Kultur sel adalah proses yang kompleks di mana sel-sel tumbuh dalam
kondisi yang terkendali di luar lingkunganya. Kultur sel hewan pertama kali
dikenal
di laboratorium
pada
pertengahan
1900-an, tetapi
konsep
mempertahankan kultur sel hidup terpisah dari sumber jaringan aslinya ditemukan
pada abad ke-19.
Teknologi kultur sel kini telah berkembang begitu pesat penggunaannya
sehingga dapat diaplikasikan sampai kultur sel-sel khusus, chromosome painting,
DNA fingerprinting, penelitian uji senyawa aktif, vaksin dan penelitian molekular
in vitro sebelum dilakukan uji in vivo. Teknologi dasar dalam kultur sel yang awal
dikembangkan adalah teknik kultur sel primer, pasase serial, karakterisasi, dan
preservasi sel.
Salah satu pemanfaatan kultur sel dalam penelitian virologi adalah
penggunaan kultur sel untuk propagasi virus untuk menggantikan telur ayam
berembrio. Kultur virus HIV secara in vitro muncul untuk digunakan dalam
diagnostik dan propagasi virus. Suatu sampel yang tidak dapat didteksi dengan
metode PCR atau rapid test, dapat dikultur untuk memperbanyak virus yang ada
di dalam sampel sampai pada tingkat yang dapat terdeteksi. Kultur sel dapat juga
digunakan untuk propagasi virus agar dapat memperoleh virus dalam jumlah
besar, untuk keperluan studi obat, karakterisasi, analisa molekular dan sebagainya.
Ada dua macam metode infeksi virus HIV ke dalam sel yaitu: dari sel ke
sel (cell to cell infection) dan virus ke sel (cell free virus infection). Infeksi dari sel
ke sel terjadi pada sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) pasien positif
HIV dan di-kokultur dengan sel yang belum terinfeksi sebagai tempat
pertumbuhan virus yang baru. Infeksi virus ke sel dengan menggunakan cairan
plasma tubuh pasien HIV yang terinfeksi virus HIV. Kultur HIV secara in vitro ini
sangat berguna untuk mempelajari HIV dan uji obat antiretrovital HIV.
Kata Kunci : Kultur sel hewan, HIV, In vitro
I.
Kultur
virus
dalam
PENDAHULUAN
perjalanan
penelitian-penelitiannya
menemukan
keterbatasan terutama terkait penggunaan media kultur virus dalam telur ayam
berembrio yang sangat terbatas untuk perbanyakan virus. Teknik kultur sel yang
maju secara signifikan di tahun 1940 dan 1950-an untuk mendukung penelitian
dalam virologi. Pada awalnya ketidakmampuan virus untuk tumbuh secara in
vitro tanpa media hidup sangat membatasi kemajuan penelitian. Penelitian tentang
pembuatan vaksin polio yang dikembangkan oleh Jonas Salk yang merupakan
salah satu produk pertama yang diproduksi secara massal dengan menggunakan
teknik kultur sel membuka teknik baru tentang pengembangan virus secara in
vitro, kemudian penelitian vaksin menggunakan kultur sel ini dilanjutkan oleh
John Franklin Enders, Thomas Huckle Weller, dan Frederick Chapman Robbins,
yang kemudian dianugerahi Hadiah Nobel untuk penemuan mereka terkait metode
pertumbuhan virus pada kultur sel ginjal monyet.
Sebelumnya, telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah
digunakan secara luas untuk isolasi virus. Embrio dan membran pendukungnya
menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus
yang berbeda. Namun dalam kebutuhan yang besar terutama dalam pembuatan
vaksin telur ayam berembrio memiliki banyak kekurangan, sehingga digunakan
kultur sel untuk media tanam virus. Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan
dengan menanam virus pada kultur sel. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadahwadah plastik atau kaca, maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada
permukan wadah itu dan terus-menerus membelah diri sampai seluruh daerah
permukaan yang tertutupi medium terisi. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih
efektif untuk kultivasi beberapa virus daripada metode yang lain. Pendekatan ini
telah memungkinkan kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam jumlah
besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga
penggunaannya luas untuk isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis.
Vaksin yang disiapkan dari kultur sel mempunyai keuntungan dibandingkan
dengan yang disiapkan dari telur ayam berembrio dalam hal mengurangi
gangguan
imunitas
yang
menunjukkan
gejala Pneumocystis
carinii pneumonia (PCP), infeksi oportunistik yang langka yang diketahui terjadi
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah (Gottlieb MS,
2006). Tak lama kemudian, laki-laki gay terkena kanker kulit yang sebelumnya
langka yang disebut sarkoma Kaposi (KS) (Friedman-Kien AE, 1981) lalu
Pemerintah Amerika Serikat membentuk Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) yang dibentuk untuk memantau wabah penyakit ini
(Basavapathruni and Anderson, 2007).
Pada awalnya, CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini dan
sering menyebut dengan cara penyakit yang dikaitkan dengan limfadenopati.
AIDS diperkenalkan pada pertemuan bulan Juli 1982. Pada bulan September 1982
CDC mulai menggunakan nama AIDS. Pada tahun 1983, dua kelompok
penelitian terpisah yang dipimpin oleh Robert Gallo dan Luc Montagnier
menyatakan bahwa retrovirus mungkin telah menginfeksi pasien AIDS, dan
menerbitkan temuan mereka dalam edisi yang sama dari jurnal Science.
Gallo mengklaim bahwa virus kelompoknya telah diisolasi dari pasien
AIDS sangat mirip dalam segi bentuknya dengan virus lain Human Tlymphotropic (HTLVs). Gallo menyatakan kelompoknya telah menjadi kelompak
peneliti pertama yang berhasil mengisolasi virus ini. Kelompok Gallo menyebut
virus baru mereka yang berhasil diisolasi dengan sebutan HTLV-III. Pada saat
yang sama, kelompok Montagnier mengisolasi virus dari seorang pasien yang
mengalami pembengkakan kelenjar getah bening di leher dan kelemahan fisik ,
dua gejala klasik AIDS. Bertentangan dengan laporan dari kelompok Gallo,
Montagnier dan koleganya menunjukkan bahwa protein inti dari virus ini adalah
imunologis berbeda dari HTLV-I. Kelompok peneliti Montagnier menamai virus
limfa Adenopati Virus (LAV). Ternyata kedua virus itu adalah virus yang sama
dan pada tahun 1986, LAV dan HTLV-III diberi nama HIV (Aldrich,
2001). Penelitian HIV / AIDS mencakup semua penelitian medis yang berguna
untuk mencegah, mengobati, menyembuhkan HIV / AIDS serta penelitianpenelitian dasar tentang sifat, cara penularan HIV sebagai agen menular dan AIDS
sebagai penyakit yang disebabkan oleh HIV. Saat ini, tidak ada obat untuk
HIV/AIDS. Metode yang paling universal direkomendasikan untuk pencegahan
HIV/AIDS adalah menghindari kontak yang memungkinkan penularan antara
orang dengan HIV dan perilaku pergaulan seks yang aman. Banyak lembaga
pemerintah
dan
lembaga
penelitian
berpartisipasi
dalam
penelitian
II.
TINJAUAN PUSTAKA
antibiotik yang
membuatnya
lebih
mudah
untuk
dibudidayakan sebagai
logam atau jejak disinfektan kimia, yang tidak terlihat. Bentuk cemaran biologi
juga ada dua yaitu, mikroba dan virus. Untuk menghindari kontaminasi dilakukan
dengan cara :
1. Pelatihan yang tepat dalam penggunaan teknik aseptik yang baik pada
pekerja yang melakukan kultur sel.
2. Dirancang dengan baik . Cara memelihara dan mensterilkan peralatan
wadah plastik, gelas dan media.
3. Mencari kesesuaian dengan lingkungan. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan jumlah sel dalam proses pembelahan sel (mitosis).
(surachai:1999)
II. 2 Kultur Virus dengan Kultur Sel
A. Sejarah
Vaksin polio yang dikembangkan oleh Jonas Salk adalah salah satu produk
pertama yang diproduksi secara massal dengan menggunakan teknik kultur
sel. Vaksin ini
Enders, Thomas
metabolisme sel akan habis, dan jika tidak diganti maka sel akan mengalami
kerusakan dan akan mati. Sel monolayer diberi perlakuan dengan tripsin dan atau
larutan versene untuk mendapatkan sel tunggal. Sel ini kemudian ditumbuhkan
pada flask yang baru. Sel monolayer digunakan untuk menumbuhkan dan menguji
beberapa aspek
Kebanyakan media pertumbuhan yang digunakan merupakan media
kimiawi, tetapi ditambahkan dengan serum 5-20% yang mengandung stimulan
yang penting untuk pembelahan sel. Media yang bebas serum dengan tambahan
stimulan tertentu digunakan untuk beberapa tujuan. Media mengandung larutan
garam isotonis, asam amino, vitamin, dan glukosa, sontohnya Eagles Minimal
Esential Medium (MEM) yang diformulasikan oleh Eagle th 50-an. Selain
mengandung serum, MEM juga diperkaya dengan antibiotik (biasanya penicillin
dan streptomycin) untuk membantu mencegah kontaminasi bakteri. Umumnya
pertumbuhan sel yang baik terjadi pada pH 7,0-7,4. Media juga ditambah fenol
red sebagai indikator pH yang akan berwarna merah pada pH 7,4, orange pH 7,0,
dan kuning pH 6,5, kebiru-biruan pH 7,6 dan ungu pH 7,8.
Media tumbuh juga membutuhkan penyangga di antara dua kondisi, yaitu:
1) penggunaan flask terbuka untuk mamasukkan O2 dan meningkatnya pH
2) Konsentrasi sel yang tinggi menyebabkan diproduksinya CO 2 dan asam laktat
sehingga menyebabkan turunnya pH. Kedua kondisi ini dihadapi dengan dengan
memberikan buffer ke dalam media dan dialirkan CO2 ke dalam inkubator dari
luar. Buffer yang biasanya digunakan adalah sistem bikarbonat-CO 2, sehingga ke
dalam media pertumbuhan ditambahkan larutan bikarbonat. Reagent yang
digunakan di dalam media dan kultur sel harus disterilisasi dengan autoklaf (uap
panas), hot-air oven (panas kering), membrane filtration, atau diradiasi untuk
peralatan plastik.
C. Pertumbuhan Virus di dalam Kultur Sel
Kultur sel banyak digunakan untuk propagasi virus dan mendukung
penelitian studi virologi yang lain seperti transfeksi serta diagnostik. Virus yang
dapat tumbuh di dalam kultur dapat dipelajari lebih detail. Ketidakmampuan virus
10
untuk tumbuh secara in vitro tanpa media hidup sangat membatasi kemajuan
penelitian, misalnya pada penelitian produksi vaksin dan pengembangan obatobatan anti virus untuk hepatitis B dan C. Sehingga kultur virus dengan
menggunakan kultur sel sangat membantu penelitian-penelitian virologi
Perbanyakan sel dilakukan di dalam tabung gelas atau flask dengan ukuran
yang beragam sesuai kebutuhan atau di dalam flask yang luas. Teknik ini
dilakukan secara aseptik untuk menjaga agar kultur bebas dari kontaminasi jamur
dan bakteri. Suspensi sel tunggal yang diketahui konsentrasinya ditumbuhkan ke
dalam flask steril dengan media yang sesuai, kemudian diinkubasi pada suhu yang
sesuai (pada umumnya 370C) dengan posisi mendatar. Sel akan melekat pada
permukaan dan mulai bereplikasi membentuk sel monolayer (satu lapis) yang
saling berikatan satu dengan lainnya. Setelah beberapa hari medium yang
digunakan untuk pertumbuhan dan metabolisme sel akan habis, dan jika tidak
diganti maka sel akan mengalami kerusakan dan akan mati. Sel monolayer diberi
perlakuan dengan tripsin dan atau larutan versene untuk mendapatkan sel tunggal.
Sel ini kemudian ditumbuhkan pada flask yang baru. Sel monolayer digunakan
untuk menumbuhkan dan menguji beberapa aspek interaksi virus dengan inang.
Selain untuk menumbuhkan sel monolayer, beberapa tipe sel juga dapat
ditumbuhkan di dalam larutan dimana sel tersebut tidak menempel pada
permukaan flask dan tidak menempel satu dengan lainnya, misalnya sel PBMC
dan sel hibridoma yang mengsekresikan antibodi monoklonal.
Virus ditumbuhkan di dalam kultur bertujuan untuk mendapatkan stock
virus. Virus yang telah diremajakan disimpan dan disebut sebagai master-stock,
sub master stock, dan seterusnya., tergantung pada jumlah peremajaannya. Virus
stock ditumbuhkan dengan menginfeksikan sel pada multiplicity of infection
(m.o.i) yang rendah, kira-kira 0,1-0,01 unit infeksi per sel. Virus melekat pada sel
dan mengalami beberapa kali replikasi di dalam kultur sel.
Pada kultur sel yang diinfeksi dengan jumlah virus yang tinggi, seperti 10
unit infeksi per sel. Hal ini akan menjamin bahwa semua sel akan terinfeksi secara
bersamaan dan replikasi terjadi hanya satu kali dan virus segera dipanen pada
akhir siklus replikasi. Sel yang terinfeksi menghasilkan progeni virus dengan
11
kisaran 10-10.000 partikel virus per sel. Berbagai contoh virus yang dapat
ditumbuhkan melalui kultur sel, antara lain:
Virus herpes simplex, dapat tmbuh pada bermacam-macam kultur dan pada
membran chorio-allantoic
Virus Epstein-Barr, dapat tumbuh pada kultur suspensi dari limfoblas manusia
12
A. Sejarah HIV
HIV dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) AIDS dikenal
pertama kali sebagai sindroma pada tahun 1981 di Amerika Serikat. AIDS
disebabkan oleh infeksi Human immunodeficiency virus (HIV). Virus tersebut
merusak sel-sel imun tubuh, secara lebih spesifik HIV merusak kemampuan tubuh
untuk melawan infeksi. Pasien yang menderita HIV juga mengalami infeksi
oportunistik.Infeksi tersebut pada penderita HIV kondisinya lebih parah dibanding
orang normal. HIV dapat menyebabkan AIDS. HIV menyerang sistem imun
dengan merusak ( CD4+) T sel.
Seseorang dinyatakan AIDS jika CD4+ kurang dari 200 sel/mm2 di dalam
darah. Selain itu seseorang didiagnosis AIDS apabila mengalami infeksi
oportunistik seperti pneumonia atau TBC, CMV, Hepatitis, dan sebagainya
(NIAID, 2012). Selain HIV ada beberapa virus yang memiliki karakteristik sejenis
tetapi tidak menyerang manusia yaitu Feline Immunodeficiency Virus (FIV) pada
kucing dan Simian Immunodeficiency Virus (SIV) pada primata selain manusia.
Seperti HIV kedua virus tersebut menyerang sistem imun. Pada akhirnya akan
menimbulkan defisiensi sistem imun yang memiliki symptom
hampir sama
dengan HIV. Baik SIV maupun FIV memiliki peran yang penting bagi para
peneliti untuk mempelajari HIV pada manusia (NIAID, 2012).
Terdapat dua jenis HIV yaitu HIV-1 dan HIV 2. HIV-2 endemik di Afrika
barat dan saat in menyebar hingga India. Sebagian besar penyakit AIDS di dunia
di dominasi oleh HIV-1. HIV-1 dikenal lebih virulen. HIV-1 menular ke manusia
melalui simpanse yaitu Pan troglodytes sedangkan HIV-2 melalui kera
Cercocebus atys (Janeway et al, 2001).
Persebaran HIV-1 di seluruh dunia disebabkan oleh berbagai faktor yaitu,
karena hubungan seksual, penggunaan jarum suntik, dan transfusi darah dengan
orang yang terinfeksi HIV. Berbagai faktor tersebut berperan dalam penyebaran
HIV di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan HIV dapat menular melalui cairan
tubuh (Flint et al, 2003).
B. Klasifikasi HIV
13
: Lentivirus Species :
14
dua ssRNA, masing-masing memiliki informasi gen yang lengkap gen virus. Sel
HIV juga memiliki tiga gen struktural yaitu (gag, pol dan env) ketiganya terdiri
dari informasi genetik protein struktural untuk membentuk partikel virus baru.
Misalnya gen env mampu mengkode protein gp160 yang dirusak oleh enzim virus
dirubah menjadi gp 120 dan gp 41, keduanya merupakan komponen penyusun
env. HIV memiliki enam gen regulator yaitu (tat, rev, nef, vif, vpr, and vpu) yang
memiliki informasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan protein untuk
mengontrol kemampuan HIV dalam menginfeksi sel, menghasilkan virus baru,
atau menyebabkan penyakit. Di dalam kapsid juga terdapat tiga enzim yaitu
reverse transcriptase, integrase dan protease. Fungsi ketiga enzim tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut pada siklus hidup HIV (NIAID, 2012).
D. Siklus Hidup HIV
Infeksi HIV berawal ketika envelope glucoprotein (Env) berikatan dengan
CD4+ dan co reseptor khemokin. Env terdiri dari gp 120 dan gp 41. Selanjutnya
gp 120 berikatan dengan CD4+, yang diikuti terjadinya perubahan konformasi gp
120. Perubahan tersebut membuat gp 120 dapat berikatan dengan reseptor
khemokin yaitu CCR5 atau CXCR4. Setelah itu gp 41 juga mengalami perubahan
konfirmasi dan membentuk fusion peptide yang mampu mentransfer materi
genetik berupa genom virus setelah genom virus yang berupa RNA masuk ke
sitoplasma host. Selanjutnya, yang berperan adalah enzim reverse transcriptase.
Reverse transcriptase mengawali sintesis RNA kemudian ditranskripsi menjadi
provirus DNA. Kemudian enzim integrase berperan menyatukan DNA provirus ke
inti sel host. Setelah itu inti sel host yang telah mengandung genome virus akan
melakukan transkripsi DNA menghasilkan RNA HIV. Selanjutnya RNA HIV di
translasi menjadi asam amino. Asam amino yang dihasilkan akan disintesis
menjadi protein penyusun HIV yaitu membentuk struktur virion. Sebelum keluar
dari sitoplasma ekspresi gp 120 dan gp 41 pada permukaan sel host membentuk
struktur kapsid yang sempurna. Sehingga akan dihasilkan virus HIV baru yang
sifatnya mature dan bersifat virulen (Abbas et al, 2012).
15
E. Treatment HIV
Berdasarkan siklus hidup HIV dapat diketahui mekanisme infeksinya. Dari
informasi tersebut dapat diketahui peluang untuk menghambat replikasi HIV
menggunakan obat. Terdapat 4 peluang untuk menghambat replikasi virus yaitu
sebagai berikut
1. HIV berikatan dengan sel melalui gp120-CD4, kemudia gp41 berikatan dengan
CXCR4 dan CCR5 sebelum mampu mentransfer materi genetik. Tahap ini dapat
dihambat dengan fusion/entry inhibitors sebagai obat.
2. Genome HIV yang berupa RNA memerlukan Reverse transcriptase untuk
mampu bereplikasi menjadi DNA. Replikasi dari RNA memiliki peluang terjadi
satu kesalahan per replikasi. Hal ini meningkatkat kemungkinan terjadinya mutasi
gen virus. Untuk menghambat tahap ini menggunakan Reverse transcriptase
inhibitors sebagai obat.
3. Setelah terbentuk DNA Virus maka diperlukan integrase untuk menyatukan
DNA virus dengan DNA host. Tahap ini berpotensi menyebabkan infeksi bersifat
irreversible. Maka diperlukan Integrase inhibitors untuk menghambat infeksi.
4. Jika virus berhasil melakukan replikasi DNA hingga translasi menjadi asam
amino maka virus akan membutuhkan protease untuk membentuk partikel virus.
Maka diperlukan Protease inhibitors untuk menghambat maturasi virus HIV.
Empat kelas tersebut menjadi pengelompokan obat antiretroviral. Yaitu
kategori Fussion/Entry inhibitor, reverse transcriptase inhibitor, integrase inhibitor
dan protease inhibitor. Untuk meningkatkan efektifitas obat antiretroviral juga
digunakan highly active antiretroviral therapy (HAART). HAART menggunakan
minimal dua kategori obat antiretroviral. Perkembangan obat antiretroviral
mengalami kemajuan dari tahun ke tahun dan obat antiretroviral dikelompokkan
ke dalam berbagai kategori sebagai berikut. Dalam terapi antiretroviral dilakukan
monitoring untuk mengetahui efektifitas obat. Ada dua cara untuk monitoring
anti-HIV terapi melalui pemantauan Viral load dan menghitung jumlah CD4+
selama anti-HIV terapi.
III. PENUTUP
16
Kultur sel adalah proses yang kompleks di mana sel-sel tumbuh dalam
kondisi yang terkendali di luar lingkunganya. Kultur sel hewan pertama kali
dikenal secara di laboratorium
mempertahankan kultur sel hidup terpisah dari sumber jaringan aslinya ditemukan
pada abad ke-19. Salah satu pemanfaatan kultur sel adalah dalam penelitian
virologi secara in vitro, Pada awalnya ketidakmampuan virus untuk tumbuh secara
in vitro tanpa media hidup
penelitian tentang pembuatan vaksin polio yang dikembangkan oleh Jonas Salk
yang merupakan
dengan
menggunakan
teknik
kultur
sel. Kemudian
penelitian
vaksin
menggunakan kultur sel ini dilanjutkan oleh John Franklin Enders, Thomas
Huckle
Weller,
dan Frederick
Chapman
Robbins,
yang
kemudian
Daftar Pustaka
17
Abbas K, Abul., Andrew H. Lichtman, and Shiv Pillai. 2012. Cellular and
Molecular Immunology.7th ed. Saunders Elevier.
Aldrich, ed. by Robert; Wotherspoon, Garry (2001). Who's who in gay and
lesbian history.. London: Routledge.
Basavapathruni, A; Anderson, KS (December 2007). "Reverse transcription of the
HIV-1 pandemic". The FASEB Journal 21 (14): 37953808.
Chen tian. 2009. Investigation and application progress of vero cell serum-free
culture. No. 2
Dolin, [edited by] Gerald L. Mandell, John E. Bennett, Raphael (2010). Mandell,
Douglas, and Bennett's principles and practice of infectious diseases (7th
ed.). Philadelphia,
homosexual
men". J.
Am.
Acad.
Dermatol. 5 (4):
468
71. doi:10.1016/S0190-9622(81)80010-2.
Geoffrey. 2009. Albumin and mammalian cell culture : Implications for
biotechnology applications. 62 : 1-16
Gottlieb MS (2006). "Pneumocystis pneumoniaLos Angeles. 1981". Am J
Public Health 96 (6): 9801.
Hartung and Thomas.2002. Good cell culture practice:ECVAM good cell culture
practice task force report 1. 80 : 407- 414
Hogan, CM, and Hammer SM. 2001. Host determinants in HIV infection and
disease. Part 1: cellular and humoral immune responses. Ann Intern
Med.134:761-776.
Holser. 1996. Metods in animal cell culture.
ICTV.2011.
International
Committee
on
Taxonomy
of
Virusses.
18
19