Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT SESSION (CRS)

TONSILITIS
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)
SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Disusun oleh:
Prasetya Hadi Nugraha
Imam Santoso
Feby Aryadi

Preseptor:
Tety H. Rahim, dr., SpTHT-KL, MKes, MHKes

SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA


LEHER
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2014

Identitas Pasien
Nama

: An. R

Usia

: 12 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Kosambi

Pekerjaan

: Pelajar

Status

: Belum menikah

Agama

: Islam

Tgl pemeriksaan

:19 Agustus 2014

Nama Orang tua

: Ny. Y

Umur

: 43 tahun

Alamat
Pekerjaan

: Kosambi
: wiraswasta

Keluhan Utama:
Sakit tenggorok
Anamnesa
Pasien datang ke rumah sakit diantar oleh ibunya dengan keluhan sakit
tenggorok sejak 2 hari SMRS. Keluhan sakit tenggorok dirasakan terus menerus dan
semakin hari terasa semakin parah. Sakit tenggorok dirasakan lebih parah pada
saat pasien menelan makanan. Keluhan ini dirasakan sampai mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari.
Keluhan sakit tenggorok disertai dengan demam, lemas badan dan
penurunan nafsu makan.
Pasien tidak mengeluhkan adanya bersin-bersin, hidung berair terutama saat
cuaca dingin atau saat terkena debu. Pasien tidak mengeluhkan sakit di bagian
wajah, rasa penuh di wajah, hidung tersumbat, sakit saat membuka rahang maupun
sakit di bagian telinga.

Sebelumnya keluhan pasien ini belum pernah diobati.


Pasien memiliki kebiasaan minum air dingin dan makan cemilan yang gurih.
Pasien tidak memiliki riwayat keluhan mengi-mengi terutama setiap cuaca
dingin atau terkena debu, sesak nafas ketika beraktifitas sehari hari, batuk batuk
lebih dari 3 minggu, atau keluhan yang sama sebelumnya.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien, riwayat mengi mengi disertai sesak nafas saat cuaca dingin atau terpapar
debu.

Status Generalis
Keadaan Umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Composmentis, kooperatif

Tanda Vital

TD :120/80 mmHg
N :80 x/menit
R
S

:24 x/menit
:38,1 C

BB: 46 kg
TB: 150 cm
BMI: 20,4 (Gizi: baik)

Head to toe:

Kepala

: Konjungtiva anemis (-/-)


Sklera ikterik (-/-)

Leher

: Pembesaran KGB (+) submandibula

Dada

: Bentuk dan gerak simestris


Pulmo: Sonor, VBS Kiri=kanan,

(-/-)
Cor

Abdomen

: Bunyi jantung murni, reguler

: Datar, lembut
NT(-) BU (+)

Ekstremitas : atas: Edema (-/-)


bawah: Edema (-/-)

Rhochi (-/-), Wheezing

Status lokalis telinga:


Bagian

Kelainan

AD

AS

Preaurikula

Kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Tumor

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Tumor

Tidak ada

Tidak ada

Trauma

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Hiperemis

Tidak ada

Tidak ada

Nyeri tekan

Tidak ada

Tidak ada

Radang

Tidak ada

Tidak ada

Tumor

Tidak ada

Tidak ada

Sikatriks

Tidak ada

Tidak ada

Aurikula

Retroaurikula

CAE

Membrana
Timpani

Kongenital

Tidak ada

Tidak ada

Kulit

Tenang

Tenang

Sekret

Tidak ada

Tidak ada

Serumen

+, normal

+, normal

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Jaringan granulasi

Tidak ada

Tidak ada

Massa

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Normal

Normal

Intak

Intak

Intak

Refleks cahaya

+, normal

+, normal

Status lokalis rongga mulut

Bagian

Kelainan

Keterangan

Mulut

Mukosa mulut

Tenang

Lidah

Bersih, basah, gerakan normal ke segala a

Palatum molle

Tenang, simetris

Gigi geligi

Caries (+)

Uvula

Simetris

Halitosis

(-)

Mukosa

Kanan : hiperemis, kiri : hiperemis

Besar

T2 T2

Tonsil

Tidak melebar/tidak melebar


Kripta

+/+ berbentuk folikular

Detritus
Faring

Mukosa

Normal

Post nasal drip

(-)

Status lokalis hidung:


Pemeriksaan
Keadaan

Nasal
Dextra

Sinistra

Bentuk & ukuran

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Mukosa

normal

normal

Sekret

Ada

Ada

Concha

normal

normal

Septum

Tidak deviasi

Tidak deviasi

Polip/tumor

Tidak ada

Tidak ada

Pasase udara

Baik

baik

Mukosa

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Luar

Rhinoskopi
Anterior

Rhinoskopi
Posterior

Koana
Sekret
Polip

Maxillofacial
Bentuk

: simetris

Nyeri tekan (-) pada sinus maksilaris sinistra


Leher
KGB: (+) submandibula
Pembesaran thyroid: ()
Massa: (-)
Sinus paranasal
Inspeksi:

Pada inspeksi sinus frontalis tidak membengkak

Sinus maksilaris tidak membengkak

Palpasi:

Tidak terdapat nyeri tekan pada sinus maksilaris sinistra

RESUME
Anak laki-laki usia 12 tahun dengan keluhan sakit tenggorok sejak 2 hari SMRS.
Keluhan dirasakan terus menerus dan semakin hari terasa semakin parah. Keluhan
lebih sakit saat pasien menelan makanan. Keluhan ini dirasakan mengganggu
aktivitas pasien sehari-hari. Keluhan sakit tenggorok disertai dengan demam, lemas
badan dan penurunan nafsu makan. Sebelumnya keluhan pasien ini belum pernah
diobati. Pasien memiliki kebiasaan minum air dingin dan makan cemilan yang gurih.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital os dalam batas
normal kecuali suhu os mencapai 38,1 C, mukosa tonsil hiperemis, besar T2/T2 dan
terdapat detritus berbentuk folikular, KGB membesar di submandibula.
Diagnosa banding
Tonsilitis akut folikularis ec group a streptococcus beta hemolitikus
Tonsilitis akut folikularis ec pneumokokus
Diagnosa kerja
Tonsilitis akut folikularis ec group a streptococcus beta hemolitikus
Usulan pemeriksaan
Pemeriksaan darah rutin eritrosit, hb, leukosit, trombosit
Kultur (apus tenggorok) dan tes resistensi bakteri
Penatalaksanaan
Umum:

Istirahat yang cukup

Diet makanan lunak

Hindari makanan yang pedas dan minuman dingin

Menjaga higienitas mulut

Khusus:

Antibiotik amoksisilin 50mg/kgBB/hari 3 dd 1 cth selama 10 hari 2300


mg/hari

Analgetik oral Paracetamol 3 dd 1 cth sampai nyeri hilang

Obat kumur yang mengandung antiseptik

Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

ANATOMI FARING DAN TONSIL


FARING
Anatomi Faring
Faring merupakan bagian tubuh yang merupakan suatu traktus aerodigestivus
dengan struktur tubular iregular mulai dari dasar tengkorak sampai setinggi vertebra
servikal VI, berlanjut menjadi esophagus dan sebelah anteriornya laring berlanjut menjadi
trakea.
Batas-batas faring :

Superior

:Oksipital dan sinus sphenoid

Inferior

:Berhubungan dengan esophagus setinggi m.Krikofaringeus

Anterior

:Kavum nasi, kavum oris, dan laring

Posterior

:Kolumna vertebra servikal melalui jaringan areolar yang longgar.

Faring dibagi menjadi tiga bagian :


1. Nasofaring (Epifaring)
2. Orofaring (Mesofaring)
3. Laringofaring (Hipofaring)

Nasofaring
Batas-batas nasofaring :

Superior

: Basis Cranii

Inferior

: Bidang datar yang melalui palatum molle

Anterior

: Berhubungan dengan cavun nasi melalui choana

Posterior

: Vertebra Servikalis

Lateral

: Otot-otot konstriktor faring


Mukosa nasofaring sama seperti mukosa hidung dan sinus paranasalis yaitu terdiri

dari epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa kelenjar mukus di bawah
selaput (membrana) mukosa terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat melekatnya
mukosa.
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting, yaitu :
o Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut tonsila faringea atau tonsil
nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding anterior basis sphenoid.
o Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di
dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan palatum molle dan satu sentimeter di
belakang tepi posterior konka inferior.
o Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal sebagai fossa
Rosenmuler, merupakan tempat predileksi karsinoma faring

o Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral nasofaring, dan
inferior torus tubarius, setinggi palatum molle
o Koana atau nares posterior

Orofaring (Mesofaring)
Merupakan kelanjutan dari nasofaring pada tepi bebas dari palatum molle.
Batasnya :

Superior

: Palatum molle

Inferior

: Bidang datar yang melalui tepi atas epiglotis

Anterior

: Berhubungan dengan kavum oris melalui istmus

Posterior

: Vertebra servikalis 2 dan 3 bersama dengan otot-otot prevertebra

Istmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus kanan dan kiri. Arkus faringeus
sendiri dibentuk oleh pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat m. Palatoglosus
dan bagian posterior terdapat m. Palatofaringeus. Diantara kedua pilar tersebut terdapat
fossa/ruang tonsilaris, berisi jaringan limfoid yang disebut tonsila palatina.

Gambar. Penampang Faring

Laringofaring (Hipofaring)
Terletak di belakang dan sisi kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa
piriformis. Dimulai dari segitiga valekula yang merupakan batas orofaring dengan
laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat masuknya spingter
krikofaringeus. Batas-batas lainnya :

Superior

: Bidang datar melewati tepi atas epiglotis atau setinggi valekula

Inferior

: Tepi bawah kartilago krikoid

Anterior

: Aditus Laring

Posterior

: Vertebra servikalis 3 sampai 6.

Valekula sendiri merupakan suatu cekungan yang dangkal dengan batas-batas :

Anterior

: basis lidah

Posterior : fasies epiglotis anterior

Lateral

: plika faringoepiglotika

Medial

: plika glossoepiglotika

Fossa piriformis mempunyai batas-batas :

Medial : Plika ariepiglotika

Lateral : kartilago tiroid dan membran tirohioid

Jaringan Limfoid pada Faring


Jaringan limfoid yang berkembang pada faring dengan baik dikenal dengan nama
cincin Waldeyer yang terdiri dari :
Tonsila Palatina (faucial)
Tonsila Faringeal (adenoid)
Tonsila Lingualis
Lateral Faringeal Band
Nodul-nodul soliter di belakang faring

Gambar. Cincin Waldeyer


Jaringan Limfoid Nasofaring
Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang
berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil.
Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau
kantung diantaranya. Penyakit Thornwaldts merupakan infeksi dari bursa faringeal ini.
Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus
eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia
yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar
nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah dari A. Karotis Interna dan sebagian kecil
cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke
dalam Vena Jugularis Interna.

Gambar. Adenoid
Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam
kelenjar Jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N.
Vagus.
Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan nodulus limfatikus faringeal tonsil
ke arah anterior mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama
ditemukan pada mukosa tuba eustachius dan fossa Rossenmuler. Jaringan limfoid ini
disebut juga Gerlachs Tonsil.

Gambar. Nasofaring dan Orofaring


Jaringan Limfoid Orofaring
Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada
basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila
sirkumvalata ke epiglotis. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan
jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi
sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang
dari A. Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke Vena Jugularis
Interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui
cabang lingual N. IX.

Tonsila Palatina

Embriologi
Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan germinal entoderm dan mesoderm,
dimana entoderm akan membentuk bagian epitel sedangkan mesoderm akan tumbuh
menjadi jaringan mesenkim tonsil.
Pada masa perkembangan janin, faring akan tumbuh dan meluas ke arah lateral
dimana kantung kedua akan tumbuh ke arah dalam dari dinding faring yang selanjutnya
akan menjadi fossa tonsilar primitif yang terletak antara arkus brakialis kedua dan ketiga.
Fossa tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis pada minggu keenambelas.

Gambar. Embriologi Tonsil

Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis kedua dan ketiga melalui pertumbuhan
ke arah dorsal atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh secara progresif saat
usia janin tiga sampai enam bulan, sebgai massa yang solid yang tumbuh ke arah dalam
dari permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh bercabang-cabang dan berongga. Sedang
limfosit-limfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan ketiga, lalu tumbuh
secara terorganisir sebagai nodul-nodul setelah janin berusia enam bulan.

Anatomi Tonsila Palatina


Dalam bidang THT dikenal tiga buah tonsil, yaitu tonsila palatina, tonsila
faringeal dan tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari, yang dikenal sebagai tonsil
adalah tonsila palatina, sedangkan tonsila faringeal dikenal sebagai adenoid.
Tonsil terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa
panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram. Fossa
tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina anterior), sedangkan
di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian
bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk
palatum molle.
Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan
dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m.Konstriktor Faringeus. Kapsul tonsil
tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil , membentuk septa yang mengandung pembuluh
darah dan saraf tonsil.

Gambar. Tonsila Palatina

Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang


merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk
celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di
pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya
sesuai untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di
daerah tersebut.
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis
dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang membesar. Plika ini penting
karena sikatriks yang terbentuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut
ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
Pole atas tonsil terletak pad cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai
plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat denganruang
supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya
dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak,
antara tonsil dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan.
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi
tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu :
Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
o

Anterior

: M. Palatoglossus

Lateral dan Posterior

: M. Palatofaringeus

Dasar segitiga

: Pole atas tonsil

Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke
ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang
dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator,
sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. Pterigoideus Internus dan bagian

atas terdapat fasikulus longus m.temporalis. bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan
menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit
dibedakan dengan abses peritonsilar.
Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar,
sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :
o

Superior

: basis cranii dekat foramen jugulare

Inferior

: os hyoid

Medial

: m. Konstriktor faringeus superior

Lateral

: ramus asendens mandibula, tempat m.Pterigoideus Interna dan

bagian posterior kelenjar parotis


o

Posterior : otot-otot prevertebra.


Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus dan otot-otot
yang melekat pada prosessus styloideus tersebut.

Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang tonsil,
mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.

Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis Interna, V.


Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Gambar. Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
o A.Palatina Asendens, cabang A. Fasialis memperdarahi bagian postero inferior
o A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
o A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi daerah antero media
o A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi daerah postero superior
o A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor memperdarahi daerah
antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan
pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh
vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya
menembus dinding faring.

Gambar. Vaskularisasi Tonsil

Aliran Limfe Tonsil


Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil
ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang
kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m.

Konstriktor Faringeus Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan


akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah
besar leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe
dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam
duktus torasikus.

Gambar. Aliran Limfe Tonsil


Inervasi Tonsil
Terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan N. Lingualis
(cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N

IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui Jacobsons
Nerve.

Gambar. Inervasi Tonsil


Histologi Tonsil
Kapsul tonsil terutama terdiri dari jaringan ikat dan serabut elastin yang meliputi
dua pertiga bagian permukaan lateral tonsil. Kapsul ini pada beberapa tempat masuk
menjorok ke dalam tonsil, membentuk kerangka penyokong struktur di dalam tonsil yang
disebut trabekula. Trabekula merupakan tempat lewatnya pembuluh darah, pembuluh
limfatik eferen, dan saraf. Di dalam kapsul dapat dijumpai serabut-serabut otot serta
pulau-pulau kartilago hialin, yang merupakan sisa jaringan embrional arkus brakialis.
Membrana mukusa tonsil terdiri dari epitel berlapis gepeng dan pada beberapa tempat,
lapisan mukosa ini akan mengadakan invaginasi ke dalam massa tonsil, membentuk
saluran buntu yang disebut kripta. Kripta ini berbentuk tidak teratur dan bercabangcabang. Lapisan epitel mukosa kripta lebih tipis bila dibandingkan dengan epitel mukosa
tonsil, bahkan pada bebrapa tempat, kripta ini tidak dilapisi mukosa sam sekali.
Komposisi terbesar dari jaringan tonsil adalah jaringan limfoid yang pada beberapa

tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut folikel, dengan diameter
sekitar 1-2 cm. Di dalam folikel, terdapat sel-sel limfosit dalam berbagai stadium
pertumbuhan, dengan pusat pertumbuhannya disebut sentrum germinativum. Kadangkadang di sepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel limfosit yang bermigrasi atau
mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis.

Lateral Faringeal Band (Adenoid)


Merupakan jaringan limfoid yang mempunyai beberapa kripta yang rudimenter
dan terletak mulai dari sudut yang diben tuk oleh permukaan belakang pilar posterior
dengan dinding faring.

Nodul-nodul Limfatik Soliter


Tersebar pada dinding posterior faring, di bawah adenoid, melengkapi
terbentuknya cincin Waldeyer. Nodul-nodul ini bila meradang akan membengkak denga
hebat, sementara tonsil akan tenang saja, padahal jarak keduanya hanya 3-4 mm.

Jaringan Limfoid Hipofaring


Dari beberapa literatur menyebutkan tidak ada jaringan limfoid yang spesifik di
daerah hipofaring/ laringfaring ini, seperti halnya di nasofaring dan orofaring. Hanya
disebutkan bahwa jaringan limfoid tersebut banyak tersebar pada seluruh permukaan
mukosa hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid).
Mengenai jaringan limfoid daerah laring, disebutkan memegang peranan penting
di dalam klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan.
Daerah glotis terdiri dari serabut-serabut elastis sehingga tidak memiliki jaringan
limfoid. Daerah Supraglotis sebaliknya memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama
pada plika fentrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika

ariepiglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle
neurovaskular laring. Jaringan limfoid ini bertanggung jawab terhadap metastase
karsinoma bilateral dan kontralateral.
Jaringan Infraglotis, tidak sebanyak di supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi
karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring bermuara ke jaringan limfoid servikal
superior dan inferior dalam.

Fisiologi Rongga Mulut dan Faring


Secara umum, rongga mulut dan faring mempunyai fungsi dalam :

Proses menelan dan pernafasan

Pertahanan tubuh

Proses fonasi
Fungsi utama nasofaring adalah sebgai tbung kaku dan terbuka untuk udara
pernafasan. Pada waktu menelan, muntah, sendawa, dan tercekik, nasofaring akan
terpisah dengan sempurna dari orofaring karena palatum molle terangkat sampai ke
dinding posterior orofaring.
Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba
eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba eustachius. Sebagai
ruang resonansi sangat penting dalam pembentukan suara.
Orofaring dan hipofaring selain berfungsi sebagai saluran pernafasan,juga
berfungsi sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanandan minuman
dari rongga mulut, terakhir sebagai rung resonansi dalam pembentukan suara.

Proses Menelan dan Pernafasan

Proses menelan merupakan fungsi neuromuscular kompleks yang melibatkan


struktur dari cavum oris, faring, laring, dan esophagus. Dibagi dalam 4 fase, yaitu : fase
persiapan oral, fase oral, fase faringeal, dan fase esophagus. Fase pertama dan kedua di
bawah control volunter, fase ketiga dan keempat adalah involunter.

Fase Volunter
Fase persiapan oral :
Meliputi gerakan mengunyah yang melibatkan kordinasi dari
1. Penutupan bibir untuk menahan makanan dalam mulut bagian anterior
2. Tekanan dari otot labial dan buccal untuk menutup sulkus anterior dan lateral
3. Gerakan memutar dari rahang untuk mengunyah
4. Gerakan memutar ke lateral dari lidah untuk menempatkan posisi makanan di atas gigi
selama proses mastikasi
5. Palatum molle bulging ke belakang mendorong cavum oris ke belakang dan melindungi
jalan nafas, serta persiapan untuk menelan.
Pada akhir dari fase ini dan persiapan untuk fase oral, lidah mendorong makanan
menjadi bolus dan menahan dengan gaya kohesif pada palatum durum.

Fase Oral :
Fase oral masih merupakan proses menelan secara mekanik, dimana
makanan dipindahkan dari belakang cavum oris ke anterior faucial arches untuk memulai
proses menelan. Pada fase ini, lidah memegang peranan yang sangat penting, dimana
dengan lidah dapat mengangkat dan menekan bolus ke belakang dank e dapan palatum
durum, sehingga makanan dapat memenuhi bagian anterior faucial arches. Tekanan otototot bucal juga berperan dalam mendorong bolus ke belakang namun tidak sekuat
dorongan lidah. Setelah makanan berada di anterior faucial arches, terjadi presipitasi
rfleks menelan melalui nn. Glossofaringeus.

Fase Involunter
Aspek refleks dalam menelan sangat penting karena jalan nafas harus
terlindungi selama proses ini. Fase persiapan oral dan fase oral dapat dipersingkat dengan
merubah konsistensi makanan menjadi cari, meletakkan makanan pada bagian belakang
mulut, atau dengan mengubah posisi kepala ke belakang sehingga gaya gravitasi dapat
membawa makanan ke faring. Namun fase faringeal atau fase reflek ini tidak dapat
dipersingkat.
Reflek menelan dirangsang di formatioretikularis pada otak yang
berdekatan dengan pusat respirasi. Terdapat koordinasi dari kedua pusat ini dimana
respirasi berhenti untuk memberikan waktu beberapa detik selama proses menelan
berlangsung. Terdapat juga rangsang kortikal untuk merangsang gerakan menelan melalui
bentuk gerakan lidah pada fase oral dari menelan.
Aktifitas Neuromuskular
Pada waktu reflek menelan terjadi, pusat menelan di pusat otak memprogram 4
aktifitas neuromuscular, yaitu :

Penutupan velofaringeal untuk mencegah refluk dari makanan ke rongga hidung

Peristaltik faringeal untuk menyiapkan bolus melalui faring

Proteksi jalan nafas, dimana melibatkan elevasi dan penutupan laring

Spingter krikofaringeal atau esophagus bagian atas membuka sehingga bolus dapat
masuk ke esophagus
Proteksi jalan nafas
Proteksi jalan nafas akibat adanya elevasi dan penutupan laring. Elevasi
disebabkan oleh kontraksi dari strap muscle, dimana posisi laring ke atas dank e belakang
lidah pada saat basis lidah retraksi diakhir fase oral dari menelan. Laring akan ke atas dan
berada diluar jalur yang dilalui makanan pada saat melalui basis lidah.

Penutupan laring melibatkan tiga spingter yaitu epiglottis ariepiglotik fold, false
vocal fold, dan true vocal fold. Jalan nafas menutup hanya untuk memberikan waktu
untuk makanan melalui jalan nafas dan kembali terbuka setelah makanan melaluinya.

Peristaltik Faringeal
Peristaltic faringeal bertanggung jawab dalam membersihkan material makanan
dari resesus faringeal, termasuk valekula dan sinus piriformis setelah proses menelan.
Krikofaringeal
Otot krikofaringeal bekerja bekerja berlawanan dengan mekanisme otot
konstriktor dari faring. Pada saat istirahat mm konstriktor relaksasi dan mm
krikofaringeus atau spingter esophagus menutup untuk mencegah masuknya udara
kedalam esophagus bersamaan dengan inhalasi ke paru-paru.
Bila bolus telah melalui daerah krikofaringeus maka dimulai fase esophageal.
Sepertiga bagian atas dari esophagus terdiri dari campuran otot volunter dan involunter,
sedang dua pertiganya secara keseluruhan merupakan otot volunter. Spingter esophageal
bawah berfungsi sebagai katup bagi lambung. Katup ini relaksasi pada saat bolus masuk
ke dalam lambung.

Fungsi Faring (Tonsil) dalam Proses Pertahanan Tubuh


Fisiologi Tonsil
Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam fasefase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum
masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam
menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme
patogen.

Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum


germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai
terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak
dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu
pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai
proses involusi.
Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.

Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik


Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan
limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini
sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya
kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka
kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami
opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.
Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi
bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut
fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum
diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan
untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H 2O2, yang bersifat
bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di
sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi.
Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri
maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam
fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri
dengan proses digestif.

Mekanisme Pertahanan Spesifik


Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh
terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat
memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme
patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-E yang berfungsi
untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula
yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin.
Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini
menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe I, yaitu
atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.
Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari
plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta
tonsil.
Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah
terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier untuk mencegah
reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.
Jaringan Limfoid Hipofaring tersebar di seluruh permukaan mukosa hipofaring sebagai
kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid), dan tidak ada jaringan limfoid spesifik
pada daerah ini.
Jaringan Limfoid Laring memegang peranan yang sangat penting dalam klinik terutama
hubungannya dengan proses keganasan.

Daerah Glotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki jaringan
limfoid

Daerah Supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada plika
ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika arieloglotika dan
berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang bundle neurovascular laryng.

Jaringan limfoid supraglotik ini bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma


bilateral dan kontralateral.

Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat terjadi invasi
karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan limfoid pre dan paratrakeal

TONSILITIS

Definisi
Tonsilitis adalah radang akut pada tonsil.

TONSILITIS AKUT
Etiologi

Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh Grup A Streptococcus
beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus, stafilokokus dan Haemophilus influenzae juga virus
patogen dapat dilibatkan. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus
viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-kasus berat.

Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi
kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Perbedaan strain atau virulensi dari penyebab
tonsilitis dapat menimbulkan variasi dalam fase patologi sebagai berikut:
1. Peradangan biasa pada area tonsil saja
2. Pembentukan eksudat
3. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya
4. Pembentukan abses peritonsilar
5. Nekrosis jaringan
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila
bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis
lakunaris.

Bercak

detritus

ini

dapat

(pseudomembran) yang menutupi tonsil.

melebar

sehingga

terbentuk

membrane

semu

Gambar Tonsilitis Akut

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan
dan pada kasus berat penderita menolak makan dan minum melalui mulut. Biasanya disertai
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri
pada telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui n Glosofaringeus. Seringkali
disertai adenopati servikalis disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak,
hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.

Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian
cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik
dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih merupakan obat pilihan,
kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut
eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.
Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika hasil biakan didapatkan

streptokokus beta hemolitikus terapi yang adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk
menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik.
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat berkontak
dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila
palatina. Akan tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang dilakukan
secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin mempengaruhi beberapa
tingkat perjalanan penyakit.

Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut. Komplikasi tonsilitis akut
lainnya adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, bronchitis, nefritis akut, miokarditis
serta arthritis.

TONSILITIS KRONIS
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit
tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat
disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus

viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar
tergantung pada infeksi.

Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula.

Gejala dan Tanda


Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok,
tenggorok dirasakan kering dan napas berbau. Pada umumnya terdapat dua gambaran yang
termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:
1. Tonsilitis kronis hipertrofikans
Yaitu ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi dan pembentukan jaringan parut.
Kripta mengalami stenosis, dapat disertai dengan eksudat, seringnya purulen keluar dari
kripta tersebut. Pada beberapa kasus satu atau dua kripta melebar dan terdapat material
cheesy atau putty-like yang keluar dari kripta tersebut.
2. Tonsilitis kronis atrofikans

Yaitu ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi), di sekelilingnya hiperemis dan pada
kriptanya dapat keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.
Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah
dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus.

Gambar. Tonsilitis Kronis Hipertrofikans


Pengelolaan
Pengobatan antara lain penicillin, obat kumur dan pembersihan kripta menggunakan
irigasi oral atau gigi. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien merasa
sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi).

Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa Rhinitis
kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis,
irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

TONSILITIS MEMBRANOSA
Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak.
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk
gram positif hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit
ini.

Gejala dan Tanda


Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal, dan gejala
akibat eksotoksin.
1. Gejala umum: seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan.
2. Gejala lokal: tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum
mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, bronkus, dan dapat menyumbat saluran nafas.

Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa
leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull
neck).
3. Gejala akibat eksotoksin: kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf-saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae.

Terapi

Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis

20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.


Antibiotika penisilin atau eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14

hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik.
Isolasi pasien, istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.

Komplikasi
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung. Kelumpuhan otot palatum mole, otot
mata untuk akomodasi, otot faring atau otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai komplikasi ginjal.

Tonsilitis Septik
Penyebabnya adalah Streptococcus hemolyticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga
dapat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan.

Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)


Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higienitas mulut, defisiensi vitamin C serta
kuman spirilum dan basil fusiform.
Gejalanya adalah demam sampai 39oC, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
Pemeriksaan pada mukosa mulut dan faring ditemukan hiperemis, tampak membran putih
keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan
kelenjar submandibular membesar.
Terapi penyakit ini adalah memperbaiki higienitas mulut, antibiotika spectrum luas
selama 1 minggu dan pemberian suplemen vitamin B dan vitamin C.

Mononukleosis infekiosa
Adalah

infeksi

yang

disebabkan

oleh

virus

mononukleosis

infeksiosa

yang

penyebarannya terjadi melalui droplet. Dengan ditemukannya antibodi VEB melalui tes
diagnostik Paul Bunnel merupakan bukti bahwa terdapat hubungan antara virus Epstein-Barr
dengan mononukleosis infeksiosa. Pada pemeriksaan klinik didapat tonsilofaringitis membranosa
dengan limfadenopati servikalis, bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut, kadang-kadang

ditemukan hepatomegali atau splenomegali dan setelah minggu pertama hitung jenis leukosit
mencapai 10.00015.000/mm3 dengan 50% diantaranya adalah limfosit. Tonsilektomi dilakukan
pada kasus berat dengan gejala lokal seperti obstruksi jalan nafas, disfagia dan demam yang
menetap.

Tonsilitis Tuberkulosa
Terjadi sekunder setelah penyakit tuberkulosa aktif dalam paru-paru, menyebar ke tonsil
melalui:

kontak langsung dengan sputum


inhalasi
hematogenik

Pada mukosa faring dan tonsil akan terdapat ulserasi irregular yang dangkal dan mengandung
jaringan granulasi yang pucat serta mengandung BTA tuberkel. Juga akan nampak pembesaran
kelenjar getah bening.

Aktinomikosis Tonsil
Disebabkan oleh jamur aktinomikosis. Tonsil yang terkena nampak membesar pada
kriptanya terdapat granula-granula sulfur disertai pembesaran kelenjar getah bening leher, yang
selanjutnya dapat menembus keluar sehingga terjadi fistel disertai pengeluaran pus yang
mengandung granula sulfur.

Scarlet Fever
Adalah infeksi yang disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus yang gejalanya mirip
tonsilitis folikularis akut. Penyakit ini disertai demam, nyeri tengorok dan ruam yang

menyeluruh pada kulit di seluruh tubuh. Pada tonsil yang terkena nampak edematus, hiperemis
dan terdapat eksudat mukopurulen yang nampak sebagai membran tipis. Pada mukosa mulut dan
faring nampak eritema yang hebat dan pada lidah nampak gambaran khas strawberry tongue.

TONSILEKTOMI
Definisi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan
patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada
jaringan sekitarnya seperti uvula dan pilar.

Indikasi Tonsilektomi
A. Indikasi absolut:
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu waktu tidur.
3. Hipertofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses perotinsiler yang berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
B. Indikasi relatif:
1. Serangan tonsilitis akut berulang (yang terjadi walau telah diberi penatalaksanaan medis
yang adekuat).
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus yang menetap dan patogenik
(karier).
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.

4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis.
5. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan tonsilitis
rekurens kronis dan pengendalian antibiotika yang buruk.
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon terhadap penatalaksanaan
medis.
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan gigi
geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.
8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.

Kontraindikasi
1. Infeksi saluran nafas atas berulang.
2. Infeksi kronis atau sistemik.
3. Demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin).
4. Tonsil yang membesar tanpa tanda-tanda obstruksi.
5. Rinitis alergi.
6. Asma.
7. Blood dyscrasia.
8. General inability.
9. Tonus otot lemah.
10. Sinusitis.

Jenis-jenis Tonsilektomi
Jenis-jenis tonsilektomi diantaranya:
1. Tonsilektomi metode Dissection - Snare
2. Tonsilektomi metode Sluder Ballenger
3. Tonsilektomi metode Kriogenik
4. Tonsilektomi metode elektrokoagulasi
5. Tonsilektomi menggunakan sinar laser

Komplikasi
1. Perdarahan
Komplikasi perdarahan dapat tejadi selama operasi belangsung atau segera setelah
penderita meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama post operasi) bahkan meskipun
jarang pada hari ke 5 -7 pasca operasi dapat terjadi perdarahan disebabkan oleh
terlepasnya membran jaringan granulasi yang terbentuk pada permukaan luka operasi,
karena infeksi di fossa tonsilaris atau trauma makanan keras. Untuk mengatasi
perdarahan, dapat dilakukan ligasi ulang, kompresi dengan gas ke dalam fossa,
kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan anastesi lokal atau umum.
2. Infeksi
Luka operasi pada fossa tonsilaris merupakan port dentre bagi mikroorganisme,
sehingga merupakan sumber infeksi dan dapat terjadi faringitis, servikal adenitis dan
trombosis vena jugularis interna, otitis media atau secara sistematik dapat terjadi
endokarditis, nefritis dan poliarthritis, bahkan pernah dilaporkan adanya komplikasi
meningitis dan abses otak serta terjadi trombosis sinus cavernosus. Komplikasi pada
paru-paru serperti pneumonia, bronkhitis dan abse paru biasanya terjadi karena aspirasi
waktu operasi. Abses parafaring dapat timbul sebagai akibat suntikan pada waktu anastesi
lokal. Pengobatan komplikasi infeksi adalah pemberian antibiotik yang sesuai dan pada
abses parafaring dilakukan insisi drainase.
3. Nyeri pasca bedah
Dapat terjadi nyeri tenggorok yang dapat menyebar ke telinga akibat iritasi ujung
saraf sensoris dan dapat pula menyebabkan spasme faring. Sementara dapat diberikan

analgetik dan selanjutnya penderita segera dibiasakan mengunyah untuk mengurangi


spasme faring.
4. Trauma jaringan sekitar tonsil
Manipulasi terlalu banyak saat operasi dapat menimbulkan kerusakan yang
mengenai pilar tonsil, palatum molle, uvula, lidah, saraf dan pembuluh darah. Edema
palatum molle dan uvula adalah komplikasi yang paling sering terjadi.
5. Perubahan suara
Otot palatofaringeus berinsersi pada dinding atas esofagus, tetapi bagian medial
serabut otot ini berhubungan dengan ujung epligotis. Kerusakan otot ini dengan
sendirinya menimbulkan gangguan fungsi laring yaitu perubahan suara yang bersifat
temporer dan dapat kembali lagi dalam tempo 34 minggu.
6. Komplikasi lain
Biasanya sebagai akibat trauma saat operasi yaitu patah atau copotnya gigi, luka
bakar di mukosa mulut karena kateter, dan laserasi pada lidah karena mouth gag.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Arsyad, SpTHT. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. George L. Adams, M.D., J. Lawrence R. Boies, M.D., dan M.D. Peter A. Higler.
Fundamental of otolaryngology. 6th Edition. 1989. Philadelphia: WB Saunders Company.

Anda mungkin juga menyukai