besar
mencapai 565.856 jiwa atau sekitar 12,62 persen dari total luas wilayah Kalimantan Barat.
Dengan demikian Kota Pontianak merupakan kota terpadat penduduknya yaitu 5146 orang
per Km2.
Komposisi penduduk Kalimantan Barat, dari 4.477.348 jiwa penduduk, 51,11% atau
2.288.577 jiwa adalah laki-laki dan 48,89% atau 2.188.771 jiwa adalah perempuan. Rasio
jenis kelamin (sex ratio) penduduk adalah sebesar 104.56 artinya dalam setiap 205
penduduk terdapat 105 jiwa penduduk laki-laki dan 100 jiwa penduduk perempuan. Dilihat dari
ratio penduduk berdasarkan kabupaten/kota, hampir seluruh kabupaten/kota di wilayah
Kalimantan Barat (kecuali Kabupaten Sambas) memiliki ratio lebih dari 100 yang berarti
jumlah penduduk laki-laki lebih besar dari penduduk perempuan, untuk lengkapnya dapat dilihat
pada lampiran profil kesehatan tabel 2.
Gambar : 2.1
Piramida Penduduk Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011
Sumber : BPS
B A B III
PEMBANGUNAN KESEHATAN DAERAH
3.1.
Visi
Visi merupakan cara pandang jauh kedepan tentang kemana Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat akan diarahkan dan apa yang akan dicapai.
Dalam mengantisipasi tantangan kedepan menuju kondisi yang diinginkan, Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat secara terus menerus mengembangkan peluang dan
inovasi agar tetap eksis dan unggul dengan senantiasa mengupayakan perubahan ke arah
perbaikan. Perubahan tersebut harus disusun dalam tahapan yang terencana, konsisten dan
berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja yang berorientasi pada
pencapaian hasil (outcomes).
Untuk memenuhi harapan diatas, maka Visi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat
adalah :
Mewujudkan Kemandirian Masyarakat Kalimantan Barat
Sehat 2013
3.1.1. Penjelasan Makna
Didalam pernyataan Visi tersebut, terdapat katakata kunci sebagai berikut :
Masyarakat Kalimantan Barat Sehat 2013 yang diharapkan adalah masyarakat yang
proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mecegah risiko penyakit, melindungi
diri dari ancaman penyakit, berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat, serta
mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu. Sehat dalam hal ini mengandung arti
dalam perspektif luas, tidak sebatas pada kondisi fisikal yang prima, melainkan juga sehat
rohani, mental, intelektual dan sosial.
Mewujudkan Kemandirian Masyarakat Kalbar mengandung makna bahwa masyarakat
Kalbar mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kesehatannya dimana setiap penduduknya
mampu memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dengan pembiayaan secara
mandiri.
Kemandirian masyarakat untuk hidup sehat juga tidak terlepas dengan keluarga, yang
merupakan unit terkecil dari masyarakat. Di dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat,
keluarga merupakan sumber informasi dalam perawatan di rumah dan pengobatan sendiri.
Diharapkan dalam keluarga menunjukkan kemandiriannya dalam memberikan pelayanan
10
kesehatan pada anggota keluarganya dan mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu.
Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat,
pemerintah dan swasta. Apapun peran yang dimainkan oleh pemerintah, tanpa kesadaran
individu dan masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan mereka, hanya sedikit yang
dapat dicapai. Perilaku yang sehat dan kemampuan masyarakat untuk memilih dan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sangat menentukan keberhasilan
pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, salah satu upaya kesehatan pokok adalah
mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
3.2.
Misi
11
Cukup jelas
2)
3)
4)
5)
6)
12
Dengan demikian, tujuan merupakan penjabaran secara lebih nyata dari perumusan visi
dan misi yang unik dan idealistik.
Adapun tujuan strategis tersebut adalah sebagai berikut :
1.
2.
Tujuan strategis untuk mencapai misi: Membuat masyarakat Kalimantan Barat yang
sehat dan mandiri di bidang kesehatan serta Meningkatkan pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan adalah Tercapainya pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan yang sehat dan bermutu.
3.
4.
Tujuan strategis untuk mencapai misi: Terbinanya Keluarga sehat, mandiri dan
sadar gizi yang ditunjang oleh perilaku hidup bersih sehat adalah Meningkatnya
jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya, serta
peningkatan dukungan manajemen upaya pelayanan kesehatan.
5.
Tujuan strategis untuk mencapai misi: Memantapkan Sumber Daya dan Informasi
Kesehatan adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya Kesehatan dalam rangka
meningkatkan profesionalisme.
b. Meningkatnya pelaksanaan manajemen informasi dan pengembangan
kesehatan.
c. Meningkatnya pengembangan sumber daya pembiayaan dan jaminan
kesehatan.
13
14
2.
15
3.
4.
16
17
6.
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rujukan yang efektif dan efisien, dengan
indikator kinerja sasaran diantaranya:
-
Tingkat pemanfaatan RS :
BOR
LOS
TOI
BTO
Net Death Rate
Persentase rujukan ke rumah sakit regionalnya
Persentase rumah sakit yang telah terakreditasi
18
19
11. Menumbuhkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan mengembangkan
upaya kesehatan bersumber masyarakat, dengan indikator kinerja sasaran
diantaranya :
-
20
21
22
Tujuan Kesepuluh :
Meningkatnya pengembangan sumber daya pembiayaan dan jaminan kesehatan ,
dengan sasaran :
16. Meningkatkan pelaksanaan pengembangan sumber daya pembiayaan dan
jaminan kesehatan, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
-
23
BAB IV
24
(SDKI), berturut-turut AKB di Kalimantan Barat mulai tahun 1994 adalah 97 per 1.000 Kelahiran
Hidup, Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per 1.000 KH dan turun
menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI Tahun 2007. Jika dilihat dari kurun
waktu 1994 sampai dengan tahun 2007 meskipun terlihat adanya penurunan angka kematian
bayi di Kalimantan Barat, namun masih di atas rata-rata nasional yaitu 34 per 1.000 kelahiran
hidup. Adapun target Indonesia pada tahun 2015 (target MDGs) adalah menurunkan AKB
sampai 19 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 (SP
2010), AKB di Kalimantan Barat sebesar 27 per 1000 kelahiran hidup, sedikit lebih tinggi dari
rata-rata nasional yaitu 26 per 1000 kelahiran hidup.
Namun demikian jika merujuk pada data profil kesehatan kabupaten/kota yang masuk di
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, terlihat bahwa kasus kematian bayi adalah sebesar
588 kasus dimana kelahiran hidupnya berjumlah 86.174 sehingga dengan demikan jika dihitung
angka kematian bayinya hanya sebesar 6,82 per 1.000 kelahiran hidup (tabel 7 lampiran profil).
Gambar 4.1
ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP
TAHUN 1994 - 2010
120
100
97
70
80
47
60
46
27
40
20
0
1994
1997
2002
2007
2010
25
Sedangkan Angka Kematian Post-NeoNatal dan Angka Kematian Anak serta Kematian
Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi, serta program-program
pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak, program penerangan tentang gizi dan
pemberian makanan sehat untuk anak dibawah usia 5 tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus)
merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian balita (AKB). Setiap
tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam rentang waktu 0-12
hari pasca kelahirannya.
4.1.1.2. Angka Kematian Ibu (AKI)
Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun
waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat
persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi
bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain (Budi, Utomo. 1985).
Di Provinsi Kalimantan Barat untuk tahun 2011, Angka Kematian Ibu masih merujuk pada
Laporan Indikator Data Base 2005. Dengan asumsi 15% dari kematian wanita (Famale Death),
Angka Kematian Ibu adalah sebesar 403,15 per 100.000 Kelahiran Hidup. Sedang Jika AKI
menggunakan asumsi 20% dari kematian wanita (Female Death), maka AKI di Kalimantan Barat
sebesar 566 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan angka nasional sebesar
307 per 100.000 kelahiran pada periode 1998 2002, dan 228 pada tahun 2007, maka kematian
ibu di Kalimantan Barat masih jauh lebih tinggi dari target yang ingin dicapai pada Millenium
Development Goals (MDGs), yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Maka Kalimantan Barat akan sulit mencapai target tersebut. Untuk itu perlu dilakukan berbagai
upaya, serta koordinasi yang lebih baik antara pemegang program maupun lintas sektor dalam
upaya penurunan AKI di Kalimantan Barat.
26
Gambar 4.2
ANGKA KEMATIAN IBU PER 100.000 KELAHIRAN HIDUP
TAHUN 1994 - 2007
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
390
334
307
228
1994
1997
2002
2007
Sumber : BPS
Berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2011, kasus kematian ibu
maternal adalah sebanyak 110 kasus kematian dengan rincian sebanyak 19 kasus kematian ibu
hamil, 63 kasus kematian ibu pada saat persalinan serta sebanyak 28 kasus kematian ibu nifas.
Sehingga jika dihitung angka kematian ibu maternal dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak
86.174, maka kematian ibu maternal di provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar 128 per
100.000 kelahiran hidup (tabel 8).
Informasi mengenai tingginya Angka Kematian Ibu bermanfaat untuk pengembangan
program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan kehamilan dan membuat
kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy safer), program peningkatan jumlah
kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan
komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang
semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat
kesehatan reproduksi.
4.1.1.3. Angka Kematian Balita (AKABA)
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian anak berusia 0-5 tahun (59
Bulan) selama satu tahun tertentu per 1.000 anak umur yang sama pada pertengahan tahun itu
(termasuk kematian bayi).
27
28
29
Gambar 4.4
Meningkatnya Umur Harapan Hidup secara tidak langsung juga memberi gambaran
tentang adanya peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat serta turut
berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
4.1.1.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Pembangunan manusia adalah proses agar manusia mampu memiliki lebih banyak
pilihan dalam hal pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sebagainya.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang
menggabungkan tiga aspek penting, yaitu peningkatan kualitas fisik (kesehatan), intelektualitas
(pendidikan), dan kemampuan ekonominya (daya beli) seluruh komponen masyarakat dalam
kurun waktu tertentu. Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian keseluruh
negara atau provinsi. Dengan demikian IPM mengukur pencapaian kemajuan pembangunan
sosial dan ekonomi di negara atau provinsi tertentu.
IPM direpresentasikan oleh 3 dimensi, yaitu umur panjang dan sehat (longevity),
pengetahuan (knowledge) dan hidup yang layak (standard of living). Indikator yang digunakan
untuk mengukur dimensi umur panjang dan sehat adalah angka harapan hidup. Untuk
mengukur dimensi pengetahuan adalah angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah,
sedangkan dimensi kehidupan yang layak diukur dengan paritas daya beli (purchsing power
parity/PPP).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat Tahun 2011 adalah sebesar
69,53 poin. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi
Kalimantan Barat, dengan kondisi tersebut, IPM Kalimantan Barat menempati posisi peringkat ke
30
28 dari 33 Provinsi se Indonesia, hal ini berarti pada tahun 2011 Kalimantan Barat berada pada
posisi yang sama dengan tahun 2010.
Dari sisi perencanaan pembangunan, angka IPM yang semakin tinggi menunjukkan
keberhasilan di dalam pembangunan sumber daya manusia, sebaliknya angka IPM yang
semakin rendah menunjukkan kekurang berhasilan di dalam pembangunan sumber daya
manusia. Secara lengkap Indeks Pembangunan Manusia Kaliamantan Barat dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada gambar 4.5.
Gambar. 4.5.
68.79
69.15
69.53
68.17
67.53
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber : BPS
4.1.2. MORBIDITAS
4.1.2.1. Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia plasmodium
terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium
malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat
bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia
yaitu plasmodium falciparum yang meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang
menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan
plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang sebelumnya
terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta atau sesudah
31
transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dan
adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai dengan spesies; pada P. falciparum masa
inkubasinya 10 13; pada P.vivaks dan P. ovale, 12 16 hari; dan pada P. malariae 27 37
hari, tergantung pada ukuran inokulum. Malaria yang ditularkan melalui tranfusi darah yang
terinfeksi nampak nyata pada waktu yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Data WHO menyebutkan tahun 2008 terdapat 544.470 kasus malaria positif di
Indonesia, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1.100.000 kasus malaria klinis, dan pada tahun
2010 meningkat lagi menjadi 1.800.000 kasus malaria klinis dan telah mendapatkan
pengobatan. (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI).
Penyakit Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan rekapitulasi Profil Kabupaten/Kota Tahun 2011 (tabel 24) terdapat 36.233 kasus
Malaria tanpa pemeriksaan sediaan darah dan 44.977 kasus Malaria dengan pemeriksaan
sediaan darah. Jika mengacu pada definisi operasional pada indikator Indonesia Sehat 2010,
dimana penderita malaria di luar Jawa dan Bali adalah kasus dengan gejala klinis (demam tinggi
disertai menggigil) dengan atau tanpa pemeriksaan sediaan darah di laboratorium, maka
berdasarkan definisi operasional tersebut angka kesakitan malaria untuk kasus malaria tanpa
pemeriksaan sediaan darah di Kalimantan Barat adalah 8,1 per 1.000 penduduk. Hal ini berati
bahwa dari setiap 1.000 penduduk terdapat 8 orang yang terjangkit penyakit Malaria. Sedang
untuk kasus malaria dengan pemeriksaan sediaan darah, angka kesakitannya adalah 10 per
1.000 penduduk.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010, Data Kasus Baru Malaria tahun
2009/2010 yang diperoleh melalui wawancara ART dan ditanyakan apakah selama satu tahun
terakhir pernah didiagnosis menderita malaria yang sudah dipastikan dengan pemeriksaan
darah oleh tenaga kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa besarnya angka Kasus Baru
malaria tahun 2009/2010 di seluruh Indonesia adalah 22,9 per mil. Kasus terendah adalah di Bali
(3,4), sedang yang tertinggi adalah Provinsi Papua (261,5) diikuti Papua Barat (253,4),
NTT (117,5), Maluku Utara (103,2), Kepulauan Bangka Belitung (91,9), Maluku (76,5),
Sulawesi Utara (61,7), Bengkulu (56,7), Sulawesi Barat (56,0), Kalimantan Barat (53,1),
dan Jambi (52,2). Besarnya angka Kasus Baru malaria dikawasan Luar Jawa-Bali adalah 45,2
per mil atau hampir 6 kali angka Kasus Baru malaria di kawasan Jawa-Bali (7,6).
4.1.2.2. TB Paru
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC
32
dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui droplet
infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TBC juga ditularkan melalui
susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis.
Berdasarkan Hasil rekapitulasi Profil Kabupaten/Kota tahun 2011 tercatat TB Paru dengan
BTA Positif (+) sebanyak 4.367 kasus dengan angka insidens 98,9 per 100.000 penduduk.
Sedang untuk persentase kesembuhan penderita TB Paru dengan BTA positif di Kalimantan
Barat merujuk pada kasus yang diobati tahun 2010 adalah sebesar 93,20, dengan rincian dari
4.247 penderita yang diobati, sebanyak 3.958 penderita dinyatakan sembuh. (tabel 12).
Hasil wawancara ART pada Riskesdas tahun 2010 menunjukan bahwa Kasus Baru
Malaria dalam satu tahun terakhir (2009/2010) di seluruh Indonesia adalah: 22,9 permil. Lima
provinsi dengan Kasus Baru Malaria tertinggi adalah Papua (261,5), Papua Barat (253,4),
Nusa Tenggara Timur (117,5), Maluku Utara (103,2) dan Kepulauan Bangka Belitung
(91,9). Kejadian malaria ditemukan pada semua kelompok umur dan terendah pada bayi
dengan angka Kasus Baru malaria 11,6 permil, sedangkan kelompok umur lain hampir sama
yaitu sekitar 21,4-23.9 permil. Kasus baru malaria lebih banyak pada laki-laki (24,9), pada
pendidikan tidak tamat SD (27,5), petani/nelayan/buruh (29,8) dan di perdesaan (29,8).
4.1.2.3. HIV/AIDS
Menurutnya, Penyebab meningkatnya HIV dan AIDS lebih banyak dikarenakan adanya
heteroseksual atau bergonta-ganti pasangan, homoseksual, jarum suntik atau IDU, dan ibu yang
sedang hamil yang mengidap HIV dan AIDS yang mengakibatkan terjadinya penularan terhadap
bayi yang dikandungnya,
Jumlah kasus baru AIDS di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bila
pada 2005 hanya ada 2.638 kasus AIDS baru, tahun 2006 jumlahnya bertambah menjadi 2.873
kasus, naik lagi menjadi 2.974 pada 2007 dan menjadi sebanyak 4.969 kasus baru pada 2008.
Pada tahun 2010, di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan rekapitulasi data profil
kesehatan kabupaten/kota, kasus HIV sebesar 362 kasus, sedang AIDS ada sebesar 111 kasus.
Tahun 2011 jumlah kasus HIV sebesar 523 kasus dan jumlah kasus AIDS sebesar 213 kasus.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI, sampai tanggal 30 Juni 2010, secara kumulatif kasus AIDS
yang dilaporkan sejak tahun 1978 berjumlah 21.770 dari 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota.
Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan dari
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,
33
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS
nasional sampai 30 Juni 2010 adalah 9,44 kasus per 100.000 penduduk. Rate kumulatif kasus
AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,34 kali angka nasional), Bali (5,2 kali angka
nasional), DKI Jakarta (4,4 kali angka nasional), Kep. Riau (2,4 kali angka nasional), Kalimantan
Barat (1,8 kali angka nasional), Maluku (1,5 kali angka nasional), Bangka Belitung (1,2 kali
angka nasional), Papua Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau
(1,0 kali angka nasional).
Kasus HIV positif, sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif berjumlah 44.292
kasus dengan positive rate rata-rata 10,3%. Jumlah kasus baru pada triwulan kedua 2010
sebanyak 3.916 kasus. Daerah yang paling banyak terjadi kasus HIV positif adalah DKI Jakarta
(9.804 kasus), Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa Barat (3.798 kasus), Sumatera Utara (3.391
kasus), Papua (2.947 kasus), dan Bali (2.505 kasus) (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI).
Berdasarkan laporan Bidang Bina Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit, untuk
wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2011 tercatat
sebanyak 3.335 penderita HIV dan 1.610 orang penderita AIDS.
Menurut Sasongko, Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10%
diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama
pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar. Infeksi HIV
sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-49 tahun) terutama
laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90%
terjadi dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV
akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, selama
proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil
trimester terakhir, risiko penularan dapat dikurangi menjadi hanya 8%.
4.1.2.4. Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Kejadian AFP diproyeksikan sebagai indikator untuk menilai keberhasilan program
Eradikasi Polio (Erapo). Upaya pemantauan terhadap keberhasilan Erapo yaitu dengan
melaksanakan kegiatan Surveilans Secara Aktif untuk menemukan kasus AFP sebagai upaya
untuk mendeteksi secara dini munculnya virus polio liar yang mungkin ada di masyarakat untuk
segera dilakukan penanggulangannya.
34
Tahun 2011, berdasarkan hasil rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota tahun
2011 (tabel 9) terdapat 29 kasus AFP atau sebesar 2,04 per 100.000 penduduk berisiko (usia <
15 tahun). Dilihat dari kasus AFP, angka AFP Kalimantan Barat masih diatas angka AFP yang
ditargetkan SPM yaitu 2 per 100.000 anak usia < 15 tahun.
4.1.2.5. DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi
mendadak dengan manivestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian.
Penyakit DBD ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan mungkin juga Aedes
Albopictus.
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali di ketinggian
lebih 1.000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7
hari. Penyakit DBD dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit DBD lebih
banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan
kenaikan proporsi penderita Demam Berdarah Dengue pada orang dewasa (Faziah, 2004).
Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah endemik untuk penyakit DBD, hal ini
disebabkan karena letak geografis Kalimantan Barat yang sebagian besar merupakan dataran
rendah dan merupakan daerah rawa. Di samping itu, budaya masyarakat perkotaan di
Kalimantan Barat cenderung menyimpan persediaan air pada tempat-tempat penampungan air
di sekitar rumahnya. Hal ini akan menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti yang paling
disukai.
Gambar 4.8
Kasus DBD di Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2007 s.d 2011
12,000
9,710
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
808
960
2007
2008
677
784
2010
2011
0
2009
35
Di Provinsi Kalimantan Barat dalam tiga tahun terakhir berturut-turut dari tahun 2007
terjadi kenaikan kasus DBD adalah sebagai berikut : Pada tahun 2007 terjadi 808 kasus DBD
dengan angka kesakitan 20,24 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan
kasus menjadi 960 kasus dengan angka kesakitan sebesar 22,59 per 100.000 penduduk, pada
tahun 2009 terjadi peningkatan kasus yang sangat tinggi menjadi 9.710 kasus dengan angka
kesakitan 225 per 100.000 penduduk. Untuk tahun 2010, mengalami penurunan kasus yang
cukup tajam dari tahun sebelumnya menjadi 677 kasus dengan angka kesakitan 15 per 100.000
penduduk, dengan penderita meninggal sebanyak 13 orang (CFR 1,9%)
Pada tahun 2011, berdasarkan rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota, jumlah
kasus DBD meningkat dari tahun sbelumnya yaitu sebesar 784 kasus dengan angka kesakitan
17,5 per 100.000 penduduk, dengan penderita meninggal sebanyak 10 orang (CFR 1,3%) (tabel
23). Kecenderungan kasus DBD dari tahun ke tahun dapat dilihat pada gambar 4.8.
4.1.3. STATUS GIZI
Status gizi masyarakat dapat diukur melalui beberapa indikator, diantaranya adalah bayi
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Status Gizi balita, status gizi wanita usia subur
Kurang Energi Konis(KEK).
4.1.3.1. Gizi Buruk
Status Gizi merupakan suatu indikator yang sangat penting untuk menilai status
indikator derajat Kesehatan Masyarakat. Di dalam Indikator Indonesia Sehat 2010, status gizi
merupakan salah satu indikator yang menggambarkan derajat kesehatan masyarakat.
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi,
kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan
gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah
ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik.
Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi
buruk. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor.
Sementara itu, pengertian di masyarakat tentang Busung Lapar adalah tidak tepat. Sebutan
Busung Lapar yang sebenarnya adalah keadaan yang terjadi akibat kekurangan pangan dalam
kurun waktu tertentu pada satu wilayah, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan zat gizi
yang diperlukan, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi status gizi menjadi kurang atau
buruk dan keadaan ini terjadi pada semua golongan umur. Tanda-tanda klinis pada Busung
36
Lapar pada umumnya sama dengan tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor. Anak
kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang tidak selalu diikuti dengan gejala sakit. Dia
seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama
badannya mulai kurus.
Gambar 4.9.
Kasus Gizi Buruk Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011
37
Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukan bahwa ditingkat nasional sudah terjadi
penurunan prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur)pada balita dari 18,4 persen tahun
2007 menjadi 17,9 persen tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari
5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen pada tahun 2010. Sedang untuk prevalensi gizi
kurang, pada tahun 2010 tidak terjadi penurunan, yaitu tetap 13,0 persen.
Prevalensi. pendek pada balita adalah 35,7 persen, menurun dari 36,7 persen pada tahun 2007.
Penurunan terutama terjadi pada prevalensi balita pendek yaitu dari 18,0 persen tahun 2007
menjadi 17,1 persen tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita sangat pendek hanya sedikit
menurun yaitu dari 18,8 persen tahun 2007 menjadi 18,5 persen tahun 2010. Penurunan juga
terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita sangat kurus menurun dari 13,6
persen tahun 2007 menjadi 13,3 persen tahun 2010.
4.1.3.2. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup
bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas, artinya bayi lahir cukup bulan (usia
kehamilan 38 minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil ketimbang masa kehamilannya,
yaitu tidak mencapai 2.500 gram. "Biasanya hal ini terjadi karena adanya gangguan
pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu seperti adanya
kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang menyebabkan suplai
makanan ke bayi jadi berkurang." (Pringgardani, SpA).
Berat Badan Lahir Rendah (< 2.500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang
berpengaruh terhadap kematian perinatal dan nenonatal. Barker dkk dalam Hardiansyah dkk
(2000) mengungkapkan bahwa BBLR mempunyai dampak yang kompleks sampai usia dewasa
antara lain meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, gangguan
metabolik dan kekebalan tubuh serta katahanan fisik yang resultantenya adalah beban ekonomi
individu dan masyarakat.
Di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan rekapitulasi data profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2011, terdapat 1.330 bayi dengan BBLR dari 63.645 bayi lahir hidup yang
ditimbang (2,3%).
38
4.2.
KEADAAN LINGKUNGAN
39
40
sumber air bersih. Hal tersebut kemungkinan pula berdampak terhadap derajat kesehatan
masayarakat, oleh karenanya perlu diuji kelayakan kualitas airnya untuk dikonsumsi.
4.3. PERILAKU MASYARAKAT
Menurut teori Blum, salah satu faktor yang berperan penting dalam menentukan
derajat kesehatan adalah perilaku. Perilaku dianggap penting karena ketiga faktor lain
seperti lingkungan, kualitas pelayanan kesehatan maupun genetika kesemuanya masih
dapat dipengaruhi oleh perilaku. Selain itu, banyak penyakit yang muncul pada saat ini
disebabkan karena perilaku yang tidak sehat. Perubahan perilaku tidak mudah untuk
dilakukan akan tetapi mutlak diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
4.3.1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Rumah Tangga Berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan salah satu pilar
Indonesia dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Diantara salah satu sub sistem dalam SKN adalah sub sistem pemberdayaan masyarakat.
Tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi
dan pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok, dan masyarakat dibidang kesehatan secara
efesien dan efektif guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pemberdayaan perorangan mempunyai target minimal mempraktekan perilaku Hidup bersih dan
Sehat (PHBS) yang diteladani oleh keluarga dan masyarakat sekitar dan target maksimal
berperan aktif sebagai kader kesehatan dalam menggerakan masyarakat untuk berperilaku
hidup bersih dan sehat.
Dari hasil rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2011 pada Tabel 61,
menunjukan bahwa di Kalimantan Barat dari 262.067 rumah tangga yang dipantau, sebesar
115.809 (44,19%) merupakan Rumah Tangga ber Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
4.3.2. Posyandu
Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
berbagai upaya dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di masyarakat telah lama
dilakukan dalam bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Posyandu
merupakan salah satu bentuk UKBM yang telah lama di kembangkan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pencapaian persentase posyandu aktif di tingkat
kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 4.10.
41
Gambar 4.10.
Persentase Posyandu Aktif (Purnama + Mandiri )
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011
42
93.3
94
92
90
88.7
89.82
94.1
90.84
88
86
84
82
80
82.24
81.43
85.6
86.2
2010
2011
K4
82.65
78
76
74
2007
2008
2009
43
K1
Pada gambar 4.12. dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun selalu terjadi kesenjangan
cakupan K1 dan K4. Berturut-tururt kesenjangan K1 dan K4 mulai tahun 2007 adalah
sebagai berikut : Pada tahun 2007 kesenjangannya adalah 5,95%, menjadi 8,39% pada tahun
2008, menjadi 8,19% pada tahun 2009, pada tahun 2010 kesenjangan yang terjadi antara K1
dan K4 adalah sebesar 7,7% dan pada tahun 2011 kesenjangannya adalah 7,9%. Hal ini
berarti masih ada ibu hamil yang tidak terlindungi secara maksimal dalam proses kehamilannya
selama tahun 2011. Dikemudian hari perlu tetap dilakukan upaya yang lebih optimal agar
kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dengan K4 menjadi semakin kecil yang berarti
bahwa perlindungan terhadap ibu hamil semakin meningkat.
Informasi yang didapat dari hasil Riskesdas 2010 adalah, akses ibu hamil tanpa
memandang umur kandungan saat kontak pertama kali adalah 92,7persen (K1), sedangkan
akses ibu hamil yang memeriksakan kehamilan dengan tenaga kesehatan pada trimester
1 (K1-trimester 1) adalah 72,3 persen. Adapun cakupan akses ibu hamil dengan pola 1-1-2
(K4) oleh tenaga kesehatan saja adalah 61,4 persen. Gorontalo menunjukkan angka
terendah untuk K1-trimester 1 (25,9%) dan K4 (19,7%). Ada kecenderungan cakupan K1 dan
K4 yang rendah pada kelompok ibu hamil berisiko tinggi: umur <20 tahun, dan >35 tahun;
kehamilan ke 4 atau lebih; tinggal di pedesaan, tingkat pendidikan, dan status ekonomi
terendah.
4.4.2. Pertolongan Persalinan
Pertolongan persalinan
indikator pemantauan program
persalinan yang ditangani oleh
manajemen program KIA dalam
Komplikasi dan kematian ibu maternal dan bayi baru lahir sebagian besar terjadi
pada masa di sekitar persalinan, hal ini dapat disebabkan persalinan yang tidak dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai potensi kebidanan. Adapun definisi cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan adalah
Ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi kebidanan disatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
44
Gambar 4.13.
Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2011
45
persalinan oleh tenaga kesehatan hanya 69,3 persen dibanding pada kuintil 5 yaitu 94,5 persen.
Menurut Provinsi, DI Yogyakarta adalah provinsi yang terbaik (98,6%) dibanding Maluku utara
(26,6%).
Gambar 4.14.
Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Provinsi Kalbar
Tahun 2007 s.d Tahun 2011
46
Pelayanan KB
Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota
tahun 2011 (tabel 35) sebesar 843.183 dengan jumlah peserta KB aktif sebesar 546.473
(64,8%) dan peserta KB Baru sebesar 108.172 (12,8%). Adapun untuk penggunaan alat
kontrasepsi oleh peserta KB aktif secara rinci dapat dilihat pada tabel 33 lampiran profil.
Pada tahun 2011 di Kalimantan Barat, penggunaan suntik sebagai alat untuk menunda
kehamilan paling banyak dipilih oleh Pasangan usia Subur (PUS) yaitu sebanyak 50,3%,
kemudian diikuti oleh penggunaan pil sebanyak 38,9%. Sedang penggunaan MOP dan MOW
merupakan alat kontrasepsi yang paling sedikit diminati oleh PUS untuk menunda kehamilannya
yaitu masing-masing sebesar 1,3% untuk MOW dan 0,3% untuk MOP.
4.4.5.
Pelayanan Imunisasi
47
Kabupaten Kayong Utara (83,7%). Pencapaian UCI terendah ada pada Kota pontianak, yaitu
sebesar 41,4%.
Pelayanan imunisasi bayi mencakup vaksinasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis B dan
Imunisasi Campak yang dilakukan melalui pelayanan rutin Posyandu dan fasilitas pelayanan
kesehatan dasar lainnya. Berdasarkan pengolahan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun
2011, menunjukan bahwa cakupan imunisasi DPT + HB1 maupun campak dalam empat tahun
terakhir cenderung stabil, yaitu berkisar antara 91% 93% untuk DPT1+HB1, dan berkisar
antara 84% - 88% untuk imunisasi campak. Selain itu, meskipun masih adanya Droup Out (DO)
untuk imunisasi, namun jika dilihat dari kecenderungan tiga tahun terakhir, terlihat hasil yang
cukup menggembirakan, kerena meskipun sedikit, tetapi terlihat adanya penurunan kasus DO
dari tahun 2008 sampai tahun 2011.
4.4.6.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan,
pertumbuhan dan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah kekurangan
vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat. Studi
masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada
balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang dari 20g/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut
menggambarkan terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survei vitamin A pada
tahun 1992.
Di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan hasil pengolahan data dari profil kesehatan
kabupaten/kota, pada tahun 2011 menunjukkan bahwa pencapaian cakupan pemberian kapsul
vitamin A 2 kali pada balita sebesar 72,04% (Tabel 32 lampiran profil kesehatan).
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A secara
nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi dengan cakupan di
bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat mencapai 80%. Berdasarkan
laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 12-59
bulan sebesar 79,2%. Provinsi dengan cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan
Riau, dan Kalimantan Selatan sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan
pemberian kapsul vitamin A < 60% .
4.4.7.
Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian tablet
tambah darah (Fe). Ibu Hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya.
48
Paparan dari Direktur Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan KIA, berdasarkan laporan dari provinsi
tahun 2009, cakupan pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil pada tahun 2009
rata-rata nasional 68,5%. Beberapa propinsi seperti provinsi Bali, Lampung dan NTB,
mempunyai cakupan diatas 80%, sementara provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi Tengah
cakupannya dibawah 40%.
Di Kalimantan Barat, cakupan pemberian tablet Fe pada bumil dalam empat tahun
terakhir cenderung terjadi peningkatan. Pencapaian cakupan pemberian tablet Fe3 di Provinsi
Kalimantana Barat pada tahun 2011 adalah 84,32.
49
BAB V
SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN
Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokan dalam sajian data dan
informasi mengenai sarana kesehatan dan tenaga kesehatan serta alokasi anggaran kesehatan.
5.1.
SARANA KESEHATAN
50
Tabel 5.1
Distribusi Sarana Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011
51
BAB VI
PENUTUP
Data dan Informasi merupakan sumber daya strategis bagi pimpinan dan organisasi
dalam pelaksanaan manajemen, maka penyediaan data dan informasi yang berkualitas sangat
diperlukan sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan juga sebagai alat monitoring
dan evaluasi berjalannya kegiatan sehingga menjadi lebih efesien dan efektif. Data dalam
pembuatan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat ini diperoleh melalui penyelenggaraan
sistem informasi kesehatan berdasarkan profil maupun draf data Profil Kesehatan
Kabupaten/Kota dan data dari masing-masing pemegang program.
Penyusunan profil kesehatan sebagai salah satu instrumen dalam Sistem
Informasi Kesehatan Daerah disadari maupun tidak, memegang peranan penting bagi
semua pihak yang terlibat dalam pembangunan. Hal ini karena data dan informasi
merupakan sumber daya strategis bagi organisasi maupun individu dalam menjalankan
sistem manajemen yaitu dalam proses perencanaan sampai pengambilan keputusan.
Keputusan yang baik dapat dihasilkan apabila ditunjang dengan data yang akurat dan
validitasnya tidak diragukan.
Namun sangat disadari, sistem informasi kesehatan yang ada saat ini belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan sehingga tidak dapat memenuhi data dan informasi yang
dibutuhkan, apalagi dalam era desentralisasi pengumpulan data menjadi relatif lebih sulit
didapatkan dari Kabupaten/Kota yang berimplikasi terhadap ketepatan, kelengkapan maupun
keakuratan data yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan data dan informasi yang disajikan pada
profil kesehatan provinsi saat ini belum sesuai dengan harapan.
Kedepan, berangkat dari permasalahan yang dihadapi dari penyusunan Profil
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2011 ini, diharapkan kesadaran dan peran
serta aktif dari semua pihak untuk membenahi sistem manajemen data agar kinerja dari masingmasing bidang dapat lebih terukur dan memberikan gambaran yang lebih rinci dari pencapaian
masing-masing program serta kontribusinya bagi pencapaian visi dan misi pembangunan
kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.
52
.
Pontianak,
53
Desember 2012