Anda di halaman 1dari 13

Nama : Pojianto

Judul : Profil Inkontinensia Urin pada Wanita Menopause


di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1Februari 2011-31Maret 2011
HP
: 081356357911
e- mail : pojianto_kwok@yahoo.com
PROFIL INKONTINENSIA URIN PADA WANITA MENOPAUSE
DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO
PERIODE 1 FEBRUARI 2011-31 MARET 2011
Pojianto, Jefferson Rompas
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
UP. Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui angka kejadian inkontinensia urin pada wanita menopause di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan faktor-faktor risiko yang berhubungan
Tempat: RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Rancangan Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Februari 2011-31 Maret 2011. Sampel berasal dari
populasi wanita menopause yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengisi kuesioner
MESA dan beberapa pertanyaan lainnya
Hasil: Diperoleh 40 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan didapatkan kejadian
inkontinensia urin pada 23 kasus (57,5%). Terbanyak responden dengan pendidikan terakhir
SLTA (25,00%) yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga (47,50%). Adapun faktor risiko
yang bermakna untuk terjadinya inkontinensia urin pada wanita menopause antara lain usia
antara 60-64 tahun (66,67%), riwayat partus pervaginam (95,65%), jumlah paritas 4
(69,23%), indeks massa tubuh 30 (80,00%)
Kesimpulan: Kejadian inkontinensia urin pada wanita menopause sebesar 57,50% dimana
usia, riwayat partus pervaginam, jumlah paritas, dan indeks massa tubuh merupakan faktor
risiko terjadinya inkontinensia urin pada wanita menopause
Kata Kunci: Inkontinensia urin, menopause

PROFIL INKONTINENSIA URIN PADA WANITA MENOPAUSE


1

DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO


PERIODE 1 FEBRUARI 2011-31 MARET 2011
Pojianto, Jefferson Rompas
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
UP. Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou

PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan masalah yang kompleks. Menurut WHO, sehat
didefinisikan sebagai suatu keadaan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan
saja, tetapi juga meliputi status fisik, sosial, dan mental. Keadaan kesehatan yang tidak
tertanganin dengan baik akan memberikan dampak negatif pada kualitas hidup individu.1
Inkontinensia urin adalah suatu keadaan berupa keluarnya urin secara involunter/
tidak dapat dikontrol dan bukan suatu kesatuan penyakit. 2-5 Inkontinensia dapat dialami
semua wanita di segala lapisan usia, merupakan suatu kondisi keluarnya urin yang tidak
terkontrol, yang menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis untuk pasien dan
masyarakat. Kelainan ini tidak mengancam jiwa, tapi berpengaruh terhadap kualitas
hidup yang disebabkan karena faktor psikologis dan sosial yang sulit diatasi. Kelainan
tersebut berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, akibatnya pasien merasa kurang
percaya diri, depresi, malu, dan cemas.3,7-11
Inkontinensia urin biasanya terjadi pada wanita, tapi keadaan ini sering tidak
dilaporkan oleh karena rasa malu dari penderita dan dianggap sebagai keadaan yang
biasa.4,7,12-14 Inkontinensia urin sering diabaikan dan dianggap sebagai bagian normal dari
proses penuaan, padahal merupakan sesuatu yang abnormal yang dapat diobati dan
disembuhkan. Namun keberhasilannya penatalaksanaannya memerlukan pengertian akan
pengaruh penuaan normal dan faktor di luar saluran kemih pada sistem urogenital.15
Ada tiga tipe inkontinensia urin yaitu stress inkontinensia urin, urge inkontinensia
urin, dan mixed inkontinensia urin. Ke-tiga tipe ini dapat dievaluasi melalui anamnesa
dan penilaian klinis sederhana.7
Penelitian mengenai inkontinensia urin masih sedikit dan hasilnya berbeda pada
masing-masing negara. Konggres ICS 1998 menyatakan bahwa variasi dari hasil

penelitian kemungkinan disebabkan perbedaan tempat penelitian, karakteristik sampel


yang digunakan, ras, dan metode studi.16
Tahun 1998, WHO menyatakan bahwa inkontinensia urin merupakan salah satu
masalah kesehatan yang cukup besar dan diperkirakan lebih dari 200 juta orang di
seluruh dunia mengalami kesulitan dalam kontrol berkemih. Pada konsensus kesehatan
nasional di Amerika tahun 1998 dinyatakan bahwa dari 10 juta orang dewasa dengan
inkontinensia urin, duapertiganya adalah wanita dan yang mencari pertolongan hanya
kira-kira sepertiganya.2
Angka kejadian inkontinensia urin secara pasti sulit ditentukan, karena banyak
penderita menganggap kejadian tersebut merupakan keadaan yang biasa, disamping
mereka malu menceritakannya atau tidak tahu harus minta tolong atau berkonsultasi
kemana. Teleman, dkk mendapatkan adanya peningkatan kasus inkontinensia urin pada
wanita usia 50-59 tahun yang melapor sendiri pada tahun 1995-2000 dari 32% menjadi
kira-kira 66%. Di Perancis, Peyrat, dkk mendapatkan prevalensi inkontinensia urin pada
wanita sebesar 27,5% dimana peningkatan bermakna terjadi pada usia 40 tahun,
kehamilan, riwayat persalinan pervaginam, post partum, dan histerektomi.12
Sampai saat ini di Indonesia, khususnya di Manado belum ada data yang
menyatakan angka kejadian inkontinensia urin pada wanita menopause. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian kejadian inkontinensia urin di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui angka kejadian inkontinensia urin pada wanita

menopause di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.


Mengetahui faktor risiko terjadinya inkontinensia pada wanita menopause
di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

METODE PENELITIAN
3

Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik.
Populasi dan Sampel Penelitian
Semua wanita menopause yang datang di poliklinik Ginekologi RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado. Sampel adalah bagian populasi yang bersedia mengikuti
penelitian dan menandatangani persetujuan penelitian, serta memenuhi kriteria inklusi.
Kriteria Pemilihan Sampel
Kriteria Inklusi
Wanita menopause
Dapat berkomunikasi
Bersedia menandatangani informed consent dan mengisi kuesioner dengan
lengkap
Kriteria Eksklusi
Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon
Menggunakan obat golongan ACE inhibitor, sedativa, narkotik, dan diuretik
Menderita infeksi saluran kemih
Mengalami konstipasi
Prolaps uteri
Stroke
HASIL
Selama kurun waktu 1 Maret 2011- 31 Maret 2011, terdapat 40 responden yang
memenuhi kriteria. Yang terdiagnosis sebagai inkontinensia urin 23 kasus (57,50%).
Tabel I. Karakteristik Responden Yang Mengalami dan Yang Tidak Mengalami
Inkontinensia Urin

Status Perkawinan: Kawin

Inkontinensia
Urin
N
%
23
57,5

Tidak Kawin
Pendidikan: Tidak Sekolah
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat Perguruan Tinggi
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
PNS

0
0
4
6
10
3
19
2
4

0
0
10,00
15,00
25,00
7,50
47,50
5,00

Tidak
Jumlah
Inkontinensia
N
%
N
%
17 42,5
40 100
0
2
2
3
8
2
15
1

0
5,00
5,00
7,50
20,00
5,00
37,50
2,50

0
2
6
9
18
5
34
3

0
5,00
15,00
22,50
45,00
12,50
85,00
7,50

Lain-lain

2
23

Jumlah

5,00
57,50

1
17

2,50
42,50

3
40

7,50
100

Tabel I, berdasarkan status perkawinan, ternyata semua responden sudah kawin, dan yang
mengalami inkontinensia urin 57,50%. Berdasarkan pendidikan, paling banyak yang
tamat SLTA (25,00%). Berdasarkan pekerjaan, terbanyak pada ibu rumah tangga
(47,50%).

Tabel II. Distribusi Inkontinensia Urin Berdasarkan Kelompok Umur


Inkontinensia Urin

Tidak Inkontinensia

Total

Kelompok Umur
(tahun)

45 49
50 54
55 59
60 64
65
Total

1
2
4
8
8
23

33,33
50,00
50,00
66,67
61,54
57,50

2
2
4
4
5
17

66,67
50,00
50,00
33,34
38,46
42,50

3
4
8
12
13
40

100
100
100
100
100
100

Dari Tabel II, responden yang mengalami inkontinensia urin terbanyak adalah kelompok
umur 60-64 tahun (66,67%).
Tabel III. Distribusi Berdasarkan Jenis Inkontinensia Urin
Jenis Inkontinensia Urin
Mixed
Stress
Urge
Jumlah

N
10
8
5
23

%
43,48
34,78
21,74
100

Dari Tabel III, responden yang mengalami inkontinensia urin paling banyak adalah jenis
mixed inkontinensia urin (43,48%) dan yang paling sedikit adalah jenis urge
inkontinensia urin (21,74%).

Tabel IV. Distribusi Berdasarkan Jenis Persalinan


Riwayat Persalinan

Inkontinensia Urin
N
22
1
23

Partus Pervaginam
Seksio Sesarea
Jumlah

%
95,65
4,35
100

Pada tabel IV, berdasarkan jenis persalinan, inkontinensia urin terbanyak pada kelompok
partus pervaginam (95,65%).
Tabel V. Distribusi Subyek Berdasarkan Paritas
Paritas
0-1
2-3
4
Jumlah

Inkontinensia Urin
N
%
1
33,33
13
54,17
9
69,23
23
57,50

Tidak Inkontinensia
N
%
2
66,67
11
45,83
4
30,77
17
42,50

Jumlah
N
3
24
13
40

%
100
100
100
100

Pada tabel V, berdasarkan jumlah paritas, inkontinensia urin terbanyak pada paritas 4
(69,23%).

Tabel VI. Distribusi Subyek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh


IMT (kg/ m2)
Normal (18,5-24,9)
Gemuk (25-29,9)
Obesitas ( 30)
Jumlah

Inkontinensia Urin
N
%
10
55,56
9
75,00
8
80,00
27
57,50

Tidak Inkontinensia
N
%
8
44,44
3
25,00
2
20,00
13
42,50

Pada Tabel VI, inkontinensia urin terbanyak pada IMT 30 (80,00%)


6

Jumlah
N
%
18
100
12
100
10
100
40
100

Tabel VII. Distribusi Subyek Berdasarkan Ada Tidaknya Diabetes Mellitus


Subyek
Diabetes Mellitus
Tidak Diabetes Mellitus

Inkontinensia Urin
N
%
3
75,00
24
66,67

Tidak Inkontinensia
N
%
1
25,00
12
33,33

Jumlah
N
4
36

%
100
100

Pada Tabel VII, menunjukkan bahwa kelompok responden yang menderita diabetes
mellitus lebih sering mengalami inkontinensia urin (75,00%) dibandingkan kelompok
responden yang tidak mengalami inkontinensia urin.

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini didapatkan 44 responden, dimana 4 responden dieksklusi
oleh karena dari anamnesa didapatkan 2 orang mengkonsumsi obat golongan ACE
inhibitor dan dari pemeriksaan fisik didapatkan 1 orang mengalami stroke, dan 1 orang
menderita prolaps uteri sehingga didapatkan 40 responden yang memenuhi kriteria. Dari
hasil penelitian ini didapatkan inkontinensia urin 23 (57,50%) kasus.
Pada tabel I, berdasarkan karakteristik responden ternyata semua responden telah
kawin.

Karakteristik

berdasarkan

pendidikan

paling

banyak

yang

mengalami

inkontinensia urin adalah yang tamat SLTA, sebanyak 10 (25,00%) kasus yang
mengalami inkontinensia urin.
Pada tabel II, inkontinensia urin terbanyak pada kelompok umur 60-64 tahun
(66,67%). Penelitian yang dilakukan Patrick, dkk mendapatkan inkontinensia urin pada
wanita usia 30-44 tahun 22,2 % dan 45-60 tahun 43,8%. 11 Di Perancis, Peyrat, dkk
mendapatkan prevalensi inkontinensia urin pada usia 25-39 tahun sebesar 18,2%, usia 4055 tahun 38%.12 Pada penelitian ini tampak kejadian inkontinensia urin meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Saluran kemih bagian bawah mengalami perubahan karena
usia, walau tanpa ada penyakit apapun. Kapasitas kandung kemih, kontraktilitas, dan
7

kemampuan untuk menahan berkemih menurun pada usia lanjut, sedangkan kekuatan dan
lama menutup uretra menurun bersamaan dengan meningkatnya usia.15 Umur secara
umum memiliki pengaruh pada inkontinensia urin khususnya karena obstruksi dari
saluran keluar kandung kemih (uretra) pada orang tua, yang mungkin akibat
berkurangnya atau tidak adanya pemenuhan uretra atau kurangnya stabilitas detrusor.
Dilaporkan bahwa penyebab yang khas dari inkontinensia urin pada orang tua adalah
instabilitas detrusor.17
Pada tabel III dari penelitian ini berdasarkan jenis inkontinensia urin didapatkan
kejadian mixed inkontinensia urin (43,48%), stress inkontinensia urin (34,78%), dan urge
inkontinensia urin (21,74%). Sykes, dkk melakukan penelitian di negara-negara Eropa,
mendapatkan kejadian inkontinensia urin berdasarkan gejala-gejala antara lain di Austria,
stress inkontinentia urin 30,8%, mixed inkontinensia urin 61,5%, dan urge inkontinensia
urin 7,7%. Di Belgia, stress inkontinentia urin 31,2%, mixed inkontinensia urin 53,2%,
dan urge inkontinensia urin 15,6%. Di Denmark, stress inkontinentia urin 23,0%, mixed
inkontinensia urin 62,3%, dan urge inkontinensia urin 14,8%. Di Perancis, stress
inkontinentia urin 32,9%, mixed inkontinensia urin 57,3%, dan urge inkontinensia urin
9,8%. Di Jerman, stress inkontinentia urin 22,4%, mixed inkontinensia urin 67,0%, dan
urge inkontinensia urin 10,6%. Di Yunani, stress inkontinentia urin 25,4%, mixed
inkontinensia urin 61,5%, dan urge inkontinensia urin 13,0%. Di Belanda, stress
inkontinentia urin 34,5%, mixed inkontinensia urin 49,4%, dan urge inkontinensia urin
16,1%. Di Portugis, stress inkontinentia urin 34,7%, mixed inkontinensia urin 59,7%, dan
urge inkontinensia urin 5,6%. Di Spanyol, stress inkontinentia urin 31,3%, mixed
inkontinensia urin 55,8%, dan urge inkontinensia urin 12,9%. Di Swedia, stress
inkontinentia urin 35,0%, mixed inkontinensia urin 48,7%, dan urge inkontinensia urin
16,2%. Di Switzerland, stress inkontinentia urin 37,0%, mixed inkontinensia urin 45,8%,
dan urge inkontinensia urin 17,2%. %. Di Inggris, stress inkontinentia urin 25,4%, mixed
inkontinensia urin 58,7%, dan urge inkontinensia urin 16,0%. 18 Cedera anatomis atau
neuromuskuler dapat asimptomatik selama ada kompensasi dari mekanisme kontinensia.
Tapi kehilangan kekuatan otot dan inervasi sfingter uretra karena faktor umur atau cedera
lain dapat merubah keseimbangan yang diperlukan dari kontinensia menjadi
inkontinensia. Stress inkontinensia urin dapat disebabkan oleh adanya defisiensi sfingter
8

intrinsik maupun adanya hipermobilitas dari bladder neck sedangkan urge inkontinensia
urin dapat disebabkan oleh karena kelainan neurologik, tetapi kebanyakan idiopatik. 7
Peningkatan tekanan intravesikal yang melebihi tekanan intrauretral, sekunder terhadap
peningkatan tekanan intraabdominal dan adanya instabilitas detrusor atau oleh karena
peningkatan sensasi afferen dari uretra dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia ini.19
Pada tabel IV penelitian ini menunjukkan bahwa inkontinensia urin lebih banyak
terjadi pada wanita dengan riwayat partus pervaginam (95,65%) dibandingkan dengan
seksio sesarea (4,25%). Partus pervaginam merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya inkontinensia urin karena partus pervaginam bisa menyebabkan terjadinya
neuropati pelvik dan berujung dengan terjadinya inkontinensia urin. Rortveit, dkk dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa prevalensi dari wanita usia 35-39 tahun yang
mengalami inkontinensia urin setelah seksio sesarea adalah 6,3% dari seluruh kejadian
inkontinensia.20 Peyrat, dkk dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa pasien yang
nullipara kejadian inkontinensia urin 14,1% pada yang partus pervaginam sebesar 32,6%
dan pada kelompok seksio sesarea 18,4%.12
Tabel V dalam penelitian ini mendapatkan jumlah paritas 4 (69,23%) yang
mengalami inkontinensia urin lebih besar. Penelitian Danforth, dkk mendapatkan
inkontinensia urin pada wanita yang tidak melahirkan 18%, paritas satu 14%, paritas dua
38%, dan paritas tiga atau lebih 27%.21 Rortveit, dkk menunjukkan bahwa pada kelompok
umur yang dipengaruhi paritas, persalinan pertama mempunyai dampak yang paling
besar dibandingkan dengan dampak persalinan berikutnya. 22 Pada kelompok Sang, dkk
mendapatkan bahwa paritas tidak berbeda bermakna antara kelompok stress
inkontinensia urin dan normal.23 Persalinan dapat menyebabkan kelemahan dasar panggul
sebagai konsekuensi dari melemah dan meregangnya otot-otot jaringan penunjang selama
persalinan. Demikian pula cedera yang terjadi akibat laserasi spontan dan episiotomi
selama persalinan yang menyebabkan gangguan sokongan dari organ pelvik. Peregangan
dari jaringan pelvik selama persalinan pervaginam dapat merusak nervus pudendalis serta
otot dan jaringan penunjang dasar panggul dan dapat mengganggu kemampuan sfingter
uretra untuk berkontraksi dengan tepat dan efisien.6
Pada tabel VI penelitian ini, indeks massa tubuh yang normal lebih jarang
mendapatkan inkontinensia dibandingkan dengan yang obesitas. Rortveit, dkk pada
penelitiannya mendapatkan 17,1% mengalami inkontinensia urin pada IMT < 25, 22,8%
9

inkontinensia pada IMT 25-29,9 dan 30,5% pada IMT 30.20 Umur dan paritas adalah
faktor yang bekerja sinergis dengan obesitas untuk menyebabkan peningkatan insiden
inkontinensia urin. Peyrat, dkk mendapatkan hasil bahwa pada kelompok dengan IMT <
25 mengalami inkontinensia urin sebesar 32,4% dan IMT 25 sebesar 36,9%.12 Pada
obesitas secara bermakna lebih sering terjadi instabilitas detrusor. Obesitas sering
merupakan faktor yang dapat menyebabkan inkontinensia urin atau memicu terhadap
beratnya kondisi tersebut. Penambahan berat badan menyebabkan teregangnya dan
melemahnya otot-otot, saraf-saraf, dan struktur lain pada dasar panggul. Kemungkinan
juga akibat peningkatan tekanan intraabdominal.6-9
Pada tabel VII penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok responden yang
disertai diabetes mellitus lebih sering mengalami inkontinensia urin (75%) dibandingkan
dengan yang tidak disertai diabetes mellitus (66,67%). Diabetes mellitus, penyakit yang
berpengaruh pada saraf tepi dan menurunnya jaringan kolagen akan berpengaruh besar
terhadap inkontinensia urin.24

10

KESIMPULAN
Kejadian inkontinensia urin pada wanita menopause di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado cukup tinggi (57,5%) dimana terbanyak mixed inkontinensia urin
(43,48%) kemudian stress inkontinensia urin (34,78%) dan yang paling sedikit adalah
urge inkontinensia urin (21,74%). Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa usia,
riwayat partus pervaginam, jumlah paritas, dan indeks massa tubuh merupakan faktor
risiko terjadinya inkontinensia urin pada wanita usia menopause.
SARAN

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk konseling di poliklinik tentang

inkontinensia urin pada wanita menopause


Perlu dipersiapkan tenaga medis yang dapat membantu memberikan penyuluhan

lebih baik dan lengkap


Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk lebih
memperhatikan pasien dengan risiko inkontinensia urin sehingga penanganan

yang diberikan juga menjadi lebih baik


Perlu penurunan berat badan pada wanita dengan IMT 25 kg/m2 untuk
mengurangi risiko terjadinya inkontinensia urin

DAFTAR PUSTAKA
1. Reproductive Health http:// www.who.int/topics/reproductive_health/en/
2. Monz B, Hampel C, Porkess S, et al. A Description of Health Care Provision and
Access to Treatment for Women with Urinary Incontinence in Europe- A FiveCountry Comparison. Maturitas 2005; 52S: S3-S12
11

3. Urinary Incontinence. http://urinary-incontinence.brainsip.com/


4. Medics8 Family Health Guide. Urinary Incontinence- a Patients Guide.
http://www.medic8.com/healthguide/articles/urinaryincontinence.html
5. Hunskaar S, Burgio K, Djokno A, et al. Epidemiology and Natural History of
Urinary Incontinence in Women. Urology 2003;62 (Suppl 4A): 16-23
6. Somad NM. Inkontinensia Urin Pada Wanita. Disampaikan pada Simposium &
Workshop: Diagnosis & Penatalaksanaan Mutakhir Inkontinensia Urin, Jakarta, 2224 April 2005
7. Norton P, Brubaker L. Urinary Incontinence in Women. Lancet 2006; 367: 57-67
8. Melville JL, Miller EA, Fialkow MF. Relationship between Patient Report and
Physician Assessment of Urinary Incontinence Severity. Am J Obstet Gynecol 2003;
189: 76-80
9. Fultz NH, Burgio K, Diokno AC, et al. Burden of Stress Urinary Incontinence for
Community-dwelling Women. Am J Obstet Gynecol 2003; 189: 1275-82
10. Hunskaar S, Lose G, Sykes D, et al. The Prevalence of Urinary Incontinence in
Women in Four European Countries. BJU International 2004; 93: 324-30
11. Patrick DL, Martin ML, Bushnell DM, et al. Quality of Life of Women with Urinary
Incontinence: Further Development of The Incontinence Quality of Life Instrument
(I-QOL). Urology 1999; 53(1): 71-6
12. Peyrat L, Haillot O, Bruyere F, et al. Prevalence and Risk Factors of Urinary
Incontinence in Young and Middle- Aged Women. BJU International 2002; 89; 61-6
13. Kirby M. Managing Stress Urinary Incontinence- A Primary Case Issue. Int J Clin
Pract 2006; 60(2): 184-9
14. Shaw C, Tansey R, Jackson C, et al. Barriers to Help Seeking in People with Urinary
Symptoms. Family Practice 2001; 18: 48-52
15. Suhardjono, Setiati S. Masalah Inkontinensia Urin pada Pasien Usia Lanjut dan
Penatalaksanaannya. Dalam: Markum HMS, Hardjodisastro D, Sudoyo AW, dkk.
Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyakit Dalam. FKUI, Jakarta, 1996: 139-49
16. Chiarelli P, Cockburn J. Promoting Urinary Continence After Delivery; Randomized
Controlled Trial. BMJ, 2002; 324: 1241-6
17. Pauls J. Urinary Incontinence and Impairment of the Pelvic Floor in The Older Adult.
In: Guccione AA ed. Geriatric Physical Therapy. 2nd ed. Mosby, Inc, USA, 2000:
340-50
18. Sykes D, Castro R, Pons ME, et al. Characteristics of Female Outpatiens with
Urinary Incontinence Participating in 6- month Observational Study in 14 European
Countries. Maturitas 2005; 52S: S13-23
12

19. Lim PHC. Overview on Urinary Incontinence and Treatment- Part I. A Clinical
Background to Types, Tests and Treatment. In: The Female Patient Total Health Care
for Women. Excerpta Medica, 5-19
20. Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, et al. Urinary Incontinence After Vaginal
Delivery or Cesarean Section. N Engl J Med 2003; 348: 900-7
21. Danforth KN, Townsend MK, Lifford K, et al. Risk Factors for Urinary Incontinence
Among Middle- aged Women. Am J Obstet Gynecol, 2006; 194: 339-45
22. Rortveit G, Hannestad YS, Daltveit A, et al. Age- and Type- Dependent Effects of
Parity on Urinary Incontinence: The Norwegian EPINCONT Study. Obstet Gynecol
2001; 98: 1004-10
23. Sang WB, Jin WL, Jong SS, et al. The Predictive Values of Various Parameters in
The Diagnosis of Stress Urinary Incontinence. Yonsei med J, 2004; 45 (2): 287-92
24. Paraton H. Pemeriksaan Stress Inkontinensia Urin. PIT POGI Bandung, 11-15 Juli
2004

13

Anda mungkin juga menyukai