Anda di halaman 1dari 38

Pi-Kai

Senin, 02 Februari 2015

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,


mencari Tuhan di Bait Al-Ka'bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah.

Empat abad semenjak Hamzah Fansuri mencari Tuhan di Ka'bah dan menulis syair Sidang
Ahli Suluk, ada seorang makhluk angkasa luar yang dengan susah payah juga mencari Tuhan.
Dengan catatan: ini sebuah dongeng modern. Persisnya, sebuah satire. Saya mengikutinya,
dan menikmatinya, di sebuah bioskop: film PK, karya sutradara Rajkumar Hirani.
"PK" adalah nama yang diberikan kepada sesosok makhluk angkasa luar yang turun di
Rajasthan, dari kata "pi-kai", kata Hindi yang kurang-lebih berarti "slebor". Makhluk itu,
dimainkan oleh aktor Aamir Khan dengan sangat bagus, dianggap manusia bumi sebagai
seseorang yang oleng pikirannya.
Ia memang tampak demikian. Begitu turun ke bumi, alat komunikasinya dengan pesawat
ruang angkasanya dicuri orang. Ia memburu benda itu--tapi ia tak bisa berbahasa manusia. Ia
sosok yang ganjil. Ke mana-mana ia bertelanjang bulat. Ia baru mendapatkan pakaian dari
mencuri baju dan celana pasangan manusia yang menanggalkan pakaiannya untuk bersetubuh
di dalam mobil yang diparkir. Setelah melalui salah paham yang merepotkan, ia baru bisa
berbahasa manusia--dalam hal ini bahasa Bhojpuri--setelah menyedot isi kesadaran seorang
pelacur dengan cara memegang tangannya erat-erat selama beberapa jam.
Dengan kecakapan baru itu ia meneruskan perjalanannya mendapatkan kembali instrumennya
yang hilang. Ia ke Delhi. Tapi tentu saja di kota dengan penduduk lebih dari 11 juta itu ia
ibarat mencari sebutir kedelai dalam unggunan kacang polong. Hanya Tuhan yang tahu,
begitu ia dengar orang menjawab pertanyaannya.
Maka ia pun mencari Tuhan.
Ia tak tahu bagaimana wujud Tuhan. Ia pun datang ke dalam kuil Hindu, gereja Katolik,
masjid, dan menjalani ritual yang (menurut kata orang) dikehendaki Tuhan agar
permintaannya dipenuhi. Ia mencoba--dalam keadaan putus asa--berhubungan dengan Yang
Maha-Tahu dan Maha-Penolong. Tapi orang ramai tak paham. Ia malah dikejar-kejar karena
dianggap mencemari apa yang sakral.
Akhirnya ia mulai melihat bahwa berhubungan dengan Tuhan sebagaimana ditentukan
agama-agama tak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan teperdaya. Bahkan bisa menghasilkan
sesuatu yang negatif. Manusia di dunia mencoba mengontak yang ilahi, tapi itu seperti

seseorang yang menelepon dan tersambung pada nomor yang salah dan mendapat jawaban
yang bukan dari Tuhan sendiri.
"Salah nomor" adalah sindiran film ini kepada agama-agama. Di balik nomor yang salah itu
yang bersuara adalah kehausan manusia akan kuasa. Personifikasinya adalah seseorang yang
diagung-agungkan sebagai aulia besar, Tapasvi Maharaj. Orang bertubuh tambun dan tinggi
ini dengan efektif mempertontonkan wibawa. Ia mengeluarkan fatwa dan petunjuk yang
diyakini umat, meskipun menyesatkan. Umat takut, mereka cemas, dan dengan mudah
mempercayainya. Juga ketika fatwa itu tak adil, atau menimbulkan penderitaan, atau meminta
orang mempersembahkan segalanya untuk kemegahan sang pemberi sabda.
Akhirnya PK membongkar semua itu: kita telah "salah nomor". Dan di mana Tuhan? Tetap
tak ada yang tahu, meskipun iman tetap utuh.
Yang jelas, penghuni angkasa luar itu mendapatkan kembali alat komunikasi yang dicarinya
dengan susah payah karena persentuhannya dengan manusia--dalam hal ini Jaggu (dimainkan
Anushka Sharma), seorang gadis presenter TV yang dengan setia mendampinginya.
Juga seseorang yang mengalami bagaimana agama-agama memisahkannya dari laki-laki
yang dicintainya, Sarfaraz, seorang pria muslim, hidup di Pakistan.
Dengan kata lain, Tuhan yang tak tampak, yang selamanya dicari, sebenarnya dapat ditemui
ketika seseorang terketuk hatinya oleh seorang lain, melampaui ketakutan, kecurigaan, dan
kebencian. Satire yang kocak dan tajam dalam PK mengandung sesuatu yang sering
diingatkan seorang sufi.
Ada bait lain dalam Sidang Ahli Suluk yang seperti itu:
Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata.
Tuhan "terlalu nyata", bila kita tak menutup mata kita sebagai bagian dari sesama yang fana,
tapi sebenarnya tak bisa disimpulkan dengan gampangan.

Goenawan Mohamad

Mega

Minggu, 01 Februari 2015


Putu Setia, @mpujayaprema

Semesta sedang bergerak mencari keseimbangan baru. Alam berada dalam posisi pancaroba,
tak mudah untuk ditebak. Mentari bisa terik, tapi tiba-tiba saja sinar surya tertutup oleh mega.
Baik itu megamendung yang akan membawa hujan ataupun meghanada--ini bahasa Jawa
Kuno--yang berarti guntur menggelegar. Tak selalu guntur mengirim hujan, harus pandai
membaca alam untuk sebuah rencana. Seorang jakajoko kalau diucapkan dalam
keseharian--bisa bingung oleh fenomena alam seperti ini. Dia harus meminta saran-saran dari
para tetua, apa yang akan dilakukan agar bisa tenteram.
Romo Imam sedang memberikan ceramah di paguyubannya sebelum arisan dibuka. Saya
menyimak dengan tekun. Tapi, terus terang, saya tak paham, kenapa Romo mengulas soal
alam. Memang, gerimis sejak tadi. Ah, meski tak paham, saya tetap menyimak.
Tiga kata ini banyak disebut sekarang: mega, surya, dan joko. Mega dan surya sudah
masuk dalam kamus bahasa kita, tapi joko tidak. Yang ada cuma jaka. Artinya, lelaki
dewasa, tapi belum berumah tangga. Ini adalah batas kemampuan seseorang untuk mencerna
alam. Atau, dengan bahasa yang mudah, seorang joko belum matang pengalamannya dalam
kehidupan di jagat ini. Ia masih perlu banyak belajar.
Berumah tangga hanyalah simbol dari kedewasaan yang dalam buku-buku lama disebut
grahasta, tak harus diartikan perkawinan. Seorang joko bisa saja sudah kawin dan beranak.
Tapi, sebagai simbol, ia belum punya pengalaman besar terjun ke masyarakat. Ia belum teruji
benar. Ia tak mudah membaca alam, apalagi kalau di atasnya ada mega dan surya yang
pengaruhnya sangat besar.
Waduh, ampun, ampun. Saya betul-betul tak paham. Tapi anggota paguyuban Romo semua
menyimak dengan tenang. Tak seorang pun berani menoleh ke arah lain, semua menatap
Romo. Tak ada yang bergerak, batuk pun tidak. Saya, yang bukan anggota paguyuban,
merasa terjebak dan terpaksa mendengarkan.
Namun, seorang joko yang mau menerima nasihat dari berbagai kalangan, sudah jelas orang
yang bijak dan punya harapan besar membawa ketenteraman jika ia berlanjut menjadi
pemimpin. Itu berarti ia rendah hati untuk mendapatkan masukan dan bukan memaksakan
kehendaknya yang belum tentu benar, lebih-lebih dalam bayangan mega dan surya yang tak
jelas maunya di tengah tiupan angin. Apalagi joko bisa mengumpulkan sembilan tetua untuk

dimintai pertimbangan, lalu menemui orang yang masih dianggapnya punya wibowo, itu
adalah pertanda ia mau mendengar semua suara.
Alam sedang bergerak mencari keseimbangan dan seorang joko yang rendah hati dan tidak
meledak-ledak dengan nafsu serakahnya akan selamat dalam masa yang sulit ini. Mari kita
dukung orang seperti itu, jangan biarkan dia sendiri.
Romo berhenti bicara dan orang-orang yang mendengarkan pada mengusap wajahnya dengan
tangan. Wajah mereka cerah. Tapi, sekali lagi, saya tak paham isi ceramah pendek Romo
Imam itu. Ketika Romo menyendiri, saya pun mendekati. Sampeyan ikut mendengarkan,
ya? Romo kaget melihat saya.
Saya menyalami Romo dan berujar, Saya mengikuti dari tadi, tapi tak paham Romo
ngomong apa. Di kepala saya, saat Romo mengucapkan mega, surya, joko, wibowo, dan entah
apa lagi, saya seperti mendengar Megawati, Surya Paloh, Joko Widodo, Prabowo...
Ah, sampeyan... Romo memotong saya. Otak sampeyan ada virus politik, seperti otak
kebanyakan orang. Apa-apa dibawa ke ranah politik. Hukum dipolitisasi, silaturahmi
dipolitisasi, blusukan pun dipolitisasi.... Romo tertawa. Saya ikut tertawa. Saya tetap
menduga Romo sedang berpolitik.

Penangkapan Kontroversial

Senin, 02 Februari 2015


Adrianus Meliala, Kriminolog FISIP UI, Komisioner pada Komisi Kepolisian Nasional

Jarang kita dengar kisah penangkapan yang kontroversial seperti halnya penangkapan
terhadap Bambang Widjojanto, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi. Saking
kontroversialnya, lembaga-lembaga negara yang melakukan fungsi oversight (pengawasan),
seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta Ombudsman
Republik Indonesia, turun tangan.
Tulisan ini mempergunakan perspektif kepolisian (bukan perspektif Polri) saat memahami
masalah penangkapan oleh kepolisian, yang dipicu oleh penangkapan terhadap Bambang
Widjojanto.
Sebagaimana diketahui, dalam rangka melakukan kegiatan kepolisian (policing), kepolisian
mendekati subyek kepolisian dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara preemptif,
preventif, dan represif. Pemilihan cara itu dikaitkan dengan status masalah yang dihadapi,
yakni saat masalah kepolisian itu masih cikal-bakal, sudah berupa masalah, dan ketika sudah
timbul ekses seperti pelanggaran hukum.
Mengenai tiga cara yang terkait dengan masing-masing status masalah tersebut, juga diiringi
dengan fungsi-fungsi kepolisian yang juga khusus. Sebagai fungsi, masing-masing satuan
memiliki keahlian plus prosedur tetap sendiri-sendiri.
Seorang pimpinan kepolisian lalu dikatakan profesional apabila secara proporsional mampu
mengaktivitasikan fungsi tertentu terkait masalah dengan status tertentu. Sebaliknya, jika
belum waktunya mengaktifkan fungsi reserse, mengingat belum ada pelanggaran hukum, tapi
reserse sudah melakukan penangkapan, maka tentunya ada yang salah pada diri si pemimpin
kepolisian, entah di tingkat markas besar, kepolisian daerah, kepolisian resor, atau kepolisian
sektor tersebut.
Menurut pendapat penulis, itulah penyimpangan yang sebenarnya, bukan soal
penangkapannya. Selanjutnya bisa ditelisik, apakah menggerakkan fungsi tertentu (yang lalu
dengan sendirinya menggerakkan protap yang juga khusus) itu merupakan intervensi,
pesanan atau titipan pihak lain, atau sepenuhnya hasil penilaian (judgment) dari yang
bersangkutan. Selanjutnya, bisa dilakukan penilaian bahwa, selain sudah melanggar HAM,

pemimpin kepolisian tersebut telah melanggar etika profesi, telah melanggar hukum, atau
bahkan bisa dikatakan telah melanggar semuanya.
Dalam konteks Bambang Widjojanto, memang selain mempermasalahkan mengapa
dilakukan penangkapan hukum, digugat juga mengapa perlu ditangkap dengan cara yang
dianggap melanggar hak asasi manusia. Menurut penulis, perlu terdapat kehati-hatian perihal
tuduhan pelanggaran hak asasi manusia tersebut yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penetapan seseorang sebagai tersangka, yang kepadanya akan dikenakan satu atau
lebih forced measures (ditangkap, ditahan, ditembak, digeledah, disita, disadap), maka pada
dasarnya merupakan langkah awal bagi pelepasan sebagian hak asasi yang bersangkutan.
Jadi, kepada yang bersangkutan tidak dapat dipergunakan standar hak asasi yang sama
dibanding individu bebas pada umumnya.
Kedua, dengan cara melihat yang lebih ekstrem, upaya paksa tersebut dapat dianggap sebagai
upaya negara untuk memelihara, paling tidak menjaga agar jangan sampai semakin
kehilangan, hak asasi yang lebih dasar seperti hak hidup. Ini dapat kita lihat pada tersangka
yang melawan saat penangkapan dan kemudian harus ditembak. Perlawanan dapat dilihat
sebagai ketidakbersediaan pada tawaran negara agar dilindungi haknya (melalui sistem
peradilan pidana).
Ketiga, kegiatan upaya paksa adalah kegiatan amat dinamis yang bersifat interaktif. Hitunghitungannya, jika tersangka memiliki satu anak buah, para pelaku upaya paksa harus
membawa dua petugas. Petugas harus memiliki kemampuan satu tingkat di atas pihak yang
akan ditangkap. Itulah substansi kegiatan enforcement (penambahan upaya paksa) dikaitkan
dengan tantangan yang dihadapi. Jadi, justru sesuatu yang anti-teori ketika ada orang yang
mengatakan, "Mengapa harus memborgol, kan tidak melawan."
Dikatakan anti-teori, mengingat orang pasti akan melawan, yang bisa saja dilakukan tidak
secara fisik, tapi juga bisa secara verbal dan yang lainnya. Untuk itu, memborgol justru
merupakan langkah agar tidak melawan dalam bentuknya yang bermacam-macam. Bukan
sebaliknya, karena tidak melawan, maka tidak perlu diborgol.
Keempat, pada umumnya, kegiatan penangkapan maupun berbagai upaya paksa lainnya
dilakukan oleh kepolisian secara sub-standar. Walaupun terdapat berbagai juklak dan juknis
yang berlaku di kepolisian maupun standar kegiatan kepolisian internasional, umumnya
upaya paksa di Indonesia berlangsung casual, informal, dan sering kali tidak sesuai dengan
hukum acara. Situasi khas Indonesia juga melahirkan penyesuaian, misalnya ketika yang
ditangkap adalah seorang tokoh. Ada juga kemungkinan polisi Indonesia kurang berlatih
melakukan teknik penangkapan sesuai dengan standar internasional.
Sehingga, jika pada suatu ketika upaya itu dilakukan dengan standar tertinggi dan sesuai
dengan ketentuan, seperti ketika menangkap Bambang Widjojanto, masyarakat kaget dan
malah melihat upaya itu sebagai penyimpangan.

Negeri Dua Nakhoda

Senin, 02 Februari 2015


Wiwin Suwandi, Pemerhati Tata Negara

Penegakan hukum di Indonesia kembali diuji. Ketegangan kembali muncul antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri setelah penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai
tersangka, disusul penangkapan dan penahanan pimpinan KPK Bambang Widjojanto oleh
Polri yang memantik reaksi dari masyarakat sipil. Ketegangan ini sebetulnya tidak perlu
terjadi jika sedari awal Jokowi cerdas menggunakan kewenangannya sebagai Presiden.
Saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka, ada dua opsi yang bisa diambil Jokowi.
Pertama, Jokowi masih memiliki kesempatan untuk menarik surat pengusulan BG sebagai
calon tunggal Kepala Polri saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka dan sehari sebelum
diadakannya fit and proper test di Komisi III DPR. Pertimbangannya, masa jabatan Sutarman
selaku Kapolri masih tersisa sembilan bulan lagi hingga Oktober 2015, sehingga tidak mesti
terburu-buru diganti.
Kedua, BG berbesar hati dan legawa menarik diri dari pencalonan untuk menunjukkan
penghormatan terhadap proses hukum dan institusi Polri. Toh, dia masih bisa diusulkan
sebagai Kepala Polri jika nanti tidak terbukti bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Meski menyakitkan bagi BG, setidaknya keputusan ini akan mencegah potensi konflik KPKPolri. Jokowi akan dipandang sebagai Presiden yang masih memiliki komitmen terhadap
upaya pemberantasan korupsi, dan BG akan dipandang sebagai seorang jenderal negarawan.
Namun proses hukum dan politik sudah berjalan. Jokowi "terjebak" dalam kebuntuan politik
dan hukum akibat ketidaktegasannya sedari awal. Memang betul, dalam hukum pidana
berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). BG tetap dilantik meski
berstatus tersangka. Namun patut juga dicamkan bahwa hukum tidak sesempit pasal dalam
undang-undang. Di atas norma ada etika dan asas: asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Mungkin tidak adil bagi BG, tapi akan dilihat adil bagi institusi Polri.
Di mata publik, Jokowi menjadi "pesakitan" akibat ketidaktegasannya dalam mencegah
konflik dua institusi penegak hukum. Jokowi terjebak di antara banyak kepentingan yang
memanfaatkan konflik KPK-Polri. Di PDIP, ia hanyalah kader yang harus "nurut dan manut"
kepada "tuannya". Kuasa konstitusional yang ia miliki sebagai presiden tumpul di hadapan
kuasa partai.

Inilah apa yang disebut sebagai "negara dengan dua nakhoda". Secara konstitusional, Jokowi
adalah presiden pilihan rakyat. Ia memenangi pemilihan presiden dengan suara yang
signifikan. Tapi secara politik, ia hanyalah kader yang tidak bisa melawan kuasa partainya.
Jokowi tak berdaya di atas kuasa oligarki yang diatur barisan demagog di belakangnya.
Demagog ini menjadi "tangan gaib" (the invisible hand) yang mengatur agenda politik hukum
sesuai dengan kepentingannya. Konflik KPK-Polri hanyalah agenda kecil di balik skenario
besar pelemahan KPK.
Publik pantas untuk marah dan menuntut Presiden Jokowi turun tangan. Desakan ini wajar
jika mengacu pada narasi konstitusional. UUD 1945 menempatkan Presiden sebagai
pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan negara. Ia memegang kendali atas TNI dan
Polri.
Saat ini situasi sudah mengarah pada kondisi ketidakpercayaan (distrust) rakyat kepada
pemimpinnya. Sudah saatnya Jokowi membuktikan bahwa ia mengabdi untuk bangsa dan
negara, bukan kepada kepentingan politik yang menyanderanya di belakang layar.

Peraturan Menteri Susi

Senin, 02 Februari 2015


Toto Subandriyo, penulis

Pada 8 Januari 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan
Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 yang dikenal nelayan sebagai Permen Cantrang.
Permen tersebut mengatur tentang pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela
(trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia. Permen ini menuai kontroversi. Gelombang demonstrasi nelayan yang pro dan
kontra merebak di sejumlah daerah hingga kini.
Cantrang adalah nama dari salah satu alat penangkapan ikan yang saat ini banyak digunakan
para nelayan, terutama nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Alat penangkapan ikan ini
termasuk jenis pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Alat penangkapan ikan sejenis
cantrang yang juga banyak digunakan nelayan adalah dogol (danish seines), payang, dan
lampara dasar. Selain itu, nelayan kita banyak menggunakan alat penangkapan ikan jenis
pukat hela.
Memang, berbagai gebrakan langsung dilakukan oleh Menteri Susi, antara lain
menenggelamkan kapal pencuri ikan. Berbagai regulasi dan peraturan pun dikeluarkan dan
tak sedikit di antaranya menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Secara normatif, aktivitas penangkapan ikan menggunakan pukat hela dan pukat tarik,
termasuk aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat
penangkapan ikan jenis itu mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam
kelestarian lingkungan. Karena itu, aktivitas manusia (antrophogenic causes) yang berpotensi
merusak kelestarian sumber daya ikan, baik langsung maupun tidak langsung, harus
dihentikan.
Sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO, ada
sembilan karakteristik alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Antara lain (1)
mempunyai selektivitas tinggi, (2) tidak merusak habitat, (3) menghasilkan ikan yang
berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan nelayan, (5) produksi tidak membahayakan
konsumen, (6) hasil tangkapan sampingan (by-catch) rendah, (7) dampak terhadap

keanekaragaman hayati (biodiversity) rendah, (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang


dilindungi, dan (9) tidak membahayakan nelayan.
Namun semua pihak harus bijak menyikapi pendapat pro dan kontra ini. Bagaimanapun
perilaku nelayan yang cenderung destruktif dalam menangkap ikan ini sangat dipengaruhi
oleh faktor ekonomi yang membelit sebagian besar nelayan. Karena itu, solusi permasalahan
ini harus menyentuh substansi dan akar permasalahannya, yaitu kemiskinan.
Upaya pengentasan kemiskinan nelayan dilakukan melalui diversifikasi usaha dengan
memberikan pelatihan usaha ekonomi produktif di luar usaha pokok menangkap ikan.
Pemberian stimulan modal sangat dibutuhkan untuk memulai usaha tersebut, termasuk
bantuan modal untuk penggantian alat tangkap yang ramah lingkungan. Akses kredit mikro
bagi wanita nelayan juga diyakini bisa membantu mengentaskan keluarga nelayan dari
kubangan kemiskinan.
Karena menyangkut masalah isi perut jutaan nelayan dan keluarganya, pemberlakuan Permen
Cantrang harus dipertimbangkan secara matang. Selain membutuhkan biaya cukup besar,
penggantian alat tangkap memerlukan waktu cukup lama dan memerlukan keahlian yang
cukup. Nah, di sinilah kearifan kita semua sedang diuji.

Memberdayakan KPI
Selasa, 03 Februari 2015
Roy Thaniago, Direktur Remotivi

Runtuhnya Orde Baru pada 1998, yang memberikan kebebasan kepada media, baru dinikmati
secara optimal oleh para elite ekonomi dan politik. Situasi ini baru sebatas memberi ruang
yang nyaman bagi penyaluran syahwat ekonomi para pemilik media ketimbang menjawab
kebutuhan akan informasi bagi publik. Tak berlebihan jika R. Kristiawan (2014)
menyebutkan media sebagai penumpang gelap demokrasi. Rupanya, ada yang luput disiapkan
dengan baik ketika keran demokrasi dibuka: hukum.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah buah dari hukum tersebut. Sayangnya, ia belumlah
buah yang masak. Dalam banyak hal, kewenangannya sangat terbatas. KPI hanya bisa
memberikan teguran, padahal jantung penyiaran ada di perizinannya. Sebab itu, tak
mengherankan jika banyak stasiun TV yang memandang remeh keberadaan KPI.
Jika Presiden Joko Widodo benar-benar mengusung ide revolusi mental untuk membawa
Indonesia berlari, media harus menjadi perhatian yang serius. Salah satunya adalah dengan
penguatan KPI, ide yang sebenarnya sudah dijanjikan Jokowi dalam Nawa Cita butir
kesembilan.
Saya mengusulkan dua hal konkret yang bisa dilakukan segera sembari menyiapkan regulasi
yang lebih mapan, seperti merevisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam pasal
mengenai KPI.
Pertama, perlu diterbitkan sebuah aturan yang memberi kewenangan kepada KPI dalam
memberi dan mencabut izin siaran stasiun TV dan radio. Kementerian Komunikasi dan
Informatika, yang selama ini memegang perizinan, mesti didorong untuk mendistribusikan
otoritasnya tersebut.
Selain untuk memperkuat KPI, hal itu dilakukan demi menggenapi ide frekuensi sebagai
sumber daya milik publik. Artinya, karena milik publik, otoritas pemberian izin harus berada
di tangan publik, bukan pemerintah. Sebab itu, otoritas tersebut harus dipegang oleh KPI
sebagai lembaga di luar pemerintah yang mewakili publik. Kalau pemerintah yang

memegang otoritas, izin penyiaran dapat dimaknai sebagai pemberian atau kado dari
pemerintah kepada pengaju izin, dan itu dapat ditarik kembali ketika berkonflik kepentingan
dengan rezim yang berkuasa (Armando, 2011).
Kedua, aturan penyiaran milik KPI (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran/P3SPS) perlu direvisi, yakni dengan memasukkan dan memberlakukan pasal denda.
Denda, menurut pengalaman di beberapa negara, terbukti efektif membuat jera pelaku
industri yang bebal. Dalam hal ini, logika bisnis harus diatasi dengan logika bisnis pula.
Mendapatkan keuntungan dengan menghalalkan apa pun harus dihentikan. Caranya antara
lain bisa ditempuh dengan menyiapkan aturan yang potensial menimbulkan kerugian bagi
stasiun TV yang nakal.
Jika pasal mengenai denda sulit diberlakukan dengan berbagai macam faktor (siapa
pengutipnya, bagaimana mengelola uangnya, dan lainnya), hukuman lain bisa menjadi
alternatif, yakni melarang stasiun TV menerima iklan dalam waktu tertentu, seturut dengan
derajat pelanggarannya.
Selama ini, pasal mengenai denda memang sudah termuat dalam P3SPS. Namun hal itu
dilumpuhkan dengan hanya bisa diberlakukan pada dua jenis pelanggaran (iklan rokok dan
durasi iklan). Sayangnya, denda itu pun tak pernah digunakan, meski terdapat jenis
pelanggaran tersebut.
Kalau revisi UU Penyiaran dikhawatirkan bakal menguras waktu panjang, merevisi P3SPS
jauh lebih mudah dan cepat. Apalagi, sesuai dengan mandat UU, KPI punya kewenangan
dalam menyusun peraturan penyiaran.

Pejabat 'Ngartis'
Selasa, 03 Februari 2015
Tasroh, pegawai negeri di Pemerintah Kabupaten Banyumas dan Alumnus Ritsumeikan AsiaPacific University, Jepang

Rancangan UU DPR RI khususnya Pasal 12 ayat 2 tentang "larangan anggota DPR RI


merangkap pekerjaan sebagai artis atau pekerjaan di luar sebagai politikus" hakikatnya adalah
regulasi yang sudah terlambat. Sudah lama dilarang, melalui berbagai regulasi lain
sebelumnya, termasuk dalam UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam Pasal 19 ayat 3 UU ASN tegas disebutkan bahwa semua penikmat anggaran publik
(baik dari sumber APBN, APBD, maupun BUMN/D atau pihak negara dan pemerintahan
lainnya), dilarang bekerja rangkap pekerjaan dalam waktu bersamaan.
Sayangnya, RUU DPR yang dinilai sebagai upaya memperbaiki kinerja wakil rakyat tersebut
justru banyak ditentang oleh wakil rakyat itu sendiri. Hal itu terlihat dari hasil riset
Poltracking (2015) yang menyebutkan sebanyak 55 persen wakil rakyat, khususnya wakil
rakyat yang berasal dari kalangan artis/selebritas hiburan, menolak tegas RUU DPR yang
melarang anggota DPR "ngartis" tersebut.
Dari mana pun asal-usul pekerjaan para wakil rakyat sebelum duduk menjadi wakil rakyat,
tak menjadi masalah serius. Yang menjadi masalah adalah, ketika mereka sudah dipercaya
konstituennya/rakyatnya untuk mewakili mereka di Senayan, sebagian besar wakil rakyat dari
kalangan artis tersebut belum bisa melepas pekerjaannya sebagai artis, sehingga banyak
pekerjaan di Senayan yang "keteter", bahkan jauh dari standar kinerja wakil rakyat. Sebab,
waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian mereka terbagi-bagi.
Secara regulasi negara, larangan merangkap jabatan/pekerjaan sebenarnya tidak hanya
berlaku bagi "wakil rakyat", tapi secara prinsip tindakan demikian juga berlaku bagi semua
pejabat publik/negara, baik dari eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan pejabat-pejabat dalam
jabatan/pekerjaan lain yang selama ini hidup dan bekerja dari sumber anggaran publik di
berbagai tingkatan.

Setidaknya ada dua bahaya yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kasus "pejabat ngartis". Pertama, merugikan keuangan negara. Kedua, merusak wibawa
negara/pemerintah.
Untuk yang terakhir inilah dampaknya yang amat sistemik. Kita bisa melihat kasus yang
menimpa Dahlan Iskan yang waktu itu masih aktif sebagai Menteri BUMN, tapi juga
menerima pekerjaan sebagai "bintang iklan" sebuah produk obat herbal. Demikian pula kasus
perusakan citra dan wibawa jabatan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat, di mana wakil
gubernurnya, sejak dijabat Dede Jusuf, menjadi bintang iklan obat sakit kepala, kemudian
dilanjutkan oleh wakil gubernurnya lagi, yakni aktor dan produser Dedy Mizwar, yang
menjadi bintang iklan makanan ringan, yang kini banyak menjadi lecehan publik di jejaring
sosial dan media massa.
Karena itu, RUU DPR soal pelarangan ngartis bagi wakil rakyat, menurut hemat penulis, tak
hanya wajib dicantumkan secara terang-benderang, tapi juga harus didukung publik untuk
segera diperjelas, baik sanksi hukumnya, sanksi sosialnya, bahkan hingga etika dan
moralnya. RUU DPR tersebut harus menegaskan perihal larangan ngartis bagi wakil rakyat
dan pejabat publik lainnya, agar mereka serius bekerja untuk rakyat dan negara. Jika tak
sanggup, mereka harus memilih: mau jadi artis atau pejabat.

Benahi Tata Ruang agar Bebas Banjir


Selasa, 03 Februari 2015
Nirwono Joga, Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau

Banjir adalah konsekuensi logis dari perubahan tata ruang akibat pembangunan kota yang tak
berkelanjutan. Hujan dianggap sebagai pembawa bencana banjir, sehingga pemerintah
berpikir bagaimana membuang air secepat-cepatnya ke saluran air, sungai, hingga akhirnya
ke laut. Maka lahirlah proyek normalisasi kali dengan cara menanggul/membeton sisi
bantaran kali, penyodetan sungai ke sungai/kanal terdekat, serta kanalisasi yang lurus
langsung ke laut. Sampai kapan?
Sampai manusia mau menyadari bahwa hujan adalah anugerah Tuhan yang seharusnya
disyukuri. Karena hujan, tanah gersang dibasuh air, petani dapat bercocok tanam, pepohonan
disirami, badan air (sungai, waduk, situ, embung, kolam) terisi air sebagai bekal pada musim
kemarau, serta badan jalan dan saluran air kota dibersihkan dengan menggelontorkan air
hujan.
Pemerintah kota seharusnya berupaya untuk menampung air sebanyak-banyaknya dan
menyerapkan air ke dalam tanah sebesar-besarnya (ekohidrologi). Pengelolaan air dilakukan
secara berwawasan lingkungan, menyelesaikan persoalan sumber daya air secara
komprehensif dalam perspektif ekosistem kota yang lebih luas, sekaligus melestarikan
keanekaragaman hayati.
Idealnya, pembangunan kota harus sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah, rencana
detail tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan. Pemerintah daerah harus berani
melakukan audit bangunan dan lingkungan, karena banyak bangunan berdiri di atas
peruntukan daerah resapan air. Setiap kaveling bangunan wajib menyediakan koefisien dasar
hijau sebagai ruang terbuka hijau privat seluas 20-30 persen dari total luas lahan, dilengkapi
dengan sumur resapan air atau kolam penampung air.
Di samping itu, kondisi saluran air Kota Jakarta hanya 33 persen yang berfungsi optimal,
sehingga hujan 1-2 jam sudah cukup untuk menggenangi jalanan Ibu Kota. Saluran air tidak
terhubung dengan baik, tertutup gundukan sampah, terdapat sedimentasi lumpur dan limbah,

jaringan kabel dan pipa yang tumpang-tindih, serta bangunan liar yang menutupi saluran.
Pemerintah perlu menyusun rencana induk saluran air dari skala mikro, meso, dan makro.
Diameter saluran air diperbesar, seperti saluran mikro dari 50 sentimeter menjadi 1,5 meter,
meso dari 1 menjadi 3 meter, dan makro dari 1,5 ke 5 meter. Di saluran air berukuran makro,
ruang terowongan berbagi dengan saluran air, saluran air limbah, dan jaringan utilitas terpadu
untuk kabel (listrik, telepon, serat optik), dan pipa (air bersih, gas). Saluran harus bebas dari
bangunan.
Pemerintah harus menormalisasi 13 kali utama yang mengalir di Kota Jakarta secara
bertahap. Kali dipertahankan sesuai dengan bentuk lekukan sungai yang mengular, warga
direlokasi ke rusunawa. Badan sungai diperlebar dari 15-20 meter ke 35-50 meter, dan
diperdalam dari 1-3 meter ke 5-7 meter. Tepi bantaran kali dihijaukan kembali selebar 15-25
meter dan dilengkapi dengan jalan inspeksi sekaligus jalur sepeda. Jalur hijau berguna
menampung luapan air sungai saat hujan, meresapkan ke dalam tanah, serta menghidupi
habitat ekosistem tepi kali.
Waduk dan situ, sebagai ruang terbuka biru kota, memiliki fungsi sebagai tempat parkir air,
penyuplai air tanah, penahan intrusi air laut, penjaga keseimbangan ekosistem (habitat satwa
liar, iklim mikro), tujuan ekowisata, dan pengendali banjir. Tipologi waduk dan situ terdiri
atas medium tampungan sumber daya air, daerah penyangga (sempadan 50-100 meter), dan
daerah tangkapan air.
Luas dan kedalaman ditentukan oleh bentuk morfologi (memanjang, bundar, berbentuk jari),
fluktuasi air, tingkat sedimentasi, air masuk dan air keluar di permukaan, serta beban nutriea
yang masuk ke perairan (gulma air). Keberadaan satwa liar di waduk dan situ berperan
sebagai indikator kualitas air.
Badan Informasi Geospasial (2013) mencatat bahwa dari 204 waduk-situ di Jabodetabek, 65
persen dalam kondisi rusak, di mana hanya 73 situ yang berfungsi baik, 74 situ buruk, 46 situ
terganggu, dan 11 situ berada dalam kondisi mengering.
Untuk itu, pemerintah perlu merevitalisasi waduk dan situ dengan membersihkan kawasan
dari penyebab kerusakan, yakni sedimentasi lumpur (42 persen); konversi menjadi
sawah/kebun, permukiman, perkantoran dan fasilitas umum (34,9 persen);
eutrofikasi/kenaikan gulma air (5 persen); tempat pembuangan sampah/limbah (2,4 persen);
dan lainnya (15,7 persen). Waduk dan situ dikeruk dari kedalaman 2-3 meter menjadi 7-10
meter, kemudian warga direlokasi ke rusunawa. Kawasan dikembalikan sebagai taman dan
pengendali banjir.
Normalisasi kali dan revitalisasi waduk dan situ akan menambah luasan RTH Jakarta, yang
saat ini baru berkisar 9,8 persen, baik berupa jalur hijau bantaran kali maupun taman
waduk/situ. Pemerintah daerah juga dapat menambah RTH baru berupa pembangunan taman
lingkungan, taman kota, hutan kota, lapangan olahraga, kebun raya, dan jalur hijau (di tepi rel

kereta, bawah SUTET, kolong jalan/jalan layang) guna memperluas daerah resapan air.
Pembangunan, penataan, dan pengelolaan kawasan badan air (sungai, waduk, dan situ) harus
melibatkan peran serta warga dalam merumuskan arah dan strategi pengembangan kota yang
ramah air, sehingga pada masa mendatang kota terbebas dari bencana banjir. Semoga.

Tabir Mantra Jokowi


Rabu, 04 Februari 2015
Musyafak, staf di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jokowi meninggalkan jejak semiotik yang menarik untuk dimaknai di tengah suasana ribut
antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Sang Presiden, yang didesak agar
bersikap tegas dalam menengahi konflik "cicak vs buaya", malah menulis sebaris ungkapan
Jawa pada laman akun media sosialnya: suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti
(www.tempo.co, 25/01/2015). Ungkapan yang dinukil dari syair pujangga Ronggowarsito
tersebut kurang-lebih berarti: sebesar apa pun angkara murka, bakal kalah jika dihadapi
dengan kebijaksanaan.
Ungkapan Jokowi di media sosial itu lebih mewakili dirinya secara personal dan subyektif.
Berbeda dengan pidato Jokowi dua hari sebelumnya di Istana Bogor, yang berdimensi politis
dan bersifat publik. Ekspresi Jokowi di media sosial memaknakan suasana batin atau ide
personal dirinya dalam merespons situasi politik yang menekannya.
Jokowi menyadari adanya "tangan-tangan murka" yang sedang mengonari langkah
pemerintahan seumur jagung yang ia jalankan. Sebagai Presiden dan kader partai sekaligus,
Jokowi tentu paham betul soal kepentingan-kepentingan di balik suro diro jayaningrat
(angkara murka) yang mengintimidasi kekuasaannya. Namun rasanya sikap pangastuti
(kebijaksanaan, kelembutan, atau kasih sayang) tak akan mudah mengalahkan angkara
murka. Sebab, yang hendak dilawan dengan pangastuti itu, sebagaimana situasi politik yang
berkembang sekarang ini, adalah "ibu politik" Jokowi sendiri, yang menggendongnya
menaiki anak tangga hingga ke kursi RI-1.
Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti memang bukan sepenuhnya berarti kepasrahan
yang dibalut dalam kata-kata puitis. Hikayat Nyai Pamekas versus Pangeran Citrasoma
mengilustrasikan bagaimana siasat lembut dapat mengalahkan hawa nafsu yang kasar.
Alkisah, Citrasoma begitu berahi terhadap Pamekas, hingga terang-terangan ingin
menidurinya.
Pamekas menolak secara lembut dan penuh siasat. Citrasoma diminta untuk meniduri semua
orang agar perzinahan mereka tak bisa diketahui seorang pun. Namun hasrat Citrasoma tak

lantas terpenuhi ketika semua orang telah berhasil dia sirap. Malah, Pamekas berkata
kepadanya bahwa Tuhan yang Maha Kuasa belum tidur. Begitulah, akhirnya kebijaksanaan
dan kelembutan Pamekas meluluhkan hasrat durjana Citrasoma.
Sebagaimana Pamekas, di balik kelembutan Jokowi (publik menafsirkannya sebagai
ketidaktegasan), bisa saja terkandung siasat perlawanan juga. Pembentukan Tim 9
mengindikasikan "serangan samping" terhadap pihak-pihak yang mengintervensi pencalonan
Kapolri. Kalau nantinya Jokowi mengindahkan rekomendasi Tim 9, yang terdiri atas para
negarawan dan begawan itu, "serangan samping" tersebut tentu punya arti. Kalau Tim 9
hanya dijadikan "gincu" oleh Jokowi, dengan sendirinya Jokowi membeberkan bahwa dirinya
hanya berlindung di balik mantra syair Ronggowarsito.
Jokowi tentu lain dengan Pamekas, yang inferior ketika berhadapan dengan Citrasoma.
Dilihat dari posisi politik dan konstitusi, Jokowi bukanlah manusia tak berdaya. Amanah
rakyat dan konstitusi yang menjadi kekuatan utama Jokowi merupakan amunisi besar yang
semestinya dimanfaatkan untuk melawan dengan tegas pihak-pihak yang mengintervensinya
dalam menjalankan pemerintahan. Betapa "kebijaksanaan lembut" Jokowi memakan waktu
lama, sehingga potensial membuka celah-celah persoalan baru yang kian ruwet di tengah
pertikaian antarlembaga penegak hukum.

Dramaturgi Cicak-Buaya Jilid III


Rabu, 04 Februari 2015
Agung Baskoro, Analis Politik Poltracking

Drama konflik hukum Cicak-Buaya Jilid III memasuki babak baru karena mulai berimplikasi
luas secara politik dan mengganggu stabilitas nasional. Kondisi ini, bila disederhanakan
dalam sebuah alur cerita, mengarah kembali berada di alur maju, karena sebelumnya Presiden
terjebak dalam tarik-ulur elite akibat dukungan politik yang lemah.
Kondisi ini seiring dengan langkah Presiden dalam menghasilkan sejumlah inovasi politik
yang dibaca publik sebagai manuver untuk melepaskan diri dari tuntutan politik PDIP
maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Beberapa bentuknya terpapar jelas, yakni
membentuk Tim 9; bertemu dengan Prabowo, Habibie, dan Kompolnas; serta memanggil
untuk kesekian kalinya pelaksana tugas Kapolri atau Kabareskrim, agar sengkarut ini dapat
diobyektifikasi secara utuh. Namun alur yang maju ini akan kembali mundur bila Presiden
Jokowi akhirnya melantik Budi Gunawan (BG), yang berstatus tersangka, sebagai Kapolri
definitif.
Dalam beberapa hal, konflik ini menyisakan beberapa fakta politik yang menarik untuk
dicermati. Pertama, keinginan mitra koalisi Presiden Jokowi untuk terus mendesak agar BG
dilantik sebagai Kapolri menimbulkan pertanyaan tersendiri di tengah status hukumnya
sebagai tersangka dan upaya penghancuran KPK. Pada bagian lain, penggantian tidak wajar
di lingkup internal Polri berkaitan dengan posisi Bareskrim yang menguatkan dugaan
hadirnya intervensi demi mengamankan sejumlah kasus hukum, setelah posisi Jaksa Agung
diisi oleh elite KIH.
Kedua, publik menyaksikan secara masif telah terjadi penghancuran KPK lewat penangkapan
Bambang Widjojanto, yang diikuti oleh laporan para Komisioner soal kasus-kasus lama
sebelum mereka duduk di KPK. Kondisi ini amat disayangkan di tengah upaya publik
menggaungkan pemberantasan korupsi di segala lini. Sebab, apa yang dialami para
komisioner ini sudah masuk ranah kriminalisasi karena baik secara hukum maupun etika,
mereka sebenarnya tak bermasalah.

Ketiga, problem yang terjadi di antara KPK dan Polri seharusnya bisa dibatasi bila secara
personal BG mengikuti langkah BW, yakni mengundurkan diri. Sebab, status hukum yang
disandang keduanya sebagai tersangka dapat menghalangi penegakan hukum secara
maksimal oleh aparat terkait. Persoalan etika politik mengemuka di tengah masalah ini
karena telah menyebabkan keresahan publik dan kegaduhan politik secara terus-menerus.
Etika politik dari para pihak yang berkonflik menjadi penting terwujud karena bertujuan
menerangkan kebaikan dan keburukan (Telchman, 1998). Konteks kebaikan dalam politik
sesungguhnya hadir dalam ruang publik, sehingga standar baik dalam politik sudah
sepatutnya adalah publik, bukan individu atau kepentingan kelompok tertentu.
Publik semakin eksplisit memahami bahwa konflik yang terjadi di antara KPK-Polri bukan
sekadar masalah hukum. Sebab, dampak politik yang ditimbulkan setelah Presiden
memutuskan solusi atas masalah ini cukup besar. Bila diulas lebih jauh, problem ini
menciptakan tiga momentum strategis bagi Presiden Jokowi dan mitra politiknya di
parlemen.
Pertama, Presiden Jokowi dapat menjadikan masalah ini sebagai titik balik untuk menjadikan
konstitusi dan kehendak rakyat sebagai panglima dalam menjalankan pemerintahan. Sebab,
setelah 100 hari bekerja, berbagai capaian yang diraih oleh pemerintah tergerus akibat
ketidakjelasan posisi dan sikap Presiden dalam pengangkatan Kapolri baru.
Kedua, bagi KIH, pengangkatan BG menjadi harga mati, sementara Koalisi Merah Putih
(KMP) memandang hal ini menjadi hak prerogatif Presiden, sehingga apa pun keputusannya
akan didukung penuh. Tentu bingkai terbaru ini bisa kembali berubah (dinamis), tapi di sisi
lain mematahkan argumen banyak pihak soal sikap kedua kubu yang dianggap akan
permanen mendukung atau menolak kebijakan pemerintah.
Karena itu, Presiden harus menempatkan dan memanfaatkan realitas ini, sehingga keputusan
apa pun yang diambil memang menjadi solusi bagi semua (win-win solution). Meski
demikian, sebagai pihak yang mendukung pencalonan BG, KIH akan berada dalam posisi
kalah karena telah dianggap setara dengan KMP serta berpeluang berpindah haluan, minimal
sebagai mitra kritis atau bahkan menjadi oposisi, sebagaimana lakon yang dimainkan PDIP
selama Presiden SBY berkuasa.
Ketiga, ketegasan presiden dalam kasus Cicak-Buaya Jilid III ini dapat menjadi sinyal bahwa
komitmen antikorupsi pemerintah tak perlu diragukan. Kondisi ini, bagi PDIP, sangat
berbahaya karena dampaknya sudah pernah dirasakan oleh Demokrat pada Pemilu 2014,
dengan raihan suara elektoral yang terdegradasi cukup dalam setelah banyak anggotanya
yang terjerat kasus korupsi.
Meminjam istilah Goffman, publik harus berhati-hati (read between the lines) serta tidak
terpaku pada retorika, manuver, dan alur cerita di panggung depan (front) karena semua

perilaku elite tersebut sudah dilengkapi dengan setting kepentingan dan lakon kekuasaan
yang dominan dibanding aspirasi rakyat sebagai mandat.

Kebinekaan
Rabu, 04 Februari 2015
Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta

Kebinekaan kian rapuh. Itulah hasil diskusi dan peluncuran Jurnal Maarif Volume 9 Nomor 2
Tahun 2014 pertengahan Januari lalu, yang bertajuk "Masa Depan Politik Kebhinekaan di
Indonesia". Hal itu didasari angka intoleransi yang cukup tinggi di republik ini. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, dalam laporan akhir tahun 2014, menerima 67 berkas
pengaduan. Pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi akibat dominasi
kelompok intoleran yang menyebarkan kebencian dan intoleransi dengan beraneka cara
(Kompas, 24 Januari 2015).
Intoleransi yang didasari sikap emosional dan destruktif--meminjam istilah Lester Kurtz
dalam Gods in the Global Village--semakin memperkeruh situasi kebangsaan. Situasi
kebangsaan sudah saatnya dibangun dengan suasana tenang dan damai. Jika kedamaian
dicederai dengan berbagai urusan politik (kekuasaan) dan ekonomi (urusan perut dan kuasa
modal), persoalan keagamaan hanya dijadikan kedok kebrutalan pihak-pihak yang tidak
bertangung jawab.
Karena itu, falsafah bangsa, bhineka tunggal ika, tampaknya perlu kembali didengungkan.
Guna mewujudkan hal tersebut, pemerintah selayaknya menjadi pelopor perdamaian.
Pemerintah seharusnya berdiri sebagai dewa keadilan, keamanan, keadaban, dan
kemakmuran. Mereka adalah dewa pelindung bagi semua. Mereka adalah pengejawantah
nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Saat pemerintah mewujud menjadi hal tersebut, saya kira ia akan berdiri sebagai pemimpin.
Mereka tak lagi menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Ia
menjadi seorang yang dapat bersikap ikhlas, adil, dan tulus dalam menjalankan amanat
kepemimpinan.
Pemerintah pun selayaknya berdiri di atas semua golongan. Pemerintah mendorong dirinya
untuk menghargai dan menghormati masyarakat dalam hal pengamalan kesalehan individu
yang mewujud dalam kesalehan publik. Sebuah potret kesalehan yang menguatkan sendi-

sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.


Lebih lanjut, upaya pemerintah --dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag)-- merancang
Undang-Undang Kerukunan Beragama sudah selayaknya ditujukan untuk diri sendiri.
Artinya, UU tersebut pada dasarnya bukan untuk mengatur umat beragama, melainkan
sebagai acuan bagi pemerintah sendiri dalam bertindak dalam mewujudkan harmoni
kehidupan beragama dan keberagamaan di Indonesia.
Hal tersebut didasari fakta bahwa kehidupan umat beragama relatif baik. Pemerintah,
sebagaimana temuan The Wahid Institute, merupakan biang intoleransi yang perlu belajar
kepada umat beragama dalam membangun keadaban publik. Pemerintah tak perlu malu
mengakui kekurangannya. Pemerintah pun perlu belajar kepada umat beragama di Nusantara.
Semoga 2015 membawa kehidupan keagamaan yang lebih baik dibanding 2014. Pemerintah
juga perlu meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas tingginya angka intoleransi yang
disebabkan oleh ulah aparatur negara. Permohonan maaf ini tidak akan menurunkan martabat
pemerintah. Bahkan, pemerintah akan mendapat posisi mulia dari proses kepemimpinan yang
mengakui kekurangan dan kesalahan guna menuju kehidupan yang lebih penuh kedamaian
dan ketenteraman.

Hukuman Mati dan Kejahatan Narkotik


Kamis, 05 Februari 2015
Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pendiri Imparsial, pengacara terpidana mati anggota Bali
Nine

Saya percaya bahwa hukuman mati bukan hanya hukuman yang tidak adil, tapi juga hukuman
yang tak menimbulkan efek jera (deterrence) atas para pelaku tindak kejahatan apa pun.
Banyak studi yang membuktikan bahwa kejahatan pembunuhan dan narkotik tetap tak
berkurang di negara-negara yang menganut hukuman mati. Rasanya inilah juga yang
membuat mayoritas negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati (abolition) atau
setidaknya melakukan moratorium yang notabene bisa disebut sebagai abolition de facto.
Mengapa harus menghapuskan hukuman mati? Pertanyaan inilah yang musti dijawab secara
terang. Tentu alasan utama saya adalah bahwa "hak untuk hidup" itu adalah hak asasi
manusia yang dijamin oleh UUD 1945 sebagai hak yang tak bisa diganggu gugat dalam
keadaan apa pun (non-derogable right). Ini berlaku secara universal, dan siapa saja yang
berkiprah dalam hak asasi manusia akan tahu bahwa non-derogable right itu adalah hak yang
paling asasi. Di Indonesia, legislasi yang mengatur hak asasi manusia juga ada yang memuat
pasal hukuman mati. Ini adalah potret sikap mendua atau standar ganda, a contradiction in
terminis.
Tidak ada sistem peradilan pidana yang sempurna, tanpa kekeliruan dan kesalahan. Di negara
yang judicial corruption masih sangat kental, miscarriage of justice selalu terjadi. Di
Amerika Serikat pada 1993, ada 48 terpidana mati yang dibebaskan dari hukuman karena
terbukti mereka bukanlah pelaku tindak pidana yang dituduhkan, padahal mereka sudah
ditahan selama 20 tahun. Angka ini berasal dari laporan yang berjudul Innocence and the
Death Penalty: Assessing the Danger of Mistaken Execution yang disampaikan ke parlemen
(Congress).
Ketika hukuman mati dijatuhkan, tak akan ada koreksi yang bisa dilakukan jika ternyata ada
kesalahan. Karena itu, hukum pidana menyediakan alternatif hukuman yang sangat berat,
yaitu hukuman seumur hidup. Selain itu, setiap orang seharusnya diberikan hak untuk
memperbaiki dirinya, membayar kesalahan yang dia lakukan, dan memberi kontribusi untuk

masyarakat. Pada hakikatnya, tujuan pemidanaan itu adalah memperbaiki dan merehabilitasi
seseorang. Dalam kejahatan hak asasi manusia berat sekalipun ada mekanisme pemaafan
melalui mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi, di mana dikenal adagium: to forgive, not to
forget. Bisakah semangat itu diintegrasikan dalam sistem pemidanaan kita?
Dalam sistem hukum kita sebetulnya prinsip pemaafan ini bukan tak dikenal. UUD 1945
mengenal apa yang disebut sebagai "grasi", di mana seseorang bisa memohon pengampunan
kepada Presiden. Di sini Presiden diberikan kewenangan konstitusional untuk memberi maaf
setelah lebih dulu memperoleh opini hukum dari Mahkamah Agung. Sayangnya, penolakan
grasi yang disampaikan oleh Presiden itu tak disertai dengan pertimbangan sama sekali.
Saya kira pemohon grasi haruslah dilihat sebagai manusia (human), bukan sebagai angka
(number). Saya khawatir bahwa permohonan grasi yang ditulis biasanya dengan berbagai
alasan telah ditolak hanya dengan membaca apa yang tertulis di atas kertas, di mana
Mahkamah Agung hanya membaca, dan Presiden juga hanya berpegang pada apa yang
tertulis. Kalau ini yang terjadi, fungsi grasi menjadi tak bermakna karena menolak
permohonan grasi hanya berdasar bacaan tertulis tanpa assessment nyata terhadap
manusianya, jelas tak akan memenuhi sasaran, apalagi keadilan.
Hukuman mati akan selalu menimbulkan silang pendapat, pro-kontra. Tapi, jika kita melihat
perdebatan di tingkat internasional, khususnya PBB, hukuman mati itu sudah disimpulkan
sebagai hukuman yang tak lagi etis dilakukan.
Khusus mengenai kejahatan narkotik, pendapat umum yang berlaku di tingkat PBB adalah
bahwa kejahatan narkotik tak termasuk the most serious crime dan karenanya tak harus
dijatuhkan hukuman mati. Mengapa? Karena Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik memang
memungkinkan buat negara yang belum siap untuk tetap menjatuhkan hukuman mati untuk
the most serious crimes. Tapi Indonesia, meskipun menduduki posisi sebagai anggota Komisi
Hak Asasi Manusia PBB, tak mengindahkan konsensus internasional ini, dan tetap
menjatuhkan hukuman mati buat kejahatan narkotik.
Dalam konteks pembelaan terhadap nasib tenaga kerja Indonesia yang berserakan di banyak
negara, yang menerima hukuman mati untuk pelbagai jenis kejahatan, penghapusan atau
setidaknya moratorium hukuman mati pasti akan membantu. Apabila kita tetap
mempertahankan hukuman mati, negara-negara di mana hukuman mati dijatuhkan untuk para
tenaga kerja Indonesia tersebut akan gampang sekali menolak pembelaan meniadakan
hukuman mati. Di mana moralitas pembelaan itu jika dalam waktu bersamaan kita juga
memperlakukan hukuman mati? Resiprositas (timbal balik) berlaku di sini. Jadi, kalau ingin
pembelaan terhadap warga negara kita yang dijatuhi hukuman mati dilakukan secara efektif,
prasyarat penting untuk itu adalah menghapuskan atau setidaknya memoratorium hukuman
mati.

Angsa Hitam Pemberantasan Korupsi


Kamis, 05 Februari 2015
Andi Irawan, Peminat Telaah Ekonomi-Politik Indonesia

Sebelum Benua Australia ditemukan, orang yakin bahwa semua angsa di dunia berwarna
putih. Adalah kemustahilan bahwa angsa ada yang berwarna hitam, sampai kemudian
kemustahilan itu menjadi keniscayaan, bahwa benar ada angsa hitam. Fenomena black swan
(angsa hitam) dalam perspektif ilmu sosial adalah fenomena kelangkaan atau mendekati
kemustahilan untuk hadir.
Angsa hitam adalah fenomena yang sangat langka. Dengan probabilitas yang kecil, tapi
ketika muncul berdampak spektakuler, seraya mendorong semua pihak memberi tafsiran baru
bagi fenomena tersebut (lihat Taleb, 2009).
Fenomena Jokowi dalam perspektif politik elektoral bisa dikategorikan sebagai black swan.
Dalam kondisi politik Indonesia pada era Reformasi ini, semua orang percaya: menjadi RI-1
hampir mustahil bagi seorang dengan predikat sosial-ekonomi-politik seperti Jokowi pada
saat itu. Untuk masuk seleksi sebagai calon presiden saja, pastilah seseorang harus memiliki
satu atau lebih dari kategori berikut: elite puncak, bahkan god father/mother partai politik,
pengusaha kelas kakap, tokoh-tokoh puncak ormas-ormas besar republik seperti NU dan
Muhammadiyah. Di antara semua kategori itu tidak ada yang dimiliki Jokowi.
Masuknya Jokowi dalam bursa pemilihan presiden yang kemudian memenangi Pemilu 2014
menunjukkan fenomena black swan penting bagi pengembangan demokrasi Indonesia.
Mengapa? Karena bangsa ini mendapat pelajaran penting bahwa setiap anak bangsa yang
bukan siapa-siapa; bukan orang nomor satu partai politik besar atau ormas besar, bukan
pengusaha konglomerat atau kakap, bisa menjadi presiden selama yang bersangkutan dinilai
oleh rakyat berkinerja sangat prima.
Tapi yang perlu diingat oleh Jokowi, ada fenomena black swan yang perlu dihadirkan bagi
bangsa ini, yakni bangsa yang bersih dari korupsi. Bersihnya negara dari korupsi bagi banyak
orang hari ini adalah utopia. Pernyataan Lord Acton bahwa "power tends to corrupt" adalah
sesuatu yang postulat bagi kita sebagai bangsa. Kekuasaan juga adalah saringan yang paling

efektif dalam membuktikan karakteristik kualitas kepemimpinan seseorang (kata Abraham


Lincoln).
Hari ini, kehadiran seseorang pemimpin yang bisa berkontribusi signifikan dalam
memberantas korupsi adalah fenomena black swan bagi bangsa ini. Semua pemimpin yang
pernah hadir menjadi pemimpin negeri pada era Reformasi ini selalu berjanji sebelum
menjadi pemimpin puncak negara untuk menghilangkan korupsi. Dan masalahnya sekali lagi,
belum ada satu pun pemimpin yang bisa diakui oleh publik sebagai sosok yang berpihak total
dan berada di garda depan dalam memberantas korupsi.
Fenomena penangkapan salah satu pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dari kacamata
publik yang bernalar sehat, sulit untuk tidak mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah
bentuk upaya pelemahan usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Fenomena black swan ketika Jokowi menjadi presiden, untuk bisa menjadi pelajaran penting
bagi pendidikan politik bangsa ini, menjadi kehilangan relevansinya jika ternyata
kehadirannya sebagai RI-1 tidak bisa berkontribusi besar menghadirkan black swan
(kemustahilan) yang sangat dibutuhkan bangsa kita saat ini, yakni negara yang bersih dari
korupsi.

Kesenjangan Ekonomi
Kamis, 05 Februari 2015

Kadir, penulis, bekerja di Badan Pusat Statistik

Pemerintah menargetkan penurunan rasio gini dari 0,42 menjadi 0,36 dalam lima tahun
mendatang (Koran Tempo, 27 Januari). Itu artinya, pemerintah memiliki komitmen yang kuat
untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang dibarengi pemerataan.
Tak bisa dimungkiri, selama ini pembangunan ekonomi nasional lebih difokuskan pada upaya
mengejar angka-angka pertumbuhan ekonomi, tanpa mempedulikan aspek pemerataan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi kurang berbobot. Hal itu terlihat dari penurunan
kemiskinan yang lambat dan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.
Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan rasio gini menjadi sangat krusial untuk
menghindarkan negeri ini dari dampak buruk kesenjangan ekonomi yang kian melebar.
Dalam soal ini, sedikitnya, ada dua dampak buruk yang bakal terjadi. Pertama, kohesi sosial
dan politik menjadi lemah.
Kohesi sosial dan politik yang lemah berpotensi melahirkan konflik sosial di tengah
masyarakat. Gawatnya, kini, gejala pelemahan tersebut mulai tampak. Hasil survei Lembaga
Survei Indonesia pada 2014 menyatakan, lebih dari 90 persen responden survei menilai
kesenjangan ekonomi yang terjadi saat ini telah melebihi batas kewajaran.
Kedua, kesenjangan ekonomi yang terus memburuk bakal menghambat laju pertumbuhan
ekonomi. Hal tersebut tentu sangat merisaukan. Bila terjadi, kekhawatiran bahwa Indonesia
bakal terkungkung dan sulit keluar dari kategori negara berpendapatan menengah (middle
income trap) boleh jadi bakal menjadi kenyataan.
Faktanya, meski ekonomi tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun sepanjang 2004-2013,
pertumbuhan tersebut hanya mampu menghela 7,6 juta orang keluar dari kemiskinan. Tidak
mengherankan bila pada periode yang sama rasio gini meningkat dari 0,32 menjadi 0,41.
Pasalnya, pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan
masyarakat.

Selama dasawarsa terakhir, secara sektoral, pertumbuhan ekonomi nasional lebih bertumpu
pada sektor jasa (non-tradable) ketimbang sektor penghasil barang (tradable) yang bersifat
padat karya. Pada 2013, misalnya, andil sektor tradable terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional hanya sekitar 34 persen. Sektor pertanian yang menyerap mayoritas angkatan kerja
bahkan hanya berkontribusi sebesar 7,8 persen.
Akibatnya, laju pertumbuhan pendapatan/pengeluaran antarkelompok ekonomi tidak
seimbang. Faktanya, laju pertumbuhan pengeluaran per kapita 40 persen penduduk yang
secara ekonomi berada di strata paling bawah kurang dari 2 persen per tahun sepanjang 20082012. Sedangkan pada saat yang sama, laju pertumbuhan pengeluaran per kapita 20 persen
penduduk terkaya justru tumbuh di atas 5 persen per tahun. Inilah sebetulnya alasan di balik
tren peningkatan rasio gini selama dasawarsa terakhir.
Karena itu, pemerintah harus mendorong laju pertumbuhan pendapatan 40 persen penduduk
dengan status sosial-ekonomi terendah. Hal itu sejalan dengan agenda pembangunan global
yang kini tengah digaungkan Bank Dunia: kemakmuran bersama (shared prosperity). Bila
perlu, hal tersebut menjadi target tahunan, sepertinya halnya target penurunan kemiskinan.
Dengan demikian, upaya pemerintah dalam menurunkan rasio gini menjadi lebih fokus dan
terarah serta dapat dievaluasi secara berkala.

Sepak Bola Buang Angin


Jum'at, 06 Februari 2015
Eddi Elison, Mantan sekretaris tim penanggulangan mafia perwasitan PSSI

Deputi Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot Dewa Broto, dalam sebuah diskusi tentang
sepak bola Indonesia, menyatakan: "Seperti kentut (selanjutnya kita pakai istilah buang
angin), baunya tercium, tapi wujudnya tidak. Seperti itulah media sepak bola di Indonesia
selalu dianggap." Kemudian Gatot pun melemparkan pertanyaan: "Namun akan jadi kentut
sajakah praktek kolusi dalam berbagai sendi sepak bola Indonesia?"
Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak sulit dijawab. Bahkan kita yakin Tim Sembilan, yang
dibentuk Menpora, sebenarnya mampu memberikan jawaban. Tim yang dikoordinasi mantan
Wakapolri Oegroseno itu berhasil menghimpun berbagai jenis data.
Yang terkait dengan "sepak bola buang angin" adalah tesis Alvero Septiawan. Alvero khusus
melakukan penelitian mengenai pengaturan skor dalam pertandingan sepak bola, dan ini
punya daya tarik tersendiri dan merupakan masukan akurat secara ilmiah.
Permasalahannya adalah apakah semua masukan dan data yang berhasil dihimpun Tim
Sembilan hanya untuk koleksi Kemenpora atau untuk ditindaklanjuti? Maksudnya,
menyerahkan data-data yang sudah terhimpun tersebut kepada pengurus PSSI untuk dijadikan
bahan melakukan perubahan, demi peningkatan prestasi Timnas yang sejak tahun 2013 selalu
terpuruk di kancah internasional. Hal inilah yang meragukan banyak pihak. Soalnya, bisa
dirasakan, PSSI terkesan "cuek" terhadap bebauan "buang angin" seperti selama ini.
Padahal sebenarnya "sepak bola buang angin" sudah bisa dirasakan pada saat PSSI
mempersiapkan Timnas menghadapi Asian Games IV pada 1962 di Jakarta. Pelatih Tony
Pogacnik mencium baunya, bahkan dapat merasakannya, tapi tak mampu melihatnya. Ketua
Umum PSSI Abdul Wahab Djojohadikoesoemo mencari jalan untuk mengubah "buang angin"
menjadi "kotoran". Di sinilah Letkol CPM Maulwi Saelan, mantan kiper dan kapten Timnas
Indonesia, ikut berperan. Apalagi ia baru diminta Presiden Sukarno membentuk Resimen
Tjakrabirawa, pasukan yang bertugas menjaga keselamatan Presiden dan keluarganya.
Beberapa pemain inti terpaksa diskors, sehingga berakibat gagalnya Timnas merebut medali
emas!

"Sepak bola buang angin" kemudian muncul kembali saat kepengurusan Ali Sadikin pada
1980-an, yang aroma busuknya luar biasa, terjadi pada hampir semua pertandingan dalam
rangka Kompetisi Galatama (awal Indonesia memasuki era sepak bola profesional).
Riwayat "sepak bola buang angin" ternyata masih berlanjut. Ketika PSSI dipimpin Menko
Kesra Letjen (Purn) Azwar Anas, baunya meronai beberapa pertandingan kompetisi pada
sekitar 1997-1998
Dari tiga varian "buang angin" tersebut, baunya bisa difisikkan menjadi kotoran dan ditindak,
karena ketiga tokoh tersebut bersikap tegas.
Sejak kepengurusan Nurdin Halid, "sepak bola buang angin" disinyalir sengaja dibiarkan,
karena bisa mendulang fulus. Saat itu pernah dibentuk tim untuk menanggulanginya, tapi
hanya kamuflase. Pembiaran "bau busuk" di altar persepakbolaan nasional terkesan terjadi
lagi di kepengurusan Djohar Arifin Husin dua tahun terakhir. Pengurus tahu biang penebar
"bau busuk" ada di Malaysia, tapi PSSI enggan membukanya. Kenapa? Tentulah Tim
Sembilan atau masyarakat bisa menyimpulkannya.

Budi dan Spirit 'Bushido'


Jum'at, 06 Februari 2015
Mokhamad Abdul Aziz, Penulis

Komisaris Jenderal Budi Gunawan menolak mundur dan memilih menunggu putusan sidang
praperadilan yang ia ajukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal Istana telah
beberapa kali meminta Budi Gunawan mundur dari pencalonannya sebagai Kepala Polri
setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Pengunduran diri Budi Gunawan (BG)
adalah opsi ideal yang sebenarnya diinginkan oleh Istana. Itulah yang dikatakan oleh
Menteri-Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto (Tempo, 4 Februari 2015).
Istana sudah menyiapkan enam opsi yang ditawarkan kepada presiden, menyangkut solusi
atas pencalonan Kapolri. Pertama, mundurnya Budi Gunawan; kedua, melantik definitif;
ketiga, melantik lalu non-aktif; keempat, penundaan sampai ada status hukum yang tetap;
kelima, membatalkan lalu mencalonkan nama baru; dan terakhir, memilih kondisi status quo
sambil menunggu adanya kalkulasi yang baru. Kondisi ini tentu saja memperpanjang
"kegaduhan" politik yang tengah terjadi.
Presiden Joko Widodo, sebagai orang yang paling berkuasa di negeri ini, tidak mampu
berbuat banyak. Sikap Jokowi yang normatif dan terlihat sangat dilematis menjadikan seolaholah Presiden tidak punya kuasa atas penyelesaian kasus ini. Namun, selain sikap Jokowi
yang tidak "tegas", yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Budi Gunawan begitu ngotot
untuk dilantik menjadi Kapolri definitif, sedangkan dirinya tengah menyandang status
tersangka. Apakah Budi sangat yakin bahwa dirinya benar-benar bersih dari sangkaan KPK,
atau ada faktor lain yang mendasarinya?
Sikap semacam ini berbeda dengan beberapa pejabat publik pada masa pemerintahan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja, Andi Mallarangeng mengundurkan diri dari
jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam
kaitan dengan dugaan korupsi kasus Hambalang; juga Suryadharma Ali, yang mundur setelah
menjadi tersangka, dan sebagainya. Orang jadi bertanya-tanya, di mana fatsoen (baca: etika)
politik pejabat publik saat ini, sehingga tidak merasa "malu" dengan status tersangka.
Hal ini tentu saja menjadi renungan bagi bangsa Indonesia ke depan, bagaimana jika pejabat
publik tidak punya rasa malu lagi, padahal dia telah melakukan pelanggaran terhadap aturan

yang berlaku. Penulis tidak hendak mengadili lebih dulu status tersangka Budi Gunawan,
juga tidak ingin mengasosiasikan BG sebagai pihak yang bersalah. Berbeda dengan itu,
setidaknya inilah kegelisahan rakyat kecil yang mendambakan pejabat yang notabene
menjadi pengemban amanat rakyat, bisa menghisab diri, tentu saja untuk kemaslahatan
bangsa dan negara.
Alasan yang digunakan Budi Gunawan (juga pengacara dan pendukungnya) adalah bahwa
saat ini ia belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, sehingga asa praduga tak bersalah
harus tetap dihormati. Secara hukum, hal ini sah dan tidak disalahkan. Namun, bagaimana
etikanya? Dalam penyelenggaraan negara, hukum dan etika menjadi pegangan yang utuh
dalam kehidupan berbangsa. Bahkan bisa dipastikan sebagian besar lingkungan
penyelenggaraan negara dikendalikan oleh hukum dan etika, termasuk regulasi dan lembaga
etikanya.
Soal etika, sebenarnya telah diatur oleh Ketetapan No. VI/MPR/2001 bahwa pejabat yang
mendapat sorotan negatif dari publik harus bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa
harus menunggu putusan pengadilan. Intinya, ketetapan tersebut mengamanatkan agar
penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada
publik. Termasuk siap mundur bila dirasa tak mampu memenuhi amanah rakyat.
Berkenaan dengan hal ini, penulis teringat akan pola kepemimpinan di Jepang yang secara
umum berlandaskan etika dan spirit bushido. Yang terakhir inilah yang menarik untuk
dijadikan pelajaran berbangsa. Bushido terdiri atas dua kata, yaitu bushi yang artinya
kesatria atau prajurit dan do yang berarti jalan. Bushido atau "jalan kesatria atau prajurit"
merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral kekesatriaan yang berlaku di kalangan
samurai, yaitu pada zaman feodal Jepang. Makna bushido secara umum bisa diartikan sebagai
sikap rela mati untuk negara atau kerajaan.
Yamamoto Tsunetomo mengungkapkan bahwa para samurai menjadi orang-orang yang
mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaan kepada diri mereka sendiri, meskipun
nyawa taruhannya. Jika gagal menunaikan tugas, mereka rela melakukan bunuh diri--dikenal
dengan sebutan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut). Nah, inilah
yang kemudian membudaya di Jepang, meskipun sekarang bermetamorfosis menjadi tradisi
mengundurkan diri ketika dianggap tidak mampu menjalankan tugas atau melanggar aturan.
Alhasil, Jepang menjadi negara yang sangat maju. Kapan Indonesia bisa meniru dan
melaksanakan spirit bushido ini? Wallahualam.

Fanatis, Penipu, dan Ekonom


Sabtu, 07 Februari 2015
Jean-Marie Guhenno, mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB urusan Penjagaan Perdamaian

Di seantero dunia tampaknya krisis tengah mencengkeram politik di banyak negara. Dalam
pemilu demi pemilu, besaran peserta pemilih terus merosot. Politikus di mana-mana dicerca.
Partai politik, yang berusaha tetap relevan dalam situasi yang buruk ini, terpaksa memilih
untuk melacurkan diri dalam ekstremisme atau berisiko tenggelam dalam gerakan populis
anti-kemapanan.
Belum pernah terjadi sebelumnya sejak berakhirnya Perang Dunia II, bahwa uang telah
memainkan peran yang begitu penting dalam politik, mengalahkan kekuatan ide. Di Amerika
Serikat, misalnya, gemerincing miliaran dolar yang mengalir ke dalam pundi-pundi dana
kampanye pemilu menenggelamkan suara pemilih. Di bagian dunia di mana rule of law
lemah, jaringan kriminal dan korupsi menggantikan proses demokratis.
Pendeknya, upaya mengejar kebaikan kolektif itu tampak aneh. Kondisi ini mulai terjadi pada
akhir Perang Dingin ketika runtuhnya ideologi komunis yang bangkrut itu dengan mudahnya
ditafsirkan sebagai kemenangan pasar. Sementara itu, komunisme dicampakkan, begitu pula
yang terjadi dengan konsep negara sebagai agen di mana ambisi dan kepentingan kolektif kita
bisa diupayakan.
Individu menjadi agen utama perubahan--individu dianggap sebagai tipe aktor rasional yang
menjadi model ekonom. Identitas individu seperti ini bukan bersumber dari kepentingan kelas
atau karakteristik sosiologis lainnya, melainkan dari logika pasar yang mendikte
maksimalisasi kepentingan sendiri, apakah itu sebagai produsen, konsumen, atau pemilih.
Sesungguhnya, ekonom telah diletakkan di sebuah tumpuan dan diabadikan dalam lembagalembaga seperti bank sentral dan otoritas persaingan yang telah dengan sengaja dipisahkan
dan dibuat independen dari politik. Akibatnya, pemerintah telah ditempatkan pada posisi
pinggiran alokasi sumber daya pasar.
Krisis finansial global yang terjadi pada 2008 karena resesi dan kesenjangan pendapatan yang
makin melebar dengan cepat serta ketidaksetaraan kekayaan telah menusuk gelembung
kemenangan ekonom itu. Politik, bukannya bangkit untuk menempati kedudukannya, terus
didiskreditkan, sementara para pemimpin utamanya--terutama di Amerika Utara dan Eropa--

mengemukakan teori-teori ekonomi untuk membenarkan pilihan-pilihan kebijakannya.


Upaya mengejar pencapaian individu merupakan lambang masa kini yang memudarkan
dimensi kolektif nasib manusia. Namun kebutuhan mendalam manusia untuk menjadi bagian
dari suatu kelompok masih belum sirna. Ia tetap ada, tapi tanpa saluran keluar yang kredibel.
Proyek-proyek nasional tidak bergema dan apa yang dinamakan masyarakat internasional itu
tetap merupakan sesuatu yang abstrak. Hasrat terbentuknya komunitas yang tidak terpenuhi
ini dapat dirasakan dengan akut terutama oleh generasi muda--termasuk, misalnya, oleh
jihadis-jihadis muda.
Sesungguhnya, politikus-politikus jihadis dan tokoh-tokoh agama adalah mereka yang
pertama megenali kekosongan ini, dan mereka dengan cepat mengisinya. Paus Fransiskus,
Vladimir Putin, Abu Bakr al-Baghdadi, dan Marine Le Pen tidak memiliki persamaan satu
sama lain. Tapi mereka berbagi satu wawasan: dambaan terciptanya komunitas yang
didukung oleh nilai-nilai yang sama, bukan oleh kebutuhan fungsional.
Krisis politik di banyak negara yang terjadi saat ini punya konsekuensi yang menggema jauh
melintasi batas negara. Nasionalisme yang sempit dan fundamentalisme agama akan tetap
ada, dan bersamanya terorisme dipeluk ekstremis dari segala kelompok, karena kedua
fenomena ini memang sesuai dengan zaman individu: ia memberikan jawaban imajiner pada
individu, bukan jawaban politik atas tantangan kolektif yang ada. Tidak berbentuknya
gerakan-gerakan ini--yang sering disalurkan melalui tokoh-tokoh yang karismatik-memungkinkan setiap individu memproyeksikan impiannya pada gerakan-gerakan itu,
sehingga membuatnya sulit dilawan dalam kerangka politik tradisional.
Jika politik hendak mengambil kembali ladang nilai-nilai itu dari kelompok-kelompok
fanatis, penipu, dan ekonom itu, ia harus dibangun kembali dari bawah. Lebih dari separuh
populasi dunia sekarang hidup di kota-kota, dan setiap kebangkitan kembali politik harus
mampu mengimbangi daya tarik komunitas-komunitas maya yang besar itu dengan
masyarakat-masyarakat kota yang pegas. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses politik,
diberikan pendidikan mengenai soal-soal publik, dan dibekali platform yang riil, (bukan yang
maya semata) untuk menyuarakan perbedaan dan memperdebatkan pandangan-pandangan
alternatif.
Tapi yang paling utama, politikus-politikus jangan lagi mencoba menopang kredibilitasnya
yang sudah merosot itu dengan kepura-puraan ilmu ekonomi. Politik dimulai di mana
ekonomi kontemporer berakhir--dengan etika dan upaya menciptakan suatu masyarakat yang
teratur dengan adil.

Davos dan Peringatan Ketimpangan


Sabtu, 07 Februari 2015
Aditya Fernando, Peneliti, alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas Airlangga

Pertemuan World Economic Forum di sebuah resor ski di Davos, Swiss, awal tahun ini
menyiarkan sebuah data yang klise. Berdasarkan data lembaga non-profit Oxfam, awal 2015,
kesejahteraan 1 persen populasi terkaya dunia kembali meningkat. Pada 2009, mereka
menguasai 44 persen kekayaan dunia, dan pada 2014 angkanya meningkat menjadi 48 persen.
Adapun 80 persen penduduk dunia sisanya "hanya" memiliki 5,5 persen.
Tak ada yang berbeda dari munculnya data ini. Populasi kaya secara global tidak berubah.
Pun begitu dengan 80 persen sisanya. Lokus perubahan terletak pada persentase
kekayaannya. Tahun-tahun selanjutnya akan dipenuhi oleh narasi rasio kesejahteraan yang
semakin timpang.
Aksi-aksi transformatif di level global kini merumuskan bagaimana menahan laju gerak
angka ketimpangan. Aksi global tahun ini ditujukan untuk memerangi ketimpangan yang
diyakini menjadi awal bagi bencana sosial-ekologis dan benalu bagi ekonomi pertumbuhan.
Aksi global tersebut dirancang untuk menekan korporasi dan kaum kaya yang lari dari pajak,
mengarahkan investasi di sektor publik, terutama kesehatan dan pendidikan, pergeseran
orientasi pajak dari tenaga kerja dan sektor konsumsi ke modal dan kekayaan, jaring
pengaman bagi kaum termiskin dan memastikan jaminan upah minimum, serta legislasi upah
berbasiskan gender. Namun aksi-aksi global tersebut selalu saja lebih bersifat menahan
ketimbang menyelesaikan masalah hingga ke akarnya.
Di sisi lain, ketimpangan pendapatan dan capaian kesejahteraan juga akan selalu membayangi
bingkai ekonomi pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi memunculkan oligarki yang dicirikan
dari konsentrasi, dimulai dari konsentrasi kepemilikan, kekayaan, hingga kesejahteraan.
Ketimpangan selalu ada dan tak mungkin lenyap sejauh sistem ekonomi hari ini masih terus
menormalkan keadaan.
Di Indonesia, 40 orang terkaya memiliki kekayaan mencakup 10 persen PDB. Kekayaan
tersebut setara dengan 60 juta penduduk yang tergolong miskin di negeri ini. Demokrasi yang
diyakini bisa menjawab masalah ketimpangan justru seakan tak sanggup menahan beban

ketimpangan dan tak sanggup meminimalkan dampak konsentrasi. Ekonomi kreatif berbasis
kewirausahaan yang mendorong aktor unik, yakni usaha kecil dan menengah, saat ini
merupakan kontributor terbesar PDB Indonesia hari ini, yaitu 53,3 persen. Namun cerita
tentang diversifikasi kapital di ranah mikro tidak kunjung menjawab kompleksitas
ketimpangan.
Problem ekonomi memang tidak hanya berdampak bagi ekonomi, tapi juga sosial-ekologis.
Pembangunan berkelanjutan memang tidak dapat ditolak di belahan dunia mana pun.
Inti dari ekonomi pertumbuhan juga tak serta-merta memperbaiki kerawanan yang dialami
penduduk miskin di dunia. Ekonomi hijau yang berorientasi pada penanganan ketimpangan
dan kerusakan lingkungan tidak sanggup membendung gerak kapital yang akan menunjukkan
wajah utamanya, yakni terkonsentrasi dan akan selalu melahirkan ketimpangan.
Pilahan global dan lokal saat ini seakan tidak menunjukkan perbedaan yang hakiki, baik di
Indonesia maupun negara lain dengan gelar new emerging market atau advanced market,
industrial atau post-industrial. Kapital, ke mana pun ia mengalir, dalam rupa ekonomi
pertumbuhan inklusif sekalipun, akan selalu melahirkan ketimpangan.

Santri Digital
Sabtu, 07 Februari 2015
Muhammad Bagus Irawan, alumnus UIN Waisongo

Tak bisa dimungkiri, publik Indonesia dikepung propaganda radikalisme. Menurut lembaga
riset e-Marketer, populasi netizen (warga pengguna internet) Tanah Air mencapai 83,7 juta
orang pada 2014 (Tempo.co). Tahun lalu terdapat fenomena clash of netizen akibat efek
pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Di samping itu, ada juga satu
fenomena besar berupa radikalisasi dan khilafiah-isasi "digital". Agenda besar tersebut
muncul seiring dengan berkembangnya fenomena "santri digital".
Santri digital di sini mengebiri definisi santri konvensional yang harus belajar dari keluhuran
pesantren dan kiai. Mereka belajar kontennya secara otodidaktik dan digital di dunia maya.
Secara derivatif, santri diambil dari term shastri yang bermakna orang-orang yang
menuntut ilmu pengetahuan agama. Pada era global, konstruksi bahasa memunculkan istilah
baru, santri digital, sebagai julukan bagi mereka yang belajar ilmu agama dari laman
website atau konten digital lainnya.
Secara figuratif, santri digital terlahir dari dua wajah. Pertama, mereka yang pernah
mengenyam pendidikan pesantren atau berafiliasi dengan kehidupan santri. Rata-rata santri
ini memiliki pandangan yang luas ihwal keagamaan dan keduniawian. Mereka tak akan sertamerta tergoda melakukan aksi teror atas nama agama. Kedua, mereka yang masih mualaf
(baru masuk Islam), "Islam KTP", Islam abangan, dan mereka yang awam soal agama.
Biasanya, kelompok inilah yang tergoda melancarkan aksi teror dengan legitimasi jihad yang
salah kaprah. Dengan berbagai alasan, kebanyakan mereka terbelenggu dalam konten Islam
satu arah yang selama ini dipropagandakan oleh kelompok Islam yang cenderung radikal dan
kaku.
Faktanya, euforia kebebasan berpendapat menjadi sasaran empuk masuknya paham
radikalisme itu dalam berbagai versinya. Bahkan, beberapa stasiun televisi pun memiliki
tayangan khusus yang berbau radikal itu. Sebagaimana laporan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), selama 2014, setidaknya terdapat ratusan website berisi
konten agama yang sangat keras dan menyesatkan.
Hal ini perlu menjadi catatan karena beredarnya tayangan dan konten agama yang akan

menyebarkan paham radikalisme jumud di kalangan santri digital. Sudah saatnya


penanggulangan terorisme dimulai dengan pendekatan digital. Yakni, mulai mengawasi situssitus dan konten-konten digital yang cenderung berisi propaganda khilafiah dan radikalisme.
Selain pemerintah, tugas untuk menghadirkan konten digital dan media sosial yang toleran
juga menjadi tanggung jawab masyarakat, terutama kelompok santri yang toleran.
Bayangkan, pola pendekatan negara yang bisa dikatakan lamban harus menghadapi tantangan
terorisme mutakhir yang digawangi oleh anak muda berusia 17 dan 30-an tahun yang
bergerak sangat cepat, individualis, efisien, dan borderless (tanpa batas negara). Konstelasi
hegemoni politik global, minimnya ruang partisipasi alternatif bagi kaum muda, serta
cepatnya pertumbuhan dunia IT, terutama industri telepon pintar dan maraknya platform
media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube, mendorong lahirnya terorisme media
sosial. Tren ini ditandai dengan munculnya generasi yang lebih khusyuk di media sosial
ketimbang mendengarkan ceramah para pemuka agama yang bagi mereka tidak lagi memberi
rasa kebaruan dan tidak menjawab tantangan dunia modern.

Anda mungkin juga menyukai