Anda di halaman 1dari 23

KEGIATAN BELAJAR 7:

Masalah Sistem Respirasi


Pada Kehamilan
Oleh: Mira Trisyani, S.Kp., MNS
I.

Kompetensi Kegiatan Belajar:


Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan komunikasi yang efektif dalam memberi asuhan (C6A5P5)
2. Menggunakan proses keperawatan dalam menyelesaikan masalah klien dengan
mengembangkan pola fikir kritis, logis dan etis (C6A5P5).
3. Memberikan pendidikan kesehatan kepada klien sebagai upaya pencegahan primer,
sekunder dan tersier (C6A5P5).
4. Memanfaatkan hasil penelitian dalam upaya peningkatan kualitas asuhan keperawatan
(C4A5P5).
5. Mengembangkan potensi diri untuk meningkatkan kemampuan professional (C4A5P4).

II. Learning Objectives


1. Memahami perubahan fisiologis sistem respirasi pada masa kehamilan dan kelahiran.
2. Menjelaskan patomekanisme dari tanda dan gejala masalah sistem respirasi pada masa
kehamilan dan kelahiran.
3. Memahami dan mampu membuat asuhan keperawatan pada klien yang mengalami
masalah sistem respirasi pada masa kehamilan dan kelahiran.

III. Learning Activities

1. Melakukan telusur ilmiah pendahuluan mengenai masalah sistem respirasi pada masa
kehamilan dan kelahiran.
2. Membaca tinjauan teoritis pada Kegiatan Belajar 7
3. Menjawab Tes Formatif
4. Melakukan analisa kasus pemicu dan membuat resume hasil analisa dan asuhan
keperawatan sesuai kasus pemicu dengan metode small group discussion (SGD).
5. Mempresentasikan (reporting) hasil diskusi resume hasil analisa dan asuhan keperawatan
sesuai kasus pemicu.

IV. Tinjauan Teoritis


1. Pendahuluan
Proses pernapasan meliputi dua proses, yaitu inspirasi atau menghirup oksigen yang
diperlukan oleh sel-sel hidup untuk melaksanakan fungsi normal paru serta ekspirasi atau
mengeluarkan karbondioksida juga produk limbah dari sel-sel tubuh. Pada saat seseorang
menarik napas, terjadi kontraksi otot diafragma, terjadi perubahan posisi yaitu awalnya
melengkung ke atas menjadi lurus. Bersamaan dengan itu, otot-otot tulang rusuk ikut
berkontraksi pula. Akibat dari berkontraksinya kedua jenis otot tersebut adalah
mengembangnya rongga dada yang menimbulkan tekanan dalam rongga dada tersebut
menjadi berkurang dan udara masuk. Sedangkan saat mengeluarkan napas, otot diafragma
dan otot-otot tulang rusuk melemas. Akibatnya, rongga dada mengecil dan tekanan udara di
dalam paru-paru naik sehingga udara keluar. Dapat disimpulkan bahwa udara mengalir dari
tempat yang bertekanan besar ke tempat yang bertekanan lebih kecil.

Anatomis paru-paru terdiri dari sepasang organ-organ yang berbentuk kerucut terdiri dari
jaringan spons, dan berwarna abu-abu yang kemerah-merahan yang terbungkus membrane
(pleura). Posisinya sebagian besar ruang di dada atau thorax (bagian tubuh antara pangkal
leher dan diafragma). Pada masa kehamilan, rongga thorax lingkarannya meningkat 5-7 cm,

diakibatkan adanya peningkatan diameter anteroposterior dan melintang. Pembesaran tulang


rusuk tersebut pada akhir trimester pertama, mengakibatkan peningkatan sudut subcostal dari
68,5 hingga 103,5 sampai akhir masa kehamilan. Selain itu, pembengkakan kapiler mukosa
hidung, orofaringeal dan laring dimulai pada awal trimester pertama dan semakin meningkat
sejalan dengan umur kehamilan.

Banyak perubahan yang terjadi dalam sistem pernafasan selama kehamilan, termasuk
perubahan hormone progesterone, kortison, dan relaksin dan mungkin meningkatkan betaadrenergik disebabkan oleh progesterone menyebabkan pembesaran otot-otot saluran
pernafasan sehingga peningkatan aliran dan kapasitas paru menjadi meningkat.

Gambar 7.1: Perubahan anatomi paru pada masa kehamilan dan


sebelum hamil (sumber: google images)
Beberapa penulis telah melaporkan bahwa konsumsi oksigen meningkat oleh 30% sampai
40% selama kehamilan, peningkatan progresif adalah untuk memenuhi kebutuhan metabolic
janin, rahim dan plasenta juga sebagai kompensasi dari peningkatan curah jantung dan
pernafasan. Karena adanya peningkatan laju metabolisme basal pada ibu selama kehamilan
berlangsung, dan adanya peningkatan ukuran ibu, maka jumlah total oksigen yang diperlukan
menjelang persalinan kira-kira 20% diatas normal dan karbondioksida pun di bentuk dalam

jumlah yang sesuai. Efek tersebut menimbulkan ventilasi permenit menjadi meningkat. Juga
di duga bahwa kadar progesterone yang tinggi selama kehamilan meningkatkan ventilasi
permenit lebih banyak lagi, karena hormone progesterone dapat meningkatkan kepekaan pusat
pernafasan terhadap karbondioksida.

Selain akibat uterus yang sedang tumbuh menekan isi abdomen selanjutnya menekan ke area
atas hingga ke diafragma juga dengan meningkatnya kebutuhan oksigen menyebabkan
pergerakan diafragma menjadi berkurang akibatnya terjadi hiperventilasi dangkal (2024x/menit) akibat kompliansi dada (chest compliance) menurun.Volume tidal meningkat,
volume residu paru (functional residual capacity) menurun dan kapasitas vital menurun.
Akibatnya kecepatan pernafasan ditingkatkan untuk mempertahankan ventilasi yang cukup.
Konsekuensi dari perubahan fisiologis adalah terjadi hiperventilasi sebagai kondisi normal
pada kehamilannya, sehingga menimbulkan gambaran pernafasan alkalosis kronis selama
kehamilan dengan adanya penurunan tekanan parsial karbondioksida (pCO2), penurunan
bikarbonat, dan peningkatan pH. Meskipun tekanan karbondioksida normal pada ibu hamil,
dapat di curigai sebagai sinyal munculnya gangguan pernafasan.

Perubahan hormon dan perubahan-perubahan fisik karena pertumbuhan janin dapat


mempengaruhi bagian atas dan bawah saluran pernafasan. Beberapa perubahan umum yang
terjadi dalam sistem pernapasan dengan kehamilan meliputi: hidung tersumbat atau berair dan
mimisan, pembesaran rusuk, gerakan ke atas diafragma, otot datar besar digunakan untuk
respirasi, terletak tepat di bawah paru-paru. Saat bernafas meningkatkan jumlah udara masuk
dan keluar. Kapasitas paru-paru berkurang, Peningkatan penggunaan oksigen. Karena adanya
perubahan tersebut, banyak wanita hamil merasa sesak napas atau memiliki beberapa
kesulitan bernapas selama kehamilan berlanjut. Sehingga Ketika mengembangkan penyakit
paru-paru atau ada pra-kondisi seperti asma, paru-paru mungkin memiliki kesulitan
kompensasi. Pada ibu hamil, kemungkinan untuk menghentikan terapi pengobatan konsumsi
obat selama hamil untuk mengurangi resiko efek samping yang ditimbulkan pada
perkembangan janin. Kenyataannya adalah efek samping yang merugikan pada janin sangat
kecil dibandingkan dengan masalah yang ditimbulkan bagi ibu dan janin akibat munculnya
serangan asma yang tiba-tiba. Selain itu, tidak terkendalinya asma selama kehamilan juga

dapat menyebabkan komplikasi kehamilan dan persalinan seperti preeklamsia, pregnancyinduced hypertension, perdarahan uterin, berat badan lahir rendah, kelahiran premature,
anomaly congenital, fetal growth restriction, neonatal hipoglikemia, seizure, tachypnea dan
kegawatan neonatal. Penting bagi ibu hamil untuk menginformasikan riwayat kesehatannya
terkait dengan kondisi mereka untuk menentukan pengelolaan yang optimal. Selama masa
kehamilan, gejala asma dapat menjadi lebih buruk, meningkatkan, atau tetap sama.

2. Patofisiologi
Infeksi sistem respirasi, asma, dan cystic fibrosis dapat menyebabkan terjadinya obstruksi
jalan nafas dan alveoli. Hipoksia adalah ancaman utama terhadap fetus karena terganggunya
sirkulasi maternal-fetal melalui placenta. Agen infeksi menyerang dan menimbulkan
peradangan pada struktur pernafasan dan membran mukosa.

Peradangan pada struktur tersebut menyebabkan peningkatkan produksi mukus sebagai


kompensasi tubuh dalam memperbaiki kerusakan. Mukus mengandung protein dan beberapa
subtract yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan virus dan bakteri.
Seiring dengan kehilangan kelembaban menimbulkan peningkatan upaya untuk bernafas.
Hilangnya kelembaban tersebut menyebabkan mucus menjadi kering dan lebih kental
sehingga menghalangi jalan nafas (ACOG, 1996).

Melangsir gambaran fenomena dari intrapulmonary, dimana sebagian kecil darah yang
masuk menuju paru-paru tanpa mengandung oksigen. Munculnya hipoksemia tidak dapat
diperbaharui dengan pemberian tambahan oksigen. Karbondioksida bergerak lebih mudah
daripada oksigen. Oleh karena itu lebih mudah terjadinya peningkatan CO2 dari pada
meningkatkan O2.
Beberapa penyebab hipoksemia, diantaranya adalah:
-

Dataran tinggi

Hipoventilasi, seperti dalam penurunan respirasi akibat penekanan sistem saraf pusat

Gangguan difusi, ditemukan pada fibrosis paru yang berat dan penebalan membrane
alveolar

Ketidakcocokan ventilasi perfusi

Terlihat pada saat alveoli kolaps atau tertutupi oleh darah, pus atau adanya udem.

3. Tanda dan Gejala


a. Dyspne
Pada beberapa wanita mengalami dyspnea merupakan gejala awal adanya gangguan dan
distress pernafasan, terutama bagi yang mengalami hipoksemia dalam fase yang panjang.
b. Leukositosis
Peningkatan jumlah leukosit pada pemeriksaan sel darah lengkap dapat menunjukan
adanya infeksi bakteri.
c. Batuk
Adanya perubahan warna dari sputum dapat mengindikasikan adanya infeksi.
d. Tanda lainnya
Demam, tiba-tiba menggigil, nyeri dada, adanya bunyi nafas, penurunan bunyi nafas,
rales, crackles.

4. Asma Pada Kehamilan


Asma pada kehamilan adalah penyakit inflamasi kronis pada dan penyempitan saluran yang
ditandai dengan peningkatan respon dari cabang tracheobronkhial akibat adanya
rangsangan yang terjadi selama kehamilan. Penyakit ini merupkan episodik, yang ditandai
dengan exacerbations akut bercampur dengan periode bebas gejala. Kebanyakan serangan
asma terjadi sangat cepat berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa jam. Namun
demikian pengelolaan asma lebih ditekankan pada memulihkan secara klinis sepenuhnya
yang diakibatkan oleh keterbatasan mengembangkan aliran udara.

Prevalensi kejadian asma pada populasi umum adalah sekitar 4-6% (Kwon, Belanger, and
Bracken, 2003; Dombrowski and others, 2004). Sedangkan, dalam kehamilan berkisar dari
1-4%. Berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas akibat serangan asma pada
wanita hamil sebanding dengan orang-orang pada populasi umum. Di Amerika Serikat
angka kematian disebabkan penyakit asma adalah 2.1 orang per 100.000. Angka morbiditas
pada ibu hamil akibat asma menyebabkan kegagalan respirasi dan diperlukannya ventilasi
mekanik, barotrauma, komplikasi dari penggunaan steroid dan kematian.

Pengkajian
Monitor jalan nafas, auskultasi bunyi paru, stridor (menunjukkan pernafasan darurat jalan
nafas), nafas pendek, produksi sputum, sianosis, memiliki riwayat alergi, terpapar racun
atau allergen, nilai fungsi respirasi, bernafas dengan menggunakan otot aksesoris (
intercostals, diafragma, dll), kemudahan bernafas, pemicu untuk asma episode, riwayat
pengobatan.

Masalah Keperawatan yang mungkin muncul


1) Kecemasan sehubungan dengan dyspneu dn ketakutan meninggal
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan secret,
bronchospasme
3) Infeksi sehubungan dengan tertahannya sekret

Intervensi Keperawatan pada Masa Kehamilan dengan Asma


1) Diskusikan pentingnya pengelolaan asma selama kehamilan. Kurangnya pengelolaan
asma dapat meningkatkan resiko terhadap ibu dan janin. Mengidentifikasi macam obatobatan asma yang aman (tidak menimbulkan kecacatan kogenital).
2) Mengkaji terhadap complementary therapy sebagai alternatif pengobatan.
3) Berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan dan dokter penyakit dalam (sub spesialis
asma dan alergi).
4) Menjelaskan perbedaan antara asma dan penafasan normal juga pada saat terjadinya
serangan asma.
5) Berikan penguatan pentingnya berhenti merokok, karena rokok dapat mencetuskan asma.
6) Ajarkan tentang pentingnya menghindari lingkungan sebagai sumber penyebab timbulnya
serangan asma dan sumber allergen seperti serbuk bunga, debu, serangga, asap rokok,
spray, parfum. Selain itu

non spesifik penyebab infeksi yang berasal dari sumber

makanan seperti wine, ikan laut, gandum, telur, kacang, olahan susu, dan obat-obatan
seperti aspirin, serta beberapa nonsteroid antiperadangan (NAEPP, 2005).
7) Ajarkan pentingnya keberanjutan pengobatan dalam mengontrol asma tanpa membatasi
aktivitas
8) Ajarkan penggunaan inhaler secara benar.
9) Instruksikan klien untuk melakukan kontrol dan tahapan pengobatan secara teratur
10) Menegaskan pentingnya monitoring janin pada trimester pertama untuk menentukan
taksiran persalinan, dilanjurtkan monitoring pada trimester kedua dan ketiga untuk
mengetahui perkembangan janin.
11) Ajarkan tentang mendeteksi tanda-tanda kontraksi premature.
12) Ajarkan tentang pentingnya asupan kalori dan nutrient, jika perlu dirujuk kepada ahli gizi
dan spesialis obstetrian yang menangani kehamilan beresiko.
13) Berikan pendidikan kesehatan tentang asma dari berbagai referensi yang mudah
dimengerti oleh pasien.

Intervensi Keperawatan pada Masa Intrapartum dengan Asma


1) Instruksikan patien untuk melanjutkn pengobatan asma
2) Kaji PEFR pada saat pasien pertamakali datang dan setiap 12 jam
3) Pertahankan status oksigenasi pada ibu. Normal nya diatas 95%
4) Pertahankan hidrasi yang adekuat selama proses persalinan.
5) Monitoring kesejahteraan janin sesuai dengan prosedur tindakan rumah sakit
6) Hindarkan penggunaan histamine-releasing narcotics seperti meperidine (Demerol) atau
morphine untuk mengatasi nyeri persalinan
7) Jika di indikasikan menggunakan induksi atau augmentasi persalinan, oksitosin sangat
dianjurkan sedangkan prostaglandine E2 dapat menyebabkan bronkospasme.
8) Jika pasien telah mendapatkan terapi korticosteroid oral selama kehamilan lebih dari satu
bulan, dianjurkan pemberian steroid secara parenteral selama proses persalinan untuk
menekan adrenal.
9) Jika di indikasikan persalinan secara sectio sesaria, anestesi umum hanya digunakan sebagai
usaha terakhir.

Intervensi Keperawatan pada Masa Postpartum dengan Asma


1) Kaji pasien secara cermat terhadap adanya perdarahan dan distress pernafasan
2) Diskusikan pentingnya keberlanjutan penatalaksanaan asma dengan penggunaan obat-obatan
selama masa menyusui. Untuk mengurangi pengaruh obat-obatan terhadap Air Susu Ibu,
instruksikan pasien mengkonsumsi obat-obatan asma 15 menit setelah meyusui, (Peters,
1999).

3) Ajarkan bagaimana mengurangi kemungkinan asma pada bayi

yang dikandung oleh

penderitat asma, dengan memberikas asi eksklusif selama 6 bulan, bayi jangan

diberi

makanan telur atau campuran susu selama satu tahun pertama, jangan diberikan makanan
mengandung produk kacang-kacangan selama 2 tahun kehidupannya dan hindari kontak
dengan asap rokok (Kramer, 2000).

5. Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Hal tersebut terjadi akibat terjadinya gawat janin pada saat kehamilan dimana adanya reaksi
ketika janin tidak memperoleh oksigen yag cukup. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
keadaan ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama dan sesudah persalinan.

Berdasarkan data dari WHO, setiap tahunnya, sekitar 3% (3.6 juta) per 120.000.000
kelahiran bayi lahir mengalami asfiksia, dan hampir 1.000.000 bayi tersebut kemudian
meninggal. Menurut data IACMEG (2005) dan WHO (2007), di Indonesia, dinyatakan 32%
penyebab kematian Bayi Baru Lahir disebabkan karena persalinan prematur, 30% disebabkan
oleh asfiksia, dan 22% karena infeksi, 7% kematian disebabkan oleh kelainan kongenital
sedangkan 9% dikarenakan lain-lain.

Gawat janin sangat erat kaitannya dengan riwayat penyakit yang diderita oleh ibu hamil,
terutama gangguan fungsi pernafasan seperti asma yang tidak terkontrol dengan baik atau
asma yang berat dapat berpengaruh terhadap proses oksigenasi dan metabolisme janin yaitu
mengakibatkan hipoksia pada janin akibat adanya penurunan sirkulasi darah ke uterus.

Namun bagi bayi yang lahir dari ibu penderita asma yang terkontrol biasanya bayi tidak
mengalami permasalahan dalam hal berat badan dan nilai APGAR.

Patofisiologi
Sirkulasi oksigen melalui plasenta kepada janin

dan

jaringan

perifer

harus

terselenggara dengan baik, karena k ecenderungan oksigen, hemoglobin, dan kapasitas


angkut oksigen pada janin lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Sebagai hasil
metabolisme oksigen akan terbentuk asam piruvat, sementara CO 2 dan air
diekskresi melalui plasenta. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi akibat
dari perfusi ruang intervilli yang berkurang, maka penyaluran oksigen dan ekskresi CO2 akan
terganggu yang mengakibatkan penurunan kadar Ph atau dapat menimbulkan

asidosis

metabolik. Selain itu kondisi hipoksia yang berlangsung lama mengharuskan janin mengubah
glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerobik yang tidak efisien, bahkan menimbulkan
asam organik. Pada umumnya asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus darah uterus atau
arus darah tali pusat.

Pengkajian
Kaji terlebih dahulu beberapa keadaan yang dapat menyebabkan gawat janin akibat sirkulasi
darah ibu melalui plasenta berkurang, yang menyebabkan aliran oksigen ke janin terganggu
sehingga menimbulkan asfiksia pada bayi baru lahir.
1) Keadaan ibu: kaji terhadap riyawat kesehatan ibu meliputi kondisi preeklamsi dan
eklampsia, perdarahan abnormal (plasenta previa atau solution plasenta), partus lama atau
partus macet, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria, TB, HIV), dan kehamilan
postmaturus.
2) Keadaan tali pusat: melalui monitoring Ultra Sonografi dilihat adakah lilitan tali pusat, tali
pusat pendek, simpul tali pusat dan prolapsus tali pusat (biasanya pada letak kepala).
3) Keadaan bayi: biasanya ditemukan kondisi tidak disertai dengan gawat janin, seperti
persalinan premature (sebelum 37 minggu kehamilan), dimana surfaktan belum terbentuk

sempurna, ersalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum
dan forcep), kelainan kongenital, dan tercampurnya air ketuban oleh mekonium.
Pemeriksaan Penunjang
1) CTG dan USG
Dapat memastikan adanya gawat janin melalui frekuensi bunyi jantung janin kurang dari
100 atau lebih dari 180x/menit.
2) Amnioskopi
Dapat memastikan warna air ketuban yang tak terbaca dengan USG biasa, ditambah
amniosentesis untuk menilai kualitas air ketuban, maupun pemeriksaan pH darah kepala
janin.
3) Memeriksa ada atau tidaknya air ketuban bercampur dengan mekonium (warna
kehijauan).
Masalah Keperawatan yang mungkin muncul
1) Gangguan sirkulasi fetal-maternal
2) Gangguan psikososial meliputi kecemasan, nyeri, kurangnya pengetahuan.

Intervensi Keperawatan
1) Resusitasi intrauterin atau bantuan pernapasan dengan memposisikan ibu berbaring miring
ke kiri, juga dengan pemberian oksigen 8-10 L/min. Selama 2 jam kemudian kondisi ibu
harus diobservasi, untuk melihat adakah perubahan atau tidak.
2) Monitoring pemberian oksitosin melalui Intravena untuk penambahan dosis.
3) Monitoring ketat terhadap peningkatan Denyut Jantung Janin. Jika demikian harus segera
melaporkan kepada obstetrian untuk melakukan tindakan selanjutnya.
4) Bila sudah aterm atau setidaknya mencapai 34 minggu atau 36 minggu, dipertimbangkan
untuk segera terminasi kehamilan melalui tindakan section sesaria.
5) Monitoring pemberian medikamentosa terkait dengan obat-obatan untuk
paru.

kematangan

6. Emboli Cairan Ketuban


Emboli Air Ketuban/Amiotic Fluid Embolism (AFE) merupakan kedaruratan obstetri dengan
insiden kejadian sangat jarang dan merupakan dugaan bahwa cairan ketuban, sel-sel janin,
lanogo (rambut halus) memasuki sirkulasi maternal (maternal uterine blood sinus), melalui
robekan membran atau lepasnya sebagian plasenta, yang selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi paru dalam bentuk emboli-emboli kecil.

Kemungkinan terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, namun sebagian dapat terjadi pada
saat inpartu (70%), pasca persalinan (11%) an pasca sectio saecarea (19%). Prevalensi
kejadian emboli cairan ketuban diperkirakan tidak lebih dari 1 kasus per 8.000-30.000
kelahiran, data yang terekan pada tahun 2010 bahwa angka mortality berkisar antara 10-61%
sebagai penyebab kematian ibu dan angka morbiditas mencakup 26% wanita yang bertahan
hidup, mengalami kerusakan neurologis permanen.

Menurut sejarahnya pada tahun 1926, pertama kali Ricardo Meyer menjelaskan bahwa
komponen kecil dari sel-sel fetus pada sirkulasi maternal ada kaitannya terhadap gejala
hipotensi dan kejadian dyspnea pada saat persalinan. Sedangkan pada tahun 1941, Dr. Paul
Steiner dan Dr. Clarence Lushbaugh (pathologists dri Chicago University) menjelaskan dari
hasil autopsi pada 8 kasus emboli cairan ketuban yang berbeda, bahwa kekuatan kontraksi
uterus mendorong cairan ketuban ke vena uterus selama persalinan berlangsung,
kemungkinan mempengaruhi hiperkinesis uterin.

Patofisologis
Proses cairan amnion memasuki sirkulasi maternal masih belum jelas, (which is still the
subject of controvesial and open debate). Cairan ketuban dan komponen yang masuk ke
sirkulasi ibu, mungkin menimbulkan respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat
sama seperti syok anafilaktik atau syok sepsis. Cairan ketuban yang menyumbat pembuluh
darah di paru-paru ibu menimbulkan perluasan sehingga menghambat aliran ke jantung
iskemia miocardium gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Mengalami fase
perdarahan yang ditandai dengan perdarahan besar dengan atonia uteri dan Coagulation
Intravascular Diseminata (DIC).

Berikut dibawah ini dijelaskan dalam bentuk bagan alir :

Diagram 7.1 : Patofisiologi Emboli Air Ketuban


(Sumber: Harvard Medical School)

Manifestasi dari emboli cairan ketuban biasanya disertai dengan tanda dan gejala sebagai
berikut: hipotensi disertai dengan shock, hipoksia, dyspnea, batuk, gawat janin, pulmonary
edema, cardiac arrest, atonia uteri, dan koagulopati.

Pengkajian
Pengkajian tehadap kesehatan pasien sangat diperlukan dalam menindaklanjuti suatu
intervensi keperawatan kepada pasien. Dengan adanya pengkajian yang menyeluruh maka
intervensi keperawatan kepada pasien akan semakin optimal, hal ini di awali dengan
Menetapkan kapan gejala mulai timbul, menetapkan kapan gejala timbul, apa yang menjadi
pencetusnya, apa yang dapat menghilangkan atau meringankan gejala tersebut dan apa yang
memperburuk gejala adalah bagian dari pengkajian, juga mengidentifikasi setiap riwayat
alergi atau adanya penyakit yang timbul bersamaan.

Pemeriksaan Diagnostik
Emboli cairan ketuban dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis klinis, namun halnya tidak ada
pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosa melainkan pemeriksaan
awal yang meliputi:

1) Arterial blood gas

PO2 (mm Hg) biasanya menurun. Berikut dibawah ini nilai normal dari umbilikus analisa
gas darah:
Tabel 7.1 Nilai Normal Analisa Gas Darah

pH

PCO2 (mmhg)
PO2 (mmhg)
HCO3
(mEq/liter)

Vena Umbilikal

Arteri Umbilikal

7.350.05

7.280.05

(7.24-7.49)

(7.15-7.43)

38.25.6

49.28.4

(23.2-49.2)

(31.2-74.3)

29.25.9

18.06.2

(15.4-48.2)

(3.8-33.8)

20.42.1

22.32.5

(15.9-24.7)

(13.3-27.5)

Sumber: From Assessment of Fetal and Newborn acid-base status, by the American
College of Obstetric and gynecologists, April 1989, ACOG Technical Bulletin, 127

2) Gambaran koagulasi ( fibrinogen, trombosit, masa protombin)


Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam
kejadian awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan
pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi
dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler
3) EKG
Biasanya menunjukkan adanya regangan jantung kanan akut.
4) Urine output
Keluaran urin dapat menurun, hal teresbut mengindikasikan adanya perfusi ginjal yang
tidak adekuat.
5) Foto Thorak
Melalui foto thoraks dapat memperlihatkan defek perfusi yang sesuai dengan proses emboli
paru.

Penatalaksanaan

1) Resusitasi, ventilasi, bantuan sirkulasi


2) Penggantian cairan intravena dan darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia dan
perdarahan
3) Oksitosin yang ditambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia uteri
4) Morfin (10mg) dapat membantu mengurangi dispnea dan anxietas
5) Heparin untuk mencegah defibrinasi intravaskular dengan menghambat proses pembekuan
6) Obat-obatan untuk peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung.

Masalah Keperawatan yang mungkin muncul:


1) Gangguan pertukaran gas
2) Ketidakefektifan pola pernafasan
3) Perubahan perfusi jaringan
4) Defisit volume cairan
5) Intolerance aktifitas

Intervensi keperawatan
Manajemen jalan nafas dengan cara:

1)
-

Sediakan jalan napas orofaringeal atau blok bite untuk mencegah tergigitnya tube
endotrekeal.

Berikan hidrasi sistemik adekuat dengan cairan oral atau parenteral.

Pompa cuff endotrakeal/trakeostoma menggunakan teknik volum oklusif minimal atau


teknik yang meminimalkan kebocoran.

Hisap orofaring dan sekresi dari atas tube cuff sebelum mengosongkan cuff.

Pantau tekanan cuff setiap 4-8 jam selama ekspirasi menggunakan 3 cara stopcock,
syringe yang dikalibrasi dan manometer raksa

Cek dengan segera tekanan cuff setelah memberikan anastesi umum

Tukar pita endotrakeal setiap 24 jam, perhatikan kondisi kulit dan mukosa oral,
pindahkan ET tube ke sisi mulut yang lain.

Auskultasi

suara

paru

endotrakeal/trakeostomi.

setelah

insersi

dan

setelah

merubah

pita

Catat petanda sentimeter acuan pada tube endotrakeal untuk memantau kemungkinan
penggantian.

Bantu dengan rontgen dada untuk memantau posisi tube.

Berikan suction endotrakeal.

Berikan perawatan trekeostomi setiap 4-8 jam, bersihkan bagian dalam kanula,
bersihkan dan keringkan area disekitar stoma dan ganti pita trakeostomi.

Berikan perawatan mulut dan suction orofaring


Terapi oksigen, dengan cara:

2)

Jaga kepatenan jalan napas

Sediakan peralatan oksigen, system humidifikasi

Pantau aliran oksigen

Pantau posisi peralatan yang menyalurkan oksigen pada pasien

Secara teratur pantau jumlah oksigen yang diberikan pada pasien sesuai dengan
indikasi

Pantau tanda keracunan oksigen dan tanda hipoventilasi yang dipengaruhi oksigen

Pantau kecemasan pasien terkait terapi oksigen

Pantau kerusakan kulit akibat penekanan alat oksigen Bersihkan oral, hidung dan
trakea dari sekret

Monitor posisi pemasangan alat oksigen

Pindahkan ke alternatif alat oksigen lainnya yang bisa meningkatkan kenyamanan.

Monitor pernafasan dengan cara:

3)
-

Monitor frekuensi, rata-rata, irama, kedalaman dan usaha bernafas.

Catat pergerakkan dada, lihat kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, dan


supraklavikula dan retaksi otot intercostal.

Monitor bising pernafasan seperti ribut atau dengkuran.

Monitor pola nafas seperti bradipnu, takipnu, hiperventilasi, pernafasan kussmaul,


Ceyne stokes, apnu, biot dan pola ataksi.

Palpasi jumlah pengembangan paru.

Perkusi anterior dan posterior torak dari apeks sampai basis secara bilateral.

Auskultasi bunyi nafas, catat ventilasi yang turun atau hilang.

Monitor hasil dari ventilator, catat peningkatan dalam pernapasan dan penurunan
volume tidal jika dibutuhkan.

Monitor peningkatan keletihan, kecemasan dan kebutuhan akan oksigen.

Monitor kemampuan pasien untuk batuk.

Catat lama, karakteristik dan lama batuk.

Monitor dispnu dan persitiwa yang bisa meningkatkan kejadian dispnu.

Monitor krepitus.

Buka jalan nafas dengan menggunakan teknik chin lift atau jaw thrust jika dbutuhkan.

Lakukan resusitasi jika dibutuhkan.

Lakukan terapi pengobatan pernapasan (contoh: nebulizer) jika dibutuhkan.

Jika diperukan bantuan ventilasi lakukan :


o

Jaga kepatenan jalan napas

Berikan posisi yang mengurangi dyspnea

Posisikan untuk meminimalkan usaha bernapas seperti meninggikan kepala


tempat tidur

Dorong pasien untuk napas dalam dan lambat serta batuk

Pantau kelemahan otot pernapasan, mulai dan jaga oksigen tambahan

Berikan medikasi-medikasi nyeri yang cocok untuk mencegah hipoventilasi

Pantau status respirasi dan oksigenasi

Berikan obat-obatan seperti bronkodilator, inhaler yang meningkatkan kepatenan


jalan napas dan perubahan gas juga mengajari teknik bernapas

Monitor efek dari dari perubahan posisi dalam pemakaian oksigen.

4)

Pemantauan Tanda-tanda vital, meliputi:


-

Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan, jika diindikasikan.

Catat adanya fluktuasi tekanan darah.

Monitor tekanan darah pada saat pasien tidur, duduk, dan berdiri, jika diindikasikan.

Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan sebelum, selama, dan sesudah
beraktifitas, jika diindikasikan.

5)

Monitor adanya tanda dan gejala hipotermi/hipertermi.

Jika perlu, periksa nadi apikal dan radial secara simultan dan catat perbedaannya.

Monitor kuat/lemahnya tekanan nadi, monitor irama dan frekuensi jantung.

Monitor bunyi jantung, monitor frekuensi dan irama nafas.

Monitor adanya abnormalitas pola nafas, monitor warna, suhu, dan kelembaban kulit.

Identifikasi faktor penyebab perubahan tanda-tanda vital.

Monitor tekanan darah selama, sebelum dan sesudah beraktivitas

Manajemen Asam-Basa dengan cara:


-

Pertahankan kepatenan akses IV

Pertahankan kepatenan jalan nafas

Pantau kehilangan asam (seperti : muntah, pengeluaran nasogastrik, diare dan


diuresis), sesuai dengan kebutuhan

Pantau kehilangan bikarbonat ( seperti : drainase fistula dan diare), sesuai dengan
kebutuhan

Atur posisi untuk memudahkan ventilasi yang adekuat (seperti : membuka jalan nafas
dan mengangkat kepala di tempat tidur)

Pantau gejala gagal nafas ( seperti : PaO2 rendah dan menaikkan tingkat PaCO2 dan
kelelahan otot pernafasan)

Pantau pola pernafasan

Pantau proses transfer O2 di jaringan (seperti : paO2, SaO2, dan tingkat hemoglobin
dan curah jantung), sesuai dengan kebutuhan

Sediakan terapi oksigen, jika diperlukan

Pantau kesalahan ketidakseimbangan elektrolit dengan mengoreksi ketidakseimbangan


asam-basa

Kurangi konsumsi oksigen ( seperti : meningkatkan kenyamanan, mengendalikan


deman, dan mengurangi kecemasan), sesuai dengan kebutuhan

6)

Pantau status neurologis ( seperti : tingkat kesadaran dan kebingungan)

Instruksikan pasien dan/atau keluarga untuk mengatasi ketidakseimbangan asam-basa

Tingkatkan orientasi

Management

elektrolit terhadap hiperkalsemia, hiperkalemia, hipermagnesemia,

hipernatremia, hiperfosfatemia melalui:


-

Memantau masukan dan keluaran

Memantau fungsi ginjal (missal : BUN dan kadar Cr) jika perlu

Memantau kecenderungan kadar serum pada kalsium (misalnya : kalsium terionisasi),


sebisanya

Memantau ketidakseimbangan elektrolit dihubungkan dengan hiperkalsemia (misalnya


: hipo atau hiperfosfatemia, hiperkloremik asidosis, dan hipokalemi dari dieresis)
seperlunya

Mengatur pengobatan yang ditentukan untuk mengurangi kadar serum kalsium


terionisasi (misalnya : fosfat, sodium bicarbonate, dan glukokortikoid), seperlunya

Memantau kelebihan cairan yang dihasilkan dari terapi hidrasi (misalnya : berat badan
harian, haluaran urin, penegangan vena jugularis, bunyi paru, dan tekanan atrium
kanan), seperlunya

Mendorong banyak mengkonsumsi bauh-buahan (misalnya : cranberries, prunes, atau


plums) untuk meningkatkan keaaman urin dan menurunkan resiko pembentukan batu
ginjal, seperlunya

Memantau manifestasi CNS dari hiperkalsemia (misalnya :letargi, depresi, hilang


ingatan, sakit kepala, pusing, koma, dan perubahan kepribadian)

Memantau manifestasi neuromuscular pada hiperkalsemia (misalnya : anoreksia, mual,


muntah, nyeri abdominal, dan konstipasi)

Memantau manifestasi kardiovaskuler dari hiperkalsemia (Misalnya : pemendekan


segmen ST dan interval QT, pemanjangan interval PR, peruncingan gelombang T,
sinus bradikardi, hambatan jantung, hipertensi, dan henti jantung)

Memantau penyebab kenaikan kadar kalsium (misalnya : indikasi dehidrasi berat dan
gagal ginjal), seperlunya.

7)

Manajemen cairan, melalui:


-

Timbang BB tiap hari

Pertahankan intake yang akurat

Monitor status hidrasi (seperti :kelebapan mukosa membrane, nadi)

Monitor hasil lab. terkait retensi cairan (peningkatan BUN, Ht ), Monitor TTV

Monitor adanya indikasi retensi/overload cairan (seperti :edem, asites, distensi vena
leher)

V.

Monitor perubahan BB klien sebelum dan sesudah dialisa

Monitor status nutrisi

Anjurkan klien untuk intake oral

Distribusikan cairan > 24 jam

Tawarkan snack (seperti : jus buah)

Konsultasi dengan dokter, jika gejala dan tanda kehilangan cairan makin buruk.

Persiapkan untuk administrasi produk darah.

Berikan terapi IV, Berikan cairan dan Produk darah

Tes Formatif
1. Ibu hamil trimester pertama datang ke poliklinik kebidanan untuk pemeriksaan
kehamilan, pada saat dilakukan pengkajian oleh perawat ternyata ibu memiliki riwayat
penyakit asma, berdasarkan penjelasan ibu sudah hampir dua tahun tidak mengalami
serangan asma dan merasa tidak ada masalah dengan pernafasannya. Sebagai perawat
maternitas, apa sebaiknya yang dapat di anjurkan kepada ibu tersebut terkait dengan
riwayat penyakit asma?
a. Klien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan fungsi paru
b. Klien di anjurkan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan asma
c. Melibatkan dokter karena perawat tidak memiliki kepentingan untuk membahas
tentang asma
d. Perawat melakukan pemeriksaan intensif terhadap janin

e. Menginformasikan kepada klien bahwa riwayat penyakit asma tidak akan


mengganggu kehamilannya

2. Seorang berusia 27 tahun, hamil 34 minggu datang ke unit gawat darurat dengan keluhan
sesak nafas. Saat dikaji ibu mengalami nafas pendek, wheezing, batuk, dan mengeluarkan
sputum. Dengan melihat kondisi tersebut, kemungkinan klien mengalami?
a.
b.
c.
d.
e.

Bronchial pneumonia
Asma akut
Chronic Obstruksi Pulmonary Diseases (COPD)
TB
Emphysema

3. Seorang ibu dirawat di ruang perawatan kebidanan dengan diagnosa medis emboli cairan
ketuban. Penatalaksanaanya adalah ibu perlu dimonitoring untuk mendapatkan
maintenance fungsi kardiovaskuler dan pernafasan termasuk pemberian cairan, terapi
oksigen dan obat-obatan vaso aktif. Bagaimana cara memberikan perawatan monitoring
pernafasan pada kondisi tersebut?
a. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan, jika diindikasikan.
b. Catat adanya fluktuasi tekanan darah.
c. Berikan perawatan mulut dan suction orofaring
d. Monitor frekuensi, rata-rata, irama, kedalaman dan usaha bernafas
e. Monitor kuat/lemahnya tekanan nadi, monitor irama dan frekuensi jantung

4. Seorang ibu hamil berusia 32 tahun dengan usia kehamilan pada trimester ketiga (36
minggu) datang ke ruang gawat darurat akibat merasakan mules sejak 12 jam yang lalu.
Ibu mengatakan sejak satu hari yang lalu keluar cairan sedikit- sedikit saat akan
berkemih. Hasil pemeriksaan perawat DJJ 170x/menit, ketuban negative, pembukaan 2
cm. Segera ibu di berikan therapy oksigen dan dipersiapkan untuk terminasi kehamilan.
Berapakah kebutuhan therapy oksigen tersebut?
a. 1-2 L/min

b.
c.
d.
e.

2-4 L/min
4-6 L/min
6-8 L/min
8-10 L/min

Anda mungkin juga menyukai