Anda di halaman 1dari 17

Mengapa (Tidak) Mencintai

Pelajaran Bahasa Indonesia?


Mardiyanto
Alumni PBSI UNY Angkatan Tahun 2000
Guru di SMP N 2 Sukoharjo Kabupaten Wonosobo
sedang Studi S2 Prodi Linguistik Terapan UNY
Email: mardi_csc@yahoo.co.id
Mobile: 081 754 29721

Selama ini pelajaran bahasa Indonesia tidak disenangi guru dan


murid.
Oleh karena itu, model pembelajarannya mutlak harus diubah.
(M. Nuh, Mendikbud RI, Kompas, 7
Maret 2013)

Sebagai pembuka tulisan ini, penulis nukilkan pendapat Mendikbud, M. Nuh


dalam sebuah esainya di surat kabar Kompas, terbit 7 Maret 2013 lalu yang
mengulas peran pelajaran bahasa Indonesia di dalam Kurikulum 2013. Pendapat
Mendikbud tersebut mengeram cukup lama di dalam benak penulis, terasa
mengganggu, dan mendorong penulis untuk menggali lebih dalam pangkal
persoalan tersebut.
Secara umum penulis tidak menampik simpulan Mendikbud. Jika kita
mencermati pendapat tersebut, maka perkara disenangi ataukah tidak sebuah
pelajaran akan terkait erat dengan sikap (attitude) si pembelajar itu sendiri
terhadap apa yang mereka pelajari selama ini. Patut diduga bahwa sikap tidak
senang murid terhadap pelajaran bahasa Indonesia mempengaruhi tingkat
kompetensi siswa.
Budiawan (2008) dalam penelitiannya tentang sikap bahasa siswa terhadap
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di Provinsi Lampung mencatat bahwa pada
prinsipnya siswa menyenangi kedua bahasa tersebut. Akan tetapi, jika

dibandingkan sikap bahasa mereka terhadap kedua bahasa itu, mereka cenderung
lebih menyukai bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia. Pun demikian,
jika dikaitkan dengan minat belajar, mereka cenderung lebih berminat
mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Studi Budiawan tersebut menemukan kebenarannya, hal ini dibuktikan
dengan rerata nilai Ujian Nasional (UN) di Provinsi Lampung pada tahun 2006
bahwa rerata nilai UN bahasa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan nilai
rerata UN bahasa Inggris. Hal ini semakin menegaskan hipotesis Budiawan bahwa
minat atau motivasi yang tinggi akan berkorelasi terhadap nilai yang tinggi pula.
Terbukti, murid yang rata-rata memiliki motivasi tinggi terhadap pelajaran bahasa
Inggris dibandingkan bahasa Indonesia memperoleh nilai UN tinggi pada
pelajaran bahasa Inggris dan nilai rendah pada pelajaran bahasa Indonesia.
Fenomena di Lampung tersebut menjalar ke berbagai daerah yang hasilnya
kurang lebih serupa. Fakta tersebut lantas mendorong pemerintah mengkaji ulang
soal-soal yang diujikan di dalam UN bahasa Indonesia yang dituding menjadi
penyebab rendahnya nilai UN bahasa Indonesia. Walhasil, pada UN 2013 lalu
beberapa butir soal yang dianggap terlalu sulit bagi siswa dihapus, seperti soal
menentukan topik utama tajuk.
Akan tetapi, persoalan nilai rerata UN bahasa Indonesia lebih rendah
daripada nilai rerata UN bahasa Inggris dalam hemat penulis bukan sekadar sulit
mudahnya sebuah soal, melainkan merupakan anomali (ketidakwajaran).
Mengapa demikian? Sebab, mereka yang mengikuti UN bukanlah siswa asing,
melainkan siswa Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, merupakan
penutur jati bahasa Indonesia, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan
bahkan rata-rata bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Di samping itu, mereka
juga mengenal kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa penguasaan kosakata bahasa Indonesia, pengungkapan,
dan konteks penggunaannya membentuk sebuah pengalaman bahasa. Unsur

pengalaman bahasa ini merupakan skemata yang membentuk sebuah latar


pengetahuan bahasa.
Secara teoritis, latar pengetahuan bahasa yang telah dimiliki oleh siswa
menjadi bekal berharga manakala mereka mempelajari bahasa Indonesia, karena
pembelajaran menurut Verhouven (Budiawan, 2008:1) merupakan sebuah proses
menyatunya informasi baru (new) dengan pengetahuan lama (given knowledge).
Dengan kata lain, pembelajar menggabungkan informasi baru dengan yang telah
diketahui. Berdasar pendapat Verhouven tersebut, maka pembelajar bahasa
Indonesia atau siswa Indonesia yang mempelajari bahasa Indonesia dapat
diasumsikan memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan bahasa
Inggris.
Namun demikian, pendapat Verhouven tersebut seolah buyar jika
melihat fakta hasil UN 2013 bahasa Indonesia. Fakta mengejutkan disampaikan
Prof. Mahsun saat Rapat Koordinasi Kebahasaan se-Indonesia di Kendari (Sinar
Harapan, 23 Mei 2013) bahwa nilai mata pelajaran bahasa Indonesia dari pelajar
jurusan bahasa rata-rata rendah. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil UN tahun
2012, pelajar jurusan bahasa yang tidak lulus mata pelajaran bahasa Indonesia 25
persen, sedangkan pelajar dari jurusan IPA yang tidak lulus mata pelajaran bahasa
Indonesia hanya sekitar 12 persen dan jurusan IPS sebanyak 19 persen.
Pada kenyataannya, latar pengetahuan bahasa ternyata tidak selalu
memiliki dampak yang signifikan dalam mendongkrak nilai UN pelajaran bahasa
Indonesia. Dengan demikian, lemahnya kompetensi siswa dalam pelajaran bahasa
Indonesia bukan semata-mata terkait dengan latar pengetahuan bahasa, melainkan
faktor mental mereka terhadap bahasa, yakni sikap mereka yang rendah terhadap
bahasa Indonesia.
Sikap yang rendah terhadap pelajaran bahasa Indonesia, terutama
kaitannya dengan kemampuan literasi semakin mencapai titik nadir kala
menyimak hasil penelitian lembaga-lembaga dunia yang selalu menempatkan
siswa Indonesia nyaris di posisi juru kunci. Misalnya penelitian World Bank dan

Education in Indonesia From Crisis Recovery (1998) minat dan kemampuan baca
anak Indonesia amat rendah. Nilai minat baca siswa kelas 6 SD di Indonesia
mencapi 51,7 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya
seperti Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Hongkong (75,5). Penelitian paling
mutakhir (2012) bahkan menempatkan Indonesia nyaris di urutan buncit, yakni
menduduki peringkat ke-2 dari bawah di antara 65 peserta Programme for
International Student Assessment (PISA) yang mengikuti penilaian internasional
di bidang Matematika, membaca, dan sains. Indonesia berada di bawah Qatar dan
di atas Peru (Kompas, 11 Desember 2013).
Berdasar pada gejala masalah tersebut ternyata pelajaran bahasa Indonesia
memilki kompleksitas yang cukup tinggi dan cenderung stagnan, atau tidak
bergerak ke arah lebih baik, dibuktikan dengan hasil rerata UN dan berbagai
penelitian yang selalu menempatkan posisi siswa Indonesia diurutan bawah dalam
bidang literasi. Demikian pula, latar bahasa belum cukup mampu memberi
pengaruh yang signifikan terhadap prestasi pelajaran bahasa Indonesia, padahal
secara teoritis latar bahasa akan memudahkan seorang pembelajar dalam
mempelajari bahasa mereka sendiri.
Pangkal persoalannya, dalam hemat penulis karena tidak terjalin sinergi
yang tepat antara latar bahasa dengan sikap dan minat siswa. Ibaratnya, siswa
mengalami keterpampatan ketika berhadapan dengan pelajaran bahasa Indonesia.
Sikap dan minat siswa tidak berkembang dengan semestinya. Oleh karena itu,
tulisan ini berikhtiar menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan mendulang
beberapa pertanyaan pembuka, pertama, yakni seberapa pentingkah sikap bahasa
(attitude language) bagi pembelajar bahasa Indonesia? Kedua, bagaimana
pengejawantahan sikap bahasa di dalam praksis pembelajaran bahasa Indonesia di
kelas baik oleh siswa maupun guru?
Sikap Bahasa
Siswa SMA pada jurusan bahasa yang memperoleh nilai UN rendah dapat
dijadikan tolok ukur bahwa latar bahasa dan kemampuan kognitif tidak selalu

memberikan kontribusi signifikan terhadap prestasi siswa. Dalam pandangan


Brown (2007:2) proses pembelajaran tidak semata-mata bergantung pada faktor
kognitif siswa dan strategi mengajar, tetapi melibatkan pula faktor afektif yang
saling terlibat dalam hubungan timbal balik. Faktor-faktor afektif di dalam
pembelajaran inilah yang kadang terlupakan oleh guru, seolah-olah setelah materi
dan evaluasi dilakukan, pembelajaran selesai. Idealnya, kemampuan kognitif dan
afektif berjalan seimbang, saling mempengaruhi secara positif.
Dengan

demikian,

antara

kemampuan

kognitif

siswa,

strategi

pembelajaran, dan faktor-faktor afektif dalam pembelajaran bahasa saling


berkelindan. Masing-masing saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Misalnya,
strategi pembelajaran yang monoton, stagnan, dan tidak ada perubahan
kemungkinan akan mempengaruhi sikap siswa. Mereka cenderung bosan dan
kurang antusias, hal ini berimbas kepada kemampuan kognitif siswa yang tidak
berkembang.
Pendapat senada disampaikan pula oleh Stephen D. Krashen dalam
bukunya Second Language Acquisition and Second Language Learning (2002),
pencetus Teori Monitor dalam pembelajaran bahasa tersebut dengan lugas
mengatakan bahwa bakat (aptittude) atau kecerdasan bahasa adalah penting, tetapi
tidak lebih penting daripada sikap bahasa (attitude). Simpulan Krashen tersebut
bisa mengandung dua makna, pertama, kedudukan antara aptitude dan attitude
setara (seimbang), atau kedua, attitude lebih tinggi daripada aptittude.
Sikap bahasa dapat didefiniskan sebagai posisi mental atau perasaan
terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sikap
bahasa berkait erat dengan faktor-faktor afektif, seperti motivasi, empati,
kecemasan, citra diri (harkat), pribadi terbuka, dan sikap terhadap guru (Krashen,
2002: 21-31).
Faktor-faktor afektif tersebut sangat mempengaruhi dalam pembelajaran
bahasa kedua. Namun demikian, di dalam masyarakat tertentu, bahasa Indonesia
boleh jadi bukan merupakan bahasa kedua, tetapi bahasa pertama, atau bahasa ibu.

Fenomena di lapangan, justru menunjukkan fakta yang menarik bahwa ada tren
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (bahasa pertama) di masyarakat
perkotaan, khususnya keluarga muda.
Dalam pandangan Khoiri (2013) sikap bahasa bisa bersifat positif dan
negatif. Dari hasil penelitiannya (2005) idelalnya, orang Jawa akan divergen
berkat kebanggaannya pada bahasa Jawa; tetapi dalam hal ini, mereka mulai
bergeser ke bahasa Indonesia. Orientasi pengasuhan anak, pengadaptasian dengan
kebutuhan anak akan pendidikan, atau tuntutan pekerjaanmisalnyaikut
menyebabkan orang Jawa bersikap negatif dan netral, sehingga pemilihan
bahasanya jatuh ke bahasa Jawa yang mengarah ke bahasa Indonesia.
Hasil temuan Khoiri tersebut sebenarnya juga terjadi di dalam bahasa
Indonesia, diam-diam kedudukan bahasa Indonesia dalam kondisi terancam.
Penyebabnya dalam amatan penulis ada tiga, pertama kalah pamor dengan bahasa
Inggris. Bahasa Inggris sebagai bahasa percaturan global menempati kedudukan
yang sangat penting, sehingga banyak siswa yang tekun mempelajarinya. Hal
inilah yang menyebabkan minat siswa terhadap pelajaran bahasa Inggis tinggi
mengalahkan minat terhadap bahasa Indonesia.
Kedua, pandangan minor terhadap bahasa Indonesia di masyarakat.
Pengalaman penulis membuktikan hal tersebut. Ketika penulis menempuh studi di
jurusan bahasa Indonesia, banyak orang mencibir dengan ungkapan-ungkapan
pesemistis, seperti; mau jadi apa kelak kuliah di jurusan bahasa, juru ketik
kelurahan? Peristiwa tersebut terjadi di awal tahun 2000-an. Bagaimana dengan
sekarang? Tetap belum beranjak, sebab belum lama ini, istri penulis mengalami
hal pahit. Kisahnya, ketika mengobrol dengan tetangga yang notabene orang
mampu, tetangga tersebut mengeluh kebingungan memilihkan jurusan anaknya,
katanya, memilih jurusan sekarang serba sulit, banyak saingan, kuliah di jurusan
bahasa, terus mau jadi apa nanti. Istri penulis yang mendengarnya, terenyak,
diam, enggan menanggapi, lha wong suaminya guru bahasa Indonesia. Jika istri

penulis bilang bahwa suaminya guru bahasa Indonesia, boleh jadi merah padam
wajah tetangga itu.
Ketiga, menjamurnya bahasa gaul, prokem, alay, dan sejenisnya.
Meskipun sebagian orang menilai bahasa alay sebagai bentuk kreativitas anak
muda, namun dalam hemat penulis tidak demikian, bahasa alay justru semakin
menumpulkan kemampuan menulis dan malah membiakkan budaya tutur yang
berselera rendah. Sebab karakteristik bahasa alay cenderung ujaran tanpa struktur
yang jelas, berbeda dengan ragam tulis yang menuntut kaidah tata bahasa atau
struktur kalimat yang jelas.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa cenderung
memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni faktor kognitif (aptittude), model pembelajaran, lingkungan, dan
faktor afektif (attitude). Atau dengan kata lain, faktor kognitif dan afektif dapat
disebut faktor internal, sementara model pembelajaran dan lingkunagn dapat
disebut sebagai faktor eksternal.
Di dalam tulisan ini penulis lebih menfokuskan pembahasan kepada
faktor-faktor afektif (faktor-faktor internal) dalam mempengaruhi pembelajaran
bahasa kedua. Hal ini merujuk pendapat Savignon (Krashen, 2002: 38) yang
mengatakan bahwa sikap adalah faktor tunggal yang paling penting dalam belajar
bahasa kedua. Pendapat Savignon tersebut cukup ekstrem, berbeda dengan
pendapat Krashen yang cenderung di wilayah abu-abu. Dalam hemat penulis,
sikap tegas Savignon tersebut dipengaruhi pandangan mental bahwa mustahil
seseorang akan sukses belajar bahasa jika tidak dilandasi sikap positif terhadap
bahasa tersebut. Oleh karena itu sukses tidaknya seorang peembelajar bahasa
dimulai dengan sikap senang terhadap bahasa itu terlebih dahaulu. Dengan
demikian, menyemai kembali benih-benih cinta terhadap bahasa Indonesia
mendesak untuk dilakukan jika ingin menjadi pembelajar bahasa yang baik (the
good language learner).

Faktor-faktor Afektif
Mencintai bahasa Indonesia dalam hemat penulis dapat dibagi dalam dua
hal. Pertama, mencintai bahasa Indonesia di luar kelas bahasa Indonesia. Kedua,
mencintai bahasa Indonesia dalam ruang lingkup proses pembelajaran bahasa
Indonesia. Di dalam kategori yang pertama, berkait dengan sikap bertutur dan
beringkah laku si pengguna bahasa dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
bergaul, bekerja, dan sebagainya.
Pada kategori kedua, bersangkut paut dengan siswa, materi, guru, dan
kelas, sehingga jauh lebih kompleks. Jika digambarkan, pengggunaan bahasa
Indonesia yang benar di dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya perwujudan dari
keberhasilan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, kategori yang pertama dapat
disebut pula sebagai ikutan atau dampak dari pembelajaran yang berhasil.
Faktor afektif yang mendukung keberhasilan pembelajaran bahasa, penulis
kelompokkan menjadi dua macam, yakni faktor motivasi dan faktor masalahmasalah kepribadian. Pembagian ini dengan alasan bahwa motivasi merupakan
variabel afektif yang sangat sentral dan berlaku universal (Brown: 183). Berbeda
dengan masalah-masalah kepribadian yang terpisah-pisah, meskipun pada
prinsipnya saling berhubungan.
Lantas

bagaiamana

faktor-faktor

afektif

tersebut

mempengaruhi

keberhasilan pembelajaran bahasa? Berikut akan penulis uraikan faktor-faktor


afektif penentu keberhasilan pembelajaran bahasa, yakni motivasi, empati,
kecemasan, harga diri, dan sikap terhadap guru dan kelas dengan memberikan
kemungkinan-kemungkinan aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Motivasi

Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang baik secara
sadar ataukah tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu
(KBBI). Jadi lebih luas dibandingkan dengan pengertian minat, yakni
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Oleh karena itu, keduanya
sering dibedakan.
Penelitian paling awal tentang motivasi dalam pembelajaran bahasa kedua
dilakukan oleh Robert Gardner dan Wallace Lambert tahun 1972 (Brown,
2008:185, Krashen, 2002: 22). Penelitian ini termasuk monumental karena
dilakukan dalam kurun waktu 12 tahun. Keduanya mengamati pembelajaran bahas
asing di Kanada.
Dari hasil penelitian tersebut Gardner (Krashen, 2002:22) membagi
motivasi dalam dua fungsi. Pertama, motivasi integrasi, yakni keinginan belajar
bahasa untuk mengintegrasikan diri dalam masyarakat bahasa tersebut. Kedua,
motivasi instrumental, yakni keinginan belajar bahasa untuk dimanfaatkan/tujuan
praktis (seperti bekerja, bepergian, dan sebagainya).
Lantas, bagaimana dengan motivasi siswa dalam mempelajari bahasa
Indonesia, termasuk motivasi integrasi ataukah motivasi instrumental? Bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua, memungkinkan seorang siswa memiliki kedua
motivasi tersebut. Tetapi pada prinsipnya, motivasi integrasi jauh lebih penting,
sebab motivasi integrasi menuntut siswa lebih dalam menguasai kompetensi dan
memiliki manfaat yang lebih luas.
Indonesia yang memiliki khazanah luar biasa tentang bahasa daerah, sukusuku dan budaya dapat diintegrasikan dengan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi dan berbaur, seperti pernah dicetuskan dalam Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka. Proses ini agak berbeda dengan
apa yang terjadi dalam penelitian Gardner, bahwa tujuan motivasi integrasi adalah
untuk bergaul dengan bahasa target, yakni pelajar Kanada berbahasa ibu bahasa
Perancis mempelajari bahasa Inggris, tujuan mereka bukan untuk bergaul sesama
warga Kanada, melainkan untuk berbaur dengan warga yang berbahasa Inggris di

luar Kanada. Dengan demikian, motivasi integrasi dalam pembelajaran bahasa


Indonesia, lebih diarahkan ke dalam upaya semangat nasionalisme Indonesia.
Akan tetapi, kadang-kadang upaya ini salah tafsir, sebab kerapkali bersinggungan
dengan bahasa daerah. Bahasa Indonesia dianggap mereduksi keberadaan bahasa
daerah. Temuan Khoiri (2005) tentang semakin terdesaknya penutur bahasa Jawa
dan bergeser ke bahasa Indonesia di awal tulisan ini setidaknya mencerminkan hal
tersebut. Oleh sebab itu, guru harus menjelaskan maksud dan tujuan pembelajaran
bahasa Indonesia dengan jelas dan terperinci sebelum memulai pembelajaran.
Guru dalam memotivasi siswa juga tidak bisa memandang secara sempit
dalam perspektif behavioristik (Skinner, Pavlov, Thordike) yang melihat motivasi
sekadar pengharapan imbalan. Misalnya, guru memberikan imbalan karena siswa
mampu menjawab soal. Meskipun hal tersebut efektif, akan tetapi hal itu bersifat
temporal, jika guru tidak memberikan imbalan, boleh jadi siswa enggan menjawab
dan motivasinya turun. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan motivasi integrasi
dalam pembelajaran bahasa lebih ditekankan kepada kompentensi yang akan
diperoleh oleh siswa dan manfaatnya di dunia nyata. Guru misalnya, dapat
menerapkan strategi AMBAK, yakni akronim dari Apa Manfaatnya BagiKu.
Konkretnya, di dalam di benak siswa harus tertanam AMBAK selama
pembelajaran berlangsung.
Strategi AMBAK ini menyediakan ruang kendali pembelajaran kepada
siswa. Siswa dapat mengidentifikasi tujuan-tujuan pembelajaran dalam dunia
nyata. Hal ini akan memotivasi siswa untuk menerapkan apa yang mereka pelajari
di kelas dalam kehidupan sehari-hari.
Empati
Orang Barat menulis empati dengan sangat menarik, yakni the ability to
put oneself in anothers shoes (Krashen, 2002:23) atau dengan kata lain keluar
dari diri untuk memahami apa yang orang lain rasakan. Dalam pengertian
pengertian yang lebih canggih, empati biasanya digambarkan sebagai proyeksi

10

kepribadian seseorang pada kepribadian orang-orang lain untuk memahami


mereka dengan lebih baik (Brown, 2008:180).
Dalam konteks pembelajaran di kelas saat ini, empati masih banyak
dilupakan oleh guru. Misalnya, ketika seorang guru ditanya; apakah langkah
pertama yang harus dipersiapkan oleh guru sebelum mengajar? Rata-rata guru
menjawab spontan, yakni seperangkat pembelajaran, seperti silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), presensi, buku, dan sebagainya. Padahal, bukan
itu sejatinya yang harus dipersiapkan oleh guru di awal pembelajaran, melainkan
mengetahui karakteristik siswa, itu jauh lebih penting. Sebab mengetahui
karakteristik siswa, berimplikasi kepada cara mengajar guru dan sikap yang harus
ditempuh guru dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, guru melangkah ke
kelas, bukan dalam kondisi kosong, atau tidak tahu kondisi siswa, tetapi kaya
dengan kondisi siswa. Walhasil, guru menjadi dirigen di dalam kelas, yang
hapal betul setiap potensi siswanya. Sikap guru tersebut akan mendorong siswa
menjadi lebih dihargai dan menyukai gurunya. Hal ini sejalan dengan penelitian
Seliger (Krashen, 2002:23) yang menulis bahwa pelajar yang merasa nyaman di
kelas dan menyenangi gurunya akan mudah mendapat intake (masukan) secara
sukarela (tanpa paksaan).
Dalam studi yang lebih luas (Brown, 2008: 181), empati memiliki
implikasi ke ranah empati lintas budaya-memahami bagaimana budaya-budaya
yang berlainan menjadi satu-akulturasi. Dalam konteks bahasa Indonesia, hal ini
sangat cocok. Bangsa Indonesia, yang memiliki latar belakang perbedaan suku,
agama, budaya, dan bahasa memerlukan sikap empati di antara masyarakatnya.
Kesediaan untuk memahami berbagai karakter setiap peserta didik dari berbagai
latar belakang sangat penting dikuasai oleh para guru bahasa Indonesia. Hal ini
termasuk tantangan bagi guru, apalagi misalnya, guru bahasa Indonesia memiliki
latar belakang budaya suku Jawa, sementara harus mengajar murid-murid suku
Batak di Sumatera Utara yang memiliki bahasa pertama, bahasa Batak, tanpa
mengenal budaya peserta didik dengan baik, mustahil pembelajaran akan
berlangsung dengan sukses.

11

Oleh karena itu, dalam konteks ke-Indonesiaan empati menyangkut


tentang bagaimana bahasa Indonesia bisa diterima dengan baik, mudah (easiest)
dalam keragaman budaya? Kedua, bagaimana bahasa Indonesia bisa bersandingan
dengan bahasa daerah, bukan malah mereduksi bahasa daerah.
Untuk menjawab hal tersebut, guru bisa memilih pendekatan pembelajaran
bahasa Indonesia berbasis budaya lokal. Di dalam pendekatan ini, guru bisa
mengupayakan media dan bahan ajar yang bersumber pada budaya setempat.
Misalnya, mengaitkan materi menulis naratif dengan cerita-cerita lokal, jika guru
berasal dari daerah tersebut akan sangat membantu, namun jika guru tersebut
berasal dari luar daerah, suka tidak suka harus mempelajari budaya-budaya
setempat.
Pendekatan berbasis budaya lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia
akan menjadikan bahasa Indonesia lekat dengan kondisi kejiwaan siswa. Hal ini
bukan berarti menggantikan kedudukan bahasa daerah mereka, justru dengan
hadirnya pembelajaran berbasis budaya lokal, budaya setempat dapat terangkat
atau terakomodir di dalam bahasa Indonesia. Misalnya, cerita-cerita rakyat yang
selama ini hanya lisan dapat dikenalkan secara luas dengan perantara bahasa
Indonesia. Walhasil, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi lebih menarik,
makin dicintai tanpa mengurangi rasa hormat terhadap bahasa daerah.
Kecemasan
Para psikolog selalu berpendapat bahwa kecemasan adalah hal yang sangat
lumrah terjadi di dalam diri manusia. Pun dalam pembelajaran bahasa, kecemasan
kerap dialami oleh siswa. Spielberger (Brown, 2008:175) merumuskan kecemasan
sebagai perasaan subjektif mengenai ketegangan, ketakutan, kegelisahan, dan
kekhawatiran terkait dengan bangkitnya sistem syaraf otonom. Dalam bahasa
yang lebih sederhana Scovel (Brown 2008:175) menulis, kecemasan terkait
dengan perasaan canggung, frustasi, keraguan diri, ketakutan, atau kekhawatiran.
Apa yang menyebabkan terjadinya kecemasan tersebut? Tokoh-tokoh
seperti Horwitz & Cope (1986) dan MacIntyre & Gardner (1989) seperti dikutip
12

Brown (2008:176) mencoba merumuskan menjadi tiga hal. Pertama, ketakutan


komunikasi, yakni ketidakmampuan pembelajar untuk mengungkapkan secara
memadai pemikiran dan ide-ide matang. Kedua, ketakutan terhadap penilaian
sosial negatif, muncul dari kebutuhan seorang pembelajar untuk membuat kesan
sosial positif kepada orang lain. Dalam pandangan penulis, penyebab kedua
sangat jamak terjadi dalam pembelajaran di kelas. Siswa cenderung diam atau
menghindar ketika guru mengajukan pertanyaan. Sebagian besar siswa beralasan,
takut dan malu jika jawabannya keliru dan menjadi bahan tertawaan temantemannya. Ketiga, kecemasan ujian, atau ketakutan terhadap evaluasi akademis.
Apakah kecemasan selalu berdampak buruk? Ternyata tidak demikian,
Scovel seperti dikutip Brown (2008: 176) malah membedakan kecemasan menjadi
dua, yakni kecemasan debilitatif dan fasilitatif. Kecemasan debilitatif bersifat
merugikan, sedangkan kecemasan fasilitatif bersifat menguntungkan. Kecemasan
fasilitatif memandang bahwa sedikit kekhawatiran-sedikit ketakutan-terhadap
suatu tugas yang harus diselesaikan merupaka faktor positif. Tanpa itu, seorang
pembelajar mungkin cenderung lembek, tidak punya ketegangan fasilitatif yang
membuat orang tetap siaga, waspada, dan sedikit galau sehingga tidak bisa
sepenuhnya beristirahat.
Jadi, dalam praksis pembelajaran di kelas, jika murid-murid cemas,
seorang guru harus secara jeli melihat, apakah kecemasan tersebut bersifat
merugikan, ataukah sebaliknya menguntungkan. Untuk mengamati hal tersebut
cukup sulit, namun demikian guru dapat melihat tindak tanduk siswa dengan jeli.
Jika seorang siswa setelah mendapat tugas langsung mengerjakan dengan tekun,
dapat dikatakan siswa tersebut memiliki kecemasan yang menguntungkan.
Berbeda jika seorang siswa setelah mendapat tugas malah tidak siaga
mengerjakan, dapat diasumsikan bahwa siswa tersebut memiliki kecemasan
merugikan, meskipun simpulan ini terlalu dini. Tetapi, jika ketidaksiagaan siswa
dalam mengerjakan tugas disebabkan oleh sikap yang menilai diri sendiri rendah
daripada orang lain, maka dapat dipastikan bahwa kecemasan tersebut bernilai
merugikan.

13

Persoalan tidak berhenti di situ, pengalaman penulis di lapangan


menunjukkan bahwa terdapat beberapa siswa yang justru tidak memilki
kecemasan apapun dalam pembelajaran. Mereka cenderung memasabodohkan
pelajaran bahasa Indonesia, tidak peduli, alergi, bahkan tidak mau tahu. Banyak
siswa memandang sepele pelajaran bahasa Indonesia. Seolah-olah mereka sudah
bisa. Jika Anda menghadapi hal semacam ini, maka siswa tersebut harus segera
disadarkan, dalam artian meluruskan cara berpikir siswa tersebut terhadap
pelajaran bahasa Indonesia, sehingga berangsur-angsur menyenangi pelajaran
bahasa Indonesia.
Harga Diri (harkat)
Dalam buku Krashen, SLA & SLL sedikit disinggung tentang harga diri
(self-image). Pada intinya, semakin positif siswa memandang dirinya baik akan
baik pula pencapaian tesnya. Pembahasan agak lengkap dikemukakan Brown
(2008:167) bahwa tidak ada aktivitas kognitif atau afektif sukses yang bisa
dilaksanakan tanpa adanya harkat, kepercayaan diri, pengetahuan tentang diri
Anda, dan keyakinan pada kemampuan Anda sendiri untuk berhasil melakukan
aktivitas itu.
Jadi, harkat dapat diartikan sebagai sikap seseorang dalam memandang
atau menilai dirinya sendiri. Rupanya harkat berkait erat dengan kecemasan, bagi
siswa yang memiliki harkat tinggi akan memiliki kecemasan yang bernilai
menguntungkan, akan tetapi jika siswa memiliki harkat rendah, maka kecemasan
tersebut akan bernilai merugikan.
Brown (2008: 169) mengajukan pertanyaan menarik: Apakah harkat yang
tinggi menyebabkan keberhasilan berbahasa, atau keberhasilan berbahasa
menyebabkan harkat yang tinggi? Yang jelas keduanya adalah faktor yang saling
berinteraksi. Pertanyaan tersebut memang berimplikasi kepada guru, apakah guru
harus berupaya meningkatkan harkat siswa terlebih dahulu, atau guru harus
meningkatkan kemahiran berbahasa dulu? Dalam hemat penulis, keduanya saling
berinteraksi, maka idealnya harus seiring sejalan.

14

Lantas cara seperti apa yang harus ditempuh guru untuk meningkatkan
harkat siswa? Andres (1999) seperti dikutip Brown (2008:169) menyarankan agar
guru-guru menggunakan teknik-teknik pengajaran di kelas yang bisa membantu
para pembelajar mengembangkan sayap mereka. Barangkali guru harus
memutar otak untuk menyusun strategi pembelajaran yang bisa mendorong rasa
percaya diri siswa. Beberapa strategi yang bisa dilakukan, misalnya menggunakan
teknik diskusi kelompok, debat, unjuk kebolehan, menjawab kuis, dan sebagainya.
Beberapa teknik tersebut menyediakan ruang bagi siswa untuk berekspresi dan
menumbukan sikap percaya diri yang memandang positif diri sendiri dan sikap
menghargai orang lain.
Sikap Terhadap Guru dan Kelas
Penulis memiliki pengalaman menarik tentang sikap terhadap guru.
Sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), penulis sempat
alergi terhadap guru bahasa Inggris, pangkal persoalannya karena sikap kurang
empati guru terhadap kesalahan yang penulis lakukan. Alih-alih membetulkan
pekerjaan penulis, guru tersebut malah mengeluarkan kata-kata yang melemahkan
mental penulis. Celakanya hal tersebut berimbas kepada sikap penulis terhadap
bahasa Inggris, yang pada awalnya menyenangi, justru berkebalikan, menghindari
pelajaran bahasa Inggris.
Kisah tersebut membuktikan bahwa perasaan nyaman di kelas dan kepada
guru sangat mempengaruhi keberhasilan seorang pembelajar. Seliger (1997)
seperti dikutip Krashen (2002:33) menjelaskan bahwa siswa yang merasa nyaman
di kelas dan kepada guru dapat mencari intake secara sukarela. Jadi, dalam
pembelajaran bahasa kedua, sikap nyaman terhadap guru berpengaruh besar
terhadap daya serap siswa terhadap bahasa target. Siswa dapat menerima asupan
dari guru di dalam proses pembelajaran dengan mudah.
Dalam kasus penulis tadi, guru memegang peranan yang sangat penting.
Sikap guru yang tidak empati berujung kepada sikap tidak suka murid. Oleh
karena itu, guru perlu menjaga sikap dan tutur kata dengan baik. Selain itu, sikap

15

siswa terhadap guru juga ditentukan oleh pilihan strategi pembelajaran yang
dipilih guru. Saat ini telah berkembang model-model pembelajaran yang menarik,
seperti Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM), model
pembelajaran ini tidak sekadar transfer of knowledge semata, melainkan harus
memiliki prasyarat menyenangkan yang memberi bobot ke ranah afektif
sehingga memungkinkan siswa menyukai guru, pembelajaran, dan kelas.
Apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia, banyak sekali materimateri yang mengasah kreativitas dan daya imaji siswa seperti menulis cerita
pendek, menulis surat, menulis pantun, menulis puisi, pembacaan puisi, bermain
drama, dan sebagainya. Materi-materi tersebut sangat memungkinkan sekali
dikemas dalam balutan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga
memberi pengaruh positif terhadap sikap terhadap guru, kelas, dan pelajaran
bahasa Indonesia.
Terakhir, faktor-faktor afektif dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus
mendapat perhatian serius karena efeknya jauh lebih dahsyat daripada faktor
bakat (aptitude). Guru memegang peranan yang sangat penting karena dialah
dirigen di dalam kelas yang menentukan sukses tidaknya sebuah pembelajaran.
Pun demikian siswa juga tidak kalah penting karena merupakan subjek
pembelajaran, orang yang mengalami pembelajaran. Keduanya, guru dan siswa
tidak bisa dipisahkan karena satu dengan yang lain saling berinteraksi. Interaksi
yang intens inilah yang memberikan peluang siswa dan guru mencintai pelajaran
bahasa Indonesia. Lantas, siapa yang harus memulai? Semua itu tergantung Anda,
para guru bahasa Indonesia yang budiman!
***

16

Referensi
Brown, H.D. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa (edisi kelima).
Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Dapat dilihat di
http://lms.aau.ac.id/library/ebook/U_15744_11_H/files/res/downloads diakses
28 Desember 2013.
Budiawan. 2008. Pengaruh Sikap Bahasa dan Motivasi Belajar Bahasa Terhadap
Prestasi pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Siswa
SMA se-Bandar Lampung. Jakarta: Universitas Indonesia (Tesis)
Khoiri, Much. 2013. Sikap Bahasa Penentu Pemilihan Bahasa.
Tersedia:http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/07/sikap-bahasa-penentupemilihan-bahasa-574741.html. Diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
Krasen, Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Language
Learning. California: University of Southern California. (internet version)
Kridalaksana, Harimurti. 2013. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Suryadimulya, Agus Suherman. 2008. Analisis Teori Monitor dalam Akuisisi
Bahasa Kedua. Bandung: Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat UNPAD
(makalah)
dapat
dilihat
di
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/05/analisis_teori_monitor
_dalam_akuisisi_bahasa_kedua.pdf diakses 28 Desember 2013.

17

Anda mungkin juga menyukai

  • FL Batuan
    FL Batuan
    Dokumen8 halaman
    FL Batuan
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Perbup No 49 Tahun 2011
    Perbup No 49 Tahun 2011
    Dokumen12 halaman
    Perbup No 49 Tahun 2011
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Tana Man
    Tana Man
    Dokumen2 halaman
    Tana Man
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Telah Berubah
    Telah Berubah
    Dokumen1 halaman
    Telah Berubah
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Asia
    Asia
    Dokumen1 halaman
    Asia
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Teoriakuntansi 131002001048 Phpapp01
    Teoriakuntansi 131002001048 Phpapp01
    Dokumen10 halaman
    Teoriakuntansi 131002001048 Phpapp01
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Alkali Tanah
    Alkali Tanah
    Dokumen3 halaman
    Alkali Tanah
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Usulan Program Kreativitas Mahasiswa
    Usulan Program Kreativitas Mahasiswa
    Dokumen3 halaman
    Usulan Program Kreativitas Mahasiswa
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • DDDD
    DDDD
    Dokumen4 halaman
    DDDD
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Kovando Do
    Kovando Do
    Dokumen1 halaman
    Kovando Do
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Aku Cinta Allah
    Aku Cinta Allah
    Dokumen1 halaman
    Aku Cinta Allah
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • 10 May
    10 May
    Dokumen2 halaman
    10 May
    anon_122874305
    Belum ada peringkat
  • Print Skrin
    Print Skrin
    Dokumen1 halaman
    Print Skrin
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Aguz
    Aguz
    Dokumen1 halaman
    Aguz
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar TIK
    Kata Pengantar TIK
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar TIK
    Siti Aminah
    Belum ada peringkat
  • IPS GEOGRAFI
    IPS GEOGRAFI
    Dokumen11 halaman
    IPS GEOGRAFI
    Ragil Agus Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat