Azelastine
Brompheniramine
Buclizine
Bromodiphenhydramine
Carbinoxamine
Cetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)
Cyclizine
Chlorpheniramine
Chlorodiphenhydramine
Clemastine
Cyproheptadine
Desloratadine
Dexbrompheniramine
Deschlorpheniramine
Dexchlorpheniramine
Phenindamine
Pheniramine
Phenyltoloxamine
Promethazine
Pyrilamine
Quetiapine (antipsychotic)
Rupatadine
Tripelennamine
Triprolidine
H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan
untuk mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk
tukak lambung dan penyakit gastroesophageal reflux.
Cimetidine
Famotidine
Lafutidine
Nizatidine
Ranitidine
Roxatidine
Experimental: H3- and H4-receptor antagonists
Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis,
meskipun sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki
stimulan dan efek nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti
ADHD, penyakit Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya
memiliki peran imunomodulator dan sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan
analgesik .
H3-receptor antagonists
A-349,821
ABT-239
Ciproxifan
Clobenpropit
Conessine
Thioperamide
H4-receptor antagonists
Thioperamide
JNJ 7777120
VUF-6002
Lainnya
tritoqualine
catechin
Mast cell stabilizers
Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan
pelepasan mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin,
tetapi memiliki indikasi serupa.
Cromoglicate (cromolyn)
Nedocromil
Feniramin : Avil (Hoechst) Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek
meredakan batuk yang cukup baik, maka digunakan pula dalam obat-obat batuk.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard;
i.v. 1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.
Tripolidin : Pro-Actidil Derivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak
kuat, mulai kerjanya pesat dan bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard).
Dosis: oral 1 x sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
DERIVAT PIPERAZIN Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin,
melainkan piperazin. Pada umumnya bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.
Siklizin : Marzine Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya.
Terutama digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Namun
demikian obat-obat ini sebaiknya jangan diberikan pada wanita hamil pada
trimester pertama.
Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan
efek sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat
metabolisme utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin
dalam bentuk yang tidak berubah.
Penggunaan klinis
Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk
reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas
farmakologinya. Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan
bersifat individual. Pada seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan
dengan satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas
yang berbeda.
Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik
reaksinya terhadap antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman
mengalami pengurangan gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil
yang terbaik didapat bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun
pada rinitis vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya
dapat mengurangi gejala pilek.
Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal.
Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah
yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau
AH1 nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan
kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau
perlu ditambah simpatomimetik.
Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam
dosis besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat
terjadi. Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus
dan bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen
berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa
histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon
yang membentuk histamin dari histidin.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1
lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin
merupakan preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan
beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang
lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping
yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang
dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi
pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya kecelakaan.
Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi
efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan
sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah,
insomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek
samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi
akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga
pernah dilaporkan terjadi.
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasienpasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non
sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan
ini sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak,
keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha
bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1
merupakan efek yang berbahaya.
PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadangkadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di
muka dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih
besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin
mencapai kulit misal pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau
terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang peran utama pada
proses peradangan dan pada sistem imun.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos.
AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin
endogen berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin endogen
bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk,
berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang
memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan
kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai
kendaraan.
Jadi sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat
tersebut. CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.
Indikasi
Kondisi alergi Bersin, gatal, mata berair, hidung atau tenggorokan gatal, dan pilek yang
disebabkan oleh hay fever (rinitis alergi), atau alergi pernapasan lainnya.
Syok anafilaktik
Kontraindikasi :
tubuh
termasuk
mengontrol
respon inflamasi.
hepar dan khasiat anti-inflamasinyanyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang
merupakan
glukokortikoid
alam.
Terdapat
juga
glukokortikoid
sintetik,
misalnya
karbon
pada
C17(pregnan,
21
atom
karbon)
Group I
Sangat poten dan kuat potensinya 600 kali lebihkuat dibandingkan hydrocortisone
Group II
Group III
Group IV
Group V
Group VI
Group VII
Kelas terlemah dari steroid topikal. Memiliki permeabilitas lipid yang lemah, dan tidak dapat
menembus membran mukosa baik.