Pendahuluan
Kebutuhan bahan bakar minyak bumi (BBM) di berbagai negara akhir-akhir ini mengalami peningkatan tajam.
Untuk mengantisipasi krisis bahan bakar minyak bumi(BBM) pada masa yang akan datang. Saat ini telah berkembang
pemanfaatan ethanol sebagai bahan bakar alternatif, contohnya pembuatan bioethanol untuk gasohol (campuran gasolin
dan alkohol).
Bioethanol adalah ethanol yang dihasilkan dari fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Selama
ini bioethanol diproduksi dari molase ataupun bahan berpati, seperti singkong atau jagung. Ethanol fuel grade memiliki
angka oktan 118 [1] . Angka tersebut melampaui nila imaksimal yang mungkin dicapai oleh bensin yang dijual sebagai
bahan bakar, yaitu 95. Makin tinggi angka oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga
menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya
yang lebih stabil akan mengurangi polusi emisi gas karbon monoksida. Emisi gas buang yang berasal dari penggunaan
bahan bakar fosil dapat dikurangi dengan menggunakan bioethanol sebagai campuran bahan bakar
Premium.Campuran bioethanol 10%, mampu menurunkan emisi karbon monoksida hingga 25-30% [2] .Hal ini
dilakukan karena selain mengurangi tingkat polusi, penggunaan bioethanol juga dapat menghemat bahan bakar fosil
yang jumlahnya terbatas, tidak dapat diperbaharui, dan tidak ramah lingkungan.
2.
Grade
Bahan bakar bioethanol, yang menjadi populer sebagai bahan bakar kendaraan negara-negara seperti Brazil,
Amerika Serikat atau Swedia sekitar tahun 1980-an. Sejak itu, produksi bioethanol meningkat di seluruh dunia,
misalnya dari 17,3 miliar liter pada tahun 2000 menjadi lebih dari 46 miliar liter pada tahun 2007, dan lebih dari 125
miliar liter diperkirakan akan diproduksi pada tahun 2020 [3].
Bioethanol dapat menjadi produk generasi pertama atau kedua tergantung pada bahan baku yang digunakan,
yang
berkisar dari fermentasi bahan baku seperti pati yang mengandung (misalnya jagung, gandum), yang mengandung gula
(misalnya bit dan tebu) selulosa yang mengandung (misalnya kayu) tanaman. Ketika digunakan sebagai bahan bakar
untuk transportasi, bioethanol umumnya dicampur dengan bensin dalam proporsi yang berbeda, dari 90% bensin dan
10% ethanol, disebut sebagai E10, untuk bensin 15% dan 85% ethanol (yaitu E85), dalam hal modifikasi tertentu perlu
diterapkan pada kendaraan. Saat itu adalah praktek umum untuk menambahkan sekitar 7-10% bioethanol untuk bensin
umum.
Saat ini, produsen biofuel terbesar di Asia adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Republik Rakyat
Cina dan India [4]. Dengan kata lain, negara-negara Asia Tenggara bersama dengan dua raksasa ekonomi, yaitu India
dan China adalah satu-satunya peserta dalam industri biofuel. Sementara, negara-negara Asia Tenggara berfokus pada
ekspor, India dan China menempatkan program biofuel mereka untuk bersaing dengan pertumbuhan ekonomi mereka
dan untuk mengurangi ketergantungan minyak bumi.
Brasil berhasil meningkatkan pemasaran bioethanol mereka dengan memperkenalkan kendaraan bahan bakar
fleksibel (FFV), yang memiliki mesin khusus untuk ethanol dan bensin. Pendekatan yang serupa dapat membawa
terobosan dalam komersialisasi biofuel dan produksi.
Tebu dan jagung merupakan bahan baku utama yang digunakan untuk produksi bioethanol karena secara
secara historic baik Brazil dan Amerika Serikat bergantung pada tanaman tersebut. Di Eropa, bioethanol diproduksi
secara komersial menggunakan sereal gandum (50%) dan barley (20%), dan gula bit (30%). Di Uni Eropa Produksi
bioethanol pada tahun 2005 melebihi 910 juta liter, atau naik 73% pada sebelumnya tahun. Pusat-pusat produksi berada
di Spanyol, Jerman, Swedia dan Perancis.
Pada produksi ethanol berbasis bahan baku gula , tanaman dihancurkan dan direndam untuk memisahkan
komponen gula. Ragi kemudian ditambahkan ke 'bubur' memfermentasi gula sehingga memproduksi alkohol dan
karbon dioksida. Fraksi cair kemudian disuling untuk menghasilkan ethanol dengan konsentrasi yang diperlukan.
Ethanol yang nantinya dicampur dengan bensin, air yang tersisa harus dihilangkan untuk menghasilkan 'ethanol
anhidrat'. Jika bahan baku adalah tebu, 'ampas tebu' (kayu serat yang terdiri dari selulosa dan lignin yang tersisa setelah
jus diekstraksi dari tebu) biasanya dibakar untuk memberikan energi proses.
Ethanol yang berbahan baku sereal, proses produksi pertama dimulai dengan memisahkan, membersihkan dan
penggilingan tanaman. Amilase enzim yang digunakan untuk mengubah pati menjadi gula difermentasi. Dari titik ini,
proses ini mirip dengan tanaman gula, meskipun bahan bakar fosil (biasanya gas alam ) cenderung digunakan untuk
proses panas. Proses grain-to-ethanol juga menghasilkan beberapa produk sampinga seperti pakan ternak kaya protein
(misalnya penyuling gabah kering larut, atau DDGS) dan dalam beberapa kasus untuk produk pemanis, tergantung pada
bahan baku dan proses yang digunakan. Pertumbahan tanaman energi untuk biofuel pasti menimbulkan masalah
penggunaan lahan mengenai potensi persaingan dengan produksi tanaman pangan dan pengalihan tanaman pangan untuk
keperluan industri.
Banyak studi telah berusaha untuk menilai kebutuhan lahan untuk tanaman bioethanol. Sementara bioethanol
dengan hasil bahan bakar per hektar tergantung pada tanaman yang digunakan, rata-rata Uni Eropa menghasilkan ratarata tertimbang (dengan tanaman Jenis) saat ini sekitar 2.790 liter per hektar (berdasarkan 7,0 tanaman metrik ton per
hektar dan 400 liter per metrik ton). Diperkirakan jika bioethanol menggantikan 5% penggunaan bensin Uni Eropa pada
2010, sekitar 5% dari total luas lahan pertanian Uni Eropa akan diperlukan untuk produksi biofuel.
Meskipun bioethanol dapat berhasil diproduksi dalam daerah beriklim sedang akan tetapi berbagai varietas
tanaman iklim tropis menghasilkan bioethanol dengan yield yang tinggi. Brazil, menghasilkan tebu sekitar 6200 liter
per hektar (berdasarkan 69 tanaman metrik ton per hektar dan 90 liter per metrik ton). Hasil bioethanol tebu di India
juga tinggi sekitar 5300 liter per hektar. Oleh karena itu ada argumen yang kuat atas dasar energi untuk mengimpor
beberapa bioethanol untuk memenuhi permintaan Eropa. Haruskah bioethanol tebu menjadi komoditas? Penelitian
menunjukkan bahwa Amerika Selatan, India, Asia Tenggara dan Afrika bisa menjadi eksportir utama. Pendekatan lain
adalah untuk meningkatkan jangkauan dan hasil bahan baku yang dapat digunakan untuk iklim produksi bioethanol.
Beberapa proses yang sedang dikembangkan yang dapat mengkonversi selulosa biomassa (selain gula dan pati) menjadi
bioethanol, dengan komponen lignin dari bahan tanaman yang digunakan untuk bahan bakar proses. Proses ini
melibatkan konversi selulosa untuk lima dan enam karbon gula (sakarifikasi) baik melalui proses fisik dan kimia
seperti hidrolisis asam, atau dengan menggunakan enzim biologis. Sistem canggih berusaha untuk menggabungkan
sakarifikasi dan fermentasi tahap dalam bejana reaksi tunggal dimana selulosa, enzim dan mikroba fermentasi
membentuk
'komunitas mikroba' tunggal. Calon bahan baku tanaman untuk enzimatik hidrolisis bioprocessing yaitu pohon poplar
dan switchgrass yang dapat tumbuh dengan cepat.
3.
4.
Gambar 1. Perbandingan emisi gas rumah kaca bioethanol dengan BBM konvensional pada mobil berpenumpang [ 5 ]
5.
Kebijakan dan standar biofuel di seluruh
dunia
Berbagai negara telah memberlakukan beberapa kebijakan biofuel baik bioethanol maupun biodiesel
untuk skala berskala nasional maupun domestik. Kebijakan tersebut meliputi target dan standarisasi biofuel.
Indonesia: Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan nasional pertama pada biofuel pada tahun 2006 dengan
menetapkan target menggantikan 10% bahan bakar transportasi melalui biofuel pada tahun 2010. Perusahaan minyak
nasional Pertamina telah mulai menjual biodiesel B5 memadukan komersial tetapi telah menderita kerugian keuangan
yang serius karena harga bahan baku tinggi biofuel. Agar mengkompensasi kerugian, rasio campuran diturunkan
menjadi 1% sekarang. Fenomena ini telah mengakibatka pemerintah Indonesia mematok target target 2,5% diesel
eksisi dengan biodiesel dan 3% bensin oleh ethanol pada tahun 2010 [4].
Republik Rakyat China: Pemerintah China membuat kebijakan E10 blend mandatory di lima provinsi yang
menyumbang 16% dari seluruh mobil penumpang di
China.
India: Pemerintah India melalui program bioethanol yang telah menyerukan E5 di sebagian besar negara dan
menargetkan untuk meningkatkan persyaratan ini untuk E10 dan kemudian ke E20. Target 5% bioethanol penggabungan
ke bahan bakar transportasi ditetapkan oleh program ethanol dari gula. Tidak ada bantuan keuangan langsung atau pajak
insentif yang diberikan untuk produksi atau pemasaran ethanol atau ethanol yang di campur bensin. Sebagai gantinya
dukungan keuangan diberikan untuk penelitian dan pengembangan dalam produksi ethanol yang dilakukan oleh
pemerintah dan organisasi swasta.
Tabel 1. Sebuah ringkasan pendek dari target biofuel resmi di seluruh dunia [6, 7, 8]
Country
Official Biofuel Targets
Brazil
40% rise in ethanol production, 2005-2010; Mandatory
blend of 2025 % anhydrous ethanol with petrol; minimum
blending of 3 % biodiesel to diesel by July 2008 and 5 %
(B5) by end of 2010
Canada
5% renewable content in petrol by 2010 and 2 % renewable
content in diesel fuel by 2012
European Union
10% in 2020 (biofuels); target set by European Commission
in January, 2008
UK
5% by 2020 (biofuels, by energy content)
India
Indonesia
Japan
Malaysia
Philippines
Thailand
6.
Blending mandate
Economic measures
Ethanol: trial period of 10% blending Ethanol: incentives, subsidies and tax
mandates in some regions
exemption for production
Diesel: tax exemption for biodiesel from
animal fat or vegetable oil
Ethanol: blending 5% in gasoline in
Ethanol: excise duty concession
designated states in 2008, to
Ethanol and diesel: set minimum support
increase to 20% by 2017
prices for purchase by marketing
companies
Diesel: blending is not mandatory
Diesel: subsidies (at the same level as
but is a plan to increase biodiesel
there
fossil fuels)
blend to 10% in 2010
No blending mandate upper limits
for
blending
are 3% for ethanol and 5%
for
biodiesel
Diesel: blending of 5% palm oil in
diese
Ethanol: 5% by 2008; 10% by 2010
Diesel: 1% coconut blend; 2% by
2009
Ethanol: 1020% by 2008 (Gasohol
95)
Diesel: 5% (B5) mix in 2007 and
10%
(B10) by 2011
Kesimpulan
Penggunaan bahan bakar berbasis ethanol telah banyak digunakan di skala global. Perkembangan secara
signifikan dalam penggunaan bahan bakar ethanol fuel grade terjadi di negara Brazil dan negara negara di Uni Eropa.
Brazil dengan produksi bioethanol dari bahan baku tebu telah menghasilkan 6200 liter ethanol per hektar , sedangkan Uni
Eropa menghasilkan rata rata 2700 liter ethanol per hektar. Dalam penggunaan sebagai campuran bensin bioethanol fuel
grade menggunakan prosentase yang berbeda beda . Untuk mesin konvensional biasanya prosentase campuran bioetahanol
yaitu berkisar 7-10 % , sedangkan untuk mesin mesin termodifikasi (FFVS ) bisa digunakan prosentase bio ethanol yang
lebih tinggi yaitu berkisar antara 20-80 % bioethanol. Terkait dengan isu lingkungan (pemanasan global ) penggunaan
bahan bakar bioethanol minerupakan jawaban nyata dari permintaan akan bahan bakar yang ramah lingkungan.
Berdasarkan penelitian penggunaan bahan bakar ethanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 20%-100%.
Referensi
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Prihandana, Rama, dkk., 2008. Bioethanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan .Jakarta. Agromedia Pustaka
Wahd, La Ode M.,2005. Pemanfaatan Bio-Ethanol Sebagai Bahan Bakar Kendaraan Berbahan Bakar
Premium. Prospek Pengembangan Bio -Fuel Sebagai Substitusi Bahan bakar minyak p 63-67
Balat M, Balat H., 2009 Recent trends in global production and utilization of bio-ethanol fuel. Appl. Energ.;
86:2273-2282
Zhou, A.,Thomson, E., 2009.The development of biofuels in Asia, Applied Energy 86, Supplement 1, p. S11S20
Concawe., 2005 The Potential of Biofuels for Energy and GHG Savings in Road transport. Article No.2 /14
Jayed, M.H., et al., 2011.Prospects of dedicated biodiesel engine vehicles in Malaysia and Indonesia,
Renewable and Sustainable Energy Reviews 15, p. 220-235.
Lpez, J.M., Gmez, ., Aparicio, F.,Javier Snchez, F., 2009.Comparison of GHG emissions from diesel,
biodiesel and natural gas refuse trucks
of the City of Madrid, Applied Energy 86, p. 610-615
Lopez, G.P.,Laan, T., 2008.Biofuelsat what cost? Government support for biodiesel in Malaysia. Prepared
for the Global Subsidies Initiative (GSI) of the International Institute for Sustainable Development (IISD).
Geneva, Switzerland.
Silitonga, A.S., et al., 2011.A review on prospect of Jatropha curcas for biodiesel in Indonesia, Renewable and
Sustainable Energy Reviews 15, p.3733-3756.
Mofijur, M., et al., 2012.Prospects of biodiesel from Jatropha in Malaysia, Renewable and Sustainable Energy
Reviews 16, p. 5007-5020.
Yan, J.,Lin, T., 2009.Biofuels in Asia, Applied Energy 86, Supplement 1, p. S1-S10.