PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan masalah yang kompleks. Menurut WHO, sehat
didefinisikan sebagai suatu keadaan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan
saja, tetapi juga meliputi status fisik, sosial, dan mental. Keadaan kesehatan yang tidak
tertanganin dengan baik akan memberikan dampak negatif pada kualitas hidup individu.1
Inkontinensia urin adalah suatu keadaan berupa keluarnya urin secara involunter/
tidak dapat dikontrol dan bukan suatu kesatuan penyakit. 2-5 Inkontinensia dapat dialami
semua wanita di segala lapisan usia, merupakan suatu kondisi keluarnya urin yang tidak
terkontrol, yang menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis untuk pasien dan
masyarakat. Kelainan ini tidak mengancam jiwa, tapi berpengaruh terhadap kualitas
hidup yang disebabkan karena faktor psikologis dan sosial yang sulit diatasi. Kelainan
tersebut berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, akibatnya pasien merasa kurang
percaya diri, depresi, malu, dan cemas.3,7-11
Inkontinensia urin biasanya terjadi pada wanita, tapi keadaan ini sering tidak
dilaporkan oleh karena rasa malu dari penderita dan dianggap sebagai keadaan yang
biasa.4,7,12-14 Inkontinensia urin sering diabaikan dan dianggap sebagai bagian normal dari
proses penuaan, padahal merupakan sesuatu yang abnormal yang dapat diobati dan
disembuhkan. Namun keberhasilannya penatalaksanaannya memerlukan pengertian akan
pengaruh penuaan normal dan faktor di luar saluran kemih pada sistem urogenital.15
Ada tiga tipe inkontinensia urin yaitu stress inkontinensia urin, urge inkontinensia
urin, dan mixed inkontinensia urin. Ke-tiga tipe ini dapat dievaluasi melalui anamnesa
dan penilaian klinis sederhana.7
Penelitian mengenai inkontinensia urin masih sedikit dan hasilnya berbeda pada
masing-masing negara. Konggres ICS 1998 menyatakan bahwa variasi dari hasil
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui angka kejadian inkontinensia urin pada wanita
METODE PENELITIAN
3
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik.
Populasi dan Sampel Penelitian
Semua wanita menopause yang datang di poliklinik Ginekologi RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado. Sampel adalah bagian populasi yang bersedia mengikuti
penelitian dan menandatangani persetujuan penelitian, serta memenuhi kriteria inklusi.
Kriteria Pemilihan Sampel
Kriteria Inklusi
Wanita menopause
Dapat berkomunikasi
Bersedia menandatangani informed consent dan mengisi kuesioner dengan
lengkap
Kriteria Eksklusi
Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon
Menggunakan obat golongan ACE inhibitor, sedativa, narkotik, dan diuretik
Menderita infeksi saluran kemih
Mengalami konstipasi
Prolaps uteri
Stroke
HASIL
Selama kurun waktu 1 Maret 2011- 31 Maret 2011, terdapat 40 responden yang
memenuhi kriteria. Yang terdiagnosis sebagai inkontinensia urin 23 kasus (57,50%).
Tabel I. Karakteristik Responden Yang Mengalami dan Yang Tidak Mengalami
Inkontinensia Urin
Inkontinensia
Urin
N
%
23
57,5
Tidak Kawin
Pendidikan: Tidak Sekolah
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat Perguruan Tinggi
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
PNS
0
0
4
6
10
3
19
2
4
0
0
10,00
15,00
25,00
7,50
47,50
5,00
Tidak
Jumlah
Inkontinensia
N
%
N
%
17 42,5
40 100
0
2
2
3
8
2
15
1
0
5,00
5,00
7,50
20,00
5,00
37,50
2,50
0
2
6
9
18
5
34
3
0
5,00
15,00
22,50
45,00
12,50
85,00
7,50
Lain-lain
2
23
Jumlah
5,00
57,50
1
17
2,50
42,50
3
40
7,50
100
Tabel I, berdasarkan status perkawinan, ternyata semua responden sudah kawin, dan yang
mengalami inkontinensia urin 57,50%. Berdasarkan pendidikan, paling banyak yang
tamat SLTA (25,00%). Berdasarkan pekerjaan, terbanyak pada ibu rumah tangga
(47,50%).
Tidak Inkontinensia
Total
Kelompok Umur
(tahun)
45 49
50 54
55 59
60 64
65
Total
1
2
4
8
8
23
33,33
50,00
50,00
66,67
61,54
57,50
2
2
4
4
5
17
66,67
50,00
50,00
33,34
38,46
42,50
3
4
8
12
13
40
100
100
100
100
100
100
Dari Tabel II, responden yang mengalami inkontinensia urin terbanyak adalah kelompok
umur 60-64 tahun (66,67%).
Tabel III. Distribusi Berdasarkan Jenis Inkontinensia Urin
Jenis Inkontinensia Urin
Mixed
Stress
Urge
Jumlah
N
10
8
5
23
%
43,48
34,78
21,74
100
Dari Tabel III, responden yang mengalami inkontinensia urin paling banyak adalah jenis
mixed inkontinensia urin (43,48%) dan yang paling sedikit adalah jenis urge
inkontinensia urin (21,74%).
Inkontinensia Urin
N
22
1
23
Partus Pervaginam
Seksio Sesarea
Jumlah
%
95,65
4,35
100
Pada tabel IV, berdasarkan jenis persalinan, inkontinensia urin terbanyak pada kelompok
partus pervaginam (95,65%).
Tabel V. Distribusi Subyek Berdasarkan Paritas
Paritas
0-1
2-3
4
Jumlah
Inkontinensia Urin
N
%
1
33,33
13
54,17
9
69,23
23
57,50
Tidak Inkontinensia
N
%
2
66,67
11
45,83
4
30,77
17
42,50
Jumlah
N
3
24
13
40
%
100
100
100
100
Pada tabel V, berdasarkan jumlah paritas, inkontinensia urin terbanyak pada paritas 4
(69,23%).
Inkontinensia Urin
N
%
10
55,56
9
75,00
8
80,00
27
57,50
Tidak Inkontinensia
N
%
8
44,44
3
25,00
2
20,00
13
42,50
Jumlah
N
%
18
100
12
100
10
100
40
100
Inkontinensia Urin
N
%
3
75,00
24
66,67
Tidak Inkontinensia
N
%
1
25,00
12
33,33
Jumlah
N
4
36
%
100
100
Pada Tabel VII, menunjukkan bahwa kelompok responden yang menderita diabetes
mellitus lebih sering mengalami inkontinensia urin (75,00%) dibandingkan kelompok
responden yang tidak mengalami inkontinensia urin.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini didapatkan 44 responden, dimana 4 responden dieksklusi
oleh karena dari anamnesa didapatkan 2 orang mengkonsumsi obat golongan ACE
inhibitor dan dari pemeriksaan fisik didapatkan 1 orang mengalami stroke, dan 1 orang
menderita prolaps uteri sehingga didapatkan 40 responden yang memenuhi kriteria. Dari
hasil penelitian ini didapatkan inkontinensia urin 23 (57,50%) kasus.
Pada tabel I, berdasarkan karakteristik responden ternyata semua responden telah
kawin.
Karakteristik
berdasarkan
pendidikan
paling
banyak
yang
mengalami
inkontinensia urin adalah yang tamat SLTA, sebanyak 10 (25,00%) kasus yang
mengalami inkontinensia urin.
Pada tabel II, inkontinensia urin terbanyak pada kelompok umur 60-64 tahun
(66,67%). Penelitian yang dilakukan Patrick, dkk mendapatkan inkontinensia urin pada
wanita usia 30-44 tahun 22,2 % dan 45-60 tahun 43,8%. 11 Di Perancis, Peyrat, dkk
mendapatkan prevalensi inkontinensia urin pada usia 25-39 tahun sebesar 18,2%, usia 4055 tahun 38%.12 Pada penelitian ini tampak kejadian inkontinensia urin meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Saluran kemih bagian bawah mengalami perubahan karena
usia, walau tanpa ada penyakit apapun. Kapasitas kandung kemih, kontraktilitas, dan
7
kemampuan untuk menahan berkemih menurun pada usia lanjut, sedangkan kekuatan dan
lama menutup uretra menurun bersamaan dengan meningkatnya usia.15 Umur secara
umum memiliki pengaruh pada inkontinensia urin khususnya karena obstruksi dari
saluran keluar kandung kemih (uretra) pada orang tua, yang mungkin akibat
berkurangnya atau tidak adanya pemenuhan uretra atau kurangnya stabilitas detrusor.
Dilaporkan bahwa penyebab yang khas dari inkontinensia urin pada orang tua adalah
instabilitas detrusor.17
Pada tabel III dari penelitian ini berdasarkan jenis inkontinensia urin didapatkan
kejadian mixed inkontinensia urin (43,48%), stress inkontinensia urin (34,78%), dan urge
inkontinensia urin (21,74%). Sykes, dkk melakukan penelitian di negara-negara Eropa,
mendapatkan kejadian inkontinensia urin berdasarkan gejala-gejala antara lain di Austria,
stress inkontinentia urin 30,8%, mixed inkontinensia urin 61,5%, dan urge inkontinensia
urin 7,7%. Di Belgia, stress inkontinentia urin 31,2%, mixed inkontinensia urin 53,2%,
dan urge inkontinensia urin 15,6%. Di Denmark, stress inkontinentia urin 23,0%, mixed
inkontinensia urin 62,3%, dan urge inkontinensia urin 14,8%. Di Perancis, stress
inkontinentia urin 32,9%, mixed inkontinensia urin 57,3%, dan urge inkontinensia urin
9,8%. Di Jerman, stress inkontinentia urin 22,4%, mixed inkontinensia urin 67,0%, dan
urge inkontinensia urin 10,6%. Di Yunani, stress inkontinentia urin 25,4%, mixed
inkontinensia urin 61,5%, dan urge inkontinensia urin 13,0%. Di Belanda, stress
inkontinentia urin 34,5%, mixed inkontinensia urin 49,4%, dan urge inkontinensia urin
16,1%. Di Portugis, stress inkontinentia urin 34,7%, mixed inkontinensia urin 59,7%, dan
urge inkontinensia urin 5,6%. Di Spanyol, stress inkontinentia urin 31,3%, mixed
inkontinensia urin 55,8%, dan urge inkontinensia urin 12,9%. Di Swedia, stress
inkontinentia urin 35,0%, mixed inkontinensia urin 48,7%, dan urge inkontinensia urin
16,2%. Di Switzerland, stress inkontinentia urin 37,0%, mixed inkontinensia urin 45,8%,
dan urge inkontinensia urin 17,2%. %. Di Inggris, stress inkontinentia urin 25,4%, mixed
inkontinensia urin 58,7%, dan urge inkontinensia urin 16,0%. 18 Cedera anatomis atau
neuromuskuler dapat asimptomatik selama ada kompensasi dari mekanisme kontinensia.
Tapi kehilangan kekuatan otot dan inervasi sfingter uretra karena faktor umur atau cedera
lain dapat merubah keseimbangan yang diperlukan dari kontinensia menjadi
inkontinensia. Stress inkontinensia urin dapat disebabkan oleh adanya defisiensi sfingter
8
intrinsik maupun adanya hipermobilitas dari bladder neck sedangkan urge inkontinensia
urin dapat disebabkan oleh karena kelainan neurologik, tetapi kebanyakan idiopatik. 7
Peningkatan tekanan intravesikal yang melebihi tekanan intrauretral, sekunder terhadap
peningkatan tekanan intraabdominal dan adanya instabilitas detrusor atau oleh karena
peningkatan sensasi afferen dari uretra dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia ini.19
Pada tabel IV penelitian ini menunjukkan bahwa inkontinensia urin lebih banyak
terjadi pada wanita dengan riwayat partus pervaginam (95,65%) dibandingkan dengan
seksio sesarea (4,25%). Partus pervaginam merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya inkontinensia urin karena partus pervaginam bisa menyebabkan terjadinya
neuropati pelvik dan berujung dengan terjadinya inkontinensia urin. Rortveit, dkk dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa prevalensi dari wanita usia 35-39 tahun yang
mengalami inkontinensia urin setelah seksio sesarea adalah 6,3% dari seluruh kejadian
inkontinensia.20 Peyrat, dkk dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa pasien yang
nullipara kejadian inkontinensia urin 14,1% pada yang partus pervaginam sebesar 32,6%
dan pada kelompok seksio sesarea 18,4%.12
Tabel V dalam penelitian ini mendapatkan jumlah paritas 4 (69,23%) yang
mengalami inkontinensia urin lebih besar. Penelitian Danforth, dkk mendapatkan
inkontinensia urin pada wanita yang tidak melahirkan 18%, paritas satu 14%, paritas dua
38%, dan paritas tiga atau lebih 27%.21 Rortveit, dkk menunjukkan bahwa pada kelompok
umur yang dipengaruhi paritas, persalinan pertama mempunyai dampak yang paling
besar dibandingkan dengan dampak persalinan berikutnya. 22 Pada kelompok Sang, dkk
mendapatkan bahwa paritas tidak berbeda bermakna antara kelompok stress
inkontinensia urin dan normal.23 Persalinan dapat menyebabkan kelemahan dasar panggul
sebagai konsekuensi dari melemah dan meregangnya otot-otot jaringan penunjang selama
persalinan. Demikian pula cedera yang terjadi akibat laserasi spontan dan episiotomi
selama persalinan yang menyebabkan gangguan sokongan dari organ pelvik. Peregangan
dari jaringan pelvik selama persalinan pervaginam dapat merusak nervus pudendalis serta
otot dan jaringan penunjang dasar panggul dan dapat mengganggu kemampuan sfingter
uretra untuk berkontraksi dengan tepat dan efisien.6
Pada tabel VI penelitian ini, indeks massa tubuh yang normal lebih jarang
mendapatkan inkontinensia dibandingkan dengan yang obesitas. Rortveit, dkk pada
penelitiannya mendapatkan 17,1% mengalami inkontinensia urin pada IMT < 25, 22,8%
9
inkontinensia pada IMT 25-29,9 dan 30,5% pada IMT 30.20 Umur dan paritas adalah
faktor yang bekerja sinergis dengan obesitas untuk menyebabkan peningkatan insiden
inkontinensia urin. Peyrat, dkk mendapatkan hasil bahwa pada kelompok dengan IMT <
25 mengalami inkontinensia urin sebesar 32,4% dan IMT 25 sebesar 36,9%.12 Pada
obesitas secara bermakna lebih sering terjadi instabilitas detrusor. Obesitas sering
merupakan faktor yang dapat menyebabkan inkontinensia urin atau memicu terhadap
beratnya kondisi tersebut. Penambahan berat badan menyebabkan teregangnya dan
melemahnya otot-otot, saraf-saraf, dan struktur lain pada dasar panggul. Kemungkinan
juga akibat peningkatan tekanan intraabdominal.6-9
Pada tabel VII penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok responden yang
disertai diabetes mellitus lebih sering mengalami inkontinensia urin (75%) dibandingkan
dengan yang tidak disertai diabetes mellitus (66,67%). Diabetes mellitus, penyakit yang
berpengaruh pada saraf tepi dan menurunnya jaringan kolagen akan berpengaruh besar
terhadap inkontinensia urin.24
10
KESIMPULAN
Kejadian inkontinensia urin pada wanita menopause di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado cukup tinggi (57,5%) dimana terbanyak mixed inkontinensia urin
(43,48%) kemudian stress inkontinensia urin (34,78%) dan yang paling sedikit adalah
urge inkontinensia urin (21,74%). Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa usia,
riwayat partus pervaginam, jumlah paritas, dan indeks massa tubuh merupakan faktor
risiko terjadinya inkontinensia urin pada wanita usia menopause.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Reproductive Health http:// www.who.int/topics/reproductive_health/en/
2. Monz B, Hampel C, Porkess S, et al. A Description of Health Care Provision and
Access to Treatment for Women with Urinary Incontinence in Europe- A FiveCountry Comparison. Maturitas 2005; 52S: S3-S12
11
19. Lim PHC. Overview on Urinary Incontinence and Treatment- Part I. A Clinical
Background to Types, Tests and Treatment. In: The Female Patient Total Health Care
for Women. Excerpta Medica, 5-19
20. Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, et al. Urinary Incontinence After Vaginal
Delivery or Cesarean Section. N Engl J Med 2003; 348: 900-7
21. Danforth KN, Townsend MK, Lifford K, et al. Risk Factors for Urinary Incontinence
Among Middle- aged Women. Am J Obstet Gynecol, 2006; 194: 339-45
22. Rortveit G, Hannestad YS, Daltveit A, et al. Age- and Type- Dependent Effects of
Parity on Urinary Incontinence: The Norwegian EPINCONT Study. Obstet Gynecol
2001; 98: 1004-10
23. Sang WB, Jin WL, Jong SS, et al. The Predictive Values of Various Parameters in
The Diagnosis of Stress Urinary Incontinence. Yonsei med J, 2004; 45 (2): 287-92
24. Paraton H. Pemeriksaan Stress Inkontinensia Urin. PIT POGI Bandung, 11-15 Juli
2004
13