Anda di halaman 1dari 6

Konflik Korea

Pendahuluan
Dalam mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya, Negara seringkali
mengalami perbenturan kepentingan dan ketidak selarasan terhadap suatu hal
dengan.negara lainnya Benturan kepentingan ini tak jarang berujung kepada konflik
dan perang antar Negara. Untuk menghindari hal tersebut, menurut Scott Burchill 1
dalam perspektif liberalisme, perang dan konflik dapat dihindari dan diatasi dengan
dua metode, proses demokrasi dan perdagangan bebas. Proses demokrasi dan
institusionalisme dapat membatasi kekuasaan elite yang berkuasa dan menghindari
kecenderungan akan kekerasan. Demokrasi liberal dinilai mampu untuk
menciptakan dan mengembangkan hubungan damai antar Negara.
Untuk mempromosikan perdamaian, maka dibutuhkan instrumen yang tepat
untuk menyampaikan nilai-nilai dan prinsip dasar demokrasi. Dalam hal ini,
diplomasi tidak hanya sebagai instrumen dalam pencapaian kepentingan nasional
saja, namun diplomasi juga memainkan peran yang penting dalam mempromosikan
perdamaian serta penyelesaian konflik dalam dunia internasional.
Dalam kasus semenanjung Korea, diplomasi berperan penting dalam proses
perdamaian dan sebagai penentu masa depan hubungan bilateral antara kedua
Negara. Konflik semenanjung Korea diawali dengan klaim kedua belah pihak atas
kedaulatan diseluruh wilayah semenanjung Korea setelah kemerdekaan yang
kemudian berujung kepada perang pada tahun 1950. Perang tersebut berlangsung
selama tiga tahun dan diakhiri dengan pembagian semenanjung Korea, namun tidak
sepenuhnya berakhir karena perang berhenti akibat gencatan senjata dan kedua
negara tidak pernah secara resmi menandatangani perjanjian perdamaian. Konflik
berlanjut ketika Korea Utara melakukan proliferasi nuklir dikawasan semenanjung
Korea yang mengancam stabilitas regional dan Negara-negara yang berkepentingan
di kawasan Asia Timur. Berbagai diplomasi dilakukan dalam kerangka six party talks
yang merupakan upaya untuk menghentikan proliferasi nuklir Korea utara melalui
negosiasi secara damai.

Perkembangan penyelesaian konflik


Sejumlah proses diplomasi dalam penyelesaian konflik semenanjung Korea
dimulai pada tahun 1972, dimana kedua belah pihak setuju bahwa reunifikasi akan
menciptakan kedamaian tanpa intervensi pihak luar. Dilanjutkan dengan high level
talk yang dihadiri perdana menteri kedua Negara pada September 1990 sampai
desember 1992 dengan pertemuan yang berlangsung sebanyak empat kali di
Pyongyang dan Seoul. Dalam high level talk ini menghasilkan perjanjian rekonsiliasi,
nonagresi, pertukaran, dan kerjasama antara Korea utara dan Korea selatan yang
ditandangi pada 13 Desember 1991.
Upaya-upaya tersebut namun tidak
membuahkan hasil yang signifikan karena tensi konflik kedua Negara kembali
1 Burchill, Scott., et al. (2005). Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan. Hlm 56

meningkat akibat tidak adanya rasa saling percaya, masih adanya rasa permusuhan,
kerjasama yang lemah, serta perbedaan ideologi 2
Kerjasama berlanjut kepada konferensi tingkat tinggi yang pertama kali terjadi
dalam sejarah hubungan kedua Negara, yaitu Inter Korea Summit pada tahun 2000
yang merupakan hasil dari sunshine Policy yang diterapkan oleh presiden Korea
selatan, Kim Dae Jung. KTT ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi
antar kedua Negara yaitu dengan mengembangkan industri Gaeseong yang
berimplikasi kepada meningkatnya arus perdagangan dan memudahkan
pendistribusian bantuan kemanusiaan. Korut berjanji untuk menghentikan
propagandanya terhadap Korsel dan mengizinkan ratusan penduduknya untuk
bertemu dengan keluarga mereka di Korsel
Krisis Nuklir pertama
Eskalasi krisis semenanjung Korea utara meningkat ketika Korea utara
dengan sengaja melakukan proliferasi nuklir dikawasan semenanjung Korea.
Tindakan Korea utara ini dianggap sebagai tindakan provokasi yang dapat
mengancam stabilitas keamanan kawasan ini. Hal tersebut kemudian memicu
kerjasama multilateral beberapa Negara untuk menyelesaikan krisis nuklir Korea
utara. Kerjasama multilateral ini disebut sebagai six party talk yang beranggotakan
Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan Rusia sebagai
negosiator. Tujuan dari dibentuknya forum ini adalah untuk mempromosikan
keamanan dan stabilitas kawasan Asia Timur akibat program nuklir Korea Utara
yang dianggap sebagai ancaman stabilitas regional . Pembentukan ini didasari oleh
investigasi CIA yang membuktikan bahwa Korea Utara melakukan aktivitas
pengayaan uranium dan pengembangan misil jarak jauh yang kemudian diakui oleh
Korut3. Korut kemudian menarik diri dari perjanjian non-ploriferasi nuklir yang
sebelumnya disepakati dengan Amerika Serikat pada tahun 1994 lalu. Hal ini
memicu AS dan Cina untuk kembali melakukan perbincangan mengenai isu nuklir.
Pada Agustus 2003, Korea Utara setuju untuk menghadiri six party talks di Beijing,
China. Dalam pertemuan yang pertama, wakil menteri luar negeri Wang Yi
menyimpulkan hasil pertemuan tersebut sebagai komitmen untuk mengatasi isu
nuklir melalui dialog damai, mewujudkan kawasan semenanjung Korea yang bebas
nuklir, serta menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi. Dalam hal ini
China berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam six party talks pertama, dan
Amerika Serikat sebagai negosiator.
Pertemuan kedua berlangsung pada Febuari 2004, dengan Menlu Cina dan
wakil Menlu Russia, melaporkan bahwa Korut menawarkan untuk menghancurkan
program nuklirnya, namun tidak akan menghentikan kegiatan nuklir yang bertujuan
damai. Sementara Russia dan Cina menyetujui rencana ini, AS, Jepang, dan Korsel
menolak dan menegaskan bahwa Korut harus menghancurkan semua program dan
2 . Zhingying, P. (2009). The Six Party Process, Regional Security,Mechanism, and China-US Cooperation:
Toward a Regional Security Mechanism For a New Northeast Asia?. Washington DC: The Brookings Institution.
Hlm 10
3 North Korea Profile. (2013). http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15278612 diakses pada 27 April
2013

fasilitas nuklirnya atas pertimbangan bahwa biaya pengembangan nuklir ini


seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas lain. Hasil dari pertemuan ini tidak
menyebutkan langkah-langkah yang signifikan, namun menegaskan kembali
komitmen mengenai perwujudan kawasan semenanjung Korea yang bebas nuklir.
Pada juni 2004, pertemuan kembali diadakan dengan agenda pengajuan
proposal Amerika Serikat mengenai langkah-langkah penghancuran program nuklir
korut. Proposal ini memberikan batas waktu tiga bulan bagi korut untuk
membekukan programnya,.
Six party talks keempat pada awal tahun 2005, untuk pertama kalinya
mencapai kesepakatan yang signifikan, yaitu dengan menerbitkan joint statement
mengenai langkah-langkah denuklirisasi semenanjung Korea. Korut bersedia untuk
meninggalkan dan menghentikan program nuklirnya, kembali bergabung dalam
perjanjian non-proliferasi nuklir, dan menerima kedatangan perwakilan IEAE untuk
melakukan inspeksi, dengan imbalan pemberian bantuan dan jaminan keamanan
bagi Korut. Anggota lain dari six party talks menghargai keinginan Korut untuk
mengembangkan nuklir untuk tujuan damai, dan setuju untuk berdiskusi mengenai
pemberian izin penggunaan reaktor nuklir air yang ringan pada waktu yang tepat. AS
dan Korsel menegaskan bahwa mereka tidak akan menggunakan senjata nuklir di
semenanjung Korea dan menyatakan, bersama rusia, jepang,dan cina, bahwa
mereka akan memberikan bantuan energi. AS dan Jepang juga menyatakan
komitmen mereka untuk menormalisasikan hubunganya dengan Korut.
Pertemuan kelima diwarnai oleh kecaman Korut atas sanksi yang diberikan
AS terhadap sejumlah tuduhan AS mengenai pencucian uang Korut di Banco Delta
Asia di Macau. Amerika Serikat kemudian membekukan asset Korut tersebut dan
sebagai gantinya Korut kembali memboikot perundingan dan melakukan tindakan
provokasi dengan meluncurkan beberapa tes peluncuran rudal dan nuklir pada bulan
juli, dan oktober 2006. Hal ini memicu respon dewan keamanan PBB yang kemudian
mengeluarkan resolusi 1718 yang meminta Korut untuk menahan diri untuk
melakukan pengujian nuklir, menghentikan program senjata pemusnah massaa dan
program rudal, serta bergabung kembali kepada six party talks. Perjanjian berlanjut
pada
febuari
2007
dimana
diambil
langkah-langkah
inisial
untuk
mengimplementasikan joint statement 2005. Perjanjian tersebut berisi permintaan
agar korut menghentikan dan menutup fasilitas nuklirnya dan mendiskusikan
kegiatan yang berhubungan dengan nuklir dengan Negara lain dalam tempo waktu
60 hari. AS dan Jepang berkomitmen untuk menormalisasi hubungan dengan Korut,
dan anggota lainnya menyediakan 50.000 ton minyak untuk Korut dalam tempo
waktu 60 hari. AS juga setuju untuk menghapus Korea dari daftar Negara yang
mensponsori terorisme.
Pertemuan keenam, IEAE mengeluarkan laporan yang memastikan bahwa
fasilitas nuklir Korea telah dihentikan dan sebagai konsekuensi normalisasi
hubungan diplomatiknya4, Kelima Negara lainnya bersedia menambah jumlah
bantuan bahan bakar ke Korea utara. Korut kemudian memberikan rincian program
4 Bajora, J. (2013). The Six-Party Talks on North Koreas Nuclear Program. http://www.cfr.org/proliferation/sixparty-talks-north-koreas-nuclear-program/p1359 3 diakses pada 27 April 2013

nuklirnya Korut berjanji untuk menutup dan menghentikan program nuklirnya pada
akhir tahun 2007
Krisis Nuklir Kedua
Krisis Nuklir Korea berlanjut pada tahun ketika Korea gagal memenuhi
janjinya untuk menghentikan program nuklirnya dengan meluncurkan roket yang
membawa satelit komunikasi,
namun Korsel mengklaim bahwa itu adalah
peluncuran misil jarak jauh. Akibat hal tersebut, PBB kemudian mengeluarkan sanksi
yang menyulut kemarahan Korut yang berjanji tidak akan kembali melakukan
perundingan dengan six party talks dan menyatakan akan kembali melanjutkan
program nuklirnya. Korut kemudian mengumumkan test nuklir keduanya dan
menyatakan tidak lagi terikat perjanjian gencatan senjata pada tahun 1953. Hal
tersebut kemudian mengundang protes dari Amerika Serikat, Cina, dan Rusia. Pada
tahun 2010, tenggelamnya kapal Cheonan milik Korsel mengindikasikan adanya
keterlibatan Korut dalam peristiwa ini. Eskalasi konflik kedua Negara kembali
meningkat, ketika Amerika serikat mengumumkkan sanksi baru terhadap Korut
terhadap peristiwa ini. Menanggapi hal ini, Korut memberikan tawaran kepada
Korsel, termasuk reunifikasi keluarga dan penerimaan bantuan banjir.
Pada januari 2013, Korut kembali melakukan tindakan provokasi dengan
menyatakan akan meluncurkan uji tes nuklir ketiga yang diklaim merupakan nuklir
tingkat tinggi dan dapat menjangkau Washington. PBB kembali memberikan sanksi,
kali ini dengan pembekuan arus uang dan pelarangan perjalanan diplomat. Korut
terus mengancam AS dan Korsel dengan isu-isu nuklir. Korut kembali menghidupkan
fasilitas nuklir yang dulu sempat dihentikan akibat perjanjian joint statement hasil
dari six party talks.
Setelah proses perdamaian konflik semenanjung diatas dijelaskan, saya
menidentifikasikan bahwa dalam proses tersebut terdapat unsur multitrack
diplomacy, yaitu diplomacy track pertama, dimana aktor dalam proses tersebut
adalah pemerintah dan perwujudan perdamaian dilakukan melalui diplomasi. Yang
dimaksud sebagai diplomasi track one adalah proses dialog yang dilakukan secara
resmi oleh pemerintah suatu Negara dan biasanya melibatkan pemimpin politik atau
militer suatu Negara yang memfokuskan kepada gencatan senjata, perjanjian
perdamaian, dan resolusi konflik
Dalam G to G diplomasi ini, aktor utama yang berperan adalah Amerika
Serikat, Jepang,Rusia, Cina, Korut dan Korsel bertindak sebagai negosiator dan
Cina yang berperan sebagai fasilitator serta mediator. Six party talks berperan
sebagai think tank yang berfungsi sebagai wadah keenam Negara untuk berdiskusi
mengenai proses perdamaian melalui negosiasi secara damai. Melihat proses yang
begitu panjang, six party talks dirasa gagal dalam menciptakan perdamaian yang
permanen. Mengapa demikian, karena perubahan prioritas Negara anggota serta
lemahnya komitmen Negara-negara dalam mengimplementasikan joint statement.
Sebenarnya, model diplomasi ini bisa saja efektif karena sebelumnya mampu
membuat Korut menghentikan tindakan provokatifnya meskipun hanya sementara,

namun implementasi dari kesepakatan ini perlu diterapkan secara serius, dan
berkesinambungan sehingga dapat menciptakan perdamaian yang permanen.
Solusi yang tepat dalam proses penyelesaian konflik ini adalah dengan
kembali menyelenggarakan six party talks karena merupakan salah satu opsi
negosiasi secara damai. Efektivitas perlu ditingkatkan seperti peningkatan
kepercayaan antar Negara anggota agar tidak ada kecurangan yang terjadi dalam
kesepakatan ini. Selain itu, AS dan Negara-negara lainnya harus menjamin
keamanan nasional Korut sehingga Korut tidak merasa terancam dan merasa tidak
perlu lagi melakukan proliferasi nuklir selain untuk tujuan perdamaian.
Selain itu, penyelesaian bilateral antara korut dan korsel juga memiliki
posibilitas pencapaian perdamaian. Opsi yang ditawarkan Korsel yang bernama
Korean Peninsula Trust Process dimana Korsel bersedia memberikan bantuan
kemanusiaan kepada Korut jika ia bersedia untuk menekan ambisinya dalam
proliferasi nuklir. Korsel bahkan menawarkan lebih yaitu dengan membantu
pembangunan infrastruktur. Dengan penyelesaian bilateral ini, maka diharapkan
korsel dan korut dapat membangun kepercayaannya masing-masing tanpa
melibatkan intervensi kepentingan eksternal. Selain itu, dengan pemberian bantuan
ekonomi dan economic assistance dalam pembangunan, diharapkan Korut mampu
untuk membangun perekonomiannya sendiri dan mereduksi bantuan asing yang
selama ini menjadi sumber utama perekonomian Korut. Sesuai dengan perspektif
liberalis yang menyatakan bahwa demokrasi dan free trade mampu mereduksi
keinginan untuk berkonflik atau berperang, karena dengan free trade, Negara
cenderung memilih untuk berkompetisi dalam pasar dan meningkatkan kapabilitas
ekonominya daripada militernya.
Referensi
Burchill, Scott., et al. (2005). Theories of International Relations. New York:
Palgrave Macmillan.
Kwak, T. H. (2000). The Korean Peace process: Prospect For Peace Regime
Building After the Summit. International Journal of Korean Unification Studies. Vol. 9,
No. 1. Hlm 1-29.
Zhingying, P. (2009). The Six Party Process, Regional Security,Mechanism,
and China-US Cooperation: Toward a Regional Security Mechanism For a New
Northeast Asia?. Washington DC: The Brookings Institution.
North Korea Profile. (2013). http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific15278612 diakses pada 27 April 2013
Bajora, J. (2013). The Six-Party Talks on North Koreas Nuclear Program.
http://www.cfr.org/proliferation/six-party-talks-north-koreas-nuclear-program/p13593
diakses pada 27 April 2013
Six Party Talks. http://www.slideshare.net/jdobinsky/six-party-talks diakses
pada 27 April 2013.
The North Korean Nuclear Program and Peace Process.
(http://keia.org/publication/north-Korean-nuclear-program-and-peace-process
diakses pada 27 April 2013

Korean Peninsula Trust Process. (2013).


http://english.kbs.co.kr/news/news_in_zoom_view.html?No=7049. Diakses pada 27
April 2013
Failure of Six Party Talks on North Koreas Nuclear Issue. Causes and
Lessons. (2009). http://www.strategic-culture.org/news/2009/01/17/6101.html.
Diakses pada 27 April 2013

Anda mungkin juga menyukai