Anda di halaman 1dari 16

Daftar Lengkap Obat Anti Alergi Antihistamin dan Efek Sampingnya

Posted on Agustus 6, 2013by GrowUp Clinic


Daftar Lengkap Obat Anti Alergi Antihistamin dan Efek Sampingnya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan
menghindari penyebab.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin
(penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu tipe
antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada
tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor
histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-blockers atau
antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat
penghambat-asam)
Berbagai Jenis Antihistamin
H1-receptor antagonists
Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga
dikenal sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis
adalah benar-benar berlawanan dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1
antagonis digunakan untuk mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang
umum, dan antagonis H1 tertentu, seperti diphenhydramine dan Doksilamin, juga
digunakan untuk mengobati insomnia. Namun, antihistamin generasi kedua ini tidak
melewati penghalang darah-otak, dan dengan demikian tidak menyebabkan kantuk.

Azelastine
Brompheniramine
Buclizine
Bromodiphenhydramine
Carbinoxamine
Cetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)
Cyclizine
Chlorpheniramine
Chlorodiphenhydramine
Clemastine
Cyproheptadine
Desloratadine
Dexbrompheniramine
Deschlorpheniramine
Dexchlorpheniramine

Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)


Dimetindene
Diphenhydramine (Benadryl)
Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)
Ebastine
Embramine
Fexofenadine
Levocetirizine
Loratadine
Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)
Olopatadine
Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama sebagai relaksan
otot rangka dan anti-Parkinson)

Phenindamine

Pheniramine

Phenyltoloxamine

Promethazine

Pyrilamine

Quetiapine (antipsychotic)

Rupatadine

Tripelennamine

Triprolidine
H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan
untuk mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk
tukak lambung dan penyakit gastroesophageal reflux.

Cimetidine

Famotidine

Lafutidine

Nizatidine

Ranitidine

Roxatidine
Experimental: H3- and H4-receptor antagonists
Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis,
meskipun sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki
stimulan dan efek nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti
ADHD, penyakit Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya
memiliki peran imunomodulator dan sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan
analgesik .

H3-receptor antagonists

A-349,821

ABT-239

Ciproxifan

Clobenpropit

Conessine

Thioperamide
H4-receptor antagonists

Thioperamide

JNJ 7777120

VUF-6002
Lainnya

Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas enzimatik


dekarboksilase histidin:

tritoqualine

catechin
Mast cell stabilizers
Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan
pelepasan mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin,
tetapi memiliki indikasi serupa.

Cromoglicate (cromolyn)

Nedocromil

Beta 2 (2) adrenergic agonists


DERIVAT ETANOLAMIN

Difenhidramin : Benadryl Di samping daya antikolinergik dan sedative yang


kuat, antihistamin ini juga bersifat spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusingpusing). Berguna sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson, juga digunakan
sebagai obat anti-gatal pada urticaria akibat alergi (komb. Caladryl, P.D.) Dosis: oral
4 x sehari 25-50mg, i.v. 10-50mg.

Metildifenhidramin = orfenadrin (Disipal, G.B.) Dengan efek


antikolinergik dan sedative ringan, lebih disukai sebagai obat tambahan Parkinson
dan terhadap gejala-gejala ekstrapiramidal pada terapi dengan neuroleptika. Dosis:
oral 3 x sehari 50mg.

Metildifenhidramin (Neo-Benodin) Lebih kuat sedikit dari zat induknya.


Digunakan pada keadaan-keadaan alergi pula. Dosis: 3 x sehari 20-40mg

Dimenhidrinat (Dramamine, Searle) Adalah senyawa klorteofilinat dari


difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk perjalanan dan muntah-muntah
sewaktu hamil. Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg

Klorfenoksamin (Systral, Astra) Adalah derivate klor dan metal, yang


antara lain digunakan sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson. Dosis: oral
2-3 x sehari 20-40mg (klorida), dalam krem 1,5%.

Karbinoksamin : (Polistin, Pharbil) Adalah derivat piridil dan klor yang


digunakan pada hay fever. Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat, bentuk,dll).

Kiemastin: Tavegyl (Sandos) Memiliki struktur yang mirip klorfenoksamin,


tetapi dengan substituent siklik (pirolidin). Daya antihistaminiknya amat kuat,
mulai kerjanya pesat, dalam beberapa menit dan bertahan lebih dari 10 jam. Antara
lain mengurangi permeabilitas dari kapiler dan efektif guna melawan pruritus alergis
(gatal-gatal). Dosis: oral 2 x sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x 2mg.
DERIVAT ETILENDIAMIN Obat-obat dari kelompok ini umumnya memiliki data
sedative yang lebih ringan.

Antazolin : fenazolin, antistin (Ciba) Daya antihistaminiknya kurang kuat,


tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka layak digunakan untuk mengobati
gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) sebagai preparat kombinasi
dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba). Dosis: oral 2-4 x sehari 50-100mg (sulfat).

Tripelenamin (Tripel, Corsa-Azaron, Organon) kini hanya digunakan


sebagai krem 2% pada gatal-gatal akibat reaksi alergi (terbakar sinar matahari,
sengatan serangga, dan lain-lain).

Mepirin (Piranisamin) Adalah derivate metoksi dari tripelenamin yang


digunakan dalam kombinasi dengan feniramin dan fenilpropanolamin (Triaminic,
Wander) pada hay fever. Dosis: 2-3 x sehari 25mg.

Klemizol ( Allercur, Schering) Adalah derivate klor yang kini hanya


digunakan dalam preparat kombinasi anti-selesma (Apracur, Schering) atau dalam
salep/suppositoria anti wasir (Scheriproct, Ultraproct, Schering).
DERIVAT PROPILAMIN Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin
kuat.

Feniramin : Avil (Hoechst) Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek
meredakan batuk yang cukup baik, maka digunakan pula dalam obat-obat batuk.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard;
i.v. 1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.

Klorfenamin (Klorfeniramin. Dl-, Methyrit, SKF) Adalah derivate klor


dengan daya 10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya praktis tidak
berubah. Efek-efek sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga digunakan
dalam obat batuk. Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali lebih kuat
daripada bentuk dl (rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin, Schering). Dosis: 34 x sehari 3-4mg (dl, maleat) atau 3-4 x sehari 2mg (bentuk-d).

Bromfeniramin (komb.Ilvico, Merck) Adalah derivate brom yang sama


kuatnya dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro juga aktif dan isomer-levo
tidak. Juga digunakan sebagai obat batuk. Dosis: 3-4 x sehari 3mg (maleat).

Tripolidin : Pro-Actidil Derivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak
kuat, mulai kerjanya pesat dan bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard).
Dosis: oral 1 x sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
DERIVAT PIPERAZIN Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin,
melainkan piperazin. Pada umumnya bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.

Siklizin : Marzine Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya.
Terutama digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Namun
demikian obat-obat ini sebaiknya jangan diberikan pada wanita hamil pada
trimester pertama.

Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal) adalah derivat metilfenii


dengan efek lebih panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah 1-2 jam. Khusus
digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Dosis: oral 3 x sehari
12,5-25mg.

Buklizin (longifene, Syntex) Adalah derivate siklik dari klorsiklizin dengan


long-acting dan mungkin efek antiserotonin. Disamping anti-emetik,juga digunakan
sebagai obat anti pruritus dan untuk menstimulasi nafsu makan. Dosis: oral 1-2 x
sehari 25-50mg.

Homoklorsiklizin (homoclomin, eisai) Berdaya antiserotonin dan


dianjurkan pada pruritus yang bersifat alergi. Dosis: oral 1-3 x sehari 10mg.

Sinarizin : Sturegon (J&J), Cinnipirine(KF) Derivat cinnamyl dari siklizin


ini disamping kerja antihistaminnya juga berdaya vasodilatasi perifer. Sifat ini
berkaitan dengan efek relaksasinya terhadap arteriol-arteriol perifer dan di otak
(betis,kaki-tangan) yang disebabkan oleh penghambatan masuknya ion-Ca kedalam
sel otot polos. Mulai kerjanya agak cepat dan bertahan 6-8 jam, efek sedatifnya
ringan. Banyak digunakan sebagai obat pusing-pusing dan kuping berdengung
(vertigo, tinnitus). Dosis: oral 2-3 x sehari 25-50mg.

Flunarizin (Sibelium, Jansen) Adalah derivat difluor dengan daya


antihistamin lemah. Sebagai antagonis-kalsium daya vasorelaksasinya kuat.
Digunakan pula pada vertigo dan sebagai pencegah migran.
DERIVAT FENOTIAZIN Senyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya
antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat dan seringkali berdaya sentral
kuat dengan efek neuroleptik.

Prometazin: (Phenergan (R.P.)) Antihistamin tertua ini (1949) digunakan


pada reaksi-reaksi alergi akibat serangga dan tumbuh-tumbuhan, sebagai antiemetik untuk mencegah mual dan mabuk jalan. Selain itu juga pada pusing-pusing
(vertigo) dan sebagai sedativum pada batuk-batuk dan sukar tidur, terutama pada
anak-anak. Efek samping yang umum adalah kadang-kadang dapat terjadi
hipotensi,hipotermia(suhu badan rendah), dan efek-efek darah (leucopenia,
agranulocytosis) Dosis: oral 3 x sehari 25-50mg sebaiknya dimulai pada malam hari;
i.m. 50mg.

Tiazinamium (Multergan, R.P.) Adalah derivat N-metil dengan efek


antikolinergik kuat, dahulu sering digunakan pada terapi pemeliharaan terhadap
asma.

Oksomemazin (Doxergan, R.P.) Adalah derivat di-oksi (pada atom-S)


dengan kerja dan penggunaan sama dengan prometazin, antara lain dalam obat
batuk. Dosis: oral 2-3 x sehari 10mg.

Alimemazin (Nedeltran) Adalah analog etil denagn efek antiserotonin dan


daya neuroleptik cukup baik. Digunakan sebagai obat untuk menidurkan anak-anak,
adakalanya juga pada psikosis ringan. Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.

Fonazin (Dimetiotiazin) Adalah derivat sulfonamida dengan efek


antiserotonin kuat yang dianjurkan pada terapi interval migraine. Dosis: oral 3-4 x
sehari 10mg. b.Isotipendil: Andantol (Homburg) Derivat aso-fenotiazin ini kerjanya
pendek dari prometazin dengan efek sedatif lebih ringan. Dosis: ora; 3-4 x sehari 48mg, i.m. atau i.v. 10mg.

Mequitazin (Mircol, ACP) Adalah derivat prometazin dengan rantai sisi


heterosiklik yang mulai kerjanya cepat, efek-efek neurologinya lebih ringan.
Digunakan pada hay fever, urticaria dan reaksi-reaksi alergi lainnya. Dosis: oral 2 x
sehari 5mg.

Meltidazin (Ticaryl, M.J.) Adalah derivat heterosiklik pula (pirolidin) dengan


efek antiserotonin kuat. Terutama dianjurkan pada urticaria. Dosis: oral 2 x sehari
8mg.
Obat Lain Dengan Khasiat Mirip Antihistamin
Banyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas
antihistaminergicyang tidak diinginkan

Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I),


dan AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.
Etilendiamin Antazolin, tripelanamin, pirilamin.
Etanolamin Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.
Alkilamin Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
Piperazin Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
Piperidin Siproheptadin.
Fenotiasin Prometasin.
Lain-Lain Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin,
mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.

Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin,


astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.
Farmakokinetik

Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan
efek sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat
metabolisme utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin
dalam bentuk yang tidak berubah.
Penggunaan klinis
Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk
reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas
farmakologinya. Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan
bersifat individual. Pada seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan

dengan satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas
yang berbeda.
Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik
reaksinya terhadap antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman
mengalami pengurangan gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil
yang terbaik didapat bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun
pada rinitis vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya
dapat mengurangi gejala pilek.

Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal.
Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah
yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau
AH1 nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan
kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau
perlu ditambah simpatomimetik.

Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan


setelah epinefrin. Preparat yang banyak dipakai adalah difenhidramin. Pada serum
sickness antihistamin berfungsi untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek
yang kecil terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama penyakitnya. Pada
dermatitis kontak dan erupsi obat fikstum, antihistamin oral dapat mengurangi rasa
gatal. Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan
sensititasi. Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi
alergi obat dan reaksi akibat transfusi.
Efek samping

Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman


pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).

Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam
dosis besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat
terjadi. Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.

Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat


menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.

Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan


urtikaria, eksim dan petekie.
Chlorpheniramin maleat

Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM


merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan
rasa kantuk). Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat
tidur dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun
campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa
kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna dapat beristirahat. CTM memiliki
indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas
relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga

dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Menurut Dinamika


Obat (ITB,1991), CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu
mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan
demikian mampu meniadakan kerja histamin.

Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi


pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus),
kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit
misal pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat
pelebaran kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan
pada kapiler. Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada
sistem imun.

CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus
dan bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen
berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa
histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon
yang membentuk histamin dari histidin.

Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat


dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang
lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat
namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan
kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung
CTM dilarang mengendarai kendaraan.

Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek


samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin
yang menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.
Mekanisme kerja

Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu


reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai
kemampuan yang sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama
adalah berkenaan dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai
pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan.

Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1
lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin
merupakan preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.

Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan
beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang
lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
EFEK SAMPING

Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping
yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang
dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi
pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya kecelakaan.
Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi
efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan
sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah,
insomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek
samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi
akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga
pernah dilaporkan terjadi.
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasienpasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non
sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan
ini sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak,
keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha
bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1
merupakan efek yang berbahaya.
PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadangkadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di
muka dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.

PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara simtomatik dan


suportif karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam
yang ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan
yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal
napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan
analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi,
maka diberikan thiopental atau diazepam.
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1
harus diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai
campuran pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat
aditif dengan alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.

Anti Alergi Klasik CTM Chlorpheniramin Maleat, Indikasi dan


Penggunaannya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik. Pemberian obat
jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari penyebab.
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak
dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin
terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain
yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu
dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak
antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan
keuntungan. Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM
merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative atau menimbulkan rasa
kantuk. Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur
dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran
dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang
ditimbulkan sehingga pengguna dapat beristirahat.
CTM mengandung chlorpheniramine maleate. Chlorpheniramine maleate termasuk dalam kategori agen antialergi,
yaitu histamin (H1-receptor antagonist). Chlorpheniramine maleate memiliki nama kimia 2-Pyridinepropanamine, b-(4chlorophenyl)-N,N-dimethyl.
Obat ini biasa digunakan untuk meredakan bersin, gatal, mata berair, hidung atau tenggorokan gatal, dan pilek yang
disebabkan oleh hay fever (rinitis alergi), atau alergi pernapasan lainnya.
Penelitian pada hewan pada obat ini tidak menunjukkan risiko pada janin tetapi tidak ada studi terkontrol pada wanita
hamil. Penelitian pada hewan telah menunjukkan efek samping (selain penurunan fertilitas) yang tidak dikonfirmasi
dalam studi terkontrol pada wanita dalam 1 trimester, serta tidak ada bukti risiko pada trimester berikutnya.
Obat golongan ini memiliki efek penenang yang relatif lemah dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama.
Chlorphenamine sering dikombinasikan dengan fenilpropanolamin untuk membentuk suatu obat alergi dengan
antihistamin dan dekongestan. Antihistamin sangat membantu dalam kasus di mana alergi merupakan penyebab
batuk atau pilek.
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif rendah.
Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam
tubuh manusia. Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang
mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan demikian mampu
meniadakan kerja histamin.

Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih
besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin
mencapai kulit misal pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau
terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang peran utama pada
proses peradangan dan pada sistem imun.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos.
AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin
endogen berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin endogen
bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk,
berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang
memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan
kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai
kendaraan.
Jadi sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat
tersebut. CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.

Indikasi

Kondisi alergi Bersin, gatal, mata berair, hidung atau tenggorokan gatal, dan pilek yang
disebabkan oleh hay fever (rinitis alergi), atau alergi pernapasan lainnya.

Syok anafilaktik

Kontraindikasi :

Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap obat antihistamin

JUNI 4, 2012 BY INDONESIA MEDICINE

Kortikosteroid Topikal, Jenis Penggolongan dan


Efek Sampingnya
Kortikosteroid Topikal, Jenis Penggolongan dan Efek Sampingnya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik. Pemberian obat
jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari penyebab.
Kortikosteroid topikal masih memegang peran besar dalam inflamasi kulit. Steroid topikal
adalah bentuk topikal kortikosteroid. Steroid topikal adalah obat topikal yang paling sering
diresepkan untuk pengobatan ruam, eksim dermatitis, dan. Steroid topikal memiliki sifat
anti-inflamasi, dan diklasifikasikan berdasarkan kemampuan vasokonstriksi. Ada banyak
produk steroid topikal. Semua persiapan di kelas masing-masing memiliki sifat antiinflamasi yang sama, tetapi dasarnya berbeda dalam dasar dan harga. Namun ada
kekhawatiran yang cukup besar, terkait efek samping. Dua yang terbesar adalah penipisan
kulit dan efek sisitemik yaitu supresi HPA-axis dan sindrom Cushing.
Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi
volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Berbagai jenis kortikosteroid
sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan
meningkatkan aktivitas antiinflamasinya,misalnya deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi
30 kali lebih kuat dan efek retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol.
Kortikosteroid merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Hormon ini

memainkan peran penting pada

tubuh

termasuk

mengontrol

respon inflamasi.

Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama yaituglukokortikoid dan mineralokortikoid.


Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroidyang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen

hepar dan khasiat anti-inflamasinyanyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang
merupakan

glukokortikoid

alam.

Terdapat

juga

glukokortikoid

sintetik,

misalnya

prednisolon,triamsinolon, dan betametason.


Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yangefek utamanya terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip dari
golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat antiinflamasiyang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak pernah
digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air danelektrolit terlalu
besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada tempat tertentu.
Merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan menyediakan banyak
pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit, melicinkan,
ataumendinginkan area yang dirawat
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun siklopentanoperhidrofenantren 17karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A D. Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar
akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan
dapatditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17.
Semua steroid termasuk glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestroldengan 3
cincin heksana dan 1 cincin pentana. Hormon steroid adrenal disintesis darikolestrol yang terutama
berasal dari plasma. Korteks adrenal mengubah asetat menjadikolestrol, yang kemudian dengan
bantuan enzim diubah lebih lanjut menjadikortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah
dengan 19 atom karbon.Hormon steroid pada prekursor serta metabolitnya memperlihatkan
perbedaan pada jumlah dan jenis gugus yang tersubstitusi, jumlah serta lokasi ikatan rangkapnya, dan
pada konfigurasi stereo kimiawinya. Tatanama yang tepat untuk menyatakan formulasi kimiawi ini
sudah disusun. Atom karbon yang asimetris (pada molekul C21)memungkinkan terjadinya stereo
isomerisme. Gugus metil bersudut (C19 dan C18) pada posisi 10 dan 13 berada di depan sistem cincin
dan berfungsi sebagai titik acuan.
Substitusi nukleus dalam bidang yang sama dengan bidang gugus ini diberi simbol cisatau .
Substitusi yang berada di belakang bidang sistem cincin diberi simbol trans atau. Ikatan rangkap
dinyatakan oleh jumlah atom karbon yang mendahului. Hormonsteroid diberi nama menurut keadaan
hormon apakah hormon tersebut mempunyai satu gugus metil bersudut (estran, 18 atom karbon), dua
gugus metil bersudut (androstan, 19atom karbon) atau dua gugus bersudut plus 2 rantai samping

karbon

pada

C17(pregnan,

21

atom

karbon)

Penggolongan menurut USA system


The USA system menggunakan 7 kelas, yang diklasifikasikan oleh kemampuan mereka untuk
menyempitkan kapiler. Kelas I adalah yang terkuat atau superpotent. Kelas VII adalah yang paling
lemah dan paling ringan.

Group I
Sangat poten dan kuat potensinya 600 kali lebihkuat dibandingkan hydrocortisone

Clobetasol propionate 0.05% (Dermovate)


Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprolene)
Halobetasol proprionate 0.05% (Ultravate, Halox)
Diflorasone diacetate 0.05% (Psorcon)

Group II

Fluocinonide 0.05% (Lidex)


Halcinonide 0.05% (Halog)
Amcinonide 0.05% (Cyclocort)
Desoximetasone 0.25% (Topicort)

Group III

Triamcinolone acetonide 0.5% (Kenalog, Aristocort cream)


Mometasone furoate 0.1% (Elocon ointment)
Fluticasone propionate 0.005% (Cutivate)
Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprosone)

Group IV

Fluocinolone acetonide 0.01-0.2% (Synalar, Synemol, Fluonid)


Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort)
Hydrocortisone butyrate 0.1% (Locoid)
Flurandrenolide 0.05% (Cordran)
Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort A ointment)
Mometasone furoate 0.1% (Elocon cream, lotion)

Group V

Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort,kenacort-a vail, cream, lotion)


Fluticasone propionate 0.05% (Cutivate cream)
Desonide 0.05% (Tridesilon, DesOwen ointment)
Fluocinolone acetonide 0.025% (Synalar, Synemol cream)
Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort cream)

Group VI

Alclometasone dipropionate 0.05% (Aclovate cream, ointment)


Triamcinolone acetonide 0.025% (Aristocort A cream, Kenalog lotion)
Fluocinolone acetonide 0.01% (Capex shampoo, Dermasmooth)
Desonide 0.05% (DesOwen cream, lotion)

Group VII
Kelas terlemah dari steroid topikal. Memiliki permeabilitas lipid yang lemah, dan tidak dapat
menembus membran mukosa baik.

Hydrocortisone 2.5% (Hytone cream, lotion, ointment)


Hydrocortisone 1% (Many over-the-counter brands)

Anda mungkin juga menyukai