dibandingkan sikap bahasa mereka terhadap kedua bahasa itu, mereka cenderung
lebih menyukai bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia. Pun demikian,
jika dikaitkan dengan minat belajar, mereka cenderung lebih berminat
mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Studi Budiawan tersebut menemukan kebenarannya, hal ini dibuktikan
dengan rerata nilai Ujian Nasional (UN) di Provinsi Lampung pada tahun 2006
bahwa rerata nilai UN bahasa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan nilai
rerata UN bahasa Inggris. Hal ini semakin menegaskan hipotesis Budiawan bahwa
minat atau motivasi yang tinggi akan berkorelasi terhadap nilai yang tinggi pula.
Terbukti, murid yang rata-rata memiliki motivasi tinggi terhadap pelajaran bahasa
Inggris dibandingkan bahasa Indonesia memperoleh nilai UN tinggi pada
pelajaran bahasa Inggris dan nilai rendah pada pelajaran bahasa Indonesia.
Fenomena di Lampung tersebut menjalar ke berbagai daerah yang hasilnya
kurang lebih serupa. Fakta tersebut lantas mendorong pemerintah mengkaji ulang
soal-soal yang diujikan di dalam UN bahasa Indonesia yang dituding menjadi
penyebab rendahnya nilai UN bahasa Indonesia. Walhasil, pada UN 2013 lalu
beberapa butir soal yang dianggap terlalu sulit bagi siswa dihapus, seperti soal
menentukan topik utama tajuk.
Akan tetapi, persoalan nilai rerata UN bahasa Indonesia lebih rendah
daripada nilai rerata UN bahasa Inggris dalam hemat penulis bukan sekadar sulit
mudahnya sebuah soal, melainkan merupakan anomali (ketidakwajaran).
Mengapa demikian? Sebab, mereka yang mengikuti UN bukanlah siswa asing,
melainkan siswa Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, merupakan
penutur jati bahasa Indonesia, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan
bahkan rata-rata bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Di samping itu, mereka
juga mengenal kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa penguasaan kosakata bahasa Indonesia, pengungkapan,
dan konteks penggunaannya membentuk sebuah pengalaman bahasa. Unsur
Education in Indonesia From Crisis Recovery (1998) minat dan kemampuan baca
anak Indonesia amat rendah. Nilai minat baca siswa kelas 6 SD di Indonesia
mencapi 51,7 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya
seperti Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Hongkong (75,5). Penelitian paling
mutakhir (2012) bahkan menempatkan Indonesia nyaris di urutan buncit, yakni
menduduki peringkat ke-2 dari bawah di antara 65 peserta Programme for
International Student Assessment (PISA) yang mengikuti penilaian internasional
di bidang Matematika, membaca, dan sains. Indonesia berada di bawah Qatar dan
di atas Peru (Kompas, 11 Desember 2013).
Berdasar pada gejala masalah tersebut ternyata pelajaran bahasa Indonesia
memilki kompleksitas yang cukup tinggi dan cenderung stagnan, atau tidak
bergerak ke arah lebih baik, dibuktikan dengan hasil rerata UN dan berbagai
penelitian yang selalu menempatkan posisi siswa Indonesia diurutan bawah dalam
bidang literasi. Demikian pula, latar bahasa belum cukup mampu memberi
pengaruh yang signifikan terhadap prestasi pelajaran bahasa Indonesia, padahal
secara teoritis latar bahasa akan memudahkan seorang pembelajar dalam
mempelajari bahasa mereka sendiri.
Pangkal persoalannya, dalam hemat penulis karena tidak terjalin sinergi
yang tepat antara latar bahasa dengan sikap dan minat siswa. Ibaratnya, siswa
mengalami keterpampatan ketika berhadapan dengan pelajaran bahasa Indonesia.
Sikap dan minat siswa tidak berkembang dengan semestinya. Oleh karena itu,
tulisan ini berikhtiar menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan mendulang
beberapa pertanyaan pembuka, pertama, yakni seberapa pentingkah sikap bahasa
(attitude language) bagi pembelajar bahasa Indonesia? Kedua, bagaimana
pengejawantahan sikap bahasa di dalam praksis pembelajaran bahasa Indonesia di
kelas baik oleh siswa maupun guru?
Sikap Bahasa
Siswa SMA pada jurusan bahasa yang memperoleh nilai UN rendah dapat
dijadikan tolok ukur bahwa latar bahasa dan kemampuan kognitif tidak selalu
demikian,
antara
kemampuan
kognitif
siswa,
strategi
Fenomena di lapangan, justru menunjukkan fakta yang menarik bahwa ada tren
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (bahasa pertama) di masyarakat
perkotaan, khususnya keluarga muda.
Dalam pandangan Khoiri (2013) sikap bahasa bisa bersifat positif dan
negatif. Dari hasil penelitiannya (2005) idelalnya, orang Jawa akan divergen
berkat kebanggaannya pada bahasa Jawa; tetapi dalam hal ini, mereka mulai
bergeser ke bahasa Indonesia. Orientasi pengasuhan anak, pengadaptasian dengan
kebutuhan anak akan pendidikan, atau tuntutan pekerjaanmisalnyaikut
menyebabkan orang Jawa bersikap negatif dan netral, sehingga pemilihan
bahasanya jatuh ke bahasa Jawa yang mengarah ke bahasa Indonesia.
Hasil temuan Khoiri tersebut sebenarnya juga terjadi di dalam bahasa
Indonesia, diam-diam kedudukan bahasa Indonesia dalam kondisi terancam.
Penyebabnya dalam amatan penulis ada tiga, pertama kalah pamor dengan bahasa
Inggris. Bahasa Inggris sebagai bahasa percaturan global menempati kedudukan
yang sangat penting, sehingga banyak siswa yang tekun mempelajarinya. Hal
inilah yang menyebabkan minat siswa terhadap pelajaran bahasa Inggis tinggi
mengalahkan minat terhadap bahasa Indonesia.
Kedua, pandangan minor terhadap bahasa Indonesia di masyarakat.
Pengalaman penulis membuktikan hal tersebut. Ketika penulis menempuh studi di
jurusan bahasa Indonesia, banyak orang mencibir dengan ungkapan-ungkapan
pesemistis, seperti; mau jadi apa kelak kuliah di jurusan bahasa, juru ketik
kelurahan? Peristiwa tersebut terjadi di awal tahun 2000-an. Bagaimana dengan
sekarang? Tetap belum beranjak, sebab belum lama ini, istri penulis mengalami
hal pahit. Kisahnya, ketika mengobrol dengan tetangga yang notabene orang
mampu, tetangga tersebut mengeluh kebingungan memilihkan jurusan anaknya,
katanya, memilih jurusan sekarang serba sulit, banyak saingan, kuliah di jurusan
bahasa, terus mau jadi apa nanti. Istri penulis yang mendengarnya, terenyak,
diam, enggan menanggapi, lha wong suaminya guru bahasa Indonesia. Jika istri
penulis bilang bahwa suaminya guru bahasa Indonesia, boleh jadi merah padam
wajah tetangga itu.
Ketiga, menjamurnya bahasa gaul, prokem, alay, dan sejenisnya.
Meskipun sebagian orang menilai bahasa alay sebagai bentuk kreativitas anak
muda, namun dalam hemat penulis tidak demikian, bahasa alay justru semakin
menumpulkan kemampuan menulis dan malah membiakkan budaya tutur yang
berselera rendah. Sebab karakteristik bahasa alay cenderung ujaran tanpa struktur
yang jelas, berbeda dengan ragam tulis yang menuntut kaidah tata bahasa atau
struktur kalimat yang jelas.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa cenderung
memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni faktor kognitif (aptittude), model pembelajaran, lingkungan, dan
faktor afektif (attitude). Atau dengan kata lain, faktor kognitif dan afektif dapat
disebut faktor internal, sementara model pembelajaran dan lingkunagn dapat
disebut sebagai faktor eksternal.
Di dalam tulisan ini penulis lebih menfokuskan pembahasan kepada
faktor-faktor afektif (faktor-faktor internal) dalam mempengaruhi pembelajaran
bahasa kedua. Hal ini merujuk pendapat Savignon (Krashen, 2002: 38) yang
mengatakan bahwa sikap adalah faktor tunggal yang paling penting dalam belajar
bahasa kedua. Pendapat Savignon tersebut cukup ekstrem, berbeda dengan
pendapat Krashen yang cenderung di wilayah abu-abu. Dalam hemat penulis,
sikap tegas Savignon tersebut dipengaruhi pandangan mental bahwa mustahil
seseorang akan sukses belajar bahasa jika tidak dilandasi sikap positif terhadap
bahasa tersebut. Oleh karena itu sukses tidaknya seorang peembelajar bahasa
dimulai dengan sikap senang terhadap bahasa itu terlebih dahaulu. Dengan
demikian, menyemai kembali benih-benih cinta terhadap bahasa Indonesia
mendesak untuk dilakukan jika ingin menjadi pembelajar bahasa yang baik (the
good language learner).
Faktor-faktor Afektif
Mencintai bahasa Indonesia dalam hemat penulis dapat dibagi dalam dua
hal. Pertama, mencintai bahasa Indonesia di luar kelas bahasa Indonesia. Kedua,
mencintai bahasa Indonesia dalam ruang lingkup proses pembelajaran bahasa
Indonesia. Di dalam kategori yang pertama, berkait dengan sikap bertutur dan
beringkah laku si pengguna bahasa dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
bergaul, bekerja, dan sebagainya.
Pada kategori kedua, bersangkut paut dengan siswa, materi, guru, dan
kelas, sehingga jauh lebih kompleks. Jika digambarkan, pengggunaan bahasa
Indonesia yang benar di dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya perwujudan dari
keberhasilan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, kategori yang pertama dapat
disebut pula sebagai ikutan atau dampak dari pembelajaran yang berhasil.
Faktor afektif yang mendukung keberhasilan pembelajaran bahasa, penulis
kelompokkan menjadi dua macam, yakni faktor motivasi dan faktor masalahmasalah kepribadian. Pembagian ini dengan alasan bahwa motivasi merupakan
variabel afektif yang sangat sentral dan berlaku universal (Brown: 183). Berbeda
dengan masalah-masalah kepribadian yang terpisah-pisah, meskipun pada
prinsipnya saling berhubungan.
Lantas
bagaiamana
faktor-faktor
afektif
tersebut
mempengaruhi
Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang baik secara
sadar ataukah tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu
(KBBI). Jadi lebih luas dibandingkan dengan pengertian minat, yakni
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Oleh karena itu, keduanya
sering dibedakan.
Penelitian paling awal tentang motivasi dalam pembelajaran bahasa kedua
dilakukan oleh Robert Gardner dan Wallace Lambert tahun 1972 (Brown,
2008:185, Krashen, 2002: 22). Penelitian ini termasuk monumental karena
dilakukan dalam kurun waktu 12 tahun. Keduanya mengamati pembelajaran bahas
asing di Kanada.
Dari hasil penelitian tersebut Gardner (Krashen, 2002:22) membagi
motivasi dalam dua fungsi. Pertama, motivasi integrasi, yakni keinginan belajar
bahasa untuk mengintegrasikan diri dalam masyarakat bahasa tersebut. Kedua,
motivasi instrumental, yakni keinginan belajar bahasa untuk dimanfaatkan/tujuan
praktis (seperti bekerja, bepergian, dan sebagainya).
Lantas, bagaimana dengan motivasi siswa dalam mempelajari bahasa
Indonesia, termasuk motivasi integrasi ataukah motivasi instrumental? Bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua, memungkinkan seorang siswa memiliki kedua
motivasi tersebut. Tetapi pada prinsipnya, motivasi integrasi jauh lebih penting,
sebab motivasi integrasi menuntut siswa lebih dalam menguasai kompetensi dan
memiliki manfaat yang lebih luas.
Indonesia yang memiliki khazanah luar biasa tentang bahasa daerah, sukusuku dan budaya dapat diintegrasikan dengan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi dan berbaur, seperti pernah dicetuskan dalam Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka. Proses ini agak berbeda dengan
apa yang terjadi dalam penelitian Gardner, bahwa tujuan motivasi integrasi adalah
untuk bergaul dengan bahasa target, yakni pelajar Kanada berbahasa ibu bahasa
Perancis mempelajari bahasa Inggris, tujuan mereka bukan untuk bergaul sesama
warga Kanada, melainkan untuk berbaur dengan warga yang berbahasa Inggris di
10
11
13
14
Lantas cara seperti apa yang harus ditempuh guru untuk meningkatkan
harkat siswa? Andres (1999) seperti dikutip Brown (2008:169) menyarankan agar
guru-guru menggunakan teknik-teknik pengajaran di kelas yang bisa membantu
para pembelajar mengembangkan sayap mereka. Barangkali guru harus
memutar otak untuk menyusun strategi pembelajaran yang bisa mendorong rasa
percaya diri siswa. Beberapa strategi yang bisa dilakukan, misalnya menggunakan
teknik diskusi kelompok, debat, unjuk kebolehan, menjawab kuis, dan sebagainya.
Beberapa teknik tersebut menyediakan ruang bagi siswa untuk berekspresi dan
menumbukan sikap percaya diri yang memandang positif diri sendiri dan sikap
menghargai orang lain.
Sikap Terhadap Guru dan Kelas
Penulis memiliki pengalaman menarik tentang sikap terhadap guru.
Sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), penulis sempat
alergi terhadap guru bahasa Inggris, pangkal persoalannya karena sikap kurang
empati guru terhadap kesalahan yang penulis lakukan. Alih-alih membetulkan
pekerjaan penulis, guru tersebut malah mengeluarkan kata-kata yang melemahkan
mental penulis. Celakanya hal tersebut berimbas kepada sikap penulis terhadap
bahasa Inggris, yang pada awalnya menyenangi, justru berkebalikan, menghindari
pelajaran bahasa Inggris.
Kisah tersebut membuktikan bahwa perasaan nyaman di kelas dan kepada
guru sangat mempengaruhi keberhasilan seorang pembelajar. Seliger (1997)
seperti dikutip Krashen (2002:33) menjelaskan bahwa siswa yang merasa nyaman
di kelas dan kepada guru dapat mencari intake secara sukarela. Jadi, dalam
pembelajaran bahasa kedua, sikap nyaman terhadap guru berpengaruh besar
terhadap daya serap siswa terhadap bahasa target. Siswa dapat menerima asupan
dari guru di dalam proses pembelajaran dengan mudah.
Dalam kasus penulis tadi, guru memegang peranan yang sangat penting.
Sikap guru yang tidak empati berujung kepada sikap tidak suka murid. Oleh
karena itu, guru perlu menjaga sikap dan tutur kata dengan baik. Selain itu, sikap
15
siswa terhadap guru juga ditentukan oleh pilihan strategi pembelajaran yang
dipilih guru. Saat ini telah berkembang model-model pembelajaran yang menarik,
seperti Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM), model
pembelajaran ini tidak sekadar transfer of knowledge semata, melainkan harus
memiliki prasyarat menyenangkan yang memberi bobot ke ranah afektif
sehingga memungkinkan siswa menyukai guru, pembelajaran, dan kelas.
Apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia, banyak sekali materimateri yang mengasah kreativitas dan daya imaji siswa seperti menulis cerita
pendek, menulis surat, menulis pantun, menulis puisi, pembacaan puisi, bermain
drama, dan sebagainya. Materi-materi tersebut sangat memungkinkan sekali
dikemas dalam balutan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga
memberi pengaruh positif terhadap sikap terhadap guru, kelas, dan pelajaran
bahasa Indonesia.
Terakhir, faktor-faktor afektif dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus
mendapat perhatian serius karena efeknya jauh lebih dahsyat daripada faktor
bakat (aptitude). Guru memegang peranan yang sangat penting karena dialah
dirigen di dalam kelas yang menentukan sukses tidaknya sebuah pembelajaran.
Pun demikian siswa juga tidak kalah penting karena merupakan subjek
pembelajaran, orang yang mengalami pembelajaran. Keduanya, guru dan siswa
tidak bisa dipisahkan karena satu dengan yang lain saling berinteraksi. Interaksi
yang intens inilah yang memberikan peluang siswa dan guru mencintai pelajaran
bahasa Indonesia. Lantas, siapa yang harus memulai? Semua itu tergantung Anda,
para guru bahasa Indonesia yang budiman!
***
16
Referensi
Brown, H.D. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa (edisi kelima).
Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Dapat dilihat di
http://lms.aau.ac.id/library/ebook/U_15744_11_H/files/res/downloads diakses
28 Desember 2013.
Budiawan. 2008. Pengaruh Sikap Bahasa dan Motivasi Belajar Bahasa Terhadap
Prestasi pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Siswa
SMA se-Bandar Lampung. Jakarta: Universitas Indonesia (Tesis)
Khoiri, Much. 2013. Sikap Bahasa Penentu Pemilihan Bahasa.
Tersedia:http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/07/sikap-bahasa-penentupemilihan-bahasa-574741.html. Diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
Krasen, Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Language
Learning. California: University of Southern California. (internet version)
Kridalaksana, Harimurti. 2013. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Suryadimulya, Agus Suherman. 2008. Analisis Teori Monitor dalam Akuisisi
Bahasa Kedua. Bandung: Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat UNPAD
(makalah)
dapat
dilihat
di
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/05/analisis_teori_monitor
_dalam_akuisisi_bahasa_kedua.pdf diakses 28 Desember 2013.
17