Anda di halaman 1dari 29

Pegida

Senin, 09 Februari 2015

Di udara dingin mengaum sejarah


--Sitor Situmorang (1923-2014)

Di udara dingin malam itu yang mengaum di alun-alun tua kota Frankfurt tak hanya satu
sejarah. Dua, tiga, mungkin lebih.
Sekitar 17 ribu orang berdesakan di Ramerberg, di tengah kompleks seluas 10 ribu meter
persegi itu. Sambil melindungi diri dari gerimis dalam suhu 2 derajat, mereka hadir untuk
menyatakan bahwa mereka, orang Jerman, penghuni Frankfurt, menentang Pegida, gerakan
anti-Islam yang malam itu juga berencana menghimpun 500 pendukungnya di bagian lain
kota.
Pidato pun disuarakan, disambut tepuk tangan, terdengar lagu dan musik, dan saya lihat
seorang anak memegang poster: Gehoert Islam zu Deutschland? Bagian dari Jermankah
Islam? Di bawah pertanyaan itu tertulis jawabannya dengan huruf besar berwarna merah: Ja.
Malam itu, kata "Ja" itu terasa menyentak. Kini ia jadi sebuah antithesis. Pegida, singkatan
dari Patriotische Europer Gegen die Islamisierung des Abendlandes ("Patriot Eropa Melawan
Islamisasi Dunia Barat"), yang bermula di Dresden Oktober 2014, telah membangkitkan para
penentangnya. Mereka datang dengan gelombang yang lebih besar, ketika melihat dukungan
makin meluas buat para "patriot" yang ingin menjaga Eropa dari "Islamisasi" itu.
Pegida memang punya daya tarik. Gerakan politik yang berhasil selalu dimulai dengan
mengisi lubang yang timbul karena ada yang direnggutkan dari impian orang banyak.
Penganut Pegida berangkat dengan semboyan "Menentang fanatisme agama--bersama-sama
tanpa kekerasan". Atau: "Menentang perang agama di tanah Jerman".
Artinya Pegida punya daya tarik karena fanatisme serta kekerasan mengerikan yang
ditunjukkan sebagian orang Islam--dan daya tarik itu universal.
Tapi yang "universal" tak bisa bertahan bersama paranoia. Paranoia bisa bersenyawa cepat
dengan kebencian, dan kebencian bisa kuat karena keyakinan. Tapi di ujung semua itu, yang
"universal" ambruk. Sejarah kemudian akan mencatat dua peristiwa murung: kerusakan
dan/atau kekalahan.
Malam dingin Januari 2015 itu, orang Frankfurt berhimpun di Ramerberg, di sekitar
"Pancuran Keadilan", karena cemas tentang apa yang akan terjadi dengan kebencian.
Gerechtigkeitsbrunnen, nama Jerman untuk fonten yang dihiasi patung dewi itu, didirikan
600 tahun yang lalu di sana. Dulu, ketika seorang kaisar dinobatkan, dari fonten itu akan

mengucur anggur. Orang berpesta. Tapi tak selamanya hanya cerita sukacita. Perang Agama
pada abad ke-17, ketika selama 30 tahun orang Katolik dan Protestan saling bunuh, menyebar
kematian dan kehancuran juga di Frankfurt. Patung di atas Gerechtigkeitsbrunnen itu salah
satu saksinya. Pada 1863, penyair lokal Friedrich Stoltze melukiskannya dengan cemooh
yang pahit: "Ini dia Dewi Keadilan! Ia tampak mengerikan; timbangan di tangannya
musnah-- direnggutkan setan, ia kehilangan separuh tangannya."
Kalaupun 17 ribu orang Frankfurt tak semuanya ingat Perang Agama 30 Tahun, mereka pasti
ingat Perang Dunia II: hampir semua bangunan di sekitar alun-alun itu luluh-lantak dihantam
bom Inggris dan Amerika. Kehancuran dimulai ketika Hitler ingin memperkuat Jerman
dengan pekik keadilan tapi timbangan keadilan di tangannya musnah karena Jermannya
adalah negeri dengan kebencian.
Jika sebagian besar orang Jerman kini menolak--dengan rasa cemas--arus pasang Pegida,
tentu karena mereka selalu ingat kebencian itu, tentang Auschwitz dan kamp-kamp
konsentrasi lain tempat orang Yahudi dan yang "kurang-Jerman" dihabisi. Dan tak mudah
mereka melupakan Dresden dan Berlin yang hancur berkeping-keping bersama jatuhnya
Hitler dan Partai Nazi.
Tapi ingatan selalu disertai lupa, dan kebencian bisa kambuh lagi di celah-celahnya.
Bukan karena dalam sejarah melekat kebencian yang kekal. Apa yang tampak berulang
sesungguhnya bukan repetisi, melainkan kelahiran baru yang berbeda dengan yang
sebelumnya. Pada suatu masa di abad ke-17 Leibniz, filosof yang merasa harus membela
agama Protestan, memandang Islam sebagai "wabah", la peste de mahometisme. Ia hidup
ketika militer Turki ke Eropa sangat dirasakan. Kini fobia terhadap Islam berkecamuk karena
kekejaman teror IS, keganasan Boko Haram, fanatisme Taliban dan para pendukungnya.
Maka bersama kebencian yang berbeda, persekutuan kebencian juga bisa berubah. Kaum
pendukung Pegida kini bersekutu dengan sebagian kaum Zionis yang menganggap teror
adalah bagian Islam yang hakiki. Dulu, juga kini, sebagian orang Islam membenarkan Nazi
karena memandang orang Yahudi secara esensial harus dibenci.
Di udara dingin, di udara tak dingin, sejarah memang tak pernah mengaum sendirian.

Goenawan Mohamad

Dendam

Minggu, 08 Februari 2015


Putu Setia

Tumben, Romo Imam mau saya ajak bicara soal perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Polri. "Mumpung Presiden lagi di luar negeri," kata dia. Saya awali dengan
pertanyaan khas presenter stasiun televisi, "Singkat saja Romo, kenapa KPK harus
dilumpuhkan?"
"Memang mengejar target. Setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya, pimpinan KPK
tinggal empat," ucap Romo. "Dengan empat pimpinan, apa pun yang dilakukan KPK diduga
tidak sah karena ada undang-undang yang mengatur pimpinan itu harus lima. Eh, ternyata
salah, karena kepemimpinan yang kolektif dan kolegial tak harus lima. Maka Bambang
Widjojanto diperkarakan. Menyusul Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja. Tinggal
Zulkarnain sendiri, tentu tak bisa lagi disebut kolektif kolegial, memangnya dengan siapa
kolektif-kolektifan? Tapi, ah, tanggung, Zulkarnain pun mau dihabisi."
"Secepat itu?" kata saya. Romo tertawa. "Seperti sinetron kejar tayang. Pimpinan KPK harus
diganti. Dengan pimpinan KPK yang baru lewat Perpu, siapa tahu bisa mengubah keputusan
pimpinan lama, mencabut status tersangka untuk Komjen Budi Gunawan," ujar Romo.
"Wow, ujungnya ke sana. Kalau ternyata pimpinan KPK yang baru tak mau?" Pertanyaan
saya itu dijawab enteng oleh Romo: "Ya, dijadikan tersangka lagi, non-aktif lagi, diganti
lagi."
Saya melongo dan Romo melanjutkan, "Undang-undang KPK, setiap ada pimpinan yang jadi
tersangka, langsung mengundurkan diri dan dinon-aktifkan oleh presiden. Dijadikan
tersangka itu gampang. Ada pengaduan dari masyarakat ke polisi, lalu saksi-saksi diperiksa,
dan tersangka pun bisa dijatuhkan."
"Ah, gampang sekali," saya nyeletuk. Romo kembali tertawa: "Ya, memang gampang. Tugas
polisi cuma menyidik, nanti dilemparkan ke jaksa untuk penuntutan. Bahwa jaksa bolak-balik
mengembalikan berkas itu, bahkan bisa jadi ditolak lalu dikeluarkan SP3, tak masalah bagi
polisi. Proses bolak-balik berkas itu lama, yang penting pimpinan KPK sudah tersangka."
"Cari pimpinan KPK yang bersih." Ucapan saya itu langsung disambar, "Lo, mana ada
manusia yang bersih? Meski ada ratusan panitia seleksi bekerja mengobrak-abrik rekam jejak
calon pimpinan KPK, pasti ada lubangnya. Misalnya, tiba-tiba ada yang melaporkan
pimpinan KPK mencuri mangga saat kecil, atau pernah lupa memakai helm saat remaja, atau
pernah berfoto mesra dengan wanita seksi."

"Itu dicari-cari, kriminalisasi," kata saya. Romo berujar, "Kalau menurut mantan Ketua MK
Prof Mahfud Md., itu hal kecil yang dibesar-besarkan. Tapi, menurut Kadiv Humas Polri
Ronny F. Sompie, itu soal hukum. Polisi tak boleh mengabaikan pengaduan masyarakat.
Polisi tak ada gesekan dengan KPK, polisi juga ingin KPK kuat, penyidik KPK kan juga dari
polisi, ini soal hukum."
"Romo..." saya memotong, tak sabar. "Apa masyarakat kita begitu bodoh menerima
penjelasan seperti itu?" Romo kaget oleh ucapan saya yang keras, lalu menjawab enteng: "Ya,
bagi jenderal polisi, masyarakat kita mungkin bodoh. Tapi orang bodoh tetap lebih baik dari
orang tak jelas."
Saya mengelus dada, sakitnya di sini. "Saya ingin kata-kata bijak dari Romo, sebenarnya apa
yang terjadi sekarang ini?" Romo tenang saja: "Dendam. Inilah kepemimpinan yang didasari
dendam. Apa pun yang dilakukan seseorang, kalau masih didasari dendam, akan melahirkan
dendam pula. Satu-satunya cara mengakhiri kisruh ini dan dendam tak berlanjut, amankan
sang pendendam di kedua pihak. Jika perlu, disingkirkan dulu. Tapi itu membutuhkan
keberanian atasan. Dan itu yang tak ada sekarang."
Saya kembali mengelus dada, sakitnya di sini.

Rumor Sebagai Trik dalam Politik

Senin, 09 Februari 2015


Seno Gumira Ajidarma, wartawan panajournal.com

Jokowi disuruh Mega? Jika benar, belum ada faktanya (5W+1H). Jika salah, rumornya sudah
dipercaya.
Rumor bisa berakibat fatal dalam trik politik. Tengoklah nasib Frank Pentangeli atau Frankie
Five Angels, seorang caporegime dalam keluarga Corleone yang dikepalai oleh Michael
Corleone.
Ini memang politik ala mafia Italia alias Cosa Nostra. Dalam latar 1959-1960, pesaing
keluarga Corleone dalam dunia hitam Amerika Serikat adalah kelompok Yahudi yang
dikepalai Hyman Roth. Mengikuti pesan ayahnya, Vito Corleone, "Jagalah agar kawankawanmu dekat, tetapi agar musuh-musuhmu lebih dekat lagi," Michael siap berbisnis
dengan Roth. Ini menyulitkan Frank Pentangeli di New York yang bentrok dengan Rosatto
Bersaudara, anak buah Roth.
Sebagai anak buah Peter Clemenza, sahabat Vito, Frankie tidak bahagia ketika Michael
meminta proses bisnisnya dengan Roth tidak diganggu. Akibatnya, Michael menduga Frankie
berada di belakang penembakan dirinya yang gagal, meski faktanya tidak ada.
Maka perhatikanlah trik politik berikut ini. Kepada Hyman Roth, Michael mengungkap
persoalan Frankie, dan menyatakan bahwa Frankie dianggap sudah mati. Kepada Frankie,
Michael menyatakan Roth berada di belakang penembakan, tetapi ia tetap mau berbisnis, jadi
sebaiknya Frankie berdamai dengan Rosatto Bersaudara.
Ternyata, dalam perbincangan damai, Frankie dikalungi garotte (tali kecil pencekik leher)
oleh Tony Rosatto, sambil berkata, "Michael Corleone says hello", yang tentu membuat
Frankie berpikir bahwa Michael berusaha melenyapkannya. Tetapi pembunuhan ini gagal,
dan Frank Pentangeli membalas dengan siap bersaksi di depan Senat, bahwa pengusaha
Michael Corleone adalah bos mafia. Menurut Tom Hagen, concigliere atawa penasihat
keluarga Corleone, Hyman Roth "play this beautifully".
Maka, dalam sidang, tampaklah rombongan Michael membawa Vincenzo Pentangeli, kakak
Frankie, langsung dari Sisilia, Italia, asal-muasal Mafioso, yang tentu maksudnya sebagai

sandera. Frankie pun menggugurkan semua kesaksiannya. Sebagai ucapan terima kasih,
keluarga Corleone mengirim Tom Hagen ke tempat Frankie ditahan, memintanya bunuh diri,
dan berjanji keluarganya akan diurus.
Alur-bawahan (sub-plot) dalam film The Godfather Part II (1974), karya sutradara Francis
Coppola yang ditulis Mario Puzzo, itu memperlihatkan bagaimana trik dimainkan dalam
permainan kekuasaan. Mengacu terminologi ilmu sulap, trik adalah pengalihan perhatian
agar publik mempercayai sesuatu yang tidak ada. Hyman Roth berhasil membuat Frank
Pentangeli percaya bahwa Michael Corleone bermaksud membunuhnya, memanfaatkan trik
Michael kepada dirinya, bahwa Frankie dianggap mati. Trik ditandingi trik. Jika Frankie
sempat bersaksi di Senat, Michael Corleone akan habis tuntas. Padahal secara legal keduanya
berbisnis bersama. Kemudian, lewat pertanyaan tricky kepada Roth, yang tidak dijawab,
tentang siapa yang mengizinkan pembunuhan Frankie, Michael memilih untuk
membunuhnya.
Dalam politik praktis, rumor adalah trik yang sering digunakan demi tujuan tertentu. Konsep
rumor adalah wacana tak resmi dan tak bersumber, yang berkembang beberapa tahap dalam
sistem komunikasi. Sebagai informasi yang diteruskan dalam setiap tahap, distorsi akan terus
bermunculan. Penerima informasi tidak akan waspada atas tidak akuratnya rumor, dan
berusaha meneruskan suatu versi ke jalur berikutnya dalam jaringan sosial. Setelah sekian
kali distorsi, produk rumor sudah tertandai cukup berbeda dari sumber aslinya.
Keaslian yang hilang secara selektif dalam informasi merupakan suatu proses kognitif yang
terhubungkan dengan persepsi, perhatian, kenangan, dan susunan skema. Dalam apa yang
disebut skema, berlangsung internalisasi dan cara menalar, berdasarkan cara-cara mapan
untuk membangun pengalaman, dan biasa digunakan sebagai cara mengerti situasi baru.
Artinya, yang baru dibuat agar sesuai dengan kerangka yang sudah diakrabi.
Media komunikasi massa mempertinggi, menggandakan, dan melakukan modifikasi atas
penafsiran tradisional terhadap rumor, yang sebelumnya melalui kontak langsung.
Keberadaan media yang meneruskan informasi nyaris secara simultan, menyebabkan
pelaporan rumor sebagai fakta bagaikan legitimisasi, yang segera menjadi pewarisan verbal
dalam suatu komunitas. Proses legitimasi ini memperlambat kehidupan jangka pendek rumor,
membuat yang tidak akurat bertahan di dalam sejarah, mengubah rumor menjadi cerita rakyat
[Saunders dalam O'Sullivan et.al, (2001): 274-6].
Potensi rumor, sebagai instrumen bagi kepentingan trik dalam politik, tidak diingkari. Rumor
yang sudah telanjur ada bisa dimanfaatkan, dan jika tidak ada, bisa diadakan. *

Presiden Peragu

Senin, 09 Februari 2015


Firdaus Cahyadi, Aktivis LSM di Jakarta

Sial benar menjadi warga negara Indonesia. Bagaimana tidak, puluhan tahun hidup di bawah
kekuasaan seorang presiden otoriter. Setelah sang presiden otoriter jatuh, muncul presiden
pencitraan. Sesudah presiden pencitraan berlalu, kini warga negara Indonesia harus dipimpin
oleh seorang presiden peragu.
Presiden peragu, mungkin itu predikat yang pas dilekatkan kepada Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Polemik KPK dan Polri yang sekarang terjadi seharusnya tidak akan
berkepanjangan bila Presiden tegas menolak tekanan untuk mencalonkan Kapolri yang telah
mendapat stabilo merah dari KPK. Seperti diungkapkan oleh Ketua Tim 9 bahwa inisiatif
pencalonan Kapolri yang jadi tersangka KPK bukan berasal dari Jokowi.
Akibat keraguan Presiden untuk menolak tekanan itu, muncullah polemik KPK versus Polri
secara berkepanjangan. Meskipun polemiknya sudah berkepanjangan, Presiden masih tampak
ragu dalam mengambil keputusan. Akibatnya, serangan bertubi-tubi diarahkan ke KPK.
Semakin lama Presiden dalam keraguan, semakin masif pula serangan ke KPK. Dan jika itu
terjadi, cepat atau lambat KPK benar-benar akan hancur.
Komitmen Presiden pada awal masa pemerintahannya yang akan menciptakan pemerintahan
yang bersih pun akan terbang melayang akibat keraguan Jokowi. Kepentingan segelintir elite
yang menyebabkan sang presiden menjadi sosok peragu. Padahal harapan rakyat begitu kuat
disandarkan kepadanya.
Sebaliknya, sosok peragu tidak melekat pada Presiden Jokowi ketika mengambil keputusan
yang tidak merugikan kepentingan segelintir elite politik. Salah satu keputusan Presiden
Jokowi yang cepat itu adalah menaikkan harga bahan bakar minyak di tengah menurunnya
harga BBM di dunia. Kebijakan menaikkan harga BBM itu menyebabkan kenaikan harga
barang dan jasa kebutuhan masyarakat. Beberapa hari kemudian harga BBM itu kembali
diturunkan. Namun sayang, harga kebutuhan masyarakat tidak ikut turun, meskipun harga
BBM sudah beberapa kali diturunkan.
Ketidakraguan Presiden Jokowi juga tampak ketika memutuskan untuk menyelamatkan
Lapindo dari tanggung jawabnya dalam menyelesaikan korban lumpur. Tidak ada

kepentingan elite politik yang terganggu oleh upaya penyelamatan Lapindo ini, meskipun itu
akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup ke depannya.
Presiden Jokowi juga tidak ragu-ragu ketika memutuskan bahwa Dewan Nasional Perubahan
Iklim, yang semula berada langsung di bawah Presiden, dilebur di bawah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tidak ada kepentingan elite politik yang terganggu oleh
kebijakan ini, meskipun itu berarti akan melemahkan upaya pemerintah dalam mengatasi
dampak perubahan iklim.
Namun, dalam kasus konflik KPK dan Polri ini, Presiden benar-benar menjadi sosok yang
peragu. Berbagai kewenangan Presiden Jokowi yang sebenarnya bisa digunakan untuk
mencegah terjadinya konflik menjadi lebih runyam tidak dilakukan.
Kepentingan elite benar-benar telah membuat Presiden Jokowi menjadi sosok peragu. Upaya
pemberantasan korupsi benar-benar dalam ancaman akibat keraguan Presiden Jokowi. Kita
harus terus-menerus meyakinkan presiden kita bahwa ia bukan lagi petugas partai politik,
sehingga tidak perlu ragu untuk melawan segala tekanan dari segelintir elite politik itu. *

Lima Alasan Menolak RUU Pertembakauan


Selasa, 10 Februari 2015
Tulus Abadi, Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau

Indonesia dikenal sebagai negara yang paling tinggi konsumsi rokoknya di dunia. Ironisnya,
Indonesia juga sangat dikenal di dunia sebagai negara yang paling lemah dalam membuat
regulasi pembatasan rokok. Kini, persoalan makin bertambah pelik manakala Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menimbang sebuah rancangan undang-undang (RUU)
dalam sebuah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, yakni RUU Pertembakauan.
Jika tak ada perlawanan berarti dari anggota DPR, RUU Pertembakauan akan melenggang
menjadi RUU prioritas yang akan dibahas dan disahkan pada masa sidang 2015. Jika RUU
Pertembakauan benar-benar disahkan sebagai sebuah hukum positif, ini jelas-jelas tragedi
bagi bangsa ini, khususnya bagi anak-anak, remaja, dan generasi muda.
Karena itu, minimal terdapat lima alasan untuk menolak RUU Pertembakauan ini. Pertama,
RUU Pertembakauan diusung oleh industri rokok, khususnya industri rokok besar. Karena
diusung oleh industri rokok, misinya jelas: meningkatkan produksi, memperluas pasaran dan
promosi. Jadi, kini produksi rokok nasional yang telah mencapai 365 miliar batang per tahun,
akan terus digenjot produksinya. Karena jumlah produksi meningkat, jumlah perokok pun
ditargetkan meningkat.
Kedua, RUU Pertembakauan adalah "RUU gado-gado". Secara umum, isinya ingin mengatur
tiga hal: pertanian, industri/perdagangan, dan kesehatan. Alamak, masalah kesehatan
disorongkan sebuah RUU yang diinisiasi oleh industri yang seharusnya dibatasi produksinya?
Logika apa yang bisa membenarkan hal ini? Pengaturan pertanian dalam RUU
Pertembakauan adalah hal yang mubazir, karena masalah pertanian/perkebunan sudah diatur
dengan sangat komprehensif dalam UU tentang Produk Pertanian dan UU tentang
Perkebunan. Kurang apa lagi?
Ketiga, jika ingin benar-benar melindungi petani tembakau, salah satu cara yang paling jitu
adalah stop impor daun tembakau. Saat ini, hampir 50 persen produksi rokok nasional
ditopang oleh tembakau impor, terutama dari Cina. Impor daun tembakau inilah yang
merontokkan eksistensi petani tembakau di Indonesia.

Keempat, jika berkaitan dengan masalah perlindungan buruh/tenaga kerja, yang sangat
mendesak untuk diatur adalah adanya larangan/pembatasan ketat agar industri rokok besar
tidak melakukan mekanisasi (mengganti buruh manusia dengan mesin). Inilah yang
menyebabkan terjadinya PHK massal terhadap para buruh pabrik rokok, yang akhir-akhir ini
banyak terjadi di perusahaan rokok besar. Padahal PT Philip Morris Internasional, saat
mengakuisisi PT HM Sampoerna, berjanji untuk tidak melakukan mekanisasi. Kini janji itu
banyak dilanggar, dan tak ada sanksi apa pun dari pemerintah.
Dan kelima, seperti prolog di awal, kini posisi Indonesia sangat dipermalukan oleh dunia
internasional, karena belum meratifikasi/mengaksesi FCTC-WHO (Framework Convention
on Tobacco Control). Dan belum pula punya regulasi yang setara dengan FCTC. Padahal
problem konsumsi tembakau dengan berbagai kompleksitas dampaknya terus mengalami
eskalasi (wabah). Eh, kok malah akan dibuat sebuah regulasi (RUU Pertembakauan) yang
justru makin mengukuhkan eksistensi industri rokok. *

KPK, Polri, dan Modal Sosial


Selasa, 10 Februari 2015
Andi Kristian, Advokat di Jakarta

Aksi balas dendam antar-institusi penegak hukum yang terjadi saat ini perlu dicari akar
penyebabnya sehingga di kemudian hari peristiwa seperti ini tidak terulang lagi. Akar
penyebabnya bisa bermacam-macam, bisa jadi karena regulasi yang kurang baik, aparat yang
tidak profesional, kurangnya leadership dari pemimpin institusi, atau lemahnya modal sosial
yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Penyebab terakhir inilah yang sering luput dari
pembahasan.
Dapat dikatakan kisruh antara KPK dan Polri pangkalnya adalah dari adanya persepsipersepsi negatif cerminan dari rendahnya modal sosial yang dimiliki oleh kedua institusi
penegak hukum ini. Modal sosial bisa beraneka bentuknya, misalnya semangat saling
mempercayai (mutual trust), semangat saling menghormati (mutual respect), dan semangat
saling memahami (mutual understanding). Modal sosial merupakan syarat mutlak
terwujudnya karakter sosial yang kondusif, yang membawa penegak hukum dan elite bangsa
ini untuk bersekutu dan bergerak dalam kebersamaan (togetherness) guna mencapai tujuan
bersama.
Rendahnya modal sosial memperbesar peluang terjadinya ketidakefektifan, kekisruhan,
rivalitas, dan saling lempar tanggung jawab dalam menyelesaikan setiap permasalahan
kolektif. Salah satu dampak dari rendahnya modal sosial terlihat dari sikap saling mencurigai,
aksi saling balas dendam, serta tidak adanya rasa saling mempercayai antara KPK dan Polri.
Rasa saling curiga antara dua institusi penegak hukum dalam jangka panjang akan
memunculkan rivalitas, di mana masing-masing institusi berusaha untuk saling menjatuhkan,
tentunya hal ini jika dibiarkan akan mengganggu efektivitas upaya pemberantasan korupsi .
Timbulnya rasa saling curiga ini bisa berasal dari persepsi-persepsi negatif. Persepsi
merupakan proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indra
dari lingkungan, dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara
mengorganisasi dan menginterpretasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu
(Robbins, 2003).

Apabila obyek yang dipersepsi tidak sesuai dengan penghayatan dan tidak dapat diterima
rasional dan emosional, individu akan mempersepsikan negatif atau cenderung menjauhinya,
menolak, dan menanggapinya secara berlawanan terhadap obyek persepsi tersebut. Persepsi
negatif semacam ini ternyata menghinggapi para penegak hukum bangsa ini.
Persepsi negatif dapat dilihat dari cara pandang KPK yang menganggap Polri sebagai institusi
yang ingin melemahkan KPK, tidak pro terhadap pemberantasan korupsi, dan institusi yang
korup. Begitu juga sebaliknya. Persepsi negatif terlihat dari cara pandang Polri yang
menganggap KPK sebagai institusi yang superpower, tanpa pengawasan, cenderung tebang
pilih dalam pemberantasan korupsi, dan rawan ditunggangi kepentingan politik tertentu.
Karena itu, persepsi semacam ini hendaknya dibuang jauh dan diubah dengan cara pandang
yang lebih positif. Dengan demikian, pada masa yang akan datang, diharapkan komunikasi di
antara kedua pihak berjalan lebih efektif dan mampu menghasilkan titik temu dan sinergi.
Mengubah persepsi semacam ini hanya mungkin dilakukan dengan meningkatkan modal
sosial. Dengan modal sosial yang tinggi, bangsa ini lebih mudah menyelesaikan berbagai
problem kolektif, terutama korupsi. *

Nafsu untuk Menghukum


Rabu, 11 Februari 2015
Geger Riyanto, Esais; bergiat di Koperasi Riset Purusha

Slahi diikat dan ditutup matanya. Ia tak tahu dirinya berada di mana. Ia bahkan tak tahu apa
yang sudah dilakukannya yang menyebabkan ia disekap seperti ini. Di hadapannya, berdiri
dua sosok penyidik. Ia bisa merasakannya.
"Apa yang telah kamu lakukan?" tanya satu dari mereka. "Aku tidak melakukan apa-apa!"
jawab Slahi spontan. Para penyidik kontan tertawa. "Oh, luar biasa! Kau tak melakukan apaapa, tapi kau ada di sini!" ujar seorang penyidik. Slahi, yang sebelumnya gamang, kini
membatin geram. "Jadi, aku harus mengakui kejahatan apa supaya aku bisa dituduh
bersalah?"
Satu cuplikan dari cerita Slahi ini mungkin mengingatkan orang pada novel absurd berjudul
The Trial. Josef K., seorang bankir, dalam cerita gubahan Kafka tersebut, serta-merta saja
ditangkap oleh dua agen. Ia ditangkap atas kejahatan yang tak pernah diketahuinya sampai
pada ujung kisah. Setahun setelah diombang-ambing dalam proses peradilan yang tak jelas, K
dijemput oleh dua agen yang sama. Setelah menggiringnya ke sebidang tanah galian, kedua
agen tersebut hendak membunuhnya. K, tak tahan dengan apa yang dialaminya, pasrah
mempersilakan mereka.
Sayangnya, kisah Slahi bukanlah fiksi. Slahi adalah seorang insinyur dan pakar
telekomunikasi yang tinggal di Mauritania. Suatu hari, 13 tahun yang lalu, pada usianya yang
ke-30 tahun--persis dengan Josef K.--Slahi didatangi dua petugas badan intelijen negaranya.
Yang Slahi ketahui selanjutnya, ia sudah berada di penjara yang terisolasi dari dunia luar. Ia
tak tahu dirinya berada di mana.
Slahi dituduh terlibat dalam terorisme. Para penyidik yang mencecar dan menyiksanya,
lucunya, tak tahu kejahatan apa yang ia lakukan. "Kau Arab, kau muda, kau berjihad, kau
berbicara dalam berbagai bahasa, kau bepergian ke negara-negara, kau lulusan ilmu teknik."
Hanya ini yang mereka ketahui, dan dakwaan terhadap Slahi merupakan yang terburuk dari
15 orang terburuk di Guantanamo.

Sayangnya lagi, kisah Slahi--kini terbit dalam buku Guantanamo Diary--bukanlah kisah yang
terlalu jauh dari kita. Ia lebih nyata dan lebih dekat daripada yang kita bayangkan: ia terjadi
dan akan senantiasa terjadi selama segelintir kelompok punya kekuasaan tak terbatas untuk
mengabulkan prasangkanya menjadi kenyataan, menyulap satu pihak menjadi bersalah hanya
dengan menunjuknya bersalah. Terasa tidak asing? Tentu saja.
Sejak memiliki otoritas penegak hukum, agaknya tak berlebihan jika dikatakan sejarah
Indonesia merupakan sejarah yang rawan terhadap situasi semacam itu. Hukuman datang
jauh mendahului ditemukannya kesalahan pihak tertuduh. Kita bisa menyebut contohnya satu
demi satu. Namun, kita sendiri tahu bahwa daftarnya akan terlalu panjang, yang dimulai
dengan jutaan orang yang dihukum serta dihilangkan masa depannya dengan stempel ekstapol atau keluarga eks-tapol.
Dus, mungkin hiruk-pikuk yang berlangsung saat ini tak lebih dari sebuah kewajaran: noda
sepele dalam lintasan sejarah panjang satu negeri yang tak pernah menyaring urusan hukum
dari urusan kekuasaannya. Dan, mungkin, saat menyebutnya sebagai kekeliruan sejarah, kita
yang keliru. Kita yang terlalu keras berusaha untuk sok beradab, kendati kenyataannya,
apakah toh yang memotivasi hukum kalau bukan nafsu untuk menghukum? Apakah yang
memotivasi kekuasaan kalau bukan nafsu untuk berkuasa? Ah! *

Pariwisata dan Jurnalisme Lawatan


Rabu, 11 Februari 2015
Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI

Izinkan saya mengucapkan selamat Hari Pers Nasional yang tahun ini peringatannya
diselenggarakan di Kota Batam.
Kita tahu, pers Indonesia telah melewati rangkaian sejarahnya yang panjang, tidak saja sejak
Indonesia merdeka pada 1945, namun tapak-tapaknya sudah jauh sebelumnya. Pers Indonesia
menjadi saksi bagaimana negara-bangsa ini digagas, diperjuangkan, dan dipertahankan
eksistensinya seperti saat ini dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita turut berbangga bahwa pers kita menjadi bagian terpenting dalam pilar penyemaian dan
pembentukan kultur kemerdekaan, kemanusiaan, dan demokrasi hingga hasil-hasilnya bisa
kita nikmati dan kecap hari ini. Sadarlah kita bahwa para founding fathers kita umumnya
berasal dari dunia jurnalistik. Tirto Adhi Soerjo, Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan,
Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sam Ratulangie adalah tokoh-tokoh pers penting Indonesia.
Selain itu, pers Indonesia adalah pencatat terdepan tentang keindonesiaan kita yang umumnya
secara kultural kita kenal dengan nama "Nusantara". Pers kita tak henti-hentinya merekam
keindahan alam, geliat budaya lokal, dan kehidupan orang-orang di dalamnya. Tak berlebihan
kiranya jika kita menyebutkan pers Indonesia sebagai juru bicara pesona alam Indonesia dan
kehidupan kultural di dalamnya.
Kita tentu mengingat nama salah satu insan pers penting Adinegoro yang namanya kemudian
diabadikan sebagai alamat anugerah pers yang berwibawa saat ini. Adinegoro
memperkenalkan kepada kita bentuk jurnalisme untuk membaca dan mencarikan bentang
alam dan kehidupan orang-orang dalam sebuah lawatan.
Kita bisa menyebut apa yang dilakukan tokoh pers kita ini dengan jurnalisme lawatan saat
hasil tulisan panjangnya yang dimuat secara bersambung di majalah Pandji Poestaka pada
1926 dibukukan dengan judul Lawatan ke Barat.
Dengan Kapal Tambora dari Tanjoeng Priok Batavia, jurnalis kita Adinegoro merekam
pengalamannya saat di Singapura, Paris, Belgia, dan di Bandar Antwerpen, Belanda.

Adinegoro juga menuliskan kesan-kesannya saat melawat di Utrech, Amsterdam, Berlin,


Istambul, Balkan, Athena, Venesia, dan Roma.
Buku Lawatan ke Barat Adinegoro itu kita bisa baca sebagai bentuk jurnalisme lawatan
penting yang menghidupkan cerita kota dalam sebuah perjalanan.
Pada era Adinegoro saat melakukan perjalanan memang belum ada istilah "pariwisata".
Istilah ini baru kita kenal pada 1960. Yang memperkenalkan istilah ini adalah tokoh pers
terpenting kita yang sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno. Istilah
"pariwisata" itu disampaikan Presiden Sukarno saat penganugerahan sayembara Tugu
Nasional (Monas) di Istana Negara.
Kita tahu, Presiden Sukarno adalah pemimpin redaksi koran Persatoean Indonesia dan
majalah mingguan Fikiran Ra'jat yang terbit di Bandung pada 1929 dan 1932.
Istilah tour diterjemahkan sebagai darmawisata dan dipakai dalam penulisan jurnalistik
kita saat itu. Menurut Presiden Sukarno, istilah yang tepat untuk menerjemahkan tour
adalah pariwisata. Pariwisata, kata Presiden Sukarno, adalah seseorang "jang meninggalkan
rumah tangga, mengembara, ke mana-mana, keliling, all round".
Namun baru pada 1966 di Kabinet Dwikora II Presiden Sukarno secara khusus membentuk
Departemen Pariwisata yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono IX.
Dari sekelumit penjelasan itu, kita melihat ada benang merah yang tebal antara pariwisata,
trip/perjalanan, dengan kultur jurnalistik kita. Apalagi saat ini kita sedang merancang travel
to the hyperreality dalam suatu proyek wisata baru yang berkesinambungan.
Newseum Time Trips, demikian namanya, merupakan blusukan pada warisan gagasan dan
ide-ide di kawasan Nusantara yang dimulai hampir tiga abad lampau saat produk pers
pertama lahir di Batavia pada 1744. Kota di mana sebuah pers merekam geliatnya pada suatu
waktu--yang sangat bisa memiliki potensi pariwisata bila memiliki rekam cerita maupun
postur visualnya.
Inilah saatnya kita terus melakukan inovasi dan penyegaran dalam membaca arah baru
pariwisata. Dan dalam batang tubuh pers Indonesia, kita bisa menggali kultur dan inovasi
wisata tersebut.
Di tengah kita menaikkan kuantitas kunjungan wisatawan (target 10 juta pada 2015), kita
berusaha sekuat-kuatnya mencoba membuka kreasi-kreasi baru dalam menempatkan
pariwisata sebagai sebuah pencarian untuk kepentingan kita lebih besar, membangun
peradaban bangsa. Salah satunya adalah, sebagaimana saya sebutkan di atas, mengawinkan
warisan pers (jurnalisme lawatan) dan industri pusaka.
Pers yang sifatnya segera, sementara, pendek, yang bergerak bersama pendulum dalam

masyarakat yang merindukan sesuatu yang lampau, abadi, yang dari sana ingatan dirawat,
kita kreasikan dan pertebal arsirannya dalam industri pusaka.
Yang saya maksudkan sebagai industri pusaka (heritage industry) adalah ekonomi yang
bersandar pada lempengan ingatan masa lampau untuk kreativitas kekinian yang bisa terlihat
dari tendensi praktek dalam penulisan novel, revitalisasi kota lama, investasi barang seni, dan
bahkan pertunjukan ingatan yang berlangsung ekstensif. *

Iklan dan Kebenaran


Rabu, 11 Februari 2015
Ahmad Sahidah, Dosen Filsafat Universitas Utara Malaysia

Iklan "Fire Indonesian Maid", yang dibuat sebuah perusahaan Malaysia memantik amarah
banyak orang. Dengan bukti gambar yang dimuat di media, siapa pun tidak akan menyangkal
bahwa ada penghinaan di situ. Betapa manusia lebih hina ketimbang barang. Jika pemerintah
Indonesia, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, akan menuntut ke pengadilan, tentu
langkah ini wajar. Sebab, apabila kekerasan simbolis seperti ini dibiarkan, nasib pembantu
rumah tangga kita di sana berada di ujung tanduk. Tenaga kerja wanita (TKW) kita seakan
lebih rendah daripada barang dan dengan mudah bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Namun, dalam kasus iklan "TKI on Sale" ini, sang pelaku tak bisa ditelusuri. Hingga
sekarang, Rubini tak bisa diseret ke pangadilan. Meski ada nomor telepon yang tercantum
pada spanduk iklan, perusahaan resmi, Corvan Technology, sebagaimana dikutip oleh portal
Malaysiakini, 5 Februari 2015, menegaskan bahwa yang meletakkan spanduk itu adalah
pihak luar. Lagi-lagi, sepertinya kasus ini akan segera menguap seiring dengan perhatian
orang yang ramai tertuju pada penandatanganan nota kesepahaman antara PT ASL dan Proton
Sdn Berhad untuk menggarap mobil nasional.
Lalu mengapa kasus seperti ini muncul ke permukaan? Sentimen. Citra negeri jiran begitu
buruk di mata banyak orang akibat tragedi yang menimpa pembantu rumah tangga (PRT) asal
Indonesia, dari kekerasan hingga penelantaran tanpa gaji. Apalagi, Malaysia dan Indonesia
adalah dua negara yang mempunyai hubungan paling intensif dalam banyak bidang, yakni
ekonomi, politik, dan kebudayaan, sehingga gesekan sering terjadi. Belum lagi, beban sejarah
hitam pernah mencoreng keduanya (konfrontasi). Selain itu, ada 300 ribu pembantu resmi
yang bekerja di Malaysia--tidak termasuk yang ilegal. Dengan kenyataan ini, tentu tidak
mudah untuk mengurai silang-sengkarut yang ada.
Jika berkepala dingin, sejatinya andaian bahwa Malaysia mengabaikan buruh migran
sungguh berlebihan. Kalau kita melihat dari dekat, begitu banyak PRT kita yang bekerja
dengan nyaman dan mendapatkan majikan yang penuh perhatian. Dalam sebuah kesempatan,
saya pernah menjumpai seorang ibu keturunan Cina yang dengan rela menemani
pembantunya yang akan mudik. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa PRT yang
bersangkutan bisa pulang dengan selamat. Sekali waktu, di sebuah bank lokal saya pernah

bercakap-cakap dengan majikan Melayu yang menemani pembantunya untuk mengirim uang
ke kampung halaman. Bayangkan! PRT tersebut telah bekerja selama 10 tahun. Sang majikan
telah menganggapnya seperti keluarga sendiri.
Seharusnya iklan tersebut dilihat sebagai trik pemasaran. Penawaran barang-barang alat
elektronik pembersih sangat diperlukan. Peluang permintaan pun terbuka lebar. Hanya,
distributor bertindak ceroboh. Sebuah moto iklan tak menimbang kata yang mengandaikan
makna yang tak sama di mata khalayak.
Bagi pembuat iklan, yang tak disadari oleh penjual, reklame tak lebih dari sebuah pengertian
bahwa ada barang yang bisa bekerja secara lebih efisien dan murah. Dengan hanya merogoh
uang sejumlah sekian, pembeli tak lagi memerlukan pembantu. Tapi tidak bagi masyarakat
Indonesia. Jika sebuah perusahaan menista PRT asal Tanah Air, ia layak diboikot. Sayangnya
perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat itu tidak mempunyai cabang di sini. *

Mengenang Rinto Harahap


Kamis, 12 Februari 2015
Aris Setiawan, Pengajar ISI Solo

Pada 1980-an, nama Rinto Harahap menjadi jaminan bagi popularitas seorang penyanyi. Ia
adalah pencipta lagu yang ulung. Banyak lagunya yang laris-manis di pasar dan melejitkan
nama penyanyi yang melantunkannya. Contoh, Nia Daniati, Betharia Sonata, Christine
Panjaitan, Iis Sugianto, Emilia Contessa, dan Eddy Silitonga.
Rinto berperan besar dalam memberi warna kehidupan musik pop Indonesia dekade 1980-an.
Lagu-lagunya romantis dan terkadang melankolis. Tak jarang pula berisi nasihat, ratapan,
kemarahan, dan kepedihan hidup. Ia tak melulu menciptakan lagu yang berkisah asmara dan
cinta-cintaan. Rinto sangat produktif dalam berkarya. Lebih dari seratus judul ia ciptakan,
dan banyak yang diterima pasar dengan baik.
Kala itu, pembajakan tidak semarak seperti saat ini. Keberhasilan sebuah lagu atau album
dapat diukur dari seberapa banyak kaset yang terjual. Dan nama Rinto menjadi langganan,
lagu-lagunya menjadi idola yang diburu dan dinanti.
Selain sebagai pencipta lagu, Rinto juga pernah mendirikan kelompok band The Mercy's.
Seturut dengan lagu-lagu ciptaannya, band bentukannya juga meraih kejayaan pada 1970-an
dengan mengeluarkan lagu yang menjadi hit pada zaman itu. Beberapa di antaranya bahkan
masih melegenda hingga saat ini, seperti Semua Bisa Bilang. Boleh dikatakan, The Mercy's
adalah satu-satunya grup band yang mampu menyaingi popularitas Koes Plus saat itu. Rinto
Harahap dengan kelompoknya menjadi alternatif yang menyegarkan kala demam Koes Plus
melanda negeri ini.
Puncaknya, Rinto Harahap mendapat Anugerah Seni dari Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada Maret 1982 sebagai pencipta lagu sekaligus
penyanyi yang berprestasi. Perusahaan rekaman Filipina, WEA Record, juga pernah memberi
kepercayaan kepada Rinto untuk mengekspor lagu-lagunya. Hal ini membuktikan bahwa
lagu-lagunya laku di luar negeri. Bahkan di Cina banyak lagu jiplakan dari karya Rinto. Saat
itu, perlindungan terhadap hak cipta masih lemah, sehingga tidak ada tindakan hukum berarti
yang dapat dilakukan.

Rinto adalah orang kreatif yang mampu melihat kesempatan dan kemauan pasar. Lagulagunya abadi, banyak diaransemen ulang. Lihatlah Andy /rif yang merilis ulang lagu Jangan
Sakiti Hatinya yang sebelumnya dipopulerkan oleh Iis Sugianto. Sedangkan Peterpan dan
Candil juga sempat menyanyikan lagu Ayah ciptaan Rinto yang dipopulerkan Eddy
Silitonga. Karya-karyanya tercatat sebagai sejarah penting perkembangan musik Indonesia.
Banyak orang rindu akan lahirnya musikus seperti Rinto dengan kekayaan tema karya.
Kini Rinto Harahap telah berpulang untuk selamanya di usia ke-65 tahun pada 9 Februari
2015, karena penyakit kanker tulang yang dideritanya. Dunia musik Indonesia kehilangan
salah satu putra terbaiknya. Kepergiannya mengingatkan kita akan salah satu judul lagunya,
Seandainya Aku Punya Sayap. Ia pun berpamit dengan lirik, seandainya dapat kau
rasakan/kejam..kejamnya dunia/tiada lagi kehadiran/untuk apa aku di sini. Dunia memang
kejam, dan kini ia telah terbebas darinya. *

Kerangka Kurikulum Mendatang


Kamis, 12 Februari 2015
Iwan Pranoto, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di New
Delhi

Kurikulum 2013 sudah dimasukkan ke "bengkel" di Pusat Kurikulum dan Perbukuan


Balitbang Kemdikbud untuk diperbaiki. Hasil perbaikannya diharapkan bermanfaat sekaligus
memudahkan guru dalam merancang pengalaman belajar, sehingga tiap pelajar mampu
mengembangkan diri dalam kehidupannya secara optimum.
Sebuah rancang-bangun kurikulum perlu memuat tiga komponen utama: daftar sasaran yang
harus dikembangkan murid, cara mengevaluasi pencapaian sasaran tersebut, dan cara
membelajarkannya di kelas. Komponen pertama menjawab pertanyaan, "Murid kita mau ke
mana?" Sedangkan yang kedua menjawab pertanyaan, "Bagaimana kita tahu bahwa murid
kita telah mencapai sasaran?" Dan yang ketiga menjawab pertanyaan, "Bagaimana cara kita
mengelola komunitas pelajar agar tiap murid mengembangkan kecakapannya untuk mencapai
sasaran secara optimum?"
Seperti mengarang lagu, mencipta kurikulum merupakan sebuah seni. Pengetahuan teori
kurikulum bertumpuk bukan jaminan untuk mampu mencipta kurikulum baik. Seorang guru
besar musik belum tentu sukses mengarang musik indah.
Komponen sasaran (termasuk kompetensi) ditulis dalam bentuk frasa. Sebagai contoh,
berikut ini sasaran tersebut diambil dari pendidikan jasmani (bulu tangkis) pada kurikulum
Rochester Academy Charter School, AS: "Menggunakan hasil belajar secara mandiri untuk
berpartisipasi dan membuat skor dalam pertandingan bulu tangkis ganda." Kemudian, murid
memerlukan pengetahuan seperti apa arti serve, smash, drop shot, dan lain sebagainya. Ini
unsur pengetahuan. Lalu, murid perlu mengembangkan keterampilan dalam melakukan
tindakan tertentu, seperti praktek melakukan serve, smash, dan lain sebagainya.
Selain unsur pengetahuan dan keterampilan itu, ada pemahaman yang perlu dikembangkan
murid. Pemahaman ini mirip pesan moral. Unsur sikap yang mungkin diangankan pencetus
Kurikulum 2013 sebenarnya masuk di unsur pemahaman ini. Sementara pengetahuan berasal
dari luar dan masuk ke dalam diri, pemahaman justru dari dalam diri diekspresikan ke luar.

Kegagalan membedakan pengetahuan dengan pemahaman ini sesungguhnya salah satu


sumber penyebab absurditas rumusan kompetensi inti/kompetensi dasar (KI/KD) di
Kurikulum 2013.
Dalam ilustrasi pelajaran "bulu tangkis ganda" di atas, unsur pemahaman atau moralnya
antara lain "keterampilan dan strategi kerja sama merupakan unsur esensial dalam olahraga
berpemain ganda/tim". Pesan moral atau kebijaksanaan ini bertumbuh dalam diri pelajar
melalui refleksi dan renungan bersama. Kebijaksanaan, seperti juga moral, merupakan hasil
pengolahan akal dan rasa. Harus diingat bahwa kebijaksanaan tak akan efektif jika
dipaksakan, dijejalkan, didongengkan secara naif kepada murid. Ketidaktepatan inilah yang
jadi sumber lain penyebab absurditas KI/KD Kurikulum 2013.
Penulis kurikulum pelajaran bulu tangkis di atas memang harus gemar bulu tangkis sekaligus
piawai menulis, sehingga frasa yang ditulis mengungkapkan apa yang diangankan dan
sekaligus mudah dipahami guru (dan orang tua murid.) Khususnya, kata kerja yang dipilih
dalam frasa tersebut harus masuk akal, spesifik, dan terukur.
Karena melalui kurikulum, negara mempercayakan kepada pendidik guna mereka ciptakan
masa depan, tentu pencipta kurikulum mendalami perkiraan kehidupan, lapangan kerja, dan
tantangan dunia esok. Dari situ, dia memperkirakan serta mendata pengetahuan,
keterampilan, dan sikap apa yang akan dibutuhkan di kehidupan mendatang.
Penulisan sasaran yang masuk akal, terukur, dan spesifik akan memudahkan guru
mengevaluasi dan menilai kemajuan muridnya dengan akurat. Jadi, jika akhir semester lalu
banyak guru yang kesulitan menilai murid dengan Kurikulum 2013, belum tentu karena guru
tak cakap menilai. Besar kemungkinan justru karena sasaran belajar di dokumen kurikulum-sampai akibatnya di buku ajar--tidak terumuskan dengan baik.
Lebih dari itu, seharusnya kurikulum modern harus sudah memuat cara mengevaluasi proses
pembelajaran. Beberapa contoh soal atau tugas yang memungkinkan murid menunjukkan
pencapaian belajarnya biasanya disertakan. Hasil pencapaian ini terutama berguna sebagai
umpan balik ke murid dan guru, sehingga proses belajar-mengajar dapat ditingkatkan.
Artinya, sebelum kurikulum diterapkan, cara mengevaluasi sudah harus tertulis dengan
lengkap. Ilustrasi tugas, PR, kuis, sampai ulangan sudah harus direncanakan sebelum awal
tahun ajaran. Bahkan cara penilaiannya sudah harus dibuat sebelum kurikulum diterapkan.
Kurikulum juga perlu memuat pilihan strategi pembelajaran. Kurikulum memuat daftar buku
pustaka dan sumber ajar (klip video, rekaman suara, gambar, permainan interaktif maya)
yang dapat dipilih guru untuk mengajar. Juga pilihan strategi pembelajaran, seperti individu,
kolaboratif, di luar kelas, penemuan terbimbing, atau yang lain.
Kurikulum modern perlu dilengkapi dengan pilihan strategi, karena paradigma keunikan tiap
murid telah diterima. Ke depan, regulasi dan kebijakan pendidikan nasional harus mendorong
inovasi penciptaan kurikulum di tingkat satuan pendidikan atau daerah.*

Bukan Dongeng
Kamis, 12 Februari 2015
Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc

Suatu malam menjelang tidur, anak saya yang baru berusia 5 tahun meminta diceritakan
dongeng cicak dan buaya. Saya terkejut oleh permintaan anak saya, yang katanya mendengar
ihwal cicak dan buaya di televisi. Mungkin dia pikir ini adalah dongeng seperti kancil yang
berhasil selamat dari gerombolan buaya yang ingin memangsanya.
Agak sulit bagi saya mengarang kisah cicak dan buaya untuk memenuhi permintaan anak.
Bagaimana bisa buaya yang hidup di sungai berpapasan dengan cicak yang nempel di
dinding? Agak aneh terdengar jika saya bercerita "suatu hari cicak mengantar anaknya ke
sekolah, tiba-tiba disergap oleh segerombolan buaya".
Sekarang kisah cicak dan buaya yang sudah memasuki musim kedua ini belum bisa ditebak
ujungnya. Semua bermula ketika KPK menetapkan Komisaris Jenderal (Polisi) Budi
Gunawan sebagai tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan. Penetapan ini membuat
geger karena Budi Gunawan merupakan calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden
Jokowi kepada DPR untuk menggantikan Jenderal (Polisi) Sutarman, yang diberhentikan
dengan hormat. Entah apa pertimbangan Jokowi, yang ketika mengajukan nama Budi
Gunawan, tidak meminta saran dari KPK dan PPATK terlebih dulu. Mungkin Jokowi sudah
menerima saran yang mengatakan bahwa dia tak perlu meminta saran.
Beberapa hari setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, muncul foto mirip Ketua
KPK Abraham Samad sedang bermesraan dengan perempuan. Seorang komedian
mengatakan, "Kalaupun foto itu asli, wajar jika Ketua KPK dapat pelukan dan ciuman mesra
karena berani menjadikan petinggi polisi sebagai tersangka." Bagi saya, foto tersebut masih
kurang heboh. Menjadi heboh kalau di foto itu Ketua KPK bermesraan dengan pria lain, wk
wk wk. Itu baru heboh, cyyyn.
Kejutan demi kejutan kemudian muncul. Komisioner KPK Bambang Widjojanto dijadikan
tersangka dan ditangkap Bareskrim Polri saat mengantar anaknya ke sekolah. Entah karena
sedang tren atau memang pas waktunya, setelah Bambang Widjojanto, satu per satu pimpinan
KPK lain, seperti Adnan Pandu Praja, Zulkarnaen, dan Ketua KPK Abraham Samad,
dilaporkan ke Bareskrim Polri. Diduga laporan ini bertujuan untuk membuat sibuk KPK

sehingga banyak kasus penting tertunda penanganannya. Ibarat orang di atas perahu sedang
memancing, perahunya digoyang-goyang segerombolan ikan. Jika analogi ini kurang pas,
tolong dipas-pasin aja, he-he-he.
Kisah cicak dan buaya bukanlah dongeng, melainkan kisah nyata yang masih bergulir di
tengah berita-berita lain yang terus muncul menguji kepemimpinan Presiden Jokowi, yang
telanjur dipuja-puja dengan berjuta harapan di masa kampanye pemilihan presiden. Inilah
saatnya Jokowi mewujudkan harapan tersebut.
Dalam konsep kepemimpinan disebutkan, "Pemimpin berprestasi ibarat pertandingan sepak
bola. Boleh dipuja, tapi belum bisa dinilai. Prestasi baru terlihat setelah pertandingan selesai."
Seperti seorang pemain sepak bola, bisa mencetak gol yang lebih banyak dibanding pemain
lawan, tapi timnya belum tentu menang karena dia mencetak gol ke gawangnya sendiri, hehe-he.*

Runtuhnya Filsafat Politik


Kamis, 12 Februari 2015
Syaiful Arif, penulis

Dengan hadirnya Joko Widodo (Jokowi) di kancah politik nasional, kita berbahagia karena
nilai-nilai mulia yang diajarkan filsafat politik akan terlaksana. Faktanya, tak semudah itu.
Jokowi, yang bagaimanapun punya keterbatasan, terlihat tak kuasa menghadapi arus besar
politik Indonesia: oligarki.
Tentu Jokowi tak pernah mengajarkan filsafat politik secara teoretis. Ia bahkan bukan
intelektual. Satu hal yang berbeda, misalnya, dengan Presiden Abdurrahman Wahid, yang
oleh Herbert Feith disebut a scholar president. Berbeda dengan Wahid yang dilatari oleh
karier intelektual, Jokowi hanya seorang bos mebel yang karena jujur, merakyat, dan
berintegritas bisa menjadi presiden.
Jokowi adalah pemimpin yang dididik oleh alam. Para cendekiawan yang kemudian
menteorikan moralitas politiknya menjadi falsafah politik sendiri. Misalnya, blusukan
kemudian menandai suatu demokrasi partisipatoris yang mengoreksi elitisme demokrasi
prosedural. Atau, sikap cekatan Jokowi dalam menangani persoalan masyarakat membuahkan
teknokrasi populis: sebuah kepemimpinan berbasis kerja teknis, berlambar keberpihakan pada
wong cilik. Kartu Jakarta Sehat dan Pintar, yang kini diindonesiakan, mampu menghadirkan
negara di depan pintu orang miskin, dalam bentuk kesejahteraan.
Inilah yang memukau rakyat, terutama aktivis pro-demokrasi. Sebab, hal-hal ideal yang
selama ini mengawang di filsafat politik bisa terbumikan. Kita kemudian bangga. Sebab,
politik Indonesia akan membaik. Ia akan bergeser dari oligarki partai dalam demokrasi
manipulatif menuju kepemimpinan populis berbasis kerja. Harapan ini dikuatkan oleh
keikhlasan Megawati memberikan "tiket kepresidenan" kepada Jokowi, dan kader yang
bukan ketua umum partai ini bisa menjadi presiden.
Ternyata, penyakitnya berada di sini. Sebab, akhirnya terdapat dua penguasa: Jokowi
Presiden RI dan Megawati Ketua Umum PDIP. Sebagai petugas partai, sang Presiden tetap
harus manut kepada Ibu Ketum. Inilah oligarki itu, yang ternyata tak terhapus oleh
kepresidenan Jokowi. Maka, oligarki partai berkelindan dengan oligarki di tubuh Kepolisian
RI. Hasilnya, kelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Realitas kemudian

mencengangkan: di masa Presiden yang didukung para filsuf ini, semua pimpinan KPK
dilaporkan ke polisi!
Inilah yang meruntuhkan harapan untuk kesekian kalinya, bahwa kemuliaan politik yang
diajarkan filsafat politik bisa terealisasi. Politik ternyata memang bukan res publica
(kebaikan bersama) layaknya sabda Aristoteles. Politik juga bukan pemenuhan kebutuhan
dasar rakyat yang terlindungi (daf'u dlaruri ma'shumin) sebagaimana titah Al-Ghazali. Ada
jurang lebar antara politik "sebagaimana seharusnya" dan "apa yang ada".
Pertanyaannya, apakah terpilihnya Jokowi kemarin sebatas euforia akibat bentukan media
dan lembaga survei? Apakah meroketnya Jokowi terjadi akibat kemiskinan bangsa ini akan
tokoh politik yang bermoral? Dibutuhkan keberanian, konsep, dan "jam terbang" dalam
pengelolaan konflik politik tingkat tinggi. Ini tidak bisa diselesaikan dengan blusukan atau
revolusi mental yang kini tak diwacanakan lagi. Tentu Jokowi orang baik. Namun kebaikan
tak ampuh bagi pembongkaran oligarki yang menjadi struktur imanen politik negeri ini. *

Selfie
SABTU, 14 FEBRUARI 2015

Agus M. Irkham, Pegiat Literasi

Kehadiran media sosial, terutama Facebook dan Twitter, telah benar-benar menjadi extended
society. Bukan sekadar dunia maya yang menawarkan ekspresi-ekspresi artifisial dan
simulasi pertandaan, tapi juga sudah menjadi bagian dari perluasan sosial. Layaknya di dunia
nyata, media sosial memiliki kode, simbol, dan aturan main sendiri, baik berupa hadiah
maupun hukuman dari sesama netizen. Hal itu dimulai dari unfriend, block, bully, unfollow,
follback, followers, icon motion, hingga like.
Menariknya, media sosial juga melahirkan transliterasi lisan ke dalam bahasa tulis. Salah satu
contoh yang paling sering dilakukan--terutama warga dunia maya di Indonesia yang sudah
mencapai 82 juta orang ini--adalah ragam penulisan ekspresi tawa. Pasti Anda pernah
menulis "wkwkwkw" untuk tawa terbahak-bahak, "xixixixi" untuk tawa sambil menahan geli,
"hohohoho" untuk tawa sambil menyimpan sedikit rasa jemawa, "huhuhu" untuk pilihan sulit
antara tawa dan tangis, dan "huehuehue" untuk tawa sambil mengasihi diri sendiri.
Media sosial juga telah sukses jaya mengubah orang dalam memaknai diri dan
lingkungannya. Jika sebelumnya yang berlaku adalah orang menyapa: Apa kabarmu hari ini?
Sekarang telah berganti menjadi: Apa kabar saya hari ini? Meski tidak ada yang bertanya,
dengan senang hati tiap-tiap kita mengabarkan kepada publik luas: sedang di mana, bersama
siapa, dan sedang melakukan apa melalui update status di FB atau ngetwit di Twitter.
Media sosial juga telah berhasil "mendisiplinkan" para penggunanya, sehingga kita selalu
punya waktu untuk melapor tentang keberadaan dan aktivitas kita. Bahkan, lebih dari itu:
suasana hati. Ini merupakan fakta yang dalam pengandaian saya yang paling ekstrem
sekalipun, sebelumnya tidak pernah terlintas. Dari netizen-lah kita menjadi akrab dengan
lema atau entry "galau" yang merujuk pada suasana hati yang gundah.
Menurut saya, galau boleh-boleh saja selama bukan representasi situasi mental, melainkan
manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup. Dengan begitu, hal ini
bisa kita hikmati sebagai tanda awal bagi lahirnya manusia dengan "M" besar. Bukan galau
yang menjadi masalah, melainkan penyebab galau yang harus dibedah.

Bahkan, "pendisiplinan" itu juga berlangsung untuk hal-hal yang bersifat personal-fisik, yaitu
melalui foto diri (dan suasana) atau bersama-sama orang lain yang dilakukan sendiri lantas
mengunggahnya ke media sosial. Fenomena ini dikenal sebagai aktivitas selfie. Usaha
mematut-matut diri yang sebelumnya bersifat personal lantas disajikan sebagai domain
publik--dampak dari filsafat "apa kabar saya hari ini"--berpotensi besar membuat netizen
kehilangan konteks. Misalnya, dengan enteng selfie di lokasi bencana, selfie sambil
menambah laju mobil di jalan raya, atau selfie di tengah suasana upacara pemakaman
jenazah.
Akhirnya, sesuatu yang sebelumnya bersifat agung dan transenden menjadi profan dan
sekadar main-main saja. Selfie membuat suasana yang sebelumnya penuh kedalaman menjadi
lumer dan dangkal. Situasi darurat dan penuh kehati-hatian menjadi sah-sah saja untuk
berlalai ria. Kejadian besar dan luar biasa direduksi sebagai pengalaman personal yang
bersifat pen-daku-an. Pada titik ini, selfie yang kelewat intens dan kehilangan konteksnya
menjadi metode anti-kedalaman yang smooth.

Anda mungkin juga menyukai