Anda di halaman 1dari 2

Hukumonline

Rabu, 11 November 2009



Perkara Billabong Bukan Perkara Pidana Tapi Perdata

Berdasarkan keterangan ahli hukum perdata, kasus Billabong semestinya tidak diperkarakan
secara pidana. Sebab perselisihan bersumber dari sengketa bisnis antara CV Bali Balance
dan PT Billabong Indonesia.
Setelah berjalan tiga bulan, persidangan kasus dugaan penggelapan dan perusakan sarana
promosi Billabong memasuki tahap pembelaan (pledoi). Terdakwa Manager Sales dan
Marketing PT Billabong Indonesia, I Wayan Suanda dan tim penasihat hukumnya
membacakan pledoi dalam sidang lanjutan, Senin (9/11) kemarin, di Pengadilan Negeri
Denpasar. Dalam pledoinya, tim penasihat hukum I Wayan menyatakan kecewa atas tuntutan
jaksa lantaran tidak mempertimbangkan seluruh fakta yang terungkap di persidangan.

Menurut tim penasihat hukum, selama persidangan berlangsung sejak Juni 2009, tidak ada
satu saksi pun yang mengetahui tindak pidana yang didakwakan pada I Wayan. Bahkan ada
beberapa saksi yang menarik pernyataan yang dibuat di hadapan penyidik. Beberapa saksi
juga menyatakan pergantian gambar pada alat promosi Billabong justru menaikkan tingkat
penjualan barang-barang Billabong bagi kalangan retailer di Bali.

Berdasarkan keterangan ahli hukum perdata, Yohanes Sogar Simamora, kasus Billabong
semestinya tidak diperkarakan secara pidana. Sebab perselisihan bersumber dari sengketa
bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia. Perkaranya harus dituntaskan
berdasarkan hukum perdata sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak.
Yakni, perjanjian lisensi antara CV Bali Balance dan GSM (Operation) Pty Ltd (Billabong
Internasional), pendiri PT Billabong Indonesia.

Ketika memberikan keterangan di persidangan akhir September lalu, Yohanes menyatakan
perjanjian lisensi merupakan perikatan bersyarat putus. Karena, salah satu klausul
menyatakan Billabong International berhak memutuskan perjanjian lisensi bila I Wayan
Suwenda meninggal. Dengan demikian, keputusan GSM International untuk memutuskan
secara sepihak perjanjian lisensi dengan CV BB sudah sesuai dengan isi perjanjian tersebut.

Pada kesempatan yang sama, ahli hukum pidana Andi Hamzah menyatakan seharusnya ada
putusan perdata lebih dulu sebelum perkara pidana digelar. Hal ini terkait dengan status
kepemilikan sarana promosi Billabong.

Menurut Andi, Pasal 372 KUHP mengenai penggelapan bisa diterapkan jika seseorang telah
menguasai barang secara fisik. Sementara, barang bukti yang disengketakan tidak dimiliki
terdakwa, bahkan masih tetap terpasang ditempatnya. Dengan demikian, unsur kepemilikan
sesuai pasal 372 KUHP tidak terpenuhi dalam kasus ini. Berkaitan dengan unsur perusakan
pada Pasal 406 KUHP yang juga dituduhkan kepada terdakwa, Andi menyatakan unsur
perusakan ini tidak terpenuhi bila suatu barang diubah/diganti menjadi lebih baik.

Tim kuasa hukum menyatakan seharusnya jaksa penuntut umum mempertimbangkan
keterangan ahli itu dalam tuntutan pidana. Dalam siaran pers yang diterima hukumonline,
penasihat hukum terdakwa, Palmer Situmorang menyatakan I Wayan hanya menjalankan
tugasnya selaku karyawan PT Billabong. Selama beroperasi di Indonesia, PT Billabong
memberikan dampak positif bagi perekonomian melalui peningkatan kinerja usaha kecil dan
menengah, plus penciptaan lapangan kerja.

Sebelumnya, jaksa menuntut I Wayan tiga tahun penjara lantaran terbukti melanggar pasal
372 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu. Dalam dakwaan dijelaskan, terdakwa bersama
dengan Presiden Direktur PT Billabong Indonesia Christopher John Jamesdalam berkas
terpisahmenggunakan sarana promosi CV Bali Balance tanpa izin sejak Juni 2006 hingga
Juli 2007, antara lain lightbox, rak display, cermin dan poster milik CV Bali Balance yang
berada di 34 toko rekanan di Bali.

CV Bali Balance sebelumnya adalah pemegang lisensi merek Billabong dari Billabong
Internasional. Sejak 1991 CV Bali Balance mengembangkan sistem penjualan konsinyasi
untuk produk Billabong. Hasilnya, CV Bali Balance berhasil menggandeng 34 toko di Bali
dan 12 toko di luar Bali. Di toko rekanan itulah CV Bali Balance memasang alat promosi
merek Billabong. Belakangan, Billabong Internasional mencabut lisensi itu. Billabong
Internasional kemudian mendirikan PT Billabong Indonesia.

Sejak Februari 2007 lalu, PT Billabong Indonesia menggunakan alat promosi itu untuk
memasarkan produk bermerek Billabong, antara lain berupa pakaian, jas hujan, alat ski, dan
sepatu. Padahal, terdakwa I Wayan Suanda dan Christoper mengetahui bahwa alat promosi
itu milik CV Bali Balance. Menurut jaksa, perbuatan I Wayan Suanda dan Christoper
mengakibatkan CV Bali Balance menderita kerugian sebesar Rp1.097 miliar.

Selain itu, pada Februari hingga Mei 2007, terdakwa dan Christopher mengubah gambar-
gambar yang terdapat pada lightbox atau poster milik CV Bali Balance. Perubahan itu
dilakukan tanpa seizin CV Bali Balance sehingga perusahaan komanditer itu berkali-kali
menegur PT Billabong Indonesia. Jaksa menilai perbuatan terdakwa dan Christopher telah
merusak atau mengubah atau menghilangkan gambar pada lightbox dan poster. Karena itu,
dalam dakwaan kedua, I Wayan Suanda dibidik dengan Pasal 406 ayat (1) jo Pasal 55 ayat
(1) kesatu KUHP.

Anda mungkin juga menyukai