TONSILITIS
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)
SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Disusun oleh:
Prasetya Hadi Nugraha
Imam Santoso
Feby Aryadi
Preseptor:
Tety H. Rahim, dr., SpTHT-KL, MKes, MHKes
Identitas Pasien
Nama
: An. R
Usia
: 12 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Kosambi
Pekerjaan
: Pelajar
Status
: Belum menikah
Agama
: Islam
Tgl pemeriksaan
: Ny. Y
Umur
: 43 tahun
Alamat
Pekerjaan
: Kosambi
: wiraswasta
Keluhan Utama:
Sakit tenggorok
Anamnesa
Pasien datang ke rumah sakit diantar oleh ibunya dengan keluhan sakit
tenggorok sejak 2 hari SMRS. Keluhan sakit tenggorok dirasakan terus menerus dan
semakin hari terasa semakin parah. Sakit tenggorok dirasakan lebih parah pada
saat pasien menelan makanan. Keluhan ini dirasakan sampai mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari.
Keluhan sakit tenggorok disertai dengan demam, lemas badan dan
penurunan nafsu makan.
Pasien tidak mengeluhkan adanya bersin-bersin, hidung berair terutama saat
cuaca dingin atau saat terkena debu. Pasien tidak mengeluhkan sakit di bagian
wajah, rasa penuh di wajah, hidung tersumbat, sakit saat membuka rahang maupun
sakit di bagian telinga.
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
: Composmentis, kooperatif
Tanda Vital
TD :120/80 mmHg
N :80 x/menit
R
S
:24 x/menit
:38,1 C
BB: 46 kg
TB: 150 cm
BMI: 20,4 (Gizi: baik)
Head to toe:
Kepala
Leher
Dada
(-/-)
Cor
Abdomen
: Datar, lembut
NT(-) BU (+)
Kelainan
AD
AS
Preaurikula
Kongenital
Tidak ada
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Tumor
Tidak ada
Tidak ada
Trauma
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
Kongenital
Tidak ada
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Tumor
Tidak ada
Tidak ada
Trauma
Tidak ada
Tidak ada
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Hiperemis
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Tumor
Tidak ada
Tidak ada
Sikatriks
Tidak ada
Tidak ada
Aurikula
Retroaurikula
CAE
Membrana
Timpani
Kongenital
Tidak ada
Tidak ada
Kulit
Tenang
Tenang
Sekret
Tidak ada
Tidak ada
Serumen
+, normal
+, normal
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Jaringan granulasi
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Normal
Normal
Intak
Intak
Intak
Refleks cahaya
+, normal
+, normal
Bagian
Kelainan
Keterangan
Mulut
Mukosa mulut
Tenang
Lidah
Palatum molle
Tenang, simetris
Gigi geligi
Caries (+)
Uvula
Simetris
Halitosis
(-)
Mukosa
Besar
T2 T2
Tonsil
Detritus
Faring
Mukosa
Normal
(-)
Nasal
Dextra
Sinistra
Mukosa
normal
normal
Sekret
Ada
Ada
Concha
normal
normal
Septum
Tidak deviasi
Tidak deviasi
Polip/tumor
Tidak ada
Tidak ada
Pasase udara
Baik
baik
Mukosa
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Luar
Rhinoskopi
Anterior
Rhinoskopi
Posterior
Koana
Sekret
Polip
Maxillofacial
Bentuk
: simetris
Palpasi:
RESUME
Anak laki-laki usia 12 tahun dengan keluhan sakit tenggorok sejak 2 hari SMRS.
Keluhan dirasakan terus menerus dan semakin hari terasa semakin parah. Keluhan
lebih sakit saat pasien menelan makanan. Keluhan ini dirasakan mengganggu
aktivitas pasien sehari-hari. Keluhan sakit tenggorok disertai dengan demam, lemas
badan dan penurunan nafsu makan. Sebelumnya keluhan pasien ini belum pernah
diobati. Pasien memiliki kebiasaan minum air dingin dan makan cemilan yang gurih.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital os dalam batas
normal kecuali suhu os mencapai 38,1 C, mukosa tonsil hiperemis, besar T2/T2 dan
terdapat detritus berbentuk folikular, KGB membesar di submandibula.
Diagnosa banding
Tonsilitis akut folikularis ec group a streptococcus beta hemolitikus
Tonsilitis akut folikularis ec pneumokokus
Diagnosa kerja
Tonsilitis akut folikularis ec group a streptococcus beta hemolitikus
Usulan pemeriksaan
Pemeriksaan darah rutin eritrosit, hb, leukosit, trombosit
Kultur (apus tenggorok) dan tes resistensi bakteri
Penatalaksanaan
Umum:
Khusus:
Prognosis
Quo ad vitam
: ad bonam
Superior
Inferior
Anterior
Posterior
Nasofaring
Batas-batas nasofaring :
Superior
: Basis Cranii
Inferior
Anterior
Posterior
: Vertebra Servikalis
Lateral
dari epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa kelenjar mukus di bawah
selaput (membrana) mukosa terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat melekatnya
mukosa.
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting, yaitu :
o Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut tonsila faringea atau tonsil
nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding anterior basis sphenoid.
o Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di
dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan palatum molle dan satu sentimeter di
belakang tepi posterior konka inferior.
o Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal sebagai fossa
Rosenmuler, merupakan tempat predileksi karsinoma faring
o Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral nasofaring, dan
inferior torus tubarius, setinggi palatum molle
o Koana atau nares posterior
Orofaring (Mesofaring)
Merupakan kelanjutan dari nasofaring pada tepi bebas dari palatum molle.
Batasnya :
Superior
: Palatum molle
Inferior
Anterior
Posterior
Istmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus kanan dan kiri. Arkus faringeus
sendiri dibentuk oleh pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat m. Palatoglosus
dan bagian posterior terdapat m. Palatofaringeus. Diantara kedua pilar tersebut terdapat
fossa/ruang tonsilaris, berisi jaringan limfoid yang disebut tonsila palatina.
Laringofaring (Hipofaring)
Terletak di belakang dan sisi kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa
piriformis. Dimulai dari segitiga valekula yang merupakan batas orofaring dengan
laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat masuknya spingter
krikofaringeus. Batas-batas lainnya :
Superior
Inferior
Anterior
: Aditus Laring
Posterior
Anterior
: basis lidah
Lateral
: plika faringoepiglotika
Medial
: plika glossoepiglotika
Gambar. Adenoid
Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam
kelenjar Jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N.
Vagus.
Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan nodulus limfatikus faringeal tonsil
ke arah anterior mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama
ditemukan pada mukosa tuba eustachius dan fossa Rossenmuler. Jaringan limfoid ini
disebut juga Gerlachs Tonsil.
Tonsila Palatina
Embriologi
Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan germinal entoderm dan mesoderm,
dimana entoderm akan membentuk bagian epitel sedangkan mesoderm akan tumbuh
menjadi jaringan mesenkim tonsil.
Pada masa perkembangan janin, faring akan tumbuh dan meluas ke arah lateral
dimana kantung kedua akan tumbuh ke arah dalam dari dinding faring yang selanjutnya
akan menjadi fossa tonsilar primitif yang terletak antara arkus brakialis kedua dan ketiga.
Fossa tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis pada minggu keenambelas.
Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis kedua dan ketiga melalui pertumbuhan
ke arah dorsal atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh secara progresif saat
usia janin tiga sampai enam bulan, sebgai massa yang solid yang tumbuh ke arah dalam
dari permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh bercabang-cabang dan berongga. Sedang
limfosit-limfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan ketiga, lalu tumbuh
secara terorganisir sebagai nodul-nodul setelah janin berusia enam bulan.
Anterior
: M. Palatoglossus
: M. Palatofaringeus
Dasar segitiga
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke
ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang
dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator,
sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. Pterigoideus Internus dan bagian
atas terdapat fasikulus longus m.temporalis. bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan
menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit
dibedakan dengan abses peritonsilar.
Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar,
sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :
o
Superior
Inferior
: os hyoid
Medial
Lateral
Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang tonsil,
mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
o A.Palatina Asendens, cabang A. Fasialis memperdarahi bagian postero inferior
o A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
o A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi daerah antero media
o A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi daerah postero superior
o A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor memperdarahi daerah
antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan
pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh
vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya
menembus dinding faring.
IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui Jacobsons
Nerve.
tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut folikel, dengan diameter
sekitar 1-2 cm. Di dalam folikel, terdapat sel-sel limfosit dalam berbagai stadium
pertumbuhan, dengan pusat pertumbuhannya disebut sentrum germinativum. Kadangkadang di sepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel limfosit yang bermigrasi atau
mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis.
ariepiglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle
neurovaskular laring. Jaringan limfoid ini bertanggung jawab terhadap metastase
karsinoma bilateral dan kontralateral.
Jaringan Infraglotis, tidak sebanyak di supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi
karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring bermuara ke jaringan limfoid servikal
superior dan inferior dalam.
Pertahanan tubuh
Proses fonasi
Fungsi utama nasofaring adalah sebgai tbung kaku dan terbuka untuk udara
pernafasan. Pada waktu menelan, muntah, sendawa, dan tercekik, nasofaring akan
terpisah dengan sempurna dari orofaring karena palatum molle terangkat sampai ke
dinding posterior orofaring.
Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba
eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba eustachius. Sebagai
ruang resonansi sangat penting dalam pembentukan suara.
Orofaring dan hipofaring selain berfungsi sebagai saluran pernafasan,juga
berfungsi sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanandan minuman
dari rongga mulut, terakhir sebagai rung resonansi dalam pembentukan suara.
Fase Volunter
Fase persiapan oral :
Meliputi gerakan mengunyah yang melibatkan kordinasi dari
1. Penutupan bibir untuk menahan makanan dalam mulut bagian anterior
2. Tekanan dari otot labial dan buccal untuk menutup sulkus anterior dan lateral
3. Gerakan memutar dari rahang untuk mengunyah
4. Gerakan memutar ke lateral dari lidah untuk menempatkan posisi makanan di atas gigi
selama proses mastikasi
5. Palatum molle bulging ke belakang mendorong cavum oris ke belakang dan melindungi
jalan nafas, serta persiapan untuk menelan.
Pada akhir dari fase ini dan persiapan untuk fase oral, lidah mendorong makanan
menjadi bolus dan menahan dengan gaya kohesif pada palatum durum.
Fase Oral :
Fase oral masih merupakan proses menelan secara mekanik, dimana
makanan dipindahkan dari belakang cavum oris ke anterior faucial arches untuk memulai
proses menelan. Pada fase ini, lidah memegang peranan yang sangat penting, dimana
dengan lidah dapat mengangkat dan menekan bolus ke belakang dank e dapan palatum
durum, sehingga makanan dapat memenuhi bagian anterior faucial arches. Tekanan otototot bucal juga berperan dalam mendorong bolus ke belakang namun tidak sekuat
dorongan lidah. Setelah makanan berada di anterior faucial arches, terjadi presipitasi
rfleks menelan melalui nn. Glossofaringeus.
Fase Involunter
Aspek refleks dalam menelan sangat penting karena jalan nafas harus
terlindungi selama proses ini. Fase persiapan oral dan fase oral dapat dipersingkat dengan
merubah konsistensi makanan menjadi cari, meletakkan makanan pada bagian belakang
mulut, atau dengan mengubah posisi kepala ke belakang sehingga gaya gravitasi dapat
membawa makanan ke faring. Namun fase faringeal atau fase reflek ini tidak dapat
dipersingkat.
Reflek menelan dirangsang di formatioretikularis pada otak yang
berdekatan dengan pusat respirasi. Terdapat koordinasi dari kedua pusat ini dimana
respirasi berhenti untuk memberikan waktu beberapa detik selama proses menelan
berlangsung. Terdapat juga rangsang kortikal untuk merangsang gerakan menelan melalui
bentuk gerakan lidah pada fase oral dari menelan.
Aktifitas Neuromuskular
Pada waktu reflek menelan terjadi, pusat menelan di pusat otak memprogram 4
aktifitas neuromuscular, yaitu :
Spingter krikofaringeal atau esophagus bagian atas membuka sehingga bolus dapat
masuk ke esophagus
Proteksi jalan nafas
Proteksi jalan nafas akibat adanya elevasi dan penutupan laring. Elevasi
disebabkan oleh kontraksi dari strap muscle, dimana posisi laring ke atas dank e belakang
lidah pada saat basis lidah retraksi diakhir fase oral dari menelan. Laring akan ke atas dan
berada diluar jalur yang dilalui makanan pada saat melalui basis lidah.
Penutupan laring melibatkan tiga spingter yaitu epiglottis ariepiglotik fold, false
vocal fold, dan true vocal fold. Jalan nafas menutup hanya untuk memberikan waktu
untuk makanan melalui jalan nafas dan kembali terbuka setelah makanan melaluinya.
Peristaltik Faringeal
Peristaltic faringeal bertanggung jawab dalam membersihkan material makanan
dari resesus faringeal, termasuk valekula dan sinus piriformis setelah proses menelan.
Krikofaringeal
Otot krikofaringeal bekerja bekerja berlawanan dengan mekanisme otot
konstriktor dari faring. Pada saat istirahat mm konstriktor relaksasi dan mm
krikofaringeus atau spingter esophagus menutup untuk mencegah masuknya udara
kedalam esophagus bersamaan dengan inhalasi ke paru-paru.
Bila bolus telah melalui daerah krikofaringeus maka dimulai fase esophageal.
Sepertiga bagian atas dari esophagus terdiri dari campuran otot volunter dan involunter,
sedang dua pertiganya secara keseluruhan merupakan otot volunter. Spingter esophageal
bawah berfungsi sebagai katup bagi lambung. Katup ini relaksasi pada saat bolus masuk
ke dalam lambung.
Daerah Glotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki jaringan
limfoid
Daerah Supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada plika
ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika arieloglotika dan
berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang bundle neurovascular laryng.
Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat terjadi invasi
karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan limfoid pre dan paratrakeal
TONSILITIS
Definisi
Tonsilitis adalah radang akut pada tonsil.
TONSILITIS AKUT
Etiologi
Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh Grup A Streptococcus
beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus, stafilokokus dan Haemophilus influenzae juga virus
patogen dapat dilibatkan. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus
viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-kasus berat.
Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi
kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Perbedaan strain atau virulensi dari penyebab
tonsilitis dapat menimbulkan variasi dalam fase patologi sebagai berikut:
1. Peradangan biasa pada area tonsil saja
2. Pembentukan eksudat
3. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya
4. Pembentukan abses peritonsilar
5. Nekrosis jaringan
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila
bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis
lakunaris.
Bercak
detritus
ini
dapat
melebar
sehingga
terbentuk
membrane
semu
Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian
cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik
dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih merupakan obat pilihan,
kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut
eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.
Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika hasil biakan didapatkan
streptokokus beta hemolitikus terapi yang adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk
menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik.
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat berkontak
dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila
palatina. Akan tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang dilakukan
secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin mempengaruhi beberapa
tingkat perjalanan penyakit.
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut. Komplikasi tonsilitis akut
lainnya adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, bronchitis, nefritis akut, miokarditis
serta arthritis.
TONSILITIS KRONIS
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit
tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat
disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus
viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar
tergantung pada infeksi.
Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula.
Yaitu ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi), di sekelilingnya hiperemis dan pada
kriptanya dapat keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.
Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah
dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus.
Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa Rhinitis
kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis,
irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.
TONSILITIS MEMBRANOSA
Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak.
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk
gram positif hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit
ini.
Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa
leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull
neck).
3. Gejala akibat eksotoksin: kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf-saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae.
Terapi
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis
hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik.
Isolasi pasien, istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
Komplikasi
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung. Kelumpuhan otot palatum mole, otot
mata untuk akomodasi, otot faring atau otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai komplikasi ginjal.
Tonsilitis Septik
Penyebabnya adalah Streptococcus hemolyticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga
dapat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan.
Mononukleosis infekiosa
Adalah
infeksi
yang
disebabkan
oleh
virus
mononukleosis
infeksiosa
yang
penyebarannya terjadi melalui droplet. Dengan ditemukannya antibodi VEB melalui tes
diagnostik Paul Bunnel merupakan bukti bahwa terdapat hubungan antara virus Epstein-Barr
dengan mononukleosis infeksiosa. Pada pemeriksaan klinik didapat tonsilofaringitis membranosa
dengan limfadenopati servikalis, bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut, kadang-kadang
ditemukan hepatomegali atau splenomegali dan setelah minggu pertama hitung jenis leukosit
mencapai 10.00015.000/mm3 dengan 50% diantaranya adalah limfosit. Tonsilektomi dilakukan
pada kasus berat dengan gejala lokal seperti obstruksi jalan nafas, disfagia dan demam yang
menetap.
Tonsilitis Tuberkulosa
Terjadi sekunder setelah penyakit tuberkulosa aktif dalam paru-paru, menyebar ke tonsil
melalui:
Pada mukosa faring dan tonsil akan terdapat ulserasi irregular yang dangkal dan mengandung
jaringan granulasi yang pucat serta mengandung BTA tuberkel. Juga akan nampak pembesaran
kelenjar getah bening.
Aktinomikosis Tonsil
Disebabkan oleh jamur aktinomikosis. Tonsil yang terkena nampak membesar pada
kriptanya terdapat granula-granula sulfur disertai pembesaran kelenjar getah bening leher, yang
selanjutnya dapat menembus keluar sehingga terjadi fistel disertai pengeluaran pus yang
mengandung granula sulfur.
Scarlet Fever
Adalah infeksi yang disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus yang gejalanya mirip
tonsilitis folikularis akut. Penyakit ini disertai demam, nyeri tengorok dan ruam yang
menyeluruh pada kulit di seluruh tubuh. Pada tonsil yang terkena nampak edematus, hiperemis
dan terdapat eksudat mukopurulen yang nampak sebagai membran tipis. Pada mukosa mulut dan
faring nampak eritema yang hebat dan pada lidah nampak gambaran khas strawberry tongue.
TONSILEKTOMI
Definisi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan
patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada
jaringan sekitarnya seperti uvula dan pilar.
Indikasi Tonsilektomi
A. Indikasi absolut:
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu waktu tidur.
3. Hipertofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses perotinsiler yang berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
B. Indikasi relatif:
1. Serangan tonsilitis akut berulang (yang terjadi walau telah diberi penatalaksanaan medis
yang adekuat).
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus yang menetap dan patogenik
(karier).
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis.
5. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan tonsilitis
rekurens kronis dan pengendalian antibiotika yang buruk.
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon terhadap penatalaksanaan
medis.
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan gigi
geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.
8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.
Kontraindikasi
1. Infeksi saluran nafas atas berulang.
2. Infeksi kronis atau sistemik.
3. Demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin).
4. Tonsil yang membesar tanpa tanda-tanda obstruksi.
5. Rinitis alergi.
6. Asma.
7. Blood dyscrasia.
8. General inability.
9. Tonus otot lemah.
10. Sinusitis.
Jenis-jenis Tonsilektomi
Jenis-jenis tonsilektomi diantaranya:
1. Tonsilektomi metode Dissection - Snare
2. Tonsilektomi metode Sluder Ballenger
3. Tonsilektomi metode Kriogenik
4. Tonsilektomi metode elektrokoagulasi
5. Tonsilektomi menggunakan sinar laser
Komplikasi
1. Perdarahan
Komplikasi perdarahan dapat tejadi selama operasi belangsung atau segera setelah
penderita meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama post operasi) bahkan meskipun
jarang pada hari ke 5 -7 pasca operasi dapat terjadi perdarahan disebabkan oleh
terlepasnya membran jaringan granulasi yang terbentuk pada permukaan luka operasi,
karena infeksi di fossa tonsilaris atau trauma makanan keras. Untuk mengatasi
perdarahan, dapat dilakukan ligasi ulang, kompresi dengan gas ke dalam fossa,
kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan anastesi lokal atau umum.
2. Infeksi
Luka operasi pada fossa tonsilaris merupakan port dentre bagi mikroorganisme,
sehingga merupakan sumber infeksi dan dapat terjadi faringitis, servikal adenitis dan
trombosis vena jugularis interna, otitis media atau secara sistematik dapat terjadi
endokarditis, nefritis dan poliarthritis, bahkan pernah dilaporkan adanya komplikasi
meningitis dan abses otak serta terjadi trombosis sinus cavernosus. Komplikasi pada
paru-paru serperti pneumonia, bronkhitis dan abse paru biasanya terjadi karena aspirasi
waktu operasi. Abses parafaring dapat timbul sebagai akibat suntikan pada waktu anastesi
lokal. Pengobatan komplikasi infeksi adalah pemberian antibiotik yang sesuai dan pada
abses parafaring dilakukan insisi drainase.
3. Nyeri pasca bedah
Dapat terjadi nyeri tenggorok yang dapat menyebar ke telinga akibat iritasi ujung
saraf sensoris dan dapat pula menyebabkan spasme faring. Sementara dapat diberikan
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Arsyad, SpTHT. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. George L. Adams, M.D., J. Lawrence R. Boies, M.D., dan M.D. Peter A. Higler.
Fundamental of otolaryngology. 6th Edition. 1989. Philadelphia: WB Saunders Company.