Anda di halaman 1dari 20

Preeklampsia / Eklampsia

A. PREEKLAMPSIA / EKLAMPSIA
a. Definisi
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria (Angsar MD, 2009). Preeklampsia ringan adalah sindrom spesifik kehamilan
berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Preeklampsia
berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik 110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gr/24 jam (Angsar MD, 2009;
Cunningham et al. 2005). Preeklampsia jarang timbul sebelum 20 minggu kehamilan kecuali
jika terdapat penyakit ginjal ataupun penyakit trofoblastik (Queenan, Hobbins & Spong 2010;
Soefoewan 2003).
Hipertensi didiagnosis apabila tekanan darah istirahat mencapai 140/90 mmHg atau lebih
dengan menggunakan fase V Korotkoff (titik di mana suara denyut menghilang) untuk
menentukan tekanan diastolik (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005; Queenan,
Hobbins & Spong 2010). Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali
selama 4-6 jam (Angsar MD, 2009; Queenan, Hobbins & Spong 2010). Kenaikan tekanan
darah sistolik 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah 15 mmHg sebagai parameter
hipertensi sudah tidak dipakai lagi (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005). Kriteria ini
tidak lagi dianjurkan karena bukti memperlihatkan bahwa wanita dalam kelompok ini kecil
kemungkinannya mengalami peningkatan gangguan hasil kehamilan, namun perlu diawasi
dengan ketat (Cunningham et al. 2005).
Proteinuria adalah tanda penting preeklampsia, apabila tidak terdapat proteinuria,
diagnosis dipertanyakan. Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih
protein dalam urin per 24 jam atau sama dengan pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+
dipstick secara menetap pada sampel acak urin, menggunakan urin midstream yang diambil
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005;
Queenan, Hobbins & Spong 2010). Proteinuria menunjukkan bahwa kerusakan telah
mencapai tingkat glomerulus ginjal sehingga fungsinya mulai menurun atau bersifat patologis
(Manuaba 2007).
Dahulu edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklampsia, tetapi sekarang
edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu
dipertimbangkan faktor risiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan edema
generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu (Angsar MD, 2009; Cunningham
et al. 2005). Jenis edema pada ibu hamil adalah pitting edema, yaitu jika ditekan akan
meninggalkan bekas.
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang yang bukan
disebabkan oleh hal lain (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005). Kejang bersifat tonik
dan klonik (Cunningham et al. 2005).
b. Faktor risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut :
Primigravida.
Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus, hidrops
fetalis, bayi besar.
Umur < 20 tahun atau > 35 tahun.
Riwayat keluarga pernah PE/E.

Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil.


Obesitas.
Pernah menderita PE/E pada kehamilan sebelumnya.
Penelitian retrospektif menyimpulkan berbagai faktor risiko untuk terjadinya
preeklampsia adalah : penyakit ginjal kronis (20:1), hipertensi kronis (10:1), antiphospolipid
sindrom (10:1), sejarah pernah preeklampsia pada keluarga (5:1), kehamilan kembar (4:1),
nullipara (3:1), umur di atas 40 tahun (3:1), diabetes melitus (2:1), ras Afrika-Amerika
(1,5:1). (Karkata 2006)
c.

Etiologi
Penyebab preeklampsia hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori yang
menerangkan namun belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan oleh karena itu
penyakit ini disebut disease of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain (Angsar MD,
2009) :
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabangcabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi arteri
arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium
menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.
Pada hamil normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi arteri
spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi
vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin
cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis (Angsar MD, 2009).

Gambar 1. Invasi Trofoblas pada Hamil Normal (atas) dan pada Preeklampsia (bawah).
(Medicine Blog, 2011)
Pada PE/E terjadi kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan
keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi. Sehingga aliran darah
utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta (Angsar MD, 2009).

2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


a) Iskemia plasenta dan pembentukan radikal bebas
Karena kegagalan remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta mengalami iskemia,
yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH) yang
dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak juga akan
merusak nukleus dan protein sel endotel.

Gambar 2. Kerusakan

Pembuluh Darah pada Preeklampsia


(Cunningham et al. 2005)
b) Disfungsi endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan
rusaknya seluruh struktur sel endotel (Kartha, Sudira & Gunung 2000). Keadaan ini disebut
disfungsi endotel, yang akan menyebabkan terjadinya :
Gangguan metabolisme prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2), yang
merupakan suatu vasodilator kuat.
Agregrasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi tromboksan (TXA2), yaitu suatu vasokonstriktor kuat. Dalam
keadaan normal, kadar prostasiklin lebih banyak dari pada tromboksan. Sedangkan pada
preeklampsia kadar tromboksan lebih banyak dari prostasiklin, sehingga menyebabkan
vasokonstriksi yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis).
Peningkatan permeabilitas kapiler
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO menurun,
sedangkan endotelin meningkat (Farid et al. 2001).
Peningkatan faktor koagulasi.
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang
dapat melindungi trofoblas janin dari lisi oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan
mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu (Angsar MD, 2009).
Pada plasenta ibu yang mengalami PE, terjadi penurunan ekspresi HLA-G, yang akan
mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi
Immune-Maladaptation pada preeklampsia (Angsar MD, 2009).
4) Teori adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor. Refrakter
berarti pembuluh darah tidak peka terhadap ransangan vasopresor, atau dibutuhkan kadar
vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Refkrakter ini terjadi
akibat adanya sintesis prostaglandin oleh sel endotel.

Pada PE terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor, sehingga


pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah
akan mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan. (Angsar
MD, 2009; DeCherney & Pernoll 2006)
5) Teori genetik
Wanita yang mengalami PE pada kehamilan pertama akan meningkat mendapatkan PE
pada kehamilan berikutnya. Odegard dkk di Norwegia menemukan risiko 13,1% pada
kehamilan kedua bila dengan partner yang sama dan sebesar 11,8% jika berganti pasangan.
Mostello mengatakan kejadian PE akan meningkat pada kehamilan kedua bila ada kehamilan
dengan jarak anak yang terlalu jauh. Cincotta menemukan bahwa bila dalam keluarga ada
riwayat pernah PE maka kemungkinan mendapat PE pada primigravida tersebut akan
meningkat empat kali. (Karkata 2006)
6) Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa defisiensi gizi berperan dalam terjadinya
hipertensi dalam kehamilan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian pemberian berbagai elemen
seperti zinc, kalsium, dan magnesium untuk mencegah preeklampsia. Pada populasi umum
yang melakukan diet tinggi buah-buahan dan sayuran yang memiliki aktivitas antioksidan,
seperti tomat, wortel, brokoli, apel, jeruk, alpukat, mengalami penurunan tekanan darah.
(Cunningham et al. 2005)
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, dapat mengurangi
risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktifasi trombosit, dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah (Angsar MD, 2009).
7) Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, pelepasan
debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas
wajar. Berbeda dengan proses apoptosis pada PE, dimana pada PE terjadi peningkatan stres
oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan
ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktivasi sel
endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi
sistemik yang menimbulkan gejala-gejala PE pada ibu (Angsar MD, 2009).
d d.

Patofisiologi
Dalam perjalanannya faktor-faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang saling
berkaitan dengan titik temunya pada invasi trofoblas dan terjadinya iskemia plasenta.
(Roeshadi 2007)
Pada PE ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesanya. Tahap pertama
adalah: hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis.
Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis pada awal
kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar
dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta
sehingga terjadilah hipoksia plasenta. (Roeshadi 2007)
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti
sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan
menyebabkan terjadinya stres oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya
lebih dominan dibandingkan antioksidan. (Roeshadi 2007; Farid et al. 2001)
Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat
merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut disfungsi

endotel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah pada organ-organ
penderita preeklampsia. (Roeshadi 2007; Farid et al. 2001)
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai
vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor
seperti endotelium I, tromboksan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi
yang luas dan terjadilah hipertensi. (Roeshadi 2007)

Gambar 3. Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan. (Manuaba 2007)

Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,


sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah
terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut
dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti:

Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.

Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.

Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan edema paru dan edema
menyeluruh.

Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.

Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.

Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan
retina, dan pendarahan.

Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin, dan
solusio plasenta.

e. Insidensi
Menurut Manurung dan Wiknjosastro (2007) antara tahun 2003 2005 tercatat 9437
persalinan di RSCM. Kasus preeklampsia berat dan eklampsia secara keseluruhan tercatat
1453 kasus (15,3 %), sebanyak 221 (2,3 %) diantaranya merupakan kasus eklampsia.
Sehingga rata-rata tiap bulan terdapat 34 pasien preeklampsia berat dan 6 pasien eklampsia.
f. Gejala klinis
Tabel 1. Gambaran klinis hipertensi dalam kehamilan (Manuaba 2007)
Preeklampsia
Ringan
Tensi > 140/90 mmHg
BB naik melebihi batas

Impending eklampsia
Berat
Objektifnya :
Tensi > 160/110 mmHg

Hiperaktif refleks
Edema

Eklampsia

Gejala preeklamps
ditambah dengan :

normal kg/minggu
Proteinuria +1
Edema ringan

Oliguria < 500 cc/24 jam


Terdapat dipsnea sianosis
Janin mungkin : IUGR,

Asfiksia

Sesak-sianosis
Gejala subjektinya :
Gangguan visus
Nyeri epigastrium
Nyeri kepala.

Konvulsi
Kesadaran turun s
koma.

Gejala-gejala PE baru menjadi nyata pada usia kehamilan yang lanjut yaitu biasanya
pada trimester ketiga, walaupun sebenarnya kelainan yang mendasarinya melalui mekanisme
patofisiologi sudah terjadi jauh lebih dini yaitu pada usia kehamilan antara 8 sampai 18
minggu. (Kartha, Sudira & Gunung 2000)
Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan
yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada PE ringan tidak
ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada PE berat gejala-gejalanya adalah (Angsar MD, 2009)
:
1) Tanda dan gejala
Tekanan darah sistolik 160 mmHg
Tekanan darah diastolik 110 mmHg
Proteinuria > 5 gr/24 jam
Oligouria < 400 ml/24 jam
Nyeri epigastrium
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan
kabur.
Perdarahan retina
Edema pulmonal
Koma
2) Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit
Anemia karena hemolisis
Peningkatan kadar enzim hati/ ikterus
Trombosit < 100.000/mm
Asam urat > 6 mg/dl
Peningkatan serum kreatinin
g. Klasifikasi dan Diagnosis
Dalam pengelolaan klinis, PE dibagi sebagai berikut :
1) Diagnosis PE ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria
dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu (Angsar MD, 2009).
Hipertensi : tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110 mmHg.
Proteinuria : 300 mg/24 jam dengan menggunakan cara Esbach, atau 1 + dipstik.
Edema : edema lokal tidka dimasukkan dalam kriteria PE, kecuali edema generalisata.
2) Ditegakkan diagnosa PE berat jika ditemukan satu atau lebih tanda dan gejala sebagai
berikut (Angsar MD, 2009) :

Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak
menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
Proteinuria 5 gr/24 jam atau 4 + dipstik.
Oligouri, yaitu produksi urin < 500 ml/24 jam.
Serum kreatinin meningkat.
Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula
Glisson).
Edema paru atau sianosis
Hemolisis mikroangiopatik.
Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
Peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
Sindrom HELLP.
3) Dan disebut impending eclampsia apabila pada penderita PE berat ditemukan gejala-gejala
subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan
kenaikan progresif tekanan darah.
4) Dan disebut eklampsia jika pada penderita PE berat dijumpai kejang menyeluruh dan koma.
Pada penderita PE yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda khas,
yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang. PE yang disertai dengan
tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia
(Angsar MD, 2009).
h.

Diagnosis banding
Kejang pada eklampsia harus dibedakan dengan kejang yang disebabkan oleh penyakit
lain, misalnya perdarahan otak, lesi otak, kelainan metabolik, meningitis, epilepsi iatrogenik
(Angsar MD, 2009).
Eklampsia selalu didahului oleh PE. Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik.
Tanda-tanda kejang tonik ialah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otototot muka khusunya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot
tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah
penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan
menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat ini dalam
keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15 30 detik (Angsar MD, 2009).
Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik dimulai dengan
terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai pula dengan
terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada
otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadangkadang disertai bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti dan pada

konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan. Kejang klonik berlangsung kurang lebih
1 menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang melemah, dan akhirnya berhenti serta penderita
jatuh ke dalam koma (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005).

i. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam bentuk
kemungkinan (Manuaba 2007) :
Perdarahan subkapsular
Perdarahan periportal sistem dan infark liver
Edema parenkim liver
Peningkatan pengeluaran enzim liver
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan
sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk
kelainan patologis sebagai berikut (Manuaba 2007) :
Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
Iskemia yang menimbulkan infark serebral
Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata.
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi
hidup dari ibu yang menderita PE/E. Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada PE berat
dan eklampsia (Artikasari 2009) :
1) Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada
PE.
2) Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada PE berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar
fibrinogen secara berkala.
3) Hemolisis
Penderita dengan PE berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal
dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakkan sel hati atau
destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi
penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4) Perdarahan otak

Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.


5) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi
apopleksia serebri.
6) Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkopneumonia
sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
7) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada PE/E merupakan akibat vasospasme arteriole umum. Kelainan
ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada penyakit lain.
Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan
enzim-enzimnya.
8) Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler
(peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri
epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas asam lemak
jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding
vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.
9) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial
tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah
anuria sampai gagal ginjal.
10) Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan
DIC (disseminated intravascular cogulation).
11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

j. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah terjadinya PE pada
perempuan hamil yang mempunyai risiko terjadinya PE. PE adalah suatu sindroma dari
proses implantasi sehingga tidak secara keseluruhan dapat dicegah. Pencegahan dapat
dilakukan dengan nonmedikal dan medikal. (Angsar MD, 2009)
1) Pencegahan dengan non medikal

Pencegahan nonmedikal ialah pencegahan dengan tidak memberikan obat. Cara yang paling
sederhana ialah melakukan tirah baring. Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah
terjadinya PE. Diet suplemen yang mengandung (a) minyak ikan yang kaya dengan asam
lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PUFA, (b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, karoten, N-Asetilsistein, asam lipoik, dan (c) elemen logam berat: zinc, magnesium, kalsium.
2) Pencegahan medikal
Pemberian kalsium: 1.500 - 2.000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi
terjadinya PE. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium 365 mg/hari.
Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah PE ialah aspirin dosis rendah rata-rata di
bawah 100 mg/hari, atau dipiridamole. Dapat juga diberika antioksidan: vitamin C, vitamin
E, -karoten, N-Asetilsistein, asam lipoik
3) Antenatal care (ANC)
a) Definisi
ANC adalah pemeriksaan/pengawasan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan untuk
mengoptimalisasi kesehatan mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu menghadapi
persalinan, nifas, persiapan memberikan ASI, dan kembalinya kesehatan reproduksi secara
wajar.
b) Tujuan ANC
Memantau kemajuan kehamilan dan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang
bayi.
Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik dan mental dan sosial ibu.
Mengenal secara dini adanya ketidaknormalan, komplikasi yang mungkin terjadi selama
hamil termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan, dan pembedahan.
Mempersiapkan kehamilan cukup bulan, melahirkan dengans elamat ibu dan bayinya dengan
trauma seminimal mungkin.
Mempersiapkan Ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI ekslusif.
Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh
kembang secara optimal.
c) Kebijaksaan Program
Kunjungan ANC sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu :
o 1 kali pada trimester I
o 1 kali pada trimester II
o 2 kali pada trimester III
Pemeriksaan pertama dilakukan segera setelah diketahui terlambat haid.
Kunjungan ANC yang saint adalah :
o Setiap bulan sampai umur kehamilan 28 minggu
o Setiap 2 minggu sampai umur kehamilan 32 minggu
o Setiap 1 minggu sejak kehamilan 32 minggu sampai terjadi kelahiran.
Pemeriksaan khusus jika ada keluhan tertentu.
d) Pelayanan Asuhan Standar Minimal 7T
Timbang berat badan
Tekanan Darah

Tinggi Fundus Uteri (TFU)


TT lengkap (imunisasi)
Tablet Fe minimal 90 paper selama kehamilan
Tengok / periksa ibu hamil dari ujung rambut sampai ujung kaki
Tanya (temu wicara) dalam rangka persiapan rujukan
e) Konsep Pemeriksaan Kehamilan
Anamnesa
Pemeriksaan
o Pemeriksaan Umum
o Pemeriksaan khusus obstetri
o Pemeriksaan penunjang
Diagnosis / kesimpulan
Diagnosis banding
Prognosis

k. Penatalaksanaan
Pada dasarnya penanganan penderita PE/E yang definitif adalah segera melahirkan bayi
dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam penatalaksanaannya kita harus mempertimbangkan
keadaan ibu dan janinnya, antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan
seberapa jauh keterlibatan organ. Tujuan penatalaksanaan PE/E adalah (Roeshadi 2007):

Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu mencegah
komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.

Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu hamil.

Mencegah perdarahan intrakranial dan mencegah gangguan fungsi organ vital.

PREEKLAMPSIA RINGAN
1) Kehamilan kurang dari 37 minggu. (Saifuddin et al. 2002)
Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan kondisi janin.
Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya preeklampsia dan eklampsia.

Lebih banyak istirahat, tidur miring agar menghilangkan tekanan pada vena cava inferior,

sehingga meningkatkan aliran darah balik dan menambah curah jnatung.


Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam).
Tidak perlu diberi obat-obatan.
Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :
Diet biasa
Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin (untuk proteinuria) sekali sehari.
Tidak perlu diberi obat-obatan.
Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis, atau gagal

ginjal akut.
- Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan :
o Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda preeklampsia berat.
o Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin, keadaan janin, serta gejala dan
tanda-tanda preeklampsia berat;
o Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.
Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan dan observasi
-

kesehatan janin.
Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan.

Jika tidak rawat sampai aterm.


- Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai PE berat.
2) Kehamilan lebih dari 37 minggu

Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan oksitosin atau

prostaglandin.
Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter
Foley atau lakukan seksio sesarea.
PREEKLAMPSIA BERAT
Tujuannya : mencegah kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif
terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. (Angsar MD,
2009; Saifuddin et al. 2002)

1)

Sikap tehadap penyakit: pengobatan medikamentosa


Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.
Pemberian obat antikejang.
Obat anti kejang yang digunakan MgSO4, diazepam, fenitoin. Pemberian MgSO4 sebagai
antikejang lebih efektif dibanding fenitoin. Obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia

adalah magnesium sulfat.


Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah dan mengurangi
terjadinya kejang (Suparman & Sembiring 2004). Di samping itu juga untuk mengurangi
komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini tidak

seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-methyl D Aspartate (NDMA) reseptor


inhibitor, untuk menghambat masuknya kalsium ke dalam neuron pada sambungan neuro
muskuler (neuro musculer junction) ataupun pada susunan syaraf pusat. Dengan menurunnya
kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan menurun dan kontraksi otot yang
-

berupa kejang dapat dicegah (Roeshadi 2007).


Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada PE

berat dan eklampsia. Cara pemberian magnesium sulfat dapat dilihat pada lampiran 3.
Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan risiko tterjadinya depresi

pernapasan neonatal.
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung.

Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.


Pemberian antihipertensi
Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah, untuk pemberian
antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg
dan MAP 126 mmHg. Di RSU Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik 110

mmHg.
Antihipertensi lini pertama
Nifedipin; 10 20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside; 0,25 g i.v./kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 g i.v./kg/5 menit.
Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada

kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
2) Sikap terhadap kehamilannya
a) Perawatan aktif (agresif) : sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri.
- Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini :
Ibu
Umur kehamilan 37 minggu.
Adanya tanda-tanda impending eclampsia.
Kegagalan terapi pada perawatan konserfatif, yaitu : keadaan klinik dan laboratorik
memburuk.
Diduga terjadi solusio plasenta.
Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan.
Janin
Adanya tanda-tanda fetal distress
Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)
NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khusunya menurunnya trombosit dengan cepat.

Cara mengakhiri kehamilan dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah
sudah inpartu atau belum.
b) Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm 37 minggu tanpa disertai
tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.
PENGELOLAAN EKLAMPSIA
1) Perawatan eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital,
yang harus selalu diingat Airway, Breathing, circulation (ABC), mengatasi dan mencegah
kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada pasien pada waktu
kejang, mengendalikan tekanan darah, khusunya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan
janin pada wkatu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
2) Pengobatan medikamentosa
a) Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan utama magnesium sulfat. Pemberian magnesium sulfat
pada dasarnya sama seperti pemberian pada PE berat. Pengobatan suportif terutama ditujukan
untuk gangguan fungsi organ-organ yang penting, misalnya tindakan-tindakan untuk
memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru, mengatur tekanan darah, mencegah
dekompensasi kordis.
b) Perawatan pada waktu kejang
Tujuan utama pertolongan ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang
tersebut. Bila penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigen.
Dirawat di kamar isolasi cukup terang
Masukkan sudip lidah ke dalam mulut penderita
Kepala direndahkan : daerah orofaring dihisap
Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor untuk menghindari fraktur.
c) Perawatan koma
Menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, mencegah aspirasi bahan lambung, monitor
kesadaran dan dalamnya koma memakai GCS, pencegahan dekubitus, dan diperhatikan
makanan penderita.
d) Perawatan edema paru
Penderita dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
3) Penatalaksanaan obstetrik
a) Sikap dasar
Sikap terhadap kehamilan iadalah semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri, tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
b) Saat terminasi
Bila sudah terjadi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu, yaitu 4 8 jam setelah
salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

Setelah pemberian obat antikejang terakhir


Setelah kejang berakhir
Setelah pemberian oabt-obat antihipertensi terakhir
Penderita mulai sadar.
SINDROMA HELLP
1) Definisi
Sindroma HELLP adalah PE/E disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan
trombositopenia.
2) Diagnosis
Didahului tanda dan gejala tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah.
Adanya tanda dan gejala PE berat.
Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khusunya kenaikan LDH, AST, dan bilirubin ndirek.
Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH
Trombositopenia, trombosit 150.000/ml
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa
memandang ada tidaknya tanda dan gejala PE, harus dipertimbangkan sindroma HELLP.
3)

Klasifikasi
Klas 1
: trombosit 50.000/ml, LDH 600 IU/l, AST dan/atau ALT 40 IU/l.
Klas 2
: trombosit > 50.000 100.000/ml, LDH 600 IU/l, AST dan/atau ALT 40 IU/l.
Klas 3
: trombosit > 100.000 - 150.0000/ml, LDH 600 IU/l, AST dan/atau ALT 40

IU/l.
4) Terapi medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa PE/E dengan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila
trombosit < 50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu

protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen.


Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000 -150.000/ml dengan
disertai tanda-tanda eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan

deksametason 10 mg i.v. tiap 12 jam.


Pada postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5

mg i.v. tiap 12 jam 2 kali.


Terapi deksametason dihentikan, bila terjadi perbaikan laborotorium, yaitu trombosit >

100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik PE-eklampsia.
Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit < 50.000/ml dan

antioksidan.
5) Sikap terhadap kehamilan
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.

l. Prognosis
Kematian ibu akibat eklampsia biasanya disebabkan oleh perdarahan serebral,
pneumonia aspirasi, enselofati hipoksia, tromboembolisme, ruptur hepar, gagal ginjal, atau
kecelakaan anestesi. (DeCherney & Pernoll 2006)
Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70% kasus, meliputi DIC,
gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti
jantung paru, pneumonitis aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan.
Kerusakan hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas neurologi
akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan
atau iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen. (Pangemanan 2002)
Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu penelitian retrospektif
terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka kematian ibu secara keseluruhan adalah
13,9% (138/990). Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita
dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan
komplikasi yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan prenatal
yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier. Satu penelitian
otopsi yang dilakukan segera setelah kematian pada wanita eklampsia menunjukkan bahwa
lebih dari 50% dari wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari akibat kejang pada otaknya
menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan kortikal petekie merupakan
yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi lobus occipitalis. Edema serebral yang difus
dan perdarahan masif lebih jarang dijumpai. Trombosis vena serebral sering dijumpai pada
wanita dengan eklampsia paska persalinan. (Pangemanan 2002)
B. HUBUNGAN

PRIMIGRAVIDA

DENGAN

PREEKLAMPSIA

EKLAMPSIA
Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada kehamilan, 3 8
persen pasien terutama pada primigravida, pada kehamilan trimester kedua. Catatan statistik
menunjukkan dari seluruh insiden dunia, dari 5% - 8% PE dari semua kehamilan, terdapat
12% lebih dikarenakan oleh primigravida. Faktor yang mempengaruhi PE frekuensi

primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida


muda. (Rozikhan 2007)
Telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman.
Pada The New England Journal of Medicine tercatat bahwa pada kehamilan pertama risiko
terjadi PE 3,9%, kehamilan kedua 1,7%, dan kehamilan ketiga 1,8%. (Rozikhan 2007)
Menurut Corwin tahun 2001 ( dikutip dalam Artikasari 2009), pada primigravida atau
ibu yang pertama kali hamil sering mengalami stres dalam menghadapi persalinan. Stres
emosi yang terjadi pada primigravida menyebabkan peningkatan pelepasan corticotropicreleasing hormone (CRH) oleh hipothalamus, yang kemudian menyebabkan peningkatan
kotisol. Efek kortisol adalah mempersiapkan tubuh untuk berespons terhadap semua stresor
dengan meningkatkan respons simpatis, termasuk respons yang ditujukan untuk
meningkatkan curah jantung dan mempertahankan tekanan darah.
Hipertensi pada kehamilan terjadi akibat kombinasi peningkatan curah jantung dan
resistensi perifer total. Selama kehamilan normal, volume darah meningkat secara dratis.
Pada wanita sehat, peningkatan volume darah diakomodasikan oleh penurunan responsivitas
vaskular terhadap hormon-hormon vasoaktif, misalnya angiotensin II. Hal ini menyebabkan
resistensi perifer total berkurang pada kehamilan normal dan tekanan darah rendah. Pada
wanita dengan PE/E, tidak terjadi penurunan sensitivitas terhadap vasopeptida-vasopeptida
tersebut, sehingga peningkatan besar volume darah langsung meningkatkan curah jantung
dan tekanan darah. (Corwin 2009)
Primigravida adalah salah satu faktor risiko penyebab terjadinya PE/E. Peningkatan
yang gradual dari tekanan darah, proteinuria dan edema selama kehamilan merupakan tandatanda PE, terutama pada primigravida. Gejala tersebut akan menjadi nyata pada kehamilan
trimester III sampai saat melahirkan. Gejala tersebut timbul setelah umur kehamilan 20
minggu, jika timbulnya sebelumnya, mungkin terjadi kehamilan mola hidatidosa atau hamil
anggur. Pada primigravida frekuensi PE/E lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda. (Angsar MD, 2009)
PE biasanya terjadi pada usia ibu yang ekstrim (<18 tahun dan > 35 tahun). Kasus PE/E
terbanyak pada usia 20-24 tahun yang terjadi pada kehamilan pertama. PE/E lebih sering
terjadi pada usia muda dan nulipara diduga karena adanya suatu mekanisme imunologi
disamping endokrin dan genetik dan pada kehamilan pertama pembentukan blocking

antibodies terhadap antigen plasenta belum sempurna, yang makin sempurna pada kehamilan
berikutnya.
REFERENSI :
Angka

Kematian

Ibu,

dilihat

29

Desember

2010,

<http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?

option=com_docman&task=doc_download&gid=290&Itemid=111>.
Angsar, MD 2009, Hipertensi dalam kehamilan, dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirodrdjo, edk 4, eds. T
Rachimhadhi & Wiknjosastro GH, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Artikasari, K 2009, Hubungan antara primigravida dengan angka kejadian preeklamsia/eklamsia di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta periode 1 Januari 31 Desember 2008, skripsi S.Ked, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, dilihat 27 Januari 2011, < http://etd.eprints.ums.ac.id/4063/>
Basuki, B 2000, Aplikasi metode kasus-kontrol, FKUI, Jakarta.
Corwin & Elizabeth, J 2009, Buku saku patofisiologi, edk 3, Nike Budhi, EGC, Jakarta.
Cunningham, FG, Leveno, KJ, Bloom, SL, Hauth, JC, Gilstrap, L & Wenstrom, KD 2005, Williams Obstetrics, 22th edn,
McGraw-Hill, New York.
DeCherney, AH & Pernoll, ML 2006, Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 10th edn, McGraw-Hill, New
York.
Farid, Mose, JC, Sabarudin, U & Purwara, BH 2001, Perbandingan Kadar Nitrik Oksida Serum Penderita Preeklampsia
dengan Hamil Normal, Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 25, no. 2, hh. 69 79.
Karkata, MK 2006, Faktor resiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, Indonesian Journal of Obstetrics and
Gynecology, vol. 30, no. 1, hh. 55-57.
Kartha, IBM, Sudira, N & Gunung, K 2000, Hubungan kadar trigliserida serum pada umur kehamilan kurang dari 20
minggu dengan risiko terjadinya preeklampsia pada primigravida, Indonesian Journal of Obstetrics and
Gynecology, vol. 24, hh. 88 92.
Manuaba, IBG, Manuaba, IAC & Manuaba, IBGF 2007, Pengantar kuliah obstetri, EGC, Jakarta.
Manurung, RT & Wiknjosastro 2007, Mortalitas maternal pada preeklampsia berat dan eklampsia di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2003 2005 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 31, no. 1, hh. 33 - 41.
Medicine Blog, 2011, Introduction to Preeclampsia, diunduh pada tanggal 5 April 2011,
<
http://www.wanshee.com/2011/04/introduction-to-pre-eclampsia.html>
Pangemanan, WT 2002, Komplikasi akut pada preklampsia. Universitas Sriwijaya Palembang.
Roeshadi, RH 2007, Upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu pada penderita preeklampsia dan
eklampsia, Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 31, no. 3, hh. 123-133.
Rozikhan 2007, Faktor-faktor risiko terjadinya preeklampsia berat di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal, tesis
M.Epid,

Universitas

Diponegoro

eprints.undip.ac.id/18342/1/ROZIKHAN.pdf >.

Semarang,

dilihat

13

Januari

2011,

<

Saifuddin, AB, Wiknjosastro, GH, Affandi, B & Waspodo, D 2002, Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal
dan neonatal, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Sastroasmoro, S & Ismael, S 2008, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis, edk 3, Sagung Seto, Jakarta.
Sibai, BM 2010, Preeclampsia, dalam Protocol For High-Risk Pregnancies, 5th edn, eds. JT Queenan, JC Hobbins &
CY Spong, BlackWell, Singapore.
Sofoewan, S 2003, Preeklampsia-eklampsia di beberapa rumah sakit di Indonesia, patogenesis dan kemungkinan
pencegahannya, Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 27, no. 3, hh. 141-151.
Statistics Indonesia (Badan Pusat StatistikBPS) and Macro International 2008, Indonesia Demographic and Health
Survey 2007, Calverton, Maryland, USA: BPS and Macro International.
Suparman, E & Sembiring, E, 2004, Karakteristik penderita eklampsia dan luaran perinatal akibat eklampsia di RSUP
Manado, Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 28, hh. 96 102.

Anda mungkin juga menyukai