0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
26 tayangan2 halaman
1. Kasus Billabong seharusnya diproses secara perdata, bukan pidana, karena merupakan sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia.
2. Saksi-saksi di persidangan menyatakan tidak ada bukti tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Perubahan gambar pada alat promosi justru meningkatkan penjualan.
3. Perjanjian lisensi antara CV Bali Balance dan Billabong Internasional bersifat 'putus',
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Perkara Billabong Bukan Perkara Pidana Tapi Perdata
1. Kasus Billabong seharusnya diproses secara perdata, bukan pidana, karena merupakan sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia.
2. Saksi-saksi di persidangan menyatakan tidak ada bukti tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Perubahan gambar pada alat promosi justru meningkatkan penjualan.
3. Perjanjian lisensi antara CV Bali Balance dan Billabong Internasional bersifat 'putus',
1. Kasus Billabong seharusnya diproses secara perdata, bukan pidana, karena merupakan sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia.
2. Saksi-saksi di persidangan menyatakan tidak ada bukti tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Perubahan gambar pada alat promosi justru meningkatkan penjualan.
3. Perjanjian lisensi antara CV Bali Balance dan Billabong Internasional bersifat 'putus',
Perkara Billabong Bukan Perkara Pidana Tapi Perdata
Berdasarkan keterangan ahli hukum perdata, kasus Billabong semestinya tidak diperkarakan secara pidana. Sebab perselisihan bersumber dari sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia. Setelah berjalan tiga bulan, persidangan kasus dugaan penggelapan dan perusakan sarana promosi Billabong memasuki tahap pembelaan (pledoi). Terdakwa Manager Sales dan Marketing PT Billabong Indonesia, I Wayan Suanda dan tim penasihat hukumnya membacakan pledoi dalam sidang lanjutan, Senin (9/11) kemarin, di Pengadilan Negeri Denpasar. Dalam pledoinya, tim penasihat hukum I Wayan menyatakan kecewa atas tuntutan jaksa lantaran tidak mempertimbangkan seluruh fakta yang terungkap di persidangan.
Menurut tim penasihat hukum, selama persidangan berlangsung sejak Juni 2009, tidak ada satu saksi pun yang mengetahui tindak pidana yang didakwakan pada I Wayan. Bahkan ada beberapa saksi yang menarik pernyataan yang dibuat di hadapan penyidik. Beberapa saksi juga menyatakan pergantian gambar pada alat promosi Billabong justru menaikkan tingkat penjualan barang-barang Billabong bagi kalangan retailer di Bali.
Berdasarkan keterangan ahli hukum perdata, Yohanes Sogar Simamora, kasus Billabong semestinya tidak diperkarakan secara pidana. Sebab perselisihan bersumber dari sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia. Perkaranya harus dituntaskan berdasarkan hukum perdata sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak. Yakni, perjanjian lisensi antara CV Bali Balance dan GSM (Operation) Pty Ltd (Billabong Internasional), pendiri PT Billabong Indonesia.
Ketika memberikan keterangan di persidangan akhir September lalu, Yohanes menyatakan perjanjian lisensi merupakan perikatan bersyarat putus. Karena, salah satu klausul menyatakan Billabong International berhak memutuskan perjanjian lisensi bila I Wayan Suwenda meninggal. Dengan demikian, keputusan GSM International untuk memutuskan secara sepihak perjanjian lisensi dengan CV BB sudah sesuai dengan isi perjanjian tersebut.
Pada kesempatan yang sama, ahli hukum pidana Andi Hamzah menyatakan seharusnya ada putusan perdata lebih dulu sebelum perkara pidana digelar. Hal ini terkait dengan status kepemilikan sarana promosi Billabong.
Menurut Andi, Pasal 372 KUHP mengenai penggelapan bisa diterapkan jika seseorang telah menguasai barang secara fisik. Sementara, barang bukti yang disengketakan tidak dimiliki terdakwa, bahkan masih tetap terpasang ditempatnya. Dengan demikian, unsur kepemilikan sesuai pasal 372 KUHP tidak terpenuhi dalam kasus ini. Berkaitan dengan unsur perusakan pada Pasal 406 KUHP yang juga dituduhkan kepada terdakwa, Andi menyatakan unsur perusakan ini tidak terpenuhi bila suatu barang diubah/diganti menjadi lebih baik.
Tim kuasa hukum menyatakan seharusnya jaksa penuntut umum mempertimbangkan keterangan ahli itu dalam tuntutan pidana. Dalam siaran pers yang diterima hukumonline, penasihat hukum terdakwa, Palmer Situmorang menyatakan I Wayan hanya menjalankan tugasnya selaku karyawan PT Billabong. Selama beroperasi di Indonesia, PT Billabong memberikan dampak positif bagi perekonomian melalui peningkatan kinerja usaha kecil dan menengah, plus penciptaan lapangan kerja.
Sebelumnya, jaksa menuntut I Wayan tiga tahun penjara lantaran terbukti melanggar pasal 372 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu. Dalam dakwaan dijelaskan, terdakwa bersama dengan Presiden Direktur PT Billabong Indonesia Christopher John Jamesdalam berkas terpisahmenggunakan sarana promosi CV Bali Balance tanpa izin sejak Juni 2006 hingga Juli 2007, antara lain lightbox, rak display, cermin dan poster milik CV Bali Balance yang berada di 34 toko rekanan di Bali.
CV Bali Balance sebelumnya adalah pemegang lisensi merek Billabong dari Billabong Internasional. Sejak 1991 CV Bali Balance mengembangkan sistem penjualan konsinyasi untuk produk Billabong. Hasilnya, CV Bali Balance berhasil menggandeng 34 toko di Bali dan 12 toko di luar Bali. Di toko rekanan itulah CV Bali Balance memasang alat promosi merek Billabong. Belakangan, Billabong Internasional mencabut lisensi itu. Billabong Internasional kemudian mendirikan PT Billabong Indonesia.
Sejak Februari 2007 lalu, PT Billabong Indonesia menggunakan alat promosi itu untuk memasarkan produk bermerek Billabong, antara lain berupa pakaian, jas hujan, alat ski, dan sepatu. Padahal, terdakwa I Wayan Suanda dan Christoper mengetahui bahwa alat promosi itu milik CV Bali Balance. Menurut jaksa, perbuatan I Wayan Suanda dan Christoper mengakibatkan CV Bali Balance menderita kerugian sebesar Rp1.097 miliar.
Selain itu, pada Februari hingga Mei 2007, terdakwa dan Christopher mengubah gambar- gambar yang terdapat pada lightbox atau poster milik CV Bali Balance. Perubahan itu dilakukan tanpa seizin CV Bali Balance sehingga perusahaan komanditer itu berkali-kali menegur PT Billabong Indonesia. Jaksa menilai perbuatan terdakwa dan Christopher telah merusak atau mengubah atau menghilangkan gambar pada lightbox dan poster. Karena itu, dalam dakwaan kedua, I Wayan Suanda dibidik dengan Pasal 406 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.