Anda di halaman 1dari 5

Nama : Adnes Monika Manurung

NIM : 1402210310

Kelas : AK-45-06

PT SARIWANGI MENGALAMI KEPAILITAN


Produsen teh PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi A.E.A) dan anak
usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub), akhirnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah terjerat utang maha besar.

Majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan dua
perusahaan tersebut melakukan ingkar janji atau wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian atau
homologasi dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terdahulu. Menurut Hakim
Ketua Abdul Kohar dalam pertimbangannya, wanprestasi karena kedua perseroan lalai melakukan
pembayaran cicilan utang bunga. Sampai dengan jatuh waktu pada 20 Maret 2017, Sariwangi
A.E.A dan juga Indorub, tidak bisa membuktikan telah menunaikan kewajibannya kepada PT Bank
ICBC Indonesia (ICBC) selaku pemohon. Sariwangi A.E.A tidak menjalankan kewajiban
membayar utang bunga senilai $416 ribu dan Indorub senilai $42 ribu kepada ICBC.
“Mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian atau homologasi dari pemohon (ICBC).
Menyatakan perjanjian homologasi batal, menyatakan termohon 1 (Sariwangi) dan termohon 2
(Indorub) pailit dengan segala akibat hukumnya,” tutur Abdul Kohar saat membacakan amar
putusan di ruang sidang Mudjono, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa (16/10).

Ketidakhadiran Sariwangi sepanjang proses persidangan turut menjadi pertimbangan


majelis hakim dalam memutuskan perkara. Sebab tanpa jawaban dari Sariwangi, maka
permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang dilakukan ICBC, benar adanya. Selama
proses persidangan berlangsung, hanya pihak Indorub yang hadir. Namun, pihak Indorub mengaku
menolak dan akan segera melayangkan kasasi. Sebabnya, anak usaha Sariwangi ini mengaku
melakukan pembayaran utang bunga. Dana yang telah dibayarkan tidak sedikit. Anak usaha
Sariwangi ini mengklaim telah mencicil utang Rp500 juta sejak Desember 2017 sampai dengan
Agustus 2018, sehingga total mencapai Rp4,5 miliar.

“Kami putuskan melanjutkan proses hukum supaya bisa mendapat kejelasan bagaimana
kedudukan debitur yang masih dalam keadaan membayar kewajiban utang dengan jumlah yang
signifikan. Itu menunjukkan kami tidak wanprestasi atau ingkar janji,” jelas Iim dari Kantor
Hukum Iim Zovito & Rekan kepada Tirto. Sementara itu, kuasa hukum pihak pemohon atau ICBC,
mengaku putusan pailit tersebut sudah sesuai ketentuan hukum. Tindakan ingkar janji yang
dilakukan Sariwangi dan Indorub, bukan sekadar lalai pada kewajiban pembayaran utang bunga
melainkan juga tenggat waktu pembayaran utang tersebut. Menurut Swandy Halim, Kuasa Hukum
ICBC, meski ada pembayaran yang dilakukan Indorub tapi anak usaha Sariwangi itu tidak
memenuhi tenggat waktu yang ditentukan saat membayar utang. “Permasalahan wanprestasi
bukan hanya tentang nominal akumulasi pembayaran, tapi waktu pembayaran juga penting. Kalau
waktu pembayarannya tidak memenuhi, maka itu disebut wanprestasi juga,” jelas Swandy Halim
kepada Tirto.

Sengketa utang-piutang Sariwangi dan Indorub dimulai ketika proses PKPU keduanya
berakhir damai pada 9 Oktober 2015. Sariwangi memiliki tagihan senilai Rp1,05 triliun, sedangkan
Indorub punya tagihan sebesar Rp35,71 miliar. Mengutip salinan putusan pengadilan,
restrukturisasi utang pokok Sariwangi dan Indorub baru akan dibayar setelah waktu tenggang atau
grace period selama enam tahun pasca-homologasi. Sedangkan utang bunga harus langsung
dibayar per bulan, selama delapan tahun pascahomologasi. Rinciannya, utang bunga denominasi
dolar AS sebesar 2 persen dan utang bunga mata uang rupiah sebesar 4,75 persen selama dua tahun
pertama. Untuk tahun ketiga dan keempat, dikenakan utang bunga sebesar 3 persen untuk dolar
AS dan sebesar 5,5 persen untuk mata uang rupiah. Beban bunga sebesar 4 persen dan 6,5 persen
masing-masing dibebankan untuk utang valas dan rupiah di tahun kelima dan keenam. Sedangkan
tahun ketujuh dan kedelapan, Sariwangi dan Indorub dibebankan membayar utang bunga sebesar
masing-masing 5 persen dan 7,5 persen untuk denominasi dolar AS dan mata uang garuda. Nah,
kewajiban senilai $416 ribu dan $42 ribu milik Sariwangi dan Indorub, hanyalah baru utang bunga
pada tahun pertama terhadap ICBC.

Tagihan utang bunga ini seharusnya dicicil tiap bulan pasca-homologasi. Namun, dalam
perjanjian perdamaian sekaligus juga disepakati bahwa pembayaran dapat ditangguhkan selama
12 bulan dan bisa dilunasi pada 9 Oktober 2016. Namun, Sariwangi maupun Indorub tidak pernah
melakukan pembayaran utang bunga bahkan sampai dengan tahun berikutnya yaitu 9 Oktober
2017. Pembayaran baru dilakukan pada Desember 2017 sebesar Rp500 juta dan berlangsung
secara berkala sampai dengan Agustus 2018. Ini pun hanya datang dari pihak Indorub, tanpa ada
kepatuhan dari Sariwangi. Pada perjanjian utang berdasarkan cross default yaitu perjanjian
tanggung-menanggung alias tanggung renteng, maka jika Sariwangi tidak membayar utang bunga,
Indorub terkena getah untuk membayar. Sehingga, ketika Sariwangi tidak bayar dan melakukan
wanprestasi, maka Indorub juga dinyatakan demikian. Catatan ICBC, hingga 24 Oktober 2017,
setelah ditambahkan bunga total nilai tagihan Sariwangi senilai Rp288,932 miliar dan Indorub
sebesar Rp33,827 miliar. Rincian kewajiban senilai Rp1,05 triliun untuk tagihan Sariwangi berasal
dari 5 kreditur separatis (kreditur yang memegang jaminan) senilai Rp719,03 miliar, 59 kreditur
konkuren (kreditur yang tak memegang jaminan) Rp334,18 miliar, dan kreditur preferen (kreditur
yang haknya jadi prioritas) senilai Rp1,21 miliar. Untuk Indorub, kewajiban utang senilai Rp35,71
miliar dengan rincian 5 kreditur separatis senilai Rp31,50 miliar, 19 konkuren senilai Rp3,28
miliar, dan preferen sebesar Rp922,81 juta

Sebelum permohonan pailit dilayangkan ICBC, Sariwangi dan Indorub pernah menerima
permohonan yang sama dari PT Bank Pan Indonesia Tbk atau Bank Panin pada November 2016.
Kala itu, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan tidak dapat menerima
gugatan lantaran permohonan pembatalan perdamaian tersebut kekurangan pihak. Sariwangi pun
lolos dari ancaman kepailitan. Andrew T. Supit, yang dalam dokumen putusan pengesahan
perjanjian perdamaian (PDF) yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada 22 September 2015, disebut bertindak sebagai Presiden Direktur Sariwangi
AEA, mengaku sudah tidak menjadi bagian dari manajemen lagi sejak 30 Oktober 2015. "Saya
yang menandatangani perjanjian perdamaian di mana saat itu saya masih menjabat sebagai
Direktur Utama PT Sariwangi A.E.A. Namun sejak 30 Oktober 2015, saya sudah tidak lagi
menjadi bagian dari manajemen PT Sariwangi A.E.A," tulis Andrew T. Supit melalui pesan
singkat kepada Tirto. Kuasa hukum Sariwangi ketika proses PKPU yaitu Aji Wijaya dari Kantor
Hukum Aji Wijaya & Co, menyatakan belum menerima kuasa atau belum ditunjuk untuk
menangani perkara gugatan pembatalan perdamaian alias homologasi ini. "Saya belum menerima
kuasa untuk gugatan pembatalan perjanjian ini," kata Aji kepada Tirto. Baca juga: Jokowi Pimpin
Langsung Distribusi Lahan Reforma Agraria Ekonomi Nasional Masih Andalkan Sektor
Perkebunan Nama Sariwangi memang terkenal sebagai produsen teh celup di Indonesia dan
merupakan pemain besar. Perusahaan yang pada awalnya berkecimpung di bidang perdagangan
teh dan berkembang menjadi produsen teh ini didirikan oleh Johan Alexander Supit pada 1962.
Perseroan juga sukses memperkenalkan format teh celup dengan merek "SariWangi" pada 1973.
Medio 1989, Unilever Indonesia kemudian mengakuisisi merek dagang teh Sari Wangi.

Pasca-akuisisi merek oleh Unilever, pihak PT Sariwangi AEA meminta izin untuk tetap
menggunakan nama Sariwangi sebagai nama perusahaan kepada pihak Unilever. Namun, entitas
merek dagang teh Sari Wangi dengan PT Sariwangi sebagai perusahaan perkebunan teh sudah
terpisah sama sekali. “Kami hanya mengakuisisi brand Sari Wangi dan bukan perusahaannya.
Tetapi PT Sariwangi memang meminta izin untuk tetap menggunakan nama tersebut,” jelas
Sancoyo Antarikso, Sekretaris Perusahaan PT Unilever Indonesia Tbk kepada Tirto. Awalnya,
Sariwangi AEA masih memproduksi teh untuk Unilever Indonesia dan juga perusahaan lainnya.
Namun saat ini, Sariwangi AEA sudah tidak lagi memproduksi kebutuhan teh untuk Unilever
Indonesia. “Unilever sudah memproduksi teh sendiri. Kami memenuhi kebutuhan teh dari pasar
lelang di Indonesia,” imbuh Sancoyo. Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia
Tbk Maria Dewantini Dwianto dalam keterangan resminya juga menegaskan "PT Sariwangi
Agricultural Estate Agency dan PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung keduanya
bukan merupakan bagian ataupun anak dari PT Unilever Indonesia Tbk." Maria menjelaskan PT
Sariwangi Agricultural Estate Agency memang pernah menjadi rekanan usaha Unilever untuk
memproduksi merek teh celup SariWangi, "Namun saat ini Unilever sudah tidak memiliki kerja
sama apapun dengan PT Sariwangi Agricultural Estate Agency."

Kasus yang menimpa perusahaan perkebunan teh Sariwangi menyisakan pertanyaan,


terutama soal pemicu utang piutang, apakah karena faktor industri secara keseluruhan yang sedang
lesu atau mismanajemen internal perusahaan. Bila melihat sisi industri secara umum, perkebunan
teh di Indonesia memang sedang dalam tren yang kurang baik. Luas areal perkebunan teh di
Indonesia berada dalam tren penyusutan. Sehingga produksi maupun volume ekspor teh juga
menurun, di sisi lain impor teh Indonesia justru berada dalam tren kenaikan sejak tahun 2007 dari
hanya 10.366 ton menjadi 18.886 ton pada 2016 dengan nilai masing-masing $11,85 juta dan
$24,67 juta.
Pendapat saya terhadap kasus kepailitan ya ng dialami oleh PT. Sariwangi adalah :

Suatu perusahaan membutuhkan sumber dan untuk perkembangan bisnis yang dikelola dan
juga dalma rangka mempertahankan bisni yang dimiliki. Terkait sumber dan ini jika dikelola
dengan tidak baik dan benar tentu saj akan mmenimbulkan permsalahn dalam suatu perusahaan,
hal ini lahh yang tidak disadari oleh pihak PT Sariwangi dalam melakukan investasi jelas
dibutuhkan riset dan pemahaman yang baik agar tidak terjadimya hasil yang tidak sesuai yang
ditargetkan. Hal ini terbukti dari gagalnya PT Sariwangi melakukan investasi terkait
perkembangan system drainase atau teknologi penyiraman air. Dari kegagalan investasi ini PT
Sariwangi yang telah mengelluarkan dan secra besar bedsaran tidak mendapt keuuntungan dan
justru mengalami kerugian yang cukup besar menyentuh angka triliunan rupiah karena investasi
yang dilaksankan tidak sesuai dengaj ekspektasi. Dan dengan ini PT Sariwangi mengalami
kepailitan.

Anda mungkin juga menyukai